Potensi Reproduksi Dan Pemanfaatan Ternak Kerabu Di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan

POTENSI REPRODUKSI DAN PEMANFAATAN
TERNAK KERBAU
01 KABUPATEN TAN A TORAJA, SULAWESI SELATAN

,
\

Oleh :
KUNDAN DU'ALI NOORYAKIEN
B 16 0793

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERT ANIAN BOGOR

1986

RINGKASAN
KUNDAN DU'ALI NOORYAKIEN. 1986. Potensi Reproduksi
dan Pemanfaatan Ternak Kerbau di Kabupaten Tana Toraja,
Sulawesi Selatan (Di bawah bimbingan Prof. Dr. Mazes R.
Toelihere MSc.).

Saat ini, informasi tentang biologi reproduksi ter nak kerbau dengan sifat dan aspeknya masih jarang terutarna di negara-negara Asia Tenggara, sehingga perkembangannya sukar diikuti.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mempelajari
pola hubungan antara peternak dengan ternak kerbau di kabupaten Tana Toraja dalam kaitannya dengan pola perkem
bangan peternakan yang tercipta selama ini, serta pengaruh adat istiadat, tingkat pendidikan formal, tingkat pengetahuan reproduksi hewan terhadap perkembangan peterna.\s.
an kerbau yang menurun, sehingga dapat ditemukan pola
yang tepat dalam rangkaian usaha peningkatan kembali po tensi dan pemanfaatan ternak kerbau seeara maksimal.
Di kabupaten Tana Toraja, yang rnerniliki cukup besar
potensi ternak kerbau dengan populasi 33 080 ekor setelah
rnengalarni penurunan populasi dari 43 727 ekor sejak tahun
1976 dengan rata-rata penurunan 1 397 ekor per tahun. Ji
ka hal 1ni dibiarkan terus tanpa adanya usaha penanggu -langan, rnaka kemungkinan besar di tahun 2 000 populasi
ternak kerbau di Tana Toraja akan punah. Lebih dikhawa tirkan lagi adalah jenis kerbau belang yang disebut te dong bonga yang kini populasinya hanya tidak lebih dari
1 000 ekor lagi. Hal ini disebabkan oleh tingkat perno tongan yang terlalu tinggi, terutarna pada upaeara adat
kematian dapat rneneapai 4 248 ekor per tahun, sedang di
rurnah potong hewan paling tinggi 186 ekor per tahun. Sementara itu angka kelahiran sangat kecil.
Adat istiadat bukan rnerupakan satu-satunya penyebab
penurunan populasi ternak kerbau, tapi faktor-faktor lain
ikut memberikan andil, seperti tingkat pendidikan; pengalaman beternak dari peternak; pengetahuan manajemen; dan
kondisi sosial ekonomi peternak yang erat kaitannya de ngan status sosial yang ada di masyarakat.
Untuk menganalisis hubungan antara kondisi populasi

ternak kerbau di Tana Toraja dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya seeara kuantitetif, make digunaken fungsi
Cobb Douglas sebagai berikut
Y

=

f(X 1 , X2 , X , X , ............ Xn)
3
4

Y

=

a. xセQ@

Y

=a


Y

=
=

X

1
X2

=
X =
4

X3

xセR@ クセS@

クセT@ クセU@


atau

1 1 + b 2X2 + b 3X3 + b 4 X4 + b 5X5 , di mana
Potensi reproduksi dan populasi ternak kerbau
Kondisi umum dan sosiel ekonomi peternak
Pengetahuen manajemen praktis peternek
Lama dan pengalaman beternak
Tingkat pendidikan
+ b X

X5 = Adat istiadat setempat
a = Konstanta
bn = elastisitas atau koefisien arah
Dari hasil penelitian yang diolah secara statistika
dOllgill1 menggunalwn alat kOlllputer, maka didapat bahwa hu bungan atau korelasi tertinggi sampai terendah adaQah sebagai berikut : Tingkat pendidikan peternak dengan nilai
0.69 (1'=0.05), Lama dan pengalaman beternak dengan nilai
0.63 (P=0.05), Adat istiadat dengan nilai 0.48 (P=0.05)
l'engetahuan manajemen praktis dengan nilai 0.45 (P=0.05),
dan Kondisi umum dan sosial ekonomi peternak dengan nilai

