Tingkat kedewasaan antara laki-laki dan perempuan relevansi dengan batas usia perkawinan (studi komparasi hukum islam dengan pandangan medis)

(1)

SKRIPSI

DiajukanKepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salahsatu Persyaratan Memperoleh Gelar SarjanaSyari’ah(S.Sy)

Oleh: UDI WAHYUDI NIM: 108044100045

KO NSENT R ASI PE RA DIL AN A GAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1436 H/2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehatwal’afiyatsehangga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam jaga tercurah kepada jungjungan Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, parasa habat, pengikut beliau seluruh umat manusia yang setia kepadanya hingga akhir zaman.

Tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis jumpai dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar dalam penyelesaian semua ini tidak sendirian. Penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan baik lewat pemikirannya, tenaganya, dan Doa yang selalu dipanjatkan untuk saya sebagai penulis. Sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai yang diharapkan.

Maka dari itu, sudah selayaknya pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum 3. Dr. JM. Muslimin, selaku Dosen Pembimbing Akademik.

4. Kamarudiyana, Ma selaku Kepala Jurusan Program Studi Hukum Keluarga

Fakultas Syari’ah dan Hukum.

5. Sri Hidayati, M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga


(6)

vi menyelesaikan skripsi ini.

7. Terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda H. Mufri Husni dan Ibunda Hj. Tilawati yang telah memberikan banyak hal yang berarti dalam kehidupan penulis. Cinta, kasih sayang, doa, dan dukungan baik moril maupun materil yang semua itu tak akan bisa tergantikan dengan apapun. 8. Kepada saudara-saudariku yaitu Mamang H. Nahdatul Muamar S.Thi, Teh Hj

Dwi Retno Sulanjani, Kang Yuli, Kang Sumar, Teh Ida, Teh Iis dan kedua Adikku, Ali Rohman dan Ika Sohifatul Janah, semuanya telah memberikan kasih sayang, doa, dukungan moril maupun materil yang berlimpah. Sehingga penulis senantiasa termotivasi dan tidak kenal menyerah dalam mencapai cita-cita.

9. Terkhusus untuk Kakek yaitu Alm. H Syahruddin dan Neneku tercinta Hj. Sunenah, yang selalu turut memotivasi dan memperhatikan perkembangan penulis sejak memasuki pondok pesantren hingga perguruan tinggi.

10. Teman-teman seperjuangan Kelas Peradilan Agama B Tahun 2008 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan teman satu kostan, yang telah memberikan dukungan dan semangat. Dan seluruh pihak yang telah membantu dan tidak dapat di sebutkan satu persatu. Terimakasih banyak kepada teman-temanku IBM Andika Supriatman S.Sy, Aceng Daerobi S.Sy,Mukhammad ali seto


(7)

vii 11. Tri Utami yang selalu memotivasi penulis.

Akhir kata, penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada bantuan semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya satu-persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

13 Rabiul Awal 1436 H Ciputat,

13 Februari, 2015


(8)

viii

Pandangan Medis)

.

Perkawinan pada usia muda atau remaja adalah masalah sosial budaya yang mengandung aspek medis, bagi seorang muda yang telah kawin secara sah maka dia bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang yang belum nikah. Namun tidak berarti ia bebas dari masalah. Secara medis dan mental ia belum matang benar, itulah sebabnya perkawinan usia muda dikatakan memiliki dampak medis. Isu-isu yang sering kali muncul dipermukaan dan sering kali berlindung pada konsep agama adalah tentang perempuan, khususnya mengenai kesehatan reproduksi itu sendiri.

Tingkat kedewasaan dalam perkawian antara laki-laki dan perempuan menjadi problem tersendiri dalam agama Islam, karena para fuqaha tidak banyak membahas batas usia minimal perkawinan, bisa jadi karena Nabi pun melakukan praktik nikah dini dengan Siti Aisyah. Maka dari sinilah penulis ingin meneliti tingkat kedewasaan perkawinan dilihat dari aspek fikih dan medis.

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian (hukum) normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan medis serta pendekatan komparatif (comparative approach).

Kata kunci: Perkawinan Usia Muda, hukum Islam, medis

Pembimbing: Dr. Azizah, MA. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


(9)

ix

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSYAH... iii

HALAMAN KEASLIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAKSI... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Metodologi Penelitian ... 12

F. Review Terdahulu ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II USIA PERKAWINAN DI INDONESIA... 19

A. Pengertian Usia Perkawinan... 19

B. Batas Usia perkawinan di Indonesia... 20


(10)

x

A. Pengertian Dewasa Menurut Medis... 29

B. Fase Perkembangan Masa Dewasa... 31

C. Perbedaan Perkembangan Laki-laki dan Perempuan ... 36

BAB IV ANALISIS TINGKAT KEDEWASAAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN RELEVANSINYA DENGAN BATAS USIA PERKAWINAN... 40

A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Batas Minimal Usia perkawinan Laki-laki dan Perempuan... 40

B. Pandangan Medis Terhadap Batas Minimal Usia perkawinan Laki-laki dan Perempuan ... 51

C. Analisis Penulis ... 59

BAB V PENUTUP... 68

A. Kesimpulan... 68

B. Saran ... 70


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam peroses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksud, bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu, harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan sebuah perkawinan seorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara sosial, biologis, maupun secara psikilogis. Seseorang dengan melangsungkan sebuah perkawinan maka dengan sendirinya semua kebutuhan biologisnya bisa terpenuhi. Ia akan bisa menyalurkan kebutuhan seksnya dengan pasangan hidupnya. Sementara itu secara mental atau rohani mereka yang telah menikah lebih bisa mengendalikan emosinya dan mengendalikan nafsu seksnya.

Menurut Islam, perkawinan merupakan suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama yang bahagia ,aman, tenteram dan saling mengasihi. Perkawinan merupakan fitrah manusia yang harus terjadi pada

1


(12)

kehidupan sebagai sarana untuk melimpahkan rasa cinta dan kasih yang telah dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya.

Disyari’atkannya perkawinan dalam Islam itu dapat ditinjau dari tiga sudut.2Pertama, ditinjau dari sudut hukum, perkawinan adalah merupakan suatu perjanjian antara pria dan wanita agar dapat melakukan hubungan kelamin secara sah dalam waktu yang tidak tertentu. Kedua ditinjau dari sudut agama, perkawinan itu dianggap sebagai lembaga suci dimana suami-istri dapat hidup tenteram, saling mencintai dan mengasihi serta bertujuan untuk mengembangkan keturunan. Ketiga, ditinjau dari sudut kemasyarakatan, bahwa orang yang telah kawin (berkeluarga) telah memenuhi syarat dari kehendak masyarakat serta mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari pada mereka yang belum menikah.

Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku, bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau di kota. Namun tidak sedikit manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik fisik maupun mental akan mencari pasangannya sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dalam kehidupan manusia perkawinan bukan lah bersifat sementara tetapi untuk seumur hidup. Sayang tidak semua orang memahami hakikat dan tujuan dari perkawinan yang seutuhnya yaitu mendapatkan kebahagian yang sejati dalam berumah-tangga.

2


(13)

Untuk menemukan kebahagian di atas pula, penting melihat batas umur perkawinan, hal ini menjadi syarat tersendiri. Batas usia perkawinan dikatakan sangat penting karena seringkali keberhasilan sebuah perkawinan ditentukan oleh kematangan dalam menyelesaikan sebuah masalah, hal tersebut bisa dilihat dari segi usia calon pengantin, baik usia peria maupun wanita.

Perkawinan membutuhkan kematangan yang bukan hanya bersifat biologis, melainkan juga kematangan pisikologis dan sosial. batas minimal usia nikah bagi laiki-laki dan perempuan sebaiknya 19 tahun, kira-kira setelah lulus SLTA. Perkawinan pada usia dini bagi perempuan menimbulkan berbagai resiko, baik bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda, dan resiko pisikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi reproduksi dengan baik.3 Oleh sebab itu kehidupan keluarga menuntut adanya peran dan tanggung jawab yang besar bagi laki-laki dan perempuan.4

Dalam menilai hal tersebut di atas, terdapat pula komentar para ulama klasik mengenai prasyarat yang dapat menikah atau yang biasa disebut dengan kualifikasi dewasa (baligh/ahliyah). Kualifikasi ini masuk dalam kriteria syarat serta rukun nikah, dimana dari syarat dan rukun nikah harus terpenuhi agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Menurut as-Syafi’i bahwa salah satu dari syarat syahnya nikah adalah adanya wali, tanpa kehadiran wali pernikahan

3

Prof. dr Ida Bagus Gde Manuaba, SpOG, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan

Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan,(Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1996), hal. 26

4

Sulostiawati S, Perempuan dan Hukum, (Menuju Hukum yang Berperspektif


(14)

tersebut adalah batal, sedangkan Abu Hanifah, wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat berhak mengurus sendiri akad perkawinannya, baik gadis atau janda.5

Perbedaan pendapat juga terjadi dalam hal perkawinan gadis di bawah umur, As-Syafi’i berpendapat bahwa anak perempuan yang belum dewasa tidak

boleh menikah hingga ia cukup dewasa dengan seizin walinya, agar anak perempuan nanti tidak terjatuh pada hal-hal yang kurang baik seperti kurang tanggung jawabnya suami kepada istri. Sedang Abu Hanifah berpendapat bahwa hal tersebut diperbolehkan, akan tetapi anak perempuan tersebut setelah baligh diberi hak khiar.6

Dalam syariat Islam sendiri, batas umur untuk melakukan perkawinan tidak ditetapkan secara jelas dan tegas, tidak memberi batasan secara definitif (pasti) mengenai usia perkawinan seseorang, Al-Qur’an dan Hadis hanya

menetapkan dugaan, isyarat dan tanda-tanda saja. Umat Islam diberi kebebasan untuk menetapkan batas-batas umur, sehingga batasan perkawinan dikembalikan pada individu tanpa melanggar syarat yang telah ditentukan, serta disesuaikan pula dengan kondisi sosial dimana hukum itu akan diundangkan.7Dalam hal usia,

5

Sayyidd Sabiq,Fiqh al-Sunnah, (Cairo: Dr al-Qf, 1990), hal. 241 6

Sayyidd Sabiq,Fikih al-Sunnah, (Cairo: Dr al-Qf, 1990), hal. 224 7

Kamal Mukhtar,Asas-asas Hukum Perkawinan, cet. 3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 40-41


(15)

seperti dikutip Rahmad Rosyadi,8 bahwa Allah SWT tidak menentukan kapan usia yang baik atau usia yang ideal bagi seorang wanita untuk langsungkan perkawinan, karena yang demikian bukanlah menjadi urusan Allah, akan tetapi sebagai urusan manusia dalam menyelesaikan problematika hidupnya.

