21
Sumber: Peneliti, 2010
Pemilihan Tempat Tinggal di Kawasan Pinggiran Kota Semarang 1Berpengaruhnya Strata Sosial Terhadap Pemilihan Tempat
Tinggal di Kawasan Pinggiran Kota Semarang.
Dari hasil analisis deskriptif dan holistik yang dilakukan pada penelitian tahap pertama dan kedua menggambarkan bahwa karakteristik rumah tangga merupakan
faktor yang sangat mempengaruhi di dalam memutuskan pemilihan tempat tinggal. Dari pengamatan di lapangan dan wawancara secara langsung tanpa
menggunakan kuesioner diperoleh beberapa variabel karakteristik rumah tangga yang terkait dengan pemilihan tempat tinggal dan mobilitas transportasi di kawasan
pinggiran kota
2Tidak Berpengaruhnya Faktor Jarak dari Tempat Tinggal ke Lokasi Tujuan Bekerja Terhadap Pemilihan Tempat Tinggal
Dari hasil analisis statistik dengan cross tabulasi silang pada penelitian pertama membuktikan bahwa pengaruh jarak terhadap pemilihan tempat tinggal
tidak significan berpengaruh karena mempunyai nilai koefisien korelasi kecil R 0.3 tabel:4.1, 4.2, 4.3.
Demikian dengan analisis pada penelitian mikro yang digambaran pada tabel 3.2;tabel 3.3;tabel 3.4 tersebut memperlihatkan bahwa peran jarak dari lokasi
tempat tinggal baik tempat tinggal dengan strata sosial oleh kelompok rumah tangga menengah keatas, menengah dan menengah kebawah ke lokasi bekerja
tidak selalu berpengaruh terhadap preferensi pemilihan tempat tinggal. Kondisi tersebut disebabkan di kawasan pinggiran Kota Semarang terjadi plurarisasi
kebudayaan antara penduduk asli pedesaan penduduk pendatang dari kota lain serta pergeseran penduduk dari pusat ke pinggiran Bar-Gal dalam Koestur, 1997.
Selain itu adanya suatu pergeseran fenomena karena perkembangan teknologi informasi sehingga hubungan tatap muka tidak harus dilakukan dengan tatap nuka
Tjahjati, 2005. Dengan kemajuan teknologi dan informasi, jarak bukan satu-satunya
pertimbangannya, karena ada alat transportasi seperti sepeda motor atau kendaraan pribadi yang bisa digunakan dalam kemudahan mobilitasnya.
Menurut Shirvani.H 1985:57 dalam Darmawan 2007:20 bahwa ada 6 kriteria disain tak terukur untuk mengukur kualitas lingkungan kota, antara lain :
Gambar 3.6
a. Pencapaian Access
Accses memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keamanan bagi para pengguna untuk mencapai tujuan dengan sarana prasarana transportasi
yang mendukung kemudahan aksessibilitas yang direncanakan dan dirancang sesuai dengan kebutuhan pengguna sehingga dapat
Gambar 3.5: Diagram Temuan Penelitian Keterkaitan antara Strata sosial,
Pemilihan Tempat Tinggal dan Mobilitas transportasi, Kualitas Lingkungan
22
memberikan kenyamanan
dan kemudahan
dalam menjalankan
aktivitasnya.
b. Kecocokan compatible
Kecocokan adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan aspek kejelasan yang terkait dengan orientasi manusia terhadap bangunan.
c. Pemandangan view
Pemandangan berkaitan dengan aspek kejelasan yang terkait dengan orientasi manusia terhadap bangunan.
d. Identitas identity
Identitas adalah suatu nilai yang dibuat atau dimunculkan oleh obyek bangunanmanusia sehingga dapat ditangkap dan dikenali oleh indera
manusia.
e. Rasa sense
Rasa kesan atau suasana yang ditimbulkan. Sense ini biasanya merupakan simbol karakter dan berhubungan dengan aspek ragam gaya yang
disampaikan oleh individukelompok bangunan atau kawasan.
f. Kenyamanan liviability
Kenyamanan adalah kenyamanan untuk tinggal atau rasa kenyamanan untuk tinggal atau beraktivitas di suatu kawasanobyek Darmawan, 2008.
Dari 6 kriteria tak terukur tersebut memperlihatkan bahwa persepsi setiap individu atau kelompok masyarakat akan menuntut kebutuhan fasilitas kota yang
berlainan pula, tergantung pada hirarkhi sosial ekonomi masyarakat pengguna kota. Sedangkan menurut hirarkhi Maslow bahwa kebutuhan dasar manusia yang
antara lain: I. tersedia semua fasilitas kebutuhan fisik II. nyaman, aman dan perlindungan
III. suatu sarana lingkungan yang kondusive, IV suatu image yang baik, reputasi dan prestisive yaitu tempat yang dapat memiliki rasa percaya diri yang kuat bagi
lingkungan, status dan kebanggaan, memberi peluang bagi individu untuk membentuk personal space. V. ada kesempatan untuk menciptakan kreativitas
yaitu suatu kesempatan untuk berkomunikasi membentuk lingkungan mereka sendiri, VI. lingkungan nyaman yang estetis yaitu suatu kebutuhan tempat dengan
desain estetis dan menyenangkan, tempat yang secara fisik memberi kesan yang mendalam, kota yang merupakan tempat yang syarat dengan nilai budaya dan
karya seni tinggi.
Gambar 3.6
Kebutuhan Dasar Menurut Hirarkhi Maslow I dan II
Sumber: Darmawan, 2008
Hirarkhi Maslow I Hirarkhi Maslow II
I II
III IV
V VI
23
Dengan melihat uraian tentang penilaian tak terukur tentang kualitas lingkungan perkotaan dari Shirvani, dan hirarkhi kebutuhan dasar manusia oleh
Maslow, maka apa yang ditemukan dari hasil penelitian disertasi ini, bahwa pergeseran pemukiman ke kawasan pinggiran yang terjdi di Kota Semarang
dengan melihat preferensi pemilihan lokasi tempat tinggal tidak sepenuhnya kebutuhan dasar tentang fasilitas kota bisa terpenuhi seperti pada kebutuhan dasar
hirarkhi I kebutuhan Maslow I akan tempat tinggal dan pekerjaan, sekolah, transportasi serta aksessibilitas ke fasilitas pelayanan.
Dari informasi data sekunder tentang ketersediaan infrastruktur dan fasilitas transportasi lampiran A memperlihatkan tidak seimbang antara kepadatan
penduduk, tempat tinggal dan kebutuhan untuk beraktivitas seperti fasilitas transportasi yang melayani Kecamatan Tembalang, sementara tuntutan kebutuhan
ruang untuk tempat tinggal sudah sangat mendesak untuk menampung pertumbuhan penduduk yang terus bertambah.
Perkembangan teknologi transportasi dan informasi yang memungkinkan suatu pergeseran fenomena, karena kebutuhan dasar pelayanan transportasi dan
komunikasi bisa terpenuhi. Kondisi demikian berakibat tidak berperannya variable jarak dalam pemilihan tempat tinggal di kawasan pinggiran Kota Semarang.
Dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan oleh peneliti pada beberapa pemukiman formal baik pada status sosial menengah dan menengah keatas di
Kecamatan Tembalang dan Banyumanik memperlihatkan, bahwa tempat tinggal menjadi kebutuhan dasar utama. Sementara kedekatan dengan tempat kerja tidak
selalu menjadi pertimbangan, namun kemudahan akses tetap menjadi pertimbangan, artinya meskipun tempat tinggal di pinggiran kota dan aktivitas
utama sehari-harinya di pusat kota yang berjarak antara 8 – 16 km tidak menjadi masalah, karena bisa dicapai dengan kendaraan sendiri.
Kondisi tersebut terlihat dari trend kepemilikan kendaraan bermotor pada Kecamatan Tembalang dibandingkan dengan trend kepemilikan kendaraan Kota
Semarang dari tahun 2000 – tahun 2008 Gambar: Grafik 3.7. Meningkatnya kepadatan penduduk yang cepat dan meningkatnya jumlah
pemakaian kendaraan pribadi dengan perjalanan yang panjang menuju pusat kota yang terjadi di kota Semarang hampir mirip apa yang terjadi di kota-kota besar lain
di Indonesia seperti di Jakarta dan Kota Bandung. Kondisi tersebut disebabkan penduduk yang tinggal di pinggiran kota semakin bertambah pesat sementara
fasilitas pelayanan infrastruktur seperti sekolah, pasar dan swalayan serta sarana dan prasarana transportasi tidak seimbang.
Menurut Heru Purboyo
1
, di Indonesia pertumbuhan perekonomian kota dan pertumbuhan perkapita yang besar pemanfaatannya untuk sarana dan prasarana,
serta pelayanan publik kurang menonjol di bandingkan dengan negara maju. Di Indonesia secara umum, manfaat ekonomi lebih terjadi pada skala perorangan
sehingga pengembangan kapasitas pelayanan umum lebih terbatas dan kurang terbantu oleh peningkatan kesejahteraan perorangan
.
1
Heru Purboyo, H.P., dkk 2006 Laporan Riset Unggulan, Institut Teknologi Bandung, 1996
24
Sumber : Semarang dalam Angka, 2009
Gambar 3.7
Grafik Komposisi Kepemilikan Kendaraan Bermotor Kecamatan Tembalang VS Kota Semarang
Menurut Purboyo 2006 keadaan demikian menyebabkan adanya kesediaan atau toleransi bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan perjalanan yang
semakin jauh karena didukung oleh sarana pribadi yang terus disesuaikan dengan kebutuhan dan dukungan pasar kendaraan bermotor. Sedangkan masyarakat
negara maju, pada skala tertentu, mungkin sudah mengalami kejenuhan untuk konsumsi sarana transportasi. Kalau dilihat dari hirarkhi kebutuhan Maslow II
Gambar: 3.6, bahwa porsi yang menduduki terbanyak adalah bahwa seseorang ada kecenderungan ingin mengaktualkan diri sehinga menyebabkan adanya
pergeseran fenomena. Seseorang supaya bisa mengaktualkan dirinya, maka keinginan punya rumah sendiri dan kendaraan sendiri yang menyebabkan faktor
jarak menjadi tidak berperan lagi dalam pemilihan tempat tinggal yang terkait dengan mobilitas.
3 Pengaruh Faktor Kenyaman Lingkungan Terhadap Pemilihan Tempat Tinggal di Kawasan Pinggiran Kota
Pada tabel 3.2, 3.3, 3.4 merupakan hasil eksplorasi pada sub lokus penelitian yang berkembang di lapangan yang menggambarkan pemilihan tempat
tinggal di kawasan pinggiran Kota Semarang. Dari ke empat pemukiman formal yang dijadikan sub lokus penelitian
menggambarkan bahwa keputusan menentukan tempat tinggal di pinggiran kota adalah:
25 50
75 100
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008
K o
m p
o s
is i
K e
n d
a ra
a n
Tahun
KOMPOSISI KENDARAAN DI KECAMATAN TEMBALANG T Vs DI KOTA SEMARANG S TAHUN 2000 - 2008
Bus_S Truk_S
Taxi_S Angkot_S
Spd Motor_S MP_S
Bus_T Truk_T
Taxi_T Angkot_T
MP_T Spd Motor_T
25
- Lingkungan yang nyaman, aman terbebas dari banjir, ruang terbuka hijau
masih luas serta rasa aman dari pencurian dan perampokan, kondisi ini terlihat dari pemukiman-pemukiman formal yang dipilih merupakan
pemukiman Cluster dengan pagar yang tinggi dengan penjaga gerbangnya.
- Sedangkan kesesakan dan kepadatan penduduk juga merupakan sikap
pada saat akan memutuskan membeli rumah dikawasan pinggiran kota. -
Mudah aksesnya karena mereka rata-rata menggunakan kendaraan pribadi 84 untuk Pemukiman Tembalang Pesona Asri dan 100 untuk
pemukiman Bumi Srondol Indah dan 100 untuk pemukiman Taman Setiabudi.
Mobilitas Transportasi di Kawasan Pinggiran Kota Semarang 1Pengaruh Strata-sosial Terhadap Mobilitas Transportasi
Di dalam melakukan perjalanannya tentu saja variabel variabel mobilitas sangat mempengaruhi dan saling terkait satu sama lain, terutama terhadap status sosial
mereka. Dari hasil analisis klasifikasi silang, meskipun faktor jarak perjalanan tidak signifikan hubungannya dengan preferensi pemilihan tempat tinggal, namun
penduduk lebih memainkan perannya ke variabel waktu tempuh dan moda yang digunakan. Dari hasil analisis baik pada penelitian makro maupun penelitian mikro
table 3.2; 3.3; 3.4 pada 4 pemukiman formal di Kecamatan Tembalang dan Banyumanik yang di jadikan sub lokus penelitian, juga diperoleh temuan bahwa
status sosial sangat mempengaruhi pemilihan moda transportasi, yaitu kelompok rumah tangga ekonomi menengah keatas yang berpenghasilan 3 juta lebih
memilih menggunakan kendaraan pribadi roda empat 4. Kondisi tersebut karena kendaraan pribadi mempunyai otoritas tinggi, artinya bisa lebih leluasa untuk
melakukan pergerakan dibandingkan dengan angkutan umum dan untuk mengejar waktu tempuh. Sedangkan untuk kelompok pemukiman yang mewakili strata
ekonomi menengah dan kelompok ekonomi menengah kebawah pemilihan moda ke moda pribadi roda 2 karena dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, pendidikan
dan pekerjaan serta kepemilikan kendaraan. Adapun perbedaan dalam pilihan moda dikarenakan untuk kelompok ekonomi
menengah lebih sensitif terhadap biaya transportasi, sedangkan untuk kelompok rumah tangga ekonomi menengah keatas, bahwa biaya transportasi mahal tidak
menjadi masalah. Kelompok ini cenderung untuk melihat kualitas lingkungan seperti daerah tidak tergenang airrobbanjir, tanah yang diperoleh luas, kepadatan
pemukimannya, tidak kumuh demi kelangsungan hidup keluarganya nanti. Bagaimana dengan kelompok ekonomi menengah dan kuat yang tinggal di
pemukiman dengan kepadatan tinggi dan di lingkungan yang kualitasnya kurang nyaman seperti di Kecamatan Genuk ? Ditemukan untuk Kecamatan Genuk
dengan kondisi lingkungan industri dan kualitas lingkungan pemukiman yang kurang aman dan nyaman sering terjadi rob dan tergenang air membuat
penduduk tetap tinggal 50 di lokasi kurang nyaman table Lamp gambar B17, B18, B19.. Demikian untuk kelompok ekonomi menengah dan menengah
kebawah, dengan sedikit ada peningkatan terhadap pendapatan maka akan menggantikan dengan moda pribadi roda empat bagi kelompok menengah dan
roda dua bagi kelompok ekonomi menengah kebawah.
2 Pengaruh Jarak Pemukiman ke Jalur Pelayanan Angkutan Umum terhadap Pemilihan Moda Transportasi
26
Dari hasil rekaman data yang diperoleh pada penelitian tahap dua yang dilakukan dengan teknik wawancara mendalam pada sub lukus penelitian yaitu
pada ke empat 4 pemukiman formal yang terpilih sebagai lokus pada penelitian kualitatif ditemukan bahwa jarak tempat tinggal terhadap pelayanan jalur angkutan
umum tidak mempengaruhi mobilitas transportasi penduduk pemukiman wilayah studi dalam penggunaan moda transportasi Tabel: 3.2; 3.3. Penggunaan moda
transportasi bagi penduduk yang tinggal pada pemukiman wilayah studi rata-rata hampir 100 menggunakan moda kendaraan sendiri table 3.3; table 3.4.
Dalam penjaringan informasi melalui penelitian tahap 2 yang dilakukan dengan wawancara mendalam juga ditemukaan bahwa strata sosial masih tetap
mempengaruhi dalam pemilihan moda pribadi maupun kendaraan umum baik untuk kelompok pemukiman yang mempunyai jarak feeder ke pelayanan angkutan umum
pendek 0-300m maupun kelompok pemukiman yang mempunyai feeder dengan jarak 1 km maupun 4-5 km ke jalur pelayanan angkutan umum. Bagi penduduk
yang mempunyai strata sosial menegah keatas yang diambil dari pemukiman Taman Setiabudhi dan Pemukiman Bumi Srondol Indah SBI penggunaan
kendaraan pribadi disebabkan karena mengejar waktu tempuh dan lebih leluasa dalam melakukan aktivitasnya table 3.4.
Penggunaan kendaraan pribadi oleh kelompok pemukiman ekonomi menengah keatas disebabkan kelompok ini melakukan perjalanan rutinitasnya dengan jarak
10-15 km dan kelompok ini mempunyai kegiatan yang menuntut otoritas tinggi, sedangkan kendaraan umum yang ada sekarang tidak bisa melayani otoritas
penduduk wilayah studi. Kelompok ekonomi menengah keatas ini lebih tidak sensitif terhadap pengeluaran
biaya transportasi karena selain untuk peningkatan status sosial juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan tingkat penghasilan Tabel:3.1; Tabel:3.2. Apabila
dilihat dari lokasi pemukiman yang menjadi sub lokus penelitian mikro inl adalah pemukiman formal yang dibedakan dengan jarak ke jalur pelayanan angkutan
umum, maka bisa diambil kesimpulan bahwa jauh dekatnya jarak tempat tinggal ke jalur pelayanan angkutan umum tidak mempengaruhi untuk pemilihan moda pribadi
Tabel: 3.4.
4. PROSES PEMBENTUKAN KONSEPSI TEORITIS MOBILITAS TRANSPORTASI DIKAITKAN DENGAN PEMILIHAN TEMPAT