Tindak Tutur Direktif dalam “Pengembara Makrifat” Karya Zubair Tinajauan Pragmatik

(1)

Tindak Tutur Direktif dalam “Pengembara Makrifat” Karya Zubair Tinajauan Pragmatik

Oleh Darsita Abstrak

Pengembara Makrifat merupakan karya kreatif berbentuk dialog yang ditulis oleh Zubair. Tulisan ini diidentifikasi sebagai sebuah karya sastra ditinjau dari aspek intrinsik. Karya itu menggambarkan salah satu realitas kebudayaan yang mencerminkan ranah pendidikan Islam yang ditampilkan dalam tulisan. Novel tersebut berisi nasehat yang tidak dapat dilupakan bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan penulisnya. Dari segi isi, novel ini juga merupakan peranti komunikasi untuk menyampaikan beberapa hal seperti pengajaran, pendidikan, nasihat yang bersifat religi, pencarian Tuhan, penggambaran berbagai karakter manusia dan menginformasikan berbagai nilai dari generasi tua kepada generasi muda. Penelitian ini berfokus kepada kajian tentang tindak tutur direktif yang terdapat dalam karya itu. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian studi kasus yang menggunakan pendekatan pragmatik. Penelitian ini menggunakan metodologi natural karena data diperoleh secara langsung dengan membaca buku itu. Bentuk-bentuk penggunaan kalimat dalam suatu paragraf diidentifikasi sebagai objek yang memberikan informasi tindak tutur direktif. Peneliti dalam konteks ini dianggap sebagai instrumen. Data tulisan berupa kalimat dan paragraf dikumpulkan dari rangkaian peristiwa yang terdapat dalam karya itu. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa dalam ada empat bentuk-bentuk tindak tutur direktif yang dominan yang dilakukan guru kepada murid dalam karya ini berupa pertanyaan (questions), mengarahkan (requirements), memaafkan (permissives), menyarankan (advisories). Setiap satuan lingual yang membentuk tuturan itu memiliki kandungan penggunaan bahasa yang didasarkan pada kesatunan berbahasa.

Kata kunci: tindak tutur direktif, kesantunan berbahasa, satuan bahasa

1. Pendahuluan

Karya yang berjudul “Pengembara Makrifat” dalam tulisan ini dianggap sebagai sebuah hasil cipta sastra yaitu novel. Mengapa begitu? Ditinjau dari segi isi cerita “Pengembara Makrifat” dapat diidentifikasi sebagai sebuah wahana komunikasi kreatif dan imajinatif. Pengembara Makrifat sebagai karya fiksi memiliki pengisahan yang mendalam tentang religiusitas, bukan sekedar cerita khayal dari pengarang saja, tetapi menampilkan wujud dari proses kreatifitas pengarang ketika menggali dan menuangkan gagasan yang ada di dalam


(2)

pikirannya. Warna kehidupan dengan latar lingkungan beragama Islam dan fakta sosial pengarang tampak jelas dalam karya itu. Satuan-satuan lingual yang digunakan dalam karya ini adalah tindak tutur direktif. Apa itu tindak tutur

direktif? Tindak tutur direktif mengacu kepada tindak berujar yang dilakukan

penutur dalam rangka mempengaruhi petutur untuk melakukan tindakan sebagaimana dianjurkan oleh penutur.

Pemilihan strategi bertutur dalam tindak tutur direktif pada umumnya mengikuti adat kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat. Setiap terjadi kesalahpahaman antara penutur dan petutur disebabkan latar budaya yang berbeda. Masyarakat biasanya menilai strategi bertutur yang dianggap pantas sesuai dengan norma yang berlaku serta tata krama dan kesantunan penutur.1 Cara bertutur sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek sosial seperti: usia, kedudukan, dan pendidikan. Fakta sosial menunjukkan bahwa perilaku memerintah kepada dilakukan oleh orang yang memiliki kedudukan tinggi daripada teman bicaranya.

2. Karya Sastra “Pengembara Makrifat”

Ditnjau dari isinya “Pengembara Makrifat” dapat dikategorikan sebagai karya sastra Islam. Mengapa demikian? Menurut Ibrahim yang termasuk karya sastra Islam bila memenuhi beberapa ketegori berikut: 1) karya yang menampilkan kehidupan manusia yang mengingatkan pembacanya sebagai hamba dan khalifah Allah; 2) cerita yang sesuai dengan pandangan Islam; 3) karya yang menonjolkan nilai-nilai baik, mulia, dan aspek-aspek kebaikan yang sesuai dengan pandangan Islam. Keburukan, kehinaan, dan aspek-aspek kemungkaran hanya digambarkan sebagai pembanding dan akhirnya kemungkaran dapat dikalahkan oleh kebaikan; 4) menyampaikan kebenaran sesuai denga pandangan Islam; 5) mengandung unsur estetika dan seni; 6) menggunakan gaya bahasa yang indah.2 Karya sastra “Pengembara Makrifat“ berisi lima pokok bahasan yaitu 1) Beragama Tanpa Tuhan, 2) Sertifikat Hak Milik Versus Sertifikat Hak Guna Pakai, 3) Wahai Musa Inilah Aku Tuhanmu, 4) Engkau yang Mati Aku yang Hidup, 5) Misteri Jodoh. Setiap pokok bahasan itu memiliki beberapa sub pokok bahasan yang ceritanya dikemas dalam bentuk dialog.

