Tinjauan Hukum Terhadap Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Pada Kasus Pembakaran Hutan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Juncto Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Penc

(1)

DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN

LEGAL REVIEW OF LIABILITY CRIME CORPORATE IN CASE OF BURNING FOREST LINKED WITH UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN

DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Menempuh Ujian Akhir Sarjana Program Studi Jurusan Ilmu Hukum

Fakultas Hukum

Oleh

Nama : Jajang Supriatna NIM : 31608776 Program Kekhususan : Hukum Pidana

Dibawah Bimbingan : Arinita Sandria, S.H.,M.Hum

NIP : 41273300006

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

2014


(2)

iv

Hlm LEMBAR PENGESAHAN

SURAT PERNYATAAN

KATA PENGANTAR ……….. i

DAFTAR ISI ……….……….... iv

ABSTRAK………...………... vii

ABSTRACT………...……….. ... viii

BAB IPENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Kegunaan Penelitian ... 12

E. Kerangka Pemikiran ... 13

F. Metode Penelitian ... 26

1. Spesifikasi Penelitian ... 26

2. Metode Pendekatan ... 26

3. Tahap Penelitian ... 27

4. Teknik Pengumpulan Data ... 28

5. Metode Analisis Data ... 29

6. Lokasi Penelitian ... 29

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERTGANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA PEMBAKARAN HUTAN A. Tinjauan Teoritis ... 31


(3)

v

3. Asas-Asas Hukum Pidana ... 37

4. Pertanggungjawaban Pidana ... 39

5. Ruang Lingkup Korporasi... 45

6. Ruang Lingkup Lingkungan Hidup ... 49

B. Ruang Lingkup Hutan ... 51

1. Pengertian Hutan ... 51

2. Dasar Hukum Kehutanan ... 55

3.Tindak Pidana Pembakaran Hutan ... 56

4. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan ... 58

a. Direct Corporate Criminal Liability ... 58

b. Strict Liablity ... 62

c. Vacarious Liability ... 64

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA PEMBAKARAN HUTAN A. Kasus Pembakaran Hutan oleh Korporasi ... 67

B. Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor: 235/PID.SUS/2012/PTR ... 72 BAB IV PEMBAHASAN

A. Implementasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pembakaran Hutan yang Dilakukan oleh Satu Perusahaan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Juncto


(4)

Undang-vi Pemberantasan Perusakan Hutan ... 87 B. Peranan Aparat Penegak Hukum dalam Menangani Kasus

Pembakaran Hutan Oleh Satu Perusahaan Dalam Tindak Pidana Korporasi ... 103 BAB V PENUTUP

A. Simpulan ... 108 B. Saran ... 109 DAFTARPUSTAKA………..………..……….……...…….. 111 DAFTAR RIWAYAT HIDUP


(5)

113 A. Sumber Buku

M. Arief dan Nursyam, Aspek Hukum penyelesaian Masalah Pencemaran dan Peruksakan Lingkungan Hidup, Satya Wacana, Semarang, 1991 Mahrus Ali. Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2012.

---. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011 Mien Rukmini. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan

Asas Persamaan kedudukan Dalam hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003.

Moeljatno, Asas-asa Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008

Muladi dan Dwidja Priyatmo, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Prenadamedia Group, Jakarta, 2010.

Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung 1992.

Muchtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni Bandung, 2000.

Muhammad Erwin. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijakan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008. Otje Salman Soemadiningrat dan Anton F.S, Teori Hukum Mengingat,

Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004.


(6)

---. Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008

PAF Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni Bandung, Bandung, 1986.

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003.

B. Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Undang-Undang Nomor. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.


(7)

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 Tentang pengelolaan Dan Pemantaun Lingkungan Kegiatan Kehutanan.

C. Sumber Internet

http://pengertian-definisi.blogspot.com, pengertian-definisi hutan.

http://news.detik.com/, Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan.

https://id.berita.yahoo.com, Kasus Pembakaran Hutan di Riau Meningkat. http://www.icel.or.id/, Menegak Komitmen, Menunggak Implementasi. http://nurainii13057.blog, Nuraini, Pengertian Kebakaran Hutan

http://krisnaptik.wordpress.com/category, Teori-teori-Hukum

http://usupress.usu.ac.id, Pengertian Pidana Menurut Para Ahli.

http://princemalekrove.blogspot.com, Pertanggungjawaban Pidana.

http://pengertian-definisi.blogspot.com, Spur, Pengertian Hutan

http://geografi-geografi.blogspot.com/, Emil Salim, Pengertian Lingkungan Hidup.

http://id.wikipedia.org, Subyek hukum ,

http://donxsaturniev.blogspot.com, Pengertian Pidana http://id.wikipedia.org/wiki/, Hutan.

http://www.badungkab.go.id.

http://www.tempo.co/read/news/2014/03/16/0605627. http://kawasan.bappenas.go.id/

http://sukatulis.wordpress.com http://www.mongabay.co.id/ http://www.riaugreen.com/


(8)

.

D. Sumber Lain

Putusan Pengadilan Tinggi Riau : Putusan Nomor: 235/PID.SUS/2012/PTR


(9)

i Bismillhirrahmanirrahim,

Allahumma Shalli’ alla Muhammad wa aali Muhammad

Assalamu’alaikum wr.wb.

Segala puji serta syukur peneliti panjatkan kepada Allah S.W.T. yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi besar kita Muhammad S.A.W., bahwa peneliti masih diberikan kesempatan untuk dapat mensyukuri segala nikmat-Nya, berkat taufik dan hidayah-Nya, Peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA KORPORASI PADA KASUS PEMBAKARAN HUTAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN”.

Peneliti sangat menyadari bahwa dalam pembuatan penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun sistematika pembahasan dan tata bahasa, sehingga kiranya masih banyak yang perlu dipahami dan diperbaiki. Peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang

insya Allah dengan kritik dan saran tersebut, diharapkan dapat memperbaiki kekurangan dikemudian hari.

Pada proses penyusunan skripsi ini, peneliti mendapatkan bantuan dari banyak pihak, khususnya kedua orang tua peneliti. Peneliti juga mengucapkan banyak terimakasih dengan penuh rasa hormat kepada Ibu Arinita Sandria, S.H.,M.Hum. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga,


(10)

ii pikiran, dan kesabarannya untuk membimbing dalam penelitian dan penulisan Skripsi ini, selain itu dalam kesempatan ini Peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, Msc. selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;

2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Umi Narimawati, Dra. S.E., M.Si. selaku Wakil Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

3. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., M.S., A.K. selaku Wakil Rektor II Universitas Komputer Indonesia;

4. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, selaku Wakil Rektor III Universitas Komputer Indonesia;

5. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Universitas Komputer Indonesia;

7. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

8. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

9. Yth. Bapak Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

10. Yth. Ibu Farida Yulianti, S.H., S.E., M.M. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

11. Yth. Ibu Yani Brilyani Tapivah, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;


(11)

iii 12. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A.Md. selaku Staff Administrasi Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

13. Yth. Bapak Muray selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

14. Sahabat dan Teman-teman terdekat Peneliti yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Khaerani ImaLiyati , kemudian kepada teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia yaitu Wahyu Samsul Hidayat, Rizky Adiputra, Rhamdan Maulana, Widia Magdewijaya, Farhan Aziz, Ricky Haryanto Nugroho, Meiza Soraya Khaerunnisa, Ivan Rynaldi Setiawan, Adek Wahyudin, Arman Marlando, Wiko Putra Dhiarta, Fitria Yanuari, Dian Pratama Sandi, Endang Mukti Aristanti dan Mochamad Baasith Awaludin yang selalu mendukung dan memberi semangat dalam menyelesaikan Skripsi ini. Semoga segala sesuatu dan pengorbanan yang ditujukan dan diberikan baik moril maupun materil kepada Peneliti, mendapatkan imbalan yang berlipat ganda dari Allah S.W.T. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang serta berada dalam perlindungan-Nya.

