Analisis pangsa pasar dan tataniaga kopi arabika di kabupaten Tana Toraja dan Enrekang, Sulawesi Selatan

(1)

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA

KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN

ENREKANG, SULAWESI SELATAN

IMA AISYAH SALLATU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN ENREKANG DAN TANA TORAJA, SULAWESI SELATAN

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2006

Ima Aisyah Sallatu NRP. A151020111


(3)

ABSTRAK

IMA AISYAH SALLATU. Analisis Pangsa Pasar dan Tataniaga Kopi Arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang, Sulawesi Selatan (ANNY RATNAWATI

sebagai Ketua dan HARIANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Kopi arabika merupakan salah satu komoditi andalan dalam struktur perkekonomian di Sulawesi Selatan, baik ditinjau dari besarnya devisa yang dihasilkan maupun dari banyaknya tenaga kerja yang terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat pangsa pasar pada usahatani kopi arabika serta struktur, perilaku dan kinerja lembaga tataniaga kopi arabika di Propinsi Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang.

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja karena dua wilayah tersebut merupakan sentra produksi kopi arabika untuk Propinsi Sulawesi Selatan. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan petani, pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan, pedagang besar dan eksportir. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis pangsa pasar dilakukan dengan metode Markov Chain sedangkan struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi arabika dilakukan dengan pendekatan Structure-Conduct-Performance.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awalnya pangsa pasar terbesar kopi arabika di Sulawesi Selatan diraih oleh Kecamatan Rinding Allo. Akan tetapi sebaran keseimbangan rantai Markov menyebabkan terjadinya dinamika pasar sehingga Kecamatan Alla memiliki peluang untuk meraih posisi terbesar dalam hal pangsa pasar. Sedangkan pangsa pasar terendah peluangnya akan bergeser dari Kecamatan Sesean ke Kecamatan Rinding Allo.

Banyaknya pelaku pasar yang terlibat serta besarnya hambatan untuk keluar masuk pasar telah menyebabkan terbentuknya struktur pasar kopi arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang yang mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna (imperfect competitive market). Sementara perilaku pasar diwarnai oleh praktek penentuan harga yang didominasi oleh eksportir dan pedagang besar. Struktur dan perilaku pasar kopi arabika di dua kabupaten ini tidak memberikan alternatif kepada petani untuk dapat memilih saluran pemasaran yang lebih efisien walaupun saluran pemasaran ini dapat memberikan bagian harga yang lebih tinggi kepada petani.

Struktur pasar yang tidak bersaing sempurna, perilaku pasar yang cenderung meningkatkan ketergantungan petani, transmisi harga yang inelastis, serta keterpaduan pasar yang mengukuhkan dominasi eksportir dan pedagang besar, telah menyebabkan posisi tawar (bargaining position) petani kopi arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Erekang semakin lemah.

Untuk mengantisipasi peluang pergeseran pangsa pasar dari beberapa daerah produsen, perlu dukungan dari pemerintah pusat dan daerah guna memperbaiki sarana transportasi dan infrastruktur pemasaran lainnya. Untuk mengurangi tingkat ketergantungan petani kepada pedagang dan eksportir, perlu diupayakan adanya lembaga keuangan yang mampu menyediakan kebutuhan modal kepada petani dalam waktu cepat tanpa prosedur yang rumit dan berbelit-belit. Dengan demikian petani memiliki alternatif untuk memilih saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan bagi mereka. Sedangkan untuk meningkatkan kekuatan posisi tawar petani, usaha yang dapat ditempuh adalah dengan mendorong tumbuh dan berkembangnya asosiasi petani kopi arabika atau organisasi petani yang mandiri

Kata kunci : Kopi arabika, tataniaga, pangsa pasar, markov chain, structure-conduct-performance.


(4)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(5)

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA

KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG,

SULAWESI SELATAN

Oleh:

IMA AISYAH SALLATU

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(6)

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga Tesis yang berjudul “ Analisis Pangsa Pasar dan Tataniaga Kopi Arabika di Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja, Sulawesi Selatan” ini dapat diselesaikan.

Penulisan Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fokus Pembahasan adalah dinamika pangsa pasar, struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi arabika di Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja Propinsi Sulawesi Selatan.

Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Harianto, M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan sabar memberikan arahan, saran dan bimbingan selama proses penyusunan tesis ini.

Selanjutnya pada kesempatan ini ucapan terima kasih juga disampaikan kepada :

1. Rektor dan Direktur Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf yang telah memberikan kesempatan untuk dapat mengikuti pendidikan program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan segenap staf pengajar dan administrasi atas ilmu pengetahuan dan bantuan yang diberikan selama penyelesaian studi.


(7)

3. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Sc. yang telah bersedia menjadi Penguji Luar Komisi atas saran dan kritiknya demi perbaikan dan penajaman isi tesis ini. 4. Pimpinan dan Staf Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten

Enrekang dan Tana Toraja, Bappeda, Badan Pusat Statistik, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja, atas bantuan data dan informasi.

5. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) angkatan 2002 terutama Kak Anna, Elis, Dwi, Mimi, Andre, Adam dan Pak Bedy atas segala dorongan moril dan kebersamaannya.

Secara khusus, rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya disampaikan kepada keluarga tercinta, mamaku tersayang, adek gego, memed, tenri, mamad dan apit atas segala dukungan dan doa serta keluarga sumbawa yang senantiasa mengirimkan doa dari jauh, suami tercinta Haryanto, SE, M.Si, Ak. atas dukungan moral dan moril, pengertian dan kesabaran yang luar biasa serta berlimpahnya cinta dan kasih sayang yang diberikan khususnya selama masa penyelesaian studi serta ananda tercinta Muhammad Adiel Haryanto, super bos yang senantiasa harus menemani bunda kemana pun setiap saat. Thank You So Much !

Hasil penelitian ini disadari masih memiliki ketidaksempurnaan, oleh karena itu segala macam bentuk saran, kritik serta masukan dari berbagai pihak sangat diharapkan dan semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, September 2006


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 20 Juni 1978 sebagai anak pertama dari lima bersaudara pasangan H. Abdul Madjid Sallatu dan Hj. Hamsinah Yasin. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Islam Athirah Makassar pada tahun 1990. Pada tahun 1993 lulus dari sekolah menengah pertama SMP Negeri 3 Makassar dan pada tahun 1996 menamatkan sekolah menengah atas dari SMU Negeri 2 Makassar.

Pada tahun 1996 penulis diterima sebagai mahasiswi S1 Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar melalui Jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan menamatkannya pada tahun 2001. Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi program S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002.


(9)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1. Perkembangan Kopi Indonesia ... 10

2.1.1. Budidaya Kopi ... 10

2.1.2. Tataniaga Kopi ... 12

2.1.3. Produksi dan Ekspor Kopi Indonesia... 14

2.2. Tanaman Kopi Arabika ... 16

2.3. Kondisi Tanaman Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA ... 19

2.3.1. Pengolahan Kopi Perkebunan Swasta di Tana Toraja... 25

2.3.2. Pengolahan Kopi Rakyat di Wilayah MADUTORA... 28

2.4. Pemasaran Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA... 30

2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu... 32

2.5.1. Kopi Arabika ... 32

2.5.2. Pangsa Pasar ... 33

2.5.3. Struktur - Perilaku - Kinerja ... 34

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 38

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 38

3.1.1. Konsep Pangsa Pasar... 38

3.1.1.1. Proses Stokastik... 39

3.1.1.2. Proses Markov ... 39

3.1.1.3.Rantai Markov... 40

3.1.1.4. Matriks Transisi ... 40

3.1.2. Konsep Struktur - Perilaku - Kinerja ... 41


(10)

xiii

3.1.2.2. Bagian Harga yang Diterima Petani... 48

3.1.2.3. Elastisitas Transmisi Harga ... 49

3.1.2.4. Keterpaduan Pasar ... 54

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 60

4.1. Daerah Penelitian ... 60

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 60

4.3. Metode Pemilihan Contoh ... 61

4.4. Prosedur Pemilihan Responden... 62

4.5. Metode Analisis ... 63

4.5.1. Analisis Pangsa Pasar... 64

4.5.2. Analisis Struktur - Perilaku - Kinerja ... 65

4.5.2.1. Margin Pemasaran dan Distribusi ... 65

4.5.2.2. Bagian Harga yang Diterima Petani... 67

4.5.2.3. Elastisitas Transmisi Harga... 67

4.5.2.4. Keterpaduan Pasar ... 69

4.6. Definisi dan Konsep Operasional ... 70

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 72

5.1. Letak Geografis, Topografi dan Iklim... 72

5.2. Penduduk dan Mata Pencaharian ... 75

5.3. Perkembangan PDRB Wilayah ... 77

VI. ANALISIS PANGSA PASAR KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG ... 82

VII. ANALISIS TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG... 89

7.1. Identitas Responden ... 89

7.1.1. Umur Petani Responden ... 89

7.1.2. Pendidikan Responden... 91

7.1.3. Jumlah Anggota Keluarga ... 91

7.1.4. Pengalaman Usahatani Responden ... 92

7.1.5. Luas Lahan Usahatani... 93

7.2. Struktur Pasar Kopi Arabika ... 94

7.2.1. Jumlah Lembaga Pemasaran... 94

7.2.2. Kondisi Keluar Masuk Pasar... 96

7.3. Perilaku Pasar Kopi Arabika... 98


(11)

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA

KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN

ENREKANG, SULAWESI SELATAN

IMA AISYAH SALLATU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(12)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN ENREKANG DAN TANA TORAJA, SULAWESI SELATAN

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2006

Ima Aisyah Sallatu NRP. A151020111


(13)

ABSTRAK

IMA AISYAH SALLATU. Analisis Pangsa Pasar dan Tataniaga Kopi Arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang, Sulawesi Selatan (ANNY RATNAWATI

sebagai Ketua dan HARIANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Kopi arabika merupakan salah satu komoditi andalan dalam struktur perkekonomian di Sulawesi Selatan, baik ditinjau dari besarnya devisa yang dihasilkan maupun dari banyaknya tenaga kerja yang terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat pangsa pasar pada usahatani kopi arabika serta struktur, perilaku dan kinerja lembaga tataniaga kopi arabika di Propinsi Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang.

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja karena dua wilayah tersebut merupakan sentra produksi kopi arabika untuk Propinsi Sulawesi Selatan. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan petani, pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan, pedagang besar dan eksportir. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis pangsa pasar dilakukan dengan metode Markov Chain sedangkan struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi arabika dilakukan dengan pendekatan Structure-Conduct-Performance.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awalnya pangsa pasar terbesar kopi arabika di Sulawesi Selatan diraih oleh Kecamatan Rinding Allo. Akan tetapi sebaran keseimbangan rantai Markov menyebabkan terjadinya dinamika pasar sehingga Kecamatan Alla memiliki peluang untuk meraih posisi terbesar dalam hal pangsa pasar. Sedangkan pangsa pasar terendah peluangnya akan bergeser dari Kecamatan Sesean ke Kecamatan Rinding Allo.

