Pelanggaran Hak Asasi Manusia Oleh Israel Terhadap Warga Sipil Palestina Ditinjau Dari Hukum Internasional

(1)

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH ISRAEL TERHADAP WARGA SIPIL PALESTINA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas

Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Mencapai Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :

GERARD WILLIAM NAGEL

070200243

Departemen Hukum Internasional

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas

Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

GERARD WILLIAM NAGEL

NIM : 070200243

Departemen

Hukum Internasional

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Internasional

Arif, SH. M.Hum

NIP. 196403301993031002

Pembimbing I

Pembimbing II

Sutiarnoto MS, SH. M.H.

Abdul Rahman, SH. MH.

NIP. 195610101986031003

NIP. 195710301984031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan kuliah dan penulisan skripsi yang berjudul “Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh Israel Terhadap Warga Sipil Palestina ditinjau dari Hukum Internasional”

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis akan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua penulis, J. Edward Nagel dan Maria Siburian, yang telah membesarkan dan mencurahkan segala kasih sayang serta pengorbanan yang besar kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik.

Penulis juga telah menerima banyak bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak dan untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tulus :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H. M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H M.Hum sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H. M.H. DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni S.H. M.H., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

5. Bapak Sutiarnoto MS, S.H. M.Hum sebagai Pembimbing I yang telah memberikan bantuan dan pengarahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Abdul Rahman, SH, M.H sebagai Pembimbing II yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Arif, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum sebagai Sekretaris Jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Martin Patrick Nagel, SH. M.Hum, Stefani Anastasia Nagel, S.Ps i dan Olivia Fransiska Nagel, abang, kakak, adik tercinta yang selalu mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini serta seluruh keluarga yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selalu mendukung penulis.

10.Widya Astrini Fricilia SH, Hendry Willam, Sutan Aziz dan Junio G. yang selalu membantu dan mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

11.Seluruh teman-teman Stambuk 2007 yang selama ini bersama-sama penulis menyelesaikan study di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Akhir kata, kiranya penulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan terutama dalam penerapan dan perkembangan ilmu hukum di Indonesia.

Medan, Februari 2011

Penulis

Gerard William Nagel


(5)

Kata Pengantar

Daftar Isi

Abstraksi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………...1

B. Perumusan Masalah………...6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………..7

D. Keaslian Penulisan……….8

E. Tinjauan Pustaka………8

F. Metode Penelitian………15

G. Sistematika Penulisan………..17

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA A. Pengertian, Sejarah dan Perkembangan HAM 1. Sejarah dan Perkembangan HAM……….20

2. Pengertian HAM………23

B. Praktek Hak Asasi Manusia Dalam Kehidupan Sehari-hari Dalam Hubungannya Dengan Negara Dan Hukum………25

C. Hak Asasi Manusia Menurut Hukum Internasional………30

D. Hubungan Antara Hak Asasi Manusia dan Perang………..34 BAB III PENGATURAN TENTANG PERLINDUNGAN WARGA SIPIL PADA MASA


(6)

A. Prinsip Pembedaan Dalam Hukum Humaniter………42 1. Pengertian Prinsip Pembedaan………42 2. Distinction Principle Menurut Hague Convention IV – 1907……….44 3. Distinction Principle Menurut Geneva Conventions 1949…………..47 4. Pengaturan dalam Protokol Tambahan I-1977………49 B. Perlindungan Penduduk Sipil Di Waktu Perang berdasarkan Konvensi

Jenewa 1949……….53

1. Pengertian Orang-Orang yang Dilindungi………...53 2. Perlindungan Umum Penduduk Sipil Terhadap

Akibat-Akibat Perang………..55

3. Ketentuan Umum Mengenai Kedudukan dan Perlakuan

Orang-Orang Yang Dilindungi………59

4. Perlakuan Orang Asing di Wilayah Pihak Dalam Pertikaian………..61 C. Pengaturan tentang Kejahatan Perang dalam Statuta Roma 1998…………...67

BAB IV PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH ISRAEL TERHADAP WARGA SIPIL PALESTINA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

A. Sejarah Kekuasaan Israel di Palestina……….77 B. Bentuk-Bentuk Pelanggaran HAM di Palestina………..83

C. Upaya Dunia Internasional dan Ketentuan-Ketentuan PBB Guna Penegakan Hak Asasi Manusia di Palestina………...93

BAB V PENUTUP


(7)

B Saran………..103

DAFTAR PUSTAKA………....104


(8)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah hak asasi manusia merupakan isu internasional dan menjadi bahan perbincangan yang sangat menonjol. Hal ini memerlukan perhatian yang bersungguh-sungguh, karena sangat berpengaruh dalam kehidupan internasional dan nasional suatu negara.

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.

Pengertian yang diberikan mengenai hak asasi oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman yaitu: “Hak-hak mendasar dimiliki manusia yang diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran dan kehadirannya dalam kehidupan bermasyarakat”.

Suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah oleh siapapun bahwa setiap manusia yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sejak lahir dan hadir dalam kehidupan bermasyarakat, memiliki hak-hak asasi. Hak-hak asasi itu merupakan hak-hak dasar yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di permukaan bumi. Hak asasi manusia itu berlaku tanpa adanya perbedaan atas dasar keyakinan agama atau kepercayaan, suku bangsa, ras dan jenis kelamin dan status sosial. Karena itu hak-hak asasi manusia itu mempunyai sifat-sifat suci, luhur dan universal.


(9)

Kesadaran akan hak asasi manusia, harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Berbagai peristiwa besar yang terjadi di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan hak asasi manusia.

Sejarah manusia telah mencatat bahwa penindasan, pemerkosaan dan pelanggaran hukum atas hak-haki asasi manusia yang dilakukan oleh siapapun ia akan menimbulkan akibat perlawanan dari berbagai pihak. Pengorbanan jiwa raga dari mereka yang tertindas membuat harkat dan martabat manusia itu menjadi kehilangan arti dan makna dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Oleh karena itu setiap tindakan yang menindas dan memperkosa harkat dan martabat manusia itu perlu mendapat perhatian dan penanganan secara serius.

Hak asasi manusia (human rights yang secara universal dapat diartikan sebagai those

rights which reinherent in our name and without wicht we can’t live as human being) oleh

masyarakat di dunia perumusan dan pengakuannya telah diperjuangkan dalam kurun waktu yang sangat panjang bahkan sampai saat ini hal tersebut masih berlangsung dengan berbagai dimensi permasalahan yang muncul karena berbagai spectrum penafsiran yang terkait didalamnya. Hal ini dibuktikan bahwa diseluruh penjuru di dunia terus berlangsung berbagai perubahan social, pergolakan, kekacauan peperangan maupun kelaparan. Bencana alampun turut mewarnai proses terjadinya musibah kemanusiaan.

Pengalaman getir dan pahit dari umat manusia sejak perang dunia yang dua kali telah terjadi dimana harkat dan martabat hak-hak asasi manusia terinjak-injak, timbul kesadaran umat manusia dalam menempatkan penghormatan dan penghargaan akan hak-hak asasi manusia dalam piagam PBB (The Charter United Nations) yang sebagai realisasinya muncul kemudian


(10)

pernyataan bangsa-bangsa di dunia tentang hak-hak asasi manusia (The Universal Declarations

of Human Rights) yang diterima secara aklamasi pada tanggal 10 Desember 1948 oleh sidang

Umum Majelis Umum PBB.

Akan tetapi, walaupun telah dicanangkan The Universal Declarations of Human Rights masih saja terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia salah satunya adalah penderitaan hak-hak asasi manusia yang dialami oleh warga sipil Palestina yang merupakan hasil dari serangan tentara Israel, hal ini semakin kompleks karena mereka harus berjuang mempertahankan diri dari ancaman tentara-tentara yang menyerang sehingga menyiksa mereka dan memaksa mereka untuk tetap bertahan dengan tidak meninggalkan negaranya.

Konflik Palestina – Israel menurut sejarah sudah 44 tahun ketika pada tahun 1967 Israel menyerang Mesir, Yordania dan Syria dan berhasil merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat dan Yerussalem (Yordania). Sebelumnya Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour tahun 1917 yang menjanjikan sebuah negara bangsa Yahudi di Palestina, dengan menghormati hak-hak umat non-Yahudi di Palestina.1

Konflik Israel-Palestina seringkali dipahami sebagai konflik Yahudi-Islam dan hal ini berhasil mensugesti hampir seluruh dunia Islam untuk membenci Yahudi. Sikap anti-pati terhadap Yahudi di kalangan mayoritas Islam bahkan telah ditanamkan demikian mengakar mulai dari lingkungan keluarga hingga institusi pendidikan Islam. Hingga terjadi konflik Israel-Palestina yang dalam banyak hal dipandang sebagai konflik Yahudi-Islam, analisis tentang

Sampai sekarang perdamaian sepertinya jauh dari harapan, ditambah lagi terjadi ketidaksepakatan tentang masa depan Palestina dan hubungannya dengan Israel di antara faksi-faksi di Palestina sendiri hingga jutaan dari mereka terpaksa mengungsi ke Libanon, Yordania, Syria, Mesir dan lain-lain.


(11)

masalah politik sebagai pemicu konflik juga banyak digulirkan berbagai pihak. Konflik ini misalnya, merupakan konflik yang dipicu oleh klaim hak atas tanah Palestina dari kedua pihak yang bertikai. 2

Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Israel kepada warga sipil Palestina semakin kerap terjadi seperti peristiwa terbunuhnya 30 warga sipil Palestina di sebuah rumah di Gaza Tengah, yang menjadi sasaran penembakan Israel dan kebijakan Israel yang sengaja mengabaikan anak-anak dan membuat kelaparan anak-anak yang ibunya tewas akibat serangan yang mereka lakukan.

Seperti ditulis Trias Kuncahyono, Israel selalu mengatakan posisi legal internasional mereka atas Jerusalem berasal dari mandat Palestina (Palestine Mandate, 24 Juli 1922). Di pihak lain, Palestina juga menyatakan Jerusalem (al Quds) akan menjadi ibu kota negara Palestina Merdeka di masa mendatang atas dasar klaim pada agama, sejarah dan jumlah penduduk di kota itu. Pertikaian kedua belah pihak pada akhirnya sulit dihindari, sebab klaim hak atas tanah Palestina bukan sekedar menyangkut latar belakang sejarah dan wilyah politik, melainkan masalah simbol spiritualitas besar bagi kedua pihak.

3

Contoh-contoh di atas hanya segelintir bentuk pelanggaran atas hak asasi manusia yang dilakukan oleh Israel. Dalam melaksanakan perang, Israel tidak mematuhi batasan-batasan yang telah diatur dalam hukum humaniter. Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak memberikan sanksi apapun terhadap pelanggaran ini berdasarkan Hukum Humaniter Internasional yang terjadi pada

Contoh yang lain 30 warga sipil Palestina yang tewas dibunuh ketika tentara Israel menembaki sebuah bangunan tempat berlindungnya 110 warga sipil Palestina di wilayah permukiman Zeitoun di Gaza Tengah.

2

Trias Kuncahyono , Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, Jakarta, 2008 hal. 256-257

3

19 Januari 2011.


(12)

Perang Palestina dan Israel, tidak ada embargo ekonomi hanya kecaman maupun keprihatinan yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pada akhir tahun 2010 dunia dikejutkan dengan insiden penyerangan militer Israel terhadap konvoi bantuan kemanusiaan internasional untuk masyarakat Gaza, Palestina. Israel menuduh Konvoi enam kapal kapal yang mengangkut relawan di antaranya dari Amerika Serikat, Turki, Inggris, Prancis, Irlandia, Indonesia, dan Malaysia tersebut telah melanggar batas wilayah perairan yang sebelumnya sudah diblokir Israel. Padahal, kapal-kapal itu berlayar sekira 65 kilometer di luar Pantai Gaza atau di perairan internasional saat diserang pada subuh 31 Mei waktu Israel. Sebuah gambar yang diperoleh dari atas kapal Mavi Marmara memperlihatkan pasukan Israel memasuki kapal dari helikopter, sementara kapal-kapal marimir kecil menembaki ke sisi Mavi Marmara.

Akibat dari penyerangan ini, sembilan relawan meninggal dunia dan dunia sekali lagi tidak dapat berbuat banyak mengenai aksi Israel ini. Terbukti tidak ada resolusi yang berarti dapat menghukum Israel. Sedangkan pemblokiran yang terjadi Perbatasan Gaza masih terus berlangsung, meskipun beberapa barang tertentu sudah diperbolehkan masuk ke dalam wilayah Gaza.

Semakin panasnya situasi di Timur Tengah yang sampai saat ini masih berlangsung sepertinya belum ada titik terang untuk menghentikan perang antara kedua belah pihak, baik Palestina maupun Israel. Namun demikian dunia internasional perlu melakukan upaya-upaya semaksimal mungkin untuk tetap menegakkan hak asasi manusia di tengah terjadinya konflik bersenjata tersebut.


(13)

Permasalahan adalah pernyataan yang menunjukkan adanya jarak antara rencana dan pelaksanaan, antara harapan dan kenyataan, juga antara das sollen dan das sein. 4

1. Bagaimanakah hubungan antara hak asasi manusia dan perang ?

Dari latar belakang yang diuraikan diatas, maka tulisan ini bermaksud untuk membahas permasalahan sebagai berikut :

2. Bagaimanakah pengaturan mengenai perlindungan warga sipil pada saat perang dalam hukum internasional ?

3. Bagaimanakah bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Israel kepada penduduk sipil Palestina ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan dilakukannya penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui hubungan antara hak asasi manusia dengan perang.

2. Untuk mengetahui pengaturan atas perlindungan warga sipil pada saat perang dalam hukum internasional.

3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Israel kepada penduduk sipil Palestina dan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh dunia internasional untuk menegakkan hak asasi manusia dalam konflik Israel Palestina.

Adapun manfaat dari penulisan ini terdiri dari dua hal, yaitu : 1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan akademis bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan hukum internasional pada khususnya. Selain itu, penulisan skripsi ini


(14)

diharap dapat memberikan gambaran atas bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dialami warga sipil Palestina dan bagaimana upaya dunia internasional untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia warga sipil Palestina dengan mengacu pada pengaturan dalam hukum internasional .

2. Manfaat Praktis

Penulisan ini bermanfaat untuk menjadi suatu bahan referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara secara khusus dan pembaca pada umumnya serta dapat dijadikan kajian bagi para pihak akademisi dalam menambah pengetahuan terutama di bidang hukum internasional.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh Israel Terhadap Warga Sipil Palestina ditinjau dari Hukum Internasional”. Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana, maka skripsi haruslah ditulis berdasarkan buah pikiran yang benar-benar asli tanpa meniru karya orang lain. Judul yang penulis pilih telah diperiksa dalam arsip bagian Hukum Internasional dan judul tersebut dinyatakan tidak ada yang sama dan telah disetujui oleh Ketua Departemen Hukum Internasional.

E. Tinjauan Pustaka

Dewasa ini masalah hak asasi manusia telah menjadi isu yang mendunia disamping demokrasi dan masalah lingkungan hidup, bahkan telah menjadi tuntutan yang sangat perlu perhatian serius bagi negara untuk menghormati, melindungi, membela dan menjamin hak asasi warga negaranya tanpa diskriminasi.5


(15)

Ide tentang hak asasi yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II. Pembunuhan dan kerusakan yang ditimbulkan Perang Dunia II menggugah suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang, untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup meredakan krisis internasional serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi, organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).6

Para pendiri PBB yakin bahwa pengurangan kemungkinan perang mensyaratkan adanya pencegahan atas pelanggaran besar-besaran terhadap hak asasi manusia. Akibat keyakinan ini, konsepsi PBB yang paling awalpun bahkan sudah memasukkan peranan pengembangan hak asasi manusia dan kebebasan. Naskah awal Piagam PBB ( 1942 dan 1943) memuat ketentuan tentang hak asasi manusia yang harus dianut oleh negara manapun yang bergabung dalam organisasi tersebut, namun sejumlah kesulitan muncul dengan pemberlakuan ketentuan semacam itu. Oleh karena banyak negara mencemaskan prospek kedaulatan mereka, negara-negara tersebut bersedia untuk mengembangkan hak asasi manusia namun tidak bersedia untuk melindungi hak itu.7

Akhirnya diputuskan untuk memasukkan sedikit saja acuan tentang hak asasi manusia dalam Piagam PBB.8

6

James W. Nickel, Hak Asasi Manusia , PT. Gramedi Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal 1.

7

Ibid., hal 2.

8 Ibid.

Piagam itu sendiri menegaskan kembali keyakinan atas hak asasi manusia yang mendasar, akan martabat dan harkat manusia, akan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta antara negara besar dan negara kecil. Komisi Hak Asasi Manusia mempersiapkan sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia yang disetujui oleh


(16)

Majelis Umum pada tanggal 10 Desember 1948 yang kemudian menjadi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Hak asasi manusia, sebagaimana yang dipahami dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia yang muncul pada abad kedua puluh seperti Deklarasi Universal, mempunyai sejumlah ciri menonjol. Pertama, supaya kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas, hak asasi manusia adalah hak.9

Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang-orang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.

Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Keempat, hak asasi manusia dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa pengecualian, hak asasi manusia cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi hak asasi manusia.

10

Istilah kejahatan serius terhadap hak asasi manusia biasanya ditujukan terhadap kejahatan genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketiga jenis kejahatan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam konteks hukum nasional

9

Ibid., hal 4.


(17)

Indonesia, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kejahatan tersebut dikualifikasikan sebagai delicta jure gentium11 dan merupakan pengingkaran terhadap jus cogens.12

Dalam konteks hukum pidana internasional tidak terdapat satu pun defenisi atau pengertian yang baku mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan serius terhadap hak asasi manusia atau pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Akan tetapi dalam sejarah perkembangan hukum pidana internasional bila dilihat dari jenis kejahatan internasional, maka eksistensi kejahatan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia berasal dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi manusia. Selain itu, masih ada jenis kejahatan internasional yang eksistensinya berasal dari kebiasaan yang berkembang di dalam praktik hukum kebiasaan internaisonal dan kejahatan internasional yang eksistensinya berasal dari konvensi-konvensi internasional.13

Kendatipun tidak ada defenisi yang baku mengenai apa yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, namun oleh Bassiouni dikualifikasikan sebagai international crime yang meliputi kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kejahatan-kejahatan ini merupakan inhumane act yang secara universal diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia. 14

Dalam penulisan ini, penulis memfokuskan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil yang terjadi selama konflik bersenjata antara Israel dan Palestina. Warga sipil adalah

11 Istilah jure gentium diterjemahkan sebagai law of nations atau hukum bangsa-bangsa. Istilah tersebut

berasal dari hukum Romawi yang berlaku bagi seluruh penduduk Romawi termasuk daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Romawi.

12 Jus Cogens adalah hukum pemaksa yang harus ditaati oleh bangsa-bangsa beradab di dunia sebagai

prinsip dasar yang umum dalam hukum internasional yang berkaitan dengan moral.

13

Eddy O.S Hiariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hal. 3


(18)

seseorang yang bukan merupakan anggota militer. Menurut Konvensi Jenewa 1949, merupakan sebuah kejahatan perang untuk menyerang seorang warga sipil yang tidak sedang melakukan penyerangan secara sengaja.15 Dalam Kamus Bahasa Indonesia, perang diartikan sebagai permusuhan antara dua negara atau pertempuran antara dua pasukan.16 G.P.H. Djatikoesomo mendefinisikan perang sebagai sengketa dengan menggunakan kekerasan yang sering berbentuk kekuatan bersenjata.17

Dalam hal hukum perang atau hukum sengketa bersenjata, kemudian dikenal dengan istilah hukum humaniter internasional, Djatikoesomo memberi defenisi hukum perang sebagai aturan-aturan dari hukum bangsa-bangsa mengenai perang. Pengertian lain hukum perang atau hukum sengketa bersenjata adalah bagian dari hukum internasional yang mengatur hubungan antara negara selama terjadinya sengketa untuk mengurangi sebanyak mungkin penderitaan, dan kerusakan akibat perang dengan memberikan kewajiban kepada setiap orang dalam negara namun tidak dimaksudkan untuk menghambat efisiensi militer.

Berdasarkan pengertian di atas, perang pada dasarnya adalah sengketa yang biasa menggunakan kekuatan bersenjata antara dua negara atau antara para pihak dalam satu negara.

18

Starke menyatakan hukum perang terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional yang mana kekuatannya diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsung perang dan konflik-konflik bersenjata.19

15

16 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1990, hal 668. 17

Eddy O.S Hiariej, Op. Cit., hal 25.

18

Ibid.,hal 25.


(19)

Konferensi Den Haag 1907 menghasilkan 13 konvensi dan satu deklarasi, sedangkan Konvensi Jenewa yang juga disebut Konvensi Palang Merah terdiri dari empat buku, yaitu :

1. Konvensi Jenewa 1949 tentang perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka dan sakit di medan pertempuran darat.

2. Konvensi Jenewa 1949 mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang di laut yang luka, sakit, dan korban karam.

3. Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan orang-orang sipil di waktu perang. Selain Konvensi Jenewa 1949 juga terdapat Protokol Tambahan 1977 yang mengatur konflik bersenjata internasional atau konflik bersenjata antar negara dan mengatur konflik bersenjata yang bersifat noninternasional. Protokol Tambahan ini memuat beberapa hal penting seperti pengertian kombat, penduduk sipil, sasaran sipil, dan sasaran militer. Pengertian mengenai tentara bayaran, perang pembebasan nasional dan tugas komandan.

Hal utama dalam hukum humaniter adalah hak korban untuk mendapat pertolongan dan ganti kerugian bila terjadi pelanggaran. Oleh karena itu, tujuan umum hukum humaniter adalah sama dengan tujuan hukum hak asasi manusia, yaitu untuk memastikan perlindungan bagi orang dalam situasi konflik bersenjata dan dalam keadaan tertentu bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh.20

Dalam hukum humaniter dikenal asas pembedaan, yaitu prinsip yang membedakan penduduk suatu negara yang sedang berperang dalam dua golongan, yaitu kombatan dan penduduk sipil. Berkaitan dengan pembedaan ini, jika seorang kombatan tertangkap oleh musuh maka akan diperlakukan sebagai tawanan perang. Selain itu, yang perlu diperhatikan dalam


(20)

hnukum humaniter adalah principles of humanitarian law, yakni military necessity, humanity dan chivalry.21

Istilah kejahatan perang biasanya menunjuk pada tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan kebiasaan perang.

Dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, pada hakikatnya hukum humaniter dan hak asasi manusia memiliki tujuan yang sama, yaitu memberikan jaminan perlindungan terhadap manusia.

22

1. Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa berupa perbuatan yang ditujukan terhadap orang dan/atau benda yang dilindungi oleh konvensi.

Akan tetapi, tidak semua pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang merupakan kejahatan perang. Pengaturan tentang kejahatan perang diatur dalam Pasal 8 Statuta Mahkamah Internasional. Secara garis besar, perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan perang dibagi menjadi empat kelompok :

2. Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan konflik bersenjata.

3. Pelanggaran terhadap Article 3 common to the four Geneva Conventions of 1949 dalam hal noninternational armed conflict.

4. Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam

noninternational armed conflict. F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara atau usaha bersifat sistematis dan objektif untuk memperoleh keterangan yang diteliti. Sebagaimana suatu tulisan yang bersifat ilmiah dan untuk

21

Military necessity atau asas kepentingan militer, yaitu pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. Humanity atau asas kemanusiaan yakni pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan kemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk melakukan kekerasan yang berlebihan sehingga mengakibatkan penderitaan. Chivalry atau asas kesatriaan, bahwa dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu daya dilarang digunakan.


(21)

mendapatkan data yang relevan dengan tujuan penulisannya maka penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bahan-bahan untuk skripsi ini.

1. Jenis Penelitian

Adapun jenis dari penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif (legal research), yakni mengacu pada berbagai norma hukum, dalam hal ini adalah hukum internasional yang terdapat pada berbagai sumber dan perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia serta pengaturan mengenai hukum perang dalam kaitannya untuk menegakkan hak asasi manusia pada masa perang.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam bentuk umum dikenal ada dua teknik pengumpulan data yaitu :

1) Library Research (Studi Kepustakaan)

Yaitu pengumpulan data-data melalui bahan buku, karangan ilmiah, media massa, majalah ditambah dengan media elektronik yaitu televisi yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

2) Field Research (Studi Lapangan)

Yaitu melakukan penelitian ilmiah melalui wawancara, observasi dan lain-lain.

Dalam hal ini penulis mengumpulkan data melalui metode library research (studi kepustakaan).

3. Sumber Data Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang terdiri dari:


(22)

Yaitu produk-produk hukum berupa konvensi-konvensi internasional seperti Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan warga sipil di waktu perang , Protokol Tambahan tahun 1977, The Universal Declarations of Human Rights tahun 1948,Statuta Roma 1998, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku tentang hak asasi manusia, kejahatan-kejahatan internasional, buku-buku yang membahas situasi perang di Palestina, jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, serta media internet seper

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman serta pembahasan di dalam skripsi ini maka penulis menggunakan sistematika penulisan skripsi sebagai berikut :

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang alasan pemilihan judul, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dengan memberikan gambaran dan ulasan secara umum. BAB II : Pada bab II akan diuraikan mengenai pandangan umum mengenai hak-hak asasi


(23)

manusia menurut hukum internasional, tujuan pengaturan hak asasi manusia serta hubungan ham asasi manusia dengan perang.

BAB III : Bab III merupakan pembahasan atau uraian mengenai pengaturan perlindungan warga sipil dalam Konvensi Wina 1949 tentang Perlindungan Korban Perang, pengaturan tentang kejahatan perang dalam Statuta Roma 1998. Selain itu dalam bab ini dibahas mengenai prinsip pembedaan dalam hukum humaniter yang membedakan antara status dan perlakuan kombatan dan non kombatan. BAB IV : Tinjauan serta cara penyelesaiaanya dibahas dalam bab IV, yang membahas

antara lain mengenai sejarah singkat kronologis terjadinya perang antara Israel dan Palestina, bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Israel terhadap warga sipil Palestina, dampak perang Israel dan Palestina bagi pelanggaran hak asasi manusia, serta upaya-upaya dunia internasional dalam menegakkan hak asasi manusia di Palestina.

BAB V : Pada bab ini merupakan bab terakhir, dimana pada bagian kesimpulan akan dipaparkan jawaban-jawaban dari permasalahan di dalam penulisan ini. Pada bagian saran, penulis akan memaparkan gagasan yang dimiliki penulis berdasarkan dari fakta-fakta yang telah dikemukakan penulis pada bab-bab sebelumnya.


(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA

A. Pengertian, Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia 1. Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia

Hak-hak asasi manusia pada dasarnya merupakan hak yang kodrati yang diperolehnya dari Tuhan Yang Maha Esa. Kesadaran manusia terhadap hak-hak asasinya semakin tampak diinsyafi bila manusia telah saling berhubungan antara satu dengan lain di dalam pergaulan masyarakat dan lebih-lebih lagi bila menghadapi kekuasaan negara. Oleh karena itu perjalanan sejarah antar manusia dan bangsa terhadap hak asasi tidak terlepas dari sejarah perkembangan pasang surut keadaan manusia terhadap hak-hak asasinya.

Sejarah mencatat bahwa tonggak pertama bagi hak-hak asasi terjadi di Inggris pada tanggal 15 Juni 2015 yaitu lahirnya piagam Magna Charta.23

Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan hak-hak asasi manusia, karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja. Perkembangan berikutnya Thomas Aquino (1215-1274) menyampaikan ajarannya bahwa hukum dan undang-undang hanya dapat dibuat atas kehendak rakyat atau oleh seorang raja yang mencerminkan kehendak rakyat. Lalu kemudian hadir John Locke

Prinsip dasar yang dicetuskan dalam piagam tersebut yaitu pertama kekuasaan raja harus dibatasi dan kedua, hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorangpun dari warga negara berbeda dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diperkosa hak-haknya kecuali atas pertimbangan hukum.

23

Magna Charta adalah piagam yang dikeluarkan di Inggris pada tahun 1215 yang membatasi monarki Inggris, sejak masa Raja John dari kekuasaan absolut. 2010.


(25)

1704) yang menggambarkan status naturalis dimana manusia telah memiliki hak-hak dasar secara perorangan. Bersamaan dengan itu pendapat John Locke menyatakan bahwa manusia yang berkedudukan sebagai warga negara itu hak-hak dasarnya dilindungi oleh negara.24

Buah pikiran Locke dan Rosseau kemudian berlanjut dengan diterimanya undang-undang dasar Amerika Serikat 17 September 1787 dan mulai berlaku 4 Maret 1789. Namun Declaration

of Independence di Amerika Serikat 1776 tersebut menempatkan Amerika sebagai negara yang

mendapat penghormatan yang pertama dalam sejarah yang memberi perlindungan dan jaminan Kemudian timbul beberapa teori kekuasaan negara oleh J.J. Rosseau (1762) yang terkenal dengan teori kontrak sosial yang berisikan bahwa kekuasaan negara itu timbul karena atas persetujuan masyarakat untuk membentuk suatu pemerintahan yaitu segolongan manusia yang dikuasakan untuk menjalankan pemerintahan. Teori ini dianut di Eropa sampai ke Amerika sehingga kian meningkatlah pergerakan untuk menjamin dan melindungi hak-hak dan kebebasan itu.

Locke dan Rosseau ternyata berpengaruh besar terhadap kemerdekaan Amerika dan Revolusi Perancis karena ajaran mereka dipegang penuh oleh Revolusioner di kedua negara itu. Revolusi Amerika dengan Declaration of Independence tanggal 4 Juli 1776 yaitu suatu deklarasi yang diumumkan secara aklamasi oleh 13 negara bagian, merupakan pula piagam hak-hak asasi manusia karena mengandung pernyataan :

“Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajatnya oleh Maha Penciptanya. Bahwa manusia semua dianugerahi oleh Pencipta-Nya hak hidup, kemerdekaan dan kebebasan untuk menikmati kebahagiaan”.


(26)

hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya kendatipun secara resmi rakyat Perancis sudah lebih dahulu memulainya sejak masa Rosseau tersebut.

Pada saat berkobarnya perang dunia ke II ditandatangani Atlantic Charter 14 Agustus 1941 yang antara lain berisikan :

“(1) Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom ofspeech and

expression), (2) kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan

(freedom of religion), (3) kebebasan dari rasa takut (freedom from fear) dan (4) kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from what).”

Kebebasan-kebebasan tersebut dimaksudkan sebagai kebalikan daripada kekejaman dan penindasan melawan fasisme dibawah totaliterisme Hitler (Jerman), Jepang dan Italia. Tapi juga sekaligus merupakan hak atau kebebasan bagi umat manusia untuk mencapai perdamaian dan kemerdekaan yang abadi. Empat kebebasan Roosevelt ini pada hakekatnya merupakan tiang penyangga hak-hak asasi manusia yang paling pokok dan mendasar.