Oleh sebab itu mengenai urusan dunia diserahkan sepenuhnya kepada manusia karena dianggap bahwa manusia lebih tahu dan lebih mengetahui dalam ranah ijtihadi. Sejalan dengan hal tersebut, tidak menjadikan salah atau berdosa apabila manusia memberikan batasan suatu usia tertentu atau usia yang tepat untuk melakukan perkawinan, karena menurut penulis merupakan ranah ijtihadi seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi.

Perbedaan pendapat tentang batas usia pernikahan seseorang dapat memberikan kejelasan pada masyarakat, terutama pada masyarakat tradisional yang umumnya terjadi pada masyarakat agraris, sebagaimana terbatasnya jenis pendidikan formal yang hanya berkisar antara sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat pertama, kemudian dialihkan menjadi tenaga kerja untuk membantu kehidupan keluarganya, sehingga dengan berakhirnya masa belajar dan kemudian terjun kelapangan pekerjaan, maka orang tersebut telah dianggap dewasa untuk melakukan pernikahan dalam usia muda.

Fenomena ini menarik untuk dikaji, dengan adanya dua konsep yang berbeda mengenai batas minimal usia perkawinan yang memunculkan pemikiran

8

A. Rahmad Rosyadi Soeroso,Dasar Keluarga Berencana Ditinjau dari Hukum Islam, cet. 1, (Bandung: Pustaka, 1406 H/ 1986), hal. 92


(16)

untuk meneliti serta membahasnya dalam sebuah karya ilmiah, mengingat bahwa dalam realita pendapat dari para Ahli Fiqih dan UU No.1 Tahun 1974 atau KHI sama-sama kuat dan mendasar.

Secara jelas KHI pasal 15 merumuskan: (1) untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekuang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang kurangnya berumur 16 tahun. (2) bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.9

Seperti yang telah diuraikan di muka, bahwa baik Al-Qur’an dan as -Sunnah secara eksplisit tidak mengatur mengenai batas usia minimal dalam perkawinan. Umat islam umumnya menyepakati kondisi baligh bagi perempuan adalah setelah haidh dan laki-laki dengan mimpi basah. 10 Dilihat dari segi literatur, akil baligh juga dikenal sebagai batas kematangan seksual, namun antara perempuan dan laki-laki terdapat ciri-ciri yang berbeda. 11 Namun juga kematangan usia perempuan dan laki-laki berpengaruh pada tingkat kesehatan seksualitas.

9

Pasal 6 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 10

Sayyidd Sabiq,Fiqh al-Sunnah, (Cairo: Dr al-Qf, 1990), hal. 6 11

Nadine Suryoprajogo, Kupas Tuntas Kesehatan Remaja, (Yogyakarta: Diglossia Printika, 2009), hal. 2


(17)

Dalam sejarahnya, Rasulullah SAW sendiri baru menikah usia 25 tahun, dan semestinya usia ini dijadikan acuan sekaligus meneladani rasul. Penetapan batas usia lebih rendah bagi perempuan dalam KHI pada substansinya mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Baik pandangan normatif fiqih serta peraturan hukum positif Indonesia terdapat perbedaan pula, hal ini mengindikasikan bahwa baik fiqih serta peraturan perundang-undangan di Indonesia seharusnya tidak mencendrai landasan sosiologis, karena ia tidak sejalan dengan semangat zaman.bahkan hal ini akan berdampak pada ketidak adilan setra pendiskriminasian. Sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh UU No. 12 Tahun 2011 bahwa secara eksplisit mengatakan

“Seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia harus mengandung tiga landasan yaitu, landasan normatif, landasan filosofis, serta landasan sosiologis.12 Artinya bahwa undang-undang telah memberikan legitimasi sosiologis atau bisa dikatakan dalam hukum Islam “Hukum harus melihat zaman serta kondisi setempat (taghayyur al-ahkm bi taghayyur al-azminah wal amkinh wal ahwl).

Oleh sebab itu, batas minimal umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-sekurang-kurangnya berumur 16 tahun sangat rentan terjadi pada kesehatan reproduksi bagi perempuan, hal itu

12

Lihat Penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Perundang-undangan. Dikatakan bahwa yang dikatakan asas dapat dilksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan peraturan undangan harus diperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut dalam masyarakat baik secarafilosofis ,sosiologis maupun yuridis.hal.56,


(18)

senada dengan pendapat ahli medis yang mengatakan bahwa kurun waktu reproduksi sehat yaitu mencapai umur 20-30 tahun. Di bawah umur itu sangat potensi mengalami kesehatan reproduksi, seperti resiko keguguran, persalinan prematur, kelainan bayi (berat bayi tidak normal/bayi cacat), anemia kehamilan serta kematian seorang ibu (perempuan) akibat keguguran.13

Dengan batasan minimal usia perkawinan pada pria berumur 19 tahun dan perempuan 16 tahun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, terlihat tidak relevan lagi dari segi medis. Untuk itu, perlu kiranya penelaahan yang mendalam permasalahan ini melalui penelitian penulis dalam bentuk skripsi yang berjudul “Tingkat Kedewasaan Antara Laki-laki Dan Perempuan Relevansinya Dengan Batas Usia Perkawinan (Studi Komparasi Hukum

Islam Dengan Pandangan Medis”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada masalah pandangan fikih dalam menilai batas usia perkawinan serta pandangan hukum positif Indonesia mengenai peraturan batas usia perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Instruksi Persiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam pasal 7 UU No. 1 1974 yakni calon suami

sekurang-13

Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga


(19)

kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. (2). Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagai mana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974, begitu pula pasal 15 dalam KHI.

Perbedaan ini jelas terlihat antara calon suami (laki-laki) yang secara umur lebih tua tiga tahun dari pada perempuan yang lebih muda. Namun jika dilihat dari segi medis, usia perempuan ketika menikah di bawah umur 20 tahun sangat lah berpotensi negatif pada kesehatan reproduksi perempuan seperti yang dijelaskan di atas.

2. Perumusan Masalah

Dari beberapa persoalan yang ada, menurut penulis perlunya penelusuran lanjutan, karena persoalan tingkat kedewasaan antara laki-laki dan perempuan terlihat berbeda antara pandangan hukum Islam dengan pandangan medis dalam hal ini mengenai batas usia perkawinan antara kedua belah pihak. Dari pokok persoalan yang ada, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pandangan hukum Islam menilai batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan?

2. Bagaimanakah pandangan medis menilai batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan?

3. Bagaimanakah komparasi pandangan hukum Islam dan medis menilai batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan?


(20)

C. Tujuan Penelitian

Secara sederhana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Mengetahui pandangan hukum Islam menilai batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan

2. Mengetahui pandangan medis menilai batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan

3. Memahami perbandingan hukum Islam dan medis menilai batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Penelitian ini sebagai upaya perluasan wawasan hukum Islam terlebih mengetahui pandangan psikologis dalam menilai batas usia perkawinan, agar terciptanya singkronisasi landasan normatif, filosofis serta berdimensi sosiologis. Disamping itu meningkatkan keterampilan menulis karya ilmiah dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan hukum Islam, khususnya hukum Islam dan diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dan menambah referensi peneliti untuk mendalami criteria dewasa dalam perkawinan.

2. Praktis

Penelitian ini bermanfaat bagi ulama, akademisi, legal drafter, hakim, mahasiswa, santri dan khususnya para penggiat kajian keilmuan hukum Islam, sebagai acuan dalam mengemban memahami istimbat hukum dan sebai


(21)

sumbangan pikiran dari peneliti bagi kerangka pembangunan hukum Islam yang berkarakter Indonesia yang berkembang sesuai dengan zaman dan tempat (relevan).

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama, penelitian (hukum) normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.14 Penelitian Hukum Normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang.15 Jenis penelitian ini digunakan dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian ini adalah menganalisis batas usia perkawinan dalam pasal 7 UU N0. 1 Tahun 1974 yahkni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun dan KHI pasal 15.

Kemudian kedua, menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library

research) yaitu sebuah penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa, mengkaji, serta merumuskan formulasi buku-buku serta literature yang berkaitan

14

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjawan

Singkat(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 85

15

Abdulkodir Muhammad,Hukum dan Penelitian Hukum,(Bandung: PT. Ctra Aditya Bakti, 2004), hal. 301


(22)

dengan judul skripsi ini, dalam hal ini adalah pandangan keilmuan medis menetapkan kedewasaan antara laki-laki dan perempuan.

2. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan yakni penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan medis serta pendekatan komparatif (comparative approach).

Pendekatan perundang-undangan ini menurut penulis dengan mendekati substansi pasal (statute approach) dalam UU No. 1/1974 pasal 7 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 yang berkaitan dengan batas usia perkawinan. Fokus ini juga sekaligus menjadi tema sentral suatu penelitian16penulis, dalam hal ini batas usia perkawinan. Pendekatan kedua yaitu pendekatan medis yang mempunyai fokus terhadap pendekatan tingkat kedewasaan seseorang secara fisik dan lain-lain.

Dan terakhir adalah pendekatan komparatif (comparative approach) yaitu untuk mengetahui perbandingan makna yang dikandung dalam hukum Islam baik fikih ataupun hukum positif di Indonesia dalam hal ini UUNo.1/1974, Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan pandangan medis.