1

Ahyati Kurniamala Niswariyana. “Tindak Tutur Direktif Kepada Siswa di SMP Islam Nurul Hikmah Langko Ditinjau dari Kesantuan Berbahasa” dalam Prosiding Bahasa dan Sastra dalam Era Teknologi. (Mataram Universitas Mataram, 2014)., hal 154.

2

Asep Supriadi. “Takmilah : Membangun Teori Sastra Islam di Indonesia”. Dalam

Prosiding Seminar Internasional Pendidikan Berbasis Keragaman Budaya Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia. (Jakarta: Fakultas Tarbiyah Univeristas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014)., hal 164.

2


(3)

3. Kesantunan Berbahasa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (on line) kata santun bermakna 1) ‘halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar, tenang dan sopan; 2) penuh rasa belas kasihan dan suka menolong. Kata santun itu juga dipadankan dengan kata sopan. 3 Padanan sopan santun sering digunakan untuk mengacu kepada makna ‘santun’.

Dalam konteks tata cara atau strategi bertutur ada tiga kaidah yang perlu diperhatikan agar sebuah ujaran terdengar santun di telinga pendengar, yaitu: 1) formalitas (formality) merujuk kepada perilaku tidak memaksa dan tidak angkuh; 2) ketidaktegasan ( hesitancy) berarti buatlah sedemikian rupa sehingga teman tutur dapat menentukan pilihan (option); 3) persamaan (equality) atau kesekawanan (camaraderie) merujuk kepada upaya bertindak seolah-olah penutur dan mitra tutur sama dan sederajat.4

Teori kesantunan berbahasa menyebutkan bahwa keadaan muka seseorang ikut berperan dalam kaitan dengan tata cara bertutur. Situasi nosi muka (face

notion) ada dua dimensi, yaitu: 1) muka positif; 2) muka negatif. Muka positif

merujuk pada citra diri setiap orang yang rasional yang menyakini bahwa apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, akan dinilai baik oleh orang lain. Muka negatif diartikan sebagai citra diri setiap orang yang rasional yang berkeinginan agar dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakan atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu.5

Berbeda dengan Lakoff (1973) dan Levinson mengenai tindak ujaran kesantunan, Leech (1983) mengemukakan konsepsi prinsip kesantuan (politeness

principles). Dalam prinsip kesantuan terkandung adanya ketentuan atau ajaran

(maxim). Maksim atau ketentuan atau ajaran tang terdapat dalam tindak tutur

kesantuan antara lain, :

1) maksim pujian, yaitu ajaran yang mengecam orang sesedikit mungkin

dan memuji orang sebanyak mungkin;

2) maksim kerendahan hati merujuk kepada memberi pujian kepada diri

sendiri sedikit mungkin, dan kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin;

3) maksim kearifan artinya setiap peserta tutur hendaknya meminimalkan

kerugian orang lain, dan memaksimalkan keuntungan untuk orang lain; 4) maksim kedermawanan mengacu kepada keuntungan diri sendiri

sekecil mungkin, dan kerugian diri sendiri sebesar mungkin;

3http://kbbi.web.id/santun diunduh 20 Pebruari 2016 4

Lakoff (1973) sebagaimana dikutip oleh Abdul Chaer. Kesantunan Berbahasa. (Jakarta: Rineka Cipta, 2010)., hal 46.

5

Loc.cit., Ahyati Kurniamala Niswariyana, 2014. Hal 155. Ahyati mengutip pendapat Brown dan Levinson !1978) sebagaimana diintisarikan oleh Abdul Chaer, Kesantunan Berbahasa (Jakarta,: Rineka Cipta, 2010)., hal 49.

3


(4)

5) maksim kesepakatan mengusahakan agar ketaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain sesedikit mungkin, agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sebanyak mungkin.;

6) maksim simpati merujuk kepada menginginkan untuk mengurangi rasa antisipasi antara diri sendiri dan orang lain hingga sekecil mungkin dan meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri dan orang lain.6

4. Analisis dan Pembahasan

Tindak Tutur Direktif Guru kepada Murid dalam “Pengembara Makrifat”

Dialog-dialog yang terdapat di dalam novel “Pengembara Makrifat” banyak mengandung tindak tutur yang dapat dikategorikan ke dalam 5 jenis bentuk tindak tutur direktif, sebagaimana dikemukakan oleh Searle dalam Ahyati (2014)7. Ke lima jenis tindak tutur itu adalah:

1) Pertanyaan (questions) merujuk kepada bentuk tindak tutur bertanya, berinkuiri atau menginterogasi.

Data 1, dialog 1 ‘Kebenaran yang Menenteramkan’

Murid : Mengapa saya harus menjadi murid apabila hendak mencari

kebenaran?

Guru : Dengan menjadi murid berarti kamu punya keinginan yang serius

untuk belajar sekaligus mengakui kelemahan pengetahuanmu.

Murid : Saya kan sudah membaca banyak buku karya orang hebat,

berdiskusi dengan banyak orang, bahkan telah membaca banyak kitab suci dan penjelasannya.

Guru : Kalau begitu, mengapa kamu masih penasaran dengan kebenaran

padahal semua kitab suci telah kamu baca, semua karya filosof dan ahli hikmah telah tamat, semua pakar telah kamu datang berdiskusi?

