Analisis pangsa pasar dan tataniaga kopi arabika di kabupaten Tana Toraja dan Enrekang, Sulawesi Selatan
ENREKANG, SULAWESI SELATAN
IMA AISYAH SALLATU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
(2)
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul
ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN ENREKANG DAN TANA TORAJA, SULAWESI SELATAN
Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, September 2006
Ima Aisyah Sallatu NRP. A151020111
(3)
IMA AISYAH SALLATU. Analisis Pangsa Pasar dan Tataniaga Kopi Arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang, Sulawesi Selatan (ANNY RATNAWATI
sebagai Ketua dan HARIANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Kopi arabika merupakan salah satu komoditi andalan dalam struktur perkekonomian di Sulawesi Selatan, baik ditinjau dari besarnya devisa yang dihasilkan maupun dari banyaknya tenaga kerja yang terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat pangsa pasar pada usahatani kopi arabika serta struktur, perilaku dan kinerja lembaga tataniaga kopi arabika di Propinsi Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang.
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja karena dua wilayah tersebut merupakan sentra produksi kopi arabika untuk Propinsi Sulawesi Selatan. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan petani, pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan, pedagang besar dan eksportir. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis pangsa pasar dilakukan dengan metode Markov Chain sedangkan struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi arabika dilakukan dengan pendekatan Structure-Conduct-Performance.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awalnya pangsa pasar terbesar kopi arabika di Sulawesi Selatan diraih oleh Kecamatan Rinding Allo. Akan tetapi sebaran keseimbangan rantai Markov menyebabkan terjadinya dinamika pasar sehingga Kecamatan Alla memiliki peluang untuk meraih posisi terbesar dalam hal pangsa pasar. Sedangkan pangsa pasar terendah peluangnya akan bergeser dari Kecamatan Sesean ke Kecamatan Rinding Allo.
Banyaknya pelaku pasar yang terlibat serta besarnya hambatan untuk keluar masuk pasar telah menyebabkan terbentuknya struktur pasar kopi arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang yang mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna (imperfect competitive market). Sementara perilaku pasar diwarnai oleh praktek penentuan harga yang didominasi oleh eksportir dan pedagang besar. Struktur dan perilaku pasar kopi arabika di dua kabupaten ini tidak memberikan alternatif kepada petani untuk dapat memilih saluran pemasaran yang lebih efisien walaupun saluran pemasaran ini dapat memberikan bagian harga yang lebih tinggi kepada petani.
Struktur pasar yang tidak bersaing sempurna, perilaku pasar yang cenderung meningkatkan ketergantungan petani, transmisi harga yang inelastis, serta keterpaduan pasar yang mengukuhkan dominasi eksportir dan pedagang besar, telah menyebabkan posisi tawar (bargaining position) petani kopi arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Erekang semakin lemah.
Untuk mengantisipasi peluang pergeseran pangsa pasar dari beberapa daerah produsen, perlu dukungan dari pemerintah pusat dan daerah guna memperbaiki sarana transportasi dan infrastruktur pemasaran lainnya. Untuk mengurangi tingkat ketergantungan petani kepada pedagang dan eksportir, perlu diupayakan adanya lembaga keuangan yang mampu menyediakan kebutuhan modal kepada petani dalam waktu cepat tanpa prosedur yang rumit dan berbelit-belit. Dengan demikian petani memiliki alternatif untuk memilih saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan bagi mereka. Sedangkan untuk meningkatkan kekuatan posisi tawar petani, usaha yang dapat ditempuh adalah dengan mendorong tumbuh dan berkembangnya asosiasi petani kopi arabika atau organisasi petani yang mandiri
Kata kunci : Kopi arabika, tataniaga, pangsa pasar, markov chain, structure-conduct-performance.
(4)
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2006 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
(5)
Oleh:
IMA AISYAH SALLATU
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
(6)
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga Tesis yang berjudul “ Analisis Pangsa Pasar dan Tataniaga Kopi Arabika di Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja, Sulawesi Selatan” ini dapat diselesaikan.
Penulisan Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fokus Pembahasan adalah dinamika pangsa pasar, struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi arabika di Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja Propinsi Sulawesi Selatan.
Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Harianto, M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan sabar memberikan arahan, saran dan bimbingan selama proses penyusunan tesis ini.
Selanjutnya pada kesempatan ini ucapan terima kasih juga disampaikan kepada :
1. Rektor dan Direktur Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf yang telah memberikan kesempatan untuk dapat mengikuti pendidikan program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan segenap staf pengajar dan administrasi atas ilmu pengetahuan dan bantuan yang diberikan selama penyelesaian studi.
(7)
4. Pimpinan dan Staf Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja, Bappeda, Badan Pusat Statistik, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja, atas bantuan data dan informasi.
5. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) angkatan 2002 terutama Kak Anna, Elis, Dwi, Mimi, Andre, Adam dan Pak Bedy atas segala dorongan moril dan kebersamaannya.
Secara khusus, rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya disampaikan kepada keluarga tercinta, mamaku tersayang, adek gego, memed, tenri, mamad dan apit atas segala dukungan dan doa serta keluarga sumbawa yang senantiasa mengirimkan doa dari jauh, suami tercinta Haryanto, SE, M.Si, Ak. atas dukungan moral dan moril, pengertian dan kesabaran yang luar biasa serta berlimpahnya cinta dan kasih sayang yang diberikan khususnya selama masa penyelesaian studi serta ananda tercinta Muhammad Adiel Haryanto, super bos yang senantiasa harus menemani bunda kemana pun setiap saat. Thank You So Much !
Hasil penelitian ini disadari masih memiliki ketidaksempurnaan, oleh karena itu segala macam bentuk saran, kritik serta masukan dari berbagai pihak sangat diharapkan dan semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, September 2006
(8)
Penulis dilahirkan di kota Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 20 Juni 1978 sebagai anak pertama dari lima bersaudara pasangan H. Abdul Madjid Sallatu dan Hj. Hamsinah Yasin. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Islam Athirah Makassar pada tahun 1990. Pada tahun 1993 lulus dari sekolah menengah pertama SMP Negeri 3 Makassar dan pada tahun 1996 menamatkan sekolah menengah atas dari SMU Negeri 2 Makassar.
Pada tahun 1996 penulis diterima sebagai mahasiswi S1 Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar melalui Jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan menamatkannya pada tahun 2001. Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi program S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002.
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA... 10
2.1. Perkembangan Kopi Indonesia ... 10
2.1.1. Budidaya Kopi ... 10
2.1.2. Tataniaga Kopi ... 12
2.1.3. Produksi dan Ekspor Kopi Indonesia... 14
2.2. Tanaman Kopi Arabika ... 16
2.3. Kondisi Tanaman Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA ... 19
2.3.1. Pengolahan Kopi Perkebunan Swasta di Tana Toraja... 25
2.3.2. Pengolahan Kopi Rakyat di Wilayah MADUTORA... 28
2.4. Pemasaran Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA... 30
2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu... 32
2.5.1. Kopi Arabika ... 32
2.5.2. Pangsa Pasar ... 33
2.5.3. Struktur - Perilaku - Kinerja ... 34
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 38
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 38
3.1.1. Konsep Pangsa Pasar... 38
3.1.1.1. Proses Stokastik... 39
3.1.1.2. Proses Markov ... 39
3.1.1.3.Rantai Markov... 40
3.1.1.4. Matriks Transisi ... 40
3.1.2. Konsep Struktur - Perilaku - Kinerja ... 41
(10)
3.1.2.2. Bagian Harga yang Diterima Petani... 48
3.1.2.3. Elastisitas Transmisi Harga ... 49
3.1.2.4. Keterpaduan Pasar ... 54
IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 60
4.1. Daerah Penelitian ... 60
4.2. Jenis dan Sumber Data ... 60
4.3. Metode Pemilihan Contoh ... 61
4.4. Prosedur Pemilihan Responden... 62
4.5. Metode Analisis ... 63
4.5.1. Analisis Pangsa Pasar... 64
4.5.2. Analisis Struktur - Perilaku - Kinerja ... 65
4.5.2.1. Margin Pemasaran dan Distribusi ... 65
4.5.2.2. Bagian Harga yang Diterima Petani... 67
4.5.2.3. Elastisitas Transmisi Harga... 67
4.5.2.4. Keterpaduan Pasar ... 69
4.6. Definisi dan Konsep Operasional ... 70
V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 72
5.1. Letak Geografis, Topografi dan Iklim... 72
5.2. Penduduk dan Mata Pencaharian ... 75
5.3. Perkembangan PDRB Wilayah ... 77
VI. ANALISIS PANGSA PASAR KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG ... 82
VII. ANALISIS TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG... 89
7.1. Identitas Responden ... 89
7.1.1. Umur Petani Responden ... 89
7.1.2. Pendidikan Responden... 91
7.1.3. Jumlah Anggota Keluarga ... 91
7.1.4. Pengalaman Usahatani Responden ... 92
7.1.5. Luas Lahan Usahatani... 93
7.2. Struktur Pasar Kopi Arabika ... 94
7.2.1. Jumlah Lembaga Pemasaran... 94
7.2.2. Kondisi Keluar Masuk Pasar... 96
7.3. Perilaku Pasar Kopi Arabika... 98
(11)
7.3.2. Praktek atau Mekanisme Penentuan Harga ... 101
7.3.3. Praktek dalam Menjalankan Fungsi-Fungsi Pemasaran .... 103
7.4. Kinerja Pasar Kopi Arabika... 107
7.4.1. Analisis Marjin Pemasaran ... 107
7.4.2. Analisis Bagian Harga yang diterima oleh Petani... 111
7.4.3. Analisis Elastisitas Transmisi Harga... 114
7.4.4. Analisis Keterpaduan Pasar ... 117
VIII. SIMPULAN DAN SARAN... 120