16

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet Ke.IV (Malang: Bayumedia, 2008), hal. 302


(23)

3. Sumber bahan hukum

Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,17yaitu pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 dan Inpres No. 1 Tahun 1991 (KHI) pasal 15.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum perimer18seperti fiqih , jurnal hukum islam,

hasil-hasil penelitian, buku-buku hukum islam mengenai skripsi ini, tesis dan disertasi, serta pendapat para sarjana yang terkait dengan pembahasan ini. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum islam, ensiklopedia dan lain-lain.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Baik bahan hukum perimer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik pembahasan yang telah dirumuskan berdasarkan menurut sumber, asas-asas hukum islam, metodologi atau formulasi mendapatkan hukum yang dikaji secara komprehensif, dengan menyesuaikan pada masalah yang dibahas.

17

Amiruddin dan Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum(Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada,2008), hal. 31; Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif

Suatu Tinjawan Singkat,(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 13

18

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet Ke Iv, (Malang: Bayumedia, 2008), hal. 305


(24)

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan agar dapat menjawab serta disajikan sesuai penulisan yang lebih sistematis guna menjawab pembahasan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum yang dilakukan secara deduktif-analitik yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk mengetahui batas usia perkawinan yang didekati dalam paradigma medis.

6. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, merujuk pada buku panduan

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta tahun 2013.

F. Review Terdahulu

Ada beberapa pembahasan yang hampir mirip dengan judul skripsi penulis yaitu terkait masalah batas usia perkawinan atau mengenai tingkat kedewasaan seseorang. Beberapa skripsi yang membahas mengenai hal ini, yaitu:

Yang pertama, Hidayatunisa,Penetapan Batas Minimal Usia Nikah Serta

Relevansinya Dengan Pembentukan Keluarga Sakinah: Studi Kasus Warga kelurahan Cipete Selatan Jakarta Selatan, (Jurusan Peradilan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2010). Pembahasan dalam skripsi ini yaitu terkait mengenai


(25)

keluarga sakinah tidak serta merta didapat begitu saja, namun diperlukan persiapan,pengorbanan dan perjuangan. Salah satu untuk mencapai keluarga sakinah adalah kematangan lahir dan kesiapan batin, kematangan lahir dapat dilihat dari kematangan fisik yang berupa kematangan biologis serta kesiapan batin. Artinya adalah bahwa untuk mencapai sebuah rumah tangga yng skinah diperlukan dua kematangan fisik dan batin. Adapun objek dalam skripsi ini adalah warga cipete selatan yang menikah dalam usia 21 tahun kebawah selama tahun 2009, dimana warga cipete selatan banyak yang menikah di bawa rata-rata umur 21 tahun yang berimplikasi pada tingkat percerain atau ketidah harmonisan dalam rumah tangga.

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskripsi research yang bermaksud untuk mengeksplorasi sebuah fenomena dalam ruang lingkup masyarakat cipete selatan. Sedangkan pendekatan adalah menggunakan kuisoner, interview (wawancara), observasi dan dokumentasi.

Yang kedua, Muhamad Syarif Hidayatullah, Batas Usia Dewasa Untuk

Menikah menurut UU no. 1 Tahun 1974 Ditinjau dari Hukum Islam, (Jurusan Perbandingan Mazhab dan fikih, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2009). Pembahasan dalam skripsi ini yaitu mengenai UU No. 1 tahun 1974 merupakan pedoman umat islam di Indonesia yang dihasilkan oleh pemerintahan Indonesia. Ada yang khas dalam UU No. 1 tahun 1974 yaitu terkain mengenai batas usia perkawinan, yang mana dalam pasal 7 ayat (1) dal UU No. 1 tahun 1974 bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun


(26)

dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun, jika ditelusuri lebih lanjut mengenai batas usia perkawinan, para ulama klasik tidak menentukan batas usia perkawianan antara laki-laki maupun perempuan. Dari situ terdapat perbedaan tajam antara hukum positif Indonesia dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan fiqih klasik yang tidak menentukan hal itu, yang terpenting dalam fiqih adalah memenuhi syarat dan rukunnya. Adapun jenis penelitian yang diguakan dalam skripsi ini yaitu penelitian kualitatif, sedangkan teknik pengumpulan datanya adalah mempergunakanlibrary research.

Yang ketiga, Haris Santoso,Batas Minimal Usia Melakukan Perkawinan

Di Indonesia Perspektif Imam Mazhab . (Jurusan peradialan agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2010). Secara sederhana objek pembahasan dalam skripsi ini yaitu tentang batas usia perkawinan tidak ditetapkan oleh islam itu sendiri, oleh sebab itu termasuk ranah ijtihadi yang memberikan kebebasan bagi umat untuk menyelesaikan masalah tersebut, tergantung setuasi,kondisi, kepentingan peribadi keluarga atau kebiasaan masyarakat setempat yang jelas kematangan jaelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas utama dalam agama. Permasalahannya adalah ulama berbeda pandangan mengenai batas kadar dewasa dalam menentukan bahwa dia bisa melakukan perkawinan. Oleh sebab itu analisa yang digunakan dalam skripsi adalah perspektif imam mazhab. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode induktif (menganalisis data-data kemudian menyimpulkannaya) dan metode komparatif


(27)

yaitu dengan menggunakan antara hukum islam dan hukum positifsebagai bahan acuan penelusuran skripsi ini.

Adapun perbedaan dari ketiga skripsi di atas yaitu membahasan mengenai batas usia perkawinan baik laki-laki dan perempuan ditinjau dari hukum Islam. Sedangkan perbedaannya adalah pandangan medis melihat batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Begitu juga dengan metodelogi yang digunakanan penulis berbeda dengan ketiga skripsi di atas, yang mana penulis menggunakan metodelogi penelitian library research (kepustakaan) dan

normative research(riset aturan hukum).

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-sub guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannaya adalah sebagai berikut.

Bab pertama seperti biasanya diawali dengan pembahasan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, review terdahulu dan terakhir sistematika penulisan.

Bab kedua menjelaskan tentang usia perkawinan dalam Islam. Pada bab ini penulis hadirkan empat pembahasan yaitu Pengertian Usia Perkawinan, Batas


(28)

usia perkawinan di Indonesia, usia perkawinan di dunia dan data usia perkawinan muda di Indonesia.

Bab ketiga menjelaskan tentang tingkat kedewasaan tentang paradigma medis. Pada bab ini penulis tuangkan tiga pembahasan yaitu pengertian dewasa menurut medis, fase perkembangan masa dewasa, dan terakhir perbedaan perkembangan laki-laki dan perempuan.

Bab keempat pembahasan mengenai analisis tingkat kedewasaan antara laki-laki dan perempuan relevansinya dengan batas usia perkawinan. Pada bab ini penulis hadirkan tiga pembahsan yaitu pertama Pandangan Hukum Islam Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-Laki dan Perempuan, Pandangan Medis Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-Laki dan Perempuan, dan terakhir analisis penulis terkait perbandingan hukum Islam dan pandangan medis menilai batas usia perkawinan pada Laki-laki Dan Perempuan.

Bab kelima adalah penutup, seperti biasa bab ini mencakup kesimpulan dari pembahasan yang telah dianalisa oleh penulis dan saran dari penulis ketika melihat substansi skripsi penulis.


(29)

19

A. Pengertian Usia Perkawinan

Sebelum menjelaskan definisi usia perkawinan, penting kiranya dibedah satu persatu. Seperti yang kita ketahui istilah usia perkawinan ditemukan pembahasannya dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Namun bukan dengan kata usia, tetapi memakai kata umur.1Untuk memperjelas hal itu, istilah usia perkawinan merupakan gabungan dua suku kata, dari kata

“usia” dan “perkawinan’. Di mana pengertian usia sendiri dimaknai dengan umur

atau satuan waktu yang mengukur keberadaan suatu makhluk atau benda, baik yang hidup maupun yang mati, dengan perhitungan tahun tarik masehi maupun lainnya. Misalnya, usia manusia dikatakan lima belas tahun diukur sejak dia lahir hingga waktu umur itu dihitung.2

Adapun pengertian perkawinan terdapat dalam Pasal 1 undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu ikatan lahir-bathin antara seorang peria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk

1

Lihat pembahasan usia atau umur perkawinan pada Pasal 6 dan 7 Undang-undang Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 15 ayat (2) Instruksi Presiden Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

2 Usia

, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Umur, pada tanggal 15 Januari 2015 Pukul 15:00


(30)

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3

Setelah menjelaskan dua kata dari usia dan perkawinan maka dapat dsimpulkan bahwa pengertian usia perkawinan sendiri yaitu sebuah masa kesiapan kedua calon mempelai laki-laki maupun perempuan dalam melangsungkan sebuah perkawinan dengan batasan sebuah umur.

B. Batas Minimal Usia Perkawinan di Indonesia

Ketentuan peraturan dalam pembatasan usia perkawinan sebagaimana di atur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak–sebagai instrumen HAM — walaupun tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun5 dan pasal 26 (1) huruf (c) UU Perlindungan Anak 2002 menyebutkan bahwa: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :

(c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak6, Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

Umur minimal boleh kawin menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Seperti yang disebutkan

3


(31)

dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.

Disamping itu, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua atau pengadailan, sebagai mana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2) dan (5) UU No.1 tahun 1974. Adapu isi ayat (2):

“Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21

tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Sedang isi ayat (5) adalah:

Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) (orang tua dan wali, pernikahan.), atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka penagadilan dalam deerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawianan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.

Dengan demikian, apabila izin tidak didapatkan dari orang tua, pengadialn dapat memberikan izin.4 Isi pasal 7 ayat (1), tentang umur minimal boleh kawin, diulang pada pasal 15 ayat (1), Kompilasi Hukum Islam, yang bunyinya:

Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam

4


(32)

pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-sekurang-kurangnya 16 tahun.

Demikian isi pasal 6 ayat (2) UU No.1Tahun 1974 diulang pada pasal 15

ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, “Bagi calon mempelai yang belum mencapai

umur 21 tahun harusa mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.