Murid : Semua hasil bacaan dan diskusi saya tersebut tidak dapat

menyakinkan saya dan tak mampu membuat tenteram hati saya. masing-masing memiliki argumen dan dalil yang kuat.

Sumber: Zubair (2015: 2)

Percakapan murid kepada guru yang tertera pada data 1 terjadi ketika seseorang ingin mencari kebenaran. Orang tersebut disingkat (P1) bertanya secara santun kepada mitra tuturnya (P2), karena mitra tutur itu dipandang oleh (P1) sebagai sosok yang memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni di bidangnya. P1 bertanya kepada P2 : “Untuk mencari kebenaran mengapa harus berperan

6

Ibid. 7

Ibid.

4


(5)

sebagai murid? P2 dengan tenang menjawab pertanyaan P1: “Menjadi murid

berarti kamu punya keinginan serius untuk belajar”. P1 maupun P2 melakukan

pilihan kata yang santun mengajukan pertanyaan dan memberikan respon berupa jawaban.

Data 2, Dialog 1 ‘Ego Hijab Kebenaran’

Murid : Salam Guru. Ada kawan saya bertanya begini, Ego itu apa sih?

Kok bisa menjadi dinding tembok yang menghalangi kebenaran hakiki?

Guru : Ego itu adalah perasaan memiliki sesuatu. Merasa memiki harta

padahal harta itu adalah milik-Nya, merasa memiliki ilmu padahal ilmu itu adalah milik-Nya, merasa memiliki kekuatan padahal segala daya dan upaya adalah milik-Nya jua dan lain-lain.

Murid : Dari mana datangnya Ego tersebut Guru?

Guru : Egi itu muncul dari kolaborasi antara akal dean nafsu yang

kemudia ditunggangi oleh setan

Murid : Prosesnya bagaimana?

Guru : Manusia diberi fasilitas oleh Tuhan untuk dimanfaatkan dalam

menjalani tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Fasilitas tersebut adalah tiupan ruh-Nya, berupa sifat hayat atau hidup, qudrah atau daya, iradah atau kehendak, dan ilmu atau pengetahuan, sama’ atau pendengaran, bashar atau penglihatan dan kalam atau ucapan. Sifat-sifat tersebut lalu dibungkus oleh akal dan nafsu. Jadi akal dan nafsu pun adalah fasilitas.

Sumber: Zubair (2015: 5)

Dalam data 2 dialog 2 murid mengajukan pertanyaan kepada guru. Situasi itu terjadi karena murid ingin mengetahui apa arti ego dalam kaitannya dengan pencarian kebenaran. Murid tersebut disingkat (P1) menyampaikan pertanyaan temannya yang bertanya tentang arti ego. P1 bertanya kepada P2 dengan didahului salam : “Salam Guru.” Meskipun P2 tidak membalas salam P1, namun keadaan itu tidak membuat P1 merasa kecewa karena pertanyaan P1: “Apa arti Ego”, dijawab oleh P2 dengan santun dan diberi penjelasan yang memadai sehingga P1 paham makna Ego itu. P1 maupun P2 melakukan pilihan kata yang santun mengajukan pertanyaan dan memberikan respon berupa jawaban.

P2 banyak melakukan pilihan kata yang berasal dari bahasa Arab yang diberi maknanya dalam bahasa Indonesia. Hal itu terdapat dalam pilihan kata berupa kata hayat, qudrah, iradah ilmu, sama’ bahsar dan kalam. Pilihan kata itu menunjukkan bahwa baik P1 maupun P2 adalah sosok-sosok yang mengerti bahasa Arab dan konteks pencarian kebenaran berada dalam konteks agama Islam.


(6)

2) Mengarahkan (Requirements)

Tindak ujar yang termasuk kategori requirement antara lain memerintah, menghendaki, menuntut, mendikte, menginstruksikan, mengatur dan mensyaratkan. Tindak tutur requirement merujuk kepada penutur bermaksud agar petutur atau mitra tuturnya bersedia menyikapi ujaran penutur sebagai alasan untuk bertindak, dengan fokus ujaran penutur dijadikan sebagai alasan penuh untuk melakukan suatu tindakan. Uraian berikut ini merupakan tindak tutur requirement

Data 3, dialog 2 ‘Kebenaran yang Menenteramkan’

Guru : Sekarang saya tanya kamu, setelah membaca berbagai kita dan

penjelasannya, apakah kamu sudah mengenal Tuhanmu? Apakah setelah membaca pengalama spitirtual para kekasih Tuhan, kamu sudah kenal Tuhanmu? Apakah setelah membaca buku filsafat, berdiskusi dan merenung, kamu sudah kenal Tuhanmu, setelah semua itu kamu lakukan pa kesimpulan kamu tentang Tuhan?

Murid : Kesimpulan saya adalah Tuhan itu ada.

Guru : Apakah kesimpulan kamu bahwa Tuhan itu ada otomatis kamu

juga sudah kenal Tuhan?

