Putusan mahkamah konstitusi terhadap status anak di luar persepektif maqasid syari'ah

(1)

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP STATUS ANAK LAHIR DI LUAR NIKAH PERSPEKTIF AH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Ahmad Saidi NIM : 1111044100024

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (A H W A L S Y A K H S I Y Y A H) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1437 H/2015 M


(2)

PUT.US$ hfrAWAIlNAE *ONSffiTUSI TENSABAP STATI'S ANAK

DI I,UAR NIKAH PERSPEKTIF

MALAfr

SYANI' AII

!

SkriPsi

Diajukan kepada Fakuttas Syari'ah dan IIu*$m Untuk ilrcmperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.SV)

Oleh:

Aham*d$eldi tr\HlI: 111104r*100024

PROGRAM S"UDI HI'KUM KE

(auwAL

YAKtSIYyAE)

rETdg,TAS SYAruAE I}AN U{JI(UM

l' UilIWDRSITAS ISLAM NSGEru

SYARIF IIIDAYATI.}LI,AH

JAKAATA

?0t5vt.tr437 H.

i

t.g

{u

F


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul *PUTUSAN

MAHKAMAH

KoNsTITUsI TERHADAP

STATUS

ANAK

LAHIR

DI

LUAR NIKAH

PERSPEKTIT' MAQASID

sYAM'Ar? telah diujikan dalam Sidang Munaqashah Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN{) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal t 5 Oktober

2ol5i

2

Muharram 1437 H. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syaxat

memperoleh gelar sarjana syariah (s.sv). pada program studi Hukum Keluarga.

PANITIA UJIAI\ MTINAQASHAH

t{tl

[s.

1. Ketua

2. Sekretaris

3. Pembimbing

4. Penguji I

5. Penguji II

Dr. H. Abdul Halirn M.Ae NIP. 19670608 199403 1005 Arip Purkon. M.A

NIP. 19790427 200312

t

002

Dr. Asmawi. M. As

NIP. 19721010 199703 I 008 Dr. Sudirman Abbas. M.A. NrP. 19691201 199903 1003 : Dr. Hj. Mesraini. M.Ae.

NrP. 1976021 320031 2 2ot

i,

akultas Syariah dan Hukum


(4)

Nama

NpvI

Konsentrasi

Prodi

Fakultas

Ahmad Saidi t1 1 1044100024 Peradilan Agama

Hukum Keluarga (Akhwal Al-Syahsiyah) Syari'ah dan Hukum

4'

Judul skripsi : Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Status Anak di Luar

Perspektif Maqaqid Syari'ah

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1.

Skripsi

ini merupakan

karya asli saya sendiri yag diqjukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syari'ah (S.Sy) di Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.

Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, maka

saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

lu,

Ahmad Saidi

+'

ill


(5)

iv ABSTRAK

Ahmad Saidi. NIM 1111044100024. P rsp kt f q s r ‘ h

Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Status Anak di Luar nikah.

Program Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah). Konsentrasi Peradilan Agama. kult s r ˊ h n Hukum, n v rs t s Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436/ 2015 M..

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui Putusan Mahkamah Konstitusi

tentang anak hasil di luar nikah m nurut q s r ‘ h yang mana dalam

Putusan MK ini juga dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya jika dapat pengakuan dari ayah biologisnya, bukti-bukti lain, atau dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbeda dengan hukum islam yang berlakunya sebelumnya yang menasabkan anak tersebut kepada ibunya saja. Dalam penelitian

ini penul s m nfokusk n p n l t n untuk m ng t hu b g m n q s

r ‘ h m m n ng putus n hk m h Konst tus t rh p st tus n k l h r luar nikah

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, yaitu menggunakan data

berupa buku-buku atau kitab-kitab tent ng m q s s r ˊ h, buku-buku tentang

fikih serta buku-buku lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dan sifatnya perspektif. Sedangkan teknik dan pengumpulan data adalah mereduksi berbagai ide, teori, dan konsep dari berbagai literatur yang menitik beratkan pada proses perbandingan antara dalil-dalil satu antara para ulama lalu dianalisis

melalui metode al- - . Dan mengambil pendapat-pendapat yang

lebih atau menggabungkannya apabila hal tersebut memungkinkan.

Hasil p n l t n m n mpulk n b hw putus n hk m h Konst tus

t rh p st tus n k l h r lu r n k h t rs but t k b rt nt ng n ng n m q s s r ˊ h k r n l m putus n t rs but m nurut n l s p nul s Mahkamah Konstitusi mempunyai dua tujuan yaitu: pertama; dalam rangka

memelihara jiwa (hifz nafs) seperti hak nafkah, hak asuh, hak perlindungan.

Kedua; memelihara nasab (hifz nasl).

Kata Kuci: Anak luar nikah, nasab, putusan Mahkamah Konstitusi,

Sy ˊ .


(6)

v

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. atas segala rahmat dan kemudahan dari-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan pada junjungan Nabi Besar Muhammad saw., para keluarga beliau, para sahabat beliau yang mulia, dan umat beliau yang mengikuti dan mengamalkan sunnah dan ajarannya hingga hari akhir nanti.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari benar bahwa tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak terkait, penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Karena berkat arahan, bantuan, dan motivasi yang diberikan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna mendapatkan gelar Strata Satu (S1) di jurusan Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis Syafiuddin dan Syamsiyah, yang telah memberikan banyak kebaikan kepada penulis yang tak bisa penulis sebutkan seluruhnya dan tak akan pernah bisa penulis balas seutuhnya. Terimakasih banyak Ayah dan Ibu, semoga Allah swt. memberikan pahala yang berlimpah atas amal kebaikan kalian kepada anak-anak kalian. Aamiin. begitu juga saya mengucapkan terimakasih kepada:


(7)

vi

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga

(Ahwal Syakhshiyyah) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, selalu memberikan dukungan kepada penulis selama perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

3. Arip Purkon, SH,I., MA., selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga

(Ahwal Syakhshiyyah) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, selalu pelayanan terbaiknya bagi dalam melayani mahasiswa khususnya dalam menyelasaikan skripsi ini.

4. Dr. Asmawi, M.Ag selaku dosen Pembimbing saya dalam menyelesaikan

skripsi ini yang selalu memberikan arahan khusus dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Saudara-Saudara kandung saya Hamidah yang telah pulang duluan ke

rahmatullah (Allahummaghfir laha war ham ha), Moh. Salim, Zainullah,

R fˊ tun, R h m h, n Kho ru n ng t l h b n k m mb r k n motivasi dan selalu mendoakan saya. sehingga saya lebih bertambah semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Sehabat-sehabat sekaligus senior saya Hengki Ferdiansah dan Muhammad

Karim Munthe yang selalu memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini

7. Sahabat-sahabat mahasiswa Hukum Keluarga khususnya jurusan peradilan


(8)

vii

Besar harapan penulis bahwa skripsi ini dapat menambah keilmuan terutama bagi rekan-rekan mahasiswa Peradilan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis sadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, penulis menyadari pentingnya kritik dan saran yang bersifat membangun agar dapat menjadi masukan di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pihak lain pada umumnya.

Jakarta, 15 Juli 2015


(9)

viii DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR IS...viii

BAB I: PENDAHULUAN ...1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D.Tinjauan Pustaka ... 10

E. Kerangka Konseptual ... 12

F. Metode Penelitian ... 13

G.Sistematika Penulisan ... 15

BAB II: .17

A.Pegertian ... 17

B.Tujuan ... 22

C.Metode Al-Taghlîb atau al-Tarjîh - ... 26


(10)

ix

BAB III: STATUS ANAK LAHIR DI LUAR NIKAH MENURUT HUKUM

ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN...47

A.Pengertian Anak di Luar Nikah ... 47

B.Macam-macam Anak di Luar Nikah ... 51

C.Status Anak di Luar Nikah ... 59

BAB IV: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP STATUS ANAK LAHIR DI LUAR NIKAH...67

A.Duduk Perkara Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Status Anak lahir di Luar Nikah ... 67

B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Status Anak lahir di Luar Nikah ... 75

C.Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No.46-/PUU-VII/2010 Menurut ... 86

BAB V: PENUTUP...101

A.Kesimpulan...101

B.Saran ...101

DAFTAR PUSTAKA ...103


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Secara umum, ajaran Islam dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu akidah, akhlak, dan syariat. Akidah berisi tentang keyakinan umat Islam secara vertikal. Akhlak berisi tentang tuntunan perilaku kepada sesama manusia. Syariat berisi tentang aturan dan sanksi bagi yang melanggar

aturan-aturan tersebut.1 Dalam memahami syariat, seseorang dituntut terlebih dahulu

mengerti sekurang-kurangnya secara global akan makna daripada tujuan-tujuan syariah itu sendiri. Maka dari itu, seorang perlu memahami ilmu tentang maqashid syariah, dalam maqashid syariah mengandung empat aspek-aspek pertama adalah tujuan awal dari syariat yakni kemashlahatan manusia di dunia dan di akhirat. Aspek kedua bahwa syariat merupakan suatu yang harus dipahami. Aspek ketiga menyatakan bahwa syariat sebagai suatu taklif yang harus dilakukan, dan aspek keempat bahwa tujuan syariat adalah membawa

manusia ke bawah naungan hukum.2

Demi mencapai kemashlahatan manusia, Islam sangat aktif dalam membahas hal tersebut, dari sekian banyak pembahasan tersebut salah satu yang sangat penting adalah tentang nasab, karena hal ini menyangkut masalah

1

M. Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam (Jakarta : AMZAH 2012), h.1

2

Asafri Jaya Bakri, Ko sep M q s r ’ Me urut A -Syatibi ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1996), h. 70.


(12)

kehidupan manusia dari sejak dalam kandungan sampai ia meninggal. Disamping nasab merupakan nikmat dan karunia yang paling besar, nasab juga merupakan hak paling pertama yang harus diterima oleh seorang bayi agar

terhindar dari kehinaan dan ketelantaran3. Sebagaimana orang tua menjaga dan

mendidik anaknya agar sama dengan anak-anak lain yang dijaga dan dididik sampai dewasa.