0.42 (P=0.05). Sementara nilai kritis yang diberikan 0 leh metoda Spearmann adalah 0.16551 (1 arah, 0.05) dan
0.19646 (2 arah, 0.05). Jadi jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasil yang didapat. Ini berarti sangat berarti atau significant atau hubungannya sangat erat.
Demikian juga dengan menggunakan metoda regresi ャゥョセ@
ar sederhana, korelasi yang didapat dari tertinggi ke t6E
rendah adalah sebagai berikut : Lama dan pengalaman beter
nak r=0.63 dengan nilai T-test = 8.0308; Tingkat pendidik
an r=0.598 dengan nilai T-test = 7.3860; Adat istiadat イセ@
0.477 dengan nilai T-test = 6.1127; Pengetahuan manajemen
praktis r=0.450 dengan nilai T-test = 4.9884; dan Kondisi
umum dan so sial ekonomi peternak r=0.384 dengan nilai Ttest = 4.117. Sedang T-tabel P(98, 0.01)=2.371 dan P(98,
0.05)=1.664.
Untuk mengetahui sejauhmana hubungan antara faktor faktor tersebut secara bersama-sama terhadap populasi ter
nak kerbau, maka digunakan metoda korelasi regresi bergan
da dan korelasi Kendall (Tau-Kendall), masing-masing 。、セ@
lah sebagai berikut : Korelasi regresi berganda yang dida
pat R=0.70 dengan nilai T-test = 9.7508, sedang T-tabel P(94, 0.01)=2.637 dan p(94, 0.05)=1.664 ; dan Tau-Kendall
yang didapat W=0.56 dengan nilai Chi-squares test=338.04,
sedang Chi-squares tabel P(94, 0.01)=133.46 dan P(94,
0.05)=122.06. Terlihat kedua hasil perhitungan lebih besar dari nilai tabel pada kedua taraf nyata. Ini berarti
hubungan semua faktor secara bersama-sama adalah sangat

nyata atau sangat erat.
Untuk efisiensi dan efektifitas penanggulangan, pe lestarian dan peningkatan kembali populasi ternak kerbau
yang menurun di Tana Toraja, maka cukup perhatian kita di
pusatkan pada tiga faktor, yaitu Pengalaman beternak, tゥョセ@
kat pendidikan dan perbaikan kondisi so sial ekonomi peter
nak. Hal ini tidak berarti dua faktor lain, yaitu p・ョァセ@
tahuan manajemen praktis dan Adat istiadat tidak diperhatikan, akan tetapi dapat diterima bahwa pengetahuan manajemen praktis akan didapat menyusul jika tingkat pendidik
an peternak ditingkatkan untuk ilmu manajemen teori dan perluasan pengetahuan dan pengalaman beternak untuk manajemen praktis. Sementara adat istiadat adalah suatu pranata sosial yang sangat peka jika hal itu dirubah dari lu
ar. Dengan pendidikan dan pengetahuan lain serta perbaik
an kondisi sosial ekonomi peternak, maka secara perlahantapi pasti, kesadaran peternak akan lingkungannya teruta-

rna masalah mereka sendiri yaitu perkembangan peternakan
kerbau akan muncul dan berkembang (perspektif dan prospek
tif). Tiga faktor terpilih tadi diperoleh dengan menggu=
nakan metoda analisis korelasi regresi stepwise.
Rasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rekomenda
si bagi penelitian lanjutan dan/atau menentukan strategikebijaksanaan bagi semua pihak atau pemerintah dalam ranE
ka pelestarian dan peningkatan kembali populasi ternak
kerbau di Tana Toraja dengan segala penerapan teknologi
tepat guna-nya.


POTENSI REPRODUKSI DAN PEHANFAATAN
TERNAK KERBAU
DI KABUPATEN TANIl TOHAJA, SULAWESI SELATAN

S K RIP S I

Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh
gelar Dokter Hewan pada

Fakultas Kedokteran hewan

Institut Pertanian Bogor

Ole h

KUNDAN DU'ALI NOORYAKIEN
Nrp. B 16 0793

EAKULTAS KEDOKTEHAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
1986

POTENSI REPRODUKSI DAN PEMANFAATAN
TERNAK KERBAU
DI KABUPATEN TANA TORAJA, SULAWESI SELATAN

KUNDAN DU'ALI NOORYAKIEN
Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
1986

Telah diperiksa dan disetujui
oleh

Prof. Dr. Mozes

H.

Toelihere MSc.


Dosen Pembimbing
Tanggal

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke
hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan
ォ。イセ@

nia-NYA kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini
dari persia pan yang memerlukan waktu yang panjang sampai
pelaksanaan hingga penulisan laporan hasil penelitian.
Semoga kekuatan dan karunia tersebut terus dilimpahkan ke
pada penulis dan pembaea semua.

Amin.

Syari'atnya, penulis sampaikan ueapan terima kasih
kepada Prof. Dr. Mazes R. Toelihere 1·18e. selaku dosen peE!
bimbing yang dengan sabar dan bijaksana telah menuntun
dan membimbing penulis dalam melaksanakan penelitian ini.