Murid : Tuhan itu ada hanyalah kesimpulan akal saya saja Guru…

Guru : Nah, pengenalan pada Tuhan itulah yang disebut dengan rasa

bertuhan. Sumber: Zubair (2015: 8)

Data 3 dialog 3, pada baris ke delapan guru melakukan requirement khususnya mengarahkan murid untuk membaca barbagai buku yang membahas “Pengenalan pada Tuhan Melalui Hati Nurani. Tindak ujar guru (P1) itu dilakukan oleh sang murid (P2) dengan melakukan banyak baca buku menyangkut pokok bahasan yang diarahkan oleh guru (P1). Setelah membaca banyak buku, sang murid (P2) dapat mengetahui bahwa sosok Tuhan itu ada menurut cara yang ditariknya berupa sebuah kesimpulan akal. Lalu, guru (P2) menjelaskan bahwa pengenal Tuhan seperti yang dipaparkan oleh muridnya disebut denga rasa bertuhan.

Dalam dialog P1 dan P2 menggunaka pilihan kata yang bersifat langsung. Artinya kata yang dipilih itu sudah dipikirkan oleh para penutur sehingga maksud atau pikiran seseorang dapat diutarakan secara tepat an ekonomis.

3. Menyarankan (Advisories)

Aspek lain dari tindak ujar direktif adalah advisories. Yang termasuk aspek advisories adalah tindak tutur menasehatkan, memperingatkan, mengusulkan, menyarankan, dan mendorong. Dalam aspek advisories hal atau sesuatu yang diungkapkan penutur atau (P1) bukan menjadi harapannya bila mitra


(7)

tutur melakukan tindakan tertentu, namun keperacayaan bahwa melakukan sesuatu itu merupakan hal yang baik, bahwa tindakan itu untuk kepentingan mitra tutur itu.8 Berikut ini merupakan dialog yang berisi advisories tipe menyarankan.

Data 4, dialog 8 ‘Sesat dalam Pencarian’

Murid : Salam Guru, semoga kasih dan berkah Allah untuk kita

Guru : Amin. Kalau tidak salah, yang akan kita bahas tentang adanya

para pencari Tuhan yang tersesat dalam pencariannya, Bukan?

Murid : Betul Guru. Banyak orang yang telah berniat dan berusaha

berdiri di depan gerbang Sang Raja, tetapi bermacam-macam pula mereka temui. Ada yang mencari Tuhan dengan mengumpulkan ilmu sehingga menjadi ahli ilmu, tapi dia semakin sombong denga ilmunya seakan-akan dialah yang paling dikenal dengan Tuhan? Ada juga yang berniat dan berusaha melalui ibadahnya, sehingga merasa dialah yang paling dekat dan disayangi Allah

Guru : Terus selanjutnya,

Murid : ada juga yang pergi bertapa, meditasi, berkhalwat dan

sebagainya. Akhirnya, di antara mereka ada yang kembali dengan menyanding diri sebagai nabi, rasul, ratu adil, imam Mahdi dan lain-lain

Guru : Memang, perjalanan menuju Tuhan itu bagai menempuh

belantara dalam kegelapan, banyak duri terjal, berkelok, dan penuh dengan muslihat

Murid : Lalu, bagaimana menempuh perjalanan seperti itu, guru?

Guru : Di sinilah perlunya seorang guider atau pendamping.

Pendamping ini mestilah orang yang pernah melalui jalan-jalan tersebut. Kalua tidak, perjalanan kamu pasti akan tersesat.

Sumber: Zubair (2015: 23)

Data 4 dialog 8 mengilustrasikan guru (P1) memulai tindakan menyarankan atau mengarahkan kepada muridnya (P2) untuk membicarakan tentang “Pencarian Tuhan”. P1 menggunakan kalimat tanya yang mempunyai fungsi untuk mengarahkan titik persoalan kepada P2 mengenai hal atau peristiwa yang menjadi pokok pertanyaan, contoh: “Kalau tidak salah, yang akan kita bahas tentang adanya para pencari Tuhan yang tersesat dalam pencariannya,

Bukan?” Selanjutnya P2 melakukan tindakan seperti yang diharapkan oleh P1

dengan kesadaran penuh. Guru (P1) memilih kata-kata yang terdengar santun di telinga P2 sebagai teman bicaranya, contoh “ Guru tersebut harus menjalankan syariat dengan baik, memiliki akhlak yang mulia, dan tidak memiliki kepentinga duniawi dalam dakwahnya. Allah berfiman “Ikutilah orang yang tidak menuntut

8

Ibid.

7


(8)

balasan sementara mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS: Yasin: 36: 21). Atas dasar itu P2 dapat menerima nasehat yang disampaikan gurunya sebagai penutur. P2 menjawab : “O begitu ya.”…

4. Memaafkan (Permissives)

Dimensi selanjutnya dari tindak ujar direktif adalah permissives. Yang termasuk aspek permissives adalah tindak tutur yang mengijinkan, menyetujui, memberi wewenang, menganugerahi, mengabulkan, membiarkan, melepaskan, memaafkan dan memperkenankan. Dalam aspek permissives dapat dikenali melalui satuan bahasa berupa kalimat yang mengungkapkan kepercayaan penutur dan maksud penutur sehingga teman tutur yakin bahwa ujaran penutur mengandung alasan yang cukup bagi teman tutur atau petutur untuk merasa bebas melakukan tindakan tertentu.9

Data 5 Dialog 22 “Tazkiyah dan Tahannus”

Murid : Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Guru : Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh

Murid : Maaf Guru, saya siap mendengarkan penjelasan Guru tentang (1)

bagaimana memasuki lembah suci yang disebut nurani; dan (2) mengapa Musa a.s. harus bertahannus?