Anak merupakan sebuah karunia bahkan merupakan amanah yang Allah titipkan kepada hambanya, khususnya kepada orang tuanya agar dilindungi, dirawat dan dididik sampai ia dewasa. Bahkan lebih dari pada itu, anak bukanlah semata kewajiban orang tua untuk melindungi dan mendidiknya melainkan juga kewajiban negara. Karena selain penyambung keturunan ia merupakan aset generasi bangsa selanjutnya sebagai aset masa depan sehingga negara wajib melindunginya agar terhindar dari segala sifat diskriminatif dan terlantar yang harus dilindungi, karena dalam diri anak melekat harkat,martabat dan hak-hak sebagi manusia yang harus dijunjung tinggi. Begitu juga bila dilihat dari kehidupan berbangsa dan bernegara. anak adalah pewaris sekaligus potret masa depan bangsa atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan

diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.4

3

Muhammad musthafa Syalabi, Ahkam Al-Usrah fi Al-Islam, Dirasah Muqaranah Baina Fiqh Al-Madahib As-Sunnah wa Al-Madzahib Al-J ’ r w A -Qanun (Bairut: Dar An-Nahdah Al-Arabiah, 1977), cet. Kedua h. 671.

4

Andi Syamsul Alam, .M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Prespektif Islam, (Jakarta : kencana,2008), h.1-2


(13)

3

Begitu besar pentingnya kehidupan anak bagi kehidupan selanjutnya maka Islam sangat mewajibkan bagi manusia dalam menjaga keturunan atau nasab sehingga masalah anak ini termasuk kewajiban yang dalam keadaan apapun anak harus dilindungi. Anak merupakan anugerah tuhan yang dijadikan sebagai pengikat silaturahmi antara kelurga, tetangga dan bahkan masyarakat.

Apaila kita melihat kenyataan di Indonesia, sungguh sangat

memperihatinkan dengan banyaknya anak-anak yang terlantar, tidak mendapat tempat yang layak, makanan yang layak dan tidak bisa sekolah sehingga terpaksa mereka mencari uang sendiri, baik dengan cara minta-minta atau mengamin, bantu-bantu mengangkat belanjaan orang, bahkan ada yang terpaksa harus jadi copet di jalanan dan tempat-tempat lain. semua itu harus mereka tanggung sendiri yang kebanyakan akibat perbuatan orang tua yang tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Anak-anak itu tidak tau apa-apa dan tidak salah apa-apa-apa-apa tapi orang tua merekalah yang salah. Sehingga menyebabkan mereka kurang mendapat perhatian dari orang tuanya lebih-lebih masalah nafkah untuk keberlangsungan hidup. Bahkan tidak sedikit dari bayi yang dibuang akibat perbuatan gelapnya dan tidak mau bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuat. Begitu tega dan gampangnya mereka melakukan hal itu. Melihat kenyataan ini, maka hal tersebut penulis jadi timbul tanda tanya apakah hal itu merupakan tujuan atau konsep kemaslahatan bagi manusia

yang ditawarkan oleh q s r ‘ h. Padahal q s r ‘ h setidaknya

menawarkan lima yang harus dicapai yang salah satunya adalah menjaga keturunan, jiwa, dan agama.


(14)

Indonesia sebagai Negara hukum dibentuk dan dicita-citakan setidaknya harus mempunyai dasar Negara hukum. Unsur-unsur tersebut sesuai dengan pendapat yang diketengahkan oleh A.V Dicey, yaitu :

a. Supremay hukum (supremacy of law).

b. Kedudukan yang sama dalam hukum.

c. Terjamin hak asasi manusia dalam hukum.5

Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, pemerintah, dan Negara untuk memberikan perlindungan

terhadap anak. Sebagai ummat islam yang hidup berdasrkan Al- ur’ n n

Sunnah, dengan orientasi h up ng m mpun tuju n m nuju “fi ad-dunya

wa al- r ”(kehidupan dunia akhirat), sebelum dikeluarkannya peraturan

tentang anak tersebut, Al- ur’ n n Sunnah telah jauh telebih dahulu

mengatur dan memerintahkan untuk memelihara anak-anaknya.

Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa apabila perempuan melahirkan anak di luar nikah, maka anaknya hanya

dinasabkan kepada ibu biologisnya dengan nasab alami.6 walaupun laki-laki

sebagai ayah biologisnya itu mengakui bahwa anak itu berasal dari hubungan biologis dengan ibu anak tersebut dan si ibu juga mengiyakannya, maka jumhur al-Fuqaha tetap berpendapat anak tersebut tidak bisa dinasabkan

5

Mariam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik.(Jakarta : Pustaka Utama, 2008),h.58

6

Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, Zad al-M ’ (B rut: u’ ss s h l-Risalah dan Maktabah al-Mnar al-Islamiyah,1987), juZ 5,h. 410.


(15)

5

kepada ayahnya,karena hubungan mereka merupakan hubungan yang tidak s r’ . P n p t n p k juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, BAB XIV tentang pemeliharaan anak, pasal 100 yang berbunyi, “ n k ng l h r lu r p rk w n n h n m mpun i hubungan dengan

ibunya dan keluarga ibunya.7 Namun, pada tahun 2012 ada suatu yang menarik

dan menjadi perbincangan masyarakat indonesia, baik akademisi, pakar hukum bahkan sangat ramai dikalangan para ulama. Hal itu adalah putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang status anak di luar nikah. Dalam hal ini MK memberi putusan bahwa:

anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan kuluarga ayahnya”.

Perkara ini diajukan oleh dua pemohon, pertama: Aisyah Mochtar Ibrahim,

yang dikenal dengan panggil Manchica Mochtar. Dia berasal dari ujung pandang yang lahir pada tanggal 20 Maret 1970, yang beralamat di jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008. Desa/Kelurahan Pondok Betung,

Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten. Kedua: Mohammad

Iqbal Ramadhan bin Moerdiono yang lahir di Jakarta, 5 Februari 1996,

7

Direktorat Badan Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Direktorat Pmbinaan Peradilan Agama, 20001), h. 51.


(16)

beralamat di jalan Camar VI Blok 12A, RT/RW 002/008, Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten.

Pemohon merasakan dan mengalami hak konstitusionalnya dirugikan dengan diundangkannya UU Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1). Pasal ini ternyata justru menimbulkan ketidak pastian hukum yang mengakibatkan kerugian pemohon berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anaknya yang dihasilkan dari hasil perkawinan. Hak konstitusional pemohon yang telah dilanggar dan dirugikan tersebut adalah hak sebagaimana dijamin dalam pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945. Berdasarkan pasal 28B ayat (1) dan (2) tersebut, maka pemohon dan anaknya memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya. Adapun konsekuensi dari ketentuan pasal 28B ayat (1) dan (2) serta Pasas 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut adalah setiap orang memiliki kedudukan dan hak yang sama termasuk haknya untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya.

Permohonan ini diajukan oleh Machica akibat dari perceraiannya dengan Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara masa Soeharto. Saat itu, Moerdiono tidak berstatus melajang, namun tengah memiliki isteri yang sah atau terikat dengan dengan perkawinan lain. Dengan asas perkawinan monogami yang dianut oleh Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang


(17)

7

Perkawinan, perkawinan Machica dan Moediono ini tidak dicatatkan di catatan

sipil di Kantor Urusan Agama (KUA).8

Lazimnya sebuah perkawinan poligami yang tidak melalui prosedur resmi, perkawinan antara Machica dan Moerdiono inipun tidak dicatatkan secara resmi. Perkawinan ini hanya mengikuti prosedur perkawinan menurut ajaran agama, yaitu agama Islam. Namun, dari keduanya lahir seorang anak yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Setelah anak ini lahir, Moerdiono menceraikan Machica, juga tanpa prosedur resmi, dan mengingkari status anak yang dilahirkan dari Machica sebagai anak yang sah. Sejak Moh. Ibal berusia dua tahun, Moerdiono bahkan tidak pernah memberikan nafkah kepada anaknya tersebut, dan pula status Iqbal pun masih belum jelas, karena Machica tidak dapat mendaftarkan anaknya di catatan sipil untuk mendapatkan akta

kelahiran, lantaran tidak ada nama ayah biologisnya.9

Putusan MK tersebut membuat penulis dilema, karena disatu sisi putusan itu menurut pandangan penulis merupakan suatu keputusan yang baik yang tidak diskriminatif bagi kehidupan anak selanjutnya baik secara materi maupun psikologis anak karena dia dengan putusan tersebut pasti mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya. Namun, disisi lain menurut doktrin hukum Islam yang notabene fikih yang penulis pelajari sejak kecil bahwa anak di luar nikah hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya saja.

8

Muhammad Nurul Irfan, Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin, Status Hukum Anak Luar Nikah di Indonesia (jakarta: Fajar Media, 2013) h. 54

9


(18)

Disamping itu putusan MK tersebut menuai pro kontra di masyarakat. Sebagian pihak pro beralasan karena putusan tersebut bisa melindungi anak dari bentuk diskriminatif, namun sebagian dari pihak kontra berpendapat bahwa putusan itu bisa menimbulkan pelegalan zina di Indonesia.

Berdasarkan uraian yang telah penulis jelaskan, Penulis merasa tertarik untuk meneliti putusan Mahkamah Konstitusi terhadap status anak di luar nikah dengan Judul skripsi :

“PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP STATUS ANAK LAHIR DI LUAR NIKAH PERSPEKTIF AH

A.Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari adanya kekeliruan dalam memahami masalah yang akan dibahas, dirasakan perlu untuk mengadakan pembatasan dan perumusan masalah tersebut sesuai dengan judul yang dimaksud. maka penulis membatasi masalanya hanya melingkupi pada Putusan MK (No.46/PUU-VII/2010) tentang anak luar nikah Judicial Review Pasal 43

ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan perspektif M q s r ‘ .

2. Perumusan Masalah

Agar lebih terarah, serta untuk menfokuskan tema permasalahan dan terciptanya efektifitas dari tema penelitian ini, serta untuk merumuskan permasalahan di atas, penulis memberikan perumusan masalah sebagai berikut:


(19)

9

a. Bagaimana deskripsi dan metode M q s r ‘ dalam Istinbath

Hukum?

b. Bagaimana pandangan Islam dan perundang-undangan tentang status

anak lahir di luar nikah?

c. Bagaimana pandangan m q s r ’ terhadap Putusan MK tentang

anak lahir di luar nikah? B.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Mendeskripsikan metode m q s r ’ dalam Istinbath Hukum

b. Menjelaskan status anak di luar nikah menurut hukum Islam.

c. Menganalisa pandangan m q s r ’ terhadap Putusan MK

(No.46/PUU-VII/2010) tentang Status anak luar nikah Judicial Review Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan.

2. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka kegunaan hasil penelitian ini baik bagi penulis, akademisi, masyarakat adalah untuk menambah khazanah pengetahuan dan menambah wawasan dan pradigma berpikir penulis dan pembaca dengan membuka dan menelaah buku-buku

dan literatur lainnya dalam bidang Akhwâl al-Syakhsiyah khususnya terkait

dengan Putusan MK (No.46/PUU-VII/2010) tentang status anak luar nikah Judicial Review Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan


(20)

masyarakat Islam di Indonesia hanya mengkaji status anak luar nikah melalui hukum Islam saja yang sudah ditulis oleh ulama-ulama beberapa abad silam. Sehingga menurut penulis perlu adanya perluasan atau kajian dari aspek lain agar pola pikir kita lebih berkembang dan tidak selalu monoton dalam kajian itu saja.

C.Tinjauan Pustaka

Sebelum melakukan penelitian ini penulis melakukan tinjaun terlebih dahulu atau penelusuran terhadap apakah pembahasan ini telah dibahas dalam skripsi-skripsi terdahulu. Dengan demikian, setelah penulis melakukan tinjaun pustaka,maka penulis menemukan beberapa buku yaitu:

Pertama, kitab ng b rju ul “Tsub t al-Nasab; Dirâsah Maqâranah

Baina al-Madzâhib al-Fiqhiah al-Arb ’ w -dzâhirîyah wa al-Zaidîyah wa Ghairiha”.Yang dikarang oleh Yasin bin Nasir bin Mahmud al-Khatib. Karya

ini mengkaji berbagai perbedaan pendapat diantara ulama-ulama klasik.10

Kedua, Buku yang berjudul , “Status Anak Luar Nikah di Indonesia

Berdasarkan Putusan MK NO.46/PUU-VIII/2010, yang dikarang oleh Muhammad Nurul Irfan, Ahmad Tholabi Kharlie, dan Asep Syaifuddin Hidayat , buku ini menjelaskan tentang status anak lahir di luar nikah sebelum

10

Yasin bin Nasir bin Mahmud al-Khatib, sub t -Nasab; Dirâsah Maqâranah Baina

al-Madzâhib al-Fiqhiah al-Arb ’ w -dzâhirîyah wa al-Zaidîyah wa Ghairiha, (Jiddah: Dar al-Bayan, 1987), h.78


(21)

11

ada Putusan MK NO.46/PUU-VIII/2010 dan setelah ada putusan dalam

konteks ketetanegaraan Indonesia.11

Ketiga, Buku yang berjudul, “Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam”,

yang dikarang oleh M. Nurul Irfan dosen kult s r ’ h & Hukum IN

Syarif Hidayatullah, Kajian ini menjelaskan tentang konsep nasab & status anak luar nikah dalam hukum sebelum dan setelah adanya Putusan MK NO.46/PUU-VIII/2010 yang disertai kajian hukum serta tanggapan MUI

terhadap putusan MK tersebut.12

Keempat, Buku ng b rju ul, “Masalah anak dalam Hukum Islam , anak

kandung, anak tiri, anak angkat, dan anak zina”, pengarangnya adalah Fuad Mohd. Buku ini menjelaskan tentang beberapa masalah hukum perdata di

Indonesia yang berkaitan dengan hukum Islam tentang anak.13

Dari beberapa kajian yang telah dilakukan di atas, penulis tidak

menemukan karya ilmiah yang menggunakan tinjauan maqashid al-s r ’ .

mengingat Negara adalah Negara yang mayoritas penduduknya muslim. Saya lihat masyarakat sangat butuh akan penelitian ini untuk lebih menambah khazanah pengetahuan khususya bagi penulis umumnya bagi masyarakat.

11

M.Nurul Irfan, dkk, Status Hukum Anak Luar Nikah di Indonesia, h.45.

12

M. Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, h.65. 13

Fachruddin, Fuad Mohd. Masalah anak dalam Hukum Islam. anak kandung, anak tiri, anak angkat, dan anak zina, h.38.


(22)

D.Kerangka Konseptual

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada kita semua untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, mulai dari suatu yang paling kecil sampai paling besar. Salah satu amanah tersebut sebagaimana termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui keturunan yang sah. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 m n t k n “ t p n k b rh k t s k l ngsung n h up, tumbuh n b rk mb ng s rt b rh k t s p rl n ung n r k k r s n n skr m n s ”.

Melahirkan anak di luar nikah merupakan suatu aib khususnya bagi keluarga dan masyakat pada umumnya. Sehingga lahir di luar nikah tersebut bukanlah hal yang sangat tidak diinginkan oleh siapapun, lebih-lebih oleh anak yang di lahirkan tersebut. Semua anak pasti ingin dilahirkan dari perkawinan yang sah seperti anak-anak lainnya.

Hukum islam yang notabene fikih memberikan kedudukan berbeda terhadap anak yang lahir di luar nikah dengan anak yang lahir dari perkawinan yang sah. Bagi anak yang lahir di luar nikah menurut ulama fiqih seperti f ’ , H mb l , n l k m ng takan bahwa anak yang lahir di luar nikah hanya mempunyai nasab dengan ibunya tidak kepada ayahnya. Hukum tersebut ditransformasikan ke dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan s b g m n P s l 43 t (1) ng b rbun “Anak yang dilahirkan di luar


(23)

13

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya”.

Maqâs îd Syarî’ merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang tujuan-tujuan syariat diturunkan. Para ulama mengatakan bahwa tujuan-tujuan dari pada

syariah itu adalah untuk kemashlahatan bagi manusia.14 tingkat kemashlatan

tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu primer ( rur t), skunder

(hajiyyât), tersier (tahsîniyyât).15

E.Metode penelitian

1. Tipe Penelitian

Untuk mengkaji pokok permasalahan, penelitian ini menggunakan metodepenelitian hukum normatif, karena penelitian terhadap azaz hukum, singkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan

perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan konsep (Conceptual

Approach).

3. Sumber

a. Sumber primer yang penulis gunakan adalah data-data yang berhubungan

langsung dengan judul yang penulis teliti diantaranya adalah Putusan

Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-III/2010, N z r t -M q s

14

Yusuf al-Qadharawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern,( Kairo: Makabah

Wabah, 1999), h.79.

15


(24)

‘ -Syâtîbî, hm R s nî, Al-Muwâfaqât fi Ushul al- r

karya Al-Syâtîbî, A - w b t -M s - r -Islâmîyah

k r uh mm ˊ R m n l-B t î, q s l- r ’ h l -Isl mî h k r uhmm b n T h r b n ˊ s r, K t b n ng-Undang perdata (Burgerlijk Wetboek), UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam

b. Adapun Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung

memberikan data kepada pengumpul data.16 Dan sumber data skunder

yang penulis gunakan dalam penulisan karya ilmiah ini berupa bahan pustaka yakni buku-buku, kitab-kitab, baik yang bersifat klasik atau kontempor, makalah-makalah, dan artikel-arikel yang berkaitan dengan judul karya ilmiah ini.

c. Metode Penulis

Adapun metode penulisan yang akan digunakan dalam penelitian ini berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi yang di terbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012

d. Analisis Data

Analisa data yaitu suatu cara yang dipakai untuk menganalisa,

mempelajari serta mengolah kelompok data tertentu, sehingga dapat diambil kesimpulan yang kongkret tentang permasalahan yang diteliti

16


(25)

15

dan dibahas. Metode analisis data yang penulis gunakan adalah deskriktif kualitatif. Dalam penelitian ini data yang diperoleh yang diperoleh baik data primer maupun skunder dianalisis secara kualitatif

dengan memberikan gambaran17 terhadap perkara status anak di luar

nikah dalam putusan Mahkamah Konstitusi No . 46/PUU-VIII/2010 TENTANG JUDICIAL REVIEW UU NO 1 TAHUN 1974 PASAL 43 AYAT (1) , sehingga mendapat kejelasan terhadap perkara tersebut. Adapun metode yang penulis gunakan dalam menganalisa Putusan MK

tersebut adalah metode Taghlîb atau - r -m q s .

F. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab termasuk kesimpulan.

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan, meliputi latar belakang, permasalahan, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, review studi terdahulu, metologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, meliputi pengertian anak luar nikah menurut ulama dan peraturan perundang-undangan, status anak luar nikah menurut ulama fiqih dan peraturan perundang-undangan,

17

Muhammad Muhdar, Metode Penelitian Hukum. Balikpapan, Maret, 2010,

http://Uniba_bpn.ac.id/pengumuman/BAHAN_KULIAH_MPH.Pdk. diakses pada 22/01/2015,


(26)

Bab ketiga, membahas tentang kajian teoritis meliputi pengertian,

kaidah-kaidah, dan konsep M q s r ‘ dalam memproduksi hukum.

Bab keempat, menjelaskan tentang argumentasi Mahkamah Konstitusi terhadap status anak lahir di luar nikah, baik dari segi perlindungan anak, keberlangsungan hidup, maupun orientasi kemashlahatannya, kemudian

dianalisis melalui pandangan m q s s r .

Bab kelima, merupakan penutup pembahasan yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan tersebut diperoleh setelah menganalisa data yang diperoleh dan merupakan jawaban pada rumusan masalah, sedangkan saran adalah harapan penulis terhadap jalan keluar pada pokok permasalah ini


(27)

17 BAB II

KONSEP AH DALAM MEMPRODUKSI HUKUM A.Pengertian Maqâ id Al syarî’ah

Secara bahasa, lafazd m q s (دصاقم) m rup k n j m ’ dari lafadz

m qs (دصلٌ) yaitu m s r mîmîy (ييٌ ردص ) dari lafadz f ’ l q s (دصك)

yaitu q s , qs u, q s , w m qs (دصلٌو ادصك دصلي دصك) yang berari

keinginan yang kuat, berpegang teguh dan sengaja.1 Namun, namun dapat juga

diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (q s da ilaihi).2

Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah

pokok kehidupan.3 P ng rt n s r ’ h ng n r l m rt b h s n

tampaknya m ksu k n untuk m mb r k n p n k n n p nt ngn s r ’ t

dalam memperoleh suatu yang penting yang disimbolkan dengan air. Penyimbolan ini cukup tepat karena merupakan unsur yang penting dalam

kehidupan.4

Sebagaimana firman Allah SWT:

يبس ا دصك ها ىو

و

Artinya:

1H s m b n s ’ zh r,

Maq s d al- r ’ ‘ -Imâm al-Haramain wa atsaruha fi al-Tasarrufât al-Maliyyah, (Riyadh: Maktabah al-Rush, 2010), h.23.