8.1. Simpulan ... 120
8.2. Saran ... 121
DAFTAR PUSTAKA ... 122
(12)
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Luas Areal, Produksi, Produktivitas dan Volume Ekspor Kopi
Arabika di Propinsi Sulawesi Selatan,Tahun 1993-2005... 4 2. Lahan dan Iklim Untuk Tanaman Kopi ... 11 3. Luas Areal dan Produksi Tanaman Kopi Menurut Jenis
Pengusahaannya,Tahun 1995-2004 ... 12 4. Luas Areal, Produksi dan Prodiktivitas Kopi Arabika Kabupaten
Enrekang,Tahun 1993-2005... 20
5. Luas Areal, Produksi dan Prodiktivitas Kopi Arabika Daerah Tator,
Tahun 1992-2005 ... 21 6. Jumlah Petani Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA,Tahun
1991-2005 ... 22 7. Struktur Pasar Berdasarkan Jumlah Perusahaan dan Sifat
Produk ... 44
8. Perincian Jumlah Responden Penelitian ... 63 9. Pola Penggunaan Lahan di Kabupaten Enrekang dan Tator,Tahun
2005... 75 10. Mata Pencaharian Penduduk Menurut Sektor di Kabupaten
Enrekang dan Tana Toraja,Tahun 2005... 76 11. Mata Pencaharian Penduduk Menurut Sektor di Kabupaten
Enrekang dan Tana Toraja,Tahun 2005... .. 78 12. Perkembangan PDRB Sulawesi Selatan dan PDRB Kabupaten
Tana Toraja,Tahun 1999 - 2004... 79
13. Pertumbuhan PDRB Menurut Lapangan Usaha di Enrekang dan
Tator,Tahun 2004 ... 80 14. Matriks Peluang Transisi Pangsa Pasar Kopi Arabika di Kabupaten
Enrekang dan Tana Toraja,Tahun 2005... 82 15. Perbandingan Vektor Peluang Pangsa Pasar Kopi Arabika pada
Kondisi Awal dan Ekuilibrium ... 85 16. Komposisi Tanaman Kopi Arabika pada Enam Sentra Produksi
di Sulawesi Selatan,Tahun 2004 ... 86 17. Identitas Petani Responden Kopi Arabika di Sulawesi Selatan... 90
(13)
18. Fungsi-Fungsi Pemasaran yang Dilakukan Oleh Masing-Masing Lembaga Pemasaran di Kabupaten Enrekang dan Toraja,
Tahun 2005 ... 106 19. Analisis Marjin Pemasaran Kopi Arabika di Kabupaten Enrekang
dan Toraja,Tahun 2005 ... 110 20. Bagian Harga yang Diterima Petani dan Pedagang Kopi Arabika
di Kabupaten Enrekang dan Toraja,Tahun 2005... 112 21. Nilai Elastisitas Transmisi Harga Kopi Arabika di Kabupaten
Enrekang dan Tana Toraja,Tahun 2005... 114 22. Nilai Koefisien Tingkat Keterpaduan Pasar Kopi Arabika
(14)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Bagan Saluran Tataniaga Biji Kopi ... 13 2. Saluran Pemasaran Kopi Arabika di Sulawesi Selatan ... 31 3. Saluran Pemasaran Kopi Arabika di Kabupaten Enrekang dan
Toraja,Tahun 2005 ... 109
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Luas Areal dan Produksi Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,
Tahun 2004 ... 128 2. Luas Areal Kopi Arabika Menurut Komposisi Umur Tanaman
di Sulawesi Selatan,Tahun 2004 ... 129 3. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Kopi Arabika di Sulawesi
Selatan,Tahun 1991 – 2004 ... 130 4. Perkembangan Luas Areal Kopi Arabika pada Enam Daerah
Sentra Utama Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,Tahun
1997 – 2003 ... 131 5. Perkembangan Produksi Kopi Arabika pada Enam Daerah
Sentra Utama Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,Tahun
1997 – 2003 ... 132 6. Luas Areal dan Produksi Kopi Arabika Menurut Kecamatan
di Kabupaten Enrekang,Tahun 2004 ... 133 7. Luas Areal dan Produksi Kopi Arabika Menurut Kecamatan
di KabupatenTana Toraja,Tahun 2004 ... 134 8. Perkembangan Harga Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,Tahun
1995 – 2004... 135
(16)
1.1. Latar Belakang
Hampir seluruh perekonomian negara di dunia, termasuk Indonesia,
dibangun berdasarkan pola pembentukan struktur ekonomi yang kuat untuk
menopang pertumbuhan dan perkembangan perekonomian negara
bersangkutan. Oleh karena itu, pendekatan pembangunan seringkali
dititikberatkan pada perubahan struktur ekonomi, sesuai dengan potensi
sumberdaya dan karakteristik perekonomian negara bersangkutan.
Sebagai sebuah negara sedang berkembang, Indonesia memiliki
karakteristik dan potensi sumberdaya pembangunan yang banyak bertumpu
pada sektor pertanian. Selama ini, sektor pertanian telah banyak
menyumbangkan devisa negara, terutama yang berasal dari ekspor
komoditi-komoditi unggulan. Disamping itu, kontribusi sektor pertanian terhadap
perekonomian di Indonesia cukup besar. Menurut Malassis (1975), paling tidak
kontribusi sektor pertanian di Indonesia ada empat hal, yaitu: (1) kontribusi
terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, (2) kontribusi terhadap
transfer sumberdaya (tenaga kerja dan kapital), (3) kontribusi terhadap
pendapatan luar negeri (devisa), dan (4) kontribusi terhadap penyediaan bahan
pangan serta penyediaan bahan baku industri untuk persediaan pengolahan.
Bertitik tolak pada hal tersebut, kontribusi sektor pertanian dalam struktur
perekonomian Indonesia sangat besar, bahkan menjadi tumpuan utama
pendapatan masyarakat, terutama pada wilayah-wilayah pedesaan dimana
sebagian besar masyarakatnya bertempat tinggal. Hal ini diperkuat oleh
Nainggolan (1998), bahwa sektor pertanian memiliki peranan strategis, yaitu
sebagai sumber utama kehidupan dan pendapatan masyarakat petani, penghasil
(17)
industri pengolahan, penyedia lapangan kerja dan lapangan usaha bagi
masyarakat, sumber penghasil devisa negara, dan sebagai salah satu unsur
pelestarian sumber hidup.
Sebagai sumber penghasil devisa, kedudukan komoditi pertanian menjadi
semakin penting dan strategis dalam ekspor non-migas Indonesia, terutama
sejak merosotnya harga minyak dan gas (migas) di pasar internasional pada
tahun 1992. Sejak saat itu komoditi ekspor hasil-hasil pertanian Indonesia terus
menunjukkan peningkatan peran secara signifikan. Hal ini dicapai dengan makin
meningkatnya kualitas produksi sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang
ditetapkan dalam pasaran internasional. Walaupun harga minyak bumi
meningkat tajam melebihi US $ 65 sen per barrel pada awal tahun 2006,
pentingnya peran sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia tidak akan
berkurang
Berdasarkan kesepakatan di forum World Trade Organization (WTO),
setiap negara harus menurunkan tarif bagi perdagangan komoditas serta
menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan non tarif. Kesepakatan untuk
menuju pada perdagangan yang semakin bebas, menciptakan peluang bagi
ekspor produk-produk perkebunan Indonesia. Salah satu komoditas yang
menjadi andalan ekspor Indonesia tersebut adalah kopi.
Dari sejumlah komoditi andalan tersebut, kopi menjadi salah satu
komoditas yang memiliki peranan strategis. Disamping menjadi penyumbang
devisa negara, juga mampu menyerap banyak tenaga kerja pada berbagai
tingkatan usaha yang dijalankan oleh masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa
kemampuan perusahaan-perusahaan dalam melibatkan tenaga kerja yang
berkaitan langsung dengan aktivitas perkopian sangat besar, dimana 95 persen
(18)
perkebunan rakyat, terutama pada sentra-sentra kopi yang tersebar di tanah air
(Lopa, 2003).
Salah satu sentra pengembangan kopi arabika di Indonesia adalah
Propinsi Sulawesi Selatan. Dari luas total areal perkebunan kopi arabika
nasional, 12.5 persen diantaranya dikembangkan di Propinsi Sulawesi Selatan.
Selebihnya dikembangkan oleh daerah-daerah lain seperti: Lampung, Sumatera
Barat, dan Sumatera Selatan (Retnandari dan Tjokrowinoto, 1991;
Siswoputranto, 1993).
Sebagai salah satu sentra utama pengembangan kopi arabika di Indonesia,
Propinsi Sulawesi Selatan dalam 10 tahun terakhir ini memperlihatkan kinerja
melebihi kinerja perkembangan kopi secara nasional. Hal ini ditunjukkan oleh
pesatnya perkembangan luas areal perkebunan kopi, produksi maupun
produktivitasnya. Luas areal perkebunan kopi arabika di wilayah ini meningkat
lebih dari 5 kali lipat dan produksi meningkat hampir 4 kali lipat selama kurun
waktu 11 tahun (Tabel 1). Hal tersebut mengindikasikan bahwa perkebunan
kopi di Sulawesi Selatan yang bertumpu pada perkebunan rakyat banyak
berperan sebagai penarik perkembangan perkopian nasional.
Disamping itu, data pada tabel 1 menunjukkan bahwa kinerja
perkembangan kopi arabika di Sulawesi Selatan sangat berperan untuk
meningkatkan penerimaan devisa negara yang ditunjukkan oleh tingginya
volume produksi yang memasuki pasar ekspor. Dalam periode 1993-2005,
volume ekspor kopi arabika Sulawesi Selatan rata-rata mencapai 24.24 persen
dari total produksi kopi arabika Sulawesi Selatan, atau rata-rata kontribusinya 10
persen terhadap total ekspor kopi arabika nasional. Negara tujuan ekspor
utama kopi arabika dari Sulawesi Selatan adalah Jepang, Amerika, Jerman,
(19)
Tabel 1. Perkembangan Luas Areal, Produksi, Produktivitas dan Volume Ekspor Kopi Arabika di Propinsi Sulawesi Selatan,Tahun 1993-2005
Perkembangan Kopi Arabika Tahun
Luas Areal (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (kg/ha)
Volume Ekspor (ton)
1993 9 082 5 421 597 2 514.78
1994 12 007 8 269 689 2 963.88
1995 13 508 7 198 532 1 475.23
1996 17 096 10 260 600 2 308.04
1997 19 929 12 394 622 2 617.77
1998 23 098 18 583 807 2 831.16
1999 26 319 15 583 592 2 294.51
2000 24 029 12 755 531 2 404.12
2001 43 476 14 135 578 2 536.40
2002 57 667 17 710 753 3 148.23
2003 52 341 19 611 826 3 312.85
2004 39 184 15 724 652 4 380.05
2005 34 215 14 086 640 5 558.26
Pertumbuhan/ tahun (%)
23.06 13.32 0.60 10.09
Sumber: Statistik Perkebunan Sulawesi Selatan, 1993-2005
1.2. Perumusan Masalah
Kopi arabika merupakan salah satu komoditi andalan dalam struktur
perkekonomian di Sulawesi Selatan. Pada tahun 2005, luas areal tanaman kopi
arabika di daerah ini tercatat 34 215 hektar dengan produksi sebesar 14 086 ton,
dan produktivitas tanaman 640 kg/ha. Pada tahun yang yang sama, kabupaten
(20)
Selatan, masing-masing memiliki luas areal 16 299 dan 10 721 hektar, produksi
sebesar 3 837 dan 6 871 ton serta produktivitas tanaman 423 dan 951 kg per
hektar (Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan, 2005). Walaupun menjadi sentra
utama, produktivitas tanaman kopi arabika di Tana Toraja jauh lebih rendah bila
dibanding produktivitas tanaman di kabupaten Enrekang. Namun demikian,
produktivitas tanaman tersebut masih tergolong rendah bila dibandingkan
dengan potensi yang dapat dicapai sebesar 2 500 kg/ha (Direktorat Jenderal
Perkebunan, 2005).
Besarnya peranan komoditas ini telah mendorong berbagai pihak,
khususnya Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Daerah
Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang, untuk mengambil langkah-langkah
strategis guna mendorong program pengembangannya. Beberapa langkah
tersebut antara lain adalah Kebijakan Pewilayahan Komoditas, Grateks-2
(Gerakan Peningkatan Ekspor Dua Kali Lipat) dan Gerbang-Emas (Gerakan
Pengembangan Ekonomi Masyarakat). Kebijakan Pewilayahan Komoditas
menempatkan daerah-daerah yang memiliki keunggulan komparatif, berdasarkan
potensi dan karakteristik yang dimilikinya, menjadi sentra pengembangan
komoditas andalan tersebut. Kebijakan ini telah menempatkan daerah
MADUTORA (Mandar, Duri dan Toraja) sebagai daerah pengembangan kopi.
Komunitas Mandar menempatkan tiga daerah, yaitu Kabupaten Polmas, Majene
dan Mamuju, sedangkan Duri menempatkan Kabupaten Enrekang dan Toraja
meliputi Kabupaten Tana Toraja.
Kebijakan Grateks-2 merupakan langkah-langkah konkret yang ditempuh
pemerintah daerah untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani secara
umum, termasuk petani kopi arabika. Sedangkan Kebijakan Gerbang-Emas,
(21)
memfokuskan diri pada upaya-upaya peningkatan pendapatan petani kopi
arabika.
Seiring dengan meningkatnya upaya pengembangan kopi arabika, maka
diperkirakan akan tumbuh daerah-daerah dan sentra-sentra pengembangan
kopi arabika yang baru di Sulawesi Selatan sesuai dengan potensi sumberdaya
yang dimiliki. Kondisi ini akan membuka peluang terjadinya perubahan dan
pergeseran dalam memperebutkan pangsa pasar kopi arabika. Dengan
menempatkan konsumen sebagai titik sentral perhatian pemasaran, maka
semakin dibutuhkan upaya kongkrit untuk merespon perubahan sinyal pasar,
perilaku maupun kebiasaan konsumen. Pilihan konsumen tidak lagi hanya
dipengaruhi oleh faktor individual semata, tetapi juga oleh lingkungan konsumen
dan stimulus pasar serta strategi pemasaran produsen (Kohler, 1994; Rangkuti,
1997; Sutisna, 2001).
Dengan bentuk usaha yang didominasi oleh perkebunan rakyat,
pengembangan komoditas andalan propinsi Sulawesi Selatan ini dihadapkan
pada masalah-masalah di bidang produksi, pasca panen dan pemasaran.
Data pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa sejumlah kebijakan dan program
pengembangan yang telah dilaksanakan belum sepenuhnya berhasil. Dalam
periode 1993 – 2005, luas areal, produksi, produktivitas dan volume ekspor
memang meningkat dengan laju pertumbuhan masing-masing sebesar 23.06,
13.32, 0.60 dan 10.09 persen per tahun. Akan tetapi kondisi empat tahun terakhir
ditandai oleh trend menurunnya luas areal, produksi dan produktivitas tanaman.
Hanya volume ekspor yang meningkat menjadi 5 558.26 ton pada tahun 2005
dibanding tahun 2002 yang hanya 3 148.23 ton.
Selain rendahnya produktifitas tanaman, dari segi produksi masalah
yang umum dijumpai adalah tersebarnya lokasi produksi yang akan
(22)
panen, masih sering petani melakukan panen sebelum buah matang sehingga
mutu produk menjadi rendah. Sedangkan dari segi pemasaran,
masalah-masalah yang sering timbul adalah panjangnya rantai pemasaran,
terbatasnya pilihan saluran pemasaran, fluktuasi harga produk serta
rendahnya bargaining position petani (AEKI, 2001; Herman, 2000; Herman,
2002; Herman dan Wardani, 2000).
Menurut Graff (1986), bagian harga yang diterima petani kopi rakyat
umumnya hanya sekitar 54 hingga 70 persen dari total harga siap ekspor FOB
(Free on Board). Sedangkan bagian yang diterima pedagang sebesar 30
hingga 46 persen dari nilai FOB. Hal ini disebabkan karena: (1) keterbatasan
petani dalam bidang pendidikan, (2) rendahnya informasi pasar, (3) lemahnya
peranan pemerintah dan lembaga tataniaga yang ada, (4) keterbatasan
sarana ekonomi, (5) kebijaksanaan pemerintah secara menyeluruh kurang
mendukung pengembangan sistem produksi kopi rakyat, dan (6) tidak
menentunya keadaan ekonomi dunia. Pada tahap lebih lanjut, kondisi ini
mengakibatkan struktur tataniaga kopi rakyat relatif tidak efisien (Spillane, 1990).
Berdasarkan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
penelitian tentang pangsa pasar, struktur, perilaku dan kinerja lembaga tataniaga
kopi arabika di Propinsi Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Tana Toraja
dan Enrekang, menjadi relevan dan penting untuk dilakukan.
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini
memiliki tujuan utama sebagai berikut:
1. Menganalisis pangsa pasar kopi arabika di Propinsi Sulawesi Selatan,
(23)
2. Menganalisis struktur, perilaku dan kinerja lembaga tataniaga kopi arabika
di Propinsi Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Tana Toraja dan
Enrekang.
Sedangkan kegunaan penelitian antara lain adalah:
1. Bagi pengambil kebijakan di tingkat nasional dan regional, diharapkan hasil
penelitian ini menjadi bahan pertimbangan untuk menetapkan kebijakan
pengembangan kopi, khususnya kopi arabika, baik pada skala mikro di
tingkat petani, maupun pada skala makro di tingkat nasional dan regional.
2. Bagi usaha pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang,
hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam
memilih topik penelitian terkait.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Batasan atau ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Daerah penelitian di wilayah MADUTORA dibatasi pada dua kabupaten
yaitu Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Tana Toraja (Tator). Hal ini
disebabkan karena pada saat ini Kabupaten Polmas, yang menjadi sentra
kopi arabika untuk wilayah Mandar, telah terpisah dari Propinsi Sulawesi
Selatan dan menjadi bagian dari propinsi yang baru terbentuk yaitu
Propinsi Sulawesi Barat.
2. Harga input dan harga output yang digunakan dalam analisis usahatani
kopi arabika ini digunakan harga yang berlaku pada saat penelitian
berlangsung, walaupun pada kenyataannya harga input dan harga output
sangat bervariasi sepanjang tahun.
3. Analisis dibatasi hanya pada pangsa pasar, struktur, perilaku dan kinerja
pasar kopi arabika, walaupun perubahan-perubahan yang terjadi pada kopi
(24)
arabika. Disamping itu, penelitian ini juga tidak melakukan analisis
terhadap aspek perdagangan internasional, walaupun disadari bahwa
perubahan-perubahan di pasar internasional akan berbepangaruh besar
(25)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Perkembangan Kopi Indonesia 2. 1. 1. Budidaya Kopi
Kopi di Indonesia telah dibudidayakan sejak abad ke-16 dan termasuk
salah satu komoditi yang sangat berperan dalam ekspor nasional. Dari segi
nilai ekspor, kopi menduduki urutan penting setelah produk-produk kayu dan
karet. Adapun jenis tanaman kopi di perkebunan rakyat umumnya adalah jenis
kopi Arabika (Coffea Arabica), Robusta (Coffea Canephora), Liberika (Coffea
Liberica) dan hibrida, yaitu hasil persilangan antara 2 varietas kopi unggul.
Diantara jenis kopi tersebut, yang terbanyak ditanam dalam perkebunan rakyat
Indonesia adalah jenis kopi robusta karena produksinya tinggi namun resiko
penanamannya kecil. Jenis kopi ini dominan dengan pangsa sekitar 90 persen
dari seluruh jenis kopi yang ada Indonesia. Sisanya adalah kopi Arabika
termasuk juga jenis kopi lainnya, yaitu Liberica dan excelso yang belum
dibudidayakan secara khusus.
Hampir semua wilayah di Indonesia dapat ditanami kopi dengan
syarat--syarat tanaman yang baik, oleh karena itu budidaya tanaman kopi hampir
menyebar di seluruh wilayah tanah air. Tanaman kopi merupakan tanaman
tropis dan sangat cocok untuk iklim di Indonesia. Sehingga dapat dikatakan
komoditi kopi Indonesia memiliki keunggulan mutlak (absolute advantage)
karena kondisi alam yang mendukung budidaya kopi. Kawasan tanah subur
dengan sifat tanah berpasir dan tanah lempung sangat mendukung budidaya
tanaman kopi. Selain itu, tanah yang cukup dengan humus dan keasaman
tanah sekitar pH 5.5-6.5 akan memberikan hasil yang baik. Adapun
unsur-unsur tanah yang penting bagi pertumbuhan tanaman kopi adalah Nitrogen,
(26)
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap tanaman kopi adalah
ketinggian tempat tumbuh, curah hujan, sinar matahari, angin dan tanah (Tabel
2).
Tabel 2. Persyaratan Lahan dan Iklim untuk Tanaman Kopi
Persyaratan Kopi Arabika Kopi Robusta
Iklim:
1. Curah hujan
2. Suhu
3. Ketinggian tempat
Tanah:
1. Keasaman
2. Kesuburan tanah
3. Sifat fisik
Minimum 1 300 mm/th; tanaman toleran thd curah hujan tinggi; masa bulan kering pendek, maksimum 4 bulan
15 - 24°C
500 -1 800 m dpl
pH 5.2 - 6.2
Baik
Kapasitas penambatan air tinggi dan kedalaman tanah cukup
Minimum 1 250 mm/th; optimum pada 1 550 -2 000 mm/th; masa kering minimum 3 bulan atau lebih
24 - 30°C
0 - 400 m dpl
pH > 4.5; tanaman toleran thd kondisi netral dan basa
Baik
Kapasitas penambatan air tinggi dan kedalaman tanah cukup
Sumber : Siswoputranto, 1993.
Tanaman kopi merupakan tanaman tahunan sehingga pohon kopi akan
mulai menghasilkan biji kopi pada tahun ke-3. Umur ekonomis pohon kopi bisa
sampai 20 tahun dan jika sudah menghasikan, petani dapat memanen biji kopi
setiap tahunnya. Sebagian besar produksi kopi Indonesia dihasilkan dari
perkebunan rakyat. Luas perkebunan kopi rakyat mencapai lebih dari 90 persen
dari total perkebunan kopi nasional (Tabel 3), sehingga jumlah produksi untuk
kebutuhan domestik dan ekspor sekitar 90 persen disuplai dari perkebunan
(27)
Tabel 3. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Tanaman Kopi Menurut Jenis Pengusahaannya,Tahun 1995-2004.
Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta Jumlah
Tahun Produksi (ton)
L. Areal (Ha)
Produksi (Ton)
L. areal (Ha)
Produksi (ton)
L. Areal (Ha)
Produksi (Ton)
L. Areal (Ha)
1995 429 569 1 109 499 16 824 25 616 11 408 32 396 457 801 1 167 511
1996 435 757 1 103 615 13 184 24 169 10 265 31 295 459 206 1 159 079
1997 396 155 1 105 114 21 050 32 232 11 213 32 682 428 418 1 202 291
1998 469 671 1 068 064 25 759 39 139 19 021 46 166 514 451 1 198 149
1999 469 940 1 059 245 26 208 39 316 11 539 28 716 524 687 1 165 024
2000 514 896 1 192 322 29 754 40 645 9 924 27 720 554 574 1 260 687
2001 541 476 1 258 628 18 111 26 954 9 647 27 801 569 234 1 313 383
2002 654 281 1 318 020 18 128 26 954 9 610 27 210 682 019 1 372 184
2003 658 252 1 327 521 18 205 26 954 9 862 27 255 686 319 1 381 730
2004 659 882 1 540 875 18 770 27 850 9 996 27 965 688 648 1 596 690
Sumber : Ditjen Perkebunan, 2005
2.1.2. Tataniaga Kopi
Tataniaga kopi dimulai dari petani produsen hingga pabrik pengolahan
kopi dan perusahaan eksportir. Saluran pemasaran kopi di Indonesia belum
efisien sehingga hal ini menyebabkan rendahnya tingkat penerimaan petani.
Berdasarkan bagan tataniaga pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa petani
kopi dapat memasarkan biji kopinya langsung ke pedagang pengumpul atau
lewat tengkulak. Biasanya petani yang memiliki mesin kupas (huller) juga
berfungsi sebagai pedagang pengumpul di tingkat desa atau tingkat kecamatan.
Pada beberapa daerah di Indonesia, petani kopi telah memiliki kelompok
tani yang dapat memasarkan kopi hasil kebun petani langsung kepada
eksportir. Hal ini sangat menguntungkan petani karena margin keuntungan
(28)
Petani Kopi
Tengkulak Pemilik
Huller
Pedagang Pengumpul
Pedagang Kabupaten
Agen tingkat Propinsi
Industri
kopi
EksportirTujuan Domestik
Tujuan Ekspor
Sumber: Siswoputranto, 1993
Gambar 1. Bagan Saluran Tataniaga Biji Kopi
Sementara, pada perkebunan-perkebunan besar mereka memiliki unit
khusus perdagangan ekspor. Perkebunan jenis ini pada umumnya mempunyai
hubungan dengan pihak importir dan membina hubungan tersebut dengan
baik. Seluruh eksportir kopi di Indonesia terdaftar sebagai anggota Asosiasi
Eksportir Kopi Indonesia (AEKI). Badan ini mengusahakan agar kopi
Indonesia mendapatkan harga optimal di pasar dunia. Asosiasi ini mewakili Perkebunan Negara/Swasta
(29)
lebih dari ribuan eksportir dengan 13 cabang di ibukota propinsi di Indonesia
dan memiliki kantor perwakilan di luar negeri, yaitu New York, London dan
Tokyo. Asosiasi ini mewakili anggota-anggotanya dalam hal promosi ekspor,
koordinasi dan pembinaan kegiatan anggotanya, serta membina komunikasi
yang baik antara eksportir dan importir di seluruh dunia.
2.1.3. Produksi dan Ekspor Kopi Indonesia
Pada saat ini, Indonesia dikenal sebagai produsen terbesar kopi robusta
dengan pertumbuhan yang relatif pesat. Pada dekade terakhir, areal dan
produksi kopi Indonesia masing-masing meningkat dengan laju 1.94 % dan 2.21
% per tahun. Di sisi lain, daya serap pasar domestik masih rendah yaitu hanya
sekitar 35% dari produksi. Sebagai konsekuensinya, pasar kopi Indonesia
sangat tergantung pada pasar internasional (Herman, 2002). Indonesia
merasakan keuntungan dan kerugian dari adanya kuota ekspor kopi yang
ditetapkan oleh Organisasi Kopi Dunia atau International Coffee Organization
(ICO).
Sebagai salah satu komoditas yang didominasi oleh perkebunan
rakyat, perkebunan kopi Indonesia berkembang pesat terutama pada tahun
1980-an dengan laju pertumbuhan 7.83% per tahun. Hal ini antara lain
berkaitan dengan harga kopi yang cukup tinggi pada periode tersebut.
Pertumbuhan tersebut didominasi oleh perkebunan rakyat yang arealnya
meningkat dengan 8.26% per tahun. Di sisi lain, perkebunan besar milik
negara (PTPN) dan perkebunan besar swasta arealnya berkembang
masing-masing dengan laju 1.73% dan 2.27% per tahun. Sentra-sentra perkebunan
kopi di Indonesia antara lain Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Aceh,
Sumatera Utara, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Timor Timur (Direktorat
(30)
Pada dekade terakhir, laju perluasan areal kopi memang menurun
yaitu hanya 1.94% per tahun, yang didominasi oleh perkebunan besar swasta.
Di samping hal ini berkaitan dengan harga kopi yang mulai melemah sampai
dengan tahun 1993, pemerintah juga mulai membatasi program perluasan
dan lebih mengarahkan pada program peremajaan.
Sejalan dengan perkembangan areal, produksi kopi Indonesia juga
mengalami perkembangan yang relatif tinggi yaitu 3.93% per tahun.
Perkembangan paling pesat terutama terjadi pada periode 1976-1986 dengan
laju 6.32% per tahun. Pada dekade terakhir, pertumbuhan produksi relatif
menurun yaitu 2.21 % per tahun.
Di samping mengandalkan pasar domestik, pasar kopi Indonesia
masih sangat mengandalkan pasar ekspor. Bahkan, kopi merupakan salah
sata produk perkebunan yang diandalkan untuk meraih devisa. Pada lima
tahun terakhir, bagian produksi yang diekspor berkisar antara 64-100% dari
total produksi.
Tujuan ekspor kopi Indonesia umumnya masih mengandalkan
kelom-pok negara-negara maju. Untuk kopi robusta tujuan utama ekspor Indonesia
adalah Jepang, Jerman, Aljazair, Inggris, dan Polandia. Untuk kopi arabika,
tujuan ekspor utama adalah Jepang, Amerika, Jerman, Singapura, Denmark
dan Belanda. Indonesia juga sudah mulai mengekspor kopi bubuk dengan
tujuan utama ke Jepang, Singapura, Jerman, Polandia, dan Amerika Serikat.
Ekspor kopi Indonesia tidak bisa terlepas dan ketentuan perdagangan
kopi yang ditetapkan oleh ICO. Periode 1962-1972, ICO menetapkan sistem
kuota dan pada periode tersebut Indonesia mendapat jatah kuota sebesar 82
420 ton. Dengan variasi antara 65 ribu - 85 ribu ton. Untuk mengatasi
masalah ini Indonesia berusaha menembus pasar non-kuota seperti Jepang.
(31)
karena adanya penyakit kopi dan frost di Brazil, produksi kopi Brazil
menurun drastis sehingga harga melonjak tajam. Menghadapi situasi
tersebut, ICO tidak memberlakukan sistem kuota sejak Oktober 1972.
Ekspor kopi Indonesia melonjak mencapai sekitar 130 ribu ton per tahun.
Pada akhir 1970-an, ekspor Indonesia bahkan mencapai sekitar 200 ribu
ton.
Pada Periode 1980 - 1985, harga kopi melemah sebagai akibat
kelebihan produksi dan resesi ekonomi. ICO kembali melakukan sistem
kuota. Jatah kuota ekspor Indonesia adalah sekitar 183 500 ton. Untuk itu,
Indonesia kembali berusaha untuk memanfaatkan pasar-pasar di negara
non-kuota. Pada tahun 1986, kembali terjadi kekeringan di Brazil sehingga
harga kopi melonjak tajam. ICO tidak bisa lagi mempertahankan mekanisme
kuota sehingga pasar kopi kembali dibebaskan. Masa bebas kuota ini
berlangsung sampai dengan tahun 1990.
Dengan keberhasilan Putaran Uruguay, pasar kopi domestik
diperkirakan mengalami persaingan yang semakin tajam. Seperti tercantum
pada komitmen Indonesia mengenai kopi, maka Indonesia harus
menurunkan tarif impor, termasuk tarif impor kopi. Untuk kopi biji, tarif impor
harus diturunkan dari 100% menjadi 40%-50%, tergantung dari jenis kopi
dan tingkat pengolahannya. Pemberlakuan tarif tersebut tentunya akan
memperlemah daya saing kopi Indonesia di pasar domestik.
2.2. Tanaman Kopi Arabika
Pada mulanya tanaman kopi belum dibudidayakan secara sempurna oleh
penduduk, melainkan masih tumbuh liar di hutan-hutan dataran tinggi. Minuman
kopi sangat digemari oleh bangsa Ethiopia karena berkhasiat menyegarkan
(32)
kopi juga terbawa dan tersebar kemana-mana. Mula-mula penyebarannya ke
berbagai wilayah cukup lambat karena minuman kopi pada waktu itu hanya
dikenal sebagai minuman berkhasiat menyegarkan badan yang terbuat dari
cairan daun dan buah segar yang diseduh dengan air panas. Namun semenjak
ditemukan cara-cara pengolahan buah kopi yang lebih baik, ternyata minuman
kopi menjadi minuman yang di samping berkhasiat juga mempunyai aroma
harum khas dan rasanya nikmat akhirnya kopi arabika menjadi terkenal sehingga
tersebar ke berbagai negara di Timur Tengah seperti Yaman, Turki, Ottoman,
Syria, Eropa, Asia dan Amerika sebagai komoditi perdagangan (Najiyati dan
Danarti, 1995).
Di Indonesia, tanaman kopi diperkenalkan pertama kali oleh VOC pada
tahun 1696. Penanaman tanaman ini mula-mula hanya bersifat coba-coba
(penelitian), tetapi karena hasilnya memuaskan dan dipandang oleh VOC cukup
menguntungkan sebagai komoditi perdagangan, maka VOC menyebarkan bibit
kopi ke berbagai daerah-daerah pegunungan agar penduduk menanamnya,
kemudian VOC mengeluarkan peraturan “CuItuur Stesel” yang intinya
memaksakan sebagian penduduk khususnya di Jawa untuk menanam kopi.
Perkebunan besarpun lalu didirikan dan akhirnya tanaman kopi menyebar ke
daerah Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan
berbagai daerah lain di Indonesia (AEKI, 2001).
Pada perkembangan selanjutnya, perluasan tanaman kopi arabika
meningkat terutama pada perkebunan rakyat. Wilayah Sulawesi Selatan
sendiri pada awalnya mengenal dua macam kopi yaitu kopi robusta dan kopi
arabika. Bibit kopi arabika di bawah oleh Bangsa Belanda kira-kira seratus tahun
laIu (abad ke 19), pertama kali ditanam di Kabupaten Enrekang sekitar 30 Km
dari Kalosi, kemudian tanaman tersebut menyebar ke wilayah Kabupaten Tanah
(33)
Menurut Mawardi dan Hulupi (1998) kopi arabika dapat tumbuh dan
berproduksi pada ketinggian 700 – 1 000 meter di atas permukaan laut.