Guru : Pertanyaan kamu yang pertama bersifat teknis, jadi kita bahas

pertanyaan yang kedua saja ya. Bertahannus itu adalah sebuah pelatihan ruhani khusus untuk melepaskan segala bentuk ketergantungan kepaa Allah

Murid : Apa yang dilakukan Musa di sana?

Guru : Tahannus itu pengkondisian situasi dan kondisi bagaimana

seseorang melepaskan semua permasalahan duniawi dean berhijrah kepada Tuhan semata. Musa meninggalkan kaumnya, bahkan anak, istrinya, keluarganya berhijrah kepada Allah. Hal yang sama dilakukan oleh Rasullullah Saw dan para nabi-nabi yang lain. Yang dilakukan di sana semata-mata berdoa bermunajat kiepaea Allah tanpa ada yang mengganggu. Seakan-akan yang ada di semesta ini hanyalah dia dan Allah

Murid : Maaf guru, sekarang ini tidak sedikit orang yang mencoba

melakukan tahannus atau bertapa tetapi setelah kembali malah menjadi dukun, paranormal, bahkan ada yang mengaku nabi atau rasul.

Sumber: Zubair (2015: 57)

Kutipan dialog 22 di atas menunjukkan seorang murid (P1) meminta maaf kepada Gurunya (P2) sebelum ia menyampaikan sesuatu pertanyaan. Sang Guru (P2)

9

Ibid.

8


(9)

mendengarkan pertanyaan itu dengan baik dan ia memberi penilaian atas pertanyaan itu kepada muridnya, dan ia bebas memilih pertanyaan untuk dijawab. Interaksi antara guru dan murid sangat akrab bisa terjadi karena keduanya menggunakan pilihan kata yang membuat satu sama lain saling merasa berharga.

5. Penutup

Dalam novel “Pengembara Makrifat” terdapat peristiwa komunikasi Guru-Murid. Dialog yang terjadi antara guru dan murid itu dapat dilihat sebagai suatu peristiwa tutur yang melibatkan hal-hal berikut:

1) Partisipan dalam peristiwa komunikasi verbal dan non verbal

2) Berkaitan denga peritiwa tutur alam dialog guru-murid interaksi antar partisipan P1 dan P2 membicarakan P3 atau hal berupan peristiwa, hal, benda ada yang bersifat forma dan informal. Hal itu dapat diketahui melalui pemilihan kosa kata.

3) Dialog guru-murid dianggap sebagai peristiwa komunikasi dalam proses belajar. Pada situasi itu guru maupun murid menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi verbal dalam menyampaikan pesan, atau pertanyaan atau penjelasan. Dalam hal ini, peristiwa tutur dalam setiap dialog itu berkait erat denga dimensi sosial penggunaan bahasa. 4) Peristiwa tutur dalam dialog itu dapat dikatakan bersifat dua arah

karena guru sebagai penutur dan murid sebaga mitra tutur atau sebaliknya.

5) Dialog dalam “Pengembara Makrifat “ mengandung penggunaan bahasa dalam dimensi budaya, yaitu budaya pembelajaran, budaya antarpartisipan itu sendiri, yakni guru dean murid.

Bertumpu pada ilustrasi di atas, interaksi guru-murid merupakan peristiwa tutur yang tidak saja menggambarkan adanya proses pembelajaran, proses belajar mengajar, tetapi ada juga proses penyampaian dan penerimaan pesan yang melibatkan aspek di luar bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi dalam menyampaikan informasi. Aspek di luar bahasa yang terpenting adealah hospitalitas berbahasa (language hospitality). Aspek hospitalitas berbahasa diartikan sebagai tindak tutur yang mengandung nilai-nilai universal kesantunan berbahasa dalam proses pembelajaran. Dalam setiap interaksi manusia, baik penutur maupun mitra tutur memiliki hak untuk dihargai, dan dihormati. Artinya, baik penutur maupun mitra tutur perlu bersikap santun. Kesantunan berbahasa sebagai sesuatu yang bersifat semesta perlu ada dalam setiap interaski komunikasi. Setiap partisipan dalam peristiwa komunikasi mempunyai konsep kesantunan sesuai dengan latar belakang sosial budayanya.

Hal itu akan tercermin melalui pilihan-pilihan kata yang digunakan saat bertindak tutur. Pemilihan kosa kata bernuansa santun sangat membantu seseorang untuk merasa dihargai. Tidak tutur direktif dalam bahasan ini merupakan cara bertindak yang pada dasarnya untuk tujuan meminta, memaafkan,


(10)

menyarankan, mengarahkan, bahkan tidak menyetujui perlu adanya pemilihan kata yang diarahkan pada kesantuan berbahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, P and Levinson, S.C. 1987. Politeness: Some Universal in Language

Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Cummings, L. 2009. Pragmatik Sebuah Perspektif Mutlidisipliner. Terjemahan Eti Setiawati dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta

Kurniamala, Ahyati Niswariyana. 2014. “Tindak Tutur Direktif Kepada Siswa di SMP Islam Nurul Hikmah Langko Ditinjau dari Kesantuan Berbahasa” dalam Prosiding Bahasa dan Sastra dalam Era Teknologi. Mataram Universitas Mataram.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia Supriadi, Asep. 2014. “Takmilah: Membangun Teori Sastra Islam di Indonesia”.

