BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Melalui deklarasi Surabaya pada tahun 1999, ilmu keolahragaan ditetapkan sebagai salah satu bagian dari disiplin ilmu eksakta atau sains yang memiliki fokus
kajian analisis gerak manusia dalam aktivitas olahraga. Olahraga tidak lagi hanya dipandang sebagai aktivitas bermain atau berlatih melainkan merupakan objek kajian
ilmu pengetahuan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan Sun, 2007, seperti: fisiologi, biomekanika, kinesiologi, ilmu gizi, dan biokimia. Untuk itu
kemampuan memahami konsep dasar ilmu-ilmu fisika, kimia, biologi dan logika matematika sangat dibutuhkan untuk memberikan landasan pemahaman dan
kemampuan dalam melakukan analisis gerak KDI Ilmu Keolahragaan, 2000. Ditinjau dari konsep scientific literacy OECD, 2003, literasi sport-biochemistry
LiSBi merupakan kemampuan minimal yang dibutuhkan mahasiswa untuk berperan dalam kehidupan sosialnya masyarakat olahraga. Konsep tersebut menggambarkan
bahwa mahasiswa dituntut tidak hanya menguasai biokimia melainkan juga memiliki kepekaan yang tinggi dan mampu memahami isu-isu dan fenomena keolahragaan,
menginterpretasi fakta-fakta dan membuat kesimpulan dalam upaya mengatasi masalah- masalah keolahragaan yang berkaitan dengan biokimia. Selain itu, tumbuhnya sikap
mahasiswa yang positif terhadap biokimia olahraga attitudes toward sport- biochemistry
untuk mendukung tanggung jawab dan perannya sebagai analis,
2
evaluator, konsultan, programer keolahragaan bahkan sebagai peneliti dalam pengembangan ilmu keolahragaan.
Permasalahan yang paling mendasar setelah ilmu keolahragaan dinyatakan sebagai rumpun ilmu-ilmu eksakta sains adalah bagaimana upaya agar mahasiswa
lulus matakuliah biokimia yang memiliki literasi sport-biochemistry LiSBi. Padahal mahasiswa pada umumnya datang dengan membawa persepsi awal: ”kuliah di fakultas
ilmu keolahragaan hanya untuk berlatih olahraga, bukan untuk mempelajari sainsIPA yang selama ini seringkali dianggap sebagai mata pelajaran yang sangat sulit ketika
belajar di tingkat SMA Wawancara informal kepada calon mahasiswa ilmu keolahragaan di suatu LPTK Surabaya. Mahasiswa berharap akan lebih banyak
mengandalkan kemampuan ototnya untuk dilatih sesuai dengan cabang olahraga yang diminatinya. Persepsi awal tersebut kemudian diperparah oleh kegiatan perkuliahan
biokimia yang bersifat teoretik dan perkuliahan olahraga di lapangan yang belum mengaplikasikan sains, khususnya biokimia. Akibatnya, biokimia menjadi kurang jelas
kaitannya dengan olahraga, sehingga tidak dapat memenuhi harapan mahasiswa. Materi biokimia menjadi terkesan semakin abstrak dan semakin tidak jelas manfaatnya bagi
mahasiswa. Dari asil analisis kemampuan berpikir pada tahun 2005 menemukan bahwa pada
umumnya mahasiswa ilmu keolahragaan hanya mampu menggunakan kemampuan berpikir konkrit dan kesulitan mengoperasikan kemampuan berpikir abstraknya
Kristiyandaru Erman, 2005. Atmosfir akademik yang kurang kondusif juga menjadi penghambat upaya peningkatan kemampuan berpikir mahasiswa. Masyarakat olahraga
bahkan masyarakat pada umumnya lebih mengenal olahraga yang hebat dari sisi
3
penampilan skill yang bertumpu pada kecerdasan kinestetiknya dan bukan pada sisi ilmu pengetahuan keolahragaan yang bertumpu pada logika dan kecerdasan aritmetika
