1
1. FENOMENA PERKEMBANGAN KOTA
1.1. Problematik Kawasan Pinggiran
Salah satu ciri bentuk perkembangan kota-kota di dunia biasanya ditengarai dengan besarnya pertumbuhan penduduk yang tinggal di perkotaan dan
perbandingan tingkat urbanisasi. Pertumbuhan penduduk yang terus berkembang
dan terjadinya proses urbanisasi berdampak pada meningkatnya proporsi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan Evers, 2000 dan gejala perluasan
fisik kota kearah pinggiran kota Yunus, 2006. Di Indonesia pada tahun 2010 penduduk yang tinggal diperkotaan sudah
mencapai 56 yaitu sekitar 106 juta jiwa dan diperkirakan pada dekade yang akan datang tahun 2025 penduduk yang akan tinggal di daerah perkotaan sekitar
63 dari jumlah penduduk Indonesia
http:www.penataanruang.net: Rabu,23 Maret 2011| pukul: 4:16:05 PM.
Bertambahnya jumlah penduduk dan semakin meningkatnya kegiatan perekonomian di kota-kota mendorong timbulnya peningkatan kebutuhan lahan
pemukiman, sementara itu ketersediaan lahan pemukiman di pusat kota sangat terbatas, maka lahan pemukiman tersebut berkembang kearah pinggiran kota.
Gejala menuju kearah metropolis ini perlu diantisipasi karena akan menimbulkan berbagai dampak terutama dampak negatif yang saling terkait, dan munculnya
permasalahan yang tidak hanya bersifat lokal akan tetapi sangat memungkinkan bersifat regional, kondisi tersebut akan sangat menyulitkan pemerintah dalam
mengendalikan daerah perkotaan. Peran kawasan pinggiran menjadi sangat penting di perhatikan sebagai dampak
pertumbuhan penduduk yang tidak tertampung lagi di pusat kota. Menurut McGee 1997 bahwa kawasan pinggiran merupakan suatu daerah ambang antara desa-
kota, terdiri dari penduduk yang mempunyai karakteristik berbeda sehingga juga akan menimbulkan pola pemukiman dengan karakteristik yang berbeda, yang
berakibat menimbulkan pembangunan pemukiman yang tidak terkendali dan tidak tertata dengan baik di kawasan pinggiran kota.
Demikian sebagai akibat kemajuan teknologi, maka akan semakin jauh pergeseran pemukiman ke pinggiran kota, karena hubungan tatap muka tidak harus
dilakukan, akan tetapi bisa menggunakan teknologi informasi. Disisi lain dampak yang dirasakan adalah semakin jauhnya perjalanan rutinitas ke lokasi bekerja yang
masih dilakukan di pusat kota. Panjangnya perjalanan ini akan berdampak pada kemacetan karena dalam
waktu yang sama penduduk pinggiran kota bersama – sama bergerak menuju pusat kota, sementara sarana dan prasarana yang ada tidak mampu mengimbangi
kebutuhan mobilitas transportasi yang semakin tinggi Dalam kondisi sistem transportasi kota yang belum mampu melayani kebutuhan
masyarakat perkotaan maka ada kecenderungan penggunaan kendaraan pribadi semakin tinggi. Kondisi demikian membuat perjalanan yang tidak efisien, karena
selain pemborosan bahan bakar dengan menggunakan kendaraan sendiri, juga akan berdampak pada permasalahan transportasi yaitu kemacetan dan penurunan
kualitas kota karena polusi udara yang disebabkan gas buang kendaraan. Melihat permasalahan di lapangan tersebut tidak ada teori klasik
perkembangan kota yang bisa digunakan untuk merujuk persoalan perkembangan kota, seperti Burgess yang dalam konsepnya tentang teori perkembangan kota
konsentris, Alonso yang dikaitkan dengan nilai lahan dan biaya transportasi, serta teori Jonh Turner tentang mobilitas residential. Demikian dengan teori transportasi
2
yang ada selalu hanya melihat dari sisi supplynya kuantitas belum memperhatikan segi kualitasnya secara operasional yaitu ketepatan jadwal operasional, waktu
tempuh dan kenyamanan serta keamanan. Kondisi demikian disebabkan bahwa kebijakan yang ada masih memberlakukan bahwa pelayanan angkutan umum
adalah usaha rakyat kecil belum sepenuhnya sebagai subsidi pemerintah.
1.2 . Masalah Penelitian, Kajian Teoritik dan Posisi Studi