Lahan-lahan dengan ketinggian tersebut umumnya ditemukan di daerah-daerah
pegunungan wilayah MADUTORA. Pertama kali Belanda menanam bibit kopi
arabika bersama petani rakyat di daerah Gunung Sambua yang terIetak di
Kabupaten Enrekang Gunung Sambua terIetak di Kabupaten Enrekang. Pada
tahun 1920 lambat laun perkebunan kopi arabika mulai hilang menjadi hutan
belukar. Pada tahun 1945 petani rakyat mengelola kembali lahan-lahan kopi
arabika di daerah-daerah pegunungan untuk produksi. Pada tahun 1976
pemerintah Indonesia membuka kembali perkebunan kopi arabika dengan
menunjuk PT. Sulotco untuk menangani sekaligus menghidupkan kembali cita
rasa kopi khas Kalosi, sehingga kopi arabika pertama kali dikenal dengan nama
“Kopi Kalosi Arabika” (AEKI,2001).
Selain di daerah Gunung Sambua, kopi arabika juga dikembangkan di
sekitar Gunung Pararang yang terletak di Kecamatan Pana dan Mambi
Kabupaten Mamasa. Sedangkan di Tana Toraja kopi arabika dikenal sejak masa
penjajahan Belanda dimana bangsa Belanda sendiri yang menanam bibit kopi
tersebut di daerah-daerah pegunungan Pararang sekitar daerah Bittuang dan
Panggala (Kecamatan Rinding Allo). Kemudian dikembangkan oleh masyarakat
melalui budidaya tradisional. Kebiasaan masyarakat di sekitar pegunungan
menanam kopi arabika untuk konsumsi sendiri terutama untuk diminum pada
pertemuan-pertemuan adat dan pesta-pesta adat dalam acara sakral.
Disamping wilayah sekitar Gunung Sambua dan Gunung Pararang,
ditemukan juga lahan-lahan yang potensial untuk tanaman kopi arabika dan
merupakan mata pencaharian masyarakat yang berdomisili di sekitar daerah
pegunungan dan mempunyai kebudayaan yang berbeda pula. Kabupaten Tana
(34)
alam yang sangat indah dengan budaya yang sangat unik dan hasil kerajinan
yang menarik membuat turis mancanegara senang berkunjung ke daerah lama
Toraja terutama bila diadakan acara sakral atau pesta adat (Dinas Perkebunan
Tator, 2002).
Kecamatan Rinding Allo terdapat obyek wisata yang sangat menarik di
daerah pegunungan terdapat beberapa villa, disekitar villa dikelilingi tanaman
kopi arabika yang sangat subur, sehingga wisatawan mancanegara sangat
tertarik dengan daerah yang bernama Batutumonga. Di Batutumonga itulah turis
Mancanegara menyaksikan tanaman kopi sejak berproduksi sampai pengolahan
menjadi bubuk yang diolah secara tradisionil. Akhirnya lama kelamaan turis
mancanegara tidak mengenal lagi Kopi Kalosi Arabika akan tetapi yang dikenal
adalah “Kopi Toraja Arabika”.
2.3. Kondisi Tanaman Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA
Tanaman kopi di seluruh dunia terdapat sekitar 4.500 jenis yang dapat
dibagi ke dalam empat kelompok besar yakni; Coffee Canephora, yang salah
satu varietasnya menghasilkan kopi dagang robusta, Coffee Arabica
menghasilkan kopi dagang Arabika; Coffee Excelasa menghasilkan kopi dagang
Excelasa; Coffea Leberica menghasilkan kopi dagang Leberika. Dari segi produksi, yang menonjol kualitas dan kuantitasnya adalah jenis arabika, andilnya
dalam perekonomian dunia tidak kurang dari 70 persen. Jenis robusta mutunya
di bawah kopi arabika, dengan pangsa sebanyak 24 persen dari total produksi
kopi dunia, sedangkan leberika dan excelasa masing-masing hanya tiga persen.
Kopi arabika Iebih baik dari pada robusta karena rasanya lebih enak dan jumlah
kafeinnya Iebih rendah sehingga kopi arabika Iebih mahal dari pada kopi robusta
(Spillane, 1990).
(35)
Perkembangan luas areal, produksi dan produktivitas kopi arabika di
kabupaten Enrekang dan Tana Toraja, masing-masing dapat dilihat pada Tabel
4 dan Tabel 5. Dari data pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata
peningkatan luas areal kopi arabika di kabupaten Enrekang dalam kurun waktu
1993 - 2005 adalah 31 persen. Sedangkan rata-rata perkembangan produktivitas
pada tahun 1993 - 2005 adalah sebesar 3.51 persen/tahun.
Tabel 4. Luas Areal, Produksi dan Prodiktivitas Kopi Arabika Daerah Enrekang,Tahun 1993-2005
Tahun LuasAreal (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (kg/ha)
1993 2 132 1 393 653
1994 2 795 1 873 670
1995 3 569 2 426 680
1996 4 200 2 578 614
1997 4 435 2 696 608
1998 4 170 3 170 760
1999 6 618 4 937 746
2000 6 698 3 590 536
2001 6 205 3 143 507
2002 10 354 3 947 673
2003 10 444 5 830 754
2004 10 444 6 231 870
2005 10 721 6 871 951
Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Enrekang (berbagai seri)
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa dalam periode 1999 - 2005, luas areal
kopi arabika di Tana Toraja terus mengalami peningkatan rata-rata 5.78
persen/tahun, sedangkan produksi dan produktivitas masing-masing hanya
(36)
Tabel 5. Luas Areal dan Produksi Kopi Arabika Daerah Tator,Tahun 1999 -2005
Tahun Luas Areal
(ha)
Produksi (ton)
Produktifitas (kg/ha)
1999 11 604 3 555 310
2000 12 764 3 477 320
2001 15 010 3 146 370
2002 15 077 3 301 309
2003 15 980 3 310 370
2004 16 019 3 586 401
2005 16 299 3 837 423
Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Tana Toraja (berbagai seri)
Sedangkan perkembangan jumlah petani kopi arabika di dua wilayah
tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Pada tahun 1993 jumlah petani kopi arabika
di Kabupaten Enrekang sebanyak 6.966 KK dan pada tahun 2005 sudah
mencapai 16 215 KK. Rata-rata penyerapan tenaga kerja selama sepuluh tahun
terakhir sebesar 10.44 persen. Sedangkan untuk daerah Tator, pada tahun 1993
jumlah petani kopi sebanyak 15 300 KK dan pada tahun 2005 tercatat sebanyak
31 094 KK. Rata-rata penyerapan tenaga kerja selama sepuluh tahun terakhir
sebesar 24.53 persen. Kontribusi daerah Enrekang dan Tator untuk penyerapan
tenaga kerja (KK) kopi arabika terhadap Sulawesi Selatan masing-masing
sebesar 14.7 persen (Enrekang) dan 33.2 persen (Tator).
Tanaman kopi arabika di wilayah MADUTORA sebanyak 80 persen
adalah tanaman kopi rakyat sebagian besar diusahakan sebagai kebun-kebun
tertutup dan berpencar-pencar di daerah yang sangat luas. Banyak juga yang
diusahakan sebagai tanaman pekarangan dan ditanam di sekeliling rumah.
Tanaman kopi rakyat sebagian besar merupakan tanaman tua, tanaman semaian
(37)
Tabel 6. Jumlah Petani Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA,Tahun 1993-2005
Tahun Enrekang (KK) Tator (KK)
1993 6 966 15 300
1994 6 902 24 746
1995 6 599 25 521
1996 7 174 26 242
1997 10 450 27 467
1998 14 637 27 467
1999 15 625 27 467
2000 16 215 29 873
2001 16 772 29 873
2002 16 215 32 250
2003 12 461 32 263
2004 16 215 32 268
2005 16 215 31 094
Sumber : Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan, 2006
selain ladang untuk padi dan sayuran. Pemeliharaan kebun-kebun kopi rakyat
sangat berbeda di masing-masing daerah sehingga tingkat produktivitas tanaman
juga berbeda. Dalam tahun-tahun terakhir ini produktifitas tanaman kopi rakyat
hanya sekitar 400-450 ribu ton setiap tahunnya.
Upaya untuk mengembangkan kopi arabika di wilayah MADUTORA
dilaksanakan dalam berbagai kegiatan. Dalam jangka pendek pengembangan
diarahkan kepada usaha pengembangan kemampuan produksi kebun rakyat dan
kegiatan perbaikan mutu hasil produksi agar dapat bersaing di pasaran
(38)
perbaikan mutu yang dihasilkan. Sedangkan dalam jangka panjang
pengembangan tanaman kopi diarahkan untuk memperluas pertanaman kopi
arabika, termasuk pemilihan lahan yang sesuai dengan tanaman kopi arabika.
Dengan pertimbangan tersebut maka pengembangan kopi arabika di wilayah
MADUTORA penyebarannya difokuskan pada tiga kabupaten dengan sasaran
utama untuk meningkatkan luas areal, produksi dan produktivitas tanaman.
Panen dilakukan satu kali dalam satu tahun, musim pemetikan (panen
raya) pada umumnya dimulai pada bulan Juni sampai Agustus, sedangkan pada
bulan ApriI biasanya sudah mulai panen tetapi baru dalam jumlah sedikit. Hasil
panen pada bulan itu terutama dilakukan dalam rangka usaha pemberantasan
hama bubuk pada buah kopi. Untuk bulan September biasanya pemetikan
dilakukan secara rajutan atau pemetikan secara massal. Panen dilakukan
dengan menggunakan tangan sedangkan alat yang dipakai untuk
mengumpulkan buah adalah ember dan karung.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kegiatan pascapanen itu
menyangkut kegiatan pemetikan. Buah kopi yang masak berwarna merah, dipetik
satu demi satu secara selektif dari tiap-tiap dompolannya dengan menggunakan
tangan. Sistem pemetikan merah ini akan menghasilkan kopi biji bermutu tinggi
dengan rendemen yang tinggi sekitar 20-22 persen. Untuk memperoleh hasil
buah kopi yang bermutu tinggi, buah kopi harus dipetik setelah betul-betul masak
yaitu saat kulit buah kopi sudah berwarna merah. Untuk mencapai tahap matang,
kopi robusta memerlukan waktu dari kuncup bunga selama 8 sampai 11 bulan
dan 6 sampai 9 bulan untuk kopi arabika (Najiyati dan Danarti,1995).
Pemetikan buah kopi secara garis besar dibagi menjadi tiga tahap
sebagai berikut: (a) pemetikan pendahuluan, biasanya dilakukan pada bulan
Februari sampai Maret untuk memetik buah yang terserang hama bubuk. Kopi
(39)
bulan, (b) petik merah dan panen raya; biasanya berlangsung 4 sampai 5 bulan
yang dimulai pada bulan Mei atau Juni, yaitu untuk memetik buah yang sudah
berwama merah, dengan interval atau selang pemetikan 10 sampai 14 hari, dan
(c) petik hijau dan petik rancutan; petik hijau dilakukan apabila ada buah tersisa
di pohon sekitar 10 persen. Semua buah yang masih tertinggal baik yang
berwama merah maupun yang wama hijau dipetik seluruhnya.
Petani rakyat di wilayah MADUTORA tidak melakukan pemetikan buah
kopi secara selektif. Jika terdapat 30 sampai 40 persen buah yang berwarna
merah dalam tiap dompolan, petani langsung memetik secara racutan. Buah kopi
yang masih berwarna hijau dan kuning yang turut terpetik dapat mempengaruhi
mutu kopi yang berwarna merah. Akhirnya kopi biji yang dihasilkan oleh rakyat
bermutu rendah, harganya murah dan mengakibatkan pendapatan petani
rendah. Karena buah kopi berwarna hijau akan menghasilkan kopi biji yang
berwama hitam, coklat dan mudah pecah dalam proses pengolahan. Alat yang
dipakai petani waktu memetik adalah keranjang, tali plastik, bambu berukuran
kecil, ember dan karung. Setelah kopi dipetik, kemudian diangkut dengan tenaga
manusia atau kuda.
Berdasarkan hasil uji cita rasa, biji kopi yang berwarna hitam mempunyai
aroma sangat tidak menyenangkan, tidak ada sifat kopinya dan rasanya seperti
kayu membusuk. Sedangkan kopi yang berwarna coklat rasanya asam dan bau
apek seperti keju, sama sekali tidak memberi cita rasa kopi. Kopi gelondong
seperti itu akan memberikan rasa tidak enak pada cup quality dengan rasa tajam
dan rasa tanah. Buah kopi yang berwarna merah dapat menghasilkan mutu yang
tinggi sehingga harga jualnya tinggi karena rasa dan aromanya nikmat dan enak.
Pemetikan yang dilakukan oleh perkebunan swasta sifatnya selektif, yaitu
hanya buah kopi yang berwama merah dan wama kuning yang dipetik satu per
(40)
Setelah buah kopi dipetik langsung ditakar untuk mengetahui berapa kilogram
yang dipetik tiap orang dalam satuan kerja. Seorang tenaga yang terampil dapat
memetik buah kopi 60 kg per hari atau rata-rata 40 kg tiap hari kerja. Buah kopi
hasil petikan yang berwama merah, kuning dan hijau dipisahkan satu dengan
Iainnya. Buah warna hijau adalah buah yang terikut pada saat memetik
dompolan buah merah dan kuning Setelah selesai penakaran kemudian diangkut
ke tempat pengolahan buah kopi.
Pengolahan kopi pada dasamya dikenal dua macam cara yaitu,
pengolahan kering dan pengolahan basah. Pengolahan basah mengalami proses
penghilangan kulit buah dan lendir yang menempel pada cangkang biji sebelum
biji dikeringkan. Serdangkan pengolahan kering dilakukan dengan tidak
menghilangkan kulit. Ciri lain dalam pengolahan basah mempergunakan air yang
cukup banyak pada beberapa tahap prosesnya, serta digunakan beberapa
peralatan dari tingkat yang paling sederhana sampai yangmodern. Dengan
demikian pengolahan buah kopi secara basah lebih bersifat padat modal
dibandingkan pengolahan secara kering.
Perkebunan kopi di Tana Toraja terdapat dua bentuk usaha perkebunan
yaitu perkebunan kopi rakyat dan perkebunan swasta. Dalam hal pascapanen,
terdapat perbedaan cara pengolahan kopi seperti dijelaskan berikut ini.
2.3.1. Pengolahan Kopi Perkebunan Swasta di Tana Toraja
Perkebunan swasta melakukan pengolahan kopi secara basah melalui 6
tahapan yaitu:
Pertama, sortasi buah kopi gelondong. Pada tahap ini kopi gelondong
dilakukan penyortiran dengan memisahkan antara buah kopi yang jelek dan yang
baik agar seragam. Penyeragaman tersebut biasanya dilakukan secara manual
(41)
yang berwarna merah ditampung dalam bak (konis), kemudian diisi air untuk
memisahkan buah kopi bernas (tidak hampa) dengan yang hampa serta yang
terserang bubuk. Buah kopi yang bernas dan masak akan tenggelam,
selanjutnya dialirkan bersama air ke mesin pulper untuk memisahkan kulit dan
bijinya. Buah kopi yang hampa, kering dan terserang bubuk mengembang di atas
permukaan air dan diolah tersendiri.
Sortasi buah gelondongan dimaksudkan untuk memisahkan buah merah
yang berbiji sehat dengan kopi hampa dan terserang bubuk. Buah kopi warna
yang sudah ditimbang dimasukan ke dalam alat yang disebut bak penerima atau
bak sortasi. Bak ini diIengkapi dengan saringan serta kran pemasukan dan
pengeluaran air. Setelah itu bak diisi air dengan cara membuka kran pemasukan
air. Bila bak sudah hampir penuh, kemudian diaduk, buah kopi yang terserang
bubuk dan hampa akan mengapung sedang yang sehat dan berisi akan
tenggelam.
Kedua, penghilangan kulit buah, Pada tahap ini dilakukan dengan alat
yang biasa disebut mesin pulper. Lendir yang menempel pada kulit tanduk
dihilangkan karena lendir tersebut menghambat proses pengeringan bila tidak
dihilangkan. Khusus untuk kopi arabika, cara ini masih dianggap dapat
memperbaiki mutu kopi biji fermentasi. Setelah kopi terkupas dari kulitnya,
didiamkan selama 48 jam dan tidak boleh terkena air. Martamidjaja (1984)
mengemukakan bahwa fermentasi adalah proses pemerahan buah kopi dengan
tujuan untuk rnempermudah lendir keluar sehingga lebih cepat pencuciannya.
Ketiga, pencucian. Setelah fermentasi kopi harus dicuci sampai bersih
dari lendir. Cara pencucian secara buatan yaitu dibuatkan seperti saluran air
(got) kemudian dimasukkan air secara terus menerus. Alat yang digunakan untuk
menggosok sampai biji kopi terasa keras (tidak berlendir) terbuat dari kayu yang
(42)
yaitu biji kopi yang tenggelam dipisahkan dengan kopi yang terapung, Kopi yang
tenggelam mutunya lebih baik daripada biji kopi terapung. Menurut Spillane
(1990), pencucian dimaksudkan untuk menghilangkan lendir yang masih melekat
pada biji kopi. Dalam bak pencucian itu biji diremas-remas dengan tangan atau
diinjak-injak dengan kaki sehingga bersih. Biji yang sudah bersih apabila dipijit
tidak terasa licin lagi setelah pencucian biji kopi selesai.
Keempat, pengeringan. Pengeringan biji kopi berkulit tanduk setelah
lendir dihilangkan dapat dilakukan dengan cara menjemur melalui matahari dan
mesin pengering. Penjemuran dilakukan di atas lantai yang terbuat dari semen,
tebal tumpukan biji kira-kira 2-5 cm, bahkan bisa sampai 10 cm Selain
penjemuran dilakukan pengadukan untuk mempercepat proses dan
penyeragaman hasil pengeringan. Waktu penjemuran biasanya tidak lebih dari 5
hari pada keadaan cuaca normal, akan menghasilkan kadar air biji kopi 8 -10
persen. Pengeringan dengan mesin dilakukan untuk mengatasi masalah cuaca
yang tidak menentu yang sering rnenghambat proses pengeringan. Suhu udara
pengeringan antara 80 - 1300C (kopi robusta) dan 40-600C (kopi arabika).
Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air menjadi 8 - 10 persen.
Dengan kadar air 10 persen kopi tidak mudah diserang cendawan dan tidak
mudah pecah ketika digiling. Pengeringan biasa dilakukan melalui tiga cara yaitu
cara alami, cara buatan, dan kombinasi antara cara alami dan cara buatan.
Kelima, sortasi biji kopi olahan. Sortasi biji kopi olahan dilakukan dengan tujuan membuat biji kopi sesuai dengan kelas mutu yang ada dalam sistem
perdagangan. Hal ini dilakukan karena biji kopi setelah dihilangkan kulit
tanduknya tampak tidak seragam. Agar dapat memenuhi standar kelas mutu
maka ukuran biji kopi harus diseragamkan dengan cara menyaring biji pada
ayakan bergoyang. Lubang saringan mempunyai diameter 7.5 mm (ukuran
(43)
adalah memilih biji-biji kopi ukuran normal. Pemisahan biji cacat diatur sampai
diperoleh biji kopi dasar dengan nilai cacat sesuai kelas mutu yang dikehendaki.
Menurut Najiyati dan Danarti (1995), sortasi biji dimaksudkan untuk
membersihkan kopi olahan dari kotoran sehingga memenuhi syarat mutu dan
penggolongan kopi tersebut menurut standar mutu yang telah ditetapkan.
Keenam, pengepakan atau penyimpanan. Setelah biji kopi olahan disortir lalu dimasukkan ke dalam karung dengan berat 60 kg bersih. Tiap karung yang
digunakan diberi tanda (label) seperti jenis kopi, kelas mutu, asal kopi dan nama
perusahaan Penyimpanan biji kopi dimaksudkan untuk menjaga agar tidak terjadi
penurunan mutu sebelum biji kopi dijual kepada konsumen.
2.3.2. Pengolahan Kopi Rakyat di Wilayah MADUTORA
Kegiatan pasca panen kopi rakyat menyangkut kegiatan pemetikan buah,
sortasi buah gelondongan, pengupasan kulit buah, fermentasi, penjemuran,
sortasi kopi biji olahan dan pengemasan serta penyimpanan.
Pascapanen kopi rakyat di wilayah MADUTORA dilakukan melalui
pengolahan basah yaitu:
1. Buah kopi yang sudah dipetik dikupas kulit buahnya dengan menggunakan
lesung batu, gilingan kayu dan diputar dengan tangan manusia kemudian
ditumbuk dan digiling hingga terpisah biji kopi dengan kulit buahnya dan
dibersihkan secara manual berulang-ulang sampai semua buah kopi
terpisah dari biji dan kulitnya, tetapi cara ini biasanya tidak melakukan
sortasi buah sehingga menyebabkan biji kopi banyak cacat.
2. Fermentasi, dilakukan secara alamiah yaitu biji kopi yang sudah dikupas
kemudian dimasukkan ke dalam keranjang atau kotak yang terbuat dari
papan yang sesuai dengan keberadaan petani dan fermentasi ini biasanya
dilakukan selama 24 jam.
(44)
biji kopi dan mempercepat pengeringan agar tampilan fisik biji kopi menjadi
lebih bersih dari kotoran dan kondisi tersebut akan menghambat serangan
jamur pada waktu penyimpanan.
4. Petani rakyat umumnya pada musim panas mengeringkan biji kopi secara
alamiah yaitu menjemur dengan panas matahari, tetapi ada juga yang
menjemur biji kopi langsung di atas tanah ataupun menggunakan alas
seperti tikar, karung bekas atau plastik dan pada musim hujan petani
mengeringkan biji kopi dengan cara mengasapi melalui dapur kayu.
5. Setelah kering, biji kopi dimasukkan oleh petani ke dalam karung atau
bakul tanpa melakukan sortasi, kemudian disimpan dengan cara
menumpuk di tempat yang lembab untuk selanjutnya dijual, padahal cara
ini tidak tepat karena dapat menurunkan mutu kopi yaitu cepat berjamur
dan tampilan fisiknya kurang baik.
Selanjutnya kopi arabika yang diperdagangkan oleh petani adalah kopi
kering tanpa sortasi, dengan kadar air kira-kira 18 persen. Sedangkan yang
diperdagangkan oleh pedagang pengumpul desa adalah kopi kering petani
dengan sedikit sortasi dan dengan kadar air 18 persen; oleh pedagang
pengumpul kecamatan adalah kopi kering dengan kadar air 15 persen. Baik
petani maupun pedagang pengumpul desa dan pedagang pengumpul
kecamatan, menjual kopi biji yang masih memiliki kulit tanduk/ari, sedang
pedagang pengumpul kabupaten dan perusahaan exportir menjual kopi biji
dalam bentuk kopi beras (kopi biji yang sudah dikupas kulit tanduknya atau kulit
arinya) dengan kadar air 15 persen. Pada tahap selanjutnya, perusahaan
eksportir akan membagi lagi kualitas kopi arabika yang telah diolah tersebut
dengan nama kopi mutu satu dan mutu dua.
Meski pemerintah sudah menyarankan agar petani menjual kopi yang
sudah disortasi, tetapi kenyataannya petani tetap memilih komoditi yang tanpa
sortasi karena dianggap lebih mudah dan cepat prosesnya selain karena
(45)
2.4. Pemasaran Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA
Secara umum jaringan pemasaran kopi arabika MADUTORA
melibatkankan beberapa pelaku pasar yaitu: petani, pedagang pengumpul desa,
pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengumpul kabupaten, pedagang
pengecer, eksportir, konsumen luar negeri dan konsumen domestik. Dalam pola
tataniaga, petani kopi arabika memegang peranan besar sebagai produsen,
sedang di ujung rantai pemasaran pihak eksportir yang berperanan menyerap
produksi tersebut.
Struktur tataniaga kopi rakyat relatif kurang efisien karena sifat
pengusahaannya yang serba tradisional. Sejak awal pengelolaannya tidak dapat
menyamai keterampilan manajemen perusahaan-perusahaan perkebunan besar
yang bermodal besar dan modern (Spillane, 1990).
Jaringan tataniaga kopi arabika MADUTORA mulai dari petani sampai
eksportir memiliki rantai tataniaga yang panjang. Hal ini merupakan hasil dari
kombinasi beberapa faktor alami dan non alami, antara lain:
Pertama, faktor topografi dan letak wilayah penghasil kopi. Umumnya lahan yang sesuai untuk tanaman kopi adalah daerah berbukit sampai
bergunung yang elevasi berkisar 400-800 m dari permukaan laut, Lokasi yang
memenuhi persyaratan tersebut di atas umumnya berada di dataran tinggi
dengan ketinggian tempat kurang dari 1 000 m dari permukaan laut.
Kedua, faktor jauhnya jarak antara desa dengan kota di wilayah MADUTORA. Petani sebagai produsen di sentra produksi kopi arabika, harus
membawa kopi melalui pusat kota kecamatan, kota kabupaten dan kota propinsi
(eksportir). Jarak dari lokasi produksi ke tempat panjualan ini umumnya sangat
jauh. Ketiga, faktor modal. Modal pedagang pengumpul desa berasal dari
pedagang pengumpul kecamatan sebab umumnya mereka adalah kaki tangan
(46)
Petani
Pedagang pengumpul desa
Pedagang pengumpul kecamatan
Pedagang Besar (Kabupaten)
pedagang kecamatan dan pedagang besar umumnya telah mempunyai
hubungan tertentu dengan eksportir. Apabila mereka kekurangan modal kerja,
maka eksportir biasanya akan membantu tanpa persyaratan bunga modal.
Secara umum, sebagian besar petani menjual langsung hasil produksinya
kepada pedagang pengumpul desa. Pedagang pengumpul desa menjual ke
pedagang pengumpul kecamatan setelah kopi disortir, selanjutnya pedagang
pengumpul kecamatan menjual ke pedagang kabupaten. Sedangkan pedagang
kabupaten menjual lebih lanjut ke eksportir untuk kemudian dipasarkan ke
konsumen luar negeri. Selain itu ada juga pedagang kabupaten menjual juga ke
pedagang pengecer untuk pasar konsumen domestik.
Untuk memperjelas jaringan pemasaran atau tataniaga kopi arabika di
wilayah MADUTORA dapat dilihat pada diagram di bawah ini.
Sumber : Surono, 1996
Gambar 2. Saluran Pemasaran Kopi Arabika di Sulawesi Selatan
2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu 2.5.1. Kopi Arabika
Penelitian dan studi mengenai Kopi Arabika telah dilakukan oleh
beberapa peneliti terdahulu, antara lain oleh Adri (1999), Karim (1999) dan Roza
(2003).
Pedagang Eksportir
(47)
Penelitian Adri (1999) bertujuan untuk menganalisa keragaan
(performance) kelembagaan dan ekonomi usahatani kopi Arabika Organik di
kabupaten Aceh Tengah. Responden utama adalah petani kopi arabika organik,
PD.Genap Mupakat, pedagang perantara, kepala desa, pemuka Adat dan
Agama, KUD dan PPL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk koordinasi
antara PD.Genap Mupakat dengan petani dalam peningkatan produktivitas dan
kualitas kopi Arabika organik adalah berbentuk sistem kontrak. Usahatani kopi ini
tidak memiliki asset spesifikasi yang khas dalam hal teknik budidaya, tapi
mempunyai asset spesifikasi yang khas dalam penggunaan lahan. Spesifikasi
yang khas dalam penggunaan lahan dikarenakan kopi arabika organik tidak
dibenarkan untuk penggunaan bahan-bahan kimia, sedangkan bila pada lahan
kopi ditumpangsarikan tanaman lain biasanya memerlukan bahan kimia seperti
sayur-sayuran. Kopi arabika organik di Propinsi Aceh layak untuk diuasahakan
baik dipandang dari sisi finansial maupun ekonomi. Harga kopi di tingkat petani
pada kelembagaan kemitraan lebih tinggi dari kelembagaan tradisional. Respon
harga di pasar internasional relatif kecil terhadap harga domestik, hal ini
ditunjukkan oleh analisa elastisitas transmisi harga sebesar 0.47.
Pada daerah yang sama Karim (1999) menganalisis tentang kelayakan
finansial kopi arabika Catimor organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kebun kopi organik di Aceh Tengah layak (feasible) untuk dikembangkan.
Kelayakan tersebut diperoleh dari hasil analisis kriteria kelayakan finansial yang
digunakan dengan menganalisis nilai NPV, tingkat suku bunga pinjaman
pertahun, nilai payback period, BEP harga dan BEP produksi.
Roza (2003) menganalisis tentang faktor-faktor produksi kopi arabika di
PT. Indoarabica Lampung yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
produksi yang berpengaruh terhadap produksi kopi arabika glondongan dan kopi
(48)
jenis kopi arabika tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan
masih dapat meningkatkan produksi kopi arabika dengan menambah
faktor-faktor produksi yang positif, namun untuk menentukan batas maksimal
penambahan faktor produksi tersebut masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Perusahaan masih dapat meningkatkan pemakaian tenaga kerja untuk
melakukan pemetikan kopi terutama pada musim panen, karena adanya
hubungan yang sangat signifikan antara produksi kopi arabika glondongan dan
tenaga kerja panen.
2.5.2. Pangsa Pasar
Penelitian mengenai pangsa pasar telah dilakukan oleh Emirza (1997)
dan Suryani (1997), dengan hasil sebagai berikut:
Emirza (1997) meneliti tentang pangsa pasar dan strategi pemasaran
produk ikan kaleng PT. Blambangan Raya. Analisis untuk pangsa pasar
menggunakan metode Markov Chain sedangkan analisis strategi pemasaran
digunakan metode SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi
perubahan volume penjualan ikan kaleng yang diproduksi perusahaan tersebut
maupun kompetitor. Berdasarkan perhitungan, pangsa pasar PT. Blambangan
Raya diperkirakan terus meningkat hingga tahun 2002 sehingga dibutuhkan
strategi pemasaran yang kuat dalam menghadapi persaingan dengan para
kompetitor. Hasil SWOT yang diperoleh adalah meningkatkan mutu produk,
harga produk lebih murah dibandingkan dengan produk pesaing terdekatnya,
diperlukan pemberian diskon kepada pelanggan yang membeli dalam jumlah
besar, mempertahankan produktivitas distributor tunggal yang dipakai oleh
perusahaan selama ini dan meningkatkan volume penjualan dan pangsa pasar
perusahaan dengan memasang iklan di media massa, mengikuti
(49)
Penelitian Suryani (1997) tentang pangsa pasar stasiun-stasiun tv di DKI
Jakarta bertujuan untuk memberikan informasi mengenai dinamika pertelevisian
dan melihat pangsa pasarnya. Data diperoleh dari SRI (Survey Research
Indonesia) berbentuk tabel jumlah pemirsa stasiun-stasiun TV swasta pada tanggal 1 sampai 7 September 1996 dengan periode waktu menonton 15 menit
dan 1 jam serta dianalisis menggunakan model rantai markov. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada periode waktu 15 menit tidak terlihat adanya
perubahan kepemirsaan televisi. Pada periode 1 jam baru terlihat dinamika
kepemirsaan televisi, hal tersebut disebabkan karena periode kepemirsaan yang
singkat. Pangsa pasar yang paling diminati oleh pemirsa adalah melalui program
lokal sinetron dari stasiun RCTI dan SCTV.
2.5.3. Struktur - Perilaku - Kinerja
Penelitian mengenai Struktur - Perilaku - Kinerja telah diteliti antara
lain oleh Acharya (1998), Viaenne dan Gellynck (1995), Vlachvei dan
Oustapassidis (1998) serta Hidayati (2000).
Penelitian mengenai kinerja ekonomi dengan menggunakan
pendekatan SCP dilakukan oleh Acharya (1998) pada pasar produk-produk
pertanian di India. Penekanan dalam penelitian ini adalah keterkaitan antara
sektor on farm dan off farm yang dihubungkan oleh sebuah sistim
pemasaran produk pertanian. Sistim pemasaran diyakini memegang
peranan penting dalam menentukan harga yang merupakan sinyal bagi
produsen dan konsumen, dan kemudian kinerja sistim ini sangat ditentukan
oleh perilaku dan struktur pasar itu sendiri.
Variabel-variabel yang diteliti adalah pengukuran regulasi,
infrastruktur sistim pemasaran, harga yang ditetapkan oleh pemerintah,
(50)
yang didapatkan adalah keseluruhan variabel yang diteliti berpengaruh
nyata terhadap dinamika pasar produk pertanian. Karakteristik struktural
pasar produk pertanian menunjukan dominasi lembaga-lembaga yang
terorganisasi atas lembaga-lemabaga yang tidak terorganisasi dengan
konsekuensi timbulnya potensi terciptanya praktek monopoli atau oligopoli.
Saran sebagai basil dari penelitian ini adalah perlunya meningkatkan
linkages antara petani dengan sektor ritel, pembangunan infrastruktur di
pedesaan dan perlunya perhatian pada proses grading dan pengontrolan
kualitas untuk meningkatkan kinerja pasar.
Viaenne dan Gellynck (1995) menggunakan SCP untuk
mengevaluasi pertumbuhan dan situasi terkini industri makanan di Eropa,
terutama perusahaan-perusahaan yang berada di Belanda, Jerman, Inggris
dan Perancis. Penelitian ini menggunakan variabel konsentrasi industri dan
intensitas penggunaan tenaga kerja sebagai indikator struktur, nilai tambah
dan investasi sebagai indikator perilaku, serta produktivitas, tingkat
pertumbuhan dan profitabilitas sebagai indikator kinerja. Selain itu
dievaluasi juga tahapan transformasi industri dari petani, industri bahan
baku dan industri barang akhir. Hasil penelitian menunjukan Perancis
memiliki struktur industri yang paling terintegrasi dibandingkan dengan
negara yang lain, sementara Inggris dan Jerman mengalami pertumbuhan
yang negatif. Namun Belanda dan Jerman memiliki tingkat profitabilitas
yang tertinggi di antara negara yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa
pasar makanan Eropa sangat ditentukan oleh keterkaitan struktur usaha,
perilaku dan kinerja dalam industri tersebut.
Vlachvei dan Oustapassidis (1998) melakukan penelitian untuk
membuat hipotesis mengenai hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja
(51)
mengestimasi parameter tingkat profitabilitas yang dipengaruhi oleh konsentrasi
industri dan iklan pada 38 manufaktur dalam industri pangan dengan
menggunakan metode estimasi 3 SLS. Indikator struktur diwakili oleh indeks
konsentrasi perusahaan, indikator perilaku diwakili oleh rasio antara
pengiklanan dengan total penjualan, dan tingkat profitabilitas sebagai indikator
kinerja. Hasil yang didapatkan adalah bahwa intensitas pemasangan iklan dan
ekspor berpengaruh nyata dalam meningkatkan tingkat profitabilitas.
Selanjutnya kedua variabel tersebut dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi
perusahaan, Pada tahap sebelumnya, konsentrasi tersebut sangat dipengaruhi
oleh economies of scale perusahaan yang bersangkutan. Rekomendasi yang
dinyatakan oleh peneliti adalah bahwa pengiklanan dan diferensiasi produk
merupakan variabel utama yang sangat mempengaruhi profitabilitas. Hubungan
antara pemasangan iklan dan tingkat konsentrasi menunjukan bahwa
perusahaan yang memiliki pangsa produk yang besar lebih efektif untuk
menggunakan media periklanan dibandingkan dengan perusahaan dengan
pangsa yang kecil.
Hidayati (2000) menganalisis tentang kerja sistem pemasaran dan
lembaga penunjang pemasaran kaitannya dengan pengembangan produksi
rumput laut di kabupaten Lombok Timur dengan tujuan untuk menganalisis
kinerja usahatani, kinerja pemasaran serta kinerja lembaga penunjang
pemasaran dan kebijakan yang berkaitan dengan produksi dan pemasaran
rumput laut. Hasil penelitian yang dianalisis menggunakan SCP menunjukkan
bahwa struktur pasar rumput laut di tingkat pedagang pengumpul I adalah
oligopoli dengan konsentrasi pasar yang tinggi, karena pedagang yang
beroperasi jumlahnya terbatas. Di tingkat pedagang pengumpul II maupun
eksportir, struktur pasar adalah monopoli, oleh karena itu pasar rumput laut
(52)
diperoleh sebesar 0.043 menunjukkan bahwa ada keterpaduan pasar antara
tingkat petani dengan tingkat eksportir. Petani kesulitan untuk melakukan
perluasan usaha karena keterbatasan modal yang dimiliki, sementara itu
lembaga keuangan yang dapat menyediakan bantuan modal belum ada.
Kelompok tani yang terbentuk belum menunjukkan aktivitasnya, dengan
demikian lembaga penunjang pemasaran masih belum cukup berperan dalam
menunjang usaha pengembangan rumput laut.
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini difokuskan pada pangsa
pasar ekonomi usahatani petani kopi arabika serta struktur, perilaku dan kinerja
dari lembaga tata niaga kopi arabika di Propinsi Sulawesi Selatan. Analisis yang
digunakan untuk pangsa pasar adalah model rantai markov (markov chain).
Analisis untuk mengetahui struktur, perilaku dan kinerja (SCP) berbeda dengan
yang dilakukan oleh Acharya (1998), Viaenne dan Gellynck (1995), dan
Vlachvei dan Oustapassidis (1998). Penelitian ini menganalisis tentang jumlah
lembaga pemasaran, kondisi keluar masuk pasar, praktek penentuan harga,
praktek pembelian dan penjualan, praktek dalam menjalankan fungsi-fungsi
pemasaran, marjin pemasaran, bagian harga yang diterima petani, elastisitas
transmisi harga dan keterpaduan pasar. Efisiensi pemasaran dalam hal margin
(53)
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Pangsa Pasar
Istilah pangsa pasar sering digunakan dalam ekonomi perusahan ataupun
dalam dunia bisnis pada umumnya, untuk menunjukkan besarnya andil atau
saham dalam pemasaran suatu komoditas. Pasar merupakan salah satu syarat
yang esensial bagi kemajuan pembangunan pertanian, sehingga kegiatan
pemasaran menjadi aspek penting yang tidak dapat diabaikan. Pemasaran
komoditas pertanian ditandai oleh besarnya gejolak harga akibat
perubahan-perubahan pada sisi permintaan (demand side) oleh konsumen, maupun sisi
penawaran (supply side) yang bersumber dari fluktuasi pasokan oleh produsen.
Fluktuasi ini terjadi akibat gangguan iklim, dampak daur komoditas yang dipicu
oleh imbas daur perekonomian internasional. Gejolak harga menjadi semakin
tajam akibat rendahnya elastisitas, baik pada sisi permintaan maupun penawaran
dari komoditas tersebut (Dillon dan Suryana, 1999).
Dalam penelitian ini, sebaran market share atau pangsa pasar kopi
arabika akan dianalisis dengan menggunakan metode Markov Chain. Secara
umum rantai Markov atau Markov Chain adalah teknik matematik yang dapat
digunakan untuk meramalkan perubahan-perubahan nilai variabel di masa yang
akan datang berdasarkan pada perubahan-perubahan nilai variabel tersebut di
masa yang lalu dan memungkinkan untuk menganalisis fakta-fakta yang terjadi
secara berurutan. Markov Chain dapat diterapkan pada berbagai bidang ilmu
seperti pertanian, indistri, kependudukan, ekonomi dan politik (Abdurrahman,
1999). Berikut akan dijelaskan uraian tentang teori model rantai markov secara
(1)
Lampiran 3. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,Tahun 1991 – 2005
Kopi Arabika
Tahun Volume (Ton) Perkembangan
(%)
Nilai (US $) Perkembangan
(%)
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
1 067.01 1 205.42 2 514.78 2 963.88 1 475.23 2 308.04 2 617.77 2 831.16 2 294.51 2 404.12 2 536.40 3 148.23 3 312.85 4 380.00 5 558.26
- 12.97 108.62 17.86 - 50.23 56.45 13.42 8.15 -18.96 4.78 5.50 24.12 5.23 32.21 26.90
2 763 952 4 214 819 8 272 884 11 071 549 5 029 889 5 965 157 10 235 481 9 958 589 7 732 499 6 971 948 5 130 760 6 411 158 5 915 681 8 793 177 16 459 541
- 52.49 96.28 33.83 - 54.57 18.59 71.59 - 2.71 - 22.35 - 9.84 - 26.41 24.96 - 7.73 48.64 87.19 Sumber : Dinas Perdagangan dan Perindustrian Sulawesi Selatan, 2006
(2)
Lampiran 4. Perkembangan Luas Areal Kopi Arabika pada Enam Daerah Sentra Utama Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,Tahun 1997 - 2004
Tahun
Baraka (Ha)
Alla (Ha)
Mengkendek (Ha)
Rinding Allo (Ha)
Sesean (Ha)
Saluputi (Ha)
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
1 860 2 269 2 510 3 493 3 493 3 493 3 493 3 432
2 078 2 850 3 722 3 358 3 360 3 360 3 360 3 424
1 337 1 356 707 707 1 994 2 078 2 207 2 208
3 875 3 964 4 304 4 406 3 625 4 523 4 652 4 681
1 027 1 045 1 428 1 458 707 1 277 1 277 1 277
1 512 1 559 2 318 2 392 379 1 122 1 281 1 290 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Enrekang dan Tator, Sulawesi
(3)
Lampiran 5. Perkembangan Produksi Kopi Arabika pada Enam Daerah Sentra Utama Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,Tahun 1997 - 2004
Tahun
Baraka (Enrekang)
Alla (Enrekang)
Mengkendek (Tator)
Rinding Allo (Tator)
Sesean (Tator)
Saluputi (Tator)
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
658 813 836 952 1 152 1 160 1 204 1 230
798 956 1 879 1 125 1 325 1 400 1 460 1 520
439 450 694 695 430 498 501 508
961 968 1 099 1 146 841 1 060 1 062 1 013
371 35 436 437 78 340 340 311
587 610 715 761 108 201 203 293 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Enrekang dan tator, Sulawesi
(4)
Lampiran 6. Luas Areal dan Produksi Kopi Arabika Menurut Kecamatan di Kabupaten Enrekang,Tahun 2004
No Kecamatan Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Maiwa Enrekang Baraka Angeraja Alla Cendana Curio Malua Bungin
0
435
3 432 287
3 424 0
1 850 396
620
0
260
2 050 171
2 041 0
1 103 236
370
Jumlah 10 444 6 231
(5)
Lampiran 7. Luas Areal dan Produksi Kopi Arabika Menurut Kecamatan di KabupatenTana Toraja,Tahun 2004
No Kecamatan Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Bongkaradeng Mengkendek Sangala Makale Saluputi Rinding Allo Rantepao Sanggalangi Sesean Simbuang Rantetayo
Tondon Nanggala Sa’dan Balusu Bittuang
Buntao Rantebua
- 2 208
348
319
1 290 4 681 86
491
1 277 791
1 040 215
401
2 429 180
- 508
75
78
293
1 013 21
91
311
152
193
39
82
626
47
Jumlah 15 756 3 529
(6)
Lampiran 8. Perkembangan Harga Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,Tahun 1995 - 2004
Harga (Rp/Kg) Tahun
Petani Kecamatan Kabupaten Propinsi Eksportir
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
6 425 4 332 6 250 14 026 13 278 9 890 10 531 9 976 6 075 6 839
6 510 4 522 6 600 14 915 13 961 10 077 10 616 11 452 6 486 7 248
6 734 5 646 7 800 15 729 14 632 10 808 11 097 11 532 6 648 7 547
7 035 5 646 7 800 18 284 16 500 19 621 12 000 16 524 17 559 16 555
7 282 6 530 20 915 27 805 25 745 23 618 25 105 25 105 25 105 19 600 Sumber : Dinas Perdagangan dan Perindustrian Sulawesi Selatan, 2005