Akhir kata Peneliti mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah S.W.T., karena atas ijin-Nya Peneliti dapat menyelesaikan Penulisan Skripsi ini. Semoga Skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan peneliti sendiri.

Wassalammualaikum wr.wb.

Bandung, Agustus 2014


(12)

Nama : Jajang Supriatna

Tempat Tanggal Lahir : Garut, 19 Pebuari 1985

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat :Kp. Areung Panarikan Desa/Kec Cikajang Kabupaten Garut

Telepon : 0822-1484-9397

Email : supriatnajajang86@gmail.com

Pendidikan Formal :

- SD Negeri Padasuka Cikajang - SMP Muhammadiyah 5 Bandung - SMA Plus Muthahhari Bandung

Daftar riwayat hidup ini di buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada rekayasa yang melebih-lebihkan.


(13)

(14)

1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Negara hukum mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, berbicara tentang korporasi tidak bisa melepaskan pengertian tersebut dari bidang hukum perdata. Korporasi merupakan terminologi yang erat kaitanya dengan badan hukum (rechtpersoon), dan badan hukum itu sendiri merupkan terminologi yang erat dengan bidang hukum perdata 1.

Secara etimologis korporasi berasal dari bahasa Belanda (corporatie), Inggris (corporation), German (corporation), Bahasa latin (corporatio), seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan kata tio, corpora sebagai kata benda berasal dari kata kerja Corporare.

Corporare sendiri berasal dari kata corpus (badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Corporatio itu berasal dari hasil pekerjaan membadankan. Badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap manusia yang terjadi menurut alam 2.

Korporasi diartikan sebagai suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai subjek hukum tersendiri atau suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang

1 Muladi dan Dwidja Priyatmo, Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi, Prenadamedia Group, Jakarta, 2010, Hlm.23.

2 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm.1.


(15)

beranggota serta memiliki hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing 3.

Definisi mengenai korporasi dalam hukum pidana dibedakan dalam dua pendapat yaitu 4:

1. Pendapat yang sempit mengatakan bahwa korporasi adalah kumpulan dagang yang sudah berbadan hukum.

2. Pendapat luas mengatakan bahwa korporasi tidak perlu harus berbadan hukum, cukup bahwa terdapat kumpulan manusia baik dalan hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya.

A.Z. Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realita sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu 5.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, korporasi adalah suatu perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota manapun mempunyai kekuasan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagi alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi 6.

Satjipto Rahardjo mendefiniskan korporasi sebagai suatu badan hasil ciptaannya hukum. Badan hukum yang diciptakannya itu terdiri dari

corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukan unsur animus yang membuat badan hukum itu mempunyai kepribadian.

3Ibid, Hlm.2.

4

Loeby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Datacom, Jakarta, 2002, Hlm.32

5 Muladi dan Dwidja Priyatmo, Op.cit, Hlm 24. 6 Wurjono Prodjodikoro, Dikutif dalam Ibid, Hlm.27.


(16)

Badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum 7.

Menurut Utrecht korporasi ialah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan bertindak bersama-sama sebagai subjek hukum tersendiri suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing 8.

Korporasi sebagai subjek hukum dapat terjadi karena berbagai macam alasan dan motivasi. Salah satu alasan mengapa korporasi diakui sebagi subjek hukum adalah untuk memudahkan menentukan siapa yang bertanggungjawab bila terjadi tindak pidana korporasi.

Korporasi mempunyai hak kewajiban sendiri dan terpisah dari hak dan kewajiban masing-masing anggota, juga memiliki karateristik yang berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan oleh manusia. Hal ini dapat dilihat dari pengertian tindak pidana itu sendiri untuk melihat perbedaannya.

Tindak pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana, bagi barang siapa yang melanggar ancaram tersebut 9.

Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dalam hukum positif sudah diakui bahwa korporasi dapat dipertanggungjawaban secara pidana, dan dapat dijatuhkan pidana.10 Tindak pidana korporasi adalah

7 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni Bandung, Bandung, 1986, Hlm.110.

8 Muladi dan Dwidja Priyatmo, Op.cit, Hlm 25.

9 Moeljatno, Asas-asa Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, Hlm.59.


(17)

tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum 11. Hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggora-anggota badan pengurus atau komisaris, maka pengurus, anggota-anggota pengurus badan pengurus atau komisaris bila terbukti ikut campur maka dijatuhkan pidana.

Pertanggungjawaban terhadap pidana korporasi, terdapat beberapa model pertanggungjawaban sebagai berikut 12:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab.

2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab. 3. Korporasi sebagi pembuat dan juga sebagai yang

bertanggung jawab

Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana, sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Dasar pemikirannya adalah : korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawaban terhadap suatu pelanggaran, tetapi selalu penguruslah yang melakuakan delik itu, dan karenanya penguruslah yang diancam dengan pidana dan dipidana 13.

Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab, maka ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat. Pengurus

11Ibid.Hlm.127. 12Ibid.Hlm.86.

13 Roeslan Saleh, Tentang Tindak-Tindak Pidana dan


(18)

ditunjuk sebagai yang bertanggung jawab, yang dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya.

Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, bahwa ternyata untuk beberpa delik tertentu, ditetapkan pengurus saja yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Dipidanannya pengurus tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik oleh atau suatu korporasi diperlukan pula untuk memungkinkan memidana korporasi dan pengurus 14.

Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana muncul tidak melalui penelitian para ahli yang mendalam, tapi sebagi akibat dari kecenderungan dari formalisme hukum (legal formalism). Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi telah berkambang tanpa adanya teori yang membenarkannya. Penerimaan korporasi sebagai subjek hukum lanyaknya manusia melalui perasaan pengadilan. Hakim di dalam sistem common law melakukan suatu analogi atas subjek hukum manusia, sehingga korporasi juga memiliki indentitas hukum dan penguasan kekayaan dari pengurus yang menciptakannya 15.

Pertanggungjawaban korporasi awalnya didasarkan pada doktrin

respondeat superior, suatu doktrin yang menyatkan bahwa korporasi sendiri tidak bisa melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan. Hanya agen-agen yang bertindak untuk dan atas nama korporasi saja yang dapat melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan.

14 Muladi dan Dwidja Priyatmo, Op.cit, Hlm 91. 15 Mahrus Ali, Op.cit, Hlm.99.


(19)

Pertanggungjawaban korporasi merupakan suatu bentuk atas tindakan orang lain/agen (vicarious liability), di mana bertanggung jawab atas tindak pidana dan kesalahan yang dimiliki oleh para agen 16.

