KETUA: MUHAMMAD ALI M KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYUDI DJAFAR KETUA: MUHAMMAD ALI M KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYUDI DJAFAR KETUA: MUHAMMAD ALI M KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYUDI DJAFAR

1

1. KETUA: MUHAMMAD ALI M

Sidang pemeriksaan permohonan Nomor 78 PUU-XI 2013, kami buka dan dinyatakan terbuka untuk umum. Saudara Pemohon siapa yang hadir pada kesempatan kali ini, saya persilakan.

2. KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYUDI DJAFAR

Terima kasih, Yang Mulia. Pada kesempatan persidangan kali ini yang hadir selaku Pemohon, di samping kanan ada Bapak Anggara Wahyu, terus kemudian di sebelahnya ada Bapak Zahrial selaku Prinsipal mewakili Perkumpulan Masyarakat Hukum Pidana I ndonesia.

3. KETUA: MUHAMMAD ALI M

Ya.

4. KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYUDI DJAFAR

Sebelumnya saya sendiri Wahyudi Djafar, selaku Kuasa Hukum. Kemudian di sebelah kiri saya ada Bapak Wahyu Wagiman, Kuasa Hukum dan di sebelahnya ada Bapak Erasmus, Kuasa Hukum. Terima kasih, Yang Mulia.

5. KETUA: MUHAMMAD ALI M

Erasmus, ya? Jadi tiga saja Kuasanya yang hadir, ya? Yang lain ndak sempat hadir, ndak apa-apa, beracara sendiri-sendiri atau bersama- sama. Oke, I ni Saudara Pemohon, khususnya Saudara Kuasa Pemohon, ini kan Anda sudah menyampaikan kepada kita permohonan Anda secara lengkap, cobalah Saudara ringkas-ringkas saja apa yang sebenarnya Saudara kehendaki di sini? Saya persilakan.