Ueapan terima kasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Drh. Daman Danumihardja, Dirjen Peternakan DepaE
temen Pertanian atas bantuan finansil dan rekomendasi
pelaksanaan penelitian.
2. Bapak Drh. I'luh. Rapi, Inspektorat Peternakan Propinsi
Sulawesi Selatan dan bapak Ir. Saul Bangapadang, Kepala Dinas Peternakan kabupaten Tana Toraja atas izin
dan bantuannya kepada penulis dalam melaksanakan penelitiannya.
3. Bapak Prof. Dr. Djokowoerjo Sastradipradja, Dekan Fa kultas Kedokteran Hewan IPB beserta staf yang telah
ikut membimbing dan bantuan moral.
4. Semua pihak yang seeara langsung dan tidak Iangsung
terlibat dalam memperlanear penelitian ini.

Sudah borong tentu, deIsm peleksanaan dan penulisan
laporan penelitian ini banyak sekali kelemahan dan keku rangan, maka kritik dan saran yang menuju penyempurnaan
penulisan laporan penelitian ini adalah suatu hal yang sa
ngat bijaksana untuk diterima.
Semoga, penelitian dan penulisan laporan ini akan
membawa manfaat kepada penulis sendiri khususnya, juga ke
pada masyarakat peternak umumnya, disertai ridlo dari
Allah SWT.


Amin.

Bogor,

07

September

Pen u l i s

1986

DAFTAR lSI
Halaman
RINGKASAN

...................................... " .......................... .
.. .. . . . .. . . .. . .. .. . .. . .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. ..

iv

.. . . . . . . . . . .. .. .. .. .. . .. . .. . .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. ..

vi

..............................................................

vii

...................................................... ..

ix

KATA PENGANTAR
DAI"TAR lSI

DAFTAR TABEL
DAFTAR LANPIRAN

1.

PENDAillJLUAN

1

.............................................................. "

......................................................

-I

..........................................................

2

Latar belal"l!ClU

domestik adalah Bubalus arnee, me-

rupakan salah satu dari empat spesies kerbau liar di dunia
yang hidup dan masih dapat dijumpai di hutan-hutan wilayah
Assam (Bhattacharya, 1977).

Sementara itu ada kesamaan ci

ri bentuk dahi dari Jaffarabadi, kerbau perah India yang
menghasilkan susu tinggi dengan Syncerus caffer, kerbau 11,
ar di Afrika (Phillips, 1948).

Semakin kini, kepentingan

kerbau bagi negara-negara di Asia, terutama Asia Tenggara
dan Asia Barat, Eropa, Australia dan Amerika Selatan semakin dirasakan.
Dari populasi kerbau keseluruhan, maka India memiliki
tingkat populasi tertinggi, disusul Cina, Pakistan, Thai land, Filipina, Nepal, Indonesia, Vietnam, Mesir, Burma,

9

Turki, Sri Lanka, Irak, Iran dan berbagai negara lajnnya.
Sedangkan khusus kerbau lumpur, Indonesia berada pada uru!
an keempat setelah Cina Selatan, Thailand dan Filipina dengan populasi 2 986 000 ekor kerbau lumpur (Toelihere,
1980) •
Di Indonesia hanya terdapat kerbau lumpur, sedangkan
kerbau perah adalah hasil impor dari India, yaitu kerbau
Murrah.

Pada umumnya ternak kerbau lumpur digunakan seba-

gai tenaga kerja di lahan pertanian dan dijadikan ternak
penghasil daging jika sudah tidak sanggbl,p lagi bekerja.
Sehingga timbul anggapan masyarakat, bahwa kualitas daging
kerbau lebih rendah dari pada daging sapi (Fisher, 1971).
Sedangkan Voight (1977) menyatakan bahwa kualitas daging
kerbau sarna dengan daging sapi.

Hal ini diperkuat para Pi

neliti lain di Italia, Bulgaria, Filipina dan Thailand
(Fisher, 1971; Voight, 1977) yang melaporkan bahwa kuali tas elaging kerbau dan daging sapi adalah sarna.

Bahkan Cum

buridze elan Dalakishvili (1959) yang membandingkan pertambahan berat badan anak sapi dan kerbau elalam kondisi pemeliharaan yang sarna, menyatakan bahwa kerbau mempunyai
patan penggemukan yang lebih dari pada sa pi.

ォ・」セ@

Paela kenyat.§!.

an elapat dimengerti, karena pada umumnya pemeliharaan sapi
lebih intensif, sedang pada kerbau masih ekstensif, dan si
dikit sekali yang semi intensif.

Pada tabel-tabel berikut

elisajikan gambaran perbandingan antara kerbau dan sapi, y.§!.
itu perbandingan berat karkas, komposisi air susu elan komposisi keadaan gizi dari daging kerbau.