Bagi orang yang belum mencapai umur minimal tersebut akan kemungkinan melangsungkan perkawianan dengan syarat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain, seperti disebut dalam pasal 7 ayat (2) UUP No. 1

Tahun 1974, “Dalam hal penyimpangna ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang

tua pihak peria maupun pihak wanita”.

C. Usia Perkawinan di Dunia

Jika dilihat dari beberapa batasan usia perkawinan di dunia, di bawah ini Negara-negara yang menerapkan batasan usia perkawinan. Menurut catatan Joned, seperti contohnya di Malaysia, sebelum munculnya undang-undang baru di bidang perkawinan Malaysia, di beberapa daerah Malaysia hanya Johor yang membuat ketentuan tentang umur minimum boleh kawin.5 Sebaliknya, setelah adanya

5

Menurut Undang-Undang Perkawinan Johor, Umur Minimum Bagi Wanita 16 tahun dan 18 untuk Pria. Lihat Ahilemah Joned,Keupayaan Hak Wanita Islam Untuk Berkawin: Indah Khabar dari pada Rupa, Fauklti Undang-undang Unversitas Malaya, Makalah Undang-undang

menghormati Ahamad Ibrahim, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian


(33)

pembaharuan, hanya Perak yang tidak mengatur. Alasannya barang kali karena dianggap bertentangan dengan syari’ah. Sedang bagi wilayah persekutuan,

Kelantan, Kedah, Melaka, Negeri Sembilan, Selangor dan Pulau Pinang, mengatur minimum 18 untuk pria dan 16 untuk wanita. Sekarang memang angka perkawinan kanak-kanak cenderung menurun di Malaysia, tetapi diasumsikan penurunan bukan karena faktor undang-undang tetapi hanya karena faktor pendidikan dan peluang kerja.6

Adapun bunyi pasal yang menjelaskan tetang ketentuan umur minimal boleh kawin, misalnya dalam undang-undang keluarga islam negeri pulau pinang 1985, pasal 8 disebutkan:

Tiada sesuatu perkawinan boleh diakad nikahkan atau didaftarkan di bawah enakmen ini jika lelaki itu berumur kurang dari pada lapan belas tahun dan perempuan itu berumur kurang daripada enam belas tahun kecuali jika hakim

syari’ah telah memberi kebenarannya secara bertulis dalam hal keadaan tertentu.

Hanya saja ada sedikit perbedaan istilah, dalam UU persekutuan disebut

“Akta” sebagai ganti dari “Enakmen” yang ada dalam UU Negeri Sembilan, UU

Selangor, UU Pahang, UU Pinang dan UU Kelantan. Demikian juga UU Serawak

6

Khoiruddin Nasution,Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan


(34)

menggunakan istilah “ Ordinan”. Maka bunyinya menjadi “ di bawah akta ini” dan “di bawah Ordinan ini” sebagai ganti “ dibawah Enakmen ini”.7

Adapun bagi mereka yang belum mencapai umur minimal yang ditentukan boleh kawin dengan catatan harus mendapatkan izin dari pengadilan. Seperti disebutkan pada pasal 8 ayat (1) UU Negeri Sembilan:

Dalam mana-mana kes berikut, yaitu (a) jika salah satu pihak kepada perkawinan yang dicadangkan itu adalah di bawah umur yang di nyatakan dalam seksyen 8; atau (b) jika pihak perempuan adalah seorang janda yang tersabit oleh seksyen 14 (3); atau (c) jika pihak perempuan tidak mempunyai wali dari pada

nasab mengikut Hukum Syara’, maka pendaftar hendaklah, sebagai ganti bertindak dibawah seksyen 17, merujuk permohonan itu kepada hakim Syari’ah yang

mempunyai bidang kuasa di tempat perempuan itu bermustautin.Pada ayat (2) disebutkan:

Hakim Syari’ah, apabila berpuasa hati tentang kebenaran perkara-perkara yang disebut dalam permohonan itu dan tentang sahnya perkawinan yang dicadangkan itu dan bahwa kes itu adalah kes yang mewajarkan pemberian kebenaran bagi maksud-maksud seksyen 8 atau kebenaran bagi maksud-maksud seksyen 14 (3), atau persetujuannya terhadap perkhawinan itu diakadnikahkan oleh wali Raja bagi maksud-maksud seksyen (13) (b), mengikut mana yang berkenaan, hendaklah pada bila-bila masa selepas permohonan itu dirujukan kepadanya dan

7

Lihat pasal 8 UU Negeri Sembilan 1983, UU Selangor, UU Pahang, UU Pinang dan UU Persekutuan;pasal 7 UU Serawak, dan pasal 14 UU Kelantan.


(35)

setelah dibayar fee yang ditetapkan, mengeluarkan kepada pemohon kebenarannya untuk perkawinan dalam boring yang ditetapkan.8

Berdasarkan ayat 1 point b, dapat disimpulkan ada kemungkinan mendapat izin untuk kawin bagi mereka yang belum mencapai umur minimal boleh kawin, dengan catatan pengadilan mempertimbangkan cukup alasan untuk memberikan alasan untuk memberikan izin, seperti tersebut pada ayat 2. Undang-undang Brunei Darussalam tidak mengatur tentang umur minimal boleh kawin.9

Tidak berbeda jauh dengan pembahasan di atas, perundang-undangan keluarga muslim di luar Asia tenggara kaitannya dengan umur perkawinan ada beberapa catatan penting. Pertama, ada aturan umur minimal boleh melakukan perkawinan. Artinya kalau umur minimal belum tercapai, secara prinsip calon tidak boleh melakukan perkawinan. Kedua, ada aturan tentang jarak umur antara mempelai laki-laki dan perempuan. Adapun aturan Negara-negara muslim yang kaitan dengan umur minimal boleh melakukan perkawinan adalah bervariasi, dan dapat dilihat sebagai berikut:10

Negara Laki-laki Wanita

Algeria Bangladesh Mesir Irak 21 21 18 18 18 18 16 18 8

Khoiruddin Nasution,Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan

Hukum Perkawinan di Dunia Muslim,(Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 377

9

Khoiruddin Nasution,Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan

Hukum Perkawinan di Dunia Muslim,(Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 377

10

Khoiruddin Nasution,Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan


(36)

Yordania Libanon Libia Malaysia Maroko Yaman Utara Pakistan Somalia Yaman Selatan Syiria Tunisia Turki 16 18 18 18 18 15 18 18 18 18 19 17 15 17 16 16 15 15 16 18 16 17 17 15

Dari table di atas dapat ditulis minimal dua catatan. Pertama, ada beberapa Negara yang menetapkan umur sama bagi laki-laki (suami) dan perempuan (calon istri), yakni irak, Somalia (18 tahun) dan Yaman Utara (15 tahun). Kedua, dua Negara yang menetapkan umur 21 tahun ini baru berlaku bagi laki-laki, sementara menurut penelitian terakhir, usia aman dari penyakit kanker mulut Rahim adalah usia di atas 20 tahun.

Adapun sikap Negara-negara muslim bagi pelaku perkawinan sebelum mencapai umur minimal boleh melakukan perkawinan (kawin dini) adalah bervariasi, yang dapat digambarkan berikut:11

1. India dan Pakistan, dengan menghukum pelanggar.

2. Mesir, dengan melarang mencatatkan perkawinan di bawah umur, dan tidak mengakui akibat-akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan, misalnya status hukuman yang dilahirkan.

11

Khoiruddin Nasution,Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan


(37)

3. Timur Tengah, membolehkan nikah di bawah umur tetapi harus dengan izin pengadilan (hanya dengan izin pengadilan).

Kaitannya dengan Negara yang mengatur jarak umur minimal antara calon, bahwa ada minimal dua Negara yang mencantumkan, yakni Syria dan Maroko. Dalam pasal 6 UU Maroko disebutkan bahwa jarak umur perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan adalah 20 tahun. Ada kemungkinan melakukan perkawinan lebih dari jarak tersebut dengan ijin pengadilan tanpa paksaan dan/atau tekanan.

D. Data Usia Perkawinan Muda di Indonesia

Data Susenas Tahun 2010 menunjukkan bahwa masih ada beberapa provinsi yang usia kawin pertamanya dibawah 20 tahun, yaitu Propinsi Jambi 19.26 tahun, Lampung 19.38 tahun, Banten 19.40 tahun, Jawa Tengah 19.43 tahun, Kalimantan Tengah 19.43 tahun, Bengkulu 19.48 tahun, Nusa Tenggara Barat 19.69 tahun, Sulawesi Utara 19.71 tahun, Sumatra Selatan 19.80 tahun, Sulawesi Barat 19.84 tahun, Sulawesi Tengah 19.96 tahun. Untuk daerah perdesaan ada beberapa provinsi yang usia kawin pertamanya relative masih sangat rendah yaitu Propinsi Banten 17.53 tahun, Jawa Barat 17.54 tahun, jawa Timur 18.01 tahun, Kalimantan Selatan 18.37 tahun, Jambi 18.62 tahun, Jawa


(38)

Tengah 18.76. Berdasarkan Riskerdas 2010, menunjukan bahwa prevalensi umur perkawinan pertama antara 15-19 tahun sebesar 41,9 persen.12

Usia kawin pertama yang dilakukan oleh setiap perempuan memiliki resiko terhadap persalinannya. Semakin muda usia kawin pertama seorang perempuan semakin besar resiko yang dihadapi bagi keselamatan ibu maupun anak. Hal ini terjadi karena belum matangnya rahim seorang perempuan usia muda untuk memproduksi anak dan belum siapnya mental dalam berumah tangga. Untuk itu pendewasaan usia perkawinan merupakan salah satu upaya untuk memperkecil risiko yang terjadi terkait dengan kesehatan ibu maupun anaknya.

12

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN, Perkawinan Muda


(39)

29

A. Pengertian Dewasa Menurut Medis

Kata dewasa berasal dari kata latinadolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilahadolensencemempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik, Dalam kata lain dikatakan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa dengan rentan usia antara 12-22 tahun, di mana pada masa tersebut terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik maupun pisikologis.1

Istilah dewasa menggambarkan segala organisme yang telah matang, tapi lazimnya merujuk pada manusia: orang yang bukan lagi anak-anak dan telah menjadi pria atau wanita dewasa. Pengertian dewasa sendiri sering diidentikan pada sebuah tahapan. Seperti masa dewasan merupakan salah satu tahapan perkembangan manusia. Pada masa dewasa ini individu dianggap telah siap menghadapi suatu perkawinan, namun perkawinan bukanlah suatu hal yang mudah karena banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahapan kehidupan baru sebagai manusia dewasa.2

1

Hurlock E.B, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan,(ed.5), (Jakarta:Erlangga, 1994) hal. 45

2

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN, Perkawinan Muda


(40)

Makna dewasa sendiri bisa didefinisikan dari aspek biologi yaitu sudah akil baligh, hukum sudah berusia 16 tahun ke atas atau sudah menikah, menurut Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu bahwa usia 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita dan karakter pribadi yaitu kematangan dan tanggung jawab.3

Berbagai aspek kedewasaan ini sering tidak konsisten dan kontradiktif. Seseorang dapat saja dewasa secara biologis, dan memiliki karakteristik perilaku dewasa, tapi tetap diperlakukan sebagai anak kecil jika berada di bawah umur dewasa secara hukum. Sebaliknya, seseorang dapat secara legal dianggap dewasa, tapi tidak memiliki kematangan dan tanggung jawab yang mencerminkan karakter dewasa.

Kata "dewasa" kadang juga berarti "tidak dianggap cocok untuk anak-anak", terutama sebagai suatu yang berkaitan dengan perilaku seksual, seperti hiburan dewasa,video dewasa, majalah dewasa, serta toko buku dewasa. Tetapi, pendidikan orang dewasa hanya berarti pendidikan untuk orang dewasa, dan bukan spesifik pendidikan seks.

Menurut psikologi, dewasa adalah periode perkembangan yang bermula pada akhir usia belasan tahun atau awal usia duapuluhan tahun dan yang berakhir pada usia tugapuluhan tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, masa perkembangan karier, dan bagi banyak orang, masa

3


(41)

pemilihan pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai keluarga, dan mengasuh anak anak.4

Adapun pengertian dewasa di sini yang dimaksud penulis adalah sebuah masa dewasa awal di mulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat perbubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai tingkat kemampuan reproduksinya ketika melangsungkan sebuah perkawinan.5Adapun istilah medis sendiri diartikan sebagai sebuah paradigma atau perspektif dalam tataran keilmuan ilmiah medis. Jadi dapat disimpulkan bahwa dewasa dalam pengertian medis sendiri di sini yaitu sebuah masa dewasanya laki-laki maupun perempuan untuk melangsungkan sebuah perkawinan dengan kesiapan organ-organ kedewasaan secara biologis maupun medis.

B. Fase Perkembangan Masa Dewasa

Setiap tahap perkembangan memiliki karaktersitik tersendri. Seperti halnya tahap perkembangan masa dewasa awal ditandai dengan berbagai macam dan ciri khas tersendiri, baik itu laki-laki maupun perempuan. Menurut Dariyo, bahwa secara fisik, seorang dewasa awal/muda menampilkan profil yang sempurna dalam arti bahwa pertumbuhan dan perkembangan aspek fisiologis telah mencapai puncaknya. Mereka memiliki daya taha dan taraf kesehatan yang

4Dewasa

, diakses dari wikepedia pada tanggal 23 Maret 2014 Pukul 15:32 WIB , lebih lengkap: http://id.wikipedia.org/wiki/Dewasa

5

Kesimpulan ini diambil dari Skripsi Ika Sari Dewi, Kesiapan Menikah Pada Wanita


(42)

prima sehingga dalam melakukan berbagai kegiatan tampak inisiatf, kreatif, energik, cepat dan proaktif. Sementara bagi Havihurts menjelaskan beberapa perkembangan pada dewasan awal diantaranya mulai berkerja, memilih pasangan, belajar hidup dengan pasangan dan memulai membina keluarga.6

Sebelum melangkah lebih jauh dari karakteristik tingkat dewasa itu sendiri, masa dewasa sendiri memiliki tahapan yang khas dari segi fisiologis dan medisnya. Seperti biasanya, masa dewasa awal atau yang biasa disebut dengan masa pubertas, pasti akan mengalami beberapa perubahan. Perubahan yang utama (primer) terjadi di dalam tubuh. Perubahan tersebut memungkinkan seorang laki-laki dan perempuan pada masa puber dapat menghasilkan bayi. Perubahan utama diiringi perubahan sekunder atau perubahan fisik yang ciri-cirinya tampak pada manusia.

1. Perkembangan Fisik Laki-Laki pada Masa Pubertas.

Seorang laki-laki telah dianggap memasuki masa puber jika pada tubuhnya terjadi perubahan, antara lain sebagai berikut:

a) Jakun mulai tumbuh

b) Dada tampak lebih berbidang

c) Tumbuh rambut di daerah ketiak dan kemaluan d) Suara menjadi lebih berat dan besar

e) Mulai mengalami mimpi basah

6

Ika Sari Dewi,Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja,(Medan: USU Repository, 2006), hal. 13


(43)

f) Pembuangan minyak lambat, mulai tumbuh jerawat

g) Hormon seks makin matang menghasilkan organ seks laki-laki h) Bahunya melebar dan otot-otot berisi

2. Perkembangan Fisik Perempuan pada Masa Pubertas

Seorang perempuan telah dianggap memasuki masa puber jika pada tubuhnya telah ada perubahan sebagai berikut:

a) Payudara mulai tumbuh besar b) Pinggul mulai melebar

c) Tumbuh rambut di daerah ketiak dan kemaluan d) Datangnya haid atau menstruasi setiap bulan e) Bentuk tubuh membulat

f) Pertumbuhan tinggi badan berhenti

g) Usia 13 tahun rata-rata gadis mengalami haid pertama7

Selain ciri khas di atas, pertumbuhan dan perkembangan manusia menjadi dewasa mengalami tahap pubertas. Pada masa ini, baik laki-laki maupun perempuan menunjukkan pertumbuhan yang cukup cepat. Badan akan bertambah tinggi, bertambah gemuk, dan organ kelaminnya sudah mampu menghasilkan sel kelamin yang matang.

7

Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita, diakses pada Koran Jakarta Kamis, 27 Maret 2014 02:00:00. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829-perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita


(44)

Pada laki-laki ditandai dengan kemampuan testis (buah zakar) untuk menghasilkan sperma. Pada perempuan ditandai dengan kemampuan ovarium (indung telur) menghasilkan sel telur. Hal ini menunjukkan bahwa manusia telah mampu bereproduksi. Pada masa dewasa, badan seseorang tidak mengalami pertumbuhan tinggi lagi, tetapi hanya bertambah berat. Masa dewasa ini akan berakhir pada berkurangmya kemampuan fisiknya, seperti rambut terlihat memutih. Gigi mulai tanggal dan tidak tumbuh kembali. Kulit mulai keriput. Penglihatan mulai kabur karena daya akomodasi lensa mata berkurang dan pendengaran pun juga berkurang. Pada perempuan, ovarium sudah tidak dapat menghasilkan sel telur lagi sehingga tidak terjadi menstruasi lagi. Masa ini disebut menopause. Tetapi, pada laki-laki proses pembentukan sperma masih terjadi, meskipun telah menurun.8

Jika melihat Periode Perkembangan Masa Dewasa itu sendiri, menurut E. Hurlock terbagi dalam 3 periode masa dewasa, yaitu:

1) Masa Dewasa Awal (Early Adulthood = 18/20 tahun–40 tahun).

Secara biologis merupakan masa puncak perumbuhan fisik yang prima dan usia tersehat dari populasi manusia secara keseluruhan (healthiest people in population) karena didukung oleh kebiasaan-kebiasaan positif (pola hidup sehat). Secara psikologis, cukup banyak yang kurang mampu mencapai kematangan akibat banyaknya masalah dihadapi dan tidak mampu diatasi baik sebelum

8

Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita, diakses pada Koran Jakarta Kamis, 27 Maret 2014 02:00:00. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829-perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita.


(45)

maupun setelah menikah, misalnya: mencari pekerjaan, jodoh, belum siap menikah, masalah anak, keharmonisan keluarga, dll. Tugas-tugas perkembangan (development task) pada usia ini meliputi : pengamalan ajaran agama, memasuki dunia kerja, memilih pasangan hidup, memasuki pernikahan, belajar hidup berkeluarga, merawat dan mendidik anak, mengelola rumah tanggga, memperoleh karier yang baik, berperan dalam masyarakat, mencari kelompok sosial yang menyenangkan.

2) Masa Dewasa Madya/Setengah Baya (Midle Age = 40–60 tahun).

Aspek fisik sudah mulai agak melemah, termasuk fungsi-fungsi alat indra, dan mengalami sakit dengan penyakit tertentu yang belum pernah dialami (rematik, asam urat, dll). Tugas-tugas perkembangan meliputi : memantapkan pengamalan ajaran agama, mencapai tanggung jawab sosial sebagai warga negara, membantu anak remaja belajar dewasa, menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan pada aspek fisik, mencapai dan mempertahankan prestasi karier, memantapkan peran-perannya sebagai orang dewasa.

3) Masa Dewasa Lanjut / Masa Tua (Old Age = 60– Mati).

Ditandai dengan semakin melemahnya kemampuan fisik dan psikis (pendengaran, penglihatan, daya ingat, cara berpikir dan interaksi sosial). Tugas-tugas perkembangan meliputi : Lebih memantapkan diri dalam pengamalan ajaran-ajaran agama. Mampu menyesuaikan diri dengan : menurunnya kemampuan fisik dan kesehatan, masa pensiun, berkurangnya penghasilan dan kematian pasangan


(46)

hidup. Membentuk hubungan dengan orang seusia dan memantapkan hubungan dengan anggota keluarga.9

C. Perbedaan Perkembangan Laki-laki dan Perempuan

Ditinjau dari perkembangan fisik, terdapat perbedaan yang jelas antara pria dan wanita dalam rata-rata tinggi badan, organ genetalia, payudara, kumis, dan pola-pola pertumbuhan rambut (termasuk kebotakan). Selain itu, pria dan wanita memiliki perbedaan fisiologis yang bersifat hormonal yang memengaruhi variasi ciri-ciri biologis, seperti kesuburan.10

Meskipun secara fisik pria cenderung lebih kuat dibanding wanita, tapi wanita sejak bayi hingga dewasa memiliki daya tahan lebih kuat dibandingkan pria, baik daya tahan akan rasa sakit maupun daya tahan terhadap penyakit. Anak laki-laki lebih rentan terhadap berbagai jenis penyakit dibandingkan wanita. Selain itu, secara neurologis, anak perempuan lebih matang dibandingkan anak laki-laki sejak lahir hingga masa remaja, dan pertumbuhan fisiknya pun lebih cepat. Wanita cenderung hidup lebih lama daripada pria.