2 hmu Yun s,

Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT.Mahmud Yunus Wadzuryah, 1990), h. 243.

3

Totok, Kamus Us l Fiqh (Jakarta: Dana Bakti Wakaf, 2005), h.97.

4

Asafri Jaya Bakri , Ko sep M q s r ’ Me urut A -Syatîbî, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996) h.63.


(28)

Allah lah yang menjelaskan jalan yang lurus.

r ’ h s c r b h s berarti -M t w ’ t addziru ila al-mâ’ ( عضأتما ءاما ىا رذح) yang berarti jalan menuju air. Adapun menurut al-Raisunî; dari segi

bahasa m q s s r ’ b r rt m ksu t u tuju n s r ’ tk nn hukum

islam. karena itu, yang menjadi bahasan utama didalamnya adalah mengenai

masalah hikmat dan ‘ t ditetapkannya suatu hukum.5

Sedangkan sy r ’ h m nurut Yusuf l-Qardhawî kata al-syarî’ h b r s l

dari kata s r a al-s ’ yang berarti menjelaskan sesuatu, atau diambil dari

al-s r ah dan al-syarî ah dengan arti tempat sumber air yang tidak pernah

terputus dan orang datang ke sana tidak memerlukan alat.6 Terkadang bisa juga

diartikan sumber air, di mana orang ramai mengambil air. Selain itu al-syarî ah

berasal dari akar kata syara a, yasri u, syar an yang berarti memulai

pelaksanaan suatu pekerjaan,7 dengan demikian al-syar ah mempunyai

pengertian pekerjaan yang baru mulai dilaksanakan. Syar ah juga berarti

menjelaskan, menerangkan dan menunjukkan jalan.Syar a lahum syar an

berarti mereka telah menunjukkan jalan kepada meraka atau bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau peraturan.

Dalam periode-periode awal, syar ah merupakan - us s al-muqaddasah

dari al- ur’ n n l-Sunnah yang mutawatir yang sama sekali belum

5

Ahmad Raisuni, N z r t -M q s ‘ -Syatibî, (Rabatah: Dar al-Aman, 1991), h.67.

6

Yusuf Al-Qardhawi, M q s r ’ , ( Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 12.

7


(29)

19

dicampuri oleh pemikiran manusia.8 Dalam wujud ini syarî’ h s but

al-tarîqah al-mustaqîmah.9 Muatan syarîˊah dalam arti ini mencakup aqidah, ‘ m îyah, dan khuluqîyah.10 Inilah yang dimaksud oleh firman Allah antara lain surat al-jasiyah ayat 18 yang berbunyi:

َنٍَُٔيْعَ ا ََيِ

َا َءأَْْ

َّ

َ

ث ْعِبَّتَت اَو آَْعِبَّتاَف ِرْ

ْا ٌََِ مةَعيِ ََ

َ ْ

َ َى َكاَِْيَعَج ًُ

“Kemu m mu ber t s su tu s ari at (peraturan) dari urus ( g m ) tu, m ut s r ’ t tu m ut s r at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Al-J ts 45 : 18) ”

Dalam surat al-Syura ayat 13 ditegaskan:

ًُْ َى َعَ ََ

ََُٔ َو ًَيِْاَرْبِح ِِّب اَِْيصَو اٌََو َمْ

ََِح اَِْيَحْوَث يَِاَو اًحُُٔ ِِّب ََو اٌَ َِيِدا ٌََِ

ِّيِ أُكرَفَتَ

اَو ََيِدا أٍُيِ

َ

َ

ث ْن

َ

ث ََيِعَو

“D te me s r t b g mu te t g g m p g te diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: tegakan g m g mu berpec be te t g ”

Menurut Syekh al-Azhar, Mahmoud Syaltout, mengenai pengertian

syariˊah adalah aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah untuk dipedomani

manusia dalam mengatur hubungan dengan tuhan, dengan manusia baik sesama muslim atau nommuslim, alam dan seluruh kehidupan. Ibn al-Qayyim

menegaskan bahwa syariˊah itu berasaskan kepada hikmah-hikmah dan

maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia atau di akhirat. Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk

8

Asafri Jaya Bakri , Konsep Maqâs r ’ , h.61.

9

ˊAli al-Sayis, N s ’ -Fiqh al-Ijtihad wa Atwarah (K ro: jm ’ Buhus al-Islamiyah,1970), h.8.

10


(30)

menjamin syariˊah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia.11 Sementara Al-Izz bin Abdul Salâm juga berpendapat demikian, beliau

mengatakan "Syarîˊat itu semuanya maslahah, baik dengan menolak kejahatan

atau menarik kebaikan."12 Syariat adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah

bagi hamba-Nya tentang urusan agama. Atau hukum agama yang ditetapkan

dan diperintahkan oleh Allah. m q s r ’ ” l h tuju n ng m nj

target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia. Baik berupa perintah, larangan, dan mubah, untuk individu, keluarga,

jamaah, dan umat.13

Secara istilah m q s r ’ yaitu tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia

yang diletakkan Allah yang terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan

pemenuhan manfaat umat. Atau tujuan dari Allah menurunkan syar at, dimana

menurut al-Syatibî tujuan dari pada maqashid al-syar ah adalah untuk

mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.14 Wahbah al-Zuhailî

mengatakan bahwa maq s id al-syar ah adalah nilai-nilai dan sasaran s r ’

yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya.

11

Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'în, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah,1996), h. 37.

12

Al-Izz bin Abdul Salam, Qaw id al-Ahkam fi Masalih al-Anâm, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, t.t), Jilid 1, h. 9.

13

Yusuf al-qordhowi, fiqih Maq s d Syar ah. h.13.

14

Al-Syatibi, Al-Muawâfaqât s l al-Syarî’ , (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), Juz I ,h. 3


(31)

21

nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah,

yang ditetapkan oleh al-syâr ’ l m s t p k t ntu n hukum.15

Ibn Asyur mendefinisikan m q s sebagai "Segala pengertian yang dapat

dilihat pada hukum-hukum ng s r ’ tk n p k s luruh nn t u

sebagian besarnya". Ibnu Asyur membagi m q s -s r menjadi

dua:ˊâmah (umum) dan s ah (khusus). I'lal al-Fasi mendefinisikan maq s id

sebagai "matlamât syarî’ dan rahasia-rahasia pensyarîˊatan setiap hukum

(Islam)". Sama dengan Ibn ˊAsy r beliau juga telah membagi maqasid kepada

maq s id umum dan maq s id khusus. maq s id umum ialah matlamât syarîˊah

secara umum, sedangkan maq s id khusus ialah rahasia di balik setiap hukum.

Definisi ini telah dikritik oleh ˊIwad bin Muhmmad al-Qarnî. Beliau

mengkritik dengan mengatakan bahwa perkataan rahasia kurang sesuai

digunakan, karena rahasia bukanlah maq s id secara mutlak. Ada kalanya

rahasia itu menjadi maq s id dan di sisi lain ia bukanlah maq s id.16

Yusuf Al-Qardhawî mendefenisikan maq s id al-syar ah sebagai tujuan

yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan dan mubah, untuk

individu, keluarga, jamaah dan umat.17 atau juga disebut dengan hikmat-hikmat

yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum, baik yang diharuskan ataupun t k. K r n l m s t p hukum ng s r ’ tk n ll h k p h mb n

15

Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh Islami, (Damaskus : Dar al Fikri, 1998), Juz II, h. 1045

16

I'wad bin Muhammad al-Qarni, al-Mukhtasar al-Wajiz fi Maqasid al-Tasyri', (Jeddah: Dar al-andalus al-Khadra', 1419), h. 18.

17


(32)

pasti terdapat hikmat, yaitu tujuan luhur yang b l k hukum. l m s l

Fiqih mendefinisikan maq s id al-syar ah dengan makna dan tujuan yang

k h n k s r ’ l m m ns r ’ tk n su tu hukum b g k m s lahatan

umat manusia. maq s id syarî ah di kalangan ulama ushul fiqih disebut juga

asrâr al-syar ah, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum yang t t pk n ol h s r ’, b rup k m shl h t n b g m nus , b k un m upun kh r t. s ln , s r ’ m w j bk n b rb g m c m b h

dengan tujuan untuk menegakkan agama Allah SWT.18

B.Tujuan Maq d al Syarî ah

Apakah s r ’ t mempunyai tujuan tertentu dari hukum-hukum yang

s r ’ tk nn ? B k b rup p r nt h w j b m upun sun h; t u b rup larangan, yag diharamkan dan dimakruhkan; atau perbuatan-perbuatan yang mubah. Dalam hal ini jumhur ulama salaf maupun khalaf sepakat, aturan hukum dalam syariat islam itu mempunyai tujuan tertentu. Tujuan syariat islam itu dapat dipahami da diterima oleh akal pikiran manusia, kecuali hal-hal yang

bersifat t ’ bbu dan hikmahnya tidak m qul (tidak masuk akal). Sebagian

fukuha sepakat mengenai pemikiran tersebut, kecuali mazhab al-Dzahîrîyah.

Mazhab al-Dzahîrîyah ini terbawa arus pemikiran umum, yang mengatakan

bahwa semua hukum yang tertuang dalam syariat Islam itu mempunyai tujuan.

Sekalipun hal-hal yang bersifat t bbu dan m q l.19

18

Yusuf al-Qadharawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern,( Kairo: Makabah Wabah, 1999), h.79.