10
Tabel-2

:Perbandingan ukuran karkas sapi dan kerbau
Sapi
(kg)

Parameter

Kerbau
(kg)

Berat hidup

228.2 2: 22.3

335.1 + 41.6

Berat karkas segar

1 20.0 + 15. 2

166.5 + 18.8
-

Berat karkas dingin

116.9 -+ 15.6

162.2 + 18.3
-

Prosentase

51 .2 -+

2.36

48.8 +

1.33

Sumber : Kassir, Mc Fetridge dan Hansen( 1969
dry and JIealth of The Domestic Buffalo)
Tabel-3.

(The Husban

Perbandingan komposisi susu sapi dan kerbau

Jenis ternak

Lemak

Protein

Air

Kerbau

7.45

3.78

83.23

100

Sapi

3.50

3.35

87.85

62

(%)

(76)

(76)

Kalori
(per 100 gram)

Sumber : FAO, 1959 (The Husbandry and Health of The Domestic Buffalo)
Tabel-4.

KomposiSi protein, lemak, air, dan kalori daging
kerbau
Lemak

Air

19.18

15.40

64.42

2 556

Sedang

20.50

9.60

68.87

2 080

Kurus

22.40

1 • 15

73.35

1 386

Keadaan gizi

Protein

Gemuk

(76)

(%)

(76)

Kalori
(per kilogram)

Sumber
Kurbanov, 1961 (The Husbandry and Health of The
Domestic Buffalo)
Disamping itu, ternak kerbau merupakan ternak yang
sanggup hidup dengan kondisi yang sangat minim.

Ternak

ini sanggup hidup subur di daerah basah, berawa atau ber
lumpur atau di daerah kering berkelembaban tinggi.

Kebu-

tuhan makanan sangat sederhana, lebih tahan hidup secara

11
prihatin tanpa perhatian khusus.

Walaupun demikian ternak

kerbau dapat bekerja keras dan menghasilkan berat karkas
yang relatif tinggi dibandingkan dengan sapi-sapi lokal.
Hal ini merupakan potensi yang sangat besar.

Toelihere

(1977) menyatakan bahwa penyakit umum dan penyakit repro duksi pada ternak kerbau jarang terjadi.

Tetapi kurangnya

pejantan merupakan faktor utama penghambat reproduksi dan
pengembangan ternak kerbau di Indonesia.

Contohnya, dalam

penelitian di Bali, 53.3 % kegagalan reproduksi pada ter nak kerbau di Tabanan dan 42.6 % di Buleleng disebabkan ka
rena kurangnya pejsntan disamping adanya kasus keguguran
pada waktu dikerjakan terlalu berat di sawah (Ekaputra,
1974) •
Dibandingkan dengan sapi (Bos taurus, セ@

indicus) kef

bau memiliki pertulangan yang lebih besar, bertubuh masif
tersusun rendah di atas kaki-kakinya yang kua.t dan berkuku
besar.

Kerbau tid"k O1el11iliki gla01hir sebagaimana zebu

indicus).

Hセ@

Bhattacharya (1977) menyatakan seluruh kerbau

memiliki tanduk yang lebih masif dari pada sapi.

Rangka

tubuh kerbau perah yang baik mirip dengan sapi perah.

Se-

dangkan kerbau lumpur mirip zebu.
Tipe-tipe kerbau India dan Pakistan yang menghasilkan
susu yang baik adalah bangsa-bangsa Murrah, Nili, Surti
dan Jaffarabadi.

Indonesia mengimpor tipe kerbau perah Mu

rrah dari India untuk dijadikan hewan piara dan diambil se
mennya untuk keperluan inseminasi buatan.

Kerbau perah

bangsa Hurrah memiliki kepala yang relarif keeil dibandin,g
kan ukuran tubuhnya, bentuk tubuh indah seperti baji pada
kerbau betina, kokoh dan kuat pada kerbau jantan.

12

Pada kerbau perah umumnya memiliki wajah yang bagus,
mata jernih dan cemerlang.

Telinga jatuh terkulai.

duk pendek tumbuh ke atas lalu ke belakang.
pada betina, dan besar padat pada jantan.
baik.

Tan.-

Leher jenjang
Dada berkembang

Kaki lurus, pendek, kuat dangan teracak baik.

Pada

betina, ambing berbentuk dan berukuran baik dengan jarak
puting susu yang baik, seimbang disertai penonjolan vena
mammaria.

Tali pusar kecil.

Ekor panjang, ramping menca-

pai gelang puyuh dengan tanda putih (bulu ekor putih) di
ujungnya.
Kerbau

Kulit tipis, lembut dengan rambut yang halus.
umumnya hitam pekat, tapi tidak jarang dijulE

セャオイ。ィ@

pai warna abu-abu (fawn grey).

Tanda putih pada wajah

atau anggota gerak sangat tidak disukai.
Adalah merupakan kebalikan dari kerbau perah, maka
kerbau lumpur berkuli t tebal dan berambut kasar.

Viarna ku

lit umumnya hitam dan abu-abu, tetapi tidak sedikit warna
putih atau merah muda.

Di kabupaten Tana Toraja terdapat

satu jenis kerbau lumpur yang disebut kerbau belang atau
tedong bonga yang mempunya i warna khu sus dan bervariasi.
Biasanya kepala putih, badan hitam putih, kadang-kadang
ada warna putih kemerahan sebagai tanda khas-nya.

Pada rna

ta, pupil berwarna putih.
Ukuran tubuh kerbau lumpur lebih besar dan bundar.
Kepala besar.

Telinga besar.

Hahang kuat.

Tanduk besar

dan masif, tumbuh ke samping kemudian ke belakang sedikit
ke atas.

Anggota geral, besar, kuat dan kompak dengan

cak yang besar.

エ・イセ@

leada masa laktasi, perkembangan ambing

kerbau lumpur betina kurang baik dan menghasilkan susu
yang lebih sedikit dari pada kerbau perah.

Dibandingkan

13

dengan kerbau lumpur jantan, maka pada betina kepala 1'elatif lebih kecil dari tubuhnya, leher jenjang dan besar tubuh relntif lebih kecil.

'l'eracak yang besar dan kuat,
」ッセ@

cok untuk pengolahan lahan pertanian seperti sawah.
Anatomi Reproduksi Ternak Kerbau
Alat kelamin luar pada kerbau jantan sarna dengan sapi.
Pada kerbau perah atau kerbau sungai, penis menggantung di
dalam praeputium yang dapat berayun.

Ukuran panjang penis

dari 15 sampai 30 cm dan dibentuk oleh lipatan kulit ber bentuk segitiga yang membentang dari umbilicus ke belakang.
Gambaran yang sarna adalag pada sapi zebu.

Pada kerbau lum

pur, penis terbungkus praeputium yang bertaut erat ke tu buh kecuali pad a ujung umbilicus, maka penis bergantung
bas sekitar 2.5 cm.

「セ@

Kerbau tidak memiliki erumpun rambut

pada orificium praeputii sebagaimana halnya pada sapi.
Pada kerbau lumpur, scrotumnya kecil.

Apabila diren-

tangkan sempurna, bentangan hanya 10 cm dan·tidak mempuny£
i konstriksi di dekat pertautannya pada dinding abdomen.
Sedang pada kerbau sungai, scrotum lebih besar dengan le her yang jelas, tetapi masih lebih kecil jika dibandingkan
dengan scrotum sapi (Toelihere, 1981).
セャ。」ァイ・ッ@

(a941) menyatakan, bahwa testes kerbau lum-

pur turun ke dalam scrotum pada umur mendekati 6 bulan,
tapi pada kerbau perah testes ditemukan pada waktu

エセ@

ャセィゥイN@

Testes bergantung di dalam scrotum dengan sumbu panjangnya
tep.;ak lurus terhadap tubuh sewaktu kendor, tetapi jika teE
tarik ke atas oleh m. cremaster, sumbu panjangnya mencapai
ll,)cisi r;n:nioc.1Udal.

Testes kerbau jantan dewasa yang te-

14
lah berkembang sempurna hanya mencapai setengah ukuran tes
tes sapi jantan dewasa bangsa Eropa.

Pada pemeriksaan his

tologik, lumen tubuli seminiferi kerbau malah lebih

kecil

dari pada domba dan kambing.
Joshi et al. (1967) menguraikan, bahwa

ォ・ャョェ。イMセ@

jar vesicula res pada kerbau relatif lebih kecil dari pada
sapi.

Demikian juga sa luran kelaminnya.
Anatomi reproduksi kerbau bet ina lebih kompleks kare-

na kepentingannya di bidang reproduksi, oleh karena itu le
bih sering diperhatikan.
Organ-organ reproduksi hewan betina berada pada suatu
ruang yang disebl1t dengan ruang pinggul atau ruang pelvis.
Rl1ang pelvis dibangun oleh tulang-tulang sacrum, vertebrae
coccygea kesatu sampai ketiga, dan dua tulang coxae.

Tu-

lang coxae sendiri dibentuk oleh ilium, ischium dan pubis.
Ketiga tUlang terakhir ini membentuk suatu legokan yang dl
sebut acetabulum sebagai tempat kepala tulang femur bertum
pu.

Hubungan antara tulang-tulang pelvis dan tulang pung-

gung dipertahankan oleh ligamenta, yaitu ligamenta sacroiliaca dorsalis dan lateralis yang bertaut ke sayap medial
ilium dan lateral sacrum serta puncak dari spinus scralis.
Pertautan ini sangat kuat, kaku dan dipertahankan serta di
dukung oleh ligamenta lain, yaitu ligamenta sacroischiadicum dan tendon parepubis.
Organ generatif hewan bet ina terdiri dari dua ova ria
(ovaria kanan dan kiri) dan bagian saluran reproduksi yang
meliputi sa luran. telur (tuba fallopii), uterus, cervix, va
gina dan vulva.
Di dalam ovarium terdapat unsur reproduksi yaitu sel-

15
sel interstitial yang berkembang menjadi folikel primer,
folikel skunder, folikel De Graaf yang mengandung sel te lur (ovum), folikel atretik dan corpora lutea.
Untuk memelihara ovarium, baik perkembangan maupun
fungsinya, maka ada suplai darah oleh a. ovariea dan satu
cabang 32.. utero-ovarial.

Sedang suplai syaraf adalBh sya-

raf-syaraf otonom dari plexus ovarial yang timbul dari
xus renalis dan aortik (SOisson dan Grossman, 1953).

ーャセ@

Ovari

um bertambah besar waktu he\van bertambah dewasa (Ji'oley et
a1., 1964).

Ovarium berbentuk oval.

Pada kerbau lumpur di
iョ、ッセ@

sia ukuran panjang ovarium antara 1.2 sampai 3.5 em dan Ie
bar 0.8 sampai 2.5 em (Toelihere, 1977).

Ovarium kanan le

bih besar, karena seeara fisiologik lebih aktif.

Berat ra

ta-rata keduc1 ovaria pada kerbau lumpur 0.85 sampai 5.3
gram.

Belum tereatat ukuran diameter folikel De Graaf, ta

pi Corpus luteum pada kerbau lumpur mempunyai diameter 0.7
sampai 1.7 em dengan berat antara 0.5 sampai 1.65 gram
(Toelihere, 1977).
Tuba fallopii pads kerbau lumpur berukuran panjang an
tara 11 ssmpai 21 cm dan diameter 0.1 salTipai 0.3 em (Toell
here, 1977).

Di ujung saluran telur ini terdapat fimbriae,

jumbai berbentuk eorong untuk menangkap ovum ketika terjadi ovulasi.

Saluran telur bermuara ke cornua uteri.

Bagl

an-bagian saluran dari fimbriae ke cornua uteri adalah infundibulu, ampulla, merupakan saluran terpanjang dan isthmus.

Diameter ampulla pada bagian dekat ovarium makin mem

besar, yakni 2.5 - 6 mm.
Uterus adalah suatu struktur selubung muskuler yang

16
diperuntukkan bagi penerimaan ovum yang telah dibuahi,
ー・セ@

kembangan dan pemeliharaan fetus dan fase permulaan pengeluaran fetus pada waktu partus.
pus uteri dan cornua uteri.

Uterus terdiri dari cor -

Pada sa at tidak bunting, uku-

ran corpus uteri mempunyai panjang 1.0 - 4.2 cm dan diameter 1.6 - 4.5 mm, sedang cornua uteri mempunyai panjang 14
- 35 em dan diameter 1.3 - 3.5 mm (Toelihere, 1977).
Cervix adalah suatu urat daging sphincter tubuler
yang sangat kuat dan terletak di antara vagina dan uterus.
Dinding lebih keras, lebih tebal dan lebih kaku dari pad a
uterus dan vagina.

Cervix mempunyai panjang 4.5 - 9.5 em

dan diameter 1.0 - 5.25 em.

Diameter menjadi besar jika

hewan sudah beranak (Toelihere, 1977).
Vagian adalah suatu struktur selubung muskuler yang
terletak di dalam rongga pelvis di sebelah dorsal kantong
air seni yang berfungsi sebagai organ kopulatorik dan tempat berlalunya fetus pada waktu melahirkan.

Hymen adalah

suatu konstriksi keeil dan sirkuler terletak di antara vagina dan vulva.

Hanya sekitar 14.1 % sapi dara memperli -

hatkan sisa-sisa struktur hymen (Robert, 1971), tapi pad a
kerbau belum ada yang melaporkan.
Vagina mempunyai ukuran panjang 9.5 - 30.0 em (Toelihere, 1977).

Pada lantai ventral vagina, di bawah mukosa

terdapat sepasang sa luran Gartner yang berjalan memanjang
berdiameter 0.25 em, sebagai sisa-sisa sa luran mesonephrik
atau saluran wolff.
Vulva terdiri dari dua labia, commissura dorsalis dan
ventralis, clitoris dan vestibulum yang membentuk ujung
ォセ@

udal dari saluran kelamin betina, tepat kaudo-ventral mua-

17
ra uretra.

Clitoris terletak di bagian kaudal commissura

ventralis berukuran panjang 1.3 cm (Toelihere, 1977).
Vestibulum kerbau lumpur panjangnya rata-rata 6.0 -

12.0 cm.

Sedang pada sapi panjangnya 10.0 - 12.5 cm pada

lantai ventral dan 7.5 - 10.0 cm pada dinding dorsal.

Di

bawah orificium urethrae terdapat diverticulum suburethralis yang berukuran panjang 2.5 sampai 4.0 cm.
toris sangat kecil bila dilihat dari luar.

Bagian cli-

Kelenjar-keleg

jar bertholini atau kelenjar vestibuler berjumlah dua buah,
masing-roasing terletak di dalam urat d8ging konstriktor
vestibulum yang terdapat p8da setiap sisinya.

Kelenjar

tersebut p8da sapi berukuran diameter 1.5 - 3.0 cm dan ber
muara pada satu saluran pada dinding lateral vestibulum,
kira-kira 2.5 di kaudal vagina.
Sifat-sifat Biologi Reproduksi Kerbau
Pada umumnya kerbau lumpur memperlihatkan siklus bera
hi normal sekitar 21 h8ri, sarna dengan kerbau perah dan s.9.
pi.

Dilaporkan, kerbau lumpur di l'hailand memberi gambar-

an siklus berahi sekitar 19 - 24 hari dengan rata-rata 22
hari.

Sedang menurut Hafez yang dikutip oleh Bhattacharya

(1974) rata-rata siklus berahi kerbau di Mesir adalah
21.14.:!: 0.72 hari (11 - 30 hari).

Dan Bhattacharya sendi-

ri dan Luktuke (1974) pada tempat yang sarna mengadakan pe".
ngamatan terhadap kerbau Murrah memperoleh angka rata-rata
yaitu masing-masing 19.3 hari dan 21.4 hari.

Di Cina rata

rata siklus berahi kerbau adalah 24.2 hari (Cockrill,

1976), dan di Filipina, Mesir dan India, Guzman (1979), Ha
fez (1953), Rao et al. (1982) mencatat rna sing-rna sing 20.9,

21.14 dan 22.27 hari.

18

Hata-rata jara\> siklus berahi kerbau di beberapa neg.§.
ra Asia adalah 20 - 28 hari pada kerbau Murrah darn 22 - 37
hari pada kerbau lumpur (Ohantalakhana, 1978), sedang Toelihere (1979) dari percobaannya di Nusa Tenggara Timur

ュ・セ@

peroleh data rata-rata 21.32 hari dengan selang 17 - 29 h.§.
ri, dan setahun kemudian Toelihere melaporkan dari tempat
lain angka rata-rata 20.8 hari dengan selang 19 - 25 hari.
Ternak kerbau mempunyai periode berahi yang lebih lama dibandingkan dengan sapi, tetapi larnanya sangat bervarl
asi.

Menurut Bhattacharya (1974), lama berahi kerbau Mur-

rah di India berkisar antara 24 - 72 jam dengan rata-rata
29 jam.

Cockrill (1976) di Cina mencatat rata-rata 43 jam

sementara Rao et a1. (1982) mencatat 15 - 36 jam dengan ra
ta-rata 24.18 + 0.69 jam dan Guzman (1979) di Filipina, Oa
moens (1976) di Malaysia,Ohantalakhana (1978) di Thailand
rnasing-masing mencatat larna;rata-rata berahi 18.5 .:!: 6.9
jam, 18 - 24 jam dan 24 - 48 jam pada kerbau lumpur, se
dang pada kerbau Murrah 12 - 36 jam.
Toelihere (1980) mencatat lama berahi kerbau lumpur
di Husa Tenggara Timur 12 - 96 jam dengan rata-rata 41.62
jam.

Ovulasi terjadi rata-rata 18.4 jam setelah akhir es-

true.

Tetapi Bhattacharya (1974) melaporkan bahwa ovulasi

pada kerbau di India berlangsung rata-rata 20 jam setelah
akhir estrus (12 - 24 jam).

Corpus luteum mulai berkem

bang 2 - 5 hari setelah berahi dan berregresi kira-kira p.§.
da hari ke tujuh belas dari siklus.
Gejala-gejala berahi pada kerbau lumpur betina di Malaysia sangat lemah (Jainudeen, 1977).
berahi harus dipakai pejantan pengusik.

Untuk menentukan
Hal yang sarna di-

19
laporkan Ishaque (1956) pada ternak kerbau perah di Pakistan.
Menurut Toelihere (1979) gejala berahi kerbau lumpur
sarna jelasnya seperti pada sapi yaitu berupa kebengkakan
vulva, keluar lendir bening kental dari vulva sewaktu he wan berbaring, hewan betina diam bila dinaiki betina lain
atau pejantan.

