Status Anak Luar Nikah

38 a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. b. Kompilasi Hukum Islam KHI pasal 100, menyebutkan anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya Pada akhirnya bila dicermati dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang hukum perkawinan, menyatakan bahwa status nasab anak di luar nikah mempunyai hubungan keperdataan hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan ini biasa disebut dengan kekuasaan orang tua yakni timbulnya hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Implementasinya adalah bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan ibu dan keluarga ibunya. Agaknya dapat dinyatakan mqfttum mukhalafah dari pernyataan tersebut bahwa anak itu tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya dalam bentuk nasab, hak dan kewajiban secara timbal balik. Secara implisit dapat ditegaskan bahwa hampir tidak ada perbedaan antara hukum Islam dengan hukum perkawinan nasional dalam menetapkan nasab anak di luar nikah, walaupun tidak dinyatakan secara tegas hubungannya dengan bapak biologis dalam pasal tertentu. 39

E. Penjelasan Atas UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawian

Penjelasan Umum : 1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku berbagai golongan dalam masyarakat kita. 2. Dewasa ini berlaku sebagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah seperti berikut: a. bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum agama yang telah diresipiir dalam Hukum Adat; b. bagi orang-orang Indnesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat; c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia S.1993 Nomor 74; d. bagi orang Timur Asing Cina dan warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan; e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hokum adat; f. bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengam mereka berlaku kitab undang-undang hukum perdata. 40 3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatukan pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawina ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan- ketentuan Hukum Agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan. 4. Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntunan zaman. Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut: a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawina adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa- peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, 41 kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan. c. Undang-undang ini menganut azas monogami. hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agamadari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seoarang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan di antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan.Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubungan dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 Sembilan belas tahun bagi pria dan 16 enam belas tahun bagi wanita. e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip 42 untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu seta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan. f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan di putuskan bersama oleh suami-istri. 5. Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang- undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada. 43

BAB III JUDICIAL REVIEW DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Pengertian Judicial Review

Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang- undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi MK. Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung MA. Lebih jauh simak artikel perbedaan judicial review dengan hak uji materil. Secara teori, lembaga peradilan – baik MK maupun MA - yang melakukan judicial review hanya bertindak sebagai negative legislator. Artinya, lembaga peradilan hanya bisa menyatakan isi norma atau keseluruhan norma dalam peraturan perundang-undangan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi. Mereka tidak boleh menambah norma baru ke dalam peraturan perundang-undangan yang di-judicial review. Sementara, legislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative review ke Dewan Perwakilan Rakyat DPR –dan tentunya pemerintah dalam UUD 1945, pemerintah juga