Analisis Ijime Dalam Komik Life Karya Keiko Suenobu.Keiko Suenobu No Sakuhin No “Life” Manga No Ijime No Bunseki Ni Tsuite

(1)

ANALISIS IJIME DALAM KOMIK LIFE KARYA KEIKO

SUENOBU

KEIKO SUENOBU NO SAKUHIN NO “LIFE” MANGA NO

IJIME NO BUNSEKI NI TSUITE

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

JOKO SUPRIADI 040708009

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS IJIME DALAM KOMIK LIFE KARYA KEIKO

SUENOBU

KEIKO SUENOBU NO SAKUHIN NO “LIFE” MANGA NO

IJIME NO BUNSEKI NI TSUITE

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Nandi S Drs. Hamzon Situmorang, M.S.Ph.D NIP. 19600822 1988 03 1 002 NIP. 19580704 1984 12 1 001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Disetujui oleh : Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Sastra Jepang Ketua Departemen,

Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S.Ph.D NIP. 19580704 1984 12 1 001 Medan, Oktober 2009


(4)

PENGESAHAN Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Sastra dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra.

Pada : Tanggal : Pukul :

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Dekan

Prof. Syaifuddin, M.A.Ph.D NIP.1965 1994 03 1 004

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. ( )

2. ( )


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI………. iv

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1. Latar Belakang Masalah……….. 1

1.2. Perumusan Masalah……… 4

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan………... 5

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……… 5

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 8

1.6. Metode Penelitian……… 8

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP IJIME DAN KOMIK 13 2.1. Definisi Ijime……….. 13

2.1.1. Ijime dalam Masyarakat Jepang………... 16

2.1.2. GejalaTerjadinya Ijime pada Anak…………...…… 17

2.1.3. Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Ijime……... 28

2.1.4. Pencegahan dan Penyelesaian Ijime……… 38

2.2. Definisi Komik……… 41

2.2.1. Sejarah Munculnya Komik di Jepang………... 41

2.2.2 Perkembangan Komik di Jepang……….. 45

BAB III ANALISIS KASUS IJIME DALAM KOMIK LIFE……….……… 47

3.1. Sinopsis Cerita……….. 47


(6)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN……….. 69

4.1. Kesimpulan……….. 69

4.2. Saran………. 70

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK


(7)

ABSTRAK

Salah satu unsur kebudayaan, yakni kesenian, terdapat satu aspek dalam bentuk karya sastra yang dapat memberikan nilai – nilai kesenangan yang tersaji dalam beragam bentuk, termasuk yang disajikan berdasarkan kenyataan dalam kehidupan sehari – hari.

Sastra adalah lembaga berupa medium bahasa dalam menampilkan gambaran kehidupan kenyataan sosial. Salah satu hasil karya sastra yang menarik adalah komik. Komik adalah suatu bentuk seni yang menggunakan gambar-gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita. Di Jepang, komik merupakan karya sastra yang paling populer.

Salah satu komik yang menarik adalah komik Life karya Keiko Suenobu. Komik Life berisikan banyak tema seperti Ijime, penyiksaan terhadap diri sendiri, pemerkosaan, bunuh diri dan manipulasi / penipuan. Namun dalam skripsi ini, pokok permasalahan yang dibahas adalah mengenai masalah ijime. Dalam komik Life ini tergambar dengan jelas fenomena ijime yang sering terjadi dalam kehidupan anak-anak sekolah di Jepang. Saat ini ijime menjadi salah satu fenomena sosial serius yang terjadi di Jepang. Bahkan tidak hanya kekerasan fisik dan mental yang diterima oleh korban ijime namun sering juga sampai terjadi bunuh diri karena korban merasa sangat tertekan.

Ijime mempunyai ciri bukan dilakukan dengan berakhir dalam satu kali

perbuatan seperti halnya dalam suatu perkelahian, tetapi dilakukan dalam masa yang panjang. Ijime mengandung beberapa pengertian, seperti mengganggu, melecehkan , merendahkan, mengintimidasi dan menganiaya. Ijime biasanya


(8)

terjadi secara berkelanjutan selama jangka waktu yang cukup lama, sehingga korban secara terus – menerus berada dalam keadaan cemas dan terintimidasi. Orang yang berada dalam posisi yang kuat menyerang orang yang berada dalam posisi yang lemah baik secara fisik maupun mental, dan mempunyai ciri bahwa yang melakukan itu merasa senang apabila melihat lawannya menderita.

Ijime sering terjadi di sekolah karena ciri khas orang Jepang yang sangat

sensitif tentang apa yang dipikirkan orang lain dan cenderung untuk mengikuti orang kebanyakan, yaitu yang sama dengan mereka dan menentang sesuatu yang berbeda dari mereka. Para murid yang takut menjadi target oleh guru atau teman sekelasnya adalah yang berbeda atau lemah sehingga menjadi takut untuk menyatakan perasaan dan pemikiran mereka tentang ijime. Mereka takut akan menjadi korban berikutnya, jadi mereka memutuskan untuk tetap diam menjadi seperti yang lainnya. Anak yang dijadikan sasaran ijime itu mempunyai kelebihan atau kelainan yang tidak dimiliki oleh mayoritas teman – teman sekelasnya atau anak itu adalah anak yang lemah fisiknya. Ijime semacam ini dilakukan oleh kelompok mayoritas anak – anak sekolah di sekolah yang sama

Anak mungkin merasa tidak puas dengan lingkungan sekitarnya. Anak butuh banyak sekali kasih sayang dari orang tua, hal ini juga merupakan salah satu penyebab dari ijime. Memberikan terlalu banyak perhatian adalah pemicu yang sangat berbahaya, karena terlalu mencintai anak mereka, terkadang orang tua melakukan apapun untuk anak – anaknya. Mereka mengacuhkan tanggung jawab yang harus dipikul oleh anak – anaknya, mereka merampas hak anak akan kebebasan memilih untuk mengetahui hal – hal yang baru. Orang tua juga harusnya tanggap terhadap anak. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa


(9)

anaknya adalah korban ijime di sekolahnya. Sang anak yang terkena intimidasi dan perlakuan ijime pun cenderung diam dan tidak memberitahukan apa yang dialaminya di sekolah karena takut akan mengalami penindasan yang lebih parah.