Dalam Prosiding Seminar Internasional Pendidikan Berbasis Keragaman

Budaya Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Fakultas

Tarbiyah Univeristas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Zubair. 2015. Pengembara Makrifat. Jakarta: Adabia Press dan Rabbani Press.


(1)

sebagai murid? P2 dengan tenang menjawab pertanyaan P1: “Menjadi murid berarti kamu punya keinginan serius untuk belajar”. P1 maupun P2 melakukan pilihan kata yang santun mengajukan pertanyaan dan memberikan respon berupa jawaban.

Data 2, Dialog 1 ‘Ego Hijab Kebenaran’

Murid : Salam Guru. Ada kawan saya bertanya begini, Ego itu apa sih? Kok bisa menjadi dinding tembok yang menghalangi kebenaran hakiki?

Guru : Ego itu adalah perasaan memiliki sesuatu. Merasa memiki harta padahal harta itu adalah milik-Nya, merasa memiliki ilmu padahal ilmu itu adalah milik-Nya, merasa memiliki kekuatan padahal segala daya dan upaya adalah milik-Nya jua dan lain-lain.

Murid : Dari mana datangnya Ego tersebut Guru?

Guru : Egi itu muncul dari kolaborasi antara akal dean nafsu yang kemudia ditunggangi oleh setan

Murid : Prosesnya bagaimana?

Guru : Manusia diberi fasilitas oleh Tuhan untuk dimanfaatkan dalam menjalani tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Fasilitas tersebut adalah tiupan ruh-Nya, berupa sifat hayat atau hidup, qudrah atau daya, iradah atau kehendak, dan ilmu atau pengetahuan, sama’ atau pendengaran, bashar atau penglihatan dan kalam atau ucapan. Sifat-sifat tersebut lalu dibungkus oleh akal dan nafsu. Jadi akal dan nafsu pun adalah fasilitas.

Sumber: Zubair (2015: 5)

Dalam data 2 dialog 2 murid mengajukan pertanyaan kepada guru. Situasi itu terjadi karena murid ingin mengetahui apa arti ego dalam kaitannya dengan pencarian kebenaran. Murid tersebut disingkat (P1) menyampaikan pertanyaan temannya yang bertanya tentang arti ego. P1 bertanya kepada P2 dengan didahului salam : “Salam Guru.” Meskipun P2 tidak membalas salam P1, namun keadaan itu tidak membuat P1 merasa kecewa karena pertanyaan P1: “Apa arti Ego”, dijawab oleh P2 dengan santun dan diberi penjelasan yang memadai sehingga P1 paham makna Ego itu. P1 maupun P2 melakukan pilihan kata yang santun mengajukan pertanyaan dan memberikan respon berupa jawaban.

P2 banyak melakukan pilihan kata yang berasal dari bahasa Arab yang diberi maknanya dalam bahasa Indonesia. Hal itu terdapat dalam pilihan kata berupa kata hayat, qudrah, iradah ilmu, sama’ bahsar dan kalam. Pilihan kata itu menunjukkan bahwa baik P1 maupun P2 adalah sosok-sosok yang mengerti bahasa Arab dan konteks pencarian kebenaran berada dalam konteks agama Islam.


(2)

2) Mengarahkan (Requirements)

Tindak ujar yang termasuk kategori requirement antara lain memerintah, menghendaki, menuntut, mendikte, menginstruksikan, mengatur dan mensyaratkan. Tindak tutur requirement merujuk kepada penutur bermaksud agar petutur atau mitra tuturnya bersedia menyikapi ujaran penutur sebagai alasan untuk bertindak, dengan fokus ujaran penutur dijadikan sebagai alasan penuh untuk melakukan suatu tindakan. Uraian berikut ini merupakan tindak tutur requirement

Data 3, dialog 2 ‘Kebenaran yang Menenteramkan’

Guru : Sekarang saya tanya kamu, setelah membaca berbagai kita dan penjelasannya, apakah kamu sudah mengenal Tuhanmu? Apakah setelah membaca pengalama spitirtual para kekasih Tuhan, kamu sudah kenal Tuhanmu? Apakah setelah membaca buku filsafat, berdiskusi dan merenung, kamu sudah kenal Tuhanmu, setelah semua itu kamu lakukan pa kesimpulan kamu tentang Tuhan? Murid : Kesimpulan saya adalah Tuhan itu ada.

Guru : Apakah kesimpulan kamu bahwa Tuhan itu ada otomatis kamu juga sudah kenal Tuhan?

Murid : Tuhan itu ada hanyalah kesimpulan akal saya saja Guru…

Guru : Nah, pengenalan pada Tuhan itulah yang disebut dengan rasa bertuhan.

Sumber: Zubair (2015: 8)

Data 3 dialog 3, pada baris ke delapan guru melakukan requirement khususnya mengarahkan murid untuk membaca barbagai buku yang membahas “Pengenalan pada Tuhan Melalui Hati Nurani. Tindak ujar guru (P1) itu dilakukan oleh sang murid (P2) dengan melakukan banyak baca buku menyangkut pokok bahasan yang diarahkan oleh guru (P1). Setelah membaca banyak buku, sang murid (P2) dapat mengetahui bahwa sosok Tuhan itu ada menurut cara yang ditariknya berupa sebuah kesimpulan akal. Lalu, guru (P2) menjelaskan bahwa pengenal Tuhan seperti yang dipaparkan oleh muridnya disebut denga rasa bertuhan.