Banyaknya pelaku pasar yang terlibat serta besarnya hambatan untuk keluar masuk pasar telah menyebabkan terbentuknya struktur pasar kopi arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang yang mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna (imperfect competitive market). Sementara perilaku pasar diwarnai oleh praktek penentuan harga yang didominasi oleh eksportir dan pedagang besar. Struktur dan perilaku pasar kopi arabika di dua kabupaten ini tidak memberikan alternatif kepada petani untuk dapat memilih saluran pemasaran yang lebih efisien walaupun saluran pemasaran ini dapat memberikan bagian harga yang lebih tinggi kepada petani.

Struktur pasar yang tidak bersaing sempurna, perilaku pasar yang cenderung meningkatkan ketergantungan petani, transmisi harga yang inelastis, serta keterpaduan pasar yang mengukuhkan dominasi eksportir dan pedagang besar, telah menyebabkan posisi tawar (bargaining position) petani kopi arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Erekang semakin lemah.

Untuk mengantisipasi peluang pergeseran pangsa pasar dari beberapa daerah produsen, perlu dukungan dari pemerintah pusat dan daerah guna memperbaiki sarana transportasi dan infrastruktur pemasaran lainnya. Untuk mengurangi tingkat ketergantungan petani kepada pedagang dan eksportir, perlu diupayakan adanya lembaga keuangan yang mampu menyediakan kebutuhan modal kepada petani dalam waktu cepat tanpa prosedur yang rumit dan berbelit-belit. Dengan demikian petani memiliki alternatif untuk memilih saluran pemasaran yang lebih efisien dan menguntungkan bagi mereka. Sedangkan untuk meningkatkan kekuatan posisi tawar petani, usaha yang dapat ditempuh adalah dengan mendorong tumbuh dan berkembangnya asosiasi petani kopi arabika atau organisasi petani yang mandiri

Kata kunci : Kopi arabika, tataniaga, pangsa pasar, markov chain, structure-conduct-performance.


(14)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(15)

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA

KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG,

SULAWESI SELATAN

Oleh:

IMA AISYAH SALLATU

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(16)

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga Tesis yang berjudul “ Analisis Pangsa Pasar dan Tataniaga Kopi Arabika di Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja, Sulawesi Selatan” ini dapat diselesaikan.

Penulisan Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fokus Pembahasan adalah dinamika pangsa pasar, struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi arabika di Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja Propinsi Sulawesi Selatan.

Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Harianto, M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan sabar memberikan arahan, saran dan bimbingan selama proses penyusunan tesis ini.

Selanjutnya pada kesempatan ini ucapan terima kasih juga disampaikan kepada :

1. Rektor dan Direktur Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf yang telah memberikan kesempatan untuk dapat mengikuti pendidikan program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan segenap staf pengajar dan administrasi atas ilmu pengetahuan dan bantuan yang diberikan selama penyelesaian studi.


(17)

3. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Sc. yang telah bersedia menjadi Penguji Luar Komisi atas saran dan kritiknya demi perbaikan dan penajaman isi tesis ini. 4. Pimpinan dan Staf Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten

Enrekang dan Tana Toraja, Bappeda, Badan Pusat Statistik, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja, atas bantuan data dan informasi.

5. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) angkatan 2002 terutama Kak Anna, Elis, Dwi, Mimi, Andre, Adam dan Pak Bedy atas segala dorongan moril dan kebersamaannya.

Secara khusus, rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya disampaikan kepada keluarga tercinta, mamaku tersayang, adek gego, memed, tenri, mamad dan apit atas segala dukungan dan doa serta keluarga sumbawa yang senantiasa mengirimkan doa dari jauh, suami tercinta Haryanto, SE, M.Si, Ak. atas dukungan moral dan moril, pengertian dan kesabaran yang luar biasa serta berlimpahnya cinta dan kasih sayang yang diberikan khususnya selama masa penyelesaian studi serta ananda tercinta Muhammad Adiel Haryanto, super bos yang senantiasa harus menemani bunda kemana pun setiap saat. Thank You So Much !

Hasil penelitian ini disadari masih memiliki ketidaksempurnaan, oleh karena itu segala macam bentuk saran, kritik serta masukan dari berbagai pihak sangat diharapkan dan semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, September 2006


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 20 Juni 1978 sebagai anak pertama dari lima bersaudara pasangan H. Abdul Madjid Sallatu dan Hj. Hamsinah Yasin. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Islam Athirah Makassar pada tahun 1990. Pada tahun 1993 lulus dari sekolah menengah pertama SMP Negeri 3 Makassar dan pada tahun 1996 menamatkan sekolah menengah atas dari SMU Negeri 2 Makassar.

Pada tahun 1996 penulis diterima sebagai mahasiswi S1 Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar melalui Jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan menamatkannya pada tahun 2001. Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi program S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002.


(19)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1. Perkembangan Kopi Indonesia ... 10

2.1.1. Budidaya Kopi ... 10

2.1.2. Tataniaga Kopi ... 12

2.1.3. Produksi dan Ekspor Kopi Indonesia... 14

2.2. Tanaman Kopi Arabika ... 16

2.3. Kondisi Tanaman Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA ... 19

2.3.1. Pengolahan Kopi Perkebunan Swasta di Tana Toraja... 25

2.3.2. Pengolahan Kopi Rakyat di Wilayah MADUTORA... 28

2.4. Pemasaran Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA... 30

2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu... 32

2.5.1. Kopi Arabika ... 32

2.5.2. Pangsa Pasar ... 33

2.5.3. Struktur - Perilaku - Kinerja ... 34

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 38

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 38

3.1.1. Konsep Pangsa Pasar... 38

3.1.1.1. Proses Stokastik... 39

3.1.1.2. Proses Markov ... 39

3.1.1.3.Rantai Markov... 40

3.1.1.4. Matriks Transisi ... 40

3.1.2. Konsep Struktur - Perilaku - Kinerja ... 41


(20)

xiii

3.1.2.2. Bagian Harga yang Diterima Petani... 48

3.1.2.3. Elastisitas Transmisi Harga ... 49

3.1.2.4. Keterpaduan Pasar ... 54

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 60

4.1. Daerah Penelitian ... 60

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 60

4.3. Metode Pemilihan Contoh ... 61

4.4. Prosedur Pemilihan Responden... 62

4.5. Metode Analisis ... 63

4.5.1. Analisis Pangsa Pasar... 64

4.5.2. Analisis Struktur - Perilaku - Kinerja ... 65

4.5.2.1. Margin Pemasaran dan Distribusi ... 65

4.5.2.2. Bagian Harga yang Diterima Petani... 67

4.5.2.3. Elastisitas Transmisi Harga... 67

4.5.2.4. Keterpaduan Pasar ... 69

4.6. Definisi dan Konsep Operasional ... 70

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 72

5.1. Letak Geografis, Topografi dan Iklim... 72

5.2. Penduduk dan Mata Pencaharian ... 75

5.3. Perkembangan PDRB Wilayah ... 77

VI. ANALISIS PANGSA PASAR KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG ... 82

VII. ANALISIS TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG... 89

7.1. Identitas Responden ... 89

7.1.1. Umur Petani Responden ... 89

7.1.2. Pendidikan Responden... 91

7.1.3. Jumlah Anggota Keluarga ... 91

7.1.4. Pengalaman Usahatani Responden ... 92

7.1.5. Luas Lahan Usahatani... 93

7.2. Struktur Pasar Kopi Arabika ... 94

7.2.1. Jumlah Lembaga Pemasaran... 94

7.2.2. Kondisi Keluar Masuk Pasar... 96

7.3. Perilaku Pasar Kopi Arabika... 98


(21)

xiv

7.3.2. Praktek atau Mekanisme Penentuan Harga ... 101

7.3.3. Praktek dalam Menjalankan Fungsi-Fungsi Pemasaran .... 103

7.4. Kinerja Pasar Kopi Arabika... 107

7.4.1. Analisis Marjin Pemasaran ... 107

7.4.2. Analisis Bagian Harga yang diterima oleh Petani... 111

7.4.3. Analisis Elastisitas Transmisi Harga... 114

7.4.4. Analisis Keterpaduan Pasar ... 117

VIII. SIMPULAN DAN SARAN... 120

8.1. Simpulan ... 120

8.2. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122


(22)

xv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Luas Areal, Produksi, Produktivitas dan Volume Ekspor Kopi

Arabika di Propinsi Sulawesi Selatan,Tahun 1993-2005... 4 2. Lahan dan Iklim Untuk Tanaman Kopi ... 11 3. Luas Areal dan Produksi Tanaman Kopi Menurut Jenis

Pengusahaannya,Tahun 1995-2004 ... 12 4. Luas Areal, Produksi dan Prodiktivitas Kopi Arabika Kabupaten

Enrekang,Tahun 1993-2005... 20

5. Luas Areal, Produksi dan Prodiktivitas Kopi Arabika Daerah Tator,

Tahun 1992-2005 ... 21 6. Jumlah Petani Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA,Tahun

1991-2005 ... 22 7. Struktur Pasar Berdasarkan Jumlah Perusahaan dan Sifat

Produk ... 44

8. Perincian Jumlah Responden Penelitian ... 63 9. Pola Penggunaan Lahan di Kabupaten Enrekang dan Tator,Tahun

2005... 75 10. Mata Pencaharian Penduduk Menurut Sektor di Kabupaten

Enrekang dan Tana Toraja,Tahun 2005... 76 11. Mata Pencaharian Penduduk Menurut Sektor di Kabupaten

Enrekang dan Tana Toraja,Tahun 2005... .. 78 12. Perkembangan PDRB Sulawesi Selatan dan PDRB Kabupaten

Tana Toraja,Tahun 1999 - 2004... 79

13. Pertumbuhan PDRB Menurut Lapangan Usaha di Enrekang dan

Tator,Tahun 2004 ... 80 14. Matriks Peluang Transisi Pangsa Pasar Kopi Arabika di Kabupaten

Enrekang dan Tana Toraja,Tahun 2005... 82 15. Perbandingan Vektor Peluang Pangsa Pasar Kopi Arabika pada

Kondisi Awal dan Ekuilibrium ... 85 16. Komposisi Tanaman Kopi Arabika pada Enam Sentra Produksi

di Sulawesi Selatan,Tahun 2004 ... 86 17. Identitas Petani Responden Kopi Arabika di Sulawesi Selatan... 90