Menurut Sigmund Freud, “Anatomi adalah takdir”. Apakah perbedaan fisik pria dan wanita merupakan bukti bahwa perbedaan gender disertai juga perbedaan psikologis? Pria dan wanita memang terlihat berbeda dan memiliki

9

Hurlock E.B, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan,(ed.5), (Jakarta:Erlangga, 1994) hal. 65

10

Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita, diakses pada Koran Jakarta Kamis, 27 Maret 2014 02:00:00. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829-perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita


(47)

organ serta hormon seks yang berbeda. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa pria dan wanita juga berbeda dalam cara masing-masing berpikir, bertindak, dan merasakan sesuatu. Semua itu karena alasan biologis.

Ada beberapa area di mana kita dapat menemukan perbedaan gender yang reliabel berkaitan dengan kemampuan psikologis, khususnya dalam area yang menyangkut kemampuan berpikir, persepsi, dan memori. Pada umumnya, pria (sejak kecil hingga dewasa) memperlihatkan kemampuan spasial yang lebih baik, sedangkan wanita (sejak kecil hingga dewasa) menunjukkan kemampuan verbal yang lebih maju. Pria cenderung lebih berani mengambil tanggung jawab dalam kelompok, sedangkan wanita lebih menaruh perhatian dan terlibat dalam pengasuhan anak.

Masa pertumbuhan manusia ada batasnya. Secara normal, pada laki-laki pertumbuhan terhenti pada usia sekitar 22 tahun, sedangkan pada perempuan di usia sekitar 18 tahun. Pada kebanyakan remaja, perkembangan tubuh lebih cepat dialami pada waktu mereka berusia 12 tahun–18 tahun. Untuk remaja perempuan, pertumbuhan cepat itu biasanya terjadi pada usia 12 tahun, sedangkan untuk remaja lakilaki pada usia 14 tahun. Setelah usia 14 tahun, remaja laki-laki biasanya mengejar ketinggalan tinggi dan beratnya itu dan melampaui tinggi serta berat remaja perempuan.11

11

Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita, diakses pada Koran Jakarta Kamis, 27 Maret 2014 02:00:00. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829-perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita


(48)

Adapun perbedaan Perkembangan Fisik Anak Perempuan & Laki-laki, seperti dalam pertumbuhan bayi dan remaja, anak-anak tumbuh dengan tinggi dan berat badan di tingkat yang sama-sama lambat tapi stabil. Tidak ada perbedaan mencolok antara kedua jenis kelamin hingga akhir sekolah dasar. Memang kebanyakan anak perempuan tumbuh tinggi lebih cepat, tapi biasanya anak laki-laki dapat mengejar dan melebihi dalam beberapa tahun. Perempuan biasanya tumbuh tinggi 3 inci per tahun atau sedikit lebih. Sedangkan anak laki-laki tumbuh 3-4 inci per tahun.

Perbedaan pada masa pubertas atau memasuki dewasa awal, beberapa gadis mulai menunjukkan perubahan pertama pubertas dengan adanya tunas payudara dan (kemudian) rambut kemaluan di usia 8 tahun. Perubahan ini biasanya berlangsung di usia 8 dan 12 tahun. Perubahan ini biasanya diikuti oleh menstruasi. Kebanyakan gadis mendapatkan periode haid pertama mereka dalam lima tahun perkembangan payudara atau sebelum berusia 16 tahun.12

Namun ada juga beberapa anak perempuan yang “matang” di usia yang sangat dini, 7 tahun. Situasi ini dikenal sebagai pubertas prekoks. Tidak jelas apa yang menyebabkan pematangan awal ini. Diperkirakan berasal dari paparan lingkungan genetika. Beberapa penelitian menunjukkan hal ini biasa terjadi pada anak perempuan Afrika-Amerika.

12

Perbedaan Perkembangan Fisik Anak Perempuan & Laki-laki, Tabloid Nova, Selasa, 11 Februari 2014, lihat : http://www.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Anak/Perbedaan-Perkembangan-Fisik-Anak-Perempuan-Laki-laki/


(49)

Sedangkan pada anak laki-laki sangat jarang ditemukan perubahan yang dikarenakan pubertas. Biasanya pubertas ditandai dengan pembesaran testis dan pertumbuhan penis serta rambut kemaluan. Ini terjadi sebelum usia 9 tahun.

Untuk keterampilan motorik, Pada anak laki-laki, keterampilan motorik kasar (berjalan, melompat, keseimbangan) cenderung berkembang sedikit lebih cepat. Sedangkan pada anak perempuan, keterampilan motorik halusnya (memegang pensil, menulis) yang meningkatkan pertama kali. Hal ini bisa menguntungkan posisi anak perempuan di sekolah dasar.13

Anak laki-laki juga lebih agresif dan impulsif secara fisik, seperti diungkapkan oleh studi yang menganalis otak anak. Pusat kesenangan otak benar-benar lebih “menyala” pada anak laki-laki ketika mereka dihadapkan pada tantangan. Itu bukan berarti anak perempuan tidak aktif dan berani mengambil risiko, hanya saja dalam hal ini anak laki-laki lebih memainkan perannya.

13

Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita, diakses pada Koran Jakarta Kamis, 27 Maret 2014 02:00:00. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829-perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita.


(50)

40

RELEVANSINYA DENGAN BATAS USIA PERKAWINAN

A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-laki Dan Perempuan

Seperti yang kita ketahui bahwa dalam hukum Islam tidak dijumpai adanya batas usia menikah bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, hal ini tidak berarti bahwa undang-undang Negara muslim tidak menerapkan ketentuan mengenai pembatasan usia perkawinan ini.

Bahkan, dalam beberapa riwayat justru disebutkan bahwa Rasulullah Saw. menikahi Aisyah ketia ia berumur kurang dari tujuh tahun. Fakta sejarah inilah yang kemudian menyulut perdebatan cukup serius dikalangan ulama, mengenai bagaimana status menikahi anak kecil atau dibawah umur dalam pandangan Islam.

Seperti yang dijelaskan imam Nash al-Marwazi dalam kitab Ikhtilâf

al-Ûlama’; Ulama, terutama kalangan Ahl al-‘Ilm, sepakat bahwa hukum seorang ayah menikahkan anaknya yang masih kecil (laki-laki atau perempuan) adalah boleh, dan tanpa adanya pilihan (khîyâr) ketika dewasa. Alasannya adalah bahwasanya Rasulullah Saw. menikahi Aisyah ketia ia berumur enam tahun, dan hidup bersama pada umur 9 tahun. Hal ini pun dibolehkan oleh para sahabat,


(51)

seperti ‘Umar ibn Khaththab, ‘Ali ibn Thalib, Ibn ‘Umar, Zubayr, Ibn Qudamah, Ibn Maz’un, dan Ammarah.1

Perkawinan usia muda ini sangat terkait dengan hak orang tua atau wali untuk menikahkan anaknya, tanpa disertai kemauan anaknya itu sendiri. Dalam beberapa kasus di masyarakat, karena alasan hubungan kekeluargaan atau mempertahankan status sosial orang tua sering kali menjodohkan atau bahkan menikahkan anak mereka dengan anak saudaranya yang sejak masih belia.2 Terhadap fenomena semacam ini, pokok permasalahan terkategori pada masalah yang penulis sebutkan, yaitu hak orang tua untuk memaksakan, pernikahan anak-anak mereka. Menurut Imam Malik, Ahl al- Madinah, Imam al- Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, dan Abi Layla, seperti yang dikutip al-Marwazi, pemaksaan pernikahan kepada perawan hanya boleh dilakukan oleh Ayah. Namun, meminta izin darinya adalah lebih baik.3

Meski mereka sepakat bahwa orang tua boleh memaksa anaknya untuk menikah, mereka berbeda pendapat ketika memutuskan siapa yang berhak menikahkan. Imam al- Syafi’i, Abu Ubay, Abu Tsaur berpendapat bahwa selain ayah kandung tidak ada yang berhak menikahkannya. Jika diwakilkan kepada orang lain maka nikahnya batal. Sementara Imam Malik berpendapat bahwa bagi

1Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr al

-Marwazi,Ikhtilâf al-Ûlama’,(Beirut; Alim al-Kutub, 1985), hal. 125; lihat pula, Musthafa al-Siba’i, Perempuan di Antara Hukum

Islam dan Perundang-undangan,hal. 80.

2

Musthafa al-Siba’i,Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan,hal. 81.

3 Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr al

-Marwazi,Ikhtilâf al-Ûlama’,(Beirut; Alim al-Kutub, 1985), hal. 125


(52)

anak laki-laki ayah boleh menikahkannya, tetapi untuk anak perempuan tidak boleh dan harus ayah kandungnya. Pendapat ketiga yaitu dari Ahl al-‘Ilm menyatakan, bahwa selain ayah boleh menikahkan anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan, dengan catatan ketika mereka dewasa diberikan hak pilih

(khîyâr). Menurut al-Hasan dan ‘Atho; ini adalah pendapat Syaikh Ahl al-Ra’y, Ahmad dan Ishaq.4

Masalah pernikahan merupakan urusan hubungan antara manusia (mu’amalah) yang oleh agama hanya diatur dalam bentuk prinsip-prinsip umum. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas usia minimal dan maksimal untuk menikah dapat dianggap sebagai suatu rahmat. Maka, kedewasaan untuk menikah termasuk masalah ijtihadiah, dalam arti kata diberi kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas menikah.