Dalam dialog P1 dan P2 menggunaka pilihan kata yang bersifat langsung. Artinya kata yang dipilih itu sudah dipikirkan oleh para penutur sehingga maksud atau pikiran seseorang dapat diutarakan secara tepat an ekonomis.

3. Menyarankan (Advisories)

Aspek lain dari tindak ujar direktif adalah advisories. Yang termasuk aspek advisories adalah tindak tutur menasehatkan, memperingatkan, mengusulkan, menyarankan, dan mendorong. Dalam aspek advisories hal atau sesuatu yang diungkapkan penutur atau (P1) bukan menjadi harapannya bila mitra


(3)

tutur melakukan tindakan tertentu, namun keperacayaan bahwa melakukan sesuatu itu merupakan hal yang baik, bahwa tindakan itu untuk kepentingan mitra tutur itu.8 Berikut ini merupakan dialog yang berisi advisories tipe menyarankan.

Data 4, dialog 8 ‘Sesat dalam Pencarian’

Murid : Salam Guru, semoga kasih dan berkah Allah untuk kita

Guru : Amin. Kalau tidak salah, yang akan kita bahas tentang adanya para pencari Tuhan yang tersesat dalam pencariannya, Bukan? Murid : Betul Guru. Banyak orang yang telah berniat dan berusaha

berdiri di depan gerbang Sang Raja, tetapi bermacam-macam pula mereka temui. Ada yang mencari Tuhan dengan mengumpulkan ilmu sehingga menjadi ahli ilmu, tapi dia semakin sombong denga ilmunya seakan-akan dialah yang paling dikenal dengan Tuhan? Ada juga yang berniat dan berusaha melalui ibadahnya, sehingga merasa dialah yang paling dekat dan disayangi Allah

Guru : Terus selanjutnya,

Murid : ada juga yang pergi bertapa, meditasi, berkhalwat dan sebagainya. Akhirnya, di antara mereka ada yang kembali dengan menyanding diri sebagai nabi, rasul, ratu adil, imam Mahdi dan lain-lain

Guru : Memang, perjalanan menuju Tuhan itu bagai menempuh belantara dalam kegelapan, banyak duri terjal, berkelok, dan penuh dengan muslihat

Murid : Lalu, bagaimana menempuh perjalanan seperti itu, guru?

Guru : Di sinilah perlunya seorang guider atau pendamping. Pendamping ini mestilah orang yang pernah melalui jalan-jalan tersebut. Kalua tidak, perjalanan kamu pasti akan tersesat.

Sumber: Zubair (2015: 23)

Data 4 dialog 8 mengilustrasikan guru (P1) memulai tindakan menyarankan atau mengarahkan kepada muridnya (P2) untuk membicarakan tentang “Pencarian Tuhan”. P1 menggunakan kalimat tanya yang mempunyai fungsi untuk mengarahkan titik persoalan kepada P2 mengenai hal atau peristiwa yang menjadi pokok pertanyaan, contoh: “Kalau tidak salah, yang akan kita bahas tentang adanya para pencari Tuhan yang tersesat dalam pencariannya, Bukan?” Selanjutnya P2 melakukan tindakan seperti yang diharapkan oleh P1 dengan kesadaran penuh. Guru (P1) memilih kata-kata yang terdengar santun di telinga P2 sebagai teman bicaranya, contoh “ Guru tersebut harus menjalankan syariat dengan baik, memiliki akhlak yang mulia, dan tidak memiliki kepentinga duniawi dalam dakwahnya. Allah berfiman “Ikutilah orang yang tidak menuntut

8 Ibid.

7


(4)

balasan sementara mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS: Yasin: 36: 21). Atas dasar itu P2 dapat menerima nasehat yang disampaikan gurunya sebagai penutur. P2 menjawab : “O begitu ya.”…

4. Memaafkan (Permissives)

Dimensi selanjutnya dari tindak ujar direktif adalah permissives. Yang termasuk aspek permissives adalah tindak tutur yang mengijinkan, menyetujui, memberi wewenang, menganugerahi, mengabulkan, membiarkan, melepaskan, memaafkan dan memperkenankan. Dalam aspek permissives dapat dikenali melalui satuan bahasa berupa kalimat yang mengungkapkan kepercayaan penutur dan maksud penutur sehingga teman tutur yakin bahwa ujaran penutur mengandung alasan yang cukup bagi teman tutur atau petutur untuk merasa bebas melakukan tindakan tertentu.9

Data 5 Dialog 22 “Tazkiyah dan Tahannus”

Murid : Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Guru : Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh

Murid : Maaf Guru, saya siap mendengarkan penjelasan Guru tentang (1) bagaimana memasuki lembah suci yang disebut nurani; dan (2) mengapa Musa a.s. harus bertahannus?

Guru : Pertanyaan kamu yang pertama bersifat teknis, jadi kita bahas pertanyaan yang kedua saja ya. Bertahannus itu adalah sebuah pelatihan ruhani khusus untuk melepaskan segala bentuk ketergantungan kepaa Allah

Murid : Apa yang dilakukan Musa di sana?