6. KUASA HUKUM PEMOHON: WAHYUDI DJAFAR

Terima kasih, Yang Mulia. Majelis Hakim Yang Mulia, izinkanlah kami Para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah SI DANG DI BUKA PUKUL 13.40 WI B KETUK PALU 3X 2 Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian Pasal 82 ayat 1, huruf b, c, dan d, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Menurut kami, ketidakjelasan aturan mengenai praperadilan sebagaimana diatur dalam ketentuan a quo bertentangan dengan prinsip kepastian hukum serta jaminan dan perlindungan, di mana ... di muka hukum sebagaimana termaktub di dalam Pasal 1 ayat 3 juncto Pasal 27 ayat 1, dan Pasal 28D ayat 1, serta Pasal 28G ayat 1, Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Yang terhormat Majelis Hakim. Berlakunya ketentuan a quo telah merugikan hak konstitusional kami, khususnya Pemohon I , Anwar Sadat, warga negara I ndonesia, yang juga Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup I ndonesia, Sumatera Selatan. Kerugian yang dialami oleh Pemohon saat mendampingi masyarakat Ogan I lir, Sumatera Selatan, guna memperjuangkan kembalinya hak atas tanah yang diambil alih oleh PTPN VI I Cinta Manis Ogan I lir Sumatera Selatan. Dalam rangka pendampingan tersebut ketika berlangsung sebuah aksi massa, Pemohon I ditangkap oleh polisi dan dituduh telah melakukan perbuatan pidana, turut serta melakukan pengerusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP. Menurut Pemohon I , tindakan penangkapan dan penahanan oleh kepolisian telah dilakukan secara sewenang-wenang. Oleh karena itu kemudian Pemohon I mengajukan permohonan praperadilan kepada Pengadilan Negeri Palembang. Dalam prosesnya ketika permohonan praperadilan mulai diperiksa oleh pengadilan, pihak penuntut telah membawa pokok perkara ke pengadilan untuk disidangkan, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP, permohonan praperadilan dinyatakan gugur. Akibat gugurnya permohonan tersebut, Pemohon I tidak dapat mengetahui mengenai sah atau tidaknya proses penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh kepolisian yang berdampak pada dilanggarnya hak-hak konstitusional Pemohon I . Sementara Pemohon I I , Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana adalah sebuah badan hukum privat yang berbentuk perkumpulan dan dibentuk berdasarkan hukum negara Republik I ndonesia, yang akta pendiriannya telah disahkan melalui Surat Kementerian Hukum dan HAM, Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM Nomor AHU 239. AH. 01.06. Oleh karenanya, jelas merujuk pada ketentuan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Pemohon I I memiliki legal standing dan dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan ini. Berlakunya ketentuan a quo telah nyata-nyata atau setidak-tidaknya berpotensi melanggar hak konstitusional Pemohon I I , baik secara langsung maupun tidak langsung. Mengapa demikian? Sebab keberadaan pasal a quo telah merugikan berbagai macam usaha-usaha yang dilakukan secara terus- menerus dalam rangka menjalankan tugas dan peranan, untuk 3 perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak asasi manusia, khususnya pemenuhan kebebasan sipil dan politik di I ndonesia, yang terkait dengan pembaharauan sistem peradilan pidana, yang selama ini telah dilakukan oleh Pemohon I I . Tegasnya, Pemohon I I memiliki hak dan kepentingan hukum untuk mewakili kepentingan masyarakat guna mengajukan permohonan ini. Demikian legal standing untuk Pemohon I dan I I . Majelis Hakim yang kami muliakan, sebagaimana telah diutarakan di atas, ketentuan Pasal 82 ayat 1 huruf b, c, dan d undang-undang a quo. Jelas telah bertentangan dengan amanat Pasal 1 ayat 3, Pasal 28D ayat 1, dan Pasal 28G ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kepastian hukum merupakan salah satu pilar penting dalam tegaknya negara hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dikemukakan oleh Gustav Radbruch dalam Teori Hukum, dia mengatakan bahwa suatu negara hukum dapat diklasifikasikan ke dalam tiga prinsip umum, yaitu kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum. Bahkan salah seorang pemikir teori hukum alam, Lon Fuller, mengatakan bahwa jika kepastian hukum adalah salah satu bagian utama dari moralitas hukum itu sendiri, dikatakannya sebuah peraturan hukum haruslah tunduk pada internal morality yang salah satunya ditujukkan pada saat pembentukannya harus menunjukkan kejelasan dan tidak bertentangan satu sama lain. Majelis Hakim yang kami hormati, berdasarkan keten … kepada aturan-aturan suci yang ditegaskan di dalam konstitusi kita, serta berbagai doktrin yang berkembang dalam pemikiran ilmu hukum, kami berkesimpulan bahwa frasa hakim mendengar keterangan baik … baik dari tersangka dan atau Pemohon maupun pejabat yang berwenang dalam ketentuan Pasal 20 ... Pasal 82 ayat 1 huruf b undang-undang a quo telah menimbulkan suatu ketidakpastian hukum. Praperadilan yang kita kenal dalam sistem peradilan pidana kita mesti kita tempatkan sebagai suatu mekanisme untuk menjaga dan melindungi hak asasi manusia. Prosedur ini merupakan ruang complain, dan perlindungan martabat, serta hak asasi warga negara terhadap tindakan pejabat yang berwenang dalam melakukan suatu upaya paksa. Bila kita cermati dengan seksama frasa a quo , meski tampak jelas rumusannya tetapi rumusan a quo sesungguhnya mengandung unsur ketidakpastian hukum. Rumusan tersebut sebenarnya merupakan ketentuan yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk mendengar keterangan baik dari Pemohon ataupun Termohon, pada saat pemeriksaan dibuka persidangan praperadilan, bukan merupakan ketentuan yang mewajibkan hakim untuk memulai pemeriksaan setelah kedua belah pihak lengkap. Sayangnya KUHAP tidak merinci hukum acara dari praperadilan, sehingga dalam praktiknya ketentuan a quo acap kali ditafsirkan sebagai ketentuan bahwa hakim pada saat memulai 4 pemeriksaan dan perhitungan selambat -lambatnya tujuh hari untuk menjatuhkan