Nabi Muhammad Saw. Melangsungkan akad nikah dengan ‘Aisyah ketika ia baru berusia enam tahun, dan dalam sembilan tahun istrinya itu telah digaulinya. Hal ini diakui sendiri oleh‘AisyahUmmm al-Muminîndalam hadits:

ﺎ ﻨ ﺛ ﺪ ﺣ

ﺎ ﻨ ﺛ ﺪ ﺣ

ﻦ ﻋ

ﻦ ﻋ

ﻦ ﻋ

ﺔ ﺸ ﺋ ﺎ ﻋ

ن أ

ﻲ ﺒ ﻨ ﻟ ا

ﻰ ﻠ ﺻ

ﻢ ﻠ ﺳ و

ﺖ ﻨ ﺑ

ﺖ ﺳ

ﺖ ﻠ ﺧ د أ و

ﺖ ﻨ ﺑ

ﻊ ﺴ ﺗ

ﺖ ﺜ ﻜ ﻣ و

ه ﺪ ﻨ ﻋ

ﺎ ﻌ ﺴ ﺗ

)

(

٥

4

HR: Bukhari dan Muslim, lihat Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr al-Marwazi,Ikhtilâf al-Ûlama’,(Beirut; Alim al-Kutub, 1985), hal. 125

5

Hadits No. 4840,Ahmd ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqâlani,Syûruh al-Hadît: Fath al-Bâri:


(53)

Berkata kepada kami Muhammad ibn Yusuf, berkata kepada Kami Sufyan dari Hisyam dari bapaknya, dari ‘Aisyah Ra, bahwa Nabi S.a.w. telah menikahinya

ketika ia berusia enam tahun, dan Rasulullah telah menggaulinya ketika dia berusia sembilan tahun.

Hadis ini hanya bersifat khabariyyah (kabar) belaka tentang perkawinan Nabi. Di dalamnya tidak dijumpai khîthâb (pernyataan), baik serupa khîthâb

al-talâb yang mesti diikuti atau pun khîthâb al-tark supaya ditinggalkan. Karena itu, pernyataan usia yang ada dalam hadits di atas tidak dapat disimpulkan sebagai pernyataan batas usia terendah kebolehan melangsungkan pernikahan bagi kaum wanita.

Batas usia untuk menikah bagi kaum pria juga tidak ada ketentuannya. Adanya seruan Nabi kepada kaum pemuda yang mampu melakukan pernikahan supaya menikah bukanlah suatu kemestian pembatasan usia, seperti hadits yang diriwayatkandari Abdullah bin Mas’ud:

ﻦ ﻋ

د ﻮ ﻌ ﺴ ﻣ ﻦ ﺑ ﷲ ﺪ ﺒ ﻋ

ل

:

:

)

(

٦

6 HR. Bukhari dan Muslim, lihat Abu Abdurrahman bin Syu’aib al

-Nasâi, Sunan

al-Nasâ’i, Juz VI, (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Auladih, tt), hal. 47. Lihat juga ‘Ibn Daqîq al-‘Abd, Syûruh al-Hadîts: Ihkâm al-Ihkâm


(54)

Dari Abdillah ibn Mas’ud berkata: Rasulullah Saw bersabda Hai para pemuda! Siapa saja di antara kamu yang sudah mampu menanggung biaya, maka hendaklah ia kawin, karena kawin itu membatasi pandangan dan menjaga kehormatan. Bagi siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi perisai baginya.

Kendati pun, al-Syabâb, jamak dari Syabb, berarti pemuda yang berusia sebelum 30 tahunan.7 Menurut para ulama, masalah usia dalam pernikahan sangat erat hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat dimengerti karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang meminta tanggung jawab dan dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Maka, setiap orang yang akan berumah tangga diminta kemampuannya secara utuh. Menurut bahasa Arab, “kemampuan” disebut ahlu yang berarti “layak, pantas”.8 Para ulama mendefinisikan kemampuan itu sendiri denganshalahuyyatuhu liwujûb al-huqûq

al-masyru’ah lahu wa ‘alaih, yaitu kepantasan seseorang untuk menerima hak-hak dan memenuhi kewajiban-kewajiban yang diberikan syara’.9

Kepantasan di sini berkaitan dengn ahliyyah al-wujûb(kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak), sedangkan kepantasan bertindak menyangkut kepantasan seseorang untuk dapat berbuat hukum secara utuh, yang dalam fikih disebut ahliyyah al-ada’ (kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain), menurut kesepakatan para ulama, yang menjadi dasar

7

Al-Rahawi, Syarh al-Manar wa Khawasyih min’Ilm al-Usul,(Mesir: Dar al-Sa’adah,

1315 H), hal. 930 8

Al-Rahawi, syarh al-Manar waKhawasyih min’Ilm al-Usul, (Mesir: Dar al-Sa’adah,

1315 H), hal. 930 9

Jurnal Sun Choirol Ummah, Kedewasaan untuk Menikah, (Yogyakarta: UNY, t.th,) hal. 45


(55)

kecakapan bertindak adalah akal. Apabila akal seseorang masih kurang, maka ia belum dibebani kewajiban. Sebaliknya, jika akalnya telah sempurna, ia wajib menunaikan beban tugas yang dipikulkan kepadanya. Berdasarkan hal ini, maka kecakapan bertindak ada yang bersifat terbatas (ahliyyah al-ada’ al-nuqshân) da nada pula yang bersifat sempurna (ahliyyah al-ada’ al-kâmilah). Kalau keterangan dan pembagian ini dihubungkan dengan perkawinan, maka timbul pertanyaan: usia berapakah seseorang dipandang cakap untuk membangun rumah tangga?

Sebelum menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu perlu diperhatikan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 6:









 

 







Artinya: Dan ujilah anak yatim itu olehmu sampai mereka cukup umur untuk

kawin. Kemudian, jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.

Pada dasarnya ayat ini berisi anjuran supaya memperhatikan anak yatim tentang keagamaannya.usaha-usahanya dan kelakuannya sehingga mereka dapat dipercaya. Orang yang dapat dipercaya secara sempurna berarti telah dapat diberi pertanggungjawaban secara penuh, atau dengan kata lain, orang itu telah dewasa. Ketika menafsirkan ayat di atas, Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa bulûgh al-nikâh berarti sampainya seseorang kepada umur untuk


(56)

menikah, yakni sampai bermimpi, pada umur itu, katanya, seseorang telah bisa melahirkan anak dan menurunkan keturunan, sehingga tergerak hatinya untuk menikah. Pada umur ini kepadanya telah dibebankan hukum-hukum agama, seperti ibadah dan muamalah serta diterapkannyahudud. Karena itu makarusyd adalah kepantasan seseorang dalam ber-tasharruf serta mendapatkan kebaikan. Hal ini merupakan bukti kesempurnaan akalnya.10 Menurut ulama Syafi’iyah, rusyd-nya anak kecil ialah apabila telah tampak kebaikan tindakannya dalam soal beragama dan harta benda.11

Bedasarkan uraian di atas, maka kedewasaan di tentukan dengan “mimpi” dan “rusyd”. akan tetapi umur mimpi danrusyd kadang-kadang tidak sama dan sukar ditentukan. Seseorang yang telah bermimpi adakalanya belumrusyddalam tindakannya. Hal ini dapat dibuktikan dalam tindakan sehari-hari. Karena itu, kedewasaan pada dasarnya dapat ditentukan dengan umur dan dapat pula dengan tanda-tanda.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat para ahli, sebagai berikut:

10

Muhammad Rasyid Ridha,Tafsîr al-Manâr,Juz IV, (Mesir: Al-Manar, 1325 H), hal. 387.

11

Abdul Rahman al-Jaziri,Kitâb al-Fiqh‘ala al-Mazdâhib al-Arba’âh,Juz II, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), hal. 353


(57)

1. Menentukan kedewasaan anak-anak dengan tanda-tanda ialah dengan datangnya tanda haid, kerasnya suara, tumbuhnya bulu ketiak, atau tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan.12

2. Menentukan kedewasaan dengan umur, terdapat berbagai pendapat,antara lain:

a) Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menentukan bahwa masa dewasa itu mulai 15 tahun. Walaupun mereka dapat menerima kedewasaan dengan tanda-tanda, seperti diatas, tetapi karena tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masakedewasaannya untuk peria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal. Dengan akallah terjadinya taklif, dan karena akal pulalah adanya hukum.13

b) Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datang mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka beralasan dengan “ketentuan dewasa menurut syarat ialah mimpi” , karenanya mendasarkan hukum kepada mimpi itu saja. Mimpi tidak diharapkan lagi datangnya bila usia telah 18 tahun. Umur antara 15 sampe 18 tahun masih

12

Abdul Rahman al-Jaziri,Kitâb al-Fiqh ‘ala al-Mazdâhib al-Arba’âh,Juz II, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), hal. 350.

13

Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dar al-urubah, 1964), hal. 603.


(58)

diharapkan datangnya. Karena itu ditetapkanlah bahwa umur dewasa itu pada usia 18 tahun.

c) Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern orang memerlukan persiapan yang matang, sebab mereka masih kurang pengalaman hidup dan masih dalam proses belajar. namun demikian kepada mereka sudah dapat diberikan beberapa urusan sejak usia 18 tahun.14

Meninjau apa yang ada dalam kitab-kitab fikih konvensional ini, dapat dibandingkan dengan hukum perkawinan di Indonesia yang menetapkan bahwa batas minimal usia perkawinan di Indonesia sejatinya adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Bagi mereka yang tidak mencapai usia ini maka harus meminta izin dari pengadilan, dan bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua. Menurut Muhammad Atho Mudzhar,15meskipun ketentuan ini tidak ada dalam kitab-kitab fikih pembatasan perkawinan ini sudah tidak lagi menimbulkan resistensi dari berbagai kelompok Islam, bahkan telah dianggap lumrah dan biasa.

Indonesia termasuk Negara yang cukup menoleransi perkawinan muda. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan Negara-negara lain dalam pembatasan usia nikah. Negara yang menerapkan usia 21 bagi laki-laki adalah Aljazair dan

14

Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah, 1964), hal. 602

15

Muhammad Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawwir


(59)

Bangladesh, serta 18 tahun bagi perempuan. Sementara Tunisia sama dengan Indonesia 19 tahun bagi laki-laki,hanya saja Tunisia membatasi 17 tahun untuk perempuan. Yang cukup banyak adalah usia 18 tahun bagi laki-laki, yaitu Mesir, Irak, Leanon, Libya, Maroko, Pakistan, Somalia, Yaman Selatan, dan Syuriah. Sisanya adalah dibawa 18 tahun, yakni Turki yang mematok umur 17 tahun untuk laki-laki, Yordania 17 tahun, dan yang paling rendaah adalah Yaman Utara 15 tahun bagi perempuan. Sementara untuk usia perempuan yang tertinggi adalah 18 tahun, yang diterapkan di Aljazair, Bangladesh, dan Somalia.16 Usia 17 tahun diterapkan di Tunisia, Suriah, dan Libanon, sedang yang sama dengan Indonesia 16 tahun untuk perempuan adalah Yaman Selatan, Pakistan, Malaysia, Libya, dan Mesir.17

Dari sekian banyak Negara, hanya Yordania yang menerapkan batasan perbedaan umur antara calon pasangan yang hendak kawin. Di Negara ini diatur bahwa jika jarak usia laki-laki dan perempuan itu lebih dari 20 tahun, sedangkan perempuan kurang dari 18 tahun maka pernikahan tersebut dilarang.18 Islam sejatinya tidak pernah melarang perkawinan antara orang tua dengan anak-anak.

16

Somalia mematok usia yang sama antara laki-laki dan perempuan, yaitu 18 tahun. 17

Tahir Mahmood,Personal Law in Islamic Countries,(New Delhy: Academy of law and Religion,1987), hal. 270; Dalam Konvensi Tentang Hak-hak Anak disebut bahwa seseorang dikatagorikan sebagai anak-anak ketika berusia di bawah 18 tahun. Lihat pasal 1 Konvenan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kompilasi Instrumen HAM Internasional, ( Jakarta: Komnas HAH, 2008), hal. 133.

18

Mohammad Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawwir


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Al-‘Abd, Ibn Daqîq. Syûruh al-Hadîts: Ihkâm al-Ihkâm Syarh ‘Umdah al-Ahkâm. Juz. II.T.t: Sunah al-Nasyr. 1995 M/1416 H

Al-Bukhârî, Shahih. Kitâb al-Nikâh, Bâb Inkâ Al-Rajul Waladahu As-Shighâr. No. 4840 , CD. Maktabah Syamilah

Al-Amien, Romzi,Fikih Perempuan.Yagyakarta: Pustaka Ilmu. 2011

Alhamdani, H.S.A.Risalah Nikah. Pengantar Metode Penelitian Hukum.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2008.

Al-Jaziri. Abdul Rahman.Kitâb al-Fiqh ‘ala al-Mazdâhib al-Arba’âh, Juz II. Beirut: Dâr al-Fikr. 1985

Al-Marwazi, Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr. Ikhtilâf al-Ûlama’. Beirut; Alim al-Kutub. 1985.

Al-Nasai, Abu Abdurrahman bin Syu’aib. Sunan al-Nasâ’i. Juz VI. Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Auladi. T.th Al-Rahawi. Syarh al-Manar wa Khawasyih min’Ilm al-Usul. Mesir: Dar al-Sa’adah.

1315 H

Al-Siba’i, Musthafa. Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan,_________. T.th

Anshari, A. Hafiz dan Yanggo Chuzaimah T. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: PT Pustaka Firdaus. 2009.

As-Syafi’i.Al-‘Ulamâ, Bâb al-Nikâh, fi Inkâh al-Shighâr wa al-Maznun._______T.th Audah, Abdul Qadir. al-Tasyrif al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I. Cairo: Dâr al-‘Urubah.

1964

Daradjat, Zakiyah.Perkawinan yang Bertanggung Jawab.Jakarta: Bulan Bintang. 1980


(2)

Dewi, Ika Sari, Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, (Medan: USU Repository. 2006

Elizabeth B, Hurlock. Development Psychology A Life-Span Approach. New York: McGraw-Hill. 1980

Hawari, Dadang. al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan. Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 1996

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia. 2008.

Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

Johariyah dan Ema Wahyu Ningrum. Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru lahir.Jakarta: Trans Info Media. 2012.

Joned, Ahilemah. Keupayaan Hak Wanita Islam Untuk Berkawin: Indah Khabar dari pada Rupa, Fauklti Undang-undang Unversitas Malaya, Makalah Undang-undang menghormati Ahamad Ibrahim. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia. 1988

Karim, Helmi, Kedewasaan untuk Menikah dalam Chuzaimah T. YanggodanHafisnshary (ed.), Problematika Hukum Islam Kontenporer. Jakarta: Pustaka al- Firdaus. 1994

Kharlie, Ahmad Tholabi.Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2013. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kompilasi Instrumen HAM Internasional.

Jakarta: Komnas HAM. 2008

Koran Jakarta “Kesehataan”.Minggu 12 April 2009, hlm. 12.

Mahmood Tahir. Personal law in Islamic Countries. New Delhy: Academy of law and Religion. 1987.

Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: penerbit Buku Kedokteran. 1996.


(3)

Muhaimin, Abdul Wahab Abd.Adopsi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gaung Persada (GP) Komplek Kejaksaan Agung RI Blok EI/3 Cipayung-Ciputat. 2010.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2004.

Mukhtar, kamal. Azas-azas Hukum Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang. 1993. Nasution, Khoiruddin. Status Wanita di Asia Tenggara. Leiden- Jakarta: INIS. 2002 Notoatmodjo, soekidjo. Metodologi Penelitian kesehatan. Jakarta: Reneka Cipta. 2005.

Nasition, Khoiruddin.Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim. Yogyakarta: Academia dan Tazzafa. 2009

Prawiroharjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. 2010.

Purwati, Erni. Asuhan Kebidanan Untuk Ibu Nifas. Jakarta: Cakrawala Ilmu. 2012. Rahardjo, Satjipto, hukum dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Genta Publishing. 2009.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN, Perkawinan Muda Dikalangan Perempuan: Mengapa...?, Seri I No.6/Pusdu-BKKBN/Desember 2011

Puspitasari, Retno Dwi. Gambaran Pengetahuan Ibu Remaja Putri tentang Dampak Pernikahan Usia Muda Pada Kesehatan Reproduksi di Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang. Ungaran: Program Studi Diploma III Kebidanan. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran. 2014

Rasyid, Sulaiman,Fiqih Islam.Jakarta: Attahiriyyah. 1955.

Ridha, Muhammad Rasyid.Tafsîr al-Manâr.Juz IV. Mesir: Al-Manar. 1325 H

Rosyadi, A. Rahmat Soeroso Dasar. Keluarga Berencana Ditintau Dari Hukum Islam.Bandung: Pustaka. 1406 H/1986.

S, Sulistiawati.Perempuan dan Hukum; menuju hukum yang berperspktif Kesetaraan dan Keadilan.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2006.


(4)

Sabiq, As-sayyidd,Fiqh as-Sunnah.Kairo: Dar al-fath. 1990.

Sarwono. Sarlito Wirawan. Memilih Pasangan dan Merencanakan Perkawinan” Dalam Bina KeluargaNo 99. Jakarta: BKKBN. 1981

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatau Tinjaun Singkat.Jakarta: PT. Grafindo Persada. 2007.

Suryoprajogo Nadine. Kupas Tuntas Kesehatan Remaja. Yogyakarta: Diglossia Printika. 2009.

Syahlan. Kebidanan Komunitas. Jakarta: Yayasan Bina Sumber Daya Kesehatan. 1996.

Syaifuddin.Anotomi Fisiologi.Jakarta: EGC.2006.

Syaltut, Mahmud.al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarîah.Cairo: Dâr al-Qolâm. 1986 Ummah, Sun Choirol.Kedewasaan untuk Menikah. Yogyakarta: UNY. T.th Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Watjik, Saleh.HukumPerkawinan Indonesia. Jakarta: BalaiAksara. 1987

Internet dan Media:

Dewasa, lebih lengkap: http://id.wikipedia.org/wiki/Dewasa. Diakses dari wikepedia pada tanggal 23 Maret 2014 Pukul 15:32 WIB

Ini Usia yang Tepat untuk Menikah, lebih lengkap lihat http://wolipop.detik.com/read/2014/04/25/193911/2566088/852/ini-usia-yang-tepat-untuk-menikah. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00

Nikah Ideal Itu, 20 Tahun Bagi Wanita, 25 Tahun Bagi Pria, lebih lengkap baca: http://www.merdeka.com/peristiwa/bkkbn-nikah-ideal-itu-20-tahun-bagi-wanita-25-tahun-bagi-pria.html. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00


(5)

Perbedaan Perkembangan Fisik Anak Perempuan & Laki-laki, Tabloid Nova, Selasa,

11 Februari 2014, lihat:

http://www.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Anak/Perbedaan-Perkembangan-Fisik-Anak-Perempuan-Laki-laki/

Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita. Lebih lengkap:

http://www.koran-jakarta.com/?8829-perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita. Diakses pada Koran Jakarta Kamis, 27 Maret 2014 02:00:00

Usia Ideal Wanita untuk Hamil dan Melahirkan, - lebih lengkap

http://bidanku.com/usia-ideal-wanita-untuk-hamil-dan-melahirkan#ixzz3Vsxhj38h. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00

Usia, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Umur, pada tanggal 15 Januari 2015 Pukul 15:00

Kesehatan Reproduksi Mencegah Pernikahan Dini, Majalah Suara‘AisyiyahEdisi 3, Maret 2014, lebih lengkap: http://aisyiyah.or.id/multimedia-archive/kesehatan-reproduksi-mencegah-pernikahan-dini/. Diakses pada tanggal 23 Maret 2015 Pukul 06: 45


(6)