Tim PHK A-1 Penkesrek Unesa, 2007. Kondisi tersebut berdampak sangat jelas, tidak hanya terhadap hasil belajar mahasiswa tetapi juga terhadap minat belajar terutama pada
matakuliah bidang sains dan terapannya termasuk biokimia olahraga. Hasil belajar mahasiswa ilmu keolahragaan pada matakuliah biokimia dapat
dikatakan tergolong masih rendah dengan tingkat penguasaan rata-rata kurang dari 30. Dalam setiap tahun pembelajaran biokimia, rata-rata kurang dari 10 mahasiswa
yang mendapatkan nilai A, sedangkan yang mendapat nilai B tidak lebih dari 20. Pada umumnya mahasiswa mendapatkan nilai C dan sebagian hanya mendapat nilai D dan E
Kristiyandaru Erman, 2005; Martini Erman, 2009. Beberapa fakta yang menunjukkan rendahnya motivasi mahasiswa belajar biokimia olahraga adalah
keengganan mahasiswa untuk mencatat penjelasan dosen, mencari dan membaca literatur pendukung termasuk untuk memiliki buku acuan yang sudah disiapkan. Ujian
ulang yang dilakukan dalam kegiatan remidial tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan hasil belajar mahasiswa. Padahal soal dalam tesujian yang digunakan,
sebelumnya sudah dibahas jawabannya dan ujian bersifat open book Martini Erman, 2009. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran biokimia selama ini yang
dilakukan dalam bentuk ceramah, diawali dengan memperkenalkan konsep, prinsip dan teori biokimia dan aplikasinya dalam olahraga disertai dengan pemberian contoh
fenomena olahraga kurang efektif. Ilmu keolahragaan merupakan bidang ilmu yang bersifat multidisipliner, yaitu
amalgamasi dari berbagai bidang ilmu, seperti sains dan terapannya, psikologi dan
4
ilmu-ilmu sosial lainnya. Tentu saja untuk memahami dan menguasainya memerlukan kemampuan berpikir dan motivasi belajar yang tinggi Hartono Erman, 2004. Jika
hal ini terus berlanjut maka sulit berharap kelak akan mendapatkan lulusan prodi ilmu keolahragaan yang memiliki kompetensi yang diharapkan. Oleh karena itu
pembelajaran biokimia di prodi ilmu keolahragaan memerlukan strategi khusus, tidak hanya sekedar untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa, melainkan juga dapat
menciptakan situasi yang kondusif untuk memotivasi mahasiswa belajar biokimia olahraga. Upaya tersebut tidak mudah dilakukan karena memerlukan kajian yang
mendalam terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas belajar biokimia mahasiswa untuk menentukan solusi pembelajaran yang tepat.
Hasil kajian pendahuluan terhadap pembelajaran biokimia di prodi ilmu keolahragaan menemukan faktor-faktor penyebab mahasiswa kurang tertarik belajar
biokimia dan materi sains pada umumnya. Pertama, persepsi awal mahasiswa yang menganggap bahwa kuliah di prodi ilmu keolahragaan hanya untuk berlatih olahraga
sesuai dengan minat atau spesialisasinya masing-masing. Mereka tidak akan belajar sains dan ilmu terapannya yang memerlukan kemampuan berpikir tinggi Hartono
Erman, 2004. Kedua, belajar sains dan terapannya termasuk biokimia hanya bersifat teoretik dan sulit diterapkan dalam aktivitas olahraga yang diminati mahasiswa. Bahkan
ada anggapan bahwa untuk menguasai keterampilan olahraga tertentu tidak perlu harus menguasai biokimia dan terapannya terlebih dahulu Hasil wawancara bebas kepada