Korporasi bisa bergerak di bidang, pertambangan, perkebunan, pasar modal dan lain-lain. Koporasi yang bergerak di perkebunan menjadikan hutan sebagai lahan untuk kegiatan perusahaannya. Hutan adalah suatu wilayah yang memiliki banyak tumbuh-tumbuhan lebat yang berisi antara lain pohon, semak, paku-pakuan, rumput, jamur dan lain sebagainya serta menempati daerah yang cukup luas. Negara Kita Indonesia memiliki kawasan hutan yang sangat luas dan beraneka ragam jenisnya dengan tingkat kerusakan yang cukup tinggi akibat pembakaran hutan, penebangan liar, dan lain sebagainya 17.

Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropismaupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar. Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas 18.

Pengertian hutan bisa pula disebut sebagai salah satu bentuk kehidupan di dunia yang mana terdiri dari suatu kumpulan tumbuhan dan terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas. Hutan bisa ditemukan pada daerah dengan

16Ibid, Hlm.100

17 Gondam64,http://www.organisasi.org/1970/01, Diakses Pada Hari Kamis Tanggal 24 April 2014, Pukul 17.30 WIB.

18 http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan Diakses Pada Hari Sabtu Tanggal 10 Mei 2014, Pukul 19:12 WIB


(20)

iklim tropis, dingin atau berada di dataran rendah atau pegunungan di seluruh dunia 19.

Menurut Spurr , hutan dianggap sebagai persekutuan antara tumbuhan dan binatang dalam suatu asosiasi biotis. Asosiasi ini bersama-sama dengan lingkungannya membentuk suatu sistem ekologis dimana organisme dan lingkungan saling berpengaruh di dalam suatu siklus energi yang kompleks 20.

Hutan memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, mulai dari pengatur tata air, paru-paru dunia, sampai pada kegiatan industri. Pamulardi menerangkan bahwa dalam perkembangannya hutan telah dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, antara lain pemanfaatan hutan dalam bidang Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, manfaat hutan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu 21:

1. Manfaat terlihat (tangible) atau manfaat langsung hutan antara lain kayu, hasil hutan, dan lain-lain.

2. Manfaat tidak terlihat (intangible) atau manfaat tidak langsung hutan antara lain : pengaturan tata air, rekreasi, pendidikan, kenyamanan lingkungan, dan lain-lain.

19

Chy Rohmanah, http://blogging.co.id/, Diakses Pada Hari Sabtu Tanggal 10 Mei 2014, Pukul 19:12 WIB

20 Spur, dikutip dalam http://pengertian-definisi.blogspot.com, Diakses Pada hari Minggu Tanggal 11 Mei 2014, Pukul 18:50 WIB

21 http://karyaarido.blogspot.com, Diakses Pada hari Minggu Tanggal 11 Mei 2014, Pukul 18:58 WIB


(21)

Sumber daya hutan dapat dimanfaatkan secara optimal, maka kawasan hutan dibedakan menjadi beberapa kelompok berdasarkan fungsinya, yaitu 22:

1. Hutan Lindung 2. Hutan Produksi 3. Hutan Suaka Alam 4. Hutan Wisata

Kebakaran hutan merupakan suatu faktor lingkungan dari api yang memberikan pengaruh terhadap hutan, menimbulkan dampak negatif maupun positif. kebakaran hutan yang terjadi adalah akibat ulah manusia maupun faktor alam. Penyebab kebakaran hutan yang terbanyak karena tindakan dan kelalaian manusia. Ada yang menyebutkan hampir 90% kebakaran hutan disebabkan oleh manusia sedangkan hanya 10% yang disebabkan oleh alam 23.

Menurut Kamus Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Kebakaran Hutan (Wild Fire Free Burning, Forest Fire) didefinisikan sebagai 24: Kebakaran yang tidak disebabkan oleh unsur kesengajaan yang mengakibatkan kerugian. Kebakaran terjadi karena faktor-faktor:

1. Alam (misalnya musim kemarau yang terlalu lama)

22

http://dhy-tha.blogspot.com, Diakses Pada hari Minggu Tanggal 11 Mei 2014, Pukul 19:30 WIB

23 Nuraini, Pengertian Kebakaran Hutan, http://nurainii13057.blog, Diakses Pada Hari Sabtu Tanggal 10 Mei 2014, Pukul 19:12 WIB

24

http://pengertian-definisi.blogspot.com, Diakses Pada Hari Sabtu Tanggal 11Mei 2014, Pukul 20:12 WIB


(22)

2. Manusia (misalnya karena kelalaian manusia membuat api di tengah-tengahhutan di musim kemarau atau di hutan-hutan yang mudah terbakar.

Kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia terjadi karena faktor manusia. Fenomena yang terjadi seperti bencana asap akibat kebakaran hutan di Riau melahirkan masalah kesehatan bagi masyarakat. Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama pada Tempo, 16 Maret 2014, tercatat, ada 8 masalah kesehatan yang mengancam warga Riau dan sekitarnya 25.

1. Kabut asap menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan, serta menyebabkan reaksi alergi, peradangan dan juga infeksi.

2. Kabut asap dapat memperburuk asma dan penyakit paru kronis lain, seperti bronkitis kronik.

3. Kemampuan kerja paru menjadi berkurang dan menyebabkan orang mudah lelah dan mengalami kesulitan bernapas.

4. Bagi yang berusia lanjut dan anak-anak, mereka yang punya penyakit kronik dengan daya tahan tubuh rendah serta wanita yang sedang hamil, akan lebih rentan untuk mendapat gangguan kesehatan.

5. Kemampuan paru dan saluran pernapasan mengatasi infeksi berkurang, sehingga menyebabkan lebih mudah terjadi infeksi.

25 http://www.tempo.co/read/news/2014/03/16/06056278, Diakses Pada Hari Kamis Tanggal 24 April 2014, Pukul 19.30 WIB.


(23)

6. Berbagai penyakit kronik juga dapat memburuk.

7. Bahan polutan di asap kebakaran hutan yang jatuh ke permukaan bumi menjadi sumber polutan di sarana air bersih dan makanan yang tidak terlindungi.

8. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) lebih mudah terjadi, utamanya karena ketidakseimbangan daya tahan tubuh, pola bakteri, atau virus, dan buruknya faktor lingkungan.

Pembukaan lahan perkebunan yang dilakukan PT. Mekarsari Alam Lestari (MAL) dilakukan dengan cara pembakaran, karena abu dari perkebunan ini sangat berguna untuk mengubah PH (derajat keasaman) tanah yang bagus buat kelapa sawit. Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang mengadili perkara pidana dalam tinggkat banding. Menjatuhkan putusan hanya buat para terdakawa sedangkan buat perusahaannya tidak ada.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang akan dituangkan dalam bentuk Penulisan Skripsi yang berjudul: “Tinjaun Hukum Terhadap Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Pada Kasus Pembakaran Hutan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Juncto Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan”


(24)

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pembakaran hutan yang dilakukan oleh Korporasi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Juncto

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan?

2. Bagaimana peranan aparat penegak hukum dalam menangani kasus pembakaran hutan oleh satu perusahaan dalam tindak pidana korporasi?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pembakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Juncto Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

2. Untuk mengetahui dan menganalisis peranan aparat penegak hukum dalam menangani kasus pembakaran hutan oleh satu perusahaan dalam tindak pidana koporasi.