Gejala-gejala lain ialah menguak, mengelu-

arkan lendir, kemerahan labia vulva, maniki kawan (Gill et
al., 1973); tidak tenang, sekresi air susu berhenti (Johari, 1960); bahkan dilaporkan dari Bulgaria bahwa gejala
「セ@

rahi kerbau perah lebih jelas dari pada sapi (Ivanov & Sacharive, 1960).
Macgregor (1941) dan Cockrill (1970) berpendapat bahwa kelakuan berahi tidak terlihat di siang hari dan perkawinan hanya dilakukan malam hari.

Tetapi dibantah oleh

Fadsil dan Kamaruddin (1969), Camoens (1976) dan Voight

(1977).

Bahkan Toelihere (1979) menjelaskan bahwa perkawl

nan dan gejala berahi pada kerbau lumpur di Indonesia da pat diamati secara jelas.

Waktu yang tepat untuk mengama-

ti berahi adalah pada pagi hari yang sejuk sebelum matahari terbit (jam 04.00 - 06.00) dan pada petang hari (jam

17 . 00 - 19.00) .
Kebiasaan berkubang ternyata dapat mempengaruhi
an reproduksi ternak tersebut.

ォ・。、セ@

Dari suatu penelitian dila

porkan, bahwa kerbau yatlg diberi kesempatan berkubang memperlihatkan lama siklus berahi 20.28
de berahi 104
セ@

53.31 jam.

セ@

8.91 hari dan periQ

Sedang pada kerbau yang tidak

diberi kesempatan berlwbang lama siklus berahinya 22.93

14.0 hari dan periode berahi 72.0
セ@

46.81 jam (Toelihere

セ@

20
et a 1., 1980).
Kebiasaan menyejukkan diri dengan berkubang dapat diganti dengan penyiraman.

Penyiraman selama 5 - 6 menit p£

°c

da kerbau betina dapat menurunkan suhu rektal 0.3 - 1.5
(Minnet, 1974).

Tapi Cockrill (1974) tetap berpendapat

berkubang lebih efektif dalam menurunkan suhu tubuh.

Wa-

lau suhu rektum lebih rendah pada ternak yang mendapat kesempatan berkubang dari pada yang tidak menda'pat kesempa tan berkubang, tapi perbedaan tersebut secara analisis sta
tisti's tidak berbeda nyata (Toelihere et a1., 1980).
Kerbau termasuk hewan ternak rnasak larnbat, artinya
kerbau rnencapai dewasa kelarnin dan telur siap dibuahi pada
umur lebih tua jika dibandingkan dengan sapL
kerbau bervaria sL

Pubertas;

Camoens (1976) melaporkan dari Malay -

sia pubertas kerbau kurang dari 20 bulan.

Di Thailand 1.6

- 3.0 tahun (Chantalakhana., 1978), di Cina 2.5 - 3.0 tahun
(Cockrill, 1976).

Sementara itu dari Mesir dilaporkan ke£

bau rnengalami pubertas rata-rata pada umur 39.4 bulan (Alim

セ@

al., 1953) dan di Sri Lanka umur kawin pertarna ker-

bau adalah 24 bulan (Thamotharam, 1980).
Di Filipina umur kawin pertarna kerbau lokal adalah 2
tahun 5 bulan 5 hari, sedang kerbau di India lebih muda y£
itu 2 tahun 2 bulan 14 hari dan hasil persilangannya ada lah 2 tahun 3 bulan 24 hari.
Di Jawa Toelihere (1974) mencatat berahi pertama pada
kerbau lumpur antara 3 - 5 tahun.

Di kabupaten Serang,
pセ@

theram et al. (1981) mendapatkan angka 2 - 4 tahun dengan
rata-rata 3 tahun 3 bulan.

Purwantara (1983) rnelaporkan

hasil pengamatannya di kabupaten Brebes, bahwa kerbau per-

21
tama kali dikawinkan pada umur 3 tahun (87.4 %), 4 tahun
(8.3 %) dan 5 tahun (4.2

%).

Kerbau memiliki periode kebuntingan yang relatif le bih lama dibandingkan dengan sapi.

Periode kebuntingan

pi adalah 276 - 290 hari (Toelihere, 1981
djo, 1982).

ウセ@

dan Partodihar-

Pada beberapa kasus ada yang mencapai lebih

dari 300 hari.
Periode kebuntingan kerbau di Sri Lanka adalah 310 ha
ri (Thamotharam, 1982), 294 - 338 hari dengan rata-rata
308 hari (Jalatge, 1982) dan 297 - 324 hari dengan
ta 309.9 hari (Parera et al., 1982).

イ。エMセ@

Sementara periode k£

buntingan kerbau Cina rata-rata 10 bulan (Cockrill, 1976),
sedang di Malaysia dan India masing-masing 330 dan 310 hari (Camoens, 1976 dan Bhat, 1978).
Periode kebuntingan kerbau lumpur relatif lebih lama
dibandingkan kerbau perah.

Hal ini dilaporkan oleh Chanta

lal