putusan harus menghadirkan kedua belah pihak. Dalam praktiknya, penafsiran ini telah mengakibatkan pejabat yang berwenang sebagai Termohon praperadilan setelah dipanggil secara patut dan layak oleh pengadilan untuk hadir dalam sidang yang dibuka pertama kali, tidak menghadiri persidangan praperadilan tanpa alasan yang cukup jelas. Lebih jauh, tidak hadirnya pejabat yang berwenang sebagai Termohon tersebut telah menyebabkan sidang praperadilan harus ditunda beberapa kali. Akibatnya, kepentingan dari Pemohon praperadilan sebagai pihak yang dikenakan upaya paksa tidak dapat dilindungi berdasarkan Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Sikap pejabat yang demikian telah membuat jangka waktu pemeriksaan praperadilan secara umum melebihi tujuh hari, sebagaimana diatur secara tegas di dalam Pasal 82 ayat 1 huruf c KUHAP dan disinyalir merupakan upaya dari pejabat yang berwenang untuk menggugurkan permohonan praperadilan, dengan menunggu ataupun mempercepat dilimpahkannya berkas perkara pokok ke pengadilan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP. Berdasarkan prinsip peradilan cepat dalam pemeriksaan sidang praperadilan, maka semestinya apabila panggilan telah dilakukan secara patut dan layak, maka apabila pejabat yang bersangkutan sebagai Termohon tidak hadir pada pemeriksaan pertama, pengadilan dapat terus memeriksa permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon praperadilan. Apabila pengadilan dapat memeriksa permohonan praperadilan tanpa kewajiban kehadiran dari Termohon yang sudah dipanggil secara patut dan layak, tentu akan menjamin prinsip negara hukum sesuai ketentuan yang ada di dalam Pasal 82 huruf c KUHAP. Ketidakjelasan aturan di dalam Pasal 82 ayat 1 huruf c KUHAP, telah berdampak langsung atau memperkecil peluang gugurnya praperadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP. Hal ini mesti diingat praperadilan adalah lembaga yang dibentuk semata-mata untuk menjamin dan menegakkan martabat dari Pemohon yang merasa haknya telah dirampas oleh pejabat yang berwenang sebagai Termohon dalam upaya paksa. Sebagai perbandingan, Mahkamah Konstitusi yang berfungsi untuk menjamin tegaknya kepastian hukum dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara, juga mempraktikan hal ini. Praktik persidangan yang selama ini dianut oleh Mahkamah Konstitusi telah terbukti mampu menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara, yaitu terkait tetap dimulai, diperiksa, dan diputusnya permohonan meskipun tanpa kehadiran Termohon yang mana dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi juga merupakan pihak yang mewakili negara. 5 Majelis Hakim Yang Mulia. Masalah lain yang mengemuka dari ketidakjelasan rumusan hukum acara praperadilan di dalam KUHAP adalah tidak tegasnya ketentuan mengenai awal dimulainya perhitungan tujuh hari untuk pemeriksaan praperadilan. Sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 82 ayat 1 huruf c KUHAP. Dalam praktiknya, setidak- tidaknya telah berkembang empat penafsiran yang berbeda-beda mengenai sejak kapan tujuh hari itu. Pertama, perhitungan dimulai setelah perkara didaftarkan dan mendapat nomor registrasi dari pengadilan negeri. Kedua, perhitungan dimulai setelah ketua PN melakukan penunjukkan hakim tunggal praperadilan. Ketiga, perhitungan dimulai sejak hakim tunggal praperadilan membuka sidang perdana. Dan keempat, perhitungan dimulai setelah para pihak lengkap. Khusus penafsiran yang menyatakan bahwa dimulainya tujuh hari adalah pada saat para pihak lengkap dalam sidang praperadilan, telah membuka kemungkinan luas terjadinya pelanggaran terhadap prinsip pemeriksaan praperadilan secara cepat. Karena membuka kemungkinan pelanggaran prinsip tersebut juga dapat berakibat serius terhadap pelanggaran hak-hak Pemohon praperadilan. Masalahnya, model penafsiran inilah yang umumnya dianut oleh para hakim di pengadilan negeri. Pengadilan tidak berani untuk memulai sidang dan memutusnya dalam waktu tujuh hari, sidang pertama dibuka meski surat panggilan telah disampaikan secara patut dan layak. Hal inilah yang menjadi penyebab waktu pemeriksaan sidang permohonan praperadilan secara rata-rata melebihi waktu tujuh hari. Lagi-lagi memperbandingkan model persidangan di Mahkamah Konstitusi menjadi penting. Sebagai ruang yang sama untuk mempertahankan hak-hak konstitusional warga negara, Mahkamah Konstitusi akan langsung menggelar persidangan meski tanpa kehadiran pemerintah dan DPR, walaupun pemerintah dan DPR telah dipanggil secara patut dan layak. Persidangan di Mahkamah Konstitusi juga dapat menjatuhkan putusan meski para pihak yang berkepentingan dalam hal ini pemerintah dan DPR, serta pihak lain yang berkepentingan tidak hadir sejak awal dibukanya persidangan. Salah satu pertimbangan dari penafsiran waktu dimulainya tujuh hari sejak para pihak dinyatakan lengkap di dalam praktik karena adanya ketidakjelasan apakah hakim praperadilan dapat menjatuhkan putusan dalam waktu tujuh hari sejak sidang pertama dibuka, tanpa kehadiran pihak yang berwenang. Meski pejabat yang berwenang tersebut telah dipanggil secara patut dan layak. Situasi ini jelas telah merugikan hak-hak konstitusional warga negara, khususnya jika dikaitkan dengan fungsi kontrol dari praperadilan terhadap tindakan upaya paksa oleh aparat penegak hukum yang berpotensi dilakukan secara sewenang-wenang. Yang Mulia Majelis Hakim, Kusumadi Bojosuwoyo salah seorang hakim ... eh, salah seorang Akademisi Hukum I ndonesia menyatakan, 6 “Dikarenakan I ndonesia adalah negara hukum, maka segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara harus pula berdasarkan dan diatur oleh hukum. Penguasa bukanlah pembentuk hukum, melainkan pembentukan aturan-aturan hukum. Oleh sebab itu, hukum berlaku bukan karena ditetapkan oleh penguasa. Akan tetapi, karena hukum itu sendiri.” Hal ini membawa konsekuensi bahwa penguasa pun dapat dimintai pertanggungjawaban ...

7. KETUA: MUHAMMAD ALI M