Budaya Amae Dalam Komik “Hai Miiko” Karya Eriko Ono (Eriko Ono Ni Yotte Sakuseisareta ”Hai Miiko” No Manga Ni Okeru Amae No Bunka)

(1)

BUDAYA AMAE DALAM KOMIK “HAI MIIKO”

KARYA ERIKO ONO

ERIKO ONO NI YOTTE SAKUSEISARETA “HAI MIIKO” NO

MANGA NI OKERU AMAE NO BUNKA

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh :

FARAH ADIBAH

NIM : 060708005

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

BUDAYA AMAE DALAM KOMIK “HAI MIIKO” KARYA ERIKO ONO

ERIKO ONO NI YOTTE SAKUSEISARETA ”HAI MIIKO” NO MANGA NI OKERU AMAE NO BUNKA

SKRIPSI

Skripsi ini ditujukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumater Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam

bidang Ilmu Sasta Jepang

OLEH :

Nama : Farah Adibah

Nim : 060708005

Program studi : Sastra Jepang

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum Zulnaidi, S.S, M.Hum NIP. 196009191988031001 NIP.196708072004011001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Disetujui Oleh Fakultas sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Depertemen Sastra Jepang Ketua

NIP. 196009191988031001 Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat dan karuniaNya sejalan penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Usaha diiringi doa merupakan dua hal yang memampukan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “Budaya Amae dalam Komik Hai Miiko Karya Eriko Ono” ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sastra pada jurusan Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Selama menyusun skripsi ini penulis banyak mengalami kesulitan yang sedikit banyak mempengaruhi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, namun kesulitan-kesulitan yang dihadapi juga bisa dijadikan motivasi.

Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum., selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan yang juga selaku Dosen Penasehat Akademik.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I, yang banyak memberikan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis dan memberikan pengarahan dengan sabar dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

4. Bapak Zulnaidi, S.S, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, yang banyak memberikan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis dan memberikan pengarahan dengan sabar dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.


(5)

5. Bapak/ Ibu Dosen Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara Medan yang telah banyak memberikan ilmu dan pendidikan kepada penulis. 6. Kepada kedua Orang tua penulis, Ayahanda Said Fauzi, S.H dan Ibunda Yuli

Suratni, yang selalu mendoakan dan mendukung agar penulis selalu sehat dan semangat, dan telah bayak memberikan dukungan moral dan material yang tidak terhingga sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini, menyelesaikan perkulihan dan mendapatkan gelar sarjana seperti yang telah dicita-citakan, dan tanpa kedua Orang tua penulis, penulis tidak akan mampu untuk menjadi seperti sekarang ini.

7. Kepada saudaraku, Kakanda Luvi Andora, S.H., Muhammad Rorim Fanromi, Amd., dan Adinda Siti Ruqayah Ade Fauzi yang telah mendukung dan memberi semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada teman-teman penulis di Depertemen Sastra Jepang Stambuk 2006, Surya Ningrum, Hartati Sinambela, Mhd. Israr Al Hadi, Andi Silalahi, Friska Sagala, Octora Hanna Grace, Frida Winata Togatorop, Andar Beny Prayogi, Astirawati Noermartias, Sari Zulia Peunawa, Christyani Siregar, Jessi Mega Simanjuntak, Siska Margaret Purba, Fredy Walis Sembiring, Randy Simanjuntak, Ferdian Pardede, Victor Julianto, Hyantes T Pasaribu, Novaria Tampubolon, Fadiah Sofyani, Hary Eka Pratama, Rizaldi Restu Pratama, Teddy Sumbari Jayanto, Zulvianita, Anggu Irwan Stepandia, Okky Khaireni, Ivana Widya Sari, Musfahayati Amalia, Dewi Maria Marintan Hutabalian, Suci Rizki Amelia, Wulandari Fikri, Wilma Prima Yuniza, Mahera Frida Ginting, Francisca Elicabeth Sinaga.

9. Kepada Senior dan Junior di Depertemen Sastra Jepang yang mendukung penyelesaian skripsi ini.


(6)

10.Kepada para sahabat, Emi Yuliana, Hilman MT Manullang, Ibnu Arief Wibowo, Rika Rahma Dewi, Juliani, Muhammad Fadly, Muhammad Irfan Siregar, Ridho Rizky Harahap.

11.Dan kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan memberi dukungan kepada penulis.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, untuk itu penulis sengat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat memperbaiki kesalahan pada masa mendatang.

Akhir kata, penulis berharap kiranya skripsi ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan khususnya pada pembaca.

Medan, Maret 2011

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI……… iv

BAB I. PENDAHULUAN……….. 1

1.1. Latar Belakang Masalah……….... 1

1.2. Perumusan Masalah……….. 6

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan………. 7

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……….. 7

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 12

1.6. Metode Penelitian………. 13

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG AMAE, KOMIK DAN BIOGRAFI ERIKO ONO……… 15

2.1. Budaya Amae……… 15

2.1.1. Konsep Amae………. 15

2.1.2. Amae Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Jepang………. 17

2.2. Komik dan Manga………. 19


(8)

2.2.2. Sejarah Komik………. 20

2.2.3. Sejarah Manga………. 21

2.2.4. Unsur-unsur Yang Terkandung Dalam Karya Sastra………. 23

2.3. Biografi Eriko Ono……… 29

BAB III. ANALISIS BUDAYA AMAE DALAM KOMIK HAI MIIKO... 30

3.1. Sinopsis Cerita Komik Hai Miiko………. 30

3.2. Budaya Amae Dalam Komik Hai Miiko……… 32

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN……… 58

4.1. Kesimpulan……… 58

4.2. Saran……….. 59

DAFTAR PUSTAKA


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

Herskovits dalam Simanjuntak (2003: 136) memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai

superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian


(10)

dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward Burnett Tylor dalam Simanjuntak (2003: 136), kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dalam Simanjuntak (2003: 136) kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Kebudayaan menurut Linton dalam Simanjuntak (2003:136) adalah keseluruhan pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.

Sedangkan menurut Kroeber dalam Simanjuntak (2003:136) kebudayaan adalah keseluruhan realita gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan, dan perilaku yang ditimbulkannya.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.


(11)

Setiap bangsa memiliki kebudayaan masing-masing. Kebudayaan lahir seiring lahirnya manusia di dunia dan kebudayaan digunakan sampai akhir hayat. Setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda walau terkadang terdapat adanya kemiripan karena faktor geografis. Dalam antropologi yang dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan sistim gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar ( Koentjaraningrat dalam Simanjuntak, 2003:136 ).

Salah satu bentuk kebudayaan adalah kesenian. Sastra merupakan suatu karya seni. Sastra sebagai produk budaya manusia adalah hasil seni dari sastrawannya sendiri. Hasil cipta dan kreativitas manusia sering disebut sebagai istilah budaya atau kebudayaan. Di dalam sastra sendiri terdapat jenis-jenis sastra. Secara umum ragam sastra yang dikenal adalah puisi, prosa dan drama. Kesusastraan adalah karya kesenian yang diwujudkan dengan bahasa seperti gubahan-gubahan prosa dan puisi yang indah-indah. Sastra bersifat universal karena dapat masuk dalam kehidupan manusia dan diterima dengan baik. Karya sastra merupakan salah satu media untuk menggambarkan kejadian yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Rene Wellek dalam Silalahi ( 2008 : 37 ) berpendapat bahwa sastra adalah lembaga sosial yang memakai medium bahasa dalam menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial.

Secara umum, sastra terdiri atas berbagai variasi sastra seperti puisi, prosa, drama, roman, dan lain sebagainya. Contoh hasil karya sastra berupa prosa adalah novel, cerpen, cerita bergambar, kartun, atau lebih dikenal dengan komik.

Jika menyebut komik, mungkin terbayang sebuah cerita yang berisi jalinan gambar dan teks. Isinya lucu, romantis, juga heroik. Komik merupakan bacaan ringan yang sesuai dibaca di saat santai. Banyak ahli yang mendefenisikan komik. Menurut Will Eisner dalam bukunya Graphic Storytelling, komik adalah tatanan gambar dan kata- kata yang berurutan.


(12)

Komik timbul sebagai suatu yang menggambarkan tentang kehidupan sehari-hari di masyarakat meskipun bersifat fiktif. Komik lebih menitikberatkan kepada tokoh di dalam karangannya daripada kejadiannya. Komik merupakan salah satu karya sastra yang dapat memikat penikmat sastra dari berbagai macam kalangan, baik anak-anak, remaja, bahkan orang tua. Komik dalam karya sastra Jepang biasa disebut manga .

Manga adalah istilah yang digunakan untuk menyebut komik Jepang. Kata “manga”

digunakan pertama kali oleh seorang seniman bernama Hokusai dan berasal dari dua huruf Cina yang artinya kira-kira gambar manusia untuk menceritakan sesuatu.

Pada akhir abad 18, manga mulai muncul untuk pertama kalinya. Buku komik yang pertama muncul adalah kibyoushi yang berisikan cerita dengan gambar beserta narasi dan dialog di sebelah/mengelilinginya. Tema yang diangkat pun bermacam-macam. Pada akhir abad 19, Jepang secara cepat menyerap budaya, pengetahuan dan teknologi Barat, sehingga

kibyoushi tergeser keberadaannya.

Dalam sejarah manga, mungkin yang perlu dicatat adalah peranan Osamu Tezuka yang dikenal sebagai “God of Manga”. Tetsuwan Atom adalah manga karya Osamu Tezuka yang terkenal dan mendunia baik sebagai manga maupun anime.

Komik biasanya mengangkat cerita-cerita yang biasanya terdapat dalam masyarakat umum. Masalah yang terdapat dalam komik menyangkut masalah kepercayaan, kehidupan sosial, kebudayaan bahkan yang bersifat fantasi.

Komik memiliki berbagai macam jenis. Komik di Jepang (manga) terbagi atas empat sasaran penikmat, yaitu komik untuk untuk anak laki-laki (shounen manga), komik untuk anak perempuan (shoujo manga), komik untuk remaja (seinen manga), dan komik untuk orang dewasa (seijin manga).


(13)

Salah satu komik yang menunjukkan budaya Jepang diantaranya adalah komik Samurai

X, Doraemon, Naruto, Hai Miiko, Namaku Miiko, dan sebagainya. Dari contoh komik yang

telah disebutkan, Hai Miiko karya Eriko Ono merupakan salah satu komik yang banyak mengungkapkan budaya amae masyarakat Jepang.

Amae menurut arti sebenarnya merupakan ketergantungan antara orang tua dengan

anak atau sebaliknya. Menurut Doi dalam Sibiyan (2005:3), amae adalah suatu istilah yang berasal dari bentuk kata kerja Amaeru. Amaeru sendiri sering digunakan dalam menjelaskan perasaan atau sifat anak terhadap ibunya yang saling bergantung satu sama lain. Peranan lain yang melengkapi amaeru adalah amayakasu, yaitu peran yang menerima amaeru. Dalam masyarakat Jepang, amae merupakan sebuah budaya yang terus dikembangkan dan sangat dihormati bahkan dituntut untuk dilaksanakan hingga saat ini.

Komik Hai Miiko karya Eriko Ono termasuk dalam soujo manga yang diterjemahkan oleh Widya Anggaraeni Winarya dan diterbitkan oleh PT GRAMEDIA. Eriko Ono juga membuat komik berjudul Namaku Miiko dengan tokoh yang sama dan genre yang sama pula.

