5. Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat di rumah sakit: diet biasa, memantau tekanan darah 2x sehari, proteinuria 1 sehari, tidak memerlukan obat-obatan, tidak
memerlukan diuretik, kecuali jika terdapat edema paru, dekompensasi kordis atau gagal ginjal akut. Jika tekanan diastolik turun sampai normal pasien dapat
dipulangkan. Melakukan istirahat dan memperhatikan tanda-tanda pre-eklampsia berat, kontrol 2 kali seminggu, jika tekanan diastolik naik lagi maka rawat
kembali.
2.3.2 Penanganan Preeklampsia Berat
Menurut Saifuddin 2007, penanganan preeklampsia berat dan eklampsia 160110 mmHg dan preeklampsia disertai kejang. Penatalaksanaan pre-eklampsia
berat sama dengan eklampsia. Dengan tujuan utama menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan mengakhiri kehamilan secepatnnya digunakan cara yang aman
setelah keadaan ibu mengizinkan. Penanganan kejang:
a Memberikan obat antikonvulsan. b Perlengkapan untuk penanganan kejang jalan nafas, sedotan, masker oksigen,
oksigen. c Melindungi pasien dari kemungkinan trauma.
d Aspirasi mulut dan tenggorokan e Membaringkan pasien pada sisi kiri, posisi Trendelenburg untuk mengurangi risiko
aspirasi. f Memberikan O2 4-6 liter menit.
Menurut Saifuddin 2006 penanganan umum PreEklampsia Berat yaitu: 1 Jika tekanan darah diastolik 110 mmHg, berikan antihipertensi, sampai tekanan
diastolik di antara 90-100 mmHg. 2 Memasang infus Ringer Laktat dengan jarum besar 16 gauge atau lebih .
3 Mengukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload. 4 Kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan proteinuria.
5 Jika jumlah urin 30ml per jam, infus cairan dipertahankan 1 18 jam, memantau kemungkinan edema paru, tidak meninggalkan pasien sendirian.
Kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin. 6 Observasi tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin setiap jam.
7 Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru. Krepitasi merupakan tanda edema paru. Jika ada edema paru, menghentikan pemberian cairan, dan
berikan diuretik misalnya furosemide 40 mg IV. 8 Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside. Jika pembekuan tidak
terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati. Antikonvulsan: Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi kejang
pada preeklampsia. Alternatif lain adalah diazepam, dengan terjadinya depresi neonatal.
2.3.3 Indikator Keberhasilan Penanganan Preeklampsia
Menurut Saifuddin 2007 indikator keberhasilan pada penanganan pre- eklampsia sebagai berikut:
1. Preeklampsia ringan a. Tekanan darah menurun kurang dari 110 mmHg
b. Tidak terdapat proteinuria di dalam pemeriksaan urin air seni c. Tidak terjadi edema penimbunan cairan pada betis, perut, punggung, wajah
atau tangan. d. Mengkonsumsi makanan yang kaya serat dan rendah garam
2. Preeklampsia berat Keberhasilan dalam penanganan pre eklampsi berat adalah sebagai berikut :
a. Tekanan darah sistolik menurun di bawah 160 mmHg b. Tekanan darah diastolik menurun di bawah 110 mmHg
c. Penurunan kadar enzim hati dan atau ikterus kuning d. Trombosit di atas 100.000mm3
e. Menurunya kadar oliguria jumlah air seni lebih dari 400 ml 24 jam f. Proteinuria protein dalam air seni dibawah 3 gL
g. Tidak terjadi nyeri pada ulu hati h. Tidak mengalami gangguan penglihatan atau nyeri kepala bagian depan yang
berat i. Tidak terjadi perdarahan di retina bagian mata, tidak terjadi edema pada
paru dan koma. j. Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
k. Tidak terjadi kejang
l. Penderita kembali ke gejala-gejalatanda-tanda preeklampsia ringan diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu.
2.4 Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Penanganan Preeklampsia
Dalam penelitian ini keberhasilan penanganan preeklampsia dianggap sebagai perilaku. Skiner 1938 dalam Notoatmodjo 2007 mengatakan perilaku manusia
hasil dari pada segala macam pengalaman, serta interaksi manusia dengan lingkungannya. Dengan kata lain, perilaku merupakan responreaksi seorang individu
terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif tanpa tindakan : pengetahuan dan sikap maupun aktif tindakan yang
nyata atau praktek. Menurut Taufik 2007 perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas
organisme yang bersangkutan. Jadi pada hakikatnya perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri baik yang dapat diamati maupun yang
tidak dapat diamati secara langsung. Menurut Bloom dalam Notoatmodjo 2007 membagi perilaku dibagi dalam 3
tiga domain yaitu kognitif cognitive domain, afektif affective domain dan psikomotor psychomotor domain. Sementara Green menjelaskan bahwa perilaku
itu dilator belakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi predisposing factor, faktor pemungkin enabling factor dan faktor penguat
reinforcing factor.
a. Predisposing Factors, yaitu faktor-faktor yang mendahului perilaku yang memberikan dasar rasional atau motivasi untuk perilaku tersebut antara lain
pengetahuan, keyakinan, sikap, karakteristik tertentu dalam kaitannya dengan kepatuhan dan persepsi.
b. Enabling Factors, yaitu faktor-faktor yang mendahului perilaku yang memungkinkan sebuah motivasi untuk di realisasikan. Yang termasuk dalam
faktor ini adalah: 1 Ketersediaan sumberdaya kesehatan sarana kesehatan, rumah sakit dan
tenaga 2 Keterjangkauan sumberdaya dapat dijangkau baik secara fisik ataupun dapat
dibayar masyarakat, misalnya jarak sarana kesehatan dengan tempat tinggal, jalam baik, ada angkutan dan upah jasa dapat dijangkau masyarakat
3 Ketrampilan tenaga kesehatan
c. Reinforcing Factors, yaitu faktor-faktor yang mengikuti sebuah perilaku yang