19


(33)

23

Secara umum, tujuan-tujuan hukum dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yang luas. Dalam sub kategori yang pertama, Syatibî membahas maksud Tuhan yang sebenarnya dalam menetapkan hukum, dalam hal ini untuk melindungi kemaslahatan manusia (baik yang berkenaan dengan duniawi

maupun agama). Sepanjang yang diakui oleh prinsip-prinsip rur t,

hajiyyât, tahsîniyyât. Dalam sub kategori yang kedua, Syatibi membicarakan tentang maksud Tuhan membuat syariat. Dengan demikian syariat mestilah dapat dipahami oleh orang awam dan tidak boleh dimengerti oleh kalangan tertentu. Jadi, tujuannya adalah agar orang-orang yang beriman dapat mengenali hukum Allah, karena jika mereka tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh hukum itu, maka berarti mengabaikan hukum itu sendiri. Sub kategori yang ketiga cenderung mudah dipahami, dan pada sebagian besar dari tulisan bagian ini mengatakan bahwa dalam menurunkan hukumnya

menghendaki agar umat Islam mematuhi peraturannya secara menyeluruh.20

Begitulah semestinya pelanggaran atas hukum secara sengaja dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan jenis pelanggarannya tersebut. Dapat pula dinyatakan bahwa ada perbuatan yang praktiknya melanggar hukum padahal niatnya tidak demikian. Tampak bahwa kehendak manusia dalam wacana Syatibî sejauh ini dijelaskan dengan menjadikan sufi sebagai contoh. Namun disini dia melanjutkan diskusi tentang siasat hukum (biyal) dalam hubungan yang erat, ataupun tidak, antara kehendak Tuhan dan keinginan manusia. Dan dijelaskan pula bahwa sasarannya kali ini berpindah dari kaum sufi kepada

20


(34)

kelompok ahli fiqih yang dianggapnya telah bertindak berlebih-lebihan dalam menyepelekan hukum, barangkali dalam menyampaikan kritikannya pada para ahli fiqih tersebut. Ia berpendapat bahwa tujuan utama biyal adalah untuk mencegah berlakunya suatu hukum atau menggantinya dengan ketentuan yang

lain agar tidak terjadi akibat yang tidak diinginkan oleh hukum.21

Ibnu m m nj l sk n b hw s r n s s s r ’ t l h untuk mewujudkan kemaslahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat n m k n s r ˊat.22 Asafri Jaya Bakri mengemukakan bahwa M q s r ‘ dilihat dari segi subtansi adalah kemaslahatan.23 Kemaslahatan dalam taklif tuhan dapat berwujud dalam dua bentuk: pertama dalam bentuk hakiki,

yakni manfaat langsung dalam arti kausalitas. Kedua, dalam bentuk majazi

yakni bentuk yang merupakan sebab yang membawa kepada kemaslahatan.24

Kemaslahatan itu, oleh al-Syatibî dilihat pula dari 2 (dua) sudut pandang.

Dua sudut pandang itu adalah:

1. Maqâs id al- r ’ (Tujuan Tuhan)

21

Wael b Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, h.267.

22

Ibn Qayyim, I’ m -Mu q ’ R bb - ‘A m , Jilid III h.3.

23

Asafri Jaya Bakri , Ko sep M q s r ’ , h.69.

24

Husein Hamid Hasan, N z r -M s lahah al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar al-Nahdah al-‘ r b h, 1971), h.5.


(35)

25

2. Maqâs id al-Mukallaf (Tujuan Mukallaf).25

Maq s id al-syar ah mengandung empat aspek, yaitu:

1. Tujuan awal dari syarîˊat yakni kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.

2. Syarîˊat sebagai sesuatu yang dipahami.

3. Syarî’at sebagai suatu hukum taklifi yang harus dilakukan, dan

4. Tujuan syarîˊat adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum.26

Aspek pertama berkaitan dengan muatan dan hakikat maqashid al-s r ’ h.

Aspek kedua berkaitan dengan dimensi bahasa agar syariat dapat dipahami sehingga tercapai kemaslahatan yang dikandungnya. Aspek ketiga berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan syariat dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Ini juga berkaitan dengan kemampuan manusian untuk melaksanakannya. Aspek terakhir berkaitan dengan kepatuahan manusia sebagai mukallaf di bawah dan terhadap hukum-hukum Allah. Atau dalam

istilah yang lebih tegas tujuan syariˊat berupaya membebaskan manusia dari

kekekangan hawa nafsu. Aspek kedua, ketiga dan keempat pada dasarnya lebih tampak sebagai penunjang aspek pertama sebagai aspek inti.namu sebelum menguraikan lebih panjang aspek pertama sebagai aspek inti, terlebih dahulu dipaparkan tiga aspek terkhir menurut al-Syatibî memiliki keterkaitan dan merupakan rincian dari aspek pertama. Aspek pertama sebagai inti dapat

25

Al-Syatibi, Al-Muawafaqat, Juz II, h.5.

26


(36)

berwujud melalui pelaksanaan taklif hukum terhadap para hamba sebagai aspek ketiga.27

Taklif tidak dapat dilakukan kecuali memiliki pemahaman baik dimensi lafal maupun maknawi sebagaimana aspek kedua. Pemahaman dan pelaksanaan taklif ini dapat membawa manusia berada di bawah lindungan tuhan, lepas dari kalangan hawa nafsu, sebagai aspek ketiga. Dalam keterkaitan

demikianlah tujuan diciptakannya syariˊat yakni kemaslahatan manusia di

dunia dan di akhirat, sebagai aspek inti, dapat diwujudkan.28 Hakikat atau

tujuan awal pemberlakuan syariat adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu bisa terwujud apabila lima unsur dapat diwujudkan dan dipelihara. Adapun kelima unsur tersebut sebagaimana telah disebutkan di atas (agama, jiwa, keturunan, akal,dan harta).

C.Metode al-Taghlib atau - - î

Menurut al-Raisuni, untuk memahami mana yang harus dipilih dalam

kasus m s yang kontradiksi atau berbenturan, mafâsid yang kontradiksi,

dan antara m s dengan mafâsid yang kontradiksi kadang-kadang gampang

dan jelas bagi seseorang. Sebagamana Ibn Abdussalam berkata bahwa salah satu contoh yang jelas dan gampang dipahami adalah jika kita memberikan pilihan kepada anak kecil antara makanan yang enak dan yang lebih enak, maka anak kecil itu akan memilih yang lebih enak, jika dia diberi pilihan antara

27

Asafri Jaya Bakri , Ko sep M q s r ’ , hal.70-71.

28


(37)

27

uang dan dirham maka dia akan memilih dirham, atau diberi pilihan antara

dirham dan dinar maka dia akan memilih dinar.29

Akan tetapi, menurutnya untuk memahami urusan mashalih dan mafasid

yang berbeda dan bertentangan tidak sederhana itu. Karena tidak terbatas dalam gambaran contoh-contoh yang gampang dipahami, tetapi hal tersebut saling berhubungan dalam berbagai keadaan dan gambaran-gambaran atau

contoh-contoh yang tidak terbatas.30 Sehingga menurutnya kadang dalam suatu

kaum akan kita temukan sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Kahfi ayat

104.

اًعْ نُص َنوُنِسَُْ ْمُه نَأ َنوُبَسََْ ْمُهَو اَيْ ندلا ِةاَيَْْا ِِ ْمُهُ يْعَس لَض َنيِذلا

Artinya:

Orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya

Begitu juga, akan ditemukan orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi, akan tetapi mereka membantah terhadap apa yang mereka lakukan

sebagaimana dinyatakan dalam Surat al-Baqarah ayat 11:

َنوُحِلْصُم ُنََْ اََِإ

Artinya:

Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan Surat al-Taubah ayat 102

29

Ar-Raysuni, Nazariyat al-Maqashid, h.329.

30


(38)

ٌميِحر ٌروُفَغ َهللا نِإ ْمِهْيَلَع َبوُتَ ي نَأ ُهللا ىَسَع اًئِيَس َرَخآَو اًِْاَص ًاَمَع ْاوُطَلَخ

Artinya:

Mereka mencampuradukan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka.

Maslahat menurut al-Buthi ditinjau dari segi etimologi mempunyai arti segala sesuatu yang di dalamnya terkandung manfaat. Sedangkan secara

terminologi adalah manfaat yang menjadi tujuan al- r ’ untuk

hamba-hambanya. Dalam melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka

serta pelaksanaannya sesuai dengan tingkatan di atas.31

Menurut al-Raisuni, sangat sulit untuk memberikan pengertian m sl h t

dengan detail, karena pengertian itu juga menggambarkan pola pikir seseorang

dalam memahaminya.32 Izzuddin ibn Abdissalam Salah satu ulama dari

kalangan Syafî’ pengarang kitab al-Qawâ’ -Kubra dalam membahas

maqâs s r ’ lebih menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat

secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat.

Menurutnya, mashlahat keduniaan tidak bisa terlepas dari tingkatan skala

prioritas r r at, âjîyât, dan tahsiniyat. Berdasarkan hal tersebut,

menurutnya taklif harus bermuara pada kemashlahatan manusia, baik di dunia

31 uh mm b n ’ R m h n l

-Buthi, Dhawabith al-maslahah fi as- r ’ -Islamiyah, (Bairut: Muassasah ar-Risalah, 1973), h.23.

32

Ahmad Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, al-Ijtihad, an-Nash, al-W q ’, -Mashlaha, (Bairut: Dar al-Fikr al-Muashir, 2000), h. 33.


(39)

29

maupun di akhirat. Yang pada intinya suatu konsep m s lahât merupakan titik

sentral maqâs s r ’ .33

K m s l h atan dan kamafsadatan di dunia bisa dipahami dengan cara

melihat mana yang lebih unggul34, maksudnya jika ada dua kemashlahatan atau

dua kemafsadatan maka yang digunakan adalah kemashlahat atau

kemafsadatan yang lebih banyak dari yang satunya.35

Yang dimaksud dari uraian di atas, bahwa jika ada kontradiksi atau

benturan di antara tingkatan tersebut maka r r at didahulukan atas âjîyât

atau t sînîyât, sedangkan t didahulukan atas t s t. B k t rj

l m h l m s l h t t u m fs t. s ln , p rk w n n k r n ng n perkawinan memelihara nasab bisa terealisasi. Sedangkan memelihara nasab merupakan salah satu point dharuriyat yang mana kehidupan dan syariat bisa

berjalan dengan baik bila r r t diterapkan.36

p b l k m s l h t n ng b rb ntur n l m s tu k sus, yang diharuskan untuk memilih salah satunya dikarenakan keduanya tidak bisa

33

Ar-Raysuni, Nazariyat al-Maqashid, h.47.

34

Dalam suatu kasus adakalanya disana terdapat dua kemashlahatan atau kemafsadatan yang bersamaan, yang mana satu dari dua kemashlatan atau kemafsadatan itu diharuskan dipilih salah satunya mengingat keduanya tidak bisa berjalan beriringan disebabkan suatu hal tertentu. Maka yang harus dipilih adalah yang lebih bisa menimbulkan kemashlatan akan tetapi untuk mafsadat yang diambil adalah yang lebih ringan.

35

As-Syatibi, al-Muafaqat, juz II, h.20.

36


(40)

berjalan secara bersamaan, maka harus dipilih sesuai dengan ketiga urutan

skala prioritas di atas. Dimulai dari yang pertama sampai dan selanjutnya.37

Bila kita melihat sisi yang p rt m , tu p p rb n n l

k m s l h t n r s g z tn . B hw s n s t p k m s l h t n ng ungk pk n l m s rîˊ t t rsusun k l m sk l pr or t s ng l m . Y tu,

memelihara agama ( z -dîn), m m l h r j w (h ifz al-nasf), memelihara

akal ( z -‘ q ), memelihara nasab ( z -nasab), dan memelihara harta

( z -mâl). Dari susunan skala prioritas tersebut, maka memelihara agama ( z -dîn) lebih diprioritaskan dari pada memelihara jiwa ( z -nasf),

memelihara jiwa ( z -nasf) lebih diprioritaskan daripada memelihara akal

( z -‘ q ), memelihara akal ( z -‘ q ) lebih diprioritaskan daripada

memelihara nasab ( z -nasab), dan memelihara nasab ( z -nasab) lebih

diprioritaskan dari pada memelihara memelihara harta ( z -mâl).38

K mu n untuk m m l h r l m k m s l h t n t rs but. k

disesuaikan dengan susunan tiga skala prioritas yaitu; r r t, t, dan

t s t. Adapun ḏ r r t adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang

bersifat esensial bagi kehidupan manusia.39 p rt m l ks n k n s l t l m

waktu atau berjihad untuk memelihara agama, makan pagi atau siang untuk

37 uh mm ˊ R m n l

-But I, D w b t -M s - r -Islamiah, (Bairut: Muassasah al-Risalah, t.t), h. 249.

38 uh mm ˊ R m n l

-But I, D w b t -M s , h.249-250.

39

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.126.


(41)

31

memelihara jiwa, diharamkannya khamr untuk memelihara akal40, perintah

untuk menikah dan larangan berzina untuk memelihara nasab.41 Diperbolehkan

melakukan transaksi uang untuk mejaga harta.42

H t, tidak termasuk kebutuhan esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Keringanan dalam hal ini tidak mengancam eksistensi kelima pokok di atas. Seperti ru s untuk me q s r s t dalam keadaan masyaqqah untuk menjaga agama, kebilehan berburu untuk memelihara jiwa, kebutuhan terhadapa ilmu

pengetahuan untuk memelihara akal, memilih pasangan yang sepadan ( u u’)

untuk memelihara nasab, dan khiyar dalam aktivitas jual beli untuk memelihara

harta,43 atau jual beli dengan cara salam. Karena apabila ini tidak dipakai tidak

akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit memperoleh

modal.44

s t, adalah kebiasaan yang dianggap baik dalam tradisi

masyarakat45 atau kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang

dalam masyarakat atau menjauhi sesuatu perbuatan yang dianggap rendah

menurut akal sehat. Seperti menutup aurat, ber-taqarrub dengan mengamalkan

40 uh mm ˊ R m n l

-But I, D w b t -M s , h.250.

41

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum, h.130.

42 uh mm ˊ R m n l-But I, D w b t -M s . h.250.

43 uh mm ˊ R m n l

-But I, D w b t -M s , h.250.

44

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum, h.130.

45

al-Syâtîbî, al-Muwâfaqât, juz II, hal.9. Lihat juga uh mm ˊ R m n l-But I,


(42)

amalan-amalan yang sunnah dalam rangka memelihara agama, mengamalkan tata cara makan dan minum yang benar untuk memelihara jiwa, menjauhi

makanan-makanan yang kotor untuk memelihara akal,46 disyariatkannya

khitbah dan walimah dalam perkawinan untuk memelihara keturunan ( z

-nasl), karena hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan.

Jika tidak diabaikan, maka tidak mengancam eksistensi keturunan, dan tdak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan. Menghindarkan diri dari

pengecohan atau penipuan dalam dalam rangka memelihara harta ( z -nasl),

h l n r t k t nn ng n t k b rmu’ m l h t u t k b sn s.47

Adapun yang berhubungan dengan perkawinan adalah mahar. Mahar

termasuk ke dalam ranah kebutuhan perkawinan (hâjîyât al-ziwâj). Mahar

merupakan sebuah bukti rasa sungguh-sungguh dan cinta untuk mengawini calon isteri serta menguatkan hubungan dengan penuh cinta kasih sayang. Akan tetapi, apabila ada pertentangan antara mahar dan perkawinannya, maka

yang didahulukan adalah suatu yang primer (dhururiyat) daripada skunder

(hajiyat), tidak boleh membatalkan perkawinan disebabkan masalah mahar.48 Akan tetapi diwajibkan melanjutkan perkawinan walaupun dengan mahar yang

sedikit b hk n ng n m h r s mbol k s j t u m h r m ’n w ng t k

46

uh mm ˊ R m n l-But i, D w b t -M s , h.250.

47

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum, h.130.

48


(43)

33

unsur hartanya. karena suatu yang primer tidak bisa digugur oleh suatu yang

skendur akan tetapi, skunder bisa digugurkan oleh suatu yang primer.49

Contoh lain yang berhubungan dengan perkawinan adalah resepsi

pernikahan yang termasuk ke dalam ranah t sînîyât (tersier) karena acara itu

sifatnya hanya untuk mengumumkan ke masyarakat tentang suatu perkawinan yang di dalamnya meliputi sambutan atau perhormatan, memeriahkan acara perkawinan, silaturrahmi antara teman, tetangga, kerabat dan lain, memberi ucapan selamat, doa serta acara makan-makan dan lain sebagainya. Namun, acara dalam resepsi adakalanya sangat meriah adakalanya biasa-biasa saja.

Semua itu merupakan sebuah t sînîyât (tersier) untuk menyempurnakan acara

perkawinan saja. Maka apabila ada pertentangan antara resepsi (t sînîyât)

dengan perkawinan (dhurury) yang sekiranya dapat merusak perkawinan disebabkan tidak mempunyai biaya untuk mengadakan resepsi. Maka, acara resepsi tersebut harus dibatalkan atau mengadakan resepsi yang sederhana

yang sekiranya tidak mengacaukan acara perkawinan.50

Begitu apabila ada benturan antara resepsi dan mahar maka yang didahulukan adalah mahar. Atau jika tidak mampu mengadakan keduanya secara bersamaan maka mahar yang lebih didahulukan karena mahar termasuk jîyât (skunder) sedangkan resepsi atau walimah termasuk ke dalam ranah t sînîyât.

49

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum. h. 344.

50


(44)

Namun, tidak semuanya suatu yang benturan itu harus diambil salah

satunya yaitu yang lebih m s t. Akan t t p , m nurut ˊIzzu n b n ˊ b l

l m, p b l u k m s l h t n t u l b h ng b rl n t u b ntur n namun hal tersebut memungkinkan untuk dijalankan secara bersamaan maka

itu harus dijalankan secara bersamaan. Apabila tidak bisa, maka diambil ng

l b h m s l h t.51

H l n t kl h m ngur ng t rh p k m s l h t n ng l n, k n t t p m rup k n p n mpurn n, k r n s r ˊ t tu t k k n w j bk n k cu l untuk m ngh s lk n k m s l h t n n m n mpurn k nn ng n m ngg bungk n k m slahatan yang lain.52 B hk n m nurutn p b l m ngumpulk n u k m s l h t n tu m mungk nk n m k tu m rup k n su tu k w j b n untuk t r pk n. D r ur n t rs but, m r l h

memberikan rincian terhadap kemaslahatan-kemaslahatan yang bisa

dikumpulakan m nurut ˊIzzu n b n ˊ b l- l m m nj t g b g n tu

m ngumpulk n k m s l h t n ng r dengan kemaslahatan lain yang m r , m ngumpulk n k m s l h t n ng s m t ngk t nn , n mengumpulkan kemaslahatan yang berbeda dalam jenis dengan kemaslahatan

yang sama jenisnya.53

51

ˊIzzu n b n ˊ b l-Salâm, Q w A m -M s -Anâm, (Bairut: Dâr al-Kutub al-ˊIlm h, 2010), juz I, h.45.

52

ˊ m r s l h , M q s r , I -Imam al- Iz b b -Salâm, h.238.

53


(45)

35

D.Urgensi Maqâ id Syarîˊah dalam istinb Hukum

Maqâs îd Syarî’ merupakan salah satu cara intelektual dan metodologis paling penting saat ini untuk melakukan reformasi dan pembaharuan hukum

islami.54 Dikarenakan masyarakat senantiasa mengalami peurbahan. Perubahan

masyarakat itu dapat berupa perubahan tatanan social, budaya, dan social ekonomi dan lain-lainnya. Menurut para ahli linguistic dan semantic, bahasa akan mengalami perubahan setiap Sembilan puluh tahun. Perubahan dalam bahasa, secara langsung atau tidak langsung, mengandung arti perubahan

dalam masyarakat itu.55 Pernyataan itu menarik untuk diperhatikan, sebab Nabi

Muhammad SAW pernah mengatakan;

ها لٔسر َع

ها ىص

ًيسو ّييع

،

لاك

ةٌْا هذه ثعبي ها نح

ٌَ ةِس ةئاٌ ل سثر ى

ِّيد اه ددج

.