Hai Miiko merupakan komik yang mengisahkan tentang kehidupan anak-anak sekolah

dasar. Komik ini menggambarkan keindahan dan kenikmatan masa anak-anak. Dalam komik ini digambarkan dengan jelas budaya amae. Dimana tercermin ketergantungan anak terhadap orang tua juga kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Pengarang juga menyampaikan pesan-pesan moral dalam komik ini. Hal inilah yang membuat penulis ingin memaparkan dan membahas budaya amae dalam skripsi yang berjudul “BUDAYA AMAE DALAM KOMIK


(14)

1.2. Perumusan Masalah

Pada zaman dahulu anak-anak sampai usia tujuh tahun disebut anak dewa. Oleh karena itu anak-anak sangat dimanja dalam masyarakat Jepang. Tangisan anak-anak di dalam rumah dianggap sesuatu yang sangat menyedihkan, oleh karena itu, orang tua sebisanya tidak memarahi anak. Dalam kepercayaan Jepang anak-anak dianggap sebagai kelahiran kembali orang tuanya atau kakek-nenek mereka. Oleh karena itu, sangat disayangi (Situmorang, 2006: 62). Masyarakat Jepang mengalami amae setelah menerima pengalaman penting pada saat anak-anak dan ini merupakan hal yang biasa, karena memberi kasih sayang yang berlebih sendiri merupakan kebutuhan bagi para ibu di Jepang.

Sikap ini terus menerus mereka bawa sampai pada kehidupan sosial masyarakat. Dengan kata lain, amae merupakan suatu konsep kunci yang bukan hanya untuk memahami struktur psikologi orang Jepang saja melainkan dapat dikatakan juga untuk memahami struktur masyarakat Jepang.

Komik Hai Miiko menceritakan tentang kehidupan anak-anak dengan segala permasalahannya. Menggambarkan persahabatan yang indah dan hubungan keluarga yang harmonis. Eriko Ono menyiratkan bahwa dalam komiknya terdapat kehidupan anak-anak yang riang dan penuh suka cita. Selain itu, juga terdapat perbuatan yang menggambarkan prilaku amae dari beberapa tokoh dalam komik tersebut.

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan penjelasan yang telah diutarakan di atas, maka kita dapat melihat bahwa adanya beberapa permasalahan. Akan tetapi, untuk menghindari adanya kesimpang siuran dalam pembahasan topik yang dapat menimbulkan masalah baru yang tidak sesuai dan tidak berhubungan dengan topik yang akan dibahas dalam tulisan ini, maka akan dibatasi pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini yang akan menjadi acuan dalam melanjutkan penelitian.


(15)

Berangkat dari kenyataan-kenyataan tersebut, maka penulis menetapkan permasalahan sebagai berikut:

1. Seperti apakah konsep dan makna budaya amae dalam masyarakat Jepang?

2. Bagaimanakah budaya amae dalam kehidupan masyarakat Jepang yang

direalisasikan oleh beberapa tokoh dalam komik “Hai Miiko” karya Eriko Ono?

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penelitian ini, penulis membatasi permasalahannya pada budaya amae di dalam komik Hai Miiko jilid 1-22 karya Eriko Ono yang diterjemahkan oleh Widya Anggaraeni Winarya. Pembahasan difokuskan pada budaya amae yang dilakukan oleh beberapa tokoh dalam komik ini dengan cara mengambil cuplikan-cuplikan yang ada dalam komik yang menunjukkan adanya interaksi para tokoh dalam merealisasikan budaya amae dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum itu, penulis akan mendefenisikan tentang konsep komik maupun budaya amae di dalam masyarakat Jepang.

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1. Tinjauan Pustaka

Sosiologi sastra menurut Wolff dalam Endraswara (2008:77) yaitu disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefenisi dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dan masyarakat.


(16)

Menurut Nyoman dalam Silalahi (2008:9) bahwa analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu. Konsekuensinya, sebagai timbal balik, karya sastra harus memberikan masukan dan manfaat terhadap struktur sosial yang menghasilkannya. Mekanisme tersebut seolah-olah bersifat imperatif, tetapi tidak dalam pengertian yang negatif. Artinya, antar hubungan yang terjadi tidak merugikan secara sepihak. Sebaliknya, antar hubungan akan menghasilkan proses regulasi dalam sistemnya masing-masing.

Manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan makhluk sosial ini terjalin interaksi antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Interaksi tersebut menghasilkan prilaku yang unik yang menjadikannya sebuah kebudayaan dalam masyarakat tersebut.

Suatu kenyataan bahwa budaya diperoleh melalui proses belajar dari masyarakat dan lingkungannya. Tingkah laku yang didasari oleh budaya dipelajari dari anggota masyarakat lain. Seorang anak yang baru dilahirkan belum mempunyai cara-cara bertingkah laku yang berlandaskan dasar-dasar budaya. Anak baru memilikinya setelah menjadi besar dan merupakan hasil dari proses belajar yang lama dan kompleks (Simanjuntak, 2003:155).

Pewarisan budaya adalah suatu proses, perbuatan, atau cara mewarisi budaya masyarakatnya. Proses tersebut dinamakan juga proses sosialisasi. Dalam proses tersebut seorang individu mengalami pembentukan sikap untuk berprilaku sesuai dengan kelompoknya. Budaya diwariskan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya, untuk selanjutnya diteruskan ke generasi yang akan datang. Masyarakat adalah orang yang hidup bersama dan menghasilkan budaya. Tidak ada masyarakat tanpa budaya. Sebaliknya, tidak ada budaya tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya (Simanjuntak, 2003:159).


(17)

Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki beraneka ragam kebudayaan. Jepang selalu berusaha melestarikan dan memelihara kebudayaannya agar tidak punah. Bangsa Jepang juga mampu mengambil dan menarik manfaat dari hasil budi daya bangsa lain tanpa mengorbankan kepribadiannya sendiri biasa disebut dengan budaya maneru. Bahkan, hasil budaya bangsa lain yang ditiru bangsa Jepang lebih indah daripada aslinya dan dijadikan sebagai identitas bangsa Jepang.

Budaya Amae merupakan salah satu kebudayaan bangsa Jepang yang merupakan kepribadian masyarakat Jepang. Dalam bahasa Jepang, kata amae berasal dari kata sifat amai yang berarti manis. Sedangkan dalam bentuk kata kerja adalah amaeru yang berati memaniskan. Kata amae secara leksikal mempunyai arti kebaikan, hasil perlindungan seorang ibu terhadap bayinya sekaligus ketergantungan yang manis antara si bayi terhadap ibunya (Rowland dalam Sibiyan, 2005:8).

Amae dalam psikologi Jepang mengacu pada tingkah laku ”kekanak-kanakan” yang

diperbuat oleh orang dewasa. Dengan kata lain amae berarti, ”menjadi ibu atau menjadi anak” yang berupa bentuk hubungan yang melepaskan kepentingan diri antara ibu yang penuh kasih sayang dengan bayinya. Tanpa amae pada masa bayi dan anak-anak, jiwa dan kepribadian akan terluka seumur hidup.

Selain uraian di atas, amae juga dapat diartikan sebagai kasih sayang tulus, perasaan yang biasa ditemukan pada bayi dan ibunya dan yang harus terus dimiliki agar selamat di dunia (De Mente dalam Sibiyan:2005:12).

Pengertian komik dalam artikel ”Selintas Sejarah Komik Indonesia” yang ditulis oleh

Guntur Angkat (2004), menurut kutipan Marcel Bonnet dalam bukunya ”Komik Indonesia”

adalah salah satu produk akhir dari hasrat manusia untuk menceritakan pengalamannya, yang dituang dalam gambar dan tanda, mengarah kepada suatu pemikiran dan perenungan.


(18)

Manga ( 漫 画 )adalah istilah untuk menyebut komik Jepang. Secara harfiah kata

manga berasal dari kata lucu (man : ) dan kata gambar (ga :画), jadi kata manga berarti

gambar yang lucu. Kata manga pertama kali digunakan oleh seorang seniman bernama

Hokusai Katsushika yang menggunakan dua huruf Cina yang artinya kira-kira gambar

manusia untuk menceritakan sesuatu.

Unsur-unsur penunjang terciptanya sebuah karya sastra yaitu tema, penokohan, plot, setting, dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh dalam karya sastra mempunyai persanan yang sangat penting sebagai penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu ide yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca oleh si pengarang. Hal ini tergantung pada si pengarang agar dapat melukiskan tokoh sesuai dengan pesan, amanat atau moral yang ingin disampaikan kepada pembacanya.

Dalam komik Hai Miiko, pengarang mencoba menggambarkan kehidupan sosial, perilaku, maupun gaya hidup para tokoh dalam keluarga maupun dalam lingkungan sosial yang digambarkan melalui sikap, tingkah laku, serta dialog-dialog yang diucapkan guna menyampaikan pesan, amanat, dan moralitas yang bermanfaat bagi pembacanya atau masyarakatnya.

1.4.2. Kerangka Teori

Penelitian ini dilakukan melalui sebuah komik yang merupakan sebuah karya sastra. Karya sastra tersebut mengandung nilai-nilai budaya yang tinggi. Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Pandangan bahwa setiap karya sastra itu mencerminkan masyarakat dan jamannya pada umumnya dianut oleh kritikus akademik (Soekito, dalam Endraswara, 2008:87).


(19)

Untuk membuktikan bahwa dalam sebuah komik terdapat kebudayaan yang mengungkapkan budaya amae, maka penulis menggunakan teori semiotika. Unsur budaya yang terdapat dalam karya sastra berupa komik akan dijadikan sebagai tanda untuk diinterpretasikan dengan melihat prilaku para tokoh dalam komik.

Semiotik adalah ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konveksi-konveksi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tanpa memperhatikan sistem tanda-tanda dan maknanya, dan konveksi tanda, maka struktur karya sastra ataupun karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal (Pradopo, 2001:71).

Berdasarkan teori semiotik di atas, penulis akan menginterpretasikan sikap-sikap tokoh ke dalam tanda, kemudian tanda-tanda tersebut akan dipilih bagian mana yang merupakan tindakan maupun perbuatan para tokoh yang mencerminkan budaya amae.

Selain menggunakan pendekatan semiotik, penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosiologis karena analisis ini memberikan perhatian yang terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu, dan meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat. Objek sosiologi adalah prilaku manusia yang sangat sulit untuk diramalkan.

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat. Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya (Endraswara, 2008:77).

Hal penting dalam sosiologi sastra adalah kosep cermin. Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai tiruan masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah


(20)

ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekedar tiruan kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan.

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1. Tujuan Penelitian

Budaya amae sangat lekat pada diri orang Jepang hingga saat ini. Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan arti dan makna budaya amae dalam masyarakat Jepang.

2. Untuk menjelaskan budaya amae yang terdapat dalam komik “Hai Miiko” karya Eriko

Ono.

1.5.2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi:

1. Penulis sendiri yaitu dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang

konsep budaya amae dan pentingnya budaya amae dalam masyarakat Jepang.

2. Para pembaca, untuk dapat dijadikan acuan pada penelitian berikutnya.


(21)

1.6. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan bentuk penelitian sastra, yang digolongkan ke dalam penelitian sosial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriftif yang menggambarkan bentuk objek pengamatan atau melukiskan perasaan (Mulyadi, 2004:59). Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi untk menunjukkan interaksi sosial antar tokoh dalam komik. Penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan tidak mengutamakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris. Pembahasan komik ini menggunakan metode kualitatif karena penelitian kualitatif adalah penelitian yang paling tepat dengan fenomena sastra. Hal ini perlu dipahami, sebab karya sastra adalah dunia kata dan simbol yang penuh makna sehingga perlu ditafsirkan maknanya agar mudah dimengerti dan dipahami.

Dalam pengumpulan data-data dan bahan-bahan yang berhubungan dengan topik penelitian ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan merupakan suatu aktifitas yang sangat penting untuk menunjukkan jalan dalam memecahkan masalah penelitian. Beberapa aspek penting yang perlu dicari dan digali dalam studi kepustakaan antara lain: masalah yang ada, teori-teori, konsep-konsep dan penarikan kesimpulan serta saran. Dengan kata lain, studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan membaca buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Data yang diperoleh dari buku-buku dan referensi tersebut kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan dan saran. Selain itu penulis memperoleh data dari majalah, jurnal, serta situs-situs internet.


(22)

Data-data dan bahan-bahan pustaka untuk penelitian ini diperoleh dari Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, koleksi pribadi penulis dan sumber literatur lainnya.


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG AMAE, KOMIK, DAN BIOGRAFI ERIKO ONO

2.1. Budaya Amae

2.1.1. Konsep Amae

Amae menurut arti sebenarnya merupakan ketergantungan antara orang tua dengan

anak atau sebaliknya. Menurut Doi dalam Sibiyan (2005:3), amae adalah suatu istilah yang berasal dari bentuk kata kerja Amaeru. Amaeru sendiri sering digunakan dalam menjelaskan perasaan atau sifat anak terhadap ibunya yang saling bergantung satu sama lain. Peranan lain yang melengkapi amaeru adalah amayakasu, yaitu peran yang menerima amaeru. Dalam masyarakat Jepang, amae merupakan sebuah budaya yang terus dikembangkan dan sangat dihormati bahkan dituntut untuk dilaksanakan hingga saat ini. Amae juga merupakan ketergantungan yang berakar kuat dalam hubungan ibu-anak yang mengikat. Para ibu di Jepang secara optimal menyatakan diri sebagai ibu melalui memberikan perhatian yang lebih kepada anaknya.

Keluarga adalah sangat penting dalam proses sosialisasi anak-anak. Anak belajar bicara, dididik menghayati pola-pola dasar tingkah laku yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan membentuk kebiasaannya yang awal dalam keluarga tempat ia dilahirkan. Terutama sampai saat ia mulai bergaul dengan anak-anak lain di sekitarnya dalam kelompok bermain, keluarga itu merupakan dunia seluruhnya bagi anak yang sangat muda ini, dan sampai ia memasuki sekolah Taman Kanak-kanak atau Sekolah Dasar sebagian besar wataknya dimanfaatkannya bersama keluarganya. Perwatakan yang terbentuk pada masa ini menjadi dasar kepribadiannya. Perwatakan itu akan tetap membekas padanya untuk selama sisa hidupnya


(24)

sebagaimana tersirat dalam ungkapan: ”Bagaimana anak pada usia tiga tahun, begitu pula ia pada usia seratus tahun”.

Pada mulanya, istilah amae mengacu pada perasaan yang ada pada setiap bayi dalam pelukan ibunya dan secara pasif menolak untuk dipisahkan dari kehangatan sang ibu. Perasaan tersebut dimiliki oleh semua bayi di dunia namun perasaan tersebut tetap ada dan berkembang hingga orang Jepang dewasa, maka istilah amae hanya terdapat di Jepang dan berkembang menjadi suatu konsep kemudian menjadi suatu budaya. Budaya amae tidak hanya ditujukan kepada hubungan ibu dan anak saja tetapi juga hubungan atasan dan bawahan.

Shusaku Endo, seorang novelis Katolik Jepang, percaya bahwa Jepang sebagai tanah 'amaeru' memiliki ketergantungan yang kekanak-kanakan pada ibu yang penuh kasih dan belas kasihan. Gagasan bahwa Jepang cenderung amaeru akhirnya mungkin berasal dari gagasan yang diutarakan oleh Takeo Doi yakni dari kepercayaan bahwa manusia sebagai anak-anak Kami dan Amaterasu tertentu.

Takeo Doi menjadi terkenal dengan buku klasiknya, The Anatomy of Depedence Judul dalam bahasa Jepang adalah " Amae no Kouzou" (Struktur Amae) di mana Amae adalah bentuk kata benda dari kata kerja "amaeru". Buku ini diwajibkan bagi mereka yang mempelajari psikologi dari Jepang, dan sangat dihormati akademis. Teori Doi tentang Amae banyak dikutip oleh sebagian besar karya ilmiah atau buku di bidang ini. Doi telah menulis beberapa buku lain dan ada buku tentang teorinya yang ditulis oleh penulis lain. Sebagai contoh, Susumu Yamaguchi dari Universitas Tokyo dan mantan kepala konferensi psikologi budaya terkemuka di Asia, memulai penelitiannya dengan menyelidiki amae (ru) melalui kuesioner dan mungkin percobaan. Osamu Kitayama, mantan bintang pop dan terkenal sebagai psikolog Jepang telah mempersiapkan sebuah buku kertas psiko-klinis pada amae.


(25)

Amae (ru) menurut Dr Takeo Doi adalah sebuah kata yang tidak dapat langsung

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Doi mulai keluar dengan membuat observasi

Sapir-Whorf hipotesis didasarkan bahwa setiap kata yang ada dalam satu bahasa tetapi tidak dapat

dinyatakan dengan mudah dalam bahasa lain, mengacu pada fenomena dimana budaya penting dalam budaya bahasa pertama, tetapi tidak begitu penting dalam budaya yang lain yang tidak memiliki alat ekspresinya.

Pertama-pertama tentang Doi, dan yang paling mengesankan adalah contoh amae, ketika ia tiba di Amerika Serikat dan mengunjungi teman." Temannya menaruh beberapa kue atau sesuatu di atas meja dan berkata "Jika Anda lapar, tolong bantu dirimu sendiri". Datang dari budaya "amae," Doi merasa janggal. Dia lapar, tapi ia dalam kerangka pikiran amae. Dia tidak ingin mengatakan, "Yah saya tidak keberatan jika saya lakukan". Dia ingin tuan rumah untuk aktif memahami (sasshi) bahwa ia lapar dan memberinya sepiring kue. Dia ingin menjadi mollycoddled. Kata "mollycoddled" tidak begitu umum dalam bahasa Inggris, membantu kita untuk memahami amae. Beberapa orang yang ingin menjadi mollycoddled tidak mengartikulasikan keinginan mereka, tetapi mengharapan dari seseorang atau tindakan mereka untuk memperoleh indulgensi dari lainnya tanpa menggunakan bahasa. Dengan kata lain, amae merupakan konsep kunci yang bukan hanya untuk memahami struktur psikologi orang Jepang saja, melainkan dapat juga dikatakan untuk memahami struktur masyarakat Jepang. Di Jepang, amae memang memiliki konotasi ketidakdewasaan , tetapi juga diakui sebagai bahan utama dalam hubungan cinta kasih, mungkin lebih daripada pengertian tentang asmara yang sangat umum di Barat.

2.1.2. Amae Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Jepang

Amae adalah kata penting luar biasa dalam budaya tradisional di Jepang. Ini


(26)

meskipun melemah secara signifikan oleh perubahan budaya yang telah terjadi di Jepang pada zaman modern, terutama sejak pertengahan 1900-an, masih merupakan faktor penting dalam keseluruhan pola pikir dari Jepang.

Amae, dari kata kerja amaeru (ah-my-rue), mengacu pada asumsi terhadap kasih dan

kepuasan orang lain ketika berbicara atau berperilaku dengan cara yang akan menyebabkan beberapa tingkat ketidaknyamanan, iritasi atau beberapa bentuk lain dari gesekan dan tidak mengharapkan umpan balik negatif. Untuk bereaksi dengan benar mengenai ekspresi atau tindakan, amae mengharuskan individu menekan semua naluri egois dan berperilaku terhadap orang lain sebagaimana yang ibu lakukan terhadap anak-anak tercinta, memperlakukan mereka dengan jujur, murah hati dan ramah, tanpa memandang keadaan. Dalam dunia ideal amae yang berbasis Jepang awal, Golden Rule adalah bahwa orang harus bisa bergantung pada satu sama lain tanpa takut ditipu, dirugikan atau malu dengan cara apapun. Dengan kata lain, amae dimasukkan sebagai konsep ketergantungan mutlak dan kepercayaan mutlak dalam semua hubungan manusia.

Penerapan amae tidak saja diberlakukan di dalam keluarga. Tetapi juga direalisasikan dalam lembaga atau perusahaan Jepang. Pengertian amae dalam keluarga dengan amae dalam perusahaan sebenarnya memiliki arti yang sama persis namun yang membedakannya adalah amae dalam perusahaan melibatkan hubungan atasan dan bawahan atau pemimpin dengan karyawan. Amae memiliki prinsip kebaikan yaitu perlindungan sekaligus ketergantungan diantara keduanya.

Tentu saja, moralitas amae ini tidak pernah dipraktikkan dengan sempurna di Jepang setiap saat, tapi cukup kuat untuk menyerap budaya dan untuk meningkatkan standar perilaku orang-orang biasa di Jepang jauh di atas rata-rata yang ditemukan di negara-negara lain. Penanaman prinsip amae di Jepang mulai berkurang setelah berakhirnya Perang Dunia II


(27)

pada tahun 1945, tetapi pengaruhnya masih terasa, bahkan di generasi muda. Orang tua tidak bisa merasa nyaman dengan orang lain sampai mereka telah mengembangkan tipe hubungan

amae dengan mereka. Terutama dalam hubungan bisnis, dan merupakan salah satu alasan

mengapa umumnya waktu lebih lama untuk membangun hubungan bisnis di Jepang daripada di negara-negara Barat. Itu juga merupakan alasan mengapa banyak tindakan orang Jepang didasarkan pada faktor-faktor pribadi, bukan "fakta keras" yang didukung oleh pengusaha Barat.

De Mente memperkenalkan konsep amae untuk pengusaha Barat sebagai faktor penting dalam sikap dan perilaku orang Jepang dalam bukunya Etiket Jepang & Etika dalam

Bisnis , pertama kali diterbitkan pada tahun 1959. Dalam buku yang ditulis De Mente, amae

dapat diterjemahkan secara kiasan sebagai "cinta memanjakan," dan merupakan pilar pembangun karakter kepribadian, tradisional dan aspirasi dari Jepang. Prinsip dan praktek

amae tentu tidak unik di Jepang. Banyak pengusaha Barat yang mulai mengunjungi Jepang

dari tahun 1960-an kemudian menjadi tertarik dengan konsep amae tetapi mereka mengalami kesulitan ekstrim dalam mencoba melakukan sendiri secara amae ketika berhadapan dengan mitra Jepang mereka.

2.2. Komik dan Manga ( Komik Jepang )

2.2.1. Defenisi Komik

Menurut Will Eisner dalam bukunya Graphic Storytelling, komik adalah tatanan gambar dan balon kata yang berurutan. Scott McCloud punya pendapat lain lagi, katanya dalam buku Understanding Comics, komik didefinisikan sebagai gambar yang menyampaikan informasi atau menghasilkan respon estetik pada yang melihatnya. Ada juga


(28)

yang menyebut komik sebagai cerita bergambar, gambar yang dinarasikan, kisah ilustrasi, picto-fiksi dan lain-lain. Untuk memudahkan, kita sebut saja sebagai cerita bergambar, seperti yang disebut oleh Zam Nuldyn, seorang komikus Medan.

Komik menurut kutipan Marcel Bonnet dalam Angkat ( 2004 ) adalah salah satu produk akhir dari hasrat manusia untuk menceritakan pengalamannya, yang dituang dalam gambar dan tanda, mengarah kepada suatu pemikiran dan perenungan.

2.2.2. Sejarah Komik

Prancis dikenal sebagai pencetus ide-ide komik cemerlang,sejarah komik bermula pada masa pra sejarah digua Lascaux, Prancis selatan , ditemukan torehan berupa gambar gambar bison , jenis banteng atau kerbau Amerika. Cikal bakal komik ini menurut bonnet belum mengandung sandi yang membentuknya menjadi bahasa namun sudah merupakan " pesan" sebagai upaya komunikasi non verbal paling kuno.

Di Mesir,cerita tentang dewa maut dalam dunia roh terdapat di kuburan raja Nakht yang ditoreh diatas (kertas) papirus, papirus ini juga sudah dikenal lama oleh orang Assiria, Siria dan parsi. Selanjutnya " Komik" diatas daun beralih bentuk Mozaik ( susunan lempeng batu berwarna) di Yunani karya ini berlangsung hingga abad ke 4 masehi, pada masa jaman Romawi cerita bergambar berkembang pesat yang selanjutnya menyebar hampir keseluruh Eropa.

Kapan munculnya komik masih menjadi perdebatan. Menurut Scot McCloud komik bisa jadi bermula dari tulisan hiroglyph Mesir, emaki Jepang atau manuskrip kuno Amerika Tengah. Tapi, menurut Roger Sabin, komik semestinya merupakan istilah untuk kisah


(29)

bergambar yang dicetak. Meski demikian, pengertian ini rancu sebab film animasi juga merupakan kisah bergambar yang dibuat atau dicetak dengan media tertentu.

Menurut penelusuran Sabin, komik paling awal adalah komik cetak karya Francis Barlow berjudul A True Narrative of the Horrid Hellish Popish Plot (1682) dan The

Punishments of Lemuel Gulliver oleh William Hogarth (1726). Tapi Eddie Campbell

menolak kesimpulan Sabin, sebab menurut Campbell karya dua penulis itu mestinya digolongkan pada kartun. Sama halnya dengan komik karya Rowlandson tahun 1782, yang membuat kartun bertema politik dan ditambah narasi. Karya para kartunis itu lebih tepat disebut gambar yang dinarasikan.

Tahun 1884, komik karya Ally Sloper berjudul Half Holiday dipublikasikan. Komik ini disebut sebagai komik strip majalah pertama. Berikutnya terbitlah terobosan baru dunia perkomikan, yakni kemunculan komik berseri dengan tokoh tetap tahun 1895. Dibuat oleh R.F Outcault, berjudul Hogan's Alley. Komik ini menjadi sangat populer sehingga meningkatkan penjualan koran yang memuatnya. Hogan's Alley menjadi penanda awal bangkitnya komik Amerika. Semangat membuat komik menjalar dimana-mana. Para komikus menciptakan berbagai tokoh cerita yang kemudian jadi populer hingga ke seluruh dunia. Sebut saja Superman yang muncul pertama kali dalam Action Comics#1 tahun 1938.

2.2.3. Sejarah Manga

Manga merupakan istilah untuk komik Jepang. Secara harfiah kata manga berasal dari kata lucu (man : ) dan kata gambar (ga :画), jadi kata manga berarti gambar yang lucu.

Kata manga pertama kali digunakan oleh seorang seniman bernama Hokusai Katsushika yang menggunakan dua huruf Cina yang artinya kira-kira gambar manusia untuk


(30)

menceritakan sesuatu. Beda dengan komik Amerika, manga biasanya dibaca dari kanan ke kiri, sesuai dengan arah tulisan kanji Jepang.

Manga pertama diketahui dibuat oleh Suzuki Kankei tahun 1771 berjudul Mankaku

Zuihitsu. Berikutnya terbit Shiji no yukikai oleh Santo Kyoden (1798) dan Manga hyakujo karya Aikawa Minwa (1814). Namun ada juga yang menyebut manga pertama kali muncul abad 12. Manga tersebut berisi kisah lucu tentang hewan dan dibuat oleh banyak seniman.

Manga yang dibuat banyak seniman ini memenuhi hampir semua persyaratan manga.

Sederhana, memiliki cerita di dalamnya, dan memiliki gambar artistik.

Pada mulanya, komik Jepang sangat dipengaruhi gaya Amerika. Ini terlihat dari komik-komik buatan Osamu Tezuka yang sangat bergaya Walt Disney. Ia mengadaptasi karakter wajah komik Amerika, seperti mata, mulut, alis, dan hidung. Beberapa komiknya yang sangat terkenal dan sudah difilmkan adalah: Kimba the White Lion, Black Jack, dan

Astro Boy. Keahlian Osamu Tezuka membuat manga menjadikannya tempat berguru para mangaka. Beberapa diantara muridnya adalah Ishinomori Shotaro, Akatsuka Fujio, and

Fujiko Fujio yang terkenal dengan Doraemonnya. Osamu Tezuka merupakan salah seorang yang paling memengaruhi perkembangan manga.

Manga mulai menemukan ciri khasnya setelah perang dunia kedua. Salah satu

pelopornya adalah Fujiko Fujio yang sukses dengan Doraemon. Ciri khas itu meliputi karakter wajah serta penceritaan. Tokoh-tokoh manga kini bermata besar, memiliki raut wajah halus dengan pipi bulat, hidung sempit dan bibir tipis. Latar belakang gambarnya pun dibuat senatural mungkin. Para mangaka diketahui sangat memerhatikan detail. Konon mereka rela memotret sebuah objek berkali-kali dari berbagai sudut pandang untuk mendapatkan 'rasa' tempat. Bila sebelumnya lembaran komik hanya terdiri atas empat kotak gambar, kotak gambar manga bisa lebih dari itu. Para mangaka berusaha membuat


(31)

gambarnya bergerak. Karena itulah mereka kadang membuat hingga sepuluh kotak gambar dalam satu lembar manga untuk mendapat kesan pergerakan. Membuat kita seolah sedang menonton film kartun saat membaca manga. Manga menjadi salah satu buku paling laris di Jepang. Majalah-majalah manga beroplah di atas satu juta kopi perminggu. Bahkan komik

Doraemon menembus angka 10 juta kopi per edisinya.

2.2.4. Unsur-unsur Yang Terkandung Dalam Karya Sastra

Yang dimaksud unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra itu atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan duianya sendiri yang berbeda dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut. Pada umumnya para ahli sepakat bahwa unsur intrinsik terdiri dari tokoh dan penokohan/perwatakan tokoh. Tema dan amanat. Latar dan alur. Sudut pandang/gaya penceritaaan. Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas unsur-unsur tersebut.

1. Tokoh

Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakukan dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, dapat pula berwujud binatang atau benda yang


(32)

diinsankan.Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu

a. Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai pisitif.

b. Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.

Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu

a. Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercataan tokoh sentral (protagonis atau antagonis).

b. Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.

c. Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.

Berdasarkan cara menampikan perwatakannya, tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

a. Tokoh datar/sederhana/pipih. Yaitu tokoh yang diungkapkan atau disoroti dari satu segi watak saja. Tokoh ini bersifat statis, wataknya sedikit sekali berubah, atau bahkan tidak berubah sama sekali (misalnya tokoh kartun, kancil, film animasi).


(33)

b. Tokoh bulat/komplek/bundar. Yaitu tokoh yang seluruh segi wataknya diungkapkan. Tokoh ini sangat dinamis, banyak mengalami perubahan watak.

2. Penokohan

Yang dimaksud penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada beberapa metode penyajian watak tokoh, yaitu

a. Metode analitis/langsung/diskursif. Yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.

b. Metode dramatik/taklangsung/ragaan. Yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.

c. Metode kontekstual. Yaitu penyajian watak tokoh melalui gaya bahasa yang dipakai pengarang.

Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM., ada lima cara menyajikan watak tokoh, yaitu

a. Melalui apa yang dibuatnya, tindakan-tindakannya, terutama abagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.

b. Melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh tersebut orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus.

c. Melalui penggambaran fisik tokoh.


(34)

e. Melalui penerangan langsung.Tokoh dan latar memang merupakan dua unsur cerita rekaan yang erat berhubungan dan saling mendukung.

3. Alur

Alur adalah urutaan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Urutan peristiwa dapat tersusun berdasarkan tiga hal, yaitu

a. Berdasarkan urutan waktu terjadinya. Alur dengan susunan peristiwa berdasarkan kronologis kejadian disebut alur linear

b. Berdasarkan hubungan kausalnya/sebab akibat. Alur berdasarkan hubungan sebab-akibat disebut alur kausal.

c. Berdasarkan tema cerita. Alur berdasarkan tema cerita disebut alur tematik.

Pada umumnya orang membedakan alur menjadi dua, yaitu alur maju dan alur mundur. Yang dimaksud alur maju adalah rangkaian peristiwa yang urutannya sesuai dengan urutan waktu kejadian. Sedangkan yang dimaksud alur mundur adalah rangkaian peristiwa yang susunannya tidak sesuai dengan urutan waktu kejadian. Pembagian seperti itu sebenarnya hanyalah salah satu pembagian jenis alur yaitu pembagian alur berdasarkan urutan waktu. Secara lebih lengkap dapat dikatakan bahwa ada tiga macam alur, yaitu alur berdasarkan urutan waktu, alur berdasarkan urutan sebab-akibat, alur berdasarkan tema. Dalam cerita yang beralur tema setiap peristiwa seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami. Dalam hubungannya dengan alur, ada beberapa istilah lain yang perlu dipahami. Pertama, alur bawahan. Alur bawahan adalah alur cerita yang ada di samping alur cerita utama. Kedua, alur linear. Alur linear adalah rangkaian peristiwa dalam cerita yang susul-menyusul secara temporal. Ketiga, alur balik.


(35)

Alur balik sama dengan sorot balik atau flash back. Keempat, alur datar. Alur datar adalah alur yang tidak dapat dirasakan adanya perkembangan cerita dari gawatan, klimaks sampai selesaian. Kelima, alur menanjak. Alur menanjak adalah alur yang jalinan peristiwanya semakin lama semakin menanjak atau rumit.

4. Latar

Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar meliputi penggambaran letak geografis (termasuk topografi, pemandangan, perlengkapan, ruang), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh.

Latar dibedakan menjadi dua, yaitu

1. Latar fisik/material.

Latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya (dapat dipahami melalui panca indra). Latar fisik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. latar netral, yaitu latar fisik yang tidak mementingkan kekhususan waktu dan tempat.

b. latar spiritual, yaitu latar fisik yang menimbulkan dugaan atau asosiasi pemikiran tertentu.

2. Latar sosial.

Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain.


(36)

Fungsi Latar

Ada beberapa fungsi latar, antara lain:

1. memberikan informasi situasi sebagaimana adanya

2. memproyeksikan keadaan batin tokoh

3. menciptkan suasana tertentu

4. menciptakan kontras

5. Tema dan Amanat

Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema. Ada beberapa macam tema, yaitu tema didaktis, yaitu tema pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Ada tema yang dinyatakan secara eksplisit. Ada tema yang dinyatakan secara simbolik. Ada tema yang dinyatakan dalam dialog tokoh utamanya Dalam menentukan tema cerita, pengarang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain minat pribadi, selera pembaca, keinginan penerbit atau penguasa. Kadang-kadang terjadi perbedaan antara gagasan yang dipikirkan oleh pengarang dengan gagasan yang dipahami oleh pembaca melalui karya sastra. Gagasan sentral yang terdapat atau ditemukan dalam karya sastra disebut makna muatan, sedangkan makna atau gagasan yang dimaksud oleh pengarang (pada waktu menyusun cerita tersebut) disebut makna niatan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan makna niatan kadang-kadang tidak sama dengan makna muatan. Pengarang kurang pandai menjabarkan tema yang dikehendakinya di dalam karyanya. Beberapa pembaca berbeda pendapat tentang gagasan dasar suatu karta. Yang diutamakan adalah bahwa penafsiran itu dapat dipertanggungjawabkan dengan adanya unsur-unsur di dalam karya sastra yang menunjang tafsiran tersebut. Dalam suatu karya sastra ada tema sentral dan


(37)

ada pula tema sampingan. Yang dimaksud tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita. Yang dimaksud tema sampingan adalah tema-tema lain yang mengiringi tema sentral.Ada tema yang terus berulang dan dikaitkan dengan tokoh, latar, serta unsur-unsur lain dalam cerita. Tema semacam itu disebut leitmotif. Leitmotif ini mengantar pembaca pada suatu amanat. Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, dapat pula secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.

Sedangkan unsur ekstrinsik mengandung unsur-unsur di luar isi karangan. Seperti biografi pengarang dan zaman dimana karya sastra dibuat.

2.3. Biografi Eriko Ono

Eriko Ono adalah salah seorang komikus Jepang yang dapat dibilang sangat sukses. Eriko Ono mulai membuat komik Hai Miiko ( Kocchi Muite! Miiko ) sejak tahun 1995 yang merupakan kelanjutan dari komik sebelumnya yaitu Namaku Miiko ( Miiko desu ) yang diterbitkan oleh Shogakukan Jepang. Tanggal 1 Maret 1996, Eriko Ono mendapat penghargaan sebagai komikus paling berprestasi ke 41 dari penerbit Shogakukan.

Hingga tahun 2010 komik Hai Miiko telah sampai pada jilid 22. Tujuh belas jilid sebelumnya telah terjual sebanyak 2.300.000 eksemplar pada tahun 2006. Komik Hai Miiko telah diadaptasi ke dalam serial animasi televisi sebanyak 42 episode oleh Toei Animation yang disiarkan di TV Asahi pada 14 Februari 1998 hingga 6 Februari 1999.


(38)

BAB III

ANALISIS BUDAYA AMAE DALAM KOMIK HAI MIIKO

3.1. Sinopsis Cerita Komik Hai Miiko

Komik Hai Miiko bercerita tentang seorang anak kelas 5 SD yang bernama Yamada Miiko. Miiko adalah anak yang sangat ceria dan energik. Miiko juga memiliki sifat penyayang terhadap teman-temannya. Miiko memiliki kegemaran yaitu makan dan membaca komik. Apabila makan terlalu banyak badan Miiko mudah sekali menjadi gemuk sehingga Miiko sering dipanggil gembul. Miiko juga memiliki masalah dengan tinggi badan, sehingga Miiko mengidamkan memiliki tubuh yang tinggi. Miiko adalah anak yang sangat aktif namun terkadang malas.

Miiko tinggal bersama kedua orangtuanya. Ayah Miiko bekerja sebagai wartawan dan ayahnya memiliki sifat yang sangat baik. Wajah Miiko sangat mirip dengan ayahnya. Ayah Miiko sangat menyayangi Miiko. Ayah Miiko selalu memberikan apa yang Miiko inginkan. Ayah Miiko tidak pernah mau melihatnya bersedih. Sedangkan Ibu Miiko bekerja sebagai editor majalah komik. Ibu Miiko adalah ibu yang sangat sibuk. Ibu Miiko juga orang yang baik. Namun terkadang Ibu Miiko merasa kesal terhadap Miiko karena Miiko tidak mau membantu adiknya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Apabila ibu marah kepada Miiko, ayah selalu membela Miiko.

Miiko memiliki satu adik laki-laki dan satu adik perempuan. Adik laki-laki Miiko bernama Yamada Mamoru. Mamoru adalah murid kelas 4 SD. Wajah Mamoru sangat mirip dengan wajah ibunya. Walaupun Mamoru seorang adik namun sifatnya lebih dewasa daripada Miiko. Mamoru anak yang pintar dan sangat rajin. Tak jarang Mamoru membantu


(39)

ibunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mamoru sering merasa kesal pada Miiko karena Miiko sering mengganggu dan jarang membantunya. Miiko merasa cemburu kepada Mamoru karena Miiko merasa ibunya lebih menyayangi Mamoru. Namun sebenarnya Miiko dan Mamoru saling menyayangi satu sama lain.

Adik perempuan Miiko bernama Yamada Momo. Momo masih bayi, semua orang sangat menyayanginya. Wajah Momo juga mirip dengan ibunya.

Miiko memiliki sahabat yang sangat akrab yaitu Shimura Mari dan Ogawa Yuuko ( Yukko ). Mari memiliki kegemaran yang sama dengan Miiko yaitu membaca komik. Selain itu, Mari juga pandai menggambar komik dan bercita-cita menjadi komikus. Mari memiliki sifat yang sedikit egois dan sombong. Mari merasa kesal jika ia dan Miiko membuat komik namun yang terpilih hanya milik Miiko. Tak jarang mereka saling bertengkar. Tapi sebenarnya mereka saling menyayangi dan tidak dapat dipisahkan. Maka dari itu, Miiko sangat senang bersahabat dengan Mari.

Sedangkan Yukko memiliki sifat yang paling dewasa di antara mereka bertiga. Yukko tidak pernah merasa sakit hati kepada mereka, malah Yukko selalu menhadi penengah apabila Miiko dan Mari sedang bertengkar. Yukko memiliki kegemaran memasak, dia selalu membuatkan kue buat Miiko dan Mari.

Selain Mari dan Yukko, Miiko juga memiliki sahabat laki-laki yaitu Eguchi Tappei dan Satou Kenta. Kenta adalah kekasih Yukko. Tappei sangat senang bila mengganggu Miiko dan membuat Miiko merasa kesal. Tapi sebenarnya Tappei sangat perhatian kepada Miiko. Tappei selalu ada bila Miiko dalam kesulitan.

Di kelas ada murid yang bernama Yoshida Ikuya. Sifat Yoshida dan Tappei sangat berbeda. Yoshida memperlakukan Miiko layaknya seorang putri. Yoshida selalu bersifat manis dan sopan terhadap Miiko. Yoshida tidak suka bila Tappei bersikap kasar terhadap


(40)

Miiko. Yoshida tidak suka bila Miiko dekat dengan Tappei begitu juga Tappei tidak suka bila Miiko dekat dengan Yoshida.

3.2. Budaya Amae Dalam Komik Hai Miiko

Cuplikan ( Jilid I halaman 127-136 ) :

Rie : “Kita pergi ke department store beli jaket ,yuk?”

Nenek : “Kali ini sabar dulu ya”

Rie : “Kenapa?! Kan Mama sudah janji bakal belikan aku jaket baru untuk pergi skating sama teman minggu depan!’’

Nenek : “Waktu itu Mama kira kerjaan Papamu sudah pasti. Ternyata sampai sekarang belum ada kepastian. Kau harus tunggu sampai pekerjaan itu betul-betul dipegang Papa”

Rie : “Aku gak mau tau, pokoknya udah janji!”

Nenek : “Rie! Mama sudah menjelaskannya padamu, tapi kenapa kau masih nggak terima?! Jangan egois begitu! Pikir dulu sebelum bicara, Jangan sembarangan ngomong!”

Rie : “Mama bohong”

Nenek : “Dasar anak keras kepala”

Miiko : “Aku mau lihat Rie sebentar ya”


(41)

Miiko : “Aku paham perasaanmu”

Rie : “Kan nggak salah kalau anak kecil sekali-sekali mau tampil cantik?. Bayangkanlah aku ini selalu memakai pakaian bekas kakak-kakakku . Pakaianku selalu berwarna kelabu atau coklat aku ingin sekali-sekali pakai baju merah atau pink seperti teman-teman. Dua bulan yang lalu , kantor Papaku bangkrut. Aku sudah tau nggak mungkin dibelikan jaket baru! Tapi aku sengaja menguji Mama ternyata memang sudah nggak ada harapan lagi. Rasanya lega setelah ngomong denganmu. Kita pulang yuk ”

Miiko : “Iya…”

Rie : “Aku pulang…”

Miiko : “Wah…warnanya bagus sekali, merah jambu”

Rie : “Jaket Mama dipotong-potong jadi begini?!”

Nenek : “Iya, Mama mau mencontoh pola baju di buku ini”

Rie : “Tapi jaket ini kan jaket kesayangan Mama. Ah… Mamaaaa”

Analisis :

Dari cuplikan dialog di atas, dapat dilihat bahwa Mama Rie sangat menyayangi Rie. Rie sangat menginginkan jaket berwarna merah muda dan Mama Rie berusaha menuruti keinginan Rie dengan cara memotong jaket kesayangannya menjadi kecil agar dapat dipakai oleh Rie.


(42)

Dialog di atas menunjukkan adanya amae antara Mama Rie dan Rie. Seorang ibu berusaha menyenangkan hati anaknya dengan cara menuruti keinginan anaknya. Dengan demikian, sang ibu menginginkan anaknya bahagia.

Cuplikan ( Jilid II halaman 121-126 ) :

Mari : “Miiko! Aku lihat beritanya di tv! Aku sering ke mini market itu lho”

Yukko : “Seram ya, ada perampokan dekat sini. Akhir-akhir ini memang sering terjadi. Tapi syukurlah Miiko nggak apa-apa”

Kenta : “Gimana sih tampang perampok itu?”

Miiko : “Pokoknya seram! Sangar sekali, bawa pistol gede!”

Yoshiki : “Yamada, itu artinya kau dalam bahaya. Perampoknya kan masih buron. Kau tampil di tv kemarin pasti perampoknya juga melihatmu”

Tappei : “Iya nih! Polos banget kau ini, langsung tampil beri kesaksian di tv”

Mari : “Lho, kenapa? Kok lesu? Kepikiran omongan Yoshiki ya?”

Miiko : “Nggak ku pikirkan kok…”

Mari : “Kenapa?’’

Miiko : “Kayaknya aku merasa… ada yang ngikuti kita…’’

Mari : “Masa, sih?”

Miiko : “Ce… cepat pulang!” Ayo … Lari! Celaka… terkejar, deh!”


(43)

Miiko : “Ta… Tappei?!”

Tappei : “Aku mencemaskanmu, makanya kubuntuti…’’

Miiko : “Kenapa nggak bilang dari awal supaya kita pulang bareng!’’

Tappei : “Iya juga ya…’’

Analisis :

Teman-teman Miiko sangat mengkhawatirkan keselamatan Miiko karena Miiko menjadi saksi perampokan. Mereka takut jika perampok tersebut akan mencari Miiko. Sikap Tappei yang membuntuti Miiko dapat diartikan bahwa Tappei ingin menjaga Miiko dari bahaya. Tappei merasa cemas atas keselamatan Miiko maka dari itu Tappei merasa seharusnya ia mengikuti Miiko. Sikap ini mengindikasikan adanya amae antara Tappei dan Miiko yaitu adanya keinginan untuk menjaga keselamatan orang yang disayangi dari bahaya.

Cuplikan ( Jilid III halaman 27 ) :

Miiko : “Maaf ya, terpaksa nungguin aku sesore ini…”

Mari : “Yukko, dari tadi ngeliatin jam terus?”

Miiko : “Ada perlu, ya?”

Yukko : “Ah, nggak… Kebetulan jam 4 ada film anime kesukaanku…”

Miiko : “Duh, maaf! Sekarang sudah jam 4 lewat!”

Yukko : “Nggak apa-apa kok, Cuma ketinggalan 1 episode…”


(44)

Miiko : “Mari chan sok tau ah”

Mari : “Emang iya, sih. Kita mana tau dia mau nonton film jam empat”

Yukko : “Sudah… sudah…”

Analisis :

Dari cuplikan dialog di atas dapat ditarik analisa bahwa Yukko tidak ingin mengutarakan keinginannya walaupun itu sangat penting baginya. Yukko menginginkan agar temannya mengerti keinginannya. Yuuko rela menunggu temannya hingga sore walaupun baginya anime juga sangat penting.

Dari cuplikan ini dapat dilihat adanya amae antara Yukko dengan Mari dan Miiko. Dimana orang Jepang tidak akan mengutarakan keinginannya kepada orang lain dan menginginkan orang lain untuk mengerti dirinya dan rela mementingkan temannya daripada keinginan pribadinya.

Cuplikan ( Jilid III halaman 63-65 ) :

Pak Guru : “Nah, hari ini kita pilih pengurus kelas yang baru! Ajukan calon kalian, seorang siswa dan seorang siswi”

Miiko : “Pasti calonnya yang itu-itu juga. Nggak ada hubungannya denganku”

Mari : “Bosan ah orangnya itu-itu juga. Yukko mau coba calonkan orang lain?”

Yukko : “Eh, siapa?”

Mari : “Yah pokoknya orang yang paling kau kenal. Kan asyik kalau pengurus kelasnya kita kenal baik”


(45)

Yukko : “Saya, Pak”

Pak Guru : “Ya Ogawa. Siapa yang kau calonkan?”

Yukko : “Yamada Miiko, Pak”

Miiko : “Eh… tunggu…aku…”

Yukko : “Miiko. Dia selalu berusaha melakukan tugasnya dengan baik! Aku yakin, dia bisa jadi pengurus kelas yang bagus”

Analisis :

Dari cuplikan dialog di atas, tampak bahwa Yukko sangat menginginkan Miiko menjadi pengurus kelas. Yukko sangat mempercayai Miiko dapat mengurus kelas dengan bagus. Yukko menghargai usaha Miiko mengerjakan tugas dengan baik. Untuk itu Yukko merasa dapat bergantung pada Miiko mengenai urusan kelas.

Dari cuplikan di atas dapat diindikasikan adanya amae antara Yukko dengan Miiko. Dimana adanya ketergantungan kepada orang yang sangat dipercayai. Tampak bahwa orang Jepang sangat bergantung kepada orang lain yang sangat diyakini dan dipercaya untuk mengerjakan sesuatu.

Cuplikan ( Jilid III halaman 118-120 ) :

Yukko : “Lho… Itu kan adikku!”

Miiko : “Hah?”

Yukko : “Ada apa, Atsushi?”


(46)

Miiko : “Ngelamun ya…”

Mari : “Kasian amat…”

Yukko : “Digesek aja, pasti lepas…”

Atsushi : “Tetap nggak bisa bersih…”

Yukko : “Ya sudah! Pakai saja sepatu kakak! Kita tukaran sepatu, ya! Kekecilan, nih…”

Atsushi : “Kakak… Maaf ya…”

Yukko : “Nggak apa-apa. Nanti di rumah, kakak cuci sampai bersih!”

Analisis :

Cara Yukko memperlakukan adiknya mengindikasikan adanya amae di antara Yukko dengan Atsushi. Yukko rela menukar sepatunya dengan sepatu adiknya walaupun kekecilan buatnya. Ini dilakukan semata agar adiknya tidak bersedih lagi karena sepatunya terinjak kotoran binatang. Tidak hanya itu saja, sampai di rumah Yukko juga akan membersihkan sepatu adiknya hingga bersih.

Dialog di atas menggambarkan hubungan kasih sayang antara kakak dan adik di Jepang. Tampak bahwa seorang kakak sangat menyayangi adiknya dan sang adik pun sangat bergantung kepada kakaknya.

Cuplikan ( Jilid IV halaman 26-29 ) :


(47)

Miiko : “10 hari lagi, libur musim panas kan selesai!”

Mama : “Mau apa lagi, papa mama banyak kerjaan… perginya musim gugur aja, ya?”

Miiko : “Nggak mau! Waktu masuk kelas nanti, aku nggak mau ketinggalan teman yang lain cerita soal liburan!”

Mama : “Kok mau jalan-jalan cuma buat pamer ke orang, sih…”

Miiko : “Ya sudah! Kalau jalannya di musim gugur… Kan nggak bisa berjemur matahari!”

Papa : “Memang sih, kita sudah jarang jalan-jalan…”

Mama : “Iya, ya… Kapan sih terakhir kali kita berlibur?”

Papa : “Kita pergi ke laut… waktu Miiko kelas 2 SD…”

Mama : “Lama juga, ya…”

Papa : “Tanggal 29-30 kayaknya kita bisa cuti, deh?”

Mama : “Oh ya?”

Papa : “Iya! Tanggal 31 dan 1 kan akhir pekan, jadi kita bisa berlibur 4 hari 3 malam”

Analisis :

Cuplikan di atas menunjukkan Miiko sangat ingin jalan-jalan dengan orangtuanya. Walaupun awalnya menolak karena sibuk bekerja, namun akhirnya mengabulkan keinginan Miiko. Papa dan Mama rela lembur untuk mengambil cuti demi Miiko.


(48)

Dialog di atas menunjukkan adanya amae antara orang tua dan anak. Orang tua berusaha memberikan yang terbaik buat anaknya walaupun selalu sibuk dengan pekerjaan.

Cuplikan ( Jilid IV halaman 84-99 ) :

Miiko : “Mari chan mau pakai baju apa ke pesta Yoshiki?”

Mari : “Ada yang sudah ku taksir. Sini-sini”

Miiko : “Wah cakep”

Mari : “Aku mau minta baju ini sama Mama buat hadiah natal”

Penjaga toko : “Selamat datang. Ada yang kalian suka? Mau coba dulu?”

Mari : “ehh gimana ya?”

Miiko : “Nggak apa-apa coba aja”

Penjaga toko : “Silakan ke sini”

Mari : “Gimana?”

Miiko : “Kayaknya ukurannya kekecilan jadi ngegantung begitu Mari chan”

Penjaga toko : “Kita cari yang lebih besar ya”

Mari : “Nggak usah. Mulai besok sampai hari natal aku mau diet. Kalau kurus 3-4 kg baju itu pasti bisa ku pakai. Makanya Miiko kau jangan macam-macam ya. Aku duluan yang nemu baju itu”


(49)

Miiko : “Aku pulang….”

Mama : “Miiko sini deh”

Miiko : “Ada apa Ma?”

Mama : “Baju ini bagus kan! Mama beli di butik, diskon 50% lho. Lusa kau pesta di rumah Yoshiki kan? Baju ini pasti cocok untukmu””

Miiko : “Bisa nggak baju ini ukurannya digedein?”

Mama : “Memangnya kekecilan?”

Miiko : “Nggak, pas sekali untukku! Tapi tolong digedein”

Mama : “Jadi, kau mau berikan baju ini pada Mari Chan?”

Miiko : “Iya… Aku nggak tega memakainya…”

Mama : “Terus kau mau pakai apa di pesta lusa?”

Miiko : “Aku pakai baju natal tahun lalu aja…”

Esoknya

Miiko : “Mari chan!”

Mari : “Ada apa, Miiko?”

Miiko : “Ini nih. Hadiah yang hebat”

Mari : “Apa nih?”

Miiko : “Ayo cepat buka”


(50)

Miiko : “Apa nih”

Mari : “Mama beli untukku , dia nggak yau ukurannya kekecilan buatku. Jadi aku bicara supaya ngasih baju ini ke Miiko. Kan pas sekali buatmu”

Miiko : “Mari buka kadoku juga dong!”

Mari : “Hoh”

Analisis :

Cuplikan di atas menceritakan bahwa Miiko ingin memberikan baju yang dibelikan mamanya kepada Mari Chan karena Mari Chan juga menginginkan baju yang sama seperti yang dibelikan Mama Miiko. Maka Miiko tidak tega memakai baju itu karena takut Mari akan merasa sedih.

Hal ini merupakan indikasi dari adanya amae antara kedua sahabat. Dimana Miiko rela memberikan baju barunya kepada Mari sedangkan Miiko memilih hanya memakai baju natalnya tahun lalu. Sifat ini menunjukkan adanya kasih sayang Miiko kepada Mari.

Cuplikan ( Jilid V halaman 22-23 ) :

Mama : “Wah, sudah bangun? Mama bikin sup pangsit. Mau nggak?”

Miiko : “Mau dong… enak…”

Mama : “Nih, minumnya… nah. Besok… Mama kerja di rumah aja.”

Miiko : “Bener, ma?!”


(51)

Miiko : “Kalau gitu, bikinin sup ayam juga ya, mah?”

Mama : “Iya, boleh! Besok, ya?”

Miiko : “Mama… Maaf Miiko kena flu…”

Mama : “Nggak apa-apa.”

Analisis :

Cuplikan dialog di atas menceritakan pada saat Miiko sakit dan mamanya memilih bekerja di rumah agar dapat merawat Miiko. Miiko sangat senang karena dapat makan masakan mama yang merupakan makanan kesukaannya. Hal ini mengindikasikan adanya

amae antara mama dan Miiko. Sang Ibu berusaha untuk merawat anaknya yang sedang sakit

dan bekerja di rumah demi anaknya. Sang anak pun senang karena pada saat sakit ia mendapat perhatian yang lebih kepadanya.

Cuplikan ( Jilid VII halaman 16-17 ) :

Papa : “Pagi, Miiko!”

Miiko : “Sebentar, pa! Papa mau hadiah apa buat hari ayah?”

Papa : “Eh? Oh ya… Sebentar lagi hari ayah, ya…”

Miiko : “Iya! Aku ingat, kok! Anggaran kadoku 500 yen!”

Papa : “Wah, mahal juga… Pingin apa, ya… Hem… Gini, deh! Papa pingin surat!”

Miiko : “Su… surat?!”


(52)

Miiko : “Nulis surat apaan?!”

Papa : “Apa juga boleh. Yang Miiko sukai akhir-akhir ini, misalnya… Atau yang ingin kau sampaikan pada papa…”

Miiko : “Kok mintanya yang kayak gitu! Padahal aku sudah sediakan 500 yen!”

Analisis :

Di hari Ayah, Miiko sangat ingin memberikan hadiah kepada papanya dengan anggaran yang dimilikinya. Namun tak disangka papanya hanya menginginkan surat. Papanya tak ingin uang Miiko habis untuk membeli hadiah.

Cuplikan dialog di atas mengindikasikan adanya amae antara ayah dan anak. Seorang ayah tidak ingin menyusahkan anaknya dan hanya menyuruh sang anak untuk melakukan yang mudah dan murah tanpa mengeluarkan biaya.

Cuplikan ( Jilid VIII halaman 72-73 ) :

Tappei : “Kamu kenapa? Rambutmu ke tinggalan di rumah, ya?”

Miiko : “Kem… kembalikan topiku!”

Teman sekelas: “Wahahaha! Motongnya jelek banget! Miiko motong di mana? Kependekan, tuh… Kayak orang lain aja!”

Yoshida :“Yamada! Bagus, kok. Cocok untuk musim semi. Wajah Yamada jadi cerah kan”


(53)

Analisis :

Cuplikan di atas menenjukkan kasih sayang yang ditunjukkan Yoshida kepada Miiko. Pada saat teman-teman sekelas Miiko mengejeknya, Yoshida membela Miiko. Hal ini menunjukkan adanya amae kepada teman yaitu antara Yoshida dan Miiko. Yoshida tidak suka bila teman-teman sekelasnya mengejek Miiko.

Cuplikan ( Jilid VIII halaman 146-147 ) :

Naomi : “Hai, Miiko! Kangen deh, sudah lama nggak main di sini.”

Miiko : “Na… Naomi… Maaf, aku baru bisa balikin sekarang… Tapi… spidolnya sudah keburu kering…”

Naomi : “Nggak apa-apa. Memang kuberikan untukmu buat kenang-kenangan, kok. Tapi waktu itu… Aku nggak bilang sama kamu… Tapi Cuma kupinjamkan untukmu…”

Miiko : “Be… bener nih?”

Naomi : “Aku selalu mikir, dulu kita nggak sempat pamitan, malah berantem… Miiko… Terima kasih telah menyimpan spidolku selama ini.”

Analisis :

Cuplikan di atas menunjukkan kesetian Miiko kepada Naomi. Miiko menyimpan spidol selama bertahun-tahun karena menganggap spidol itu sangat penting. Hal ini menunjukkan adanya amae antara Miiko dan Naomi. Dimana kesetian Miiko menjaga benda yang sangat penting baginya selama bertahun-tahun.


(54)

Cuplikan ( Jilid IX halaman 74-76 ) :

Miiko : “Tappei”

Tappei : “Kenapa?”

Miiko : “A…aku yang mecahin kan?”

Tappei : “Apanya?”

Miiko : “Vas bunganya”

Tappei : “Aku yang pecahin kok, bukan kamu”

Miiko : “Tappei! Makasih!”

Analisis :

Dialog di atas menceritakan Miiko yang memecahkan vas bunga kelas namun Tappei mengaku kalau dia yang memecahkan vas bukan Miiko agar Miiko terhindar dari hukuman. Hal ini menunjukkan adanya amae antara Tappei dan Miiko. Tappei menunjukkan kasih sayangnya kepada Miiko.

Cuplikan ( Jilid X halaman 90-91 ) :

Miiko : “Aku kan sekali-sekali mau main di rumah”

Mama : “Mama kan cemas kalau kau cuma sendirian di rumah”


(55)

Miiko : “Boleh nih?!”

Mama : “Yang penting jangan main api! Kalau mau keluar, pintu dikunci dulu!”

Analisis :

Dari cuplikan di atas menunjukkan bahwa Miiko lebih senang bermain di rumah daripada harus berada di penitipan anak. Namun mama sangat khawatir bila Miiko di rumah karena tidak ada orang yang menjaganya. Hal ini mengindikasikan adanya amae antara mama dan Miiko. Dimana Miiko merasa lebih nyaman bila berada di rumah. Di lain pihak, mama juga merasakan kekhawatiran.

Cuplikan ( Jilid XI halaman 58 ) :

Miiko :“Ini catatan pelajaran hari ini! Sudah ku catat semuanya dengan rapi. Tappei tadi nggak bisa nulis kan? Repot kalau sampai ketinggalan pelajaran. Yang ini bahasa, ini matematika”

Mama Tappei : “Makasih ya”

Tappei : “Tulisanmu kayak cakar ayam, aku nggak ngerti. Sudah, nggak usah ikut campur urusanku. Sana pulang”

Miiko : “Hari ini aku menyimak pelajaran dengan teliti supaya bisa menulis catatan yang rapi dan bagus”

Tappei : “Yamada! Tunggu! Jangan lari-lari, aku nggak bisa menyusulmu. Maaf makasih atas catatannya. Nggak usah khawatir. Aku pasti cepat sembuh”


(56)

Miiko :“Tappei akan kulakukan apa saja agar kau sembuh! Bilang-bilang kalau butuh bantuan! Mulai besok pagi, aku akan menjemputmu ke sekolah”

Tappei : “Sudah ku bilang gak usah”

Analisis :

Cuplikan di atas menunjukkan adanya perhatian dari Miiko kepada Tappei. Miiko rela melakukan apa saja untuk Tappei agar Tappei lekas sembuh dari penyakitnya. Dialog di atas mengindikasikan adanya amae antara Miiko dan Tappei. Miiko menunjukkan kasih sayangnya kepada Tappei.

Cuplikan ( Jilid XI halaman 86-87 ) :

Kurumi : “Miiko Chan”

Miiko : “Anak kelas 1 kan sudah lama bubaran. Kau terus nunggu di sini?!”

Kurumi : “Kurumi pulang tarus tas terus ke sini lagi. Sekarang kita main apa nih?”

Miiko : “Eh...Mari Chan, Kurumi Chan ikut main ya?”

Mari : “Nggak apa-apa sih”

Analisis :

Dari cuplikan di atas dapat ditarik analisis bahwa Kurumi sangat menyayangi Miiko. Kurumi sangat ingin agar bermain dengan Miiko. Kurumi rela kembali lagi ke sekolah demi bisa bermain dengan Miiko. Hal ini menunjukkan adanya amae antara Miiko dengan Kurumi. Dialog di atas menggambarkan kasih sayang yang ditujukan Kurumi kepada Miiko.


(57)

Cuplikan ( Jilid XI halaman 120 ) :

Papa : “Waktu Miiko baru lahir, rasanya repot sekali. Miiko tiap jam 3 subuh pasti bangun dan menangis. Begitu cuti melahirkan selesai, mama titipkan kamu di tempat penitipan anak. Kadang-kadang nenek datang untuk membantu menjagamu. Papa mama sering bertengkar, siapa yang harus mengantarmu ke tempat penitipan. Tapi papa mama betul-betul bahagia saat Miiko lahir di dunia ini. Tiap kali lihat bayi di kereta api, papa merasa Miiko lah bayi tercantik di dunia”

Miiko : “Heh”

Papa : “Teman-teman papa juga mikir begitu lho waktu baru punya bayi!”

Analisis :

Dari cuplikan dialog di atas tampak bahwa papa sangat menyayangi Miiko. Karena setiap orang tua pasti menganggap anak mereka yang paling cantik dibandingkan anak orang lain. Ini tidak hanya terjadi kepada Papa Miiko saja namun juga terjadi kepada teman-teman Papa Miiko. Bahkan oleh orang tua yang ada di seluruh dunia.

Hal ini mengindikasikan adanya amae antara orang tua dengan anak dimana orang tua menganggap anak mereka yang paling bagus dibandingkan anak yang lainnya.

Cuplikan ( Jilid XIII halaman 75-76 ) :

Tappei : “Nih lingkarkan di pinggangmu”


(58)

Tappei : “Nih ambil! Buat beli celana di department store”

Miiko : “Maaf ya, tadi aku bilang kamu mesum”

Analisis :

Cuplikan dialog di atas menggambarkan perhatian yang sangat luar biasa yang diberikan Tappei kepada Miiko. Tappei rela membawa baju dari rumahnya dan memberikan uang kepada Miiko untuk dibelikan celana. Dari cuplikan di atas dapat ditarik analisa bahwa terdapat amae antara Tappei dengan Miiko. Sikap Tappei mendeskripsikan kasih sayang terhadap Miiko.

Cuplikan ( Jilid XIV halaman 39 ) :

Mamoru : “Sini sebentar”

Miiko : “Apa?”

Mamoru : “Lihat tuh! Foto album waktu bayi. Sampai umur 2 tahun, Miiko punya 4 album! Sedangkan aku Cuma 1!”

Miiko : “Eh... iya juga ya”

Analisis :

Cuplikan dialog di atas menunjukkan bahwa orang tua Miiko sangat menyayangi Miiko lebih dari apapun. Orang tua Miiko mengumpulkan foto-foto Miiko waktu masih bayi hingga berumur dua tahun ke dalam album. Tindakan ini menunjukkan adanya amae antara orang tua Miiko dengan Miiko dimana tindakan mengumpulkan foto-foto anak dan dijadikan ke dalam album menunjukkan kasih sayang orang tua terhadap anaknya.


(59)

Cuplikan ( Jilid XIV halaman 57-58 ) :

Mama : “Lihat Pa. Dapat nilai 50”

Papa : “Tapi dia kan dapat 50 karena belum mengerti pelajarannya?”

Mama : “Tadi aku suruh dia memperbaiki jawaban yang salah. Tapi kayaknya belum mengerti”

Papa : “Ajari saja dia pelan-pelan di rumah. Aku yakin lama-lama Miiko pasti bisa. Jangan samakan Miiko dengan anak-anak lain”

Analisis :

Cuplikan dialog di atas menceritakan mama yang memberitahukan nilai Miiko kepada papa. Papa tidak memarahi Miiko meski Miiko mendapat nilai 50. Justru papa menyarankan agar Miiko diajarkan secara perlahan agar Miiko mudah mengerti. Papa sangat memanjakan Miiko dan tidak ingin menyamakan Miiko dengan anak-anak lainnya.

Hal ini mengindikasikan adanya amae antara Miiko dan papa. Terlihat bahwa papa menyayangi dan memanjakan Miiko. Tindakan ini menunjukkan kasih sayang orang tua terhadap anaknya dan makin mendekatkan hubungan orang tua dengan anak.

Cuplikan ( Jilid XV halaman 27-28 ) :

Mari : “Eh, Miiko”

Miiko : “Ya ?”


(60)

Miiko : “Tentu saja, dong! Mari Chan juga jangan ninggalin aku, ya!”

Mari : “Iya, iya! Kita lari bersama, ya!”

Miiko : “Hihihi untung ada Mari Chan”

Mari : “Iya untung aku temenan sama Miiko”

Analisis :

Dari cuplikan di atas dapat ditarik analisa bahwa Miiko dan Mari saling bergantung satu sama lain. Hubungan persahabatan mereka tidak dapat dipisahkan lagi. Hal ini merupakan indeksikal adanya amae antara Miiko dan Mari yaitu ketergantungan kepada orang lain dan adanya kasih sayang terhadap teman.

Cuplikan ( Jilid XV halaman 108 ) :

Miiko : “Yu…Yukko. Yukko marah ya?”

Yukko : “Aku… Miiko dan Mari Chan…dua-duanya aku sayang”

Analisis :

Cuplikan di atas menggambarkan Yukko yang sangat menyayangi teman-temannya. Yukko juga tidak dapat marah terhadap teman-temannya. Hal ini merupakan indeksikal adanya amae antara Yukko, Mari dan Miiko. Sikap ini menunjukkan kasih sayang dan ingin menjaga hubungan yang telah terbina agar menjadi lebih baik.

Cuplikan ( Jilid XVIII halaman 80 ) :


(61)

Miiko : “Eh?! Nggak usah, buat Yoshida saja”

Yoshida : “Tak apa-apa. Aku lebih senang kalau Yamada yang makan”

Analisis :

Yoshida memenangkan pertandingan dan mendapat imbalan yaitu kue. Yoshida memberikan kue itu kepada Miiko. Yoshida lebih senang bila Miiko yang memakan kue tersebut. Itu karena Yoshida sangat menyayangi Miiko sehingga Yoshida rela bila kuenya dimakan oleh Miiko. Hal ini merupakan indeksikal adanya amae antara Yoshida dengan Miiko yang ditunjukkan dengan memberikan kue kepada Miiko sebagai bukti kasih sayang Yoshida kepada Miiko.

Cuplikan ( Jilid XVIII halaman 146 ) :

Miiko : “Kalau adik bayi lahir, pasti repot”

Mama : “Kenapa? Kau khawatir”

Miiko : “Nggak sih... Cuma...”

Mama : “Iya, memang repot tapi pasti menyenangkan. Meski capek dan repot, punya tambahan anggota keluarga pasti membuat bahagia”

Miiko : “Begitu ya...”

Analisis :

Cuplikan di atas menceritakan keadaan Mama Miiko yang sedang hamil. Dialog di atas menunjukkan kekhawatiran Miiko terhadap mamanya. Namun mama tidak merasa khawatir malah merasa senang dan bahagia. Ini menunjukkan adanya amae antara Miiko


(1)

Miiko : “Papa berusaha memuji ya…”

Papa : “Catatan dari guru “sangat periang dan menghabiskan waktu bersama teman-teman dengan senang” bagus sekali. Tiap hari masuk sekolah dengan semangat. Tak ada yang lebih bagus lagi! Ya kan, Miiko! Punya banyak teman…”

Miiko : “Papa … Miiko sayang Papa! Papa, nih nambah minumnya!”

Mama : “Papa terlalu memanjakan Miiko”

Papa : “Miiko memang manis kok”

Analisis :

Pada saat pembagian rapor, Miiko hanya mendapat nilai yang bagus dalam mata pelajaran olahraga. Hal ini membuat Miiko merasa kecil hati namun papa sangat memuji, membanggakan Miiko dan tidak memarahi Miiko walaupun nilainya tidak terlalu bagus. Papa sangat bangga pada Miiko karena Miiko anak yang ceria dan baik terhadap teman-temannya. Menurut Papa itu adalah hal yang paling bagus. Papa sangat memanjakan Miiko.

Cuplikan di atas menunjukkan adanya amae antara papa dengan Miiko. Papa menyayangi dan memanjakan Miiko. Ini dialami oleh orang tua di Jepang yang tidak mau memarahi anaknya.

Cuplikan ( Jilid XXII halaman 56-57 ) :


(2)

Mamoru : “Ah, kau sudah pulang! Mama cari kau kemana-mana!”

Miiko : “Eh…”

Mama : “Mama pulang. Miiko! Kemana saja kau?”

Miiko : “A…aku baru pulang… maaf ya Ma…”

Mama : “Kau lapar, kan!”

Miiko : “Tadi aku makan di rumah Yukko”

Mamoru : “Ku seduhkan teh ya”

Miiko : “Lho, ada kue lapis?!”

Mama : “Iya, masih ada sebungkus. Besok panggil Mari Chan ya”

Mamoru : “Tadi aku naik sepeda ke mini market”

Analisis :

Dari cuplikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa semua orang sangat menyayangi dan mengkhawatirkan Miiko. Mama Miiko mencari Miiko kemana-mana ketika Miiko pergi dari rumah. Mamoru rela naik sepeda ke mini market membeli kue lapis untuk Miiko. Prilaku ini menggambarkan adanya amae diantara hubungan mama, Miiko dan Mamoru. Hal ini member indikasi bahwa mama, Miiko dan Mamoru bersikap mengandalkan diri dan mengharapkan sesuatu dari tali hubungan ini.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Melihat dari uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Amae menurut arti sebenarnya merupakan ketergantungan antara orang tua dengan anak

atau sebaliknya. Amae juga merupakan ketergantungan yang berakar kuat dalam hubungan ibu-anak yang mengikat. Para ibu di Jepang secara optimal menyatakan diri sebagai ibu melalui memberikan perhatian yang lebih kepada anaknya.

2. Komik Hai Miiko yang dikarang oleh Eriko Ono mengandung nilai-nilai amae didalamnya.

3. Komik Hai Miiko yang merupakan objek penelitian mengandung budaya amae di dalamnya melalui dialog-dialog para tokoh komik. Bentuk amae yang paling banyak dijumpai dalam komik ini adalah amae kasih sayang dan perhatian orang tua terhadap anaknya juga kasih sayang terhadap teman. Komik ini banyak menceritakan hubungan keluarga juga hubungan persahabatan.

4. Melalui komik yang berjudul Hai Miiko, Eriko Ono telah memperlihatkan adanya budaya Jepang dalam komik tersebut, salah satunya adalah budaya amae. Eriko Ono mempertahankan tradisi-tradisi yang dianut oleh masyarakat Jepang terutama pola pengasuhan anak dengan cara menceritakan kisah-kisah yang berkaitan dengan ketergantungan anak terhadap orang tuanya begitu juga sebaliknya.

5. Komik ini berbentuk fiksi, namun mendeskrifsikan sepintas kondisi masyarakat Jepang dalam melaksanakan budaya Jepang terutama budaya amae. Sebagai contoh, ketika Miiko memaksa untuk pergi liburan maka orang tuanya mengabulkan keinginannya walaupun mereka sangat sibuk dengan pekerjaannya. Hal ini menunjukkan adanya amae


(4)

orang tua dan anak dimana orang tua ingin mengabulkan keinginan anaknya di atas kepentingan mereka sendiri sebagai wujud kasih sayang.

4.2.Saran

Saran yang ingin penulis sampaikan yaitu :

1. Amae memiliki nilai-nilai kebaikan seperti cara memberi kasih sayang orang tua terhadap

anak, kasih sayang terhadap teman maupun juga hubungan antara atasan dengan bawahan. Maka dari itu tidak ada salahnya jika kita dapat menerapkan nilai-nilai kebaikan dari amae untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Ketika kita bergaul atau berinteraksi dengan orang Jepang, sebaiknya kita mengetahui bagaimana berlaku dan bertindak atau minimal kita mengetahui cara berinteraksi mereka dipengaruhi oleh amae sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dan keterkejutan budaya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Angkat, Guntur. 2004. Selintas Sejarah Komik Indonesia. http : //www.Pendidikannetwork.co.id

Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni. Jakarta: Sinar Harapan

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Medpress

Mulyadi. 2004. Dasar-Dasar Penulisan Ilmiah ( Diktat ). Medan: USU

Nazir, Moh. Ph.D. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia

Ono, Eriko. 1995-2010. Hai Miiko. Jakarta: PT. Gramedia (terj.)

Seibiyan, Faisal. 2005. Skripsi : Budaya Amae Dalam Novel Simbazuru Karya Yasunari

Kawabata. Medan : USU

Silalahi, Sari Anggraini. 2008. Skripsi : Analisis Sosiologis Kehidupan Para Otaku

Sebagai Tokoh-tokoh Dalam Komik Genshiken Karya Kio Shimoku. Medan:

USU

Simanjuntak, Posman. 2003. Berkenalan dengan Antropologi. Jakarta: Erlangga

Situmorang, Hamzon. 2006. Ilmu Kejepangan. Medan: USUpress

Takeo, Doi dalam Sibiyan, Faisal. 2005. Skripsi: Budaya Amae dalam Novel Sembazuru

Karya Yasunari Kawabata. Medan: Universitas Sumatera Utara

http://bisnet.or.id/../php


(6)

http://blogspot.com/unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra

http://en.wikipedia.org/wiki/amae

http://en.wikipedia.org/wiki/kocchimuite Miiko

http://en.wikipedia.org/wiki/manga

http://id.wikipedia.org/wiki/budaya

http://denrigen.googlepages.com/unsur-unsur dalam karya sastra

http://hansteru’s weblog/sejarah singkat anime dan manga

http://multiply.com/dunia maya/komik dalam gambaran sejarah


Dokumen yang terkait

Shakaigakuteki Ni Yoru Inggrid J. Parker No Sakuhin No Rashomon Gate No Shousetsu Ni Okeru Shujinkou No Seikatsu No Bunseki

1 47 65

Otsu Ichi No “Goth” To Iu Manga Ni Okeru Shujinkou No Shinriteki Na Bunseki

1 56 62

Analisis Fungsi Dan Makna “Mon” Dalam Kalimat Pada Komik “Gals!” Karya Mihona Fujii Mihona Fujii No Sakuhin No “Gals!” No Manga No Bun Ni Okeru “Mon” No Kinou To Imi No Bunseki

1 57 87

Analisis Ijime Dalam Komik Life Karya Keiko Suenobu.Keiko Suenobu No Sakuhin No “Life” Manga No Ijime No Bunseki Ni Tsuite

4 75 76

Indonesia Ni Okeru Hariryouho No Rekishi

0 36 22

Analisis Aspek Sosiologis Tokoh Gals Dalam Komik “Gals!” Karya Mihona Fuji = Mihona Fuji No Sakuhin No “Gals!” To Iu Manga Ni Okeru Gyaru No Shujinkou No Shakaigakuteki No Bunseki Ni Tsuite

0 59 62

Analisis Peran Tokoh Ninja Dalam Komik Naruto Karya, Masashi Kishimoto Masashi Kishimoto No Sakuhin No “Naruto No Manga” Ni Okeru Ninja No Shujinkou No Yakusha No Bunseki Ni Tsuite

3 59 89

Analisis Psikologis Tokoh Utama Arisa Morishige Dalam Komik “Limit” Karya Keiko Suenobu Keiko Suenobu No “Limit” No Manga Ni Okeru Arisa Morishige To Iu Shuujinkou No Shinrigakutekina Bunseki

0 6 70

Analisis Psikologis Tokoh Utama Arisa Morishige Dalam Komik “Limit” Karya Keiko Suenobu Keiko Suenobu No “Limit” No Manga Ni Okeru Arisa Morishige To Iu Shuujinkou No Shinrigakutekina Bunseki

0 0 8

Analisis Psikologis Tokoh Utama Arisa Morishige Dalam Komik “Limit” Karya Keiko Suenobu Keiko Suenobu No “Limit” No Manga Ni Okeru Arisa Morishige To Iu Shuujinkou No Shinrigakutekina Bunseki

0 0 6