-
331 -
yang lain. Pada dasarnya, siswa adalah unsur penentu dalam pembelajaran holistik. Pada saat pembelajaran holistik berlangsung,
guru membangun interaksi dan membimbing siswanya dengan baik, baik dari segi materi maupun dari segi penyampaian. Supaya materi
bisa diterima siswa, guru haruslah orang yang menguasai bidangnya sehingga tujuan pengajaran tercapai.
Tindak tutur speech act atau tindak ujar atau tindak bahasa mempunyai kedudukan penting di dalam pragmatik. Dikatakan
penting, karena dengan tindak tuturlah manusia dapat berkomunikasi dan tindak tutur merupakan inti pembicaraan pragmatik
sesungguhnya.
Kalimat “lemah lembut” sebagai ‘baik hati, tidak pemarah,
peramah’. Sedangkan “lembut” diartikan sebagai ‘halus dan enak didengar, tidak kasar; tidak keras atau tidak nyaring tentang suara,
bunyi; baik hati halus budi bahasanya, tidak bengis, tidak pemarah, lembut hati’. Dalam praktiknya, deskripsi ini tecermin pada
bagaimana seseorang mengekspresikan tuturan dalam pengaturan intonasi. Karena intonasi mengandung unsur nada tone, tekanan
stress,
dan tempo duration, maka pengaturan intonasi ni bisa diarahkan pada bagaimana mengatur keras-lemah, tinggi-rendah, dan
penjang-pendek suara dalam tuturan. Unsur-unsur ini mengandung makna tersirat yang mengiringi tuturan yang berlangsung yang
berlangsung yang dinamakan “makna emosi” penutur.
Aspek intonasi merupakan aspek penting karena tumpuan beralih dari pemilihan kata dan susunan kalimat ke pada cara
pengujaran atau penuturan. Pada sisi lain, aspek ini sering menjebak penutur karena apabila ia salah menerapkan intonasi, akan berdampak
pada keadaan sebaliknya, misalnya pendengar tersinggung, salah paham, dan salah tanggap.
b. Kesantunan Berbahasa
Kesantunan politiness, kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga
-
332 -
kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut “tatakrama”.
Kesantunan bahasa, secara umum, merujuk kepada penggunaan bahasa yang baik, sopan, beradab, memancarkan peribadi mulia dan
menunjukkan penghormatan kepada pihak yang menjadi teman bicaranya. Kesantunan bahasa menjadi salah satu ciri penting bangsa
yang bertamadun.
Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan
memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun,
maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu
megambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan
secara seketika mendadak maupun secara konvensional panjang, memakan waktu lama. Sudah barang tentu, penilaian dalam proses
yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.
Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku
bagia masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar
dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau
mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal
itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.
Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang yang masih
muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.
Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian berbusana, cara berbuat bertindak, dan cara bertutur berbahasa.
http:www.tutor.com.mystpmkesantunan_ berbahasa.htm.
Diunduh 22 Januari 2013
-
333 -
Kesantunan adalah sebuah fenomena pragmatik. Kesantunan terletak bukan pada bentuk dan kata-kata, melainkan pada fungsi dan
makna sosial yang diacu. Jika penutur mengatakan bentuk yang lebih sopan daripada konteks yang diperlukan, mitra tutur akan menduga
bahwa ada maksud khusus yang tersembunyi.
Leech 1993: 131-139 mengangap kesantunan berbahasa adalah usaha untuk membuat adanya keyakinan-keyakinan adan
pendapat yang tidak sopan menjadi sekecil mungkin dengan mematuhi prinsip kesantunan berbahasa yang terdiri atas maksim-
maksim. Leech 1993:81 menjelasakan ada dua prinsip kesantunan yang harus dipatuhi oleh seorang yang ingin tuturanya terdengar
santun, yaitu: 1 prinsip kesantunan versi negatif, ”kurangilah atau gunakan sesdikit mungkin tuturan-tuturan yang mengungkapkan
pendapat yang tidak santun” dan 2 prinsip kesantunan versi positif, ”perbanyak atau gunakan sebanyak-banyaknya tuturan yang
mengungkapkan pendapat yang santun”.
Lebih jauh lagi, Leech 1993: 1007-110 menjelaskan bahwa tingkat kesantunan suatu tindak tutur dapat diukur atas dasar tiga
skala pragmatik, yaitu skala untung rugi, skala kemanasukaan, dan skala ketaklangsungan. Skala untung rugi tersebut mengandung
prinsip bahwa tindak tutur yang semakin banyak menguntungkan Pn, tetapi semakin merugikan Pt, maka tindak tutur itu semakin tidak
santun. Sebaliknya, tindak tutur yang menunjukkan semakin banyak keuntungan bagi Pt maka tindak tutur itu semakin santun. Skala
kemanasukaan mengandung pengertian bahwa tuturan yang semakin banyak memberikan alternatif pilihan bagi Pt bernilai semakin santun.
Sebaliknya, tuturan yang semakin sedikit memberikan alternatif pilihan kepada Pt bernilai semakin kurang santun. Sedangkan skala
ketidaklangsungan mengandung prinsip bahwa tuturan semakintidak langsung bernilai semakin santun. Sebaliknya, tuturan yang semakin
langsung bernilai semakin tidak santun.
Kesantunan berbahasa pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip. Pertama, penerapan prinsip kesopanan politeness
principle dalam
berbahasa, prinsip
ini ditandai
dengan
-
334 -
memaksimalkan kearifan, rasa hormat, pujian, kecocokan, kesimpatikan kepada orang lain.
Kedua, penghindaran pemakaian kata tabu. Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk pada
organ-organ tubuh, kata-kata yang merujuk pada suatu benda yang menjijikkan dan kata-kata kotor serta kasar, semua itu termasuk kata-
kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Sebagai contoh kata tabu yang diucapkan seorang mahasiswa kepada
dosennya ketika perkuliahan berlangsung.
Ketiga, sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan ungkapan penghalus harus digunakan guna untuk
menghindari kesan negatif. Contoh kalimat mahasiswa yang tergolong tabu di atas akan menjadi ungkapan santun apabila diubah dengan
penggunaan kata penghalus.
Keempat, penggunakan pilihan kata honorifik yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-
kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengena tingkatan, tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal
tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan
sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil dalam bahasa jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat
social dan usianya lebih tinggi dari pembicara atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara. Walaupun bahasa Indonesia tidak
mengenal tingkatan, sebutan kata diri engkau, anda, saudara, bapak atau ibu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita pakai
untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang menanyakan kepada orang yang lebih
tua.
c. Pendidikan Holistik