56

Artinya:

Diceritakan dari Rasul SAW,beliau berkata, sesungguhnya Allah mengutus seseorang dalam setiap abad ini, untuk memperbaharui pemahaman agamanya (HR. Abu Daud)

Kalau kita menggunakan teori di atas, maka berarti sejak Nabi Muhammad

SAW wafat, umat Islam telah mengalami perubahan sebanyak lima belas

kali.57 Ibnu Qayyim menyatakan:

54

Jazar Audah. Maqashid al- r ’ D -Mubt ’, (Libanon: Maktab al-T uz ’ fi al-‘ l m l-Arabi, 2011) , h. 53.

55

Harun Nasution, Dasar Pemikiran Pembaharuan Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985)., h.19.

56

Abu Daud, Sunan Abi Daud, (bairut: Dar al-Kutub al-Arabi, tt), juz.IV, h.178.

57


(46)

دئأعىاو لأحْاو ةِه ْاو ناٌزْا رغتب ىٔتفىا رغت Perubahan fatwa adalah karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan kebiasaan.58

Tentu yang dimaksud olehnya adalah bahwa kondisi suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti, begitu juga perubahan terhadap undang-undang. Namun, hal ini bukan berarti bahwa hukum akan berubah begitu saja, tanpa memperhatikan norma yang terdapat

dalam sumber utama islam (al- ur’ n n H s).59

Sejarah mencatat, bahwa ijtihad telah dilaksanakan dari masa ke masa. Pada awal masa Islam, ijtihad dilakukan dengan baik dan kreatif. Pada masa berikutnya muncul sederetan mujtahid kenamaan. Keadaan ini berlangsung sampai masa keemasan islam. Pada masa inilah telah dihasilkan pemikiran dan karya yang cukup berharga bagi umat islam berikutnya. Ilmu fikih dan usul fikih termasuk yang dihasilkan pada masa ini. Setelah diselingi oleh masa “b ku”, k mu n b rmuncul n pul p r p mb h ru n p r mujt h didambakan keberadaannya oleh semua umat Islam, masa sekarang keberadaannya sangat diharapkan. Tentu mujtahid sekarang harus dapat menyelesaikan masalah-masalah kontemporer, terutama setelah adanya perubahan masyarakat, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan

58

Ibn Qayyim, I’ -muw q ’ ‘ r b -alamin, Juz III, hal.14. Al-Izzu Ibn Abd Salam, Al-Qarafi, Ibn Al-Qayyim, dan ulama-ulama lainnya mengatakan bahwa permasalahan yang sama dalam suatu fatwa dan hukum itu dapat berubah sesuai dengan perubahan masyakat,

k b s n, w ktu, n l n s b g n . ( ‘I b n N m l-Salimi, Ushul al-Fiqh Al-Lazdi La s ’u q J u u, (Matktabah Syamila: 3,35. Juz I,) h.332.

59


(47)

37

teknologi.60 Kita harus menghargai hasil jerih payah mujtahid sebelum kita,

mereka telah memberikan banyak sumbangsih melalui karya-karya bukunya. Namun, kita harus menyadari bahwa keadaan kita sekarang sudah jauh dengan keadaan mereka dulu.tidak semua persoalan yang kita temukan sekarang ini bisa ditemukan di masa lalu. Sehingga berkaitan dengan ini Yusuf Qordawi menyatakan:

Adalah suatu yang berlebihan dan juga merupakan sikap pura-pura tidak mengenal realita, apabila seorang mengatakan bahwa buku-buku lama telah memuat jawaban-jawaban atas setiap persoalan baru yang muncul. Sebab setiap zaman itu memiliki problematika dan kebutuhan yang senantiasa muncul, bumi berbutar, cakrawala bergerak, bumi berjalan dan jarum jam pun

tidak pernah berhenti.61

Untuk menjawab berbagai permasalahan baru yang muncul masa

sekarang, maq s id Syar ah dalam memproduksi hukum lebih difokuskan diri

pada nilai-nilai yang terkandung dalam teks-teks suci. Nilai-nilai tersebut berupa kemashlahatan manusia dalam setiap taklif yang diturunkan oleh Allah. Pendekatan seperti ini perlu dilakukan karena ayat-ayat hukum dalam ur’ n t rb t s juml hn s m nt r k n m s r k t t mb h b rk mb ng semakin kompleks.berbagai permasalahan baru pun muncul. melalui ilmu

60

Fathurrahman Djamil, Fisafat Hukum Islam), h.164-165.

61

Yusuf Qardhawi, al-Ijtihad fi al-Sy r ’ -Is m t m ’ z r t t al-Ijtihad al-Mu’ s r, (Kuwait: Dar al-al-Qalam, 1985), h.101.


(48)

pengetahuan tentang tujuan hukum, maka pengembangan hukum dapat dilakukan.

Imam al-Syatîbî, menegaskan adanya batasan antara wilayah agama ini; wilayah ibadat dan wilayah ketika hendak memahami teks-teks suci

berdasarkan Maqâs id. B l u m nul s: “K t t n h rf h l h m to s r

pada wilayah peribdatan, sedangkan pertimbangan maksud dan tujuan adalah

wilayah dasar pada wilayah muamalat.62 Dengan demikian, secara umum,

menurut al-Raisuni sebagaimana dikutip oleh Jazar Audah bahwa wilayah

peribadatan harus ditetapkan sebagai area yang konstan (tidak berubah), dimana seorang muslim kembali kepada contoh harfiah dari Nabi SAW. Akan tetapi, contoh nyata yang diberikan oleh nabi dan para sehabatnya untuk tidak menyalin aksi mereka dalam wilayah muamalat, melainkan menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam aksi mereka; alias al-Maqâs id.63

Al-Bukhari meriwayatkan; bahwa Umar RA pernah ditanya Umat islam

mempunyai kewajiban mengikuti segala sabda Nabi s.a.w. yang disabdakan s b g s r ’ t. T k w j bk n k t m ng kut s b -sabda Nabi atau anjuran-anjurannya yang berhubungan dengan ke duniaan yang berdasarkan

ijtihad.64 Tugas nabi adalah petunjuk manusia ke jalan keselamatan dan

kelurusan, mendirikan keadilan diantara mereka serta mendidik mereka

62

Al-Syatibi, al-Muwafaqat, juz II, hal.6.

63

Jazar Audah. Maqashid asy- r ’ D -Mubt ’, h.29.

64


(49)

39

berbudi mulia. Dan kita telah mengetahui bahwa hukum Islam mendahulukan

apa yang t t pk n k l t s h h r s r ’ p b l t rj p rt nt nng n.65

Pendekatan maq s id Syar ah dalam berijtihad guna menemukan

kandungan hukum sebetulnya telah dituntunjukan oleh Nabi saw, diantaranya, larangan Nabi saw. Supaya tidak menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, yaitu bekal untuk tiga hari. Namun, dalam beberapa tahun setelahnya larangan ini tidak di patuhi oleh para sehabat Nabi saw. Kemudian peristiwa ini dilaporkan kepada Nabi saw., dan Nabi saw membenarkan tindakan sehabat, lalu Nabi saw menjelaskan bahwa larangan menyimpan

daging qurban didasarkan atas kepentingan al-daffah (tamu yang terdiri atas

orang-orang miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah). Setelah tu N b s w b rs b : “Sekarang simpanlah daging-daging korban itu, karena tidak ada lagi tamu yang membutuhkannnya”.66

Berkaitan dengan gagasan yang dilakukan oleh para sehabat itu menarik

kesimpulan mengenai tujuan, atau maksud, yang melatar belakangi sebuah teks al- ur’ n t u p r nt h N b W; tu su tu riwayat yang sudah populer,

yang diriwayatkan oleh beberapa silsilah mengenai salat Asar di Bani

Qurayzah. Dalam kejadian tersebut, Nabi SAW mengiri beberapa sehabat ke Bani Qurayzah, dan memeritahkan agar tidak melaksanakn shalat Asar kecuali di Bani Qarayzah. Waktu yang ditentukan untuk shalat Asar saat itu hampir

65

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, h.89-90.

66


(50)

habis, padahal mereka belum sampai pada tempat yang diperintahkan untuk shalat Asar. Oleh karananya, para sahabat ketika itu terbagi menjadi dua kelompok; ada yang merasa berkewajiban melaksanakan shalat Asar karena waktunya hampir habis, sedangkan yang lain merasa berkometmen untuk

melaksanakan perintah Nabi, walapun waktu sudah habis,67 alias tidak

melaksanakan shalat kecuali di tempat yang ditentukan nabi.

Perbedaan pendapat di antara para sehabat itu dilatar belakangi oleh alasan yang sama-sama masuk akal. Menurut sehabat yang melaksanakan shalat dalam perjalanan beralasan bahwa yang dimaksud nabi bukanlah makna harifah, tetapi yang dimaksud adalah agar para sehabat lebih semangat untuk

segera tiba di Bani Quraizah bukan berarti menunda shalat wajib. Adapun

sehabat yang lain beralasan bahwa perintah Nabi yang menyeru mereka shalat asar di tempat itu. Ketika, mereka para sehabat menghadap Nabi SAW, dan mengadukan tentang kejadian itu, maka Nabi SAW merestui kedua pendapat sehabat itu. Secara tidak langsung dengan direstuinya kudua pendapat para sehabat itu menunjukan kebolehan dan kebenaran dari kedua pendapat itu,

semua ulama menyepakati pendapat sehabat tersebut, kecuali imam Ibnu Hazm

al-Zahiri. s b g m n kut p ol h z r ‘ u h; b hw Ibnu hazm al-Zahiri

67

Muhammad al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Dar al- ’ b, 1987 ), uz V, h.143 adapun Hadisnya adalah sebagai berikut :

َيِي َصُي ا ِفاَزْحَ َ ْْا ٌَِْ َعَجَر اٍَ اََن ًَيَسَو ِّْيَيَع ُها ى َص ِِنا َلاَك َلاَك َرٍَُ َِْبا ََْ َكَرْدَرَف َة َ ْيَرُك َُِب َِ اِح َ ْ َعْىا لدَحَث

طىا َِ ُ ْ َعْىا ًُْٓ َضْعَب َرِنُذَف َمِ َذ اٌِِ ْدَرُي ًَْ ِِ َصُُ ْوَب ًُْٓ ُضْعَب َلاَكَو آََيِْرَُ ََح ِِ َصُُ ا ًُْٓ ُضْعَب َلاَلَ ِقيِرَ

ًَْيَف ًَي َسَو ِّْيَيَع ُها ى َص ِ ِِِيِ

ًٌُِِْْٓ اًدِحاَو ْفَِِعُ


(1)

pelaksanaan norma agama dan adat di masyarakat diserahkan sepenuhnya kepada kesadaran individu dan kesadaran masyarakat tanpa dilindungi oleh otoritas resmi (negara) yang memiliki kekuatan pemaksa.

[6 .2 ] Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai perlindungan negara kepada pihak-pihak dalam perkawinan, dan juga untuk menghindari kecenderungan dari inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna/utuh pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut. Dengan kata lain, pencatatan perkawinan diperlukan untuk menghindari penerapan hukum agama dan kepercayaannya itu dalam perkawinan secara sepotong-sepotong untuk meligitimasi sebuah perkawinan, sementara kehidupan rumah tangga pascaperkawinan tidak sesuai dengan tujuan perkawinan dimaksud. Adanya penelantaran istri dan anak, kekerasan dalam rumah tangga, fenomena kawin kontrak, fenomena istri simpanan (wanita idaman lain), dan lain sebagainya, adalah bukti tidak adanya konsistensi penerapan tujuan perkawinan secara utuh.

Esensi pencatatan, selain demi tertib administrasi, adalah untuk melindungi wanita dan anak-anak. Syarat pencatatan perkawinan dimaksud dapat diletakkan setidaknya dalam dua konteks utama, yaitu (i) mencegah dan (ii) melindungi, wanita dan anak-anak dari perkawinan yang dilaksanakan secara tidak bertanggung jawab. Pencatatan sebagai upaya perlindungan terhadap wanita dan anak-anak dari penyalahgunaan perkawinan, dapat dilakukan dengan menetapkan syarat agar rencana perkawinan yang potensial menimbulkan kerugian dapat dihindari dan ditolak.

Negara mengatur (mengundangkan) syarat-syarat perkawinan sebagai upaya positivisasi norma ajaran agama atau kepercayaan dalam hukum perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dirumuskan oleh negara, yang pemenuhannya menjadi syarat pencatatan nikah sekaligus syarat terbitnya Akta Nikah, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan perkawinan dan administrasi kependudukan. Saya berharap adanya upaya sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan dengan konstruksi hukum negara mengenai perkawinan dan administrasi kependudukan.


(2)

Saya berharap adanya upaya sinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya dan masalah yang menyangkut administrasi kependudukan.

[6 .3 ] Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam prakteknya, hukum tidak selalu dapat dilaksanakan sesuai yang dikehendaki oleh pembuatnya. Pada kenyataannya, hingga saat ini masih terdapat perkawinan-perkawinan yang mengabaikan UU 1/1974, dan hanya menyandarkan pada syarat perkawinan menurut ajaran agama dan kepercayaan tertentu. Terhadap perkawinan secara hukum agama atau kepercayaan yang tidak dilaksanakan menurut UU 1/1974 yang tentunya juga tidak dicatatkan, negara akan mengalami kesulitan dalam memberikan perlindungan secara maksimal terhadap hak-hak wanita sebagai istri dan hak-hak anak-anak yang kelak dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, adalah bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Saya menilai, Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 karena Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo yang mensyaratkan pencatatan, meskipun faktanya menambah persyaratan untuk melangsungkan perkawinan, namun ketiadaannya tidak menghalangi adanya pernikahan itu sendiri. Kenyataan ini dapat terlihat adanya pelaksanaan program/kegiatan perkawinan massal dari sejumlah pasangan yang telah lama melaksanakan perkawinan tetapi tidak dicatatkan.

Selain itu hak anak yang dilindungi oleh Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, tidak dirugikan oleh adanya Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang mensyaratkan pencatatan perkawinan. Perlindungan terhadap hak anak sebagaimana diatur oleh Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, justru akan dapat dimaksimalkan apabila semua perkawinan dicatatkan sehingga dengan mudah akan diketahui silsilah anak dan siapa yang memiliki kewajiban terhadap anak dimaksud. Pencatatan perkawinan adalah dimensi sosial yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas status dan akibat hukum dari suatu peristiwa hukum seperti juga pencatatan tentang kelahiran dan kematian.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut saya tidak ada kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon sebagai akibat keberadaan Pasal 2


(3)

ayat (2) UU 1/1974, walaupun jika pencatatan ditafsirkan sebagai syarat mutlak bagi sahnya perkawinan, pasal a quo potensial merugikan hak konstitusional Pemohon I.

[6 .4 ] Harus diakui bahwa praktek hukum sehari-hari menunjukkan adanya pluralisme hukum karena adanya golongan masyarakat yang dalam hubungan keperdataannya sehari-hari berpegang pada hukum agama, atau secara utuh berpegang pada hukum nasional, maupun mendasarkan hubungan keperdataannya kepada hukum adat setempat. Pluralisme hukum ini diatur dan secara tegas dilindungi oleh UUD 1945, selama tidak bertentangan dengan cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagai implikasi pluralisme hukum, memang tidak dapat dihindari terjadinya friksi-friksi, baik yang sederhana maupun yang kompleks, terkait praktek-praktek hukum nasional, hukum agama, maupun hukum adat dimaksud. Dengan semangat menghindarkan adanya friksi-friksi dan efek negatif dari friksi-friksi dimaksud, negara menghadirkan hukum nasional (peraturan perundang-undangan) yang berusaha menjadi payung bagi pluralisme hukum. Tidak dapat dihindarkan jika upaya membuat sebuah payung yang mengayomi pluralisme hukum, di satu sisi harus menyelaraskan tafsir bagi pelaksanaan hukum agama maupun hukum adat. Praktek pembatasan semacam ini mendapatkan pembenarannya dalam paham konstitusionalisme, yang bahkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Dalam kenyataannya, di Indonesia masih banyak terdapat perkawinan yang hanya mendasarkan pada hukum agama atau kepercayaan, yaitu berpegang pada syarat-syarat sahnya perkawinan menurut ajaran agama atau kepercayaan tertentu tanpa melakukan pencatatan perkawinan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum dari negara atas akibat dari suatu perkawinan. Kenyataan ini dalam prakteknya dapat merugikan wanita, sebagai istri, dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Terkait dengan perlindungan terhadap wanita dan


(4)

anak-anak sebagaimana telah diuraikan di atas, terdapat perbedaan kerugian akibat perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 dari sisi subjek hukumnya, yaitu (i) akibat bagi wanita atau istri; dan (ii) akibat bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan dimaksud.

[6 .5 ] Secara teoritis, norma agama atau kepercayaan memang tidak dapat dipaksakan oleh negara untuk dilaksanakan, karena norma agama atau kepercayaan merupakan wilayah keyakinan transendental yang bersifat privat, yaitu hubungan antara manusia dengan penciptanya; sedangkan norma hukum, dalam hal ini UU 1/1974, merupakan ketentuan yang dibuat oleh negara sebagai perwujudan kesepakatan warga (masyarakat) dengan negara sehingga dapat dipaksakan keberlakuannya oleh negara (Pemerintah).

Potensi kerugian akibat perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974, bagi wanita (istri) sangat beragam, tetapi sebenarnya yang terpenting adalah apakah kerugian tersebut dapat dipulihkan atau tidak. Di sinilah titik krusial UU 1/1974 terutama pengaturan mengenai pencatatan perkawinan. Dalam konteks sistem hukum perkawinan, perlindungan oleh negara (Pemerintah) terhadap pihak-pihak dalam perkawinan, terutama terhadap wanita sebagai istri, hanya dapat dilakukan jika perkawinan dilakukan secara sadar sesuai dengan UU 1/1974, yang salah satu syaratnya adalah perkawinan dilakukan dengan dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 2 UU 1/1974). Konsekuensi lebih jauh, terhadap perkawinan yang dilaksanakan tanpa dicatatkan, negara tidak dapat memberikan perlindungan mengenai status perkawinan, harta gono-gini, waris, dan hak-hak lain yang timbul dari sebuah perkawinan, karena untuk membuktikan adanya hak wanita (istri) harus dibuktikan terlebih dahulu adanya perkawinan antara wanita (istri) dengan suaminya.

[6 .6 ] Perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 juga memiliki potensi untuk merugikan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Potensi kerugian bagi anak yang terutama adalah tidak diakuinya hubungan anak dengan bapak kandung (bapak biologis)-nya, yang tentunya mengakibatkan tidak dapat dituntutnya kewajiban bapak kandungnya untuk membiayai kebutuhan hidup anak dan hak-hak keperdataan lainnya. Selain itu, dalam masyarakat yang masih berupaya mempertahankan kearifan nilai-nilai tradisional, pengertian keluarga


(5)

selalu merujuk pada pengertian keluarga batih atau keluarga elementer, yaitu suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak (anak-anak). Keberadaan anak dalam keluarga yang tidak memiliki kelengkapan unsur keluarga batih atau tidak memiliki pengakuan dari bapak biologisnya, akan memberikan stigma negatif, misalnya, sebagai anak haram. Stigma ini adalah sebuah potensi kerugian bagi anak, terutama kerugian secara sosial-psikologis, yang sebenarnya dapat dicegah dengan tetap mengakui hubungan anak dengan bapak biologisnya. Dari perspektif peraturan perundang-undangan, pembedaan perlakuan terhadap anak karena sebab-sebab tertentu yang sama sekali bukan diakibatkan oleh tindakan anak bersangkutan, dapat dikategorikan sebagai tindakan yang diskriminatif.

Potensi kerugian tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Keberadaan Pasal a quo menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya. Hal tersebut adalah risiko dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak dilaksanakan menurut UU 1/1974, tetapi tidaklah pada tempatnya jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya. Jika dianggap sebagai sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini agama Islam) tidak mengenal konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah “dosa turunan”. Dengan kata lain, potensi kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan UU 1/1974 merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang melakukan perkawinan, tetapi bukan risiko yang harus ditanggung oleh anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Dengan demikian, menurut saya, pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan, terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan tersebut menurut hukum negara, tetap menjadi kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya.

PANITERA PENGGANTI, ttd.


(6)