Guru : Tahannus itu pengkondisian situasi dan kondisi bagaimana seseorang melepaskan semua permasalahan duniawi dean berhijrah kepada Tuhan semata. Musa meninggalkan kaumnya, bahkan anak, istrinya, keluarganya berhijrah kepada Allah. Hal yang sama dilakukan oleh Rasullullah Saw dan para nabi-nabi yang lain. Yang dilakukan di sana semata-mata berdoa bermunajat kiepaea Allah tanpa ada yang mengganggu. Seakan-akan yang ada di semesta ini hanyalah dia dan Allah

Murid : Maaf guru, sekarang ini tidak sedikit orang yang mencoba melakukan tahannus atau bertapa tetapi setelah kembali malah menjadi dukun, paranormal, bahkan ada yang mengaku nabi atau rasul.

Sumber: Zubair (2015: 57)

Kutipan dialog 22 di atas menunjukkan seorang murid (P1) meminta maaf kepada Gurunya (P2) sebelum ia menyampaikan sesuatu pertanyaan. Sang Guru (P2)

9 Ibid.

8


(5)

mendengarkan pertanyaan itu dengan baik dan ia memberi penilaian atas pertanyaan itu kepada muridnya, dan ia bebas memilih pertanyaan untuk dijawab. Interaksi antara guru dan murid sangat akrab bisa terjadi karena keduanya menggunakan pilihan kata yang membuat satu sama lain saling merasa berharga.

5. Penutup

Dalam novel “Pengembara Makrifat” terdapat peristiwa komunikasi Guru-Murid. Dialog yang terjadi antara guru dan murid itu dapat dilihat sebagai suatu peristiwa tutur yang melibatkan hal-hal berikut:

1) Partisipan dalam peristiwa komunikasi verbal dan non verbal

2) Berkaitan denga peritiwa tutur alam dialog guru-murid interaksi antar partisipan P1 dan P2 membicarakan P3 atau hal berupan peristiwa, hal, benda ada yang bersifat forma dan informal. Hal itu dapat diketahui melalui pemilihan kosa kata.

3) Dialog guru-murid dianggap sebagai peristiwa komunikasi dalam proses belajar. Pada situasi itu guru maupun murid menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi verbal dalam menyampaikan pesan, atau pertanyaan atau penjelasan. Dalam hal ini, peristiwa tutur dalam setiap dialog itu berkait erat denga dimensi sosial penggunaan bahasa. 4) Peristiwa tutur dalam dialog itu dapat dikatakan bersifat dua arah

karena guru sebagai penutur dan murid sebaga mitra tutur atau sebaliknya.

5) Dialog dalam “Pengembara Makrifat “ mengandung penggunaan bahasa dalam dimensi budaya, yaitu budaya pembelajaran, budaya antarpartisipan itu sendiri, yakni guru dean murid.

Bertumpu pada ilustrasi di atas, interaksi guru-murid merupakan peristiwa tutur yang tidak saja menggambarkan adanya proses pembelajaran, proses belajar mengajar, tetapi ada juga proses penyampaian dan penerimaan pesan yang melibatkan aspek di luar bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi dalam menyampaikan informasi. Aspek di luar bahasa yang terpenting adealah hospitalitas berbahasa (language hospitality). Aspek hospitalitas berbahasa diartikan sebagai tindak tutur yang mengandung nilai-nilai universal kesantunan berbahasa dalam proses pembelajaran. Dalam setiap interaksi manusia, baik penutur maupun mitra tutur memiliki hak untuk dihargai, dan dihormati. Artinya, baik penutur maupun mitra tutur perlu bersikap santun. Kesantunan berbahasa sebagai sesuatu yang bersifat semesta perlu ada dalam setiap interaski komunikasi. Setiap partisipan dalam peristiwa komunikasi mempunyai konsep kesantunan sesuai dengan latar belakang sosial budayanya.

Hal itu akan tercermin melalui pilihan-pilihan kata yang digunakan saat bertindak tutur. Pemilihan kosa kata bernuansa santun sangat membantu seseorang untuk merasa dihargai. Tidak tutur direktif dalam bahasan ini merupakan cara bertindak yang pada dasarnya untuk tujuan meminta, memaafkan,


(6)

menyarankan, mengarahkan, bahkan tidak menyetujui perlu adanya pemilihan kata yang diarahkan pada kesantuan berbahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, P and Levinson, S.C. 1987. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Cummings, L. 2009. Pragmatik Sebuah Perspektif Mutlidisipliner. Terjemahan Eti Setiawati dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta

Kurniamala, Ahyati Niswariyana. 2014. “Tindak Tutur Direktif Kepada Siswa di SMP Islam Nurul Hikmah Langko Ditinjau dari Kesantuan Berbahasa” dalam Prosiding Bahasa dan Sastra dalam Era Teknologi. Mataram Universitas Mataram.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia Supriadi, Asep. 2014. “Takmilah: Membangun Teori Sastra Islam di Indonesia”.

Dalam Prosiding Seminar Internasional Pendidikan Berbasis Keragaman Budaya Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Fakultas Tarbiyah Univeristas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Zubair. 2015. Pengembara Makrifat. Jakarta: Adabia Press dan Rabbani Press.