Ada beberapa langkah paling ampuh untuk menangkal ijime, yaitu dengan memiliki kesadaran diri yang kuat, menjadi seorang teman, memiliki setidaknya satu teman baik, dan bergabung dalam sebuah kelompok. Anak-anak yang ditindas akan ditolak oleh teman-temannya yang lain karena mereka takut akan ditindas juga. Pada saat ia sangat membutuhkan dukungan mereka, dia justru tidak mendapatkannya.

Begitu menyadari adanya penindasan terhadap seseorang, maka bantulah menguatkan kesadaran diri, memperlihatkan kepada dirinya cara menjadi seorang teman yang baik, mengajarinya cara merawat persahabatan yang kuat dan sehat serta mengajarinya memperkenalkan diri ke dalam sebuah kelompok.

Orang tua juga memiliki peranan penting dalam pencegahan ijime terhadap anak. Orang tua harus mengembalikan kepercayaan diri anak ketika anak menjadi korban ijime atau ketika anak memperlihatkan gejala – gejala terjadinya

ijime pada dirinya.

Bagi korban ijime, jika ada orang lain yang mau mendengarkannya, mau berteman dengannya, maka hal ini akan menjadi dorongan baginya untuk bangkit dan melawan segala ijime yang ditujukan kepadanya. Apabila seorang anak memperoleh kembali kepercayaan dirinya sebagai hasil dari kehangatan orang tua atau sahabatnya, maka penganiayaan atau ijime akan segera berkurang sedikit demi sedikit, dan rasa frustasi akan lenyap.


(10)

Semua hal ini dapat ditemukan dalam komik Life karya Keiko Suenobu ini. Segala tindakan ijime dan bagaimana tokoh utama pada awalnya menjadi korban ijime sampai pada akhirnya ia memiliki kepercayaan diri untuk melawan karena mendapat dukungan dari temannya, semuanya tergambar dalam komik ini.

Penyebab terjadinya ijime biasanya karena kurangnya perhatian orang tua terhadap perkembangan kondisi sosial anak ataupun perhatian yang terlalu berlebihan.

Beberapa langkah paling ampuh untuk menangkal ijime, yaitu dengan memiliki kesadaran diri yang kuat, menjadi seorang teman, memiliki setidaknya satu teman baik, dan melebur dalam sebuah kelompok. Orang tua juga memiliki peranan penting dalam pencegahan ijime terhadap anak. Orang tua harus mengembalikan kepercayaan diri anak ketika anak menjadi korban ijime atau ketika anak memperlihatkan gejala – gejala terjadinya ijime pada dirinya.

Karena ijime akan merusak mental dan fisik anak, maka orang tua diharapkan lebih memperhatikan perkembangan anak di sekolah dan juga lebih sensitif untuk menyadari gejala terjadinya ijime pada anak. Orang tua harus mengembalikan kepercayaan diri anak ketika anak menjadi korban ijime atau ketika anak memperlihatkan gejala – gejala terjadinya ijime pada dirinya. Agar mampu menyelesaikan konflik secara damai, kita dapat mengajari anak melalui contoh, bimbingan, dan instruksi bahwa kekerasan adalah teknik yang tidak dewasa, tidak bertanggung jawab, dan tidak produktif untuk menyelesaikan konflik. Dan alat bantu tanpa kekerasan yang digunakan untuk menuntaskan konflik adalah tindakan yang dewasa dan berani.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Ijime atau penganiayaan merupakan fenomena sosial yang tidak dapat

diabaikan karena Ijime dapat terjadi pada setiap orang, bahkan di negara-negara maju juga masih terdapat banyak kasus Ijime, terutama negara Jepang. Seperti dalam harian Media Indonesia (27 Juli 1997 pada lembar “Delik”), memuat berita kasus pembunuhan bocah oleh bocah di Kobe,Jepang.

Kasus-kasus semacam penganiayaan (Ijime) cenderung meningkat tajam di negeri sakura. Dalam tengah tahun pertama 1997 setidaknya terjadi tiga kasus pembunuhan secara amat mengenaskan oleh anak-anak dibawah umur, belum kasus-kasus bunuh diri sejumlah pelajar akibat tindak kekerasan dan pemerasan oleh sesama murid sekolah. Di Jepang Ijime dianggap sebagai masalah yang serius.

Ijime, seperti yang dikenal di Jepang, merupakan masalah manusia yang

akan terus berlangsung hingga entah kapan. Segala jenis penindasan, hardikan di sekolah, gangguan atau diskriminasi di dalam masyarakat. Itu semua adalah Ijime (Uchida, 1993:1).

Sementara menurut Akiko Dogakunai (2005:2). Ijime diartikan secara harafiahnya sebagai masalah kenakalan anak-anak sekolah di tingkat pendidikan dasar dan menengah berupa penganiayaan, penghinaan, penyiksaan, baik segi mental maupun fisik yang mereka lakukan di antara mereka sendiri.


(12)

Faktor banyaknya kasus Ijime yang terjadi di Jepang tidak lepas dari kebudayaan yang membentuk masyarakat Jepang karena wujud lain kebudayaan dapat berupa sistem sosial, karena yang berbentuk tindakan ada pada diri manusia. Sistem sosial ini terdiri dari kegiatan – kegiatan manusia dalam berinteraksi antar individu dan kelompok dari waktu ke waktu dengan pola tertentu.

Situmorang (1995:3) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah sebuah jaringan makna yang dianyam oleh manusia dimana manusia tersebut hidup, dan mereka bergantung pada jaringan – jaringan makna tersebut. Banyak bentuk dan hasil yang lahir dari kebudayaan, salah satu wujudnya yaitu sastra.

Rene Wellek (1997:109) berpendapat bahwa sastra adalah lembaga sosial yang memakai medium bahasa, dalam menampilkan gambaran kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Dalam sastra terdapat genre sastra yang sangat bervariasi. Misalnya puisi, drama, roman, prosa, teater dan lain – lain. Salah satu hasil karya sastra berupa prosa adalah cergam (cerita bergambar), atau juga yang dikenal dengan sebutan komik.

Komik adalah suatu bentuk seni yang menggunakan gambar-gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita. Biasanya komik dicetak diatas kertas dan dilengkapi oleh teks.

Kata komik diadopsi dari kata comic dalam bahasa inggris. Dalam John M Echols ditemukan bahwa komik mengandung arti pelawak. Secara logika kita bisa menginterpretasikan kata pelawak tersebut dengan makna sesuatu yang bisa membuat orang menjadi senang dan terhibur.

Sugono (2003 : 151) mengatakan bahwa komik merupakan salah satu media komunikasi hiburan. Di Jepang, komik merupakan karya sastra yang paling


(13)

populer. Komik bersifat sama dengan karya sastra berupa puisi, drama atau novel yang juga dijadikan media untuk mengabadikan sesuatu yang menarik atau luar biasa atau untuk merekam zaman dan juga digunakan sebagai media untuk menggambarkan situasi yang terjadi saat itu.

Dalam bahasa Jepang komik disebut dengan manga. Istilah manga digunakan untuk membedakan antara komik dari Jepang dengan komik dari negara lainnya. Di Jepang istilah manga diperkenalkan pertama kalinya oleh Katsuhika Hokusai. Pada saat itu komik dibentuk dalam percetakan pada kertas yang menggunakan blok-blok kayu. Di Jepang komik dibagi menjadi empat macam menurut kelompok pembacanya, antara lain :

1. Komik Dewasa (Seijin manga) 2. Komik Remaja (Seinen manga)

3. Komik anak laki-laki (Shounen manga) 4. Komik anak perempuan (Shoujo manga)

Komik Jepang tidak hanya menampilkan cerita bertema kisah cinta,

action, misteri, humor, atau kepahlawanan saja, namun juga tentang kehidupan

sosial masyarakat dan masalah – masalah yang ada di dalamnya, seperti tema

Ijime yang diangkat oleh Keiko Suenobu dalam komiknya yang berjudul Life.

Life (ラ イ フ 、Raifu) adalah Shoujo Manga yang dibuat oleh Keiko

Suenobu, yang juga mengarang Manga Vitamin dan Happy Tomorrow. Komik Life diterbitkan di Majalah Bessatsu Friend; Kodansha. Komik Life berisikan banyak tema kontroversial seperti Ijime, penyiksaan terhadap diri sendiri, pemerkosaan, bunuh diri dan manipulasi / penipuan.


(14)

Dalam komik Life, berisikan cerita tentang tokoh Ayumu Shiiba yang menjadi korban Ijime teman sekelasnya. Berbagai macam tindakan penyiksaan dilakukan kepadanya.

Adanya kecocokan pada tema komik Life dengan permasalahan Ijime yang menjadi fenomena yang serius pada masyarakat Jepang membuat penulis tertarik mengangkat masalah Ijime dengan bahan rujukan yaitu komik Life, dengan judul :

“ANALISIS IJIME DALAM KOMIK LIFE KARYA KEIKO SUENOBU”

1.2 Perumusan Masalah

Pada dasarnya, masalah Ijime dialami oleh setiap negara, tetapi tidak sampai pada tahap yang mengkhawatirkan seperti yang terjadi di Jepang. Di Jepang, tak jarang kasus Ijime sering berakhir dengan kematian. Jadi untuk mengetahui bagaimana contoh kasus, faktor penyebab, dampak dan penanggulangan masalah Ijime akan dilihat melalui komik Life karya Keiko Suenobu.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengangkat permasalahan yang akan dibahas pada penulisan skripsi, yaitu :

1. Seperti apa Ijime dalam masyarakat Jepang ?


(15)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan yaitu pada hal-hal yang berkaitan dengan kasus Ijime yang terdapat dalam komik Life. Untuk mendukung pembahasan penulis merasa perlu untuk membahas faktor-faktor penyebab, dampak, dan pemecahan masalah Ijime secara umum. Untuk itu penulis menggunakan sebagian jilid komik Life, yaitu dari Jilid 1-10 sebagai bahan untuk menganalisis kasus Ijime yang terjadi di komik tersebut.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Aminuddin (2000 : 39) mengatakan bahwa sastra adalah seni, karena itu ia mempunyai sifat yang sama dengan karya seni suara, seni lukis, seni pahat, dan lain-lain. Tujuannya pun sama, yaitu untuk memberikan makna pada eksistensinya, serta untuk membuka jalan kebenaran. Yang membedakannya dengan seni lain adalah bahwa sastra memiliki aspek bahasa.

Sementara menurut Luxemburg (1986:23-24), sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial, sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu berkaitan dengan norma – norma dan adat-istiadat zaman itu. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisis sistem masyarakat. Sastra juga mencerminkan kenyataan dalam masyarakat dan merupakan sarana untuk memahaminya.

Seperti yang telah ditulis sebelumnya bahwa dalam genre sastra terdapat beberapa jenis, beberapa jenis diantaranya adalah puisi, drama, roman, prosa dan sebagainya. Dalam prosa ada beberapa jenis dan salah satunya adalah komik.


(16)

Komik menurut kutipan Marcel Bonnet dalam Angkat (2004) dalam buku komik Indonesia adalah salah satu produk akhir dari hasrat manusia untuk menceritakan pengalamannya yang dituangkan dalam bentuk gambar dan tanda yang mengarah kepada suatu pemikiran dan perenungan, seperti pada komik Life yang mengisahkan tokoh utamanya yang menjadi korban Ijime.

Morita (1985, 2001) yang menyebut bahwa Ijime adalah sebuah tipe tindakan agresif dari seseorang yang mempunyai dominasi posisi dalam sebuah kelompok interaksi (ataupun proses interaksi) dengan jalan sengaja atau bersama melakukan kegiatan yang menyebabkan perasaan terluka pada seseorang didalam kelompok itu. Ijime di Jepang lebih mirip dengan “bullying” di Barat, yakni tekanan pada menyakiti perasaan korban yang dilakukan oleh orang-orang dalam sebuah komunikasi / kelompok yang saling mengenal. Persepsi orang untuk menyamakan “Ijime” dengan “Bullying” adalah karena arti Ijime jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris memang paling mendekati arti “Bullying”.

Bullying atau penindasan adalah tindakan intimidasi yang dilakukan pihak

yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Penindasan dapat mengambil beragam bentuk. Di sekolah, penindasan lebih dikenal dengan istilah – istilah, seperti “digertak”, “digencet”, dan lain-lain.

1.4.2 Kerangka Teori

Agar dapat menganalisis kasus Ijime diperlukan sebuah teori pendekatan yang sesuai dengan objek dan tujuan dari penulisan ini. Dalam penelitian terhadap komik Life karya Keiko Suenobu ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologis, psikologis dan semiotik.


(17)

Penulis menggunakan pendekatan sosiologis karena penulis mengangkat tema yang berkaitan dengan kehidupan sosial budaya dan kehidupan masyarakat yaitu ijime dalam komik Life karya Keiko Suenobu. Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya ataupun zamannya pada saat sastra itu diwujudkan (Aminuddin, 2002:46).

Selain pendekatan sosiologis penulis juga menggunakan pendekatan psikologis. Pendekatan psikologis adalah pendekatan yang memfokuskan pada studi perilaku tokoh fiksi dengan mengamati apa yang ia perbuat dan ucapkan sebagaimana yang terungkap lewat narasi dan dialog.

Menurut Jan Van Luxemburg (1992:46), semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda, lambang dan proses perlambangan. Ilmu tentang semiotik ini menganggap bahwa fenomena sosial maupun masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Tanda – tanda tersebut dapat berupa gerakan anggota badan, pakaian, dll. Kemudian tanda-tanda tersebut dihubungkan dengan konsep budaya sehingga pada kondisi ini karya sastra yang berbentuk komik akan dijadikan sebagai tanda untuk diinterpretasikan. Oleh sebab itu, penulis menggunakan pendekatan semiotik untuk menjabarkan keadaan serta tanda-tanda Ijime yang terdapat dalam komik Life.


(18)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Dalam setiap penulisan skripsi tentu ada tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan tersebut adalah :

1. Untuk mengetahui Ijime dalam masyarakat Jepang.

2. Mendeskripsikan tindakan Ijime yang ada dalam komik Life karya Keiko Suenobu.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Dengan mengadakan penelitian terhadap Komik Life karya Keiko Suenobu diharapkan memberi manfaat, yakni :

1. Untuk menambah pengetahuan tentang Ijime dalam Komik Life khususnya bagi mahasiswa jurusan sastra Jepang.

2. Untuk menambah pemahaman mengenai penyebab, dampak dan pemecahan masalah Ijime dalam komik Life karya Keiko Suenobu.

1.6 Metode Penelitian

Metode dapat diartikan sebagai prosedur atau tata cara yang sistematis yang dilakukan seorang peneliti dalam upaya mencapai tujuan seperti memecahkan masalah atau menguak kebenaran atas fenomena tertentu (Siswantoro, 2005:55)

Sesuai dengan tema dan permasalahan yang akan dianalisis dalam komik Life, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif – analisis dalam cakupan kualitatif.


(19)

Menurut Koentjaraningrat (1976:30), bahwa penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin tentang suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu.

Selain itu menurut Hadari Nawawi dalam Siswantoro(2005:56)metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dll) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

Kemudian menurut Harahap (2001:75), metode kualitatif adalah metode yang tidak mengkonversi problema sosial ke dalam bentuk angka, tetapi langsung dinarasikan dalam bentuk penjelasan fenomena.

Penulis menggunakan metode ini karena penulis mencoba mendeskripsikan atau menganalisis mengenai masalah Ijime yang ada dalam komik Life karya Keiko Suenobu. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka (Library Research), yaitu dengan menelusuri sumber – sumber kepustakaan dengan buku-buku dan referensi yang berkaitan dengan tema penulisan ini. Data diperoleh dari berbagai buku dan berbagai situs internet.


(20)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP IJIME DAN KOMIK

2.1. Definisi Ijime

Ijime atau penganiayaan merupakan fenomena sosial yang tidak dapat

diabaikan. Karena ijime dapat terjadi pada setiap orang bahkan di negara – negara maju juga masih terdapat banyak kasus ijime, terutama negara Jepang. Seperti dalam harian Media Indonesia, 27 Juli 1997 pada lembar ‘Delik’, memuat berita kasus pembunuhan oleh bocah di Kobe, Jepang.

Kasus – kasus semacam penganiayaan (ijime) cenderung meningkat tajam di negeri sakura. Dalam tengah tahun pertama 1997, setidaknya terjadi tiga kasus pembunuhan secara amat mengenaskan oleh anak – anak dibawah umur. Belum kasus – kasus bunuh diri sejumlah pelajar akibat tindak kekerasan dan pemerasan oleh sesama murid sekolah. Di Jepang, ijime dianggap sebagai masalah yang serius.

Penganiayaan atau ijime, seperti yang dikenal di Jepang, adalah masalah manusia yang akan terus berlangsung hingga entah kapan. Segala jenis penindasan, hardikan di sekolah, gangguan atau diskriminasi di dalam masyarakat. Itu semua adalah ijime. (Uchida, 1993 : 1).

Sementara menurut Akiko Dogakunai (2005 : 2), ijime diartikan secara harfiahnya sebagai masalah kenakalan anak – anak sekolahdi tingkat pendidikan paling dasar dan menengah berupa penganiayaan, penghinaan, penyiksaan baik segi mental maupun fisik yang mereka lakukan di antara mereka sendiri.


(21)

Faktor banyaknya kasus ijime yang terjadi di Jepang tidak lepas dari kebudayaan yang membentuk masyarakat Jepang karena wujud lain kebudayaan dapat berupa sistem sosial karena yang berbentuk tindakan ada pada diri manusia. Sistem sosial ini terdiri dari kegiatan – kegiatan manusia dalam berinteraksi antar individu dan kelompok dari waktu ke waktu dengan pola tertentu.

Nojuu Shinsaku (1989 : 44) dari Pusat Penelitian Bimbingan Kehidupan

Anak di Jepang mengatakan tentang apa yang disebut ijime sebagai berikut : Yang disebut ijime berbeda dengan perkelahian, tetapi merupakan suatu perbuatan seseorang yang mempunyai kekuatan dalam beberapa bentuk untuk dapat melakukan penyerangan searah terhadap yang menjadi lawannya. Orang yang berada dalam posisi yang kuat menyerang orang yang berada dalam posisi yang lemah baik secara fisik maupun mental, dan mempunyai ciri bahwa yang melakukan itu merasa senang apabila melihat lawannya menderita atau menjadi kesal. Ijime mempunyai ciri bukan dilakukan dengan berakhir dalam satu kali perbuatan seperti halnya dalam suatu perkelahian, tetapi dilakukan dalam masa yang panjang.

Ijime berbeda dengan apa yang disebut perkelahian, karena perkelahian

biasanya dilakukan oleh satu lawan satu tetapi ijime kelihatannya semacam perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok besar orang terhadap sekelompok kecil orang atau oleh beberapa orang terhadap satu orang. Selain itu ijime tak hanya dilakukan satu kali perbuatan tetapi dilakukan berkali – kali dalam masa yang panjang.

Ijime biasanya terjadi di dalam konteks sekolah, berhubungan dengan

teman sebaya baik pelaku maupun korbannya. Menurut Krahe Barbara (2001 : 197), ijime mengandung beberapa pengertian, seperti mengganggu, melecehkan , merendahkan, mengintimidasi dan menganiaya. Berbeda dengan tindakan agresif lain yang melibatkan serangan yang dilakukan hanya dalam satu kali kesempatan dan dalam waktu yang pendek. Ijime biasanya terjadi secara berkelanjutan selama


(22)

jangka waktu yang cukup lama, sehingga korban secara terus – menerus berada dalam keadaan cemas dan terintimidasi. Ijime dapat berbentuk tindakan langsung maupun tindakan tidak langsung. Ijime langsung mencakup pelecehan fisik terhadap korbannya, sementara ijime tidak langsung terdiri atas berbagai strategi yang menyebabkan targetnya terasing dan terkucil secara sosial.

Beberapa penelitian masalah ijime mengatakan antara ijime di Jepang dan di Barat itu sedikit berbeda. Persepsi orang untuk menyamakan karena arti ijime jika di-Inggriskan memang paling mendekati arti “bullying”. Para peneliti Jepang lebih cocok memakai definisi Morita (2001) yang menyebut bahwa ijime adalah sebuah tipe tindakan agresif dari seseorang yang mempunyai dominasi posisi dalam sebuah kelompok interaksi (ataupun proses interaksi) dengan jalan sengaja atau bersama melakukan kegiatan yang menyebabkan perasaan terluka pada seseorang di dalam kelompok itu. Jadi bukan pada penekanan kekuatan fisik dan ketidakseimbangan kekuatan (Taki, 2003). Ini mengindikasikan bahwa pelecehan dengan kekerasan fisik di Jepang jauh lebih rendah dari negara lain dari survey

Morita (2001).

Meski punya sikap dan arti mirip dengan ‘ijiwaru’ atau ‘iyagarase’ misalnya, tetapi dijelaskan oleh Smith, dkk. (2002), istilah ijime tetap dipakai karena mengandung unsur fisik yang terendah dan lebih menyerang mental (terdapat pula istilah ‘fuzake’ yang isinya hampir semuanya verbal, atau ‘nakamahazushi’ yang lebih terimplementasikan ke arah terputusnya hubungan sosial). Dari keterangan ini, diindikasikan adanya definisi terpisah antara ijime (bullying) dan boryoku (violence, kekerasan) dalam keseluruhan pembicaraan untuk masalah sosial kejiwaan di Jepang. Ditambahkan oleh Morita (2001) bahwa


(23)

pergeseran sistem masyarakat Jepang dari publik (ooyake) ke privat (watakushi,

uchi) juga rentan terhadap masalah ijime ini.

Ijime di Jepang lebih mirip dengan bullying yang dilakukan oleh anak –

anak perempuan / gadis di Barat, yakni tekanan pada menyakiti perasaan korban yang dilakukan oleh orang – orang dalam suatu komunitas/kelompok (saling mengenal). Sedang kekerasan (boryoku) lebih fisikal, dan tujuannya merampas atau membuat sakit secara fisik korban, yang dilakukan mungkin oleh orang yang tidak dikenal. Taki (2003) selanjutnya mengidentifikasikan beberapa kondisi penting dari ijime itu ; pertama, korban sudah merasa menjadi bagian dari kelompok, adanya ketidakseimbangan pengaruh atau kekuatan (non fisik) lain, dan ketiga adalah intensitas atau kekerapan ijime ini terjadi. Semakin tak bisa menghindar atau melawan maka intensitas ijime akan semakin besar.

2.1.1. Ijime dalam Masyarakat Jepang

Pemberitaan lewat media massa di Jepang kembali banyak dihiasi oleh masalah ijime (gangguan yang berisi ejekan, penindasan, perendahan martabat, dll) yang berakhir pada tindakan bunuh diri sang korban (jisatsu). Ini mengingatkan puncak - puncak ijime jisatsu yang banyak terjadi di tahun 1980-an di Jepang. Kasusnya sendiri dari ujung selatan di Fukuoka, sampai ujung utara Jepang di Hokkaido. Dan ini di lakukan oleh anak dan ini dilakukan oleh anak SD dan SMP di dalam sekolah mereka. Ada indikasi perlakuan ijime ini oleh pihak guru atau sekolah. Dari kasus sederhana dan terus – menerus, ijime ini memang berpeluang berakhir tragis.


(24)

Di Jepang merupakan fenomena sosial yang serius. Sesungguhnya jumlah

ijime telah berkurang, tetapi ijime menjadi semakin lebih sinis dari sebelumnya.

Beberapa tahun lalu ijime menjadi berita teratas sepanjang tahun setelah Kiyoteru Okochi, murid SMP berusia 13 tahun memutuskan bunuh diri untuk lepas dari

ijime teman sekelasnya. Dia meninggalkan catatan yang membuktikan dan

mengklarifikasi fakta bahwa dia merasa putus asa dari kekejaman ijime. Dia selalu dipaksa untuk merendam wajahnya ke dalam air sungai yang kotor, sepedanya rusak berulang kali, dan teman sekelasnya menuntut agar ia selalu memberikan uang kepada mereka setiap hari sebesar 1000 yen (Fredman : 1995). Ini bukan pertama kalinya pelajar memutuskan untuk bunuh diri karena menjadi bulan – bulanan, tetapi peristiwa ini menjadi yang pertama kalinya media Jepang memberikan banyak perhatian atas masalah ijime ini. Sejak itu, Ijime menjadi salah satu hal yang penting di Jepang.

Ijime di sekolah telah menjadi masalah sosial yang serius di Jepang.

Seorang siswa perempuan memasukkan kepalanya ke dalam ember yang berisi air di samping gurunya di hadapan seisi kelas untuk diuji apakah rambut keritingnya asli atau tidak. Seorang siswa lelaki yang memenangkan tempat pertama dalam lomba atletik harus mengorbankan harga dirinya karena rambutnya dicurigai oleh teman – temannya berwarna cokelat. Meskipun dia bersikeras bahwa hal tersebut adalah akibat dari seringnya terkena matahari selama dia berlatih yang menyebabkan warna rambutnya menjadi pucat.

Hal ini sering terjadi di sekolah karena ciri khas orang Jepang yang sangat sensitif tentang apa yang dipikirkan orang lain dan cenderung untuk mengikuti orang kebanyakan, yaitu yang sama dengan mereka dan menentang sesuatu yang


(25)

berbeda dari mereka. Beberapa murid menyatakan bahwa ketika kamu mempunyai kekuatan, kamu dihormati. Ironisnya bahwa di sekolah dimana banyak sekali penekanan yang diletakkan diatas untuk menjadi sama dengan yang lainnya, sumber dari kekuatan adalah menjadi sama seperti yang lainnya.

Beberapa sekolah di Jepang membuat peraturan yang mengharuskan para murid berjalan keluar dari halaman sekolah tepat 45 derajat. Pelanggaran akan peraturan ini sering berakhir dengan hukuman yang dikomandoi, dimana terkadang efeknya meninggalkan luka yang berkepanjangan atau bahkan mengakibatkan kematian. Hukuman seperti ini tentu saja dilarang oleh hukum tertulis, tetapi sangat didukung sekali oleh hukum yang tidak tertulis.

Ketika anak – anak Jepang yang orang tuanya bekerja membawa mereka serta keluar negeri untuk beberapa tahun dan kembali lagi ke Jepang, pelajar ini dikategorikan ke dalam kelompok dan mereka secara spesial dalam bahasa Jepang disebut Kiko Kushijo (anak yang kembali ke kampung halaman). Banyak sekolah yang menolak untuk menerima murid seperti ini bahkan hingga saat ini, dan bagi mereka yang diterima, lebih dari 69 persen dari mereka melaporkan bahwa mereka menjadi target umpatan berulang yang disebut dengan ijime (Soushichi

Miyachi : 1990). Pelajar muda ini, yang mempunyai keinginan untuk membantu

negara Jepang menjadi masyarakat yang lebih terbuka, sering tertekan oleh kelompok yang melatih ulang mereka, bualan ini disebut “latihan penyiksaan”. Target dari latihan ini adalah sikap mereka yang tidak dapat diterima, dimana tindakan secara nyata seperti mengemukakan pendapat mereka (hal ini tidak dapat diterima di sekolah Jepang) dan logat alami mereka di dalam kelas bahasa Jepang.


(26)

Pada kasus pelajar yang baru kembali dari negara yang menggunakan Bahasa Inggris untuk menghindari ijime, beberapa dari mereka meniru aksen Jepang dalam Bahasa Inggris, atau bahkan ada yang masuk ke sekolah lokal Inggris hanya untuk belajar Bahasa Jepang – Inggris.

Ijime ini berlangsung sampai korban tidak menunjukkan inisiatif dan

spontanitasnya dan menjadi sama secara lengkap. Orang tua berpendapat bahwa guru adalah salah satu penggerak aktif ijime atau sering menjadi kekuatan yang tersembunyi dibelakangnya. Ijime kadang terdongkrak menjadi penyerbuan fisik yang serius dan penghinaan umum yang kejam, dan siksaan oleh kelompok. Korban kadang memutuskan untuk bunah diri dan selalu membutuhkan perawatan fisik dan pengobatan medis yang serius. Sebagian bangkit dan berusaha untuk menemukan kebenaran.

Beberapa murid mengatakan bahwa guru mereka adalah contoh ijime bagi mereka. Sebagai contoh, murid yang tidak mau atau tidak dapat menyesuaikan diri terhadap peraturan yang ketat yang dibuat oleh guru mereka kemungkinan akan dihina, dipermalukan atau dihukum oleh guru mereka. Banyak tuntutan yang melaporkan bahwa guru terlibat dalam melakukan ijime kepada murid – muridnya. Seorang siswa perempuan menuliskan bahwa wali kelasnya pernah meng-ijimenya saat ia di kelas V. Gurunya meneriakinya karena dia mengotori lantai yang baru saja dibersihkan dengan meninggalkan sehelai rambut yang jatuh dari bajunya (Yoneyama :167).

Hukuman fisik oleh para guru juga telah pula menjadi perhatian lain tentang sistem pendidikan di Jepang. Pada tahun 1947, mengenai hukum pendidikan sekolah, menurut hukum dilarang adanya hukuman badan. Walaupun


(27)

demikian selalu ada siswa yang melaporkan bahwa beberapa guru masih tetap melakukannya. Untungnya, orang – orang pada saat ini lebih sadar dan berhati – hati atas kenyataan hukuman badan di sekolah. Para guru yang melakukan tindakan kekerasan secara fisik biasanya akan menerima instruksi (kukoku) sebagai ganti dari huku man resmi (chokai shobun).

Ada empat jenis hukuman resmi ; pemecatan/pembubaran (menshoku), pengasingan dari tugas (teishoku), gaji yang dikurangi (genkyu) dan memperingatkan (kaikoku). Peringatan berbeda dengan instruksi seperti cenderung kearah gaji yang ditunda termasuk pada basis bahwa guru belum melaksanakan tugasnya dengan memuaskan. Berbagai macam hukuman resmi yang diterima oleh guru karena melakukan hukuman badan/fisik juga bergantung pada daerah administrasi pada masing – masing daerah sekolah. Di luar Jepang terdapat para guru yang boleh menggunakan hukuman badan atau memimpin muridnya kearah ijime. Sebagaimana yang diketahui, bagaimanapun, di Jepang, banyak orang yang beranggapan bahwa pengalaman ijime para murid yang berasal dari ditemukannya contoh otoriter interaksi manusia oleh guru. Otoriterasi ini adalah suatu konsep yang mendominasi di dalam masyarakat Jepang. Hal ini bukan secara kejam untuk menunjukkan bahwa tidak ada keperdulian yang ditunjukkan oleh guru. Banyak para guru yang berhati baik di Jepang, yang bekerja sangat keras untuk membantu siswa mereka. Tidak saja akan menjadi mustahil tetapi sia – sia juga untuk menyalahkan para guru bagi keseluruhan kasus

ijime.

Masalah besar yang diperbincangkan adalah memahami apakah struktur yang menyebabkan ijime. Karenanya, tujuan penelitian dan mensejajarkan


(28)

persamaan pokok antar apa yang dilakukan para guru dan apa yang dilakukan para siswa adalah bukan untuk menemukan siapa yang tertuduh, tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami fungsi sosial dari ijime yang tersembunyi yang berkenaan dengan peraturan yang dimainkan oleh guru. Para murid yang takut menjadi target oleh guru atau teman sekelasnya adalah yang berbeda atau lemah sehingga menjadi takut untuk menyatakan perasaan dan pemikiran mereka tentang

ijime, seperti berbagai hal lainnya didalam pemikiran dan perasaan para siswa

lainnya yang berbeda. Mereka takut akan menjadi korban berikutnya, jadi mereka memutuskan untuk tetap diam menjadi seperti yang lainnya.

Dari hasil pemeriksaan data ijime yang dikumpulkan dari bulan Januari sampai dengan tanggal 15 November 1986 oleh pihak kepolisian di seluruh Jepang, jumlah ijime yang terjadi di Jepang sekarang, dapat dikatakan besar jumlahnya dan tidak menunjukkan kecenderungan berkurang dari tahun – tahun sebelumnya.

Menurut Monbukagakusho, kondisi ijime di tahun 2005 yang dianggap serius (mungkin masuk jadi laporan khusus) juga menunjukkan kecenderungan turun daripada tahun – tahun sebelumnya. Terbanyak dari kasus – kasus itu adalah di Prefektur Aichi, disusul Chiba, Aomori, Kanagawa, dan Yamaguchi, dengan kisaran 2,5 – 3,5 % dalam 1000 anak didik (tertinggi tercatat 3500 kasus lebih di Aichi) dari jumlah siswa yang ada, sedang terendah berada di Prefektur Fukushima, Saga, Fukuoka, Miyazaki, Iwate, Kumamoto, dan Gunma sekitar 0,5 % dari jumlah siswa yang ada (terendah adalah sekitar 500 kasus di Gunma).

Terdapat poin penting yang harus kita pertimbangkan tentang masyarakat Jepang. Dalam beberapa tahun, jumlah ibu yang bekerja diluar rumah meningkat.


(29)

Mereka mungkin terlalu sibuk dan stres untuk bermain atau berbincang – bincang dengan anak mereka. Anak mungkin merasa tidak puas dengan lingkungan sekitarnya. Anak butuh banyak sekali kasih sayang dari orang tua, hal ini juga merupakan salah satu penyebab dari ijime. Berlawanan dengan ibu yang bekerja, ada motivasi lain yang mungkin menyebabkan terjadinya ijime di rumah. Sebagaimana diketahui di Jepang memberikan terlalu banyak perhatian adalah pemicu yang sangat berbahaya, karena terlalu mencintai anak mereka, terkadang orang tua melakukan apapun untuk anak – anaknya. Mereka selalu menyelesaikan segala hal sebelum menanyakan apa yang diinginkan oleh anak mereka. Mereka mengacuhkan tanggung jawab yang harus dipikul oleh anak – anaknya, mereka merampas hak anak akan kebebasan memilih untuk mengetahui hal – hal yang baru. Sebagai hasilnya, anak hanya tahu mengikuti sepanjang apa yang orang tua berikan dan anak seperti ini secara mudah terlibat ijime.

2. 1. 2. Gejala Terjadinya Ijime Pada Anak

Jika anak – anak mengetahui bahwa mereka dapat mendatangi orang tua dengan hal – hal yang baik atau buruk dan bahwa orang tua akan menyimak mereka secara aktif serta menawarkan dukungan, bimbingan, dan kebijaksanaan, maka mereka mungkin akan memberi tahu orang tua kalau mereka telah ditindas. Bahkan kalau mereka tidak datang seketika dan memberi tahu orang tua, bila orang tua meluangkan waktu untuk berdialog dengan anak – anak tentang kegiatan mereka sehari – hari, dan kalau orang tua terlibat dalam kehidupan anak– anak mereka dan mengatahui teman – teman anaknya, maka orang tua cenderung mengenali petunjuk – petunjuk kalau ada sesuatu yang salah. Ketika orang tua


(30)

melihat tanda – tanda peringatan atau petunjuk – petunjuk bahwa anaknya ditindas, maka simak petunjuk di balik kata – kata dan perhatikan hal – hal yang lebih dari sekedar tindakan – tindakan :

1. Anak memperlihatkan pengurangan minat secara tiba – tiba di sekolah atau tidak mau pergi ke sekolah.

2. Anak mengambil rute yang tidak lazim ke sekolah. 3. Anak mengalami penurunan prestasi.

4. Anak mengundurkan diri dari aktivitas – aktivitas sekolah dan keluarga serta ingin dibiarkan sendiri.

5. Anak merasa lapar selepas sekolah dan mengatakan bahwa uang jajannya hilang atau bahwa tak merasa lapar ketika di sekolah.

6. Anak mengambil uang orang tua dan membuat dalih – dalih yang tidak meyakinkan tentang hilangnya uang itu.

7. Anak langsung ke kamar mandi ketika sampai di rumah.

8. Anak merasa sedih, marah, atau takut atau bermuka masam setelah menerima telepon atau e-mail.

9. Anak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan karakternya.

10.Anak menggunakan bahasa yang merendahkan atau tidak menghargai ketika berbicara tentang teman – temannya.

11.Anak berhenti bicara tentang teman – teman dan kegiatan sehari – hari. 12.Anak mengenakan baju yang acak – acakan, robek atau hilang.

13.Anak memiliki cedera – cedera fisik yang tidak konsisten dengan penjelasannya.


(31)

14.Anak menderita sakit perut, pusing kepala, serangan panic, tidak bisa tidur, tidur terlalu banyak, kelelahan.

15.Nafsu makan anak turun, anak melukai dirinya sendiri.

Ada juga gejala seperti keluhan anak – anak seperti “Saya tidak punya teman”, “Saya membenci olah raga”, atau juga “Saya satu – satunya anak yang dipukul paling banyak oleh anak – anak nakal di sekolah saya”.

Selain berdialog mengenai peristiwa sehari – hari dan mencari tanda – tanda / gejala seperti tersebut di atas, dapat juga bertanya langsung.

• Apakah ada penindas di kelasmu?

• Apa yang mereka lakukan atau katakan?

• Apakah mereka pernah menindasmu?

Apapun cara untuk mempelajari penindasan ijime ini, langkah pertama adalah menanggapi ketakutan – ketakutan yang diekspresikan oleh anak atau menanggapi tanda – tanda yang menunjukkan bahwa ia telah ditindas dengan memberikan dorongan, dukungan, dan cinta. Anak perlu mengetahui bahwa tak ada satu pun yang terlalu tolol atau terlalu serius untuk dibicarakan dan bahwa orang tua ada sebagai orang dewasa yang peduli untuk mendukung dan memberdayakan dirinya.

2.1.3. Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Ijime

Ada beberapa penyebab kemunculan ijime masa kini yang akhir – akhir ini menjadi masalah besar pada masyarakat Jepang sekarang, yaitu :


(32)

1. Berita yang Dimuat di Media Massa

Munculnya berita – berita mengenai masalah ijime yang serius melalui media massa seperti berita dengan misalnya, berita dengan judul : “Ijime. Peristiwa bunuh diri” atau “Peristiwa Pembunuhan Balas Dendam Akibat di

Ijime” dan lain – lain ini memberi kesan kepada para orang tua dan masyarakat

lainnya di Jepang, bahwa pendidikan di jepang sedang mengalami kekacauan. Dengan meluasnya berita tentang ijime ini, kata ijime muncul sebagai istilah yang populer. Bukan populer terhadap kata itu saja, tetapi juga populer di dalam dunia anak – anak, karena melalui acara – acara televisi atau buku cerita bergambar anak, membuat mereka mengenal apa yang disebut ijime. Banyak acara televisi yang dianggap tidak baik dan dapat mempengaruhi dunia anak, antara lain acara yang menyangkut tentang ijime ini.

Morita Yoji dari sebuah universitas swasta di Osaka, adalah salah seorang

yang meneliti tentang ijime. Ia mengatakan bahwa berita – berita di media massa tentang ijime menyebabkan timbulnya masalah masyarakat. Pandangan mengenai baik buruknya media massa memuat berita ijime dikatakannya bahwa ijime sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu. Walaupun ijime itu bukanlah sebuah tindakan yang baik, tetapi bisa ditemui atau bisa ada di dalam segala lapisan masyarakat apa saja.

Kalau diibaratkan sebagai sebuah warna, segala perbuatan yang baik berwarna putih, perbuatan yang buruk berwarna hitam, maka ijime berwarna abu – abu. Tetapi karena semakin meluasnya dan berkembangnya konsep tentang


(33)

buruk. (Jidoshinri, Oktober, 1986, dikutip dan diterjemahkan oleh Nojuu, 1989 : 23). Walaupun ijime itu dikatakan bukan suatu perbuatan yang baik, tetapi sebenarnya di dalam dunia anak ijime merupakan proses liku – liku kehidupan anak dalam bermasyarakat. Misalnya, dengan cara berkelahi ia ingin menunjukkan apa yang ada pada dirinya. Ada kalanya ia diijime dan ada kalanya ia mengijime. Bagi anak itu sendiri, melalui ijime ia belajar menyesuaikan diri di dalam masyarakat anak.

2. Pendidikan Sekolah

Sekolah mempunyai fungsi yang amat dan sangat khusus untuk menciptakan makhluk baru yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena sekolah merupakan asosiasi yang lebih luas dari keluarga atau teman – teman. Selain itu sekolah tidak berasal dari hubungan darah, bukan juga dari pilihan bebas, tetapi dari pertemuan secara kebetulan dan tidak dapat dielakkan di antara para murid yang dikumpulkan berdasarkan umur dan berbagai kondisi sosial yang hampir sama (Nojuu, 1989 : 20).

Selain itu sekolah merupakan tempat untuk anak bertindak secara moral, yaitu bertindak dengan cara – cara tertentu yang meliputi konsistensi keteraturan tingkah laku dan wewenang. Yang disebut moral pada dasarnya adalah sesuatu yang bersifat tetap, sejauh kita tidak berbicara mengenai jangka waktu yang tidak terlalu panjang, moral itu akan tetap sama dan tidak berubah (Madubrangti, 1994 : 17).


(34)

Terdapat jarak yang besar antara moral ketika anak masih berada bersama keluarga, ketika anak menemukan dirinya dan ketika ia meninggalkan keluarga itu, sekolah dan lingkungannya merupakan sarana yang paling tepat untuk pembentukan moral anak. Ada tiga unsur dalam moral, yaitu disiplin, keterikatan pada kelompok dan otonomi si pelaku. Berarti pembentukan moral anak sekolah dapat dilihat dalam situasi di dalam kelas, karena kelas adalah suatu kelompok kecil, berarti tidak satupun dari anggota kecil ini akan bertindak sebagaimana jika mereka bertindak sendiri – sendiri setiap akan terpengaruh kelompoknya.

Di kelas ada cukup banyak hal – hal yang dapat dipelihara bersama dalam kehidupan kolektif kelas, hal ini untuk membangkitkan rasa solidaritas anak seperti memiliki ide – ide bersama, perasaan bersama dan tanggung jawab bersama.

Sikap anak sekolah di Jepang akhir – akhir ini cenderung untuk tidak menyukai segala sesuatu bentuk – bentuk aturan yang bersifat keharusan, seperti misalnya disiplin atau aturan – aturan yang diwajibkan oleh guru kelas atau kelompok resmi di sekolah. Sehingga anak – anak sekolah di Jepang sekarang dengan adanya semacam tuntutan masyarakat sebagai Gakurekishakai ‘masyarakat beriwayat pendidikan’ (yaitu masyarakat yang menuntut adanya riwayat pendidikan, di mana anak – anak sekolah dituntut untuk mengejar kemampuan ilmu pengetahuannya melalui persaingan belajar). Untuk itu berbagai usaha yang dilakukan oleh guru maupun orang tua antara lain dengan memberikan pelajaran tambahan atau menyuruh anaknya mengambil pelajaran tambahan untuk menghadapi ujian masuk Sekolah Menengah Atas atau Perguruan Tinggi favorit


(35)

dalam bentuk persaingan belajar dalam usaha mencapai hensachi (peringkat prestasi belajar).

Kemudian karena sangat banyak peraturan serta tuntutan sekolah yang diberikan oleh sekolah kepada murid, sehingga apabila murid tidak melakukannya sesuai dengan peraturan dan tuntutan tersebut maka ia akan menerima hukuman fisik yang dilakukan oleh gurunya di sekolah maupun oleh orang tuanya di rumah (Madubrangti, 1994 : 18).

Masalah anak sekolah yang sedang hangat dibicarakan orang pada waktu itu yaitu masalah Konaiboryoku (kebrutalan anak di sekolah), yang pada saat itu sedang menjadi pembicaraan hangat di Jepang menjadi tidak begitu menonjol. Tetapi sebenarnya dengan meredanya masalah konaiboryoku di mata masyarakat bukan berarti masalah anak sekolah dapat diatasi sepenuhnya. Konaiboryoku dilakukan oleh anak sekolah sebagai salah satu wujud protes anak terhadap aturan – aturan sekolah yang begitu banyak. Walaupun demikian kebrutalan anak – anak sekolah di Jepang yang akhir – akhir ini kelihