diharap dapat memberikan gambaran atas bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dialami warga sipil Palestina dan bagaimana upaya dunia internasional untuk
memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia warga sipil Palestina dengan mengacu pada pengaturan dalam hukum internasional .
2. Manfaat Praktis
Penulisan ini bermanfaat untuk menjadi suatu bahan referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara secara khusus dan pembaca pada umumnya
serta dapat dijadikan kajian bagi para pihak akademisi dalam menambah pengetahuan terutama di bidang hukum internasional.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh Israel Terhadap Warga Sipil Palestina ditinjau dari Hukum Internasional”. Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat untuk
memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana, maka skripsi haruslah ditulis berdasarkan buah pikiran yang benar-benar asli tanpa meniru karya orang lain. Judul yang penulis pilih telah
diperiksa dalam arsip bagian Hukum Internasional dan judul tersebut dinyatakan tidak ada yang sama dan telah disetujui oleh Ketua Departemen Hukum Internasional.
E. Tinjauan Pustaka
Dewasa ini masalah hak asasi manusia telah menjadi isu yang mendunia disamping demokrasi dan masalah lingkungan hidup, bahkan telah menjadi tuntutan yang sangat perlu
perhatian serius bagi negara untuk menghormati, melindungi, membela dan menjamin hak asasi warga negaranya tanpa diskriminasi.
5
5
Koesparmono Irsan, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yayasan Brata Bhakti, Jakarta, 2009 , hal 1.
Ide tentang hak asasi yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II. Pembunuhan dan kerusakan yang ditimbulkan Perang Dunia II menggugah
suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang, untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup meredakan krisis internasional serta menyediakan
suatu forum untuk diskusi dan mediasi, organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB.
6
Para pendiri PBB yakin bahwa pengurangan kemungkinan perang mensyaratkan adanya pencegahan atas pelanggaran besar-besaran terhadap hak asasi manusia. Akibat keyakinan ini,
konsepsi PBB yang paling awalpun bahkan sudah memasukkan peranan pengembangan hak asasi manusia dan kebebasan. Naskah awal Piagam PBB 1942 dan 1943 memuat ketentuan
tentang hak asasi manusia yang harus dianut oleh negara manapun yang bergabung dalam organisasi tersebut, namun sejumlah kesulitan muncul dengan pemberlakuan ketentuan semacam
itu. Oleh karena banyak negara mencemaskan prospek kedaulatan mereka, negara-negara tersebut bersedia untuk mengembangkan hak asasi manusia namun tidak bersedia untuk
melindungi hak itu.
7
Akhirnya diputuskan untuk memasukkan sedikit saja acuan tentang hak asasi manusia dalam Piagam PBB.
8
6
James W. Nickel, Hak Asasi Manusia , PT. Gramedi Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal 1.
7
Ibid., hal 2.
8
Ibid.
Piagam itu sendiri menegaskan kembali keyakinan atas hak asasi manusia yang mendasar, akan martabat dan harkat manusia, akan persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan serta antara negara besar dan negara kecil. Komisi Hak Asasi Manusia mempersiapkan sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia yang disetujui oleh
Majelis Umum pada tanggal 10 Desember 1948 yang kemudian menjadi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Hak asasi manusia, sebagaimana yang dipahami dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia yang muncul pada abad kedua puluh seperti Deklarasi Universal, mempunyai sejumlah
ciri menonjol. Pertama, supaya kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas, hak asasi manusia adalah hak.
9
Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya dianggap tidak
bergantung pada penerimaan, pengakuan atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang- orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati
pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.
Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada dengan
sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Keempat, hak asasi manusia dipandang sebagai norma-
norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa pengecualian, hak asasi manusia cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam
benturan dengan norma-norma yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi hak asasi manusia.
10
Istilah kejahatan serius terhadap hak asasi manusia biasanya ditujukan terhadap kejahatan genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketiga jenis kejahatan tersebut
merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam konteks hukum nasional
9
Ibid., hal 4.
10
Ibid., hal 5.
Indonesia, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kejahatan tersebut dikualifikasikan sebagai delicta jure gentium
11
dan merupakan pengingkaran terhadap jus cogens.
12
Dalam konteks hukum pidana internasional tidak terdapat satu pun defenisi atau pengertian yang baku mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan serius terhadap hak asasi
manusia atau pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Akan tetapi dalam sejarah perkembangan hukum pidana internasional bila dilihat dari jenis kejahatan internasional, maka
eksistensi kejahatan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia berasal dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi manusia. Selain itu, masih ada
jenis kejahatan internasional yang eksistensinya berasal dari kebiasaan yang berkembang di dalam praktik hukum kebiasaan internaisonal dan kejahatan internasional yang eksistensinya
berasal dari konvensi-konvensi internasional.
13
Kendatipun tidak ada defenisi yang baku mengenai apa yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, namun oleh Bassiouni dikualifikasikan sebagai
international crime yang meliputi kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kejahatan-kejahatan ini merupakan inhumane act yang secara universal diakui
oleh bangsa-bangsa beradab di dunia.
14
Dalam penulisan ini, penulis memfokuskan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil yang terjadi selama konflik bersenjata antara Israel dan Palestina. Warga sipil adalah
11
Istilah jure gentium diterjemahkan sebagai law of nations atau hukum bangsa-bangsa. Istilah tersebut berasal dari hukum Romawi yang berlaku bagi seluruh penduduk Romawi termasuk daerah-daerah yang menjadi
kekuasaan Romawi.
12
Jus Cogens adalah hukum pemaksa yang harus ditaati oleh bangsa-bangsa beradab di dunia sebagai prinsip dasar yang umum dalam hukum internasional yang berkaitan dengan moral.
13
Eddy O.S Hiariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hal. 3
14
Ibid., hal 6
seseorang yang bukan merupakan anggota militer. Menurut Konvensi Jenewa 1949, merupakan sebuah kejahatan perang untuk menyerang seorang warga sipil yang tidak sedang melakukan
penyerangan secara sengaja.
15
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, perang diartikan sebagai permusuhan antara dua negara atau pertempuran antara dua pasukan.
16
G.P.H. Djatikoesomo mendefinisikan perang sebagai sengketa dengan menggunakan kekerasan yang sering berbentuk
kekuatan bersenjata.
17
Dalam hal hukum perang atau hukum sengketa bersenjata, kemudian dikenal dengan istilah hukum humaniter internasional, Djatikoesomo memberi defenisi hukum perang sebagai
aturan-aturan dari hukum bangsa-bangsa mengenai perang. Pengertian lain hukum perang atau hukum sengketa bersenjata adalah bagian dari hukum internasional yang mengatur hubungan
antara negara selama terjadinya sengketa untuk mengurangi sebanyak mungkin penderitaan, dan kerusakan akibat perang dengan memberikan kewajiban kepada setiap orang dalam negara
namun tidak dimaksudkan untuk menghambat efisiensi militer. Berdasarkan pengertian di atas, perang pada dasarnya adalah sengketa
yang biasa menggunakan kekuatan bersenjata antara dua negara atau antara para pihak dalam satu negara.
18
Starke menyatakan hukum perang terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional yang mana kekuatannya diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan
dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsung perang dan konflik-konflik bersenjata.
19
15
http:id.wikipedia.orgwikiWarga_sipil, diakses pada tanggal 17 Januari 2010.
16
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1990, hal 668.
17
Eddy O.S Hiariej, Op. Cit., hal 25.
18
Ibid.,hal 25.
19
Ibid.,hal 26.
Konferensi Den Haag 1907 menghasilkan 13 konvensi dan satu deklarasi, sedangkan Konvensi Jenewa yang juga disebut Konvensi Palang Merah terdiri dari empat buku, yaitu :
1. Konvensi Jenewa 1949 tentang perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang
luka dan sakit di medan pertempuran darat. 2.
Konvensi Jenewa 1949 mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang di laut yang luka, sakit, dan korban karam.
3. Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan orang-orang sipil di waktu perang.
Selain Konvensi Jenewa 1949 juga terdapat Protokol Tambahan 1977 yang mengatur konflik bersenjata internasional atau konflik bersenjata antar negara dan mengatur
konflik bersenjata yang bersifat noninternasional. Protokol Tambahan ini memuat beberapa hal penting seperti pengertian kombat, penduduk sipil, sasaran sipil, dan
sasaran militer. Pengertian mengenai tentara bayaran, perang pembebasan nasional dan tugas komandan.
Hal utama dalam hukum humaniter adalah hak korban untuk mendapat pertolongan dan ganti kerugian bila terjadi pelanggaran. Oleh karena itu, tujuan umum hukum humaniter adalah
sama dengan tujuan hukum hak asasi manusia, yaitu untuk memastikan perlindungan bagi orang dalam situasi konflik bersenjata dan dalam keadaan tertentu bagi mereka yang jatuh ke tangan
musuh.
20
Dalam hukum humaniter dikenal asas pembedaan, yaitu prinsip yang membedakan penduduk suatu negara yang sedang berperang dalam dua golongan, yaitu kombatan dan
penduduk sipil. Berkaitan dengan pembedaan ini, jika seorang kombatan tertangkap oleh musuh maka akan diperlakukan sebagai tawanan perang. Selain itu, yang perlu diperhatikan dalam
20
Ibid.,hal 29.
hnukum humaniter adalah principles of humanitarian law, yakni military necessity, humanity dan chivalry.
21
Istilah kejahatan perang biasanya menunjuk pada tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan kebiasaan perang.
Dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, pada hakikatnya hukum humaniter dan hak asasi manusia memiliki tujuan yang sama, yaitu memberikan jaminan perlindungan
terhadap manusia.
22
1. Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa berupa perbuatan yang ditujukan
terhadap orang danatau benda yang dilindungi oleh konvensi. Akan tetapi, tidak semua pelanggaran terhadap hukum dan
kebiasaan perang merupakan kejahatan perang. Pengaturan tentang kejahatan perang diatur dalam Pasal 8 Statuta Mahkamah Internasional. Secara garis besar, perbuatan-perbuatan yang
dikualifikasikan sebagai kejahatan perang dibagi menjadi empat kelompok :
2. Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan konflik bersenjata.
3. Pelanggaran terhadap Article 3 common to the four Geneva Conventions of 1949
dalam hal noninternational armed conflict. 4.
Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam noninternational armed conflict.
F. Metode Penelitian