Lalu muncul Piagam PBB dan statuta Mahkamah Internasional sebagai bagian integral

the four freedom tersebut yang disahkan 26 Juni 1945 di San Fransisco, Amerika Serikat. Dalam

piagam PBB Pasal 55 menganjurkan hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar ditaati oleh anggota-anggotanya. Dengan diakuinya penempatan hak-hak asasi manusia dalam piagam PBB tersebut kemudian untuk merealisasikan lebih lanjut atas hak-hak asasinya manusia itu diterbitkannya pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia sedunia tanggal 10 Desember 1949.

Kemudian pada tanggal 16 Desember 1966 PBB menerbitkan perjanjian hak asasi yaitu

The Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights and The Covenant on Civil and Political Rights and Optional Protocol to The International Covenant on Civil and Political Rights.


(27)

Dari kedua perjanjian Internasional tentang hak-hak manusia itu dalam hal menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara adalah tentang covenant of civil dan political rights dan

optional protocol-nya. Oleh karena itu dengan perjanjian internasional yang disebut terakhir ini,

kemudian banyak anggota PBB berkeberatan merumuskannya dalam hukum nasionalnya masing-masing. Pada umumnya pengakuan demikian hanya dianut di Eropa Barat.

2. Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia adalah suatu konsepsi mengenai pengakuan atas harkat dan martabat manusia yang dimiliki secara alamiah yang melekat pada setiap manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama dan jenis kelamin. Dalam pengertian universal hak asasi manusia diartikan sebagai hak dan kebebasan dasar manusia yang secara alamiah melekat pada diri manusia dan tanpa itu manusia tidak dapat hidup secara wajar sebagai manusia.

Dalam buku ABC Teaching of Human Rights yang dikeluarkan oleh PBB didefinisikan sebagai “Those rights which are inherent in our nature and without which we can not live as

human being” (Hak-hak yang melekat secara kodrati pada manusia yang tanpa itu tidak dapat

hidup sebagai layaknya seorang manusia).25

Dewan Pertahanan Keamanan Nasional mengajukan tiga tolak ukur untuk menentukan hak dasar manusia yang fundamental ialah, pertama hak yang bersifat sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, kedua hak yang terkait dengan kelangsungan eksistensi manusia, dan ketiga hak yang bersifat universal.

Sementara itu, dalam Preambule Perjanjian Internasional Hak Sipil dan Politik dirumuskan sebagai “These rights derive from the inherent

dignity of the human person” (Hak-hak yang berasal dari martabat yang melekat pada manusia).

26

25

Koesparmono, Op. Cit., hal 24.

26 Ibid., hal 25.

Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada jati diri manusia secara kodrati dan secara universal, dan berfungsi menjaga integritas keberadaannya,


(28)

berkaitan dengan hak atas hidup dan kehidupan, keselamatan, keamanan, kemerdekaan, keadilan, kebersamaan dan kesejahteraan sosial sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.27

Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights merupakan suatu pernyataan umum mengenai martabat yang melekat dan kebebasan serta persamaan manusia yang menunjukkan nilai normatif konsep hak asasi manusia. Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak mereka.

Dalam Vienna Declaration and Programme of Action hak asasi manusia diartikan sebagai :“ that all human rights derive from the dignity and worth inherent in the human person,

and that the person is the central subject of human rights and fundamental freedom, and consequently should be the principal beneficiary and should participate actively in the realization of these rights and freedom.” (Bahwa semua hak asasi manusia berasal dari martabat

dan pantas melekat dalam manusia, dan bahwa manusia adalah sentral subjek dari hak asasi manusia dan kemerdekaan dasar, secara konsekwen harus menjadi pewaris terpenting dan harus berpartisipasi secara aktif dalam merealisasikan dari hak-hak dan kebebasan).

28

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberi pengertian tentang hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya Mereka di karuniai akal serta nurani dan harus saling bergaul dalam semangat persaudaraan.

27

Ibid.


(29)

yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum ,pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.29

B. Praktek Hak Asasi Manusia Dalam Kehidupan Sehari-hari Dalam Hubungannya Dengan Negara Dan Hukum

Hak asasi dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan, justru karena berpikir secara hukum berkaitan dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud. Dengan demikian pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui dan dihormati serta harus dijunjung tinggi.30

Demikian juga di antara para pakar terjadi pengelompokan seperti Machiavelli, Jean Bodin, Thomas Hobbes yang mendukung sistem absolutisme dan John Locke, Montesqieau serta Voltair dna sebagian penulis lain sebagai pendukung sistem negara hukum dan hak asasi. Mereka berpendapat bahwa individu memiliki hak kodrati, antara lain hak hidup, hak kebebasan dan hak milik. Dengan demikian peranan raja dan pemerintah harus melindungi hak-hak tersebut dan tidak boleh melanggarnya. Untuk itu Montesqieau, pendukung kebebasan warga negara, berpendapat bahwa pemerintahan harus dibagi dalam tiga kekuasaan terpisah (Trias Politica).31

Thomas Aquinas mempelopolori dengan aliran hukum alam. Dalam situasi yang serba alami, semua manusia mempunyai hak-hak tertentu dan kewajiban-kewajiban tertentu pula yang harus dihormati dan dipertahankan. Hak-hak yang bersifat asasi, misalnya hak hidup.32

29 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 30

Koesparmono,Op. Cit. hal. 28.

31

Ibid.,hal. 29


(30)

Dalam hukum internasional tradisional, konsep “tanggung jawab negara” berkaitan dengan kewajiban negara yang muncul dari pelanggaran yang dilakukannya terhadap negara lain yang dirugikan (injured state). Pihak yang dirugikan di sini bukan perseorangan atau kelompok melainkan negara di mana orang atau kelompok menjadi warga negaranya. Dalam arti ini, pengajuan tuntutan berada di tangan negara yang warganya dirugikan atau menjadi korban, bukan berada di tangan para korban itu sendiri, para korban tidak mempunyai hak untuk mengajukan tuntutan internasional. Inilah yang membedakannya dengan tanggung jawab negara dalam konteks hukum hak asasi manusia. 33

Dalam hukum hak asasi manusia internasional, pengertian tanggung jawab negara berkaitan dengan kewajiban negara dalam rangka memajukan dan melindungi hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Tanggung jawab negara dalam pengertian ini merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada seluruh masyarakat internasional, bukan hanya tertuju kepada suatu negara yang dirugikan. 34

Perjanjian hak asasi manusia pada umumnya, bukanlah perjanjian yang dihasilkan dari saling memberi hak untuk kepentingan bersama negara pihak. Maksud dan tujuannya adalah untuk melindungi hak-hak dasar manusia, tanpa memandang kebangsaan. Dalam menyimpulkan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia tersebut, Negara dapat dikatakan telah menyerahkan diri mereka ke dalam suatu ketertiban hukum, di mana mereka telah menyanggupi melakukan berbagai kewajiban, bukan dalam hubungan dengan negara lainnya, melainkan terhadap individu di dalam yurisdiksinya.35

33

Theo Van Boven, Ifdhal Kasim, Mereka yang Menjadi Korban, hal 18.

34

Ibid.


(31)

Penahanan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap seseorang ialah karna adanya dugaan terhadap orang tersebut bahwa ia telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti awal, maka untuk kepentingan penyelidikan maka kepolisian akan melakukan penangkapan yang kemudian kepolisian melakukan penahanan yang didasari dengan surat perintah.

Polisi dalam melakukan pemeriksaan masih saja menggunakan kekerasan dan penganiayaan. Ini membuktikan kepada kita bahwa masih ada aparat penegak hukum yang belum dapat mengemban tugas dengan baik. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan dalam bidang penyelidikan sehingga penyelidikan dilakukan dengan kekerasan, maka untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan tenaga-tenaga polisi yang terampil dan dibekali pengetahuan hukum.

Dalam peradilan kita melihat peradilan yang hampir sempurna dimana kita mengharapkan peradilan yang bebas merdeka dan berwibawa, tetapi kenyataan yang kita hadapi bukan seperti yang kita harapkan.Masyarakat begitu tidak percaya kepada pengadilan, seolah-olah pengadilan berperan menjauhkan keadilan dari rakyat.

Kalau kita perhatikan pengertian hak asasi manusia dalam arti umum adalah hak yang dimiliki manusia menurut kodrat yang tidak dipisahkan dari hakikatnya karena itu hak asasi manusia itu bersifat luhur dan suci. Sedangkan dalam suatu negara hukum ialah seseorang sebagai manusia pribadi yang dilindungi dari tindakan sewenang-wenang penguasa. Jadi jelaslah hukum itu sebagai suatu rangkaian atau ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan sesuatu dengan susuatu yang lain.

Manusia sebagaimana diakui hukum merupakan subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban hukum), pada saat itu hukum secara formal mengakui hak-hak asasi manusia sehingga


(32)

persoalan hukum dan hak asasi manusia adalah satu, dalam arti hukum yang memberikan pengayoman, kedamaian serta ketentraman manusia bermasyarakat dan bernegara.

Kita dapat meninjau mulai dari keadaan sesudah revolusi Prancis. Berkat pengaruh pikiran-pikiran J.J Rosseau rakyat Prancis memperoleh penghargaan yang lebih layak dari penguasa daripada sebelum revolusi. Sebagai reaksi atas kekuasaan absolut dari raja-raja dan pendukung-pendukungnya yaitu golongan bangsawan dan agama maka ia tampil dengan ajarannya yang terkenal tentang kedaulatan rakyat, yaitu apa yang dikehendaki rakyat itulah baru dinamakan hukum.

Kita menyadari bahwa persoalan penegakan hukum saat ini sedang dalam proses, baik dalam nasional maupun dunia internasional, hal ini sama halnya dengan persoalan hak-hak asasi manusia yang juga dalam proses atau dalam perjuangan sejauh mana hak-hak asasi manusia ini berhasil ditegakkan yang sangat bergantung dari kesadaran umat manusia sendiri terutama para pemimpin atau negarawan nasional dan internasional.

Seseorang sebagai manusia pribadi dalam suatu negara hukum dilindungi terhadap tindakan-tindakan sewenang-wenang dari penguasa, hak-hak dan kebebasan-kebebasan perseorangan diakui yaitu dengan dibuatnya berbagai pernyataan dan peraturan yang mengakui adanya hak-hak dan kebebasan dari perseorangan tersebut. Salah satu yang telah diterima secara internasional yang diterima baik oleh PBB adalah pernyataan umum hak-hak manusia (Universal

Declaration of Human Rights).