mahasiswa dalam studi lapangan di suatu LPTK Surabaya tahun 2009. Dalam setiap melakukan latihan olahraga, konsep, prinsip dan teori biokimia belum dilibatkan, baik
untuk memahami setiap gerakan maupun untuk menjelaskan adaptasi kondisi fisik
5
pelaku olahraga. Ketiga, mahasiswa kesulitan menggunakan kemampuan berpikir abstraknya, padahal reaksi-reaksi biokimia berlangsung dalam sel yang terkesan abstrak
Kristiyandaru Erman, 2005. Dari ketiga faktor tersebut, yang paling berpengaruh adalah faktor kedua, yaitu tidak tampaknya hubungan atau manfaat belajar biokimia
dalam pengembangan kemampuan olahraga mahasiswa. Pembelajaran biokimia selama ini belum selaras dengan persepsi awal dan belum sesuai dengan karakteristik
mahasiswa. Materi perkuliahan biokimia pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 aspek, yaitu
struktur, fungsi dan energi. Dalam perkuliahan biokimia di prodi ilmu keolahragaan lebih difokuskan pada aspek fungsi dan energi agar terkesan lebih mudah dipelajari
mahasiswa. Meskipun demikian kesan kompleks dalam perhitungan energi yang menyertai setiap tahap reaksi sel yang panjang, reversibel bahkan berupa siklus, seperti:
reaksi glikolisis dan siklus Krebs tak dapat dihindarkan. Hampir semua konsep dan reaksi dalam sel pada umumnya bersifat abstrak yang menjadi salah satu faktor
penyebab rendahnya minat mahasiswa mempelajari biokimia dan timbulnya kesalahan konsep pada matakuliah biokimia Morton, Doran Maclaren, 2007. Menurut Jeremy
2005 inovasi strategi pembelajaran akan berhasil mencapai tujuan jika dalam implementasinya disesuaikan dengan karakteristik mahasiswa. Untuk menarik minat
mahasiswa mempelajari biokimia adalah dengan menggunakan strategi yang tepat dalam pembelajaran Hermes-Lima et al., 2007. Oleh karena itu, model pembelajaran
perlu dikembangkan untuk memudahkan mahasiswa memahami materi biokimia yang kompleks.
6
Hasil roadmap dalam lingkup penelitian pembelajaran biokimia, banyak dihasilkan model dan strategi-strategi pembelajaran biokimia yang inovatif dan kreatif.
Namun semua strategi tersebut pada umumnya hanya diterapkan kepada mahasiswa jurusan kimia yang sebelumnya sudah dibekali dengan banyak matakuliah prasyarat
pendukung, disamping konteksnya yang relevan dengan minat mahasiswa. Salah satu strategi pembelajaran adalah dengan menggunakan konteks olahraga
dalam pembelajaran kimia. Semua aspek kimia yang terkait dengan olahraga ditampilkan dalam bentuk mind mapping, seperti kimia organik bahan-bahan sepatu,
raket dan alat olahraga lainnya, metabolisme energi biokimia, dan kimia analitik untuk memahami penggunaan bahan-bahan kimia atau doping Potter Overton,
2006. Pembelajaran tersebut dapat meningkatkan hasil belajar kimia mahasiswa. Namun strategi tersebut sulit untuk diterapkan kepada mahasiswa ilmu keolahragaan
karena memerlukan dasar-dasar pengetahuan kimia organik, kimia analitik, kimia anorganik yang memadai, yang tidak diberikan dalam kurikulum prodi ilmu
keolahragaan. Penggunaan olahraga sebagai konteks pembelajaran sains juga pernah dilakukan
oleh Hammrich, Richardson dan Livingston 2003 melalui program Sisters in Sport Scientific
SISS. Mereka menemukan peningkatan hasil belajar sains siswa sekolah dasar, bahkan diduga dapat mempromosikan literasi sains siswa. Namun cara ini lebih
dominan pada aspek fisika yang berkaitan dengan gerak mekanik untuk siswa sekolah dasar.