(25)

D. Kegunaan Penelitian

1. Keguanaan Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Pidana dan Hukum Lingkungan Hidup pada khususnya serta memberikan manfaat kepada pemerintah dalam perumusan kebijakan, sebagai referensi bagi mahasiswa, akademisi, dan masyarakat secara umum dan lingkungan hidup.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi kepustakaan mengenai hukum pidana dan Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkunagan hidup.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini di harpakan dapat memberikan manfaat serta gamabaran yang dapat disumbangkan kepada pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan lembaga penegak hukum yang terkait dalam rangka penyelesaian perkara tindak pidana kebakaran hutan yang melibatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana


(26)

E. Kerangka Pemikiran

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 menyebutkan bahwa:

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Berdasarkan hal di atas, pemerintah harus memberikan perlindungan hukum kepada seluruh masyarakat sebagai pencerminan pemerintahan yang melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, termasuk masalah mengenai pembakaran hutan yang terjadi di Riau.

Pembukaan alinea keempat, menjelaskan tentang Pancasila yang terdiri dari lima sila. Pancasila secara substansial merupakan konsep yang luhur dan murni. Luhur karena mencerminkan nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun temurun dan abstrak. Murni karena kedalamannya substansi yang menyangkut beberapa aspek pokok, baik agamis, ekonomi, ketahanan, sosial dan budaya yang memiliki corak partikular 26 .

26

Otje Salman Soemadiningrat dan Anton F.S, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004, Hlm 156


(27)

Negara indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, merupakan penegasan dari Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

“ Negara Indonesia adalah negara hukum ”.

Penegasan di atas dapat dipahami dan dimengerti bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum. Indonesia Negara hukum menerima ideologi untuk menciptakan adanya keamanan dan ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menghendaki agar hukum ditegakan, artinya hukum harus dihormati dan ditaati oleh siapa pun tanpa kecuali oleh seluruh masyarakat.

Konsep persamaan kedudukan dalam hukum menurut Undang-undang Dasar 1945 adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukan masing-masing. Kesamaan dihadapan hukum yang beraarti setiap warga negara diperlakukan adil oleh pemerintah, disisi lain warga negara juga wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku 27.

Masyarakat terdiri dari invidu-individu ataupun kelompok-kelompok sosial, di dalam kehidupan masyarakat tersebut terjadi suatu interaksi antar tiap anggota masyarakat yang memiliki kepentingannya masing-masing. Adanya berbagai kepentingan tersebut yang mengaturhubungan antara masyarakat tersebut agar dapat menjamin

27 Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak

Bersalah dan Asas Persamaan kedudukan Dalam hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003, Hlm. 24.


(28)

keseimbangan atas kepentingan-kepentingan tiap individu sehingga tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat 28.

Adanya ketentuan tersebut maka timbul apa yang dinamakan hukum, hukum yaitu aturan hidup yang mengatur hubungan antara manusia yang hidup bersama dalam suatu kumpulan manusia atau masyarakat 29.

Karl von Savigny mendifinisikan hukum sebagai aturan yang terbentuk melalui kebiasan dan perasaan kerakyatan. Marxist mengatakan bahwa hukum adalah suatu pencerminan dari hubungan ekonomis dalam masyarakat pada suatu tahap perkembangan tertentu30.

Beberapa rumusan tentang hukum tersebut maka data diambil kesimpulan bahwa hukum meliputi beberapa unsur 31.

1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.

2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.

3. Peraturan bersifat memaksa.

4. Sanksi terhadap perlanggaran peraturan tersebut tegas. Hukum sebagai suatu aturan berupaya untuk mengatur perilaku manusia melalui kaidah-kaidahnya untuk mencapai suatu tujuan hukum

28 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 1992, hlm.38.

29 Muchtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni Bandung, 2000, Hlm.14.

30 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.2004,hlm.3.


(29)

yang maksimal. Tujuan hukum oleh beberapa ahli disebutkan sebagi berikut 32.

1. Tujuan hukum menurut Aristoteles bahwa keadilan meliputi keadilan distributif, komutatif, vindikatif. Protektif dan legalis. 2. Van Apeldorn sebagai pendukung teori campuran yang

meliputi etis keadilan dan kegunaan mengatakan bahwa tujuan hukum tercapai jika hukum telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat. Mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil.

Pengertian hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses di dalam mewujudkan berlakunya kaidah hukum itu dalam kenyataan. Kata asas dan kaidah ini menggambarkan hukum sebagai suatu gejala normatif sedangkan kata lembaga dan proses menggambarkan hukum sebagai suatu gejala sosial.

Berdasarkan hal tersebut, maka hukum tidak boleh ketinggalan dalam proses pembangunan, sebab pembangunan yang berkesinambungan menghendaki adanya konsepsi hukum yang mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari tujuan hukum modern, salah satu tujuan hukum yaitu keadilan menurut Pancasila yaitu keadilan yang seimbang, artinya adanya keseimbangan


(30)

diantara kepentingan individu, kepentingan masyarakat dan kepentingan penguasa 33.

Sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (selanjutnya disebut RPJMN) tahun 2010 sampai 2014, ruang lingkup pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup meliputi revitalisasi pertanian, dan perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan perbaikan fungsi lingkungan hidup 34.

Pelaksanaan dari kebijakan ini memberikan hasil terhadap meningkatnya peran sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam perkembangan perekonomian nasional. Hal ini dicerminkan dengan semakin meningkatnya kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor-sektor yang berbasis sumber daya alam dan lingkungan hidup terhadap pembentukan PDB nasional selama periode tersebut. Selain itu, sektor-sektor yang berbasis sumber daya alam dan lingkungan hidup juga menjadi tumpuan utama bagi sebagian besar tenaga kerja, terutama di perdesaan dan pesisir. Sementara itu, pengelolaan SDA dan LH terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kelestarian lingkungan hidup.

Upaya ini dilakukan melalui peningkatan kualitas sumber daya air, rehabilitasi dan konservasi hutan dan lahan, pengelolaan sumber daya kelautan, serta peningkatan kualitas daya dukung lingkungan hidup. Dengan semakin meningkatnya isu perubahan iklim global, upaya

33 Otje Salman Soemadiningrat dan Anton F.S, Teori Hukum, Refika Aditama,

Bandung, 2007, Hlm 158.

34 http://kawasan.bappenas.go.id/, Diakses Pada Hari Sabtu Tanggal 23 Mei 2014, Pukul 16:12 WIB


(31)

adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim terus meningkat selama periode tersebut.

Korporasi memiliki peranan yang sangat besar dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk pembangungan nasional. Termasuk pembangunan nasional telah menempatkan korporasi sebagai subjek pembangunan yang memiliki peranan yang besar dalam kemajuan pembangunan nasioanal.

Perkembangan korporasi dalam waktu singkat menjadi sangat cepat dan pesat karena sifatnya yang ekspansif menjangkau seluruh wilayah bisnis yang mempuni kemampun utuk tumbuh dengan subur dan mendatangkan keuntungan, hal ini semakain menempatkan korporasi ditengah kehidupan masyarakat.

Menurut Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan: “Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum mapun yang tidak berbadan hukum”

Korporasi sebagai subjek hukum dapat terjadi karena berbagai macam alsan dan motivasi. Salah satu alasan mengapa korporasi diakui sebagai subjek hukum adalah untuk memudahkan menentukan siapa yang bertangungjawab diantara mereka yang terhimpun dalam badan tersebut. Korporasi sebagai subjek pertama kali diakui oleh hukum perdata, kemudian hukum pajak, hukum adminstrasi dan hukum pidana.

Dapatnya suatu korporasi melakukan perbuatan pidana dan atas perbuatannya tersebut korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana, telah diadopsi dalam beberapa peraturan


(32)

perundang-undangan antanra lain Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah mengenal korporasi sebagai subjek hukum selain orang pribadi. Perkembangan konsep ini adalah akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam menjalankan aktivitas usaha 35.

Pada Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah menerima keberadaan korporasi sebagi subjek hukum. Sebagai subjek korporasi harus memperhatikan hak dan kewajiban masayarakat sebagai subyek hukum dalam lingkungan. Hak masyarakat pada lingkun diatur dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa:

“Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.”

Kewajiban masyarakat terhadap lingkungan diatur pada Pasal 67 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa :

“Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup”

35 Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada media, Jakarta, 2010, Hlm. 92


(33)

Definisi dari setiap orang pada kedua pasal tersebut adalah termasuk korporasi sebagaimana terdapat dalam pasal 1 ayat (32) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga baik hak dan kewajiban juga berlaku untuk subjek hukum korporasi . hal ini selaras dengan amanat dari Pasal 33 ayat (3) Undang-undang dasar 1945 yang menjadi landasan konstitusional yang menyatakan bahwa :

“Bumi dan air an Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup :

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas prinsip ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Pasal tersebut mewajibkan bahwa sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat dinikmati generasi masa kini dan generasi masa depan secara berkelanjutan, dengan demikian pembangunan yang melibatkan korporasi terkhusus yang bergerak di bidang sumber daya alam dan berhubungan dengan lingkungan hidup harus memperhatian aspek perlindungan dan pelestarian lingkungan sehingga pembangunan tidak menyebabkan rusaknya lingkungan yang akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat sekarang dan yang akan datang.


(34)

Lahirnya konsep badan hukum sebagai subjek hukum bermula dari manusia-manusia yang mempunyai kepentingan bersama, memperjuangkan suatu tujuan tertentu, berkumpul dan mempersatukan diri, mereka menciptakan suatu organisasi, memilih pengurusnya yang akan mewakili mereka, memasukan dan mengumpulkan harta kekayaan,menetapkan, peraturan-peraturan tingkah laku untuk mereka dalam hubungan suatu sama lain. Satu kesatuan ini memilik hak terpisah dari hak para anggotanya. Jadi dengan demikian pergaulan hidup menghendaki bahwa adanya suatu subjek hukum yang beru terlepas dari manusia-manusia dari anggota kesatuan itu.

Perkembangan korporasi sebagai subjek hukum secara garis besarnya dibagi menjadi tiga tahap 36.

1. Tahap pertama, ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (naturalijke persoon). Apabila suatu tindak terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana ini dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Tahap ini membebankan “tugas mengurus” (zorgplicht) kepada pengurus.

Tahap ini sebenarnya merupakan dasar bagi Pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa: “ Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.”


(35)

Berdasarkan bunyi pasal di atas sangat dipengaruhi oleh asas

societas delinguere nonpotest yaitu badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.

2. Korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana akan tetapi yang dapat dipertanggungjawankan secara pidana, adalah para pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut, dan hal ini dinyatakan secara tegas dalam perundang-undangan yang mengatur tentang hal tersebut. 3. Merupakan permulaan adanya tanggung jawab langsung dari

korporasi yang dimulai pada waktu dan setelah perang Dunia II. Tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan memintita pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Peraturan perundang-undang yang menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan secara langsung dipertanggungjawabkan secar pidana.

Mengenai kedudukan badan hukum sebagi subjek hukum terdapat dua teori yang saling bertentangan 37.

1. Teori Fictie dari Von Savigny yang mengatakan bahwa badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum hanya suatu fictie saja yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam bayanganya suatu pelaku umum yang sebagai subjek hukum diperhitungkan sama dengan manusia.

37 Ali rido, Badan Hukum dan kedudukan Badan Hukum, Perseroan,


(36)

2. Teori Organ dari Otto van Gierke yang menggap bahwa badan hukum adalah suatu realitas sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian dalam manusia ada di dalam pergaulan hukum. Hal ini tidak hanya suatu pribadi yang sesungguhnya, tetapi badan hukum juga mempunyai kehendak atau kemauan sendiri yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapannya. Hal yang di putuskan adalah kehendak atau kemauan dari badan hukum. Teori ini menggambarkan badan hukum sebagai suatu yang tidak berbeda dengan manusia.

Hukum dapat dibagi dalam beberapa golongan atau kategori berdasarkan suatu ukuran, salah satunya adalah berdasarkan isinya. Ulpianus menggolongkan Hukum berdasarkan isi atu subtansinya dibagi menjadi dua , yaitu hukum publik dan hukum privat 38.

Utrecht melihat bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi istimewa yang melindungi baik kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan hukum privat maupun kepentingan peraturan hukum publik 39.

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Definisi di atas dikatan bahwa hukum pidana memberikan suatu hukuman yang berupa penderitaan atau siksaan.

38 http://sukatulis.wordpress.com, Diakses Pada hari Senin Tanggal 12 Mei 2014, Pukul 3:31 WIB

39 Utrech, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Bandung, 1994.Hlm,65.


(37)

Sebagai hukum yang membuat sanksi istimewa ini hukum pidana mempunyai kedudukan sendiri 40.

Menurut Vos adanya suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undang diberi hukuman adalah suatu peristiwa pidana. Perbuatan pidana sebagaimana yang disebut sebagai peristiwa pidana (delik) oleh Utrech adalah suatu perbuatan manusia (menssjelijke handeling) di dalam pertentangan ( eeb handeling van een mens in conflict) dengan beberapa kaidah sosial tertentu di masyarakat di mana manusia itu hidup 41. Menurut Moeljatno bahwa dalam pengertian perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana 42.

Penghukuman seseorang bergantung pada dua hal, yaitu adanya kelakuan yang bertentangan dengan hukum dan adanya seseorang pembuat kelakukan yang bertentangan dengan hukum itu yang bertanggungjawab atas kelakuan tersebut 43.

Pertanggungjawaban menurut Roscoe Pound adalah suatu situasi yang di dalamnya menurut hukum seseorang boleh menagih dan menurut hukum seseorang lain tunduk pada penagihan tersebut. Pertanggungjawaban menurut hukum alam adalah delik dan kontrak. Pertanggungjawaban tanpa kesalahan adalah bersifat quasi-deling 44.

40 Utrech, Op.cit, Hlm 66. 41 Utrech, Op.cit, Hlm 114

42 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.2002 43 Utrech, op.cit, Hlm259

44 Satochid Kartangera, Hukum Pidana Bagian1, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Hlm.96


(38)

Roscoe Pound juga membagi tiga macam pertanggungjawaban atas delik yaitu 45:

1. Pertanggungjawaban atas kerugian dengan sengaja.

2. Pertanggungjawaban atas kerugian karena kealpaan dan tidak disengaja

3. Pertanggungjawaban dalam perkara tertentu atas perugian. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana mensyaratkan adanya kesalahan atau schuld. Pandangan bahwa manusia sebagai subjek hukum pidana sangat berkaitan dengan asas geen straf zonder shuld, di mana tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Menurut Simons kesalahan adalah adanya keadaan phychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hinggaorang itu dapat dicela 46.

Peraturan perundang-undangan yang menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dianut pandangan yang luas, hal ini dapat terlihat salah satunya dalam Pasal 1 ayat (32) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa :

“Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum mapun yang tidak berbadan hukum”

Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa :

45 http://krisnaptik.wordpress.com/category/teori-teori-hukum/ Diakses pada tanggal 8 Mei 2014, pukul 4.30 WIB


(39)

“(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a. Badan usaha

b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkungan kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama”

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai pertanggungjawaban tindak pidana korporasi pada kasus pemabakaran hutan dengan melihat pada masalah-masalah yang ada pada masa saat ini (aktual).

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah secara yuridis normatif, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan mengutamakan penelitian kepustakaan atau disebut juga penelitian data sekunder, berupa hukum positif dan implementasinya dalam praktik.


(40)

3. Tahap Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap,yaitu : a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Langkah ini dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer berupa bahan hukum yang mengikat yaitu peraturan perundang-undangan, Peraturan dasar yang mencakup Undang Dasar 1945 , Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerukasan hutan, Kitab Undang-Undang Hukup Pidana , Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dimaksudkan untuk mendukung data kepustakaan. Penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan wawancara dengan berbagai pihak yang berkompeten berkaitan dengan penelitian ini, diantaranya dengan :

1) Bandan Lingkungan Hidup Bandung

Jl. Sodang Tengah No.4 & 6 Sodang Serang Fax : 0265 747131 Bandung.

2) Wahana Lingkungan Bandung

Jalan Piit no 5 Bandung phone/fax: +62 22 2507740


(41)

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan dua cara, yaitu:

Pengumpulan data melalui studi dokumen yang digunakan untuk mengumpulkan data sekunder.Cara ini merupakan konsekuensi dari penelitian normatif/ kepustakaan yang berdasarkan data sekunder. Data sekunder dalam penelitian normatif meliputi :

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari : 1) Norma/kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945 Alinea Keempat.

2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

3) Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerukasan hutan

4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. b. Bahan Hukum Sekunder.

Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya :

1) Buku-Buku ilmiah tentang Korporasi dan Lingkungan Hidup.


(42)

2) Hasil penelitian berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yaitu tentang tindak pidana pembakaran hutan 3) Bahan hasil seminar

c. Bahan Hukum Tersier 1) Kamus Hukum

2) Majalah, surat kabar, jurnal, website

5. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif, yaitu metode penelitian yang bertitiktolak dari norma-norma, asas-asas dan peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif yang kemudian dianalisis secara kualitatif.

6. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian untuk memperoleh data dalam penulisan ini adalah:

a. Perpustakaan Universitas Unikom

Jl. Dipati Ukur No. 112-114-116. Telp. [022] 2504119 Bandung

b. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Jl. Dipati Ukur No. 46 Bandung

c. Bandan Lingkungan Hidup Bandung

Jl. Sodang Tengah No.4 & 6 Sodang Serang Fax : 0265 747131 Bandung.


(43)

d. Wahana Lingkungan Hidup Bandung

Jalan Piit no 5 Bandung phone/fax: +62 22 2507740


(44)

87

Tinjauan Hukum Terhadap Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Pada Kasus Pembakaran Hutan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Juncto Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013

Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan

A. Implementasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pembakaran Hutan yang Dilakukan oleh Satu Perusahaan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Juncto Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Masalah tindak pidana lingkungan khususnya perusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi merupakan masalah yang cukup rumit untuk ditanggulangi terutama menyangkut pertanggungjawaban pelaku. Terkait penghukuman pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi di bidang lingkungan hidup maka pemidanaan terhadap korporasi diatur dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa:

“Setiap orang dilarang melakukan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”

Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa:


(45)

“(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a. badan usaha; dan/atau

b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpinkegiatan dalam tindak pidana tersebut.

(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama”

Berdasarkan rumusan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mensyaratkan bahwa pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan kerusakan dan pemcemaran lingkungan hidup dapat dijatuhkan kepada badan usaha dan atau orang yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Hubungannya dengan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan lingkungan hidup, dalam hal ini mencemarkan atau merusak lingkungan hidup.

Tindak Pidana Lingkungan yang dilakukan oleh Suheri Terta dan Facruddin Lubis yang berhubungan kerja atau berdasarkan hubungan kerja dengan PT MAL. Tindak pidana yang dilakukan para tersangka di bidang lingkungan hidup yaitu tindak pidana pembakaran hutan untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit. Hal ini sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama, yang dalam hal ini pemberi perintah PT MAL.


(46)

Penutut Umum dalam kasus PT MAL Menuntut para terdakwa Suheri Terta dan Facruddin Lubis dengan Pasal 41 ayat (1) juncto Pasal 46 ayat (1), (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undnag-Undang Hukum Pidana juncto Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan Surat Tuntutan Pidana Penuntut Umum Nomor. Reg. Perk : PDM/02/PKLCI/ Euh.2/01/2012 ,tertanggal 09 Juli 2012 114.

Pasal 46 ayat Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan menyebutkan :

“(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya”

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama”

Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakatan:


(47)

“Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”

Penuntut Umum dalam meminta pertanggungjawaban pidana dalam kasus PT. MAL seharusnya Penuntut Umum menggunakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Kasus ini terjadi pada tahun 2009 di mana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah diberlakukan. Peraturan ini sesuai dengan asas (Lex posteori derogat lex priori) undang yang baru dapat mengesampingkan undang-undang yang lama.

PT. MAL bisa dituntut dengan Pasal 69 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa:

“Setiap orang dilarang melakukan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”

Ancaman pidananya untuk pelanggaran Pasal 69 Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu:

“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga


(48)

miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Sanksi pidana yang ada dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ditujukan untuk pelanggaran yang dilakukan oleh individu. Para tersangka Suheri Terta dan Facruddin Lubis kalau dituntut dengan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sanksinya akan lebih berat baik sanksi denda maupun sanksi pidana. Diterapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup akan memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana lingkungan.

Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu:

“Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a. badan usaha; dan/atau

b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpinkegiatan dalam tindak pidana tersebut.”

Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu:

“Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau

kegiatan

c. perbaikan akibat tindak pidana

d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.”


(49)

Pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan diatur dalam pasal 5 sampai 8 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan, menyebutkan :

“Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pencegahan perusakan hutan”

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan, menyebutkan :

“(1) Dalam rangka pencegahan perusakan hutan, Pemerintah membuat kebijakan berupa:

a. koordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan;

b. pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan hutan;

c. insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian hutan;

d. peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan; dan

e. pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya menetapkan sumber kayu alternatif dengan mendorong pengembangan hutan tanaman yang produktif dan teknologi pengolahan.

(3) Selain membuat kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), upaya pencegahan perusakan hutan dilakukan melalui penghilangan kesempatan dengan meningkatkan peran serta masyarakat.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sumber kayu alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri”

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan, menyebutkan :


(50)

“Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh izin pemanfaatan hutan”

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan, menyebutkan :

“(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pemberantasan perusakan hutan.

(2) Pemberantasan perusakan hutan dilakukan dengan cara menindak secara hukum pelaku perusakan hutan, baik langsung, tidak langsung, maupun yang terkait lainnya. (3) Tindakan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.”

PT. MAL bisa dikenakan sanksi pidana atas Tindak pidana pembakaran hutan yang dilakukan oleh agen-agen PT.MAL tanpa melihat ada kesalahan yang dilakukan oleh PT.MAL. Strict Liability

bisa diterapkan dalam kasus ini. Putusan Pengadilan Tinggi Riau hanya untuk para agen-agen korporasi yang melakukan tindak pidana pembakaran hutan, sedangkan terhadap korporasi yang dalam hal ini PT MAL tidak ada sanksi apapun.

PT MAL seharusnya dapat dipidanankan dengan Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, sudah sangat jelas bahwa tindak pembakaran hutan yang dilakukan atas nama korporasi, korporasi bisa dikenakan sanksi yang berupa.


(51)

1) Sanksi Admintratif

Sanksi admitratif yang diatur dalam Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, menyatakan : Sanksi administratif terdiri atas:

a) Teguran Tertulis

teguran tertulis bisa berupa surat peringatan (SP) dari pihak yang berwenang yaitu Pemerintah Daerah atau Kementrian Lingkungan Hidup. Pasal 77 Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, menegaskan juga siapa saja yang bisa memberikan sanksi administratif. Pasal tersebut menyatakan :

“Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintahdaerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”

b) Paksaan Pemerintah

Sanksi adminstratif yang berupa paksaan pemerintah dijelaskan dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan menyatakan :

“(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksuddalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa:

a. penghentian sementara kegiatan produksi b. pemindahan sarana produksi

c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi


(52)

d. pembongkaran

e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran

f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau

g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.

(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan: a. ancaman yang sangat serius bagi manusia

dan lingkungan hidup

b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segeradihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau

c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidaksegera dihentikan pencemaran dan/atau peruksakannya”

c) Pembekuan Izin Lingkungan

Pembekuan izin lingkuangan bersifat sementara yang berdasarkan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan menyatakan :

“Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah” Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan menyatakan :

“(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksuddalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa:


(53)

b. pemindahan sarana produksi

c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi

d. pembongkaran

e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran

f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau

g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.”

d) Pencabutan Izin Lingkungan

Sanksi pencebutan izin lingkugan bersifat permanen izin usaha dijabut oleh pemerintah yang berwenang, dilihat dari faktor pencemaran yang ditimbulkan sangat berbahaya bagi masyarakat dan lingkungan.

Pemerintah Daerah Riau tidak memberikan sanksi administratif kepada PT.MAL atas tindak pidana pembakaran hutan. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam jangka waktu yang panjang yaitu dari tahun 2008-2009. Lahan yang rusak akibat pembaran yang dilakukan PT.MAL hampir mencapai 4.745,33 ha. Pemerintah daerah seharusnya sigap dari awal dengan memberikan teguran dari awal, kerusakan lahan tidak akan mencapai 4.745,33 ha jika sanksi diberikan ke PT.MAL.

2) Sanksi Ganti Kerugian

Sanksi ganti kerugian diatur dalam Pasal 88 Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan menyatakan:


(54)

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”

Tindak pidana pembakaran hutan yang dilakukan oleh PT MAL menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hdiup dan manusia. Hal ini dapat dipertanggungjawabkan secara mutlak atau stric liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dari Pasal 50 ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan hanya merumuskan perbuatan membakar hutan. Rumusan ini tidak jelas kategori deliknya, delik formil ataukah materiil dan/atau delik pencemaran/perusakan lingkungan hidup. demikian pula pengaturan sanksinya, yaitu:

“Setiap orang dilarang membakar hutan”

Sanksinya diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan ayat (3) dan (4) yaitu: “(3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah)”


(55)

Penjelasan Pasal 50 ayat (3) d Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, mengecualikan dari ancaman pidana terhadap “pembakaran hutan secara terbatas” yang diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, seperti: pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa yang harus mendapat izin dari pejabat berwenang. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusakan lingkungan hidup menurut Pasal Pasal 88 Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Akibat pembakaran yang dilakukan PT.MAL mengakibatkan ancaman serius bagi lingkungan. Akibatnya lahan gambut tidak berfungsi sebagaimana fungsinya yaitu sebagai penyimpan air. Nominal jumlah sanksi ganti kerugian disesuiakan dengan keruksakan yang ditimbulkan tindak pidana. Rusaknya lapisan ini akan mengurangi masa pakai lahan yang terbakar tersebut sehinggga tentu saja akan mengurangi pemasukan Negara. Biaya kerugian ekologis dan ekonomis yang diakibatkan oleh pembakaran lahan diareal kebun PT MAL adalah sebesar Rp 87.705.875.000 (delapan puluh tujuh milyar tujuh ratus lima juta delapan ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).


(56)

Putusan yang diberikan kepada Suheri Terta dan Facruddin Lubis oleh Pengadilan Tinggi Riau tidak disertakan Sanksi ganti kerugian, sehingga kerugian yang disebabkan oleh perbuatan Suheri Terta dan Facruddin Lubis ditanggung negara. Hal ini bertentangan dengan Pasal 108 dan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Putusan Pengadilan Riau tidak disertai juga sanksi buat korporasi yang dalam hal ini adalah PT MAL, hal ini bertentangan dengan Pasal 117 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu: “Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupapidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.”

3) Sanksi Pidana

Sanksi pidana sebagai hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Pidana. Penegakan hukum lingkungan juga mengenal asas subsidiaritas dimana Hukum Pidana hendaknya


(57)

didayagunakan, Sanksi pidana merupakan pilihan terakhir

(ultimum remedium) dari rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum. Hal ini merupakan upaya terakhir jika mekanisme penegakan sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat atau akibat perbuatannya relatif besar atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Sanksinya pidana diatur dalam Pasal 108, Pasal 116 dan Pasal 117 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sanksi pidana yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan sudah diatur dengan jelas, namun kenyataannya tindak pidana pembakaran hutan semakin meningkat. Hal ini dikarenakan aparat penegakan hukum tidak menerapkan sanksi yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.

Teori vicarious liability yang memberikan dasar bagi korporasi untuk bertanggung jawab atas tindakan agen-agennya atau karyawannya (tidak peduli apa posisi agen atau pegawai tersebut dalam hirarki korporasi juga apa jenis pelanggarannya). Namun demikan, terdapat syarat yang harus dipenuhi untuk korporasi


(58)

bertanggungjawab atas tindakan agen-agennya atau karyawannya, yaitu:

1) Agen tersebut bertindak dalam ruang lingkup pekerjaannya, memiliki kewenangan untuk bertindak untuk korporasi yang berkaitan dengan bisnis korporasi tertentu yang telah dilakukan secara tercela dan merupakan kejahatan pidana

2) Agen tersebut bertindak, setidaknya sebagian dari tujuannya untuk memajukan kepentingan bisnis korporasi tersebut.

Teori Vacarious Liability bila diterapkan dalam kasus PT.MAL sangat tepat, karena para agen-agen yang melakukan tindak pidana pembkaran hutan atas dasar surta perintah kerja yang diberikan oleh Direktur PT.MAL. Pembakaran hutan ditujukan untuk pembukan lahan perkebunan kelapa sawit.

Agen-agen tidak mungkin melakukan suatu pekerjaan tanpa ada intruksi dari atasannya. Penuntut Umum seharusnya menjadikan dasar untuk menuntut korporasi yang bertanggung jawab dalam tindak pidana pembakaran hutan.

Prinsip hubungan kerja dalam Vacarious Liability disebut dengan prinsip delegasi, yakni berkaitan dengan pemberian izin kepada seseorang untuk mengelola suatu usaha. Pemegang izin tidak menjalankan langsung usaha tersebut, akan tetapi memberikan kepercayaan (mendelegasikan) secara penuh kepada seorang


(59)

menager ntuk mengelola korporasi tersebut. Teori Vacarious Liability

diterakan berdasarakn pada alasan-alasan di bawah ini:

1) Korporasi tidak seyogyanya menempatkan kesalahan semata-mata kepada individu dengan menghindarkan pertanggungjawaban.

2) Pencegahan yang efektif diperlukan melalui penerapan sanksi yang ditujukan kepada korporasi secara keseluruhan.

3) Pertanggungjawaban korporasi terdahulu mungkin berguna dalam bentuk-bentuk penghukuman individual yang lebih keras

4) Reformasi atau rehabilitasi korporasi secara tepat mensyaratkan pertanggungjawaban kolektif (collective responsibility).

5) Korporasi-korporasi asing (foregin corporations) di suatu negara yang pejabat-pejabat (officers) atau pegawai–

pegawai (employers) melakukan tindak pidana di luar yuridiksi negara tersebut. Seyogyanya tetap dapat dijatuhi pidana.

6) Masyarakat berhak mengetahui aktivitas bisnis pelaku usaha yang terkait dengan aktivitas pelanggaran hukum melalui cara terbaik, yaitu penuntutan korporasi tersebut. 7) Penggantian keuntungan yang diperoleh korporasi dari

suatu tindak pidana dipulihkan melalui penerpan pidana denda (corporate fines) kepada korporasi sebagai suatu


(60)

metode yang tegas untuk memenuhi pemulihan kerugian yang pantas.

Konsep Teori Vacarious Liability yang telah dijelaskan di atas dibandingkan dengan Toeri Strict Liability, hal yang membedakan antara keduanya terletak pada.

1) Vacarious Liability mens rea tidak diperlukan untuk mempidanakan seseorang yang telah melakukan tindak pidana.

2) Pada Teori Strict Liability mens rea menjadi syarat utama yang harus dipenuhi untuk mempidana seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Terlebih dahulu harus dibuktikan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana dan memliki kesalahan sehingga patut untuk dipidana atas kesalahannya.

3) Harus ada hubungan kerja juga antara pelaku dan dengan orang lain harus mempertanggungjawabkan tindak pidana yang gidlakukan pelaku.

B. Peranan Aparat Penegak Hukum dalam Menangani Kasus Pembakaran Hutan Oleh Satu Perusahaan Dalam Tindak Pidana Korporasi

Penegakan hukum pidana lingkungan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut PPNS) maupun oleh Penyidik Polri diharapkan berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dalam hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009


(1)

Tinggi Riau yang mengadilai PT MAL sanksi yang diberikan kepada Suheri Terta dan Facruddin Lubis sangat ringan baik itu sanksi pidana penjara maupun sanksi ganti rugi.

Aparat penegak hukum baik ditingkat Pemerintahan Daerah dan pemerintah Pusat, harus mempunyai komitment yang tinggi dan saling bekerjasama untuk menegakan perundang-undang agar tindak pidana pembakaran hutan tidak terus meningkat. Hal ini bisa dilakukan jika para aparat penegak hukum menggunakn tuntutan hukum maksimum bukan minimum. Penyelesaian kasus tindak pidana pembakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi harus menjadi prioritas utama. Hal ini untuk memberikan efek jera terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana pembakaran hutan.


(2)

110 BAB V

PENUTUP A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian diatas pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Tindak pidana pembakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi dapat dipertanggungjwabkan. Hal ini karena korporasi merupakan subyek hukum. Peraturan tentang korporasi sebagai subyek hukum diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tindak pidana pembakaran hutan diatur dalam Pasal 69, Pasal 108, Pasal 116, Pasal 117 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup baik yang dilakukan oleh individu atuapun yang dilakukan oleh korporasi. Penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum terimplementasikan. Hal ini berdasarkan dari kasus-kasus yang terjadi setelah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berlaku aparat hukum masih menggunakan undag-undag yang lama. Berdasarkan asas (Lex posteori derogat lex priori) Undang-Undang yang baru dapat mengesampingkan Undang-Undang yang lama. Kasus PT MAL seharusnya menggunakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang


(3)

melakukan penuntutannya tetapi Penunut Umum masih menggunakan peraturan yang lama. Putusan Pengadilan Tinggi menjatuhkan Pidana ke para terdakwa dinilai masih ringan jika dilihat dari kerusakan yang ditimbulkan, sanksi buat korporasi tidak tersentuh sama sekali.

2. Penerapannya para aparat hukum belum maksimal, bisa dilihat dari kasus tindak pidana pembakaran hutan setiap tiap tahun meningkat. Meningkatnya kasus tindak pidana pembakaran hutan ada beberpa faktor penyebabnya.

a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan tidak dilaksanakan secar konsisten

b. Ketidakjelasan perumusan delik dan sanksi c. Pembuktiannya juga cukup sulit

d. Minimnya penyelesaian kasus pembakaran hutan dan lahan yang diajukan ke Pengadilan.

e. Pembangunan perkebun kelapa sawit yang kekdudukannya sangat penting bagi perekonomian negara.

B. Saran

1. Koordinasi dan kerjasama antara pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dalam menerapakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(4)

112

menanggulangi kebakaran hutan dan lahan yang berakibat terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.

2. Peningkatan sumber daya manusia dan kinerja aparat penegak hukum harus diperbaiki. Penanganan kasus-kasus tindak pidana lingkungan hidup harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang baru, ada beberpa faktor yang harus diperhatikan aparat penegak hukum lingkungan

3. Konsistennya penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

4. Perlunya perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk memudahkan perumusan delik, sanksi dan pembuktian.

5. penyelasaian kasus yang cepat, kasus yang melibatkan korporasi harus menjadi prioritas.

6. Pemerintah harus melibatkan peran serta masyarakat dan Kelompok Lingkungan Hidup (KLH) dalam menjaga lingkungan hidup.


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Unsur Kesalahan Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

1 74 95

Tinjauan Hukum Terhadap Pencemaran Lingkungan Air Akibat Limbah Industri Rumah Tangga Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 5 49

Tinjauan Hukum Mengenai Tanggung Jawab Perusahaan Pertambangan Terhadap Lahan Bekas Tambang Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara Juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pen

0 6 1

Analisis Yuridis Terhadap Alih Fungsi Hutan Lindung Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 2 1

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak Juncto Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

0 4 1

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PASAL 118 UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

0 4 16

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PASAL 118 UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

0 6 15

PENDAHULUAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PASAL 118 UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

0 6 24

PENUTUP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PASAL 118 UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

0 4 4

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERUSAKAN DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP (UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP) - repo unpas

0 0 12