(23)

xvi

18. Fungsi-Fungsi Pemasaran yang Dilakukan Oleh Masing-Masing Lembaga Pemasaran di Kabupaten Enrekang dan Toraja,

Tahun 2005 ... 106 19. Analisis Marjin Pemasaran Kopi Arabika di Kabupaten Enrekang

dan Toraja,Tahun 2005 ... 110 20. Bagian Harga yang Diterima Petani dan Pedagang Kopi Arabika

di Kabupaten Enrekang dan Toraja,Tahun 2005... 112 21. Nilai Elastisitas Transmisi Harga Kopi Arabika di Kabupaten

Enrekang dan Tana Toraja,Tahun 2005... 114 22. Nilai Koefisien Tingkat Keterpaduan Pasar Kopi Arabika


(24)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bagan Saluran Tataniaga Biji Kopi ... 13 2. Saluran Pemasaran Kopi Arabika di Sulawesi Selatan ... 31 3. Saluran Pemasaran Kopi Arabika di Kabupaten Enrekang dan

Toraja,Tahun 2005 ... 109


(25)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Luas Areal dan Produksi Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,

Tahun 2004 ... 128 2. Luas Areal Kopi Arabika Menurut Komposisi Umur Tanaman

di Sulawesi Selatan,Tahun 2004 ... 129 3. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Kopi Arabika di Sulawesi

Selatan,Tahun 1991 – 2004 ... 130 4. Perkembangan Luas Areal Kopi Arabika pada Enam Daerah

Sentra Utama Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,Tahun

1997 – 2003 ... 131 5. Perkembangan Produksi Kopi Arabika pada Enam Daerah

Sentra Utama Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,Tahun

1997 – 2003 ... 132 6. Luas Areal dan Produksi Kopi Arabika Menurut Kecamatan

di Kabupaten Enrekang,Tahun 2004 ... 133 7. Luas Areal dan Produksi Kopi Arabika Menurut Kecamatan

di KabupatenTana Toraja,Tahun 2004 ... 134 8. Perkembangan Harga Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,Tahun

1995 – 2004... 135


(26)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hampir seluruh perekonomian negara di dunia, termasuk Indonesia,

dibangun berdasarkan pola pembentukan struktur ekonomi yang kuat untuk

menopang pertumbuhan dan perkembangan perekonomian negara

bersangkutan. Oleh karena itu, pendekatan pembangunan seringkali

dititikberatkan pada perubahan struktur ekonomi, sesuai dengan potensi

sumberdaya dan karakteristik perekonomian negara bersangkutan.

Sebagai sebuah negara sedang berkembang, Indonesia memiliki

karakteristik dan potensi sumberdaya pembangunan yang banyak bertumpu

pada sektor pertanian. Selama ini, sektor pertanian telah banyak

menyumbangkan devisa negara, terutama yang berasal dari ekspor

komoditi-komoditi unggulan. Disamping itu, kontribusi sektor pertanian terhadap

perekonomian di Indonesia cukup besar. Menurut Malassis (1975), paling tidak

kontribusi sektor pertanian di Indonesia ada empat hal, yaitu: (1) kontribusi

terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, (2) kontribusi terhadap

transfer sumberdaya (tenaga kerja dan kapital), (3) kontribusi terhadap

pendapatan luar negeri (devisa), dan (4) kontribusi terhadap penyediaan bahan

pangan serta penyediaan bahan baku industri untuk persediaan pengolahan.

Bertitik tolak pada hal tersebut, kontribusi sektor pertanian dalam struktur

perekonomian Indonesia sangat besar, bahkan menjadi tumpuan utama

pendapatan masyarakat, terutama pada wilayah-wilayah pedesaan dimana

sebagian besar masyarakatnya bertempat tinggal. Hal ini diperkuat oleh

Nainggolan (1998), bahwa sektor pertanian memiliki peranan strategis, yaitu

sebagai sumber utama kehidupan dan pendapatan masyarakat petani, penghasil


(27)

2

industri pengolahan, penyedia lapangan kerja dan lapangan usaha bagi

masyarakat, sumber penghasil devisa negara, dan sebagai salah satu unsur

pelestarian sumber hidup.

Sebagai sumber penghasil devisa, kedudukan komoditi pertanian menjadi

semakin penting dan strategis dalam ekspor non-migas Indonesia, terutama

sejak merosotnya harga minyak dan gas (migas) di pasar internasional pada

tahun 1992. Sejak saat itu komoditi ekspor hasil-hasil pertanian Indonesia terus

menunjukkan peningkatan peran secara signifikan. Hal ini dicapai dengan makin

meningkatnya kualitas produksi sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang

ditetapkan dalam pasaran internasional. Walaupun harga minyak bumi

meningkat tajam melebihi US $ 65 sen per barrel pada awal tahun 2006,

pentingnya peran sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia tidak akan

berkurang

Berdasarkan kesepakatan di forum World Trade Organization (WTO),

setiap negara harus menurunkan tarif bagi perdagangan komoditas serta

menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan non tarif. Kesepakatan untuk

menuju pada perdagangan yang semakin bebas, menciptakan peluang bagi

ekspor produk-produk perkebunan Indonesia. Salah satu komoditas yang

menjadi andalan ekspor Indonesia tersebut adalah kopi.

Dari sejumlah komoditi andalan tersebut, kopi menjadi salah satu

komoditas yang memiliki peranan strategis. Disamping menjadi penyumbang

devisa negara, juga mampu menyerap banyak tenaga kerja pada berbagai

tingkatan usaha yang dijalankan oleh masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa

kemampuan perusahaan-perusahaan dalam melibatkan tenaga kerja yang

berkaitan langsung dengan aktivitas perkopian sangat besar, dimana 95 persen


(28)

3

perkebunan rakyat, terutama pada sentra-sentra kopi yang tersebar di tanah air

(Lopa, 2003).

Salah satu sentra pengembangan kopi arabika di Indonesia adalah

Propinsi Sulawesi Selatan. Dari luas total areal perkebunan kopi arabika

nasional, 12.5 persen diantaranya dikembangkan di Propinsi Sulawesi Selatan.

Selebihnya dikembangkan oleh daerah-daerah lain seperti: Lampung, Sumatera

Barat, dan Sumatera Selatan (Retnandari dan Tjokrowinoto, 1991;

Siswoputranto, 1993).

Sebagai salah satu sentra utama pengembangan kopi arabika di Indonesia,

Propinsi Sulawesi Selatan dalam 10 tahun terakhir ini memperlihatkan kinerja

melebihi kinerja perkembangan kopi secara nasional. Hal ini ditunjukkan oleh

pesatnya perkembangan luas areal perkebunan kopi, produksi maupun

produktivitasnya. Luas areal perkebunan kopi arabika di wilayah ini meningkat

lebih dari 5 kali lipat dan produksi meningkat hampir 4 kali lipat selama kurun

waktu 11 tahun (Tabel 1). Hal tersebut mengindikasikan bahwa perkebunan

kopi di Sulawesi Selatan yang bertumpu pada perkebunan rakyat banyak

berperan sebagai penarik perkembangan perkopian nasional.

Disamping itu, data pada tabel 1 menunjukkan bahwa kinerja

perkembangan kopi arabika di Sulawesi Selatan sangat berperan untuk

meningkatkan penerimaan devisa negara yang ditunjukkan oleh tingginya

volume produksi yang memasuki pasar ekspor. Dalam periode 1993-2005,

volume ekspor kopi arabika Sulawesi Selatan rata-rata mencapai 24.24 persen

dari total produksi kopi arabika Sulawesi Selatan, atau rata-rata kontribusinya 10

persen terhadap total ekspor kopi arabika nasional. Negara tujuan ekspor

utama kopi arabika dari Sulawesi Selatan adalah Jepang, Amerika, Jerman,


(29)

4

Tabel 1. Perkembangan Luas Areal, Produksi, Produktivitas dan Volume Ekspor Kopi Arabika di Propinsi Sulawesi Selatan,Tahun 1993-2005

Perkembangan Kopi Arabika Tahun

Luas Areal (ha)

Produksi (ton)

Produktivitas (kg/ha)

Volume Ekspor (ton)

1993 9 082 5 421 597 2 514.78

1994 12 007 8 269 689 2 963.88

1995 13 508 7 198 532 1 475.23

1996 17 096 10 260 600 2 308.04

1997 19 929 12 394 622 2 617.77

1998 23 098 18 583 807 2 831.16

1999 26 319 15 583 592 2 294.51

2000 24 029 12 755 531 2 404.12

2001 43 476 14 135 578 2 536.40

2002 57 667 17 710 753 3 148.23

2003 52 341 19 611 826 3 312.85

2004 39 184 15 724 652 4 380.05

2005 34 215 14 086 640 5 558.26

Pertumbuhan/ tahun (%)

23.06 13.32 0.60 10.09

Sumber: Statistik Perkebunan Sulawesi Selatan, 1993-2005

1.2. Perumusan Masalah

Kopi arabika merupakan salah satu komoditi andalan dalam struktur

perkekonomian di Sulawesi Selatan. Pada tahun 2005, luas areal tanaman kopi

arabika di daerah ini tercatat 34 215 hektar dengan produksi sebesar 14 086 ton,

dan produktivitas tanaman 640 kg/ha. Pada tahun yang yang sama, kabupaten


(30)

5

Selatan, masing-masing memiliki luas areal 16 299 dan 10 721 hektar, produksi

sebesar 3 837 dan 6 871 ton serta produktivitas tanaman 423 dan 951 kg per

hektar (Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan, 2005). Walaupun menjadi sentra

utama, produktivitas tanaman kopi arabika di Tana Toraja jauh lebih rendah bila

dibanding produktivitas tanaman di kabupaten Enrekang. Namun demikian,

produktivitas tanaman tersebut masih tergolong rendah bila dibandingkan

dengan potensi yang dapat dicapai sebesar 2 500 kg/ha (Direktorat Jenderal

Perkebunan, 2005).

Besarnya peranan komoditas ini telah mendorong berbagai pihak,

khususnya Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Daerah

Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang, untuk mengambil langkah-langkah

strategis guna mendorong program pengembangannya. Beberapa langkah

tersebut antara lain adalah Kebijakan Pewilayahan Komoditas, Grateks-2

(Gerakan Peningkatan Ekspor Dua Kali Lipat) dan Gerbang-Emas (Gerakan

Pengembangan Ekonomi Masyarakat). Kebijakan Pewilayahan Komoditas

menempatkan daerah-daerah yang memiliki keunggulan komparatif, berdasarkan

potensi dan karakteristik yang dimilikinya, menjadi sentra pengembangan

komoditas andalan tersebut. Kebijakan ini telah menempatkan daerah

MADUTORA (Mandar, Duri dan Toraja) sebagai daerah pengembangan kopi.

Komunitas Mandar menempatkan tiga daerah, yaitu Kabupaten Polmas, Majene

dan Mamuju, sedangkan Duri menempatkan Kabupaten Enrekang dan Toraja

meliputi Kabupaten Tana Toraja.

Kebijakan Grateks-2 merupakan langkah-langkah konkret yang ditempuh

pemerintah daerah untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani secara

umum, termasuk petani kopi arabika. Sedangkan Kebijakan Gerbang-Emas,


(31)

6

memfokuskan diri pada upaya-upaya peningkatan pendapatan petani kopi

arabika.

Seiring dengan meningkatnya upaya pengembangan kopi arabika, maka

diperkirakan akan tumbuh daerah-daerah dan sentra-sentra pengembangan

kopi arabika yang baru di Sulawesi Selatan sesuai dengan potensi sumberdaya

yang dimiliki. Kondisi ini akan membuka peluang terjadinya perubahan dan

pergeseran dalam memperebutkan pangsa pasar kopi arabika. Dengan

menempatkan konsumen sebagai titik sentral perhatian pemasaran, maka

semakin dibutuhkan upaya kongkrit untuk merespon perubahan sinyal pasar,

perilaku maupun kebiasaan konsumen. Pilihan konsumen tidak lagi hanya

dipengaruhi oleh faktor individual semata, tetapi juga oleh lingkungan konsumen

dan stimulus pasar serta strategi pemasaran produsen (Kohler, 1994; Rangkuti,

1997; Sutisna, 2001).

Dengan bentuk usaha yang didominasi oleh perkebunan rakyat,

pengembangan komoditas andalan propinsi Sulawesi Selatan ini dihadapkan

pada masalah-masalah di bidang produksi, pasca panen dan pemasaran.

Data pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa sejumlah kebijakan dan program

pengembangan yang telah dilaksanakan belum sepenuhnya berhasil. Dalam

periode 1993 – 2005, luas areal, produksi, produktivitas dan volume ekspor

memang meningkat dengan laju pertumbuhan masing-masing sebesar 23.06,

13.32, 0.60 dan 10.09 persen per tahun. Akan tetapi kondisi empat tahun terakhir

ditandai oleh trend menurunnya luas areal, produksi dan produktivitas tanaman.

Hanya volume ekspor yang meningkat menjadi 5 558.26 ton pada tahun 2005

dibanding tahun 2002 yang hanya 3 148.23 ton.

Selain rendahnya produktifitas tanaman, dari segi produksi masalah

yang umum dijumpai adalah tersebarnya lokasi produksi yang akan


(32)

7

panen, masih sering petani melakukan panen sebelum buah matang sehingga

mutu produk menjadi rendah. Sedangkan dari segi pemasaran,

masalah-masalah yang sering timbul adalah panjangnya rantai pemasaran,

terbatasnya pilihan saluran pemasaran, fluktuasi harga produk serta

rendahnya bargaining position petani (AEKI, 2001; Herman, 2000; Herman,

2002; Herman dan Wardani, 2000).

Menurut Graff (1986), bagian harga yang diterima petani kopi rakyat

umumnya hanya sekitar 54 hingga 70 persen dari total harga siap ekspor FOB

(Free on Board). Sedangkan bagian yang diterima pedagang sebesar 30

hingga 46 persen dari nilai FOB. Hal ini disebabkan karena: (1) keterbatasan

petani dalam bidang pendidikan, (2) rendahnya informasi pasar, (3) lemahnya

peranan pemerintah dan lembaga tataniaga yang ada, (4) keterbatasan

sarana ekonomi, (5) kebijaksanaan pemerintah secara menyeluruh kurang

mendukung pengembangan sistem produksi kopi rakyat, dan (6) tidak

menentunya keadaan ekonomi dunia. Pada tahap lebih lanjut, kondisi ini

mengakibatkan struktur tataniaga kopi rakyat relatif tidak efisien (Spillane, 1990).

Berdasarkan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, maka

penelitian tentang pangsa pasar, struktur, perilaku dan kinerja lembaga tataniaga

kopi arabika di Propinsi Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Tana Toraja

dan Enrekang, menjadi relevan dan penting untuk dilakukan.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini

memiliki tujuan utama sebagai berikut:

1. Menganalisis pangsa pasar kopi arabika di Propinsi Sulawesi Selatan,


(33)

8

2. Menganalisis struktur, perilaku dan kinerja lembaga tataniaga kopi arabika

di Propinsi Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Tana Toraja dan

Enrekang.

Sedangkan kegunaan penelitian antara lain adalah:

1. Bagi pengambil kebijakan di tingkat nasional dan regional, diharapkan hasil

penelitian ini menjadi bahan pertimbangan untuk menetapkan kebijakan

pengembangan kopi, khususnya kopi arabika, baik pada skala mikro di

tingkat petani, maupun pada skala makro di tingkat nasional dan regional.

2. Bagi usaha pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang,

hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam

memilih topik penelitian terkait.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Batasan atau ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Daerah penelitian di wilayah MADUTORA dibatasi pada dua kabupaten

yaitu Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Tana Toraja (Tator). Hal ini

disebabkan karena pada saat ini Kabupaten Polmas, yang menjadi sentra

kopi arabika untuk wilayah Mandar, telah terpisah dari Propinsi Sulawesi

Selatan dan menjadi bagian dari propinsi yang baru terbentuk yaitu

Propinsi Sulawesi Barat.

2. Harga input dan harga output yang digunakan dalam analisis usahatani

kopi arabika ini digunakan harga yang berlaku pada saat penelitian

berlangsung, walaupun pada kenyataannya harga input dan harga output

sangat bervariasi sepanjang tahun.

3. Analisis dibatasi hanya pada pangsa pasar, struktur, perilaku dan kinerja

pasar kopi arabika, walaupun perubahan-perubahan yang terjadi pada kopi


(34)

9

arabika. Disamping itu, penelitian ini juga tidak melakukan analisis

terhadap aspek perdagangan internasional, walaupun disadari bahwa

perubahan-perubahan di pasar internasional akan berbepangaruh besar


(35)

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Perkembangan Kopi Indonesia 2. 1. 1. Budidaya Kopi

Kopi di Indonesia telah dibudidayakan sejak abad ke-16 dan termasuk

salah satu komoditi yang sangat berperan dalam ekspor nasional. Dari segi

nilai ekspor, kopi menduduki urutan penting setelah produk-produk kayu dan

karet. Adapun jenis tanaman kopi di perkebunan rakyat umumnya adalah jenis

kopi Arabika (Coffea Arabica), Robusta (Coffea Canephora), Liberika (Coffea

Liberica) dan hibrida, yaitu hasil persilangan antara 2 varietas kopi unggul.

Diantara jenis kopi tersebut, yang terbanyak ditanam dalam perkebunan rakyat

Indonesia adalah jenis kopi robusta karena produksinya tinggi namun resiko

penanamannya kecil. Jenis kopi ini dominan dengan pangsa sekitar 90 persen

dari seluruh jenis kopi yang ada Indonesia. Sisanya adalah kopi Arabika

termasuk juga jenis kopi lainnya, yaitu Liberica dan excelso yang belum

dibudidayakan secara khusus.

Hampir semua wilayah di Indonesia dapat ditanami kopi dengan

syarat--syarat tanaman yang baik, oleh karena itu budidaya tanaman kopi hampir

menyebar di seluruh wilayah tanah air. Tanaman kopi merupakan tanaman

tropis dan sangat cocok untuk iklim di Indonesia. Sehingga dapat dikatakan

komoditi kopi Indonesia memiliki keunggulan mutlak (absolute advantage)

karena kondisi alam yang mendukung budidaya kopi. Kawasan tanah subur

dengan sifat tanah berpasir dan tanah lempung sangat mendukung budidaya

tanaman kopi. Selain itu, tanah yang cukup dengan humus dan keasaman

tanah sekitar pH 5.5-6.5 akan memberikan hasil yang baik. Adapun

unsur-unsur tanah yang penting bagi pertumbuhan tanaman kopi adalah Nitrogen,


(36)

11

Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap tanaman kopi adalah

ketinggian tempat tumbuh, curah hujan, sinar matahari, angin dan tanah (Tabel

2).

Tabel 2. Persyaratan Lahan dan Iklim untuk Tanaman Kopi

Persyaratan Kopi Arabika Kopi Robusta

Iklim:

1. Curah hujan

2. Suhu

3. Ketinggian tempat

Tanah:

1. Keasaman

2. Kesuburan tanah

3. Sifat fisik

Minimum 1 300 mm/th; tanaman toleran thd curah hujan tinggi; masa bulan kering pendek, maksimum 4 bulan

15 - 24°C

500 -1 800 m dpl

pH 5.2 - 6.2

Baik

Kapasitas penambatan air tinggi dan kedalaman tanah cukup

Minimum 1 250 mm/th; optimum pada 1 550 -2 000 mm/th; masa kering minimum 3 bulan atau lebih

24 - 30°C

0 - 400 m dpl

pH > 4.5; tanaman toleran thd kondisi netral dan basa

Baik

Kapasitas penambatan air tinggi dan kedalaman tanah cukup

Sumber : Siswoputranto, 1993.

Tanaman kopi merupakan tanaman tahunan sehingga pohon kopi akan

mulai menghasilkan biji kopi pada tahun ke-3. Umur ekonomis pohon kopi bisa

sampai 20 tahun dan jika sudah menghasikan, petani dapat memanen biji kopi

setiap tahunnya. Sebagian besar produksi kopi Indonesia dihasilkan dari

perkebunan rakyat. Luas perkebunan kopi rakyat mencapai lebih dari 90 persen

dari total perkebunan kopi nasional (Tabel 3), sehingga jumlah produksi untuk

kebutuhan domestik dan ekspor sekitar 90 persen disuplai dari perkebunan


(37)

12

Tabel 3. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Tanaman Kopi Menurut Jenis Pengusahaannya,Tahun 1995-2004.

Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta Jumlah

Tahun Produksi (ton)

L. Areal (Ha)

Produksi (Ton)

L. areal (Ha)

Produksi (ton)

L. Areal (Ha)

Produksi (Ton)

L. Areal (Ha)

1995 429 569 1 109 499 16 824 25 616 11 408 32 396 457 801 1 167 511

1996 435 757 1 103 615 13 184 24 169 10 265 31 295 459 206 1 159 079

1997 396 155 1 105 114 21 050 32 232 11 213 32 682 428 418 1 202 291

1998 469 671 1 068 064 25 759 39 139 19 021 46 166 514 451 1 198 149

1999 469 940 1 059 245 26 208 39 316 11 539 28 716 524 687 1 165 024

2000 514 896 1 192 322 29 754 40 645 9 924 27 720 554 574 1 260 687

2001 541 476 1 258 628 18 111 26 954 9 647 27 801 569 234 1 313 383

2002 654 281 1 318 020 18 128 26 954 9 610 27 210 682 019 1 372 184

2003 658 252 1 327 521 18 205 26 954 9 862 27 255 686 319 1 381 730

2004 659 882 1 540 875 18 770 27 850 9 996 27 965 688 648 1 596 690

Sumber : Ditjen Perkebunan, 2005

2.1.2. Tataniaga Kopi

Tataniaga kopi dimulai dari petani produsen hingga pabrik pengolahan

kopi dan perusahaan eksportir. Saluran pemasaran kopi di Indonesia belum

efisien sehingga hal ini menyebabkan rendahnya tingkat penerimaan petani.

Berdasarkan bagan tataniaga pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa petani

kopi dapat memasarkan biji kopinya langsung ke pedagang pengumpul atau

lewat tengkulak. Biasanya petani yang memiliki mesin kupas (huller) juga

berfungsi sebagai pedagang pengumpul di tingkat desa atau tingkat kecamatan.

Pada beberapa daerah di Indonesia, petani kopi telah memiliki kelompok

tani yang dapat memasarkan kopi hasil kebun petani langsung kepada

eksportir. Hal ini sangat menguntungkan petani karena margin keuntungan


(38)

13

Petani Kopi

Tengkulak Pemilik

Huller

Pedagang Pengumpul

Pedagang Kabupaten

Agen tingkat Propinsi

Industri

kopi

Eksportir

Tujuan Domestik

Tujuan Ekspor

Sumber: Siswoputranto, 1993

Gambar 1. Bagan Saluran Tataniaga Biji Kopi

Sementara, pada perkebunan-perkebunan besar mereka memiliki unit

khusus perdagangan ekspor. Perkebunan jenis ini pada umumnya mempunyai

hubungan dengan pihak importir dan membina hubungan tersebut dengan

baik. Seluruh eksportir kopi di Indonesia terdaftar sebagai anggota Asosiasi

Eksportir Kopi Indonesia (AEKI). Badan ini mengusahakan agar kopi

Indonesia mendapatkan harga optimal di pasar dunia. Asosiasi ini mewakili Perkebunan Negara/Swasta


(39)

14

lebih dari ribuan eksportir dengan 13 cabang di ibukota propinsi di Indonesia

dan memiliki kantor perwakilan di luar negeri, yaitu New York, London dan

Tokyo. Asosiasi ini mewakili anggota-anggotanya dalam hal promosi ekspor,

koordinasi dan pembinaan kegiatan anggotanya, serta membina komunikasi

yang baik antara eksportir dan importir di seluruh dunia.

2.1.3. Produksi dan Ekspor Kopi Indonesia

Pada saat ini, Indonesia dikenal sebagai produsen terbesar kopi robusta

dengan pertumbuhan yang relatif pesat. Pada dekade terakhir, areal dan

produksi kopi Indonesia masing-masing meningkat dengan laju 1.94 % dan 2.21

% per tahun. Di sisi lain, daya serap pasar domestik masih rendah yaitu hanya

sekitar 35% dari produksi. Sebagai konsekuensinya, pasar kopi Indonesia

sangat tergantung pada pasar internasional (Herman, 2002). Indonesia

merasakan keuntungan dan kerugian dari adanya kuota ekspor kopi yang

ditetapkan oleh Organisasi Kopi Dunia atau International Coffee Organization

(ICO).

Sebagai salah satu komoditas yang didominasi oleh perkebunan

rakyat, perkebunan kopi Indonesia berkembang pesat terutama pada tahun

1980-an dengan laju pertumbuhan 7.83% per tahun. Hal ini antara lain

berkaitan dengan harga kopi yang cukup tinggi pada periode tersebut.

Pertumbuhan tersebut didominasi oleh perkebunan rakyat yang arealnya

meningkat dengan 8.26% per tahun. Di sisi lain, perkebunan besar milik

negara (PTPN) dan perkebunan besar swasta arealnya berkembang

masing-masing dengan laju 1.73% dan 2.27% per tahun. Sentra-sentra perkebunan

kopi di Indonesia antara lain Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Aceh,

Sumatera Utara, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Timor Timur (Direktorat


(40)

15

Pada dekade terakhir, laju perluasan areal kopi memang menurun

yaitu hanya 1.94% per tahun, yang didominasi oleh perkebunan besar swasta.

Di samping hal ini berkaitan dengan harga kopi yang mulai melemah sampai

dengan tahun 1993, pemerintah juga mulai membatasi program perluasan

dan lebih mengarahkan pada program peremajaan.

Sejalan dengan perkembangan areal, produksi kopi Indonesia juga

mengalami perkembangan yang relatif tinggi yaitu 3.93% per tahun.

Perkembangan paling pesat terutama terjadi pada periode 1976-1986 dengan

laju 6.32% per tahun. Pada dekade terakhir, pertumbuhan produksi relatif

menurun yaitu 2.21 % per tahun.

Di samping mengandalkan pasar domestik, pasar kopi Indonesia

masih sangat mengandalkan pasar ekspor. Bahkan, kopi merupakan salah

sata produk perkebunan yang diandalkan untuk meraih devisa. Pada lima

tahun terakhir, bagian produksi yang diekspor berkisar antara 64-100% dari

total produksi.

Tujuan ekspor kopi Indonesia umumnya masih mengandalkan

kelom-pok negara-negara maju. Untuk kopi robusta tujuan utama ekspor Indonesia

adalah Jepang, Jerman, Aljazair, Inggris, dan Polandia. Untuk kopi arabika,

tujuan ekspor utama adalah Jepang, Amerika, Jerman, Singapura, Denmark

dan Belanda. Indonesia juga sudah mulai mengekspor kopi bubuk dengan

tujuan utama ke Jepang, Singapura, Jerman, Polandia, dan Amerika Serikat.

Ekspor kopi Indonesia tidak bisa terlepas dan ketentuan perdagangan

kopi yang ditetapkan oleh ICO. Periode 1962-1972, ICO menetapkan sistem

kuota dan pada periode tersebut Indonesia mendapat jatah kuota sebesar 82

420 ton. Dengan variasi antara 65 ribu - 85 ribu ton. Untuk mengatasi

masalah ini Indonesia berusaha menembus pasar non-kuota seperti Jepang.


(41)

16

karena adanya penyakit kopi dan frost di Brazil, produksi kopi Brazil

menurun drastis sehingga harga melonjak tajam. Menghadapi situasi

tersebut, ICO tidak memberlakukan sistem kuota sejak Oktober 1972.

Ekspor kopi Indonesia melonjak mencapai sekitar 130 ribu ton per tahun.

Pada akhir 1970-an, ekspor Indonesia bahkan mencapai sekitar 200 ribu

ton.

Pada Periode 1980 - 1985, harga kopi melemah sebagai akibat

kelebihan produksi dan resesi ekonomi. ICO kembali melakukan sistem

kuota. Jatah kuota ekspor Indonesia adalah sekitar 183 500 ton. Untuk itu,

Indonesia kembali berusaha untuk memanfaatkan pasar-pasar di negara

non-kuota. Pada tahun 1986, kembali terjadi kekeringan di Brazil sehingga

harga kopi melonjak tajam. ICO tidak bisa lagi mempertahankan mekanisme

kuota sehingga pasar kopi kembali dibebaskan. Masa bebas kuota ini

berlangsung sampai dengan tahun 1990.

Dengan keberhasilan Putaran Uruguay, pasar kopi domestik

diperkirakan mengalami persaingan yang semakin tajam. Seperti tercantum

pada komitmen Indonesia mengenai kopi, maka Indonesia harus

menurunkan tarif impor, termasuk tarif impor kopi. Untuk kopi biji, tarif impor

harus diturunkan dari 100% menjadi 40%-50%, tergantung dari jenis kopi

dan tingkat pengolahannya. Pemberlakuan tarif tersebut tentunya akan

memperlemah daya saing kopi Indonesia di pasar domestik.

2.2. Tanaman Kopi Arabika

Pada mulanya tanaman kopi belum dibudidayakan secara sempurna oleh

penduduk, melainkan masih tumbuh liar di hutan-hutan dataran tinggi. Minuman

kopi sangat digemari oleh bangsa Ethiopia karena berkhasiat menyegarkan


(42)

17

kopi juga terbawa dan tersebar kemana-mana. Mula-mula penyebarannya ke

berbagai wilayah cukup lambat karena minuman kopi pada waktu itu hanya

dikenal sebagai minuman berkhasiat menyegarkan badan yang terbuat dari

cairan daun dan buah segar yang diseduh dengan air panas. Namun semenjak

ditemukan cara-cara pengolahan buah kopi yang lebih baik, ternyata minuman

kopi menjadi minuman yang di samping berkhasiat juga mempunyai aroma

harum khas dan rasanya nikmat akhirnya kopi arabika menjadi terkenal sehingga

tersebar ke berbagai negara di Timur Tengah seperti Yaman, Turki, Ottoman,

Syria, Eropa, Asia dan Amerika sebagai komoditi perdagangan (Najiyati dan

Danarti, 1995).

Di Indonesia, tanaman kopi diperkenalkan pertama kali oleh VOC pada

tahun 1696. Penanaman tanaman ini mula-mula hanya bersifat coba-coba

(penelitian), tetapi karena hasilnya memuaskan dan dipandang oleh VOC cukup

menguntungkan sebagai komoditi perdagangan, maka VOC menyebarkan bibit

kopi ke berbagai daerah-daerah pegunungan agar penduduk menanamnya,

kemudian VOC mengeluarkan peraturan “CuItuur Stesel” yang intinya

memaksakan sebagian penduduk khususnya di Jawa untuk menanam kopi.

Perkebunan besarpun lalu didirikan dan akhirnya tanaman kopi menyebar ke

daerah Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan

berbagai daerah lain di Indonesia (AEKI, 2001).

Pada perkembangan selanjutnya, perluasan tanaman kopi arabika

meningkat terutama pada perkebunan rakyat. Wilayah Sulawesi Selatan

sendiri pada awalnya mengenal dua macam kopi yaitu kopi robusta dan kopi

arabika. Bibit kopi arabika di bawah oleh Bangsa Belanda kira-kira seratus tahun

laIu (abad ke 19), pertama kali ditanam di Kabupaten Enrekang sekitar 30 Km

dari Kalosi, kemudian tanaman tersebut menyebar ke wilayah Kabupaten Tanah


(43)

18

Menurut Mawardi dan Hulupi (1998) kopi arabika dapat tumbuh dan

berproduksi pada ketinggian 700 – 1 000 meter di atas permukaan laut.

Lahan-lahan dengan ketinggian tersebut umumnya ditemukan di daerah-daerah

pegunungan wilayah MADUTORA. Pertama kali Belanda menanam bibit kopi

arabika bersama petani rakyat di daerah Gunung Sambua yang terIetak di

Kabupaten Enrekang Gunung Sambua terIetak di Kabupaten Enrekang. Pada

tahun 1920 lambat laun perkebunan kopi arabika mulai hilang menjadi hutan

belukar. Pada tahun 1945 petani rakyat mengelola kembali lahan-lahan kopi

arabika di daerah-daerah pegunungan untuk produksi. Pada tahun 1976

pemerintah Indonesia membuka kembali perkebunan kopi arabika dengan

menunjuk PT. Sulotco untuk menangani sekaligus menghidupkan kembali cita

rasa kopi khas Kalosi, sehingga kopi arabika pertama kali dikenal dengan nama

“Kopi Kalosi Arabika” (AEKI,2001).

Selain di daerah Gunung Sambua, kopi arabika juga dikembangkan di

sekitar Gunung Pararang yang terletak di Kecamatan Pana dan Mambi

Kabupaten Mamasa. Sedangkan di Tana Toraja kopi arabika dikenal sejak masa

penjajahan Belanda dimana bangsa Belanda sendiri yang menanam bibit kopi

tersebut di daerah-daerah pegunungan Pararang sekitar daerah Bittuang dan

Panggala (Kecamatan Rinding Allo). Kemudian dikembangkan oleh masyarakat

melalui budidaya tradisional. Kebiasaan masyarakat di sekitar pegunungan

menanam kopi arabika untuk konsumsi sendiri terutama untuk diminum pada

pertemuan-pertemuan adat dan pesta-pesta adat dalam acara sakral.

Disamping wilayah sekitar Gunung Sambua dan Gunung Pararang,

ditemukan juga lahan-lahan yang potensial untuk tanaman kopi arabika dan

merupakan mata pencaharian masyarakat yang berdomisili di sekitar daerah

pegunungan dan mempunyai kebudayaan yang berbeda pula. Kabupaten Tana


(44)

19

alam yang sangat indah dengan budaya yang sangat unik dan hasil kerajinan

yang menarik membuat turis mancanegara senang berkunjung ke daerah lama

Toraja terutama bila diadakan acara sakral atau pesta adat (Dinas Perkebunan

Tator, 2002).

Kecamatan Rinding Allo terdapat obyek wisata yang sangat menarik di

daerah pegunungan terdapat beberapa villa, disekitar villa dikelilingi tanaman

kopi arabika yang sangat subur, sehingga wisatawan mancanegara sangat

tertarik dengan daerah yang bernama Batutumonga. Di Batutumonga itulah turis

Mancanegara menyaksikan tanaman kopi sejak berproduksi sampai pengolahan

menjadi bubuk yang diolah secara tradisionil. Akhirnya lama kelamaan turis

mancanegara tidak mengenal lagi Kopi Kalosi Arabika akan tetapi yang dikenal

adalah “Kopi Toraja Arabika”.

2.3. Kondisi Tanaman Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA

Tanaman kopi di seluruh dunia terdapat sekitar 4.500 jenis yang dapat

dibagi ke dalam empat kelompok besar yakni; Coffee Canephora, yang salah

satu varietasnya menghasilkan kopi dagang robusta, Coffee Arabica

menghasilkan kopi dagang Arabika; Coffee Excelasa menghasilkan kopi dagang

Excelasa; Coffea Leberica menghasilkan kopi dagang Leberika. Dari segi

produksi, yang menonjol kualitas dan kuantitasnya adalah jenis arabika, andilnya

dalam perekonomian dunia tidak kurang dari 70 persen. Jenis robusta mutunya

di bawah kopi arabika, dengan pangsa sebanyak 24 persen dari total produksi

kopi dunia, sedangkan leberika dan excelasa masing-masing hanya tiga persen.

Kopi arabika Iebih baik dari pada robusta karena rasanya lebih enak dan jumlah

kafeinnya Iebih rendah sehingga kopi arabika Iebih mahal dari pada kopi robusta

(Spillane, 1990).


(45)

20

Perkembangan luas areal, produksi dan produktivitas kopi arabika di

kabupaten Enrekang dan Tana Toraja, masing-masing dapat dilihat pada Tabel

4 dan Tabel 5. Dari data pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata

peningkatan luas areal kopi arabika di kabupaten Enrekang dalam kurun waktu

1993 - 2005 adalah 31 persen. Sedangkan rata-rata perkembangan produktivitas

pada tahun 1993 - 2005 adalah sebesar 3.51 persen/tahun.

Tabel 4. Luas Areal, Produksi dan Prodiktivitas Kopi Arabika Daerah Enrekang,Tahun 1993-2005

Tahun LuasAreal (ha)

Produksi (ton)

Produktivitas (kg/ha)

1993 2 132 1 393 653

1994 2 795 1 873 670

1995 3 569 2 426 680

1996 4 200 2 578 614

1997 4 435 2 696 608

1998 4 170 3 170 760

1999 6 618 4 937 746

2000 6 698 3 590 536

2001 6 205 3 143 507

2002 10 354 3 947 673

2003 10 444 5 830 754

2004 10 444 6 231 870

2005 10 721 6 871 951

Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Enrekang (berbagai seri)

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa dalam periode 1999 - 2005, luas areal

kopi arabika di Tana Toraja terus mengalami peningkatan rata-rata 5.78

persen/tahun, sedangkan produksi dan produktivitas masing-masing hanya


(46)

21

Tabel 5. Luas Areal dan Produksi Kopi Arabika Daerah Tator,Tahun 1999 -2005

Tahun Luas Areal

(ha)

Produksi (ton)

Produktifitas (kg/ha)

1999 11 604 3 555 310

2000 12 764 3 477 320

2001 15 010 3 146 370

2002 15 077 3 301 309

2003 15 980 3 310 370

2004 16 019 3 586 401

2005 16 299 3 837 423

Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Tana Toraja (berbagai seri)

Sedangkan perkembangan jumlah petani kopi arabika di dua wilayah

tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Pada tahun 1993 jumlah petani kopi arabika

di Kabupaten Enrekang sebanyak 6.966 KK dan pada tahun 2005 sudah

mencapai 16 215 KK. Rata-rata penyerapan tenaga kerja selama sepuluh tahun

terakhir sebesar 10.44 persen. Sedangkan untuk daerah Tator, pada tahun 1993

jumlah petani kopi sebanyak 15 300 KK dan pada tahun 2005 tercatat sebanyak

31 094 KK. Rata-rata penyerapan tenaga kerja selama sepuluh tahun terakhir

sebesar 24.53 persen. Kontribusi daerah Enrekang dan Tator untuk penyerapan

tenaga kerja (KK) kopi arabika terhadap Sulawesi Selatan masing-masing

sebesar 14.7 persen (Enrekang) dan 33.2 persen (Tator).

Tanaman kopi arabika di wilayah MADUTORA sebanyak 80 persen

adalah tanaman kopi rakyat sebagian besar diusahakan sebagai kebun-kebun

tertutup dan berpencar-pencar di daerah yang sangat luas. Banyak juga yang

diusahakan sebagai tanaman pekarangan dan ditanam di sekeliling rumah.

Tanaman kopi rakyat sebagian besar merupakan tanaman tua, tanaman semaian


(47)

22

Tabel 6. Jumlah Petani Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA,Tahun 1993-2005

Tahun Enrekang (KK) Tator (KK)

1993 6 966 15 300

1994 6 902 24 746

1995 6 599 25 521

1996 7 174 26 242

1997 10 450 27 467

1998 14 637 27 467

1999 15 625 27 467

2000 16 215 29 873

2001 16 772 29 873

2002 16 215 32 250

2003 12 461 32 263

2004 16 215 32 268

2005 16 215 31 094

Sumber : Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan, 2006

selain ladang untuk padi dan sayuran. Pemeliharaan kebun-kebun kopi rakyat

sangat berbeda di masing-masing daerah sehingga tingkat produktivitas tanaman

juga berbeda. Dalam tahun-tahun terakhir ini produktifitas tanaman kopi rakyat

hanya sekitar 400-450 ribu ton setiap tahunnya.

Upaya untuk mengembangkan kopi arabika di wilayah MADUTORA

dilaksanakan dalam berbagai kegiatan. Dalam jangka pendek pengembangan

diarahkan kepada usaha pengembangan kemampuan produksi kebun rakyat dan

kegiatan perbaikan mutu hasil produksi agar dapat bersaing di pasaran


(48)

23

perbaikan mutu yang dihasilkan. Sedangkan dalam jangka panjang

pengembangan tanaman kopi diarahkan untuk memperluas pertanaman kopi

arabika, termasuk pemilihan lahan yang sesuai dengan tanaman kopi arabika.

Dengan pertimbangan tersebut maka pengembangan kopi arabika di wilayah

MADUTORA penyebarannya difokuskan pada tiga kabupaten dengan sasaran

utama untuk meningkatkan luas areal, produksi dan produktivitas tanaman.

Panen dilakukan satu kali dalam satu tahun, musim pemetikan (panen

raya) pada umumnya dimulai pada bulan Juni sampai Agustus, sedangkan pada

bulan ApriI biasanya sudah mulai panen tetapi baru dalam jumlah sedikit. Hasil

panen pada bulan itu terutama dilakukan dalam rangka usaha pemberantasan

hama bubuk pada buah kopi. Untuk bulan September biasanya pemetikan

dilakukan secara rajutan atau pemetikan secara massal. Panen dilakukan

dengan menggunakan tangan sedangkan alat yang dipakai untuk

mengumpulkan buah adalah ember dan karung.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kegiatan pascapanen itu

menyangkut kegiatan pemetikan. Buah kopi yang masak berwarna merah, dipetik

satu demi satu secara selektif dari tiap-tiap dompolannya dengan menggunakan

tangan. Sistem pemetikan merah ini akan menghasilkan kopi biji bermutu tinggi

dengan rendemen yang tinggi sekitar 20-22 persen. Untuk memperoleh hasil

buah kopi yang bermutu tinggi, buah kopi harus dipetik setelah betul-betul masak

yaitu saat kulit buah kopi sudah berwarna merah. Untuk mencapai tahap matang,

kopi robusta memerlukan waktu dari kuncup bunga selama 8 sampai 11 bulan

dan 6 sampai 9 bulan untuk kopi arabika (Najiyati dan Danarti,1995).

Pemetikan buah kopi secara garis besar dibagi menjadi tiga tahap

sebagai berikut: (a) pemetikan pendahuluan, biasanya dilakukan pada bulan

Februari sampai Maret untuk memetik buah yang terserang hama bubuk. Kopi


(49)

24

bulan, (b) petik merah dan panen raya; biasanya berlangsung 4 sampai 5 bulan

yang dimulai pada bulan Mei atau Juni, yaitu untuk memetik buah yang sudah

berwama merah, dengan interval atau selang pemetikan 10 sampai 14 hari, dan

(c) petik hijau dan petik rancutan; petik hijau dilakukan apabila ada buah tersisa

di pohon sekitar 10 persen. Semua buah yang masih tertinggal baik yang

berwama merah maupun yang wama hijau dipetik seluruhnya.

Petani rakyat di wilayah MADUTORA tidak melakukan pemetikan buah

kopi secara selektif. Jika terdapat 30 sampai 40 persen buah yang berwarna

merah dalam tiap dompolan, petani langsung memetik secara racutan. Buah kopi

yang masih berwarna hijau dan kuning yang turut terpetik dapat mempengaruhi

mutu kopi yang berwarna merah. Akhirnya kopi biji yang dihasilkan oleh rakyat

bermutu rendah, harganya murah dan mengakibatkan pendapatan petani

rendah. Karena buah kopi berwarna hijau akan menghasilkan kopi biji yang

berwama hitam, coklat dan mudah pecah dalam proses pengolahan. Alat yang

dipakai petani waktu memetik adalah keranjang, tali plastik, bambu berukuran

kecil, ember dan karung. Setelah kopi dipetik, kemudian diangkut dengan tenaga

manusia atau kuda.

Berdasarkan hasil uji cita rasa, biji kopi yang berwarna hitam mempunyai

aroma sangat tidak menyenangkan, tidak ada sifat kopinya dan rasanya seperti

kayu membusuk. Sedangkan kopi yang berwarna coklat rasanya asam dan bau

apek seperti keju, sama sekali tidak memberi cita rasa kopi. Kopi gelondong

seperti itu akan memberikan rasa tidak enak pada cup quality dengan rasa tajam

dan rasa tanah. Buah kopi yang berwarna merah dapat menghasilkan mutu yang

tinggi sehingga harga jualnya tinggi karena rasa dan aromanya nikmat dan enak.

Pemetikan yang dilakukan oleh perkebunan swasta sifatnya selektif, yaitu

hanya buah kopi yang berwama merah dan wama kuning yang dipetik satu per


(50)

25

Setelah buah kopi dipetik langsung ditakar untuk mengetahui berapa kilogram

yang dipetik tiap orang dalam satuan kerja. Seorang tenaga yang terampil dapat

memetik buah kopi 60 kg per hari atau rata-rata 40 kg tiap hari kerja. Buah kopi

hasil petikan yang berwama merah, kuning dan hijau dipisahkan satu dengan

Iainnya. Buah warna hijau adalah buah yang terikut pada saat memetik

dompolan buah merah dan kuning Setelah selesai penakaran kemudian diangkut

ke tempat pengolahan buah kopi.

Pengolahan kopi pada dasamya dikenal dua macam cara yaitu,

pengolahan kering dan pengolahan basah. Pengolahan basah mengalami proses

penghilangan kulit buah dan lendir yang menempel pada cangkang biji sebelum

biji dikeringkan. Serdangkan pengolahan kering dilakukan dengan tidak

menghilangkan kulit. Ciri lain dalam pengolahan basah mempergunakan air yang

cukup banyak pada beberapa tahap prosesnya, serta digunakan beberapa

peralatan dari tingkat yang paling sederhana sampai yangmodern. Dengan

demikian pengolahan buah kopi secara basah lebih bersifat padat modal

dibandingkan pengolahan secara kering.

Perkebunan kopi di Tana Toraja terdapat dua bentuk usaha perkebunan

yaitu perkebunan kopi rakyat dan perkebunan swasta. Dalam hal pascapanen,

terdapat perbedaan cara pengolahan kopi seperti dijelaskan berikut ini.

2.3.1. Pengolahan Kopi Perkebunan Swasta di Tana Toraja

Perkebunan swasta melakukan pengolahan kopi secara basah melalui 6

tahapan yaitu:

Pertama, sortasi buah kopi gelondong. Pada tahap ini kopi gelondong

dilakukan penyortiran dengan memisahkan antara buah kopi yang jelek dan yang

baik agar seragam. Penyeragaman tersebut biasanya dilakukan secara manual


(51)

26

yang berwarna merah ditampung dalam bak (konis), kemudian diisi air untuk

memisahkan buah kopi bernas (tidak hampa) dengan yang hampa serta yang

terserang bubuk. Buah kopi yang bernas dan masak akan tenggelam,

selanjutnya dialirkan bersama air ke mesin pulper untuk memisahkan kulit dan

bijinya. Buah kopi yang hampa, kering dan terserang bubuk mengembang di atas

permukaan air dan diolah tersendiri.

Sortasi buah gelondongan dimaksudkan untuk memisahkan buah merah

yang berbiji sehat dengan kopi hampa dan terserang bubuk. Buah kopi warna

yang sudah ditimbang dimasukan ke dalam alat yang disebut bak penerima atau

bak sortasi. Bak ini diIengkapi dengan saringan serta kran pemasukan dan

pengeluaran air. Setelah itu bak diisi air dengan cara membuka kran pemasukan

air. Bila bak sudah hampir penuh, kemudian diaduk, buah kopi yang terserang

bubuk dan hampa akan mengapung sedang yang sehat dan berisi akan

tenggelam.

Kedua, penghilangan kulit buah, Pada tahap ini dilakukan dengan alat

yang biasa disebut mesin pulper. Lendir yang menempel pada kulit tanduk

dihilangkan karena lendir tersebut menghambat proses pengeringan bila tidak

dihilangkan. Khusus untuk kopi arabika, cara ini masih dianggap dapat

memperbaiki mutu kopi biji fermentasi. Setelah kopi terkupas dari kulitnya,

didiamkan selama 48 jam dan tidak boleh terkena air. Martamidjaja (1984)

mengemukakan bahwa fermentasi adalah proses pemerahan buah kopi dengan

tujuan untuk rnempermudah lendir keluar sehingga lebih cepat pencuciannya.

Ketiga, pencucian. Setelah fermentasi kopi harus dicuci sampai bersih

dari lendir. Cara pencucian secara buatan yaitu dibuatkan seperti saluran air

(got) kemudian dimasukkan air secara terus menerus. Alat yang digunakan untuk

menggosok sampai biji kopi terasa keras (tidak berlendir) terbuat dari kayu yang


(52)

27

yaitu biji kopi yang tenggelam dipisahkan dengan kopi yang terapung, Kopi yang

tenggelam mutunya lebih baik daripada biji kopi terapung. Menurut Spillane

(1990), pencucian dimaksudkan untuk menghilangkan lendir yang masih melekat

pada biji kopi. Dalam bak pencucian itu biji diremas-remas dengan tangan atau

diinjak-injak dengan kaki sehingga bersih. Biji yang sudah bersih apabila dipijit

tidak terasa licin lagi setelah pencucian biji kopi selesai.

Keempat, pengeringan. Pengeringan biji kopi berkulit tanduk setelah

lendir dihilangkan dapat dilakukan dengan cara menjemur melalui matahari dan

mesin pengering. Penjemuran dilakukan di atas lantai yang terbuat dari semen,

tebal tumpukan biji kira-kira 2-5 cm, bahkan bisa sampai 10 cm Selain

penjemuran dilakukan pengadukan untuk mempercepat proses dan

penyeragaman hasil pengeringan. Waktu penjemuran biasanya tidak lebih dari 5

hari pada keadaan cuaca normal, akan menghasilkan kadar air biji kopi 8 -10

persen. Pengeringan dengan mesin dilakukan untuk mengatasi masalah cuaca

yang tidak menentu yang sering rnenghambat proses pengeringan. Suhu udara

pengeringan antara 80 - 1300C (kopi robusta) dan 40-600C (kopi arabika).

Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air menjadi 8 - 10 persen.

Dengan kadar air 10 persen kopi tidak mudah diserang cendawan dan tidak

mudah pecah ketika digiling. Pengeringan biasa dilakukan melalui tiga cara yaitu

cara alami, cara buatan, dan kombinasi antara cara alami dan cara buatan.

Kelima, sortasi biji kopi olahan. Sortasi biji kopi olahan dilakukan dengan

tujuan membuat biji kopi sesuai dengan kelas mutu yang ada dalam sistem

perdagangan. Hal ini dilakukan karena biji kopi setelah dihilangkan kulit

tanduknya tampak tidak seragam. Agar dapat memenuhi standar kelas mutu

maka ukuran biji kopi harus diseragamkan dengan cara menyaring biji pada

ayakan bergoyang. Lubang saringan mempunyai diameter 7.5 mm (ukuran


(53)

28

adalah memilih biji-biji kopi ukuran normal. Pemisahan biji cacat diatur sampai

diperoleh biji kopi dasar dengan nilai cacat sesuai kelas mutu yang dikehendaki.

Menurut Najiyati dan Danarti (1995), sortasi biji dimaksudkan untuk

membersihkan kopi olahan dari kotoran sehingga memenuhi syarat mutu dan

penggolongan kopi tersebut menurut standar mutu yang telah ditetapkan.

Keenam, pengepakan atau penyimpanan. Setelah biji kopi olahan disortir

lalu dimasukkan ke dalam karung dengan berat 60 kg bersih. Tiap karung yang

digunakan diberi tanda (label) seperti jenis kopi, kelas mutu, asal kopi dan nama

perusahaan Penyimpanan biji kopi dimaksudkan untuk menjaga agar tidak terjadi

penurunan mutu sebelum biji kopi dijual kepada konsumen.

2.3.2. Pengolahan Kopi Rakyat di Wilayah MADUTORA

Kegiatan pasca panen kopi rakyat menyangkut kegiatan pemetikan buah,

sortasi buah gelondongan, pengupasan kulit buah, fermentasi, penjemuran,

sortasi kopi biji olahan dan pengemasan serta penyimpanan.

Pascapanen kopi rakyat di wilayah MADUTORA dilakukan melalui

pengolahan basah yaitu:

1. Buah kopi yang sudah dipetik dikupas kulit buahnya dengan menggunakan

lesung batu, gilingan kayu dan diputar dengan tangan manusia kemudian

ditumbuk dan digiling hingga terpisah biji kopi dengan kulit buahnya dan

dibersihkan secara manual berulang-ulang sampai semua buah kopi

terpisah dari biji dan kulitnya, tetapi cara ini biasanya tidak melakukan

sortasi buah sehingga menyebabkan biji kopi banyak cacat.

2. Fermentasi, dilakukan secara alamiah yaitu biji kopi yang sudah dikupas

kemudian dimasukkan ke dalam keranjang atau kotak yang terbuat dari

papan yang sesuai dengan keberadaan petani dan fermentasi ini biasanya

dilakukan selama 24 jam.


(54)

29

biji kopi dan mempercepat pengeringan agar tampilan fisik biji kopi menjadi

lebih bersih dari kotoran dan kondisi tersebut akan menghambat serangan

jamur pada waktu penyimpanan.

4. Petani rakyat umumnya pada musim panas mengeringkan biji kopi secara

alamiah yaitu menjemur dengan panas matahari, tetapi ada juga yang

menjemur biji kopi langsung di atas tanah ataupun menggunakan alas

seperti tikar, karung bekas atau plastik dan pada musim hujan petani

mengeringkan biji kopi dengan cara mengasapi melalui dapur kayu.

5. Setelah kering, biji kopi dimasukkan oleh petani ke dalam karung atau

bakul tanpa melakukan sortasi, kemudian disimpan dengan cara

menumpuk di tempat yang lembab untuk selanjutnya dijual, padahal cara

ini tidak tepat karena dapat menurunkan mutu kopi yaitu cepat berjamur

dan tampilan fisiknya kurang baik.

Selanjutnya kopi arabika yang diperdagangkan oleh petani adalah kopi

kering tanpa sortasi, dengan kadar air kira-kira 18 persen. Sedangkan yang

diperdagangkan oleh pedagang pengumpul desa adalah kopi kering petani

dengan sedikit sortasi dan dengan kadar air 18 persen; oleh pedagang

pengumpul kecamatan adalah kopi kering dengan kadar air 15 persen. Baik

petani maupun pedagang pengumpul desa dan pedagang pengumpul

kecamatan, menjual kopi biji yang masih memiliki kulit tanduk/ari, sedang

pedagang pengumpul kabupaten dan perusahaan exportir menjual kopi biji

dalam bentuk kopi beras (kopi biji yang sudah dikupas kulit tanduknya atau kulit

arinya) dengan kadar air 15 persen. Pada tahap selanjutnya, perusahaan

eksportir akan membagi lagi kualitas kopi arabika yang telah diolah tersebut

dengan nama kopi mutu satu dan mutu dua.

Meski pemerintah sudah menyarankan agar petani menjual kopi yang

sudah disortasi, tetapi kenyataannya petani tetap memilih komoditi yang tanpa

sortasi karena dianggap lebih mudah dan cepat prosesnya selain karena


(55)

30

2.4. Pemasaran Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA

Secara umum jaringan pemasaran kopi arabika MADUTORA

melibatkankan beberapa pelaku pasar yaitu: petani, pedagang pengumpul desa,

pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengumpul kabupaten, pedagang

pengecer, eksportir, konsumen luar negeri dan konsumen domestik. Dalam pola

tataniaga, petani kopi arabika memegang peranan besar sebagai produsen,

sedang di ujung rantai pemasaran pihak eksportir yang berperanan menyerap

produksi tersebut.

Struktur tataniaga kopi rakyat relatif kurang efisien karena sifat

pengusahaannya yang serba tradisional. Sejak awal pengelolaannya tidak dapat

menyamai keterampilan manajemen perusahaan-perusahaan perkebunan besar

yang bermodal besar dan modern (Spillane, 1990).

Jaringan tataniaga kopi arabika MADUTORA mulai dari petani sampai

eksportir memiliki rantai tataniaga yang panjang. Hal ini merupakan hasil dari

kombinasi beberapa faktor alami dan non alami, antara lain:

Pertama, faktor topografi dan letak wilayah penghasil kopi. Umumnya

lahan yang sesuai untuk tanaman kopi adalah daerah berbukit sampai

bergunung yang elevasi berkisar 400-800 m dari permukaan laut, Lokasi yang

memenuhi persyaratan tersebut di atas umumnya berada di dataran tinggi

dengan ketinggian tempat kurang dari 1 000 m dari permukaan laut.

Kedua, faktor jauhnya jarak antara desa dengan kota di wilayah

MADUTORA. Petani sebagai produsen di sentra produksi kopi arabika, harus

membawa kopi melalui pusat kota kecamatan, kota kabupaten dan kota propinsi

(eksportir). Jarak dari lokasi produksi ke tempat panjualan ini umumnya sangat

jauh. Ketiga, faktor modal. Modal pedagang pengumpul desa berasal dari

pedagang pengumpul kecamatan sebab umumnya mereka adalah kaki tangan


(56)

31

Petani

Pedagang pengumpul desa

Pedagang pengumpul kecamatan

Pedagang Besar (Kabupaten)

pedagang kecamatan dan pedagang besar umumnya telah mempunyai

hubungan tertentu dengan eksportir. Apabila mereka kekurangan modal kerja,

maka eksportir biasanya akan membantu tanpa persyaratan bunga modal.

Secara umum, sebagian besar petani menjual langsung hasil produksinya

kepada pedagang pengumpul desa. Pedagang pengumpul desa menjual ke

pedagang pengumpul kecamatan setelah kopi disortir, selanjutnya pedagang

pengumpul kecamatan menjual ke pedagang kabupaten. Sedangkan pedagang

kabupaten menjual lebih lanjut ke eksportir untuk kemudian dipasarkan ke

konsumen luar negeri. Selain itu ada juga pedagang kabupaten menjual juga ke

pedagang pengecer untuk pasar konsumen domestik.

Untuk memperjelas jaringan pemasaran atau tataniaga kopi arabika di

wilayah MADUTORA dapat dilihat pada diagram di bawah ini.

Sumber : Surono, 1996

Gambar 2. Saluran Pemasaran Kopi Arabika di Sulawesi Selatan

2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu 2.5.1. Kopi Arabika

Penelitian dan studi mengenai Kopi Arabika telah dilakukan oleh

beberapa peneliti terdahulu, antara lain oleh Adri (1999), Karim (1999) dan Roza

(2003).

Pedagang Eksportir


(1)

Lampiran 3. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,Tahun 1991 – 2005

Kopi Arabika

Tahun Volume (Ton) Perkembangan

(%)

Nilai (US $) Perkembangan

(%)

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

1 067.01 1 205.42 2 514.78 2 963.88 1 475.23 2 308.04 2 617.77 2 831.16 2 294.51 2 404.12 2 536.40 3 148.23 3 312.85 4 380.00 5 558.26

- 12.97 108.62 17.86 - 50.23 56.45 13.42 8.15 -18.96 4.78 5.50 24.12 5.23 32.21 26.90

2 763 952 4 214 819 8 272 884 11 071 549 5 029 889 5 965 157 10 235 481 9 958 589 7 732 499 6 971 948 5 130 760 6 411 158 5 915 681 8 793 177 16 459 541

- 52.49 96.28 33.83 - 54.57 18.59 71.59 - 2.71 - 22.35 - 9.84 - 26.41 24.96 - 7.73 48.64 87.19 Sumber : Dinas Perdagangan dan Perindustrian Sulawesi Selatan, 2006


(2)

Lampiran 4. Perkembangan Luas Areal Kopi Arabika pada Enam Daerah Sentra Utama Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,Tahun 1997 - 2004

Tahun

Baraka (Ha)

Alla (Ha)

Mengkendek (Ha)

Rinding Allo (Ha)

Sesean (Ha)

Saluputi (Ha)

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

1 860 2 269 2 510 3 493 3 493 3 493 3 493 3 432

2 078 2 850 3 722 3 358 3 360 3 360 3 360 3 424

1 337 1 356 707 707 1 994 2 078 2 207 2 208

3 875 3 964 4 304 4 406 3 625 4 523 4 652 4 681

1 027 1 045 1 428 1 458 707 1 277 1 277 1 277

1 512 1 559 2 318 2 392 379 1 122 1 281 1 290 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Enrekang dan Tator, Sulawesi


(3)

Lampiran 5. Perkembangan Produksi Kopi Arabika pada Enam Daerah Sentra Utama Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,Tahun 1997 - 2004

Tahun

Baraka (Enrekang)

Alla (Enrekang)

Mengkendek (Tator)

Rinding Allo (Tator)

Sesean (Tator)

Saluputi (Tator)

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

658 813 836 952 1 152 1 160 1 204 1 230

798 956 1 879 1 125 1 325 1 400 1 460 1 520

439 450 694 695 430 498 501 508

961 968 1 099 1 146 841 1 060 1 062 1 013

371 35 436 437 78 340 340 311

587 610 715 761 108 201 203 293 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Enrekang dan tator, Sulawesi


(4)

Lampiran 6. Luas Areal dan Produksi Kopi Arabika Menurut Kecamatan di Kabupaten Enrekang,Tahun 2004

No Kecamatan Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Maiwa Enrekang Baraka Angeraja Alla Cendana Curio Malua Bungin

0

435

3 432 287

3 424 0

1 850 396

620

0

260

2 050 171

2 041 0

1 103 236

370

Jumlah 10 444 6 231


(5)

Lampiran 7. Luas Areal dan Produksi Kopi Arabika Menurut Kecamatan di KabupatenTana Toraja,Tahun 2004

No Kecamatan Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Bongkaradeng Mengkendek Sangala Makale Saluputi Rinding Allo Rantepao Sanggalangi Sesean Simbuang Rantetayo

Tondon Nanggala Sa’dan Balusu Bittuang

Buntao Rantebua

- 2 208

348

319

1 290 4 681 86

491

1 277 791

1 040 215

401

2 429 180

- 508

75

78

293

1 013 21

91

311

152

193

39

82

626

47

Jumlah 15 756 3 529


(6)

Lampiran 8. Perkembangan Harga Kopi Arabika di Sulawesi Selatan,Tahun 1995 - 2004

Harga (Rp/Kg) Tahun

Petani Kecamatan Kabupaten Propinsi Eksportir

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

6 425 4 332 6 250 14 026 13 278 9 890 10 531 9 976 6 075 6 839

6 510 4 522 6 600 14 915 13 961 10 077 10 616 11 452 6 486 7 248

6 734 5 646 7 800 15 729 14 632 10 808 11 097 11 532 6 648 7 547

7 035 5 646 7 800 18 284 16 500 19 621 12 000 16 524 17 559 16 555

7 282 6 530 20 915 27 805 25 745 23 618 25 105 25 105 25 105 19 600 Sumber : Dinas Perdagangan dan Perindustrian Sulawesi Selatan, 2005