Literasi sport-biochemistry berperan penting dalam pengembangan ilmu keolahragaan. Aktivitas olahraga dapat meningkatkan penampilan performance
7
seseorang karena hasil adaptasi-adaptasi fisiologi pada tingkat selular yang melibatkan banyak proses biokimia, seperti: sintesis protein baik untuk meningkatkan volume sel,
hormon, enzim maupun untuk meningkatkan produksi energi Viru Viru, 2001. Dalam olahraga prestasi, kemampuan fisik merupakan kondisi dasar yang harus
dimiliki seorang atlet. Badan Liga Sepak Bola Indonesia BLI, misalnya, membuat kebijakan sertifikasi bagi setiap pemain asing sebelum menjadi pemain klub di
Indonesia. Sertifikasi tersebut diberikan berdasarkan hasil tes fisik, terutama kemampuan mengambil oksigen maksimal VO
2
maks. di samping kemampuan fisik lainnya Tim Sertifikasi Pemain Asing, 2008. Dalam olahraga kesehatan dan rekreasi,
seperti senam dan aktivitas gerak olahraga lainnya yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat memerlukan kajian ilmiah yang melibatkan konsep, prinsip, hukum dan
teori biokimia, fisiologi, dan ilmu gizi. Kajian tersebut diperlukan untuk memahami bagaimana proses adaptasi selular terjadi sebagai dampak dari latihanolahraga yang
dilakukan. Sebuah organisasi ekonomi, Organization for Economic Cooperation and
Development atau OECD menganggap literasi sains memiliki peran strategis dalam
pengembangan kehidupan ekonomi suatu bangsa. PISA The Programme for International Student Assesment
menganggap literasi sains sebagai bagian dari tujuan pendidikan sains. Bahkan literasi sains dipandang sebagai level ilmu pengetahuan
minimal yang harus dimiliki setiap warga negara untuk menjalankan perannya dalam kehidupan sosialnya OECD, 2006. Kehidupan sosial tersebut diilustrasikan oleh PISA
tahun 2006 sebagai sebuah konteks Kim Lavonen, 2009. Hal ini berarti bahwa dalam belajar biokimia, mahasiswa ilmu keolahragaan diharapkan dapat memperoleh
8
LiSBi agar dapat menjalankan perannya dalam kehidupan sosialnya masyarakat olahraga atau dalam konteks keolahragaan.
Salah satu inovasi pembelajaran yang diharapkan dapat mengintegrasikan biokimia ke dalam konteks olahraga adalah melalui Model Analisis Kasus-kasus
Olahraga MAKOR. Inovasi pembelajaran tersebut terdiri dari 5 tahap, yaitu: 1 mengeksplorasi kasus-kasus olahraga yang sudah menjadi isu publik, 2
mendeskripsikan kasus olahraga yang berhasil dieksplorasi, 3 menjelaskan kasus yang sudah dideskripsikan dengan menggunakan literatur untuk mengidentifikasi dan
menjelaskan aspek-aspek biokimia dalam kasus olahraga, 4 mengaplikasikan konsep, prinsip, hukum dan teori biokimia untuk menjelaskan secara komperehensif kasus
olahraga, dan 5 mendiskusikan hasil yang diperoleh pada tahap 1 sampai dengan 4 untuk berbagi dengan peserta lain. Melalui model pembelajaran ini diharapkan
hubungan antara biokimia dengan aktivitas olahraga menjadi semakin jelas bagi mahasiswa. Dalam model MAKOR, mahasiswa akan mengeksplorasi kasus olahraga
publik yang menarik perhatian mereka dan masyarakat pada umumnya, kemudian mengkajinya dengan menggunakan literatur untuk menggali konsep, prinsip dan teori
biokimia dalam setiap kasus, isu dan fakta tersebut. Dalam model MAKOR, kemampuan inkuiri dikembangkan melalui kemampuan
mengeksplorasi, mendeskripsikan dan menjelaskan kasus-kasus olahraga. Mahasiswa akan mendapatkan penjelasan yang komprehensif melalui kajian literatur dari berbagai
disiplin ilmu pengetahuan berpikir integratif, sampai pada aspek-aspek biokimia, sehingga tumbuh rasa penasaran untuk ingin tahu yang sebenarnya. Semakin banyak
kasus yang dianalisis, semakin banyak informasi yang diperoleh mahasiswa tentang
9
biokimia melalui fenomena-fenomena olahraga. Dengan demikian mahasiswa tidak hanya melihat perkembangan performance seseorang sebagai dampak latihan dari sudut
pandang skill olahraga, tetapi juga sebagai hasil adaptasi pada tingkat selular. Monitoring dan evaluasi kemajuan latihan olahraga secara cermat dan akurat
menggunakan indikator-indikator biokimia selular Viru Viru, 2001. Akibatnya, mahasiswa akan menganggap biokimia bukan hanya sebatas teori, tetapi landasan ilmu
pengetahuan yang sangat penting perannya untuk memahami isu-isu olahraga, di samping untuk mendukung upaya mengatasi berbagai permasalahan olahraga, baik
olahraga prestasi maupun olahraga kesehatan dan rekreasi masyarakat, atau disebut memiliki literasi sport-biochemistry LiSBi.
B. Rumusan Masalah