Jika kita memikirkan persoalan hak-hak dan kebebasan manusia ini, maka janganlah dilupakan bahwa apa yang sekarang telah tercapai dengan diploklamirkannya hak-hak asasi manusia secara universal, sesungguhnya merupakan suatu lanjutan dari cita-cita leluhur kita


(33)

sejak ratusan tahun lalu. Jaminan pada tiap-tiap orang atas penghidupan yang selayaknya sebagai manusia adalah suatu cita-cita tentang keadilan.

C. Hak Asasi Manusia Menurut Hukum Internasional

Manusia sebagaimana diakui hukum merupakan subjek hukum pada saat itu sebenarnya hukum secara formal mengakui hak asasi manusia, sehingga persoalan hukum dan hak asasi manusia adalah satu, dalam arti hukum yang memberi pengayoman, kedamaian serta ketenteraman manusia bermasyarakat dan bernegara. Hal ini berarti ada hukum yang sekedar ada untuk menunjuk bahwa aturan hukum yang dipakai dalam suatu negara.36

Persoalan hak asasi manusia kalau dikaji lebih jauh akan sampai pada satu area bidang politik tiap-tiap negara yang kadang-kadang sudut pandangan masing-masing negara berbeda dengan aplikasi yang berbeda pula. Hal ini disadari sekali oleh para ahli hukum internasional, karena itulah dengan cara yang sabar dan perundingan terus menerus diusahakan adanya satu konsensus Internasional dalam menegakkan hak asasi manusia di seluruh dunia.

Kita menyadari sepenuhnya bahwa persoalan hukum dan menegakkan hukum, saat ini dalam proses, baik dalam arti nasional maupun hukum internasional, hal ini sama persoalannya dengan hak asasi manusia, yang juga dalam proses atau dalam perjuangan. Sejauh mana perjuangan menegakkan hukum dan menegakkan hak asasi manusia berhasil, kiranya sangat tergantung dengan kesadaran umat manusia sendiri, terutama para negarawan nasional dan internasional.

37

Konsensus Internasional tersebut sudah dituangkan dalam satu konvensi internasional yaitu dalam Vienna Convention on The Law of Treaties tanggal 23 Mei 1969 yang diharapkan

36

A.Masyhur Effendi, Tempat Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional/Nasional,Penerbit Alumni, Bandung ,1980, hal 14.


(34)

merupakan sarana semua anggota Perserikatan PBB untuk mengadakan komunikasi dengan dasar etiket baik (good faith and pacta sunt servanda), sehingga setiap pihak yang menghadapi persoalan dapat menyelesaikannya melalui perjanjian.38

Hukum humaniter yang merupakan cabang dari hukum internasional, sekarang dapat diartikan sebagai komponen hak asasi manusia di dalam hukum perang. Hukum ini lebih tua usianya dibandingkan dengan hukum hak asasi manusia. Perkembangannya yang modern dapat ditelusuri dari serangkaian gagasan yang dikemukakan oleh Swiss pada abad ke-19 yang kemudian melahirkan perjanjian internasional mengenai aturan-aturan kemanusiaan yang diterapkan dalam melakukan peperangan.

Hak asasi manusia adalah hak yang sangat esensial dalam kehidupan manusia, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Hak asasi manusia harus dihargai dalam segala aspek kehidupan, baik dalam lapangan hukum, sosial, budaya, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Untuk itu sedikit pandangan mengenai hak asasi manusia dari segi hukum dalam praktek sehari-hari, yaitu dalam hal kepolisian dan peradilan.

39

Gagasan ini telah melahirkan Konvensi Jenewa 1864 yang ditujukan untuk melindungi tenaga-tenaga medis dan rumah sakit serta mengharuskan penampungan dan perawatan kombatan yang luka dan sakit. Konvensi ini kemudian diikuti oleh Konvensi Hague III tahun 1899 yang berisikan aturan-aturan kemanusiaan bagi peperangan di laut. Konvensi-konvensi ini kemudian diperbaiki dan disempurnakan beberapa kali, yang kemudian sekarang merupakan suatu hukum yang secara lengkap mencakup hampir semua aspek sengketa bersenjata yang modern. Kesemuanya itu dituangkan ke dalam Konvensi Jenewa 1949 dengan dua protokolnya.

38 Ibid.

39 Rudi M. Rizki, Pokok-Pokok Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, hal 6, diakses dari


(35)

Walaupun hukum humaniter modern lebih dahulu lahir dibandingkan dengan hukum hak asasi manusia internasional, namun pengaruh hukum HAM dapat ditemukan di dalam hukum humaniter. Sebagai contoh, protokol-protokol yang lahir kemudian mencerminkan asas-asas hukum hak asasi manusia modern. Perlu dicatat bahwa degoration clauses dari hukum hak asasi manusia internasional diambil dari hukum humaniter, termasuk juga kewajiban-kewajiban para negara peserta. Dengan demikian, hukum HAM internasional modern mencakup juga hukum humaniter, yang berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap manusia baik dalam keadaan damai maupun perang.40

Dewasa ini, Dewan Keamanan PBB sering mengambil tindakan terhadap negara-negara yang dianggap telah melakukan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dengan memperkenankan penggunaan tindakan pemaksaan berdasarkan Bab VII Piagam PBB. Doktrin intervensi humaniter yang dikemukakan oleh Grotius pada abad ke-17 dan diikuti oleh banyak pendukungnya, diartikan sebagai penggunaan kekuatan yang sah yang dilakukan oleh suatu atau beberapa negara terhadap negara lainnya guna menghentikan perlakuan yang menyimpang terhadap warga negaranya, khususnya terhadap perlakuan brutal dan berskala besar yang bertentangan dengan keyakinan masyarakat bangsa-bangsa. Doktrin ini pada kenyataannya sering disalahgunakan oleh negara-negara besar tertentu untuk menginvasi atau mengokupasi negara-negara yang lebih lemah. Namun demikian, doktrin ini merupakan pernyataan pertama yang membatasi kebebasan negara berdasarkan hukum internasional dalam memperlakukan warga negaranya. Berdasarkan doktrin ini pula, suatu organisasi internasional atau kelompok negara-negara menggunakan kekuatannya untuk mengakhiri suatu pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia di suatu negara.


(36)

Ketentuan ini hanya berlaku terhadap keadaan yang mengancam atau membahayakan perdamaian dan terhadap tindakan agresi. Karena resolusi-resolusi yang mengesahkan tindakan Dewan Keamanan tersebut secara hukum dan secara factual masih dianggap mendua (ambiguous), maka tindakan tersebut masih sulit untuk dikatakan sebagai suatu versi modern dari doktrin intervensi humaniter secara kolektif. Namun demikian, dapatlah dikatakan bahwa peran Dewan Keamanan tersebut telah mengarah ke sana. Pendirian Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia oleh Dewan Keamanan yang dimaksudkan untuk mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan massal, dan kejahatan perang di wilayah tersebut, dapat pula dianggap sebagai suatu bentuk modern dari intervensi humaniter secara kolektif terhadap pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. 41

D. Hubungan Antara Hak Asasi Manusia dan Perang.

Diluar dari kehendak yang wajar dan pandangan umum, tidak seorangpun dari masyarakat internasional menginginkan terjadinya perang sesama mereka, semua orang mengutuk peperangan karena peperangan hanya akan membawa sengsara dan kebinasaan bagi umat manusia. Tetapi dalam kenyataannya walaupun masyarakat internasional berusaha agar perang tidak terjadi, tetapi tetap saja perang itu timbul dan ada sampai saat ini bahkan dikhawatirkan akan lebih meningkat lagi di masa akan datang.

Peristiwa perang dan permusuhan antara berbagai pihak, tidak saja dikenal sejak beberapa puluh tahun yang lalu, tetapi perang telah dikenal dan telah dilakukan sejak umat manusia mengukir sejarah dan peradabannya. Perang dapat menyebabkan semua pihak menjadi terlibat


(37)

dan jika tidak ada pembatasannya menyebabkan kehancuran total umat manusia, serta menyebabkan terancamnya hak asasi manusia.

Jika kita hubungkan dengan kenyataan dunia yang kita alami saat ini dengan banyaknya terjadinya peperangan, konflik-konflik dan beraneka bentuk permusuhan lainnya yang mengancam perdamaian dunia. Sampai pada ditandatanganinya perjanjian Paris (Briand Kellog

Pact) pada tahun 1926 bagi negara-negara yang terlibat dalam peperangan dan pengkhianatan

tidak ada jalan kecuali dengan perang karena peranglah jalan satu-satunya cara yang sah untuk menyelesaikan konflik-konflik internasional yang mampu mempertahankan dan menegakkan hukum internasional.

Menurut perjanjian tersebut diatas tidak ada gunanya melarang terjadinya perang, sebab tidak adanya badan yang berwenang penuh untuk bertindak atas pelanggaran-pelanggaran hukum internasional. Itulah sebabnya kalau terjadi perang maka penyelesaiannya diusahakan saja pada negara yang terlibat atau dengan istilah lain System by Decentralize Enforced of International

Law.

Berpedoman kepada sejarah ternyata cara demikian tidak menguntungkan bahkan menimbulkan kerugian yang amat besar baik bagi manusia sendiri sebagai pelaku dalam peperangan, maupun terhadap lingkungan tempat dilakukannya perang. Kemudian mulailah orang berpikir dan membuat batasan-batasan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antar bangsa-bangsa.

Pada prinsipnya perang dilakukan secara luas tanpa aturan dan banyak menimbulkan kerugian serta penderitaan bagi umat manusia. Di lain pihak perang juga mempunyai segi positif dan negatif yang ditimbulkannya. Perang dapat mempengaruhi sejarah manusia yaitu terhapusnya kebudayaan yang lama untuk digantikan dengan kebudayaan yang baru misalnya


(38)

tampak pada Perang Dunia I tidak bakal ada revolusi tahun 1917 di Rusia yang kemudian melahirkan Republik Soviet. Dengan berakhirnya perang dunia II maka hampir semua bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin memperoleh kemerdekaannya. Disini jelas tampak bahwa perang telah menciptakan perubahan-perubahan yang memungkinkan dalam rangka memajukan perkembangan kebudayaan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap bangsa yang melakukan perang tidak lain adalah dengan maksud untuk memaksakan kehendaknya atau untuk memperluas wilayahnya dalam rangka mewujudkan cita-cita nasionalnya. Dalam hal ini kita dapat melihat contoh dari perang Teluk 1990-1991 yang sekarang terwujudnya perjanjian Washington yang baru dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1994 yang tetap dianggap rakyat Palestina sebagai sesuatu yang belum tuntas dan utuh karena masalah kota Yerusalem yang masih dipertahankan oleh Israel.

Sejarah telah membuktikan bahwa suatu bangsa yang ingin hidup damai dan aman, maka ia harus memperhatikan pertahanan dan keamanannya yang hanya untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya saja, maka negara itu akan mudah hancur oleh serangan-serangan negara lain yang telah mempersiapkan diri untuk perang.

Perlunya penerapan aturan serta rasa kemanusiaan dalam perang sudah dikenal sejak jaman dahulu kala. Namun ironisnya pelanggaran demi pelanggaran masih saja terus berlangsung hingga sekarang. Di India misalnya, sejak dahulu kala telah dikenal peraturan-peraturan hukum perang yang bertujuan untuk melindungi orang-orang yang tak berdaya, terluka dan yang sakit, terdapat ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak tentara pendudukan, senjata terlarang, dan perlakuan tawanan perang. Cerita Mahabharata misalnya, mengandung aturan-aturan perang yang berperikemanusiaan.


(39)

Demikian pula kitab Undang-undang Manu di India pada masa lampau memuat ketentuan terperinci mengenai orang-orang (penduduk sipil) yang tidak boleh diserang, barang-barang rampasan perang, dan larangan untuk melakukan kekejaman. Salahudin Al- Ayubi pada masa kejayaan Islam juga telah menerapkan aturan hukum humaniter berdasar ajaran Al-Qur’an dan Hadits.

Yunani Kuno dan Romawi juga mengenal ketentuan-ketentuan yang melarang pemakaian racun, pembunuhan tawanan perang, dan penyerangan atas tempat-tempat ibadah. Sumbangan yang berharga dari hukum Romawi terhadap hukum perang modern adalah definisi “perang” dan pendapat yang mengatakan bahwa peperangan harus dimulai dengan suatu pernyataan perang yang resmi.

Jelas bahwa rasa kemanusiaan merupakan suatu hal yang umum dan telah dikenal oleh berbagai bangsa dan peradaban sejak dahulu kala. Tidak benar apabila ada yang berpendapat bahwa sebelum Rousseau merumuskannya dalam Du Contract Social, prinsip perikemanusiaan itu belum dikenal. Perbedaannya hanyalah bahwa sebelum itu perikemanusiaan dalam perang sering masih terbatas pelaksanaannya pada musuh yang seagama atau satu kebudayaan sehingga pada saat itu belum dapat dikatakan sebagai asas yang berlaku umum dan universal yang melintasi batas keagamaan, kebudayaan, dan kebangsaan seperti di zaman modern.

Dasar-dasar hukum humaniter bertujuan melindungi masyarakat dan membatasi akibat yang tidak perlu atau yang berlebihan, yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa konflik dan perang. Hukum humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata.

Pada prinsipnya masyarakat internasional memang mengakui bahwa peperangan antarnegara (international armed conflict) dan bahkan secara internal dalam suatu negara


(40)

(non-international armed conflict) dalam banyak kasus yang pernah terjadi memang sukar atau tidak

dapat dihindari. Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan tetapi orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi korban.

Oleh karena itu semua orang harus tetap dilindungi hak asasinya, baik dalam keadaan damai maupun perang. Tidak benar bahwa dalam peperangan, aspek hukum akan lenyap seperti yang digambarkan dalam peribahasa Romawi inter arma silent leges (terjadinya perang membuat aturan-aturan hukum bisa diabaikan).

Hukum yang mengatur konflik bersenjata lazim disebut sebagai hukum perang, kemudian setelah Perang Dunia II diubah menjadi hukum humaniter. Penggantian istilah tersebut dalam rangka memanusiakan manusia dalam perang. Perang biasanya ditandai oleh konflik di suatu wilayah dengan intensitas penggunaan kekuatan bersenjata cukup tinggi dan terorganisasi. Tujuan hukum humaniter yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebagai berikut:

1. Untuk melindungi orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam suatu permusuhan

(hostilities), seperti orang-orang yang terluka, yang terdampar dari kapal, tawanan perang, dan penduduk sipil.

2. Untuk membatasi akibat buruk penggunaan senjata dan kekerasan dalam peperangan dalam

rangka mencapai tujuan terjadinya konflik tersebut.

Israel jelas telah melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan dalam berbagai tindakan atau aksi militernya, baik selama kurang lebih enam dasawarsa di Palestina. Dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya, Israel telah menggunakan cara-cara yang tidak berperikemanusiaan,


(41)

melanggar hak asasi manusia, mengabaikan aturan hokum humaniter, dan tidak sesuai dengan doktrin “Just War”.

Dalam Hukum Humaniter Internasional terdapat dua doktrin mengenai kategori perang, yaitu :42

a. Just War

“Just War” (perang yang dibenarkan) bermakna bahwa ada justifikasi atau alasan

pembenaran untuk melaksanakan serangan, bahwa perang dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang logis dan dapat dibenarkan, perang berlangsung secara adil dan seimbang, perang dilakukan terbatas untuk mencapai tujuan tertentu dan bukan untuk menghancurkan atau memusnahkan pihak lawan (suatu negara, suatu bangsa, etnis dan suku-bangsa, kelompok atau oposisi atau pemberontak). Berlandaskan doktrin “Just War” ini, sepanjang perang tidak terhindarkan dalam rangka memperjuangkan sesuatu atau mempertahankan sesuatu, dibolehkan melakukan tindakan untuk mengalahkan/menaklukkan lawan, tetapi bukan untuk menghancurkan. Boleh memperjuangkan sesuatu, mencakup hal-hal kepentingan nasional atau mencegah berlanjutnya agresi, tetapi bukan dengan cara-cara teror yang menimbulkan kesengsaraan bagi penduduk sipil. Kriteria melakukan sebuah perang yang dibenarkan, pertama kali diringkas oleh seorang ahli filsafat Belanda Hugo Grotius pada abad ke-17 dan bersumber pada ahli-ahli agama Katolik tua, terdiri atas tujuh elemen: (1) bahwa ada penyebab yang dibenarkan; (2) bahwa ada otoritas yang benar (penguasa yang sah) yang memprakarsai perang tersebut; (3) maksud yang benar dari pihak-pihak yang menggunakan kekuatan; (4) bahwa pilihan menggunakan kekuatan adalah proporsional; (5) bahwa penggunaan kekuatan merupakan pilihan terakhir; (6) bahwa perang ditempuh dengan


(42)

kedamaian sebagai tujuan akhirnya (bukan karena semata-mata ingin berperang); (7) bahwa ada harapan yang masuk akal bahwa upaya perang tersebut akan berhasil.

b. Unjust War (perang yang tidak dibenarkan)

Unjust War merupakan perang yang tidak mengikuti ketentuan perang dalam hukum

humaniter, seperti genosida, penggunaan senjata pemusnah massal dan lain-lain.

Selain yang diatur berdasar doktrin, dalam perkembangan di zaman modern diadakan pula aturan-aturan berdasar perjanjian internasional dan ketetapan dari badan perlengkapan organisasi internasional. Sehingga ketentuan-ketentuan Hukum Perang atau Hukum Humaniter ini dibagi ke dalam tiga cabang, yaitu :

1. Hukum The Hague (Law of the Hague) lebih terkait dengan peraturan mengenai cara dan sarana bertempur dan memusatkan perhatiannya pada tindakan operasi militer. Oleh karena itu, maka jenis Hukum The Hague sangat penting bagi komandan militer di darat, laut, dan udara. Hukum ini dilandasi oleh hasil Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan di The Haque (Den Haag, Belanda) pada tahun 1899 dan 1907, yang utamanya menyangkut sarana dan metode perang yang diperkenankan.

2. Hukum Jenewa (Law of Geneva), yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Mereka yang dilindungi adalah militer maupun sipil, di darat maupun di air. Hukum Jenewa melindungi semua orang yang hers de combat, yakni yang luka-luka, sakit, korban karam/tenggelam, dan tawanan perang. Hukum Jenewa ini mencakup Konvensi Jenewa 1929, Konvensi Jenewa 1949, dan juga Protokol Jenewa 1977.

3. Hukum New York (New York Rules), yaitu aturan-aturan baru yang berkaitan dengan hukum humaniter atau yang mengatur ketentuan yang berlaku dalam peperangan/pertempuran. Ketentuan dihasilkan melalui mekanisme Perserikatan


(43)

Bangsa-Bangsa yang bermarkas besar di New York. Lazimnya yang digolongkan sebagai New

York Rules adalah yang dibuat setelah tahun 1980. Ada yang berupa konvensi, protocol,

maupun berupa resolusi. Resolusi Majelis Umum dan Resolusi Dewan Keamanan PBB. Contoh-contohnya antara lain Convention on the prohibition of the development,

production, stock-pilling and the use of chemical weapons and on their destructions

(1993), Protocol on Binding Laser Weapons (1995), Protocol on the Explosive Remnants

of War (2003), dan New York Rules juga mencakup yang sebelum tahun 1970-an yaitu

Konvensi PBB tentang Genosida (Genocide Convention) tahun 1948 yang merupakan pengembangan dari Resolusi PBB Nomor 96 (11 Desember 1946), serta Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2444 Tahun 1968 (Respect for Human Rights in Armed Conflict).


(44)

BAB III

PENGATURAN TENTANG PERLINDUNGAN WARGA SIPIL PADA MASA PERANG DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A. Prinsip Pembedaan (Distinction Principle) dalam Hukum Humaniter 1. Pengertian Prinsip Pembedaan

Salah satu prinsip yang menjadi landasan utama hukum perang adalah pembagian penduduk (warga negara) negara yang sedang berperang atau yang sedang terlibat dalam suatu pertikaian senjata (armed conflict) dalam dua kategori, yaitu kombat dan penduduk sipil

(civilians). Golongan kombat inilah yang secara aktif turut serta dalam permusuhan. Prinsip

membagi penduduk dalam dua golongan ini lazim disebut distinction principle.43

Hukum perang seperti induknya, yaitu hukum internasional, berasal dan bersumber dari dunia Barat. Oleh karena itu, apabila dikatakan bahwa hukum perang antara lain bersumber pada kebiasaan perang, yang dimaksudkan di sini adalah kebiasaan perang di dunia Barat. Sekalipun di dunia Timur juga terdapat kebiasaan perang, namun pada waktu menyusun hukum perang, yang dijadikan sumber adalah (hanya) kebiasaan dunia Barat saja.

Sudah diketahui bahwa hukum perang merupakan bagian dari hukum internasional. Akan tetapi, mungkin belum diketahui bahwa hukum perang merupakan bagian pertama dari hukum internasional yang dikodifikasikan (tertulis). Sampai sekarang, dengan disetujuinya Protokol-protokol Tambahan 1977, hukum perang mencakup kurang lebih enam ratus artikel.

44

Konvensi pertama yang berhubungan dengan hukum perang di darat ditandatangani di Jenewa pada tahun 1864, yaitu konvensi tentang perbaikan keadaan yang luka-luka dalam tentara

43

Makdin Amrin Munthe, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, USU Press,Medan, 2008, hal 89


(45)

di lapangan. Konvensi-konvensi pertama dari hukum perang umumnya mengenai perbaikan nasib yang sakit dan luka-luka di medan perang. Salah satu prinsip dasar yang dianut dalam hukum perang adalah pembedaan antara kombat dan penduduk sipil. Pembedaan ini perlu diadakan pertama untuk mengetahui siapa yang dapat/boleh dijadikan objek kekerasan dan siapa yang harus dilindungi. Dengan kata lain, dengan adanya prinsip pembedaan tersebut dapat diketahui siapa yang boleh turut dalam pertempuran sehingga dijadikan objek kekerasan (dibunuh), dan siapa yang harus dilindungi karena tidak turut serta dalam permusuhan.45

45 Ibid.

Salah satu prinsip dasar yang dianut dalam hukum perang adalah pembedaan antara kombat dan penduduk sipil. Pembedaan ini perlu diadakan pertama untuk mengetahui siapa yang dapat/boleh dijadikan objek kekerasan dan siapa yang harus dilindungi. Dengan kata lain, dengan adanya prinsip pembedaan tersebut dapat diketahui siapa yang boleh turur dalam permusuhan sehingga dapat dijadikan objek kekerasan (dibunuh), dan siapa yang harus dilindungi karena tidak turut serta dalam permusuhan. Mengenai masalah ini, Manual of Military Law dari Kerajaan Inggris yang dikutip Draper, mengatakan bahwa kedua golongan itu, yaitu kombat dan penduduk sipil, masing-masing mempunyai privileges-duties-disabilities. Selanjutnya dalam manual tersebut dikatakan bahwa seorang harus memilih di dalam golongan mana ia masuk, dan ia tidak dibenarkan menikmati privilages dua golongan sekaligus. Di dalam cetakan tahun 1958, manual tersebut menambahkan bahwa pembedaan antara kombat dan non-kombat sekarang menjadi tidak jelas. Pada masa itu, yaitu dekade abad ke-19 tidaklah sulit untuk menentukan siapa yang turut dalam permusuhan dan siapa golongan sipil, karena angkatan bersenjata atau kombat memakai seragam yang jelas berbeda dari pakaian penduduk sipil.


(46)

Sekalipun pada waktu itu sudah ada wajib militer (compulsary military service) sehingga jumlah angkatan bersenjata sudah jauh lebih besar dibandingkan dengan waktu sebelumnya, namun mereka semua memakai pakaian seragam. Dengan demikian, pada waktu itu orang secara cepat dapat menentukan siapa kombat dan siapa penduduk sipil. Perlu sekali lagi ditekankan bahwa apa yang diterangkan di atas tersebut terjadi di dunia Barat.

2. Distinction Principle Menurut Hague Convention IV – 1907

Pada tahun 1899 di Den Haag atas prakarsa Rusia dilangsungkan apa yang disebut First

Hague Peace Conference. Salah satu tujuan konvensi yang sudah disetujui di Brussels pada

tahun 1874. Ternyata bahwa konferensi ini berhasil untuk menerima konvensi tersebut di atas beserta annex-nya. Konvensi 1899 ini kemudian direvisi lagi dalam Second Peace Conference, yang diadakan di Den Haag pada tahun 1907. Konvensi 1907 ini tidak jauh berbeda dari konvensi 1899. Dapat ditambahkan bahwa Second Peace Conference ini menghasilkan banyak konvensi, satu diantaranya adalah konvensi IV, yang berjudul Convention respecting the laws

and customs of war on land. Konvensi ini hanya terdiri dari sembilan artikel, tetapi dilampiri

sebuah annex yang berjudul Regulation respecting the laws and customs of war on land, yang terdiri dari 56 artikel. Annex ini lebih dikenal dengan sebutan Hague Regulations, atau disingkat HR. 46

46 Ibid., hal 76.

Karena pentingnya bagi setiap anggota angkatan bersenjata, HR itu sering juga disebut the soldier’s vadamecum. Sebagai tambahan dapat dikemukakan bahwa Konvensi IV ini antara lain diratifikasi oleh negara Great Britain, Jepang, Meksiko, Belanda, Rusia, dan sebagainya. Di dalam artikel 1 dari HR tersebut dinyatakan sebagai berikut


(47)

Hukum hak dan kewajiban perang tidak hanya berlaku bagi tentara (Armies) saja, tetapi juga bagi milisi dan korps sukarela (volunteer corps) yang memenuhi syarat berikut :

1. Dipimpin oleh seseorang yang bertanggung atas bawahannya

2. Mempunyai tanda pengenal yang melekat, yang dapat dilihat dari jauh 3. Membawa senjata secara terbuka

4. Melakukan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang

Di dalam negara-negara di mana misili atau korps sukarela itu merupakan (constitute) tentara atau menjadi bagian daripadanya, mereka dimasukkan dalam sebutan tentara (army).

Selanjutnya dalam artikel 2 ditentukan bahwa juga segolongan penduduk disebut

belligerent seperti mereka yang tersebut artikel 1- apabila mereka memenuhi persyaratan yaitu

penduduk dari suatu wilayah yang belum diduduki, yang secara spontan mengangkat senjata untuk melawan musuh yang mendekat, dan tidak sempat mengatur diri sesuai ketentuan artikel 1, dianggap sebagai belligerent jika mereka mengindahkan hukum perang dan membawa senjata secara terbuka.

Artikel 2 ini menyangkut apa yang dikenal dengan istilah levee en masse. Jadi persyaratan yang harus dipenuhi supaya diakui sebagai levee en masse adalah :

1. Penduduk dari wilayah yang belum diduduki. 2. Secara spontan mengangkat senjata.

3. Tidak ada waktu untuk mengatur diri. 4. Mengindahkan hukum perang.

5. Membawa senjata secara terbuka.

Di dalam artikel 3 dinyatakan bahwa angkatan bersenjata dari pihak berperang dapat terdiri dari kombat dan non-kombat. Apabila tertangkap oleh musuh, kedua-duanya harus


(48)

diperlakukan sebagai tawanan perang. Perlu dicatat disini bahwa nonkombat yang dimaksudkan dalam artikel 3 ini bukanlah penduduk sipil, tetapi bagian dari angkatan bersenjata yang tidak turut bertempur.

Berdasarkan hal-hal yang tercantum dalam artikel 1, 2 dan 3 itu, menurut Hague

Regulations, golongan yang secara aktif dapat turut serta dalam permusuhan adalah :

1. Armies (tentara) ;

2. Militia dan volunteer corps (milisi dan korps sukarela) dengan memenuhi

persyaratan tertentu ;

3. Levee en masse (Pen duduk sipil dalam kategori sebagaim an a disebutkan dalam

Artikel 2 H ague Regulation s);

Salah satu pasal dari Hague Convention IV yang perlu mendapat perhatian adalah Pasal 2, yang berbunyi sebagai berikut : ketentuan yang terdapat pada Hague Regulations, maupun yang terdapat dalam konvensi ini, tidak berlaku mengikat selain semua pihak-pihak penanda tangan, dan hanya apabila semua pihak berperang adalah pihak dari konvensi ini.

Dengan adanya ketentuan tersebut, Hague Regulations tidak berlaku apabila dalam suatu perang ada suatu pihak berperang saja yang tidak meratifikasi konvensi tersebut.

3. Distinction Principle Menurut Geneva Conventions 1949

Seperti diketahui, Konvensi Jenewa 1949 itu terdiri dari empat konvensi, yaitu:

a) Konvensi mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka dan sakit di medan pertempuran darat.

b) Konvensi mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang di laut yang luka, sakit dan korban karam.

c) Konvensi mengenai perlakuan tawanan perang.


(49)

Di dalam konvensi 1, 2, 3 ada artikel yang berhubungan dengan distinction principle, yaitu artikel 13 dalam konvensi 1-2 dan artikel 4 dalam konvensi 3. ketiga artikel itu sebagian sama bunyinya. Artikel 13 tidak memuat apa yang terdapat dalam artikel 4 sub B. Artikel 13 menentukan kategori antara lain :

1. Anggota angkatan bersenjata dari pihak bertikai, dan anggota milisi atau korps sukarela yang merupakan bagian dari angkatan bersenjata.

2. Anggota dari milisi lain dan korps sukarela lain, termasuk anggota gerakan perlawanan yang teratur yang menjadi bagian dari pihak bertikai dan beroperasi, baik di dalam maupun di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah tersebut telah diduduki, selama mereka semua memenuhi syarat-syarat, yaitu :

a. Dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas bawahan. b. Mempunyai tanda tertentu yang tampak dari jauh.

c. Membawa senjata secara terbuka.

d. Melakukan operasinya sesuai dengan hukum perang.

3. Anggota angkatan bersenjata yang menyatakan kesetiaannya pada suatu pemerintah atau penguasa yang tidak diakui oleh negara penahan.

4. Orang-orang yang menyertai angkatan bersenjata, tetapi bukan menjadi bagian daripadanya, seperti anggota sipil dari awak pesawat terbang militer, wartawan perang, anggota dari kesatuan pekerja yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan bersenjata, mereka semua harus mendapat izin dari angkatan bersenjata yang diikuti. 5. Anak awak dari kapal dagang dan awak pesawat terbang sipil dari pihak yang bertikai,

yang tidak menikmati perlakuan yang lebih baik berdasarkan ketentuan hukum internasional yang lain.


(50)

6. Penduduk dari wilayah yang belum diduduki, yang mengangkat senjata secara spontan pada waktu musuh mendekat, untuk melawan pasukan penyerbu, sedangkan tidak ada waktu untuk mengatur diri dalam kesatuan bersenjata yang teratur asalkan mereka membawa senjata secara terbuka dan mengindahkan hukum kebiasaan perang.47

Berbeda dengan artikel 13 Konvensi I dan II, artikel 4 Konvensi III masih ditambah dengan sub B, yang berbunyi sebagai berikut:

Yang juga diperlakukan sebagai tawanan perang ialah :

1) Orang-orang yang termasuk, atau pernah termasuk angkatan bersenjata dari negara yang telah diduduki apabila negara yang menduduki menganggap perlu untuk melawan mereka.

2) Orang-orang yang termasuk tergolong salah satu kategori yang disebut dalam artikel ini, yang telah diterima oleh negara netral atau negara nonbelligerent di wilayah mereka, dan di mana negara-negara tersebut menganggap perlu untuk menawan mereka berdasarkan hukum internasional.48

Di dalam artikel 13 ataupun artikel 14 tidak terdapat istilah kombat. Istilah yang terdapat dalam artikel 13 adalah golongan-golongan yang mendapat perlindungan yang diatur dalam Konvensi I ataupun II, sedangkan artikel 4 Konvensi III menentukan golongan yang mendapat perlakuan sebagai tawanan perang apabila mereka jatuh ke tangan musuh. Golongan-golongan yang tersebut harus dibedakan dari penduduk sipil.

4. Pengaturan dalam Protokol Tambahan I-1977

47

Makdin Amrin Munthe,Op. Cit. hal 97

48


(51)

Dapat dikatakan bahwa Protokol I-1977 ini merupakan penyempurnaan, baik dari Hague

Convention IV-1907 maupun dari Geneva Convention-1949. Protokol ini juga memberikan

definisi baru angkatan bersenjata dan kombat. Hal ini diatur dalam artikel 43 dan 44. Artikel 43 memberi batasan dari angkatan bersenjata sebagai berikut :

1) Angkatan bersenjata dari pihak yang berikai terdiri dari angkatan bersenjata yang terorganisasi (organized armed forces), group dan unit yang berada di bawah komando yang bertanggung jawab atas kelakuan anak buahnya kepada pihak tersebut sekalipun pihak itu diwakili oleh pemerintah atau penguasa (authority) yang tidak diakui oleh pihak lawan. Angkatan bersenjata tersebut harus tunduk pada system disiplin kesatuan yang antara lain berisi pelaksanaan ketentuan hukum internasional yang berlaku dalam pertikaian bersenjata.

2) Anggota angkatan bersenjata dari pihak yang bertikai (kecuali personal medik dan pendeta seperti tersebut dalam artikel 37 Geneva Convention III) adalah kombat, yaitu mereka berhak untuk ikut serta secara langsung dalam permusuhan.

3) Apabila salah satu pihak yang bertikai memasukkan sebuah kesatuan para militer atau penegak hukum dalam angkatan bersenjata mereka, mereka wajib memberitahukan hal ini kepada pihak-pihak lain yang bertikai.49

Sedangkan artikel 44 mengatur tentang kombat dan tawanan perang:

1) Untuk menambah perlindungan dari penduduk sipil dari akibat permusuhan, kombat diharuskan membedakan diri dari penduduk sipil pada waktu mereka sedang menyerang atau di dalam suatu operasi militer yang mendahului serangan tersebut. Akan tetapi, mengingat bahwa dalam suatu pertikaian bersenjata terdapat situasi di mana, mengingat

49


(52)

sifat permusuhan tersebut, kombat tidak dapat membedakan diri, ia akan tetap memperoleh statusmya sebagai kombat asal, dalam keadaan disebut ia membawa senjata secara terbuka :

a. Selama setiap pertempuran.

b. Selama ia dapat dilihat/kelihatan oleh musuh pada waktu ia terlibat dalam suatu persiapan militer mendahului serangan di mana ia turut serta.

2) Setiap kombat, seperti ditentukan dalam artikel 43, yang jatuh dalam kekuasaan pihak lawan, akan menjadi tawanan perang.

3) Sekalipun semua kombat harus menaati ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku dalam pertikaian bersenjata, namun pelanggaran ketentuan tersebut tidak akan menghilangkan haknya untuk menjadi kombat, atau apabila ia jatuh dalam kekuasaan pihak lawan, dari haknya menjadi tawanan perang, kecuali yang ditentukan dalam paragraph 3-4.

4) Seorang kombat yang jatuh dalam kekuasaan pihak lawan, sedangkan, ia tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam kalimat ke 2 dari pasal 3, akan kehilangan haknya sebagai tawanan perang, tetapi ia akan diberikan perlindungan yang sama dalam segala aspek seperti yang diberikan kepada tawanan perang oleh konvensi Jenewa III dan Protokol ini.

5) Setiap kombat yang jatuh ke dalam kekuasaan pihak lawan pada waktu tidak terlihat dalam serangan atau dalam suatu operasi militer sebagai suatu persiapan serangan tidak akan kehilangan haknya sebagai kombat dan tawanan perang sebagai akibat kegiatan sebelumnya.


(1)

wilayah sebagai akibat dari pendudukan wilyah itu. Mereka juga tidak akan kehilangan manfaat Konvensi ini karena persetujuan apapun yang diadakan antara penguasa-penguasa dari wilayah yang diduduki dan negara pendudukan, atau karena aneksasi seluruh atau sebagian dari wilayah oleh Penguasa Pendudukan”.

Pasal 54 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 berbunyi “Penguasa Pendudukan tidak boleh merubah kedudukan pegawai-pegawai negeri atau hakim di wilayah yang diduduki, atau dengan cara bagaimanapun menggunakan sanksi atau mengambil tindakan paksaan atau diskriminasi apapun terhadap mereka, apabila mereka tidak melakukan tugas-tugas mereka karena alasan-alasan hati nurani mereka.”

Ketiga, pendudukan negara Israel telah melanggar Protokol Tambahan I tahun 1977. Perluasan pendudukan negara Israel dengan mengambil secara paksa tanah-tanah yang secara sah dimiliki rakyat Palestina jelas dapat dikatogorikan sebagai merupakan pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri yang dimiliki oleh rakyat Palestina. Selain hukum humaniter, hukum hak asasi manusia internasional juga sangat menjamin terhadap hak menentukan nasib sendiri (self-determination).


(2)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Bahwa dalam berperang terdapat peraturan-peraturan yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, seperti melindungi masyarakat dan membatasi akibat yang tidak perlu atau berlebihan. Pada prinsipnya masyarakat internasional memang mengakui bahwa peperangan antarnegara memang sukar atau tidak dapat dihindari. Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan tetapi penduduk sipil yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi korban. Oleh karena itu semua orang harus tetap dilindungi hak asasinya, baik dalam keadaan damai maupun perang.

2. Bahwa diberlakukannya prinsip pembedaan, pembedaan ini perlu diadakan pertama untuk mengetahui siapa yang dapat dijadikan objek kekerasan dan siapa yang harus dilindungi. Dengan kata lain, dengan adanya prinsip pembedaan tersebut dapat diketahui siapa yang boleh turut dalam pertempuran sehingga dijadikan objek kekerasan (dibunuh), dan siapa yang harus dilindungi karena tidak turut serta dalam permusuhan. Jadi dalam hal ini yang harus dilindungi karena tidak turut serta dalam permusuhan adalah penduduk sipil. Untuk memberikan perlindungan bagi penduduk sipil dari akibat permusuhan, kombat diharuskan membedakan diri dari penduduk sipil pada waktu mereka sedang menyerang atau di dalam suatu operasi militer yang melakukan penyerangan kepada pihak lawan. Dengan adanya prinsip pembedaan ini, warga negara atau penduduk negara


(3)

yang sedang melakukan pertikaian bersenjata dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan kombat dan penduduk sipil. Masing-masing golongan mempunyai hak dan kewajiban. Kombat berhak untuk secara aktif turut serta dalam permusuhan, dan apabila jatuh di tangan lawan, ia berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. Ia diwajibkan melindungi penduduk sipil. Penduduk sipil tidak boleh secara aktif turut dalam permusuhan dan oleh karena itu berhak mendapat perlindungan.

3. Bahwa ketika konflik bersenjata muncul, penduduk sipil kerap kali timbul sebagai bagian yang menderita kerugian. Hak –hak asasi yang melekat pada penduduk sipil lebih sering terlanggar dan terabaikan.sipil seharusnya adalah bagian yang harus dilindungi dan dihindari dari segala bentuk kekerasan yang terkait. Beberapa hal yang telah dilanggar oleh tentara Israel tersebut, yaitu penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi terhadap penduduk sipil, pelecehan seksual di penjara Israel, penangkapan terhadap penduduk sipil tanpa sebab yang jelas.


(4)

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan adalah :

1. Pemimpin kedua belah negara perlu mengadakan perundingan untuk mencari penyelesaian atas konflik Israel dan Palestina dan kedua negara harus dengan etiket baik menghormati dan melaksanakan hasil perundingan.

2. PBB sebagai organisasi yang bertujuan menciptakan perdamaian dunia harus memberi dorongan yang kuat kepada dua negara untuk dapat mengambil jalan damai melalui perundingan yang perlu dilakukan pemimpin negara dari kedua negara tersebut.

3. Hendaknya dalam peperangan antara Israel Palestina tidak hanya melihat kepentingan negara saja, akan tetapi menjunjung tinggi hak-hak asasi serta harkat dan martabat penduduk sipil, sehingga tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia seperti yang terjadi saat ini.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Buku

A.Masyhur Effendi, Tempat Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional/Nasional,Penerbit Alumni, Bandung, 1980.

Eddy O.S Hiariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010.

Erikson Hasiholan Gultom, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, PT Tata Nusa, Jakarta, 2006. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. James W. Nickel, Hak Asasi Manusia , PT. Gramedi Pustaka Utama, Jakarta, 1996. Jimmy Carter, We Can Have Peace In The Holy Land, PT Dian Rakyat, Jakarta, 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1990. Koesparmono Irsan, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yayasan Brata Bhakti, Jakarta, 2009. Makdin Amrin Munthe, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, USU Press,Medan, 2008 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949 Mengenai Perlindungan

Korban Perang, Binacipta, Bandung, 1979.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985. Samidjo, Ilmu Negara, CV. Armico, Bandung, 2002.

Scott Davidson, diterjemahkan oleh A. Hadyana, Hak Asasi Manusia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994.

Theo Van Boven, Ifdhal Kasim, Mereka yang Menjadi Korban


(6)

Ummu Rafi’, Kisah-Kisah Menggetarkan dari Palestina, Penerbit Cardio Media, Klaten,2010.

Internet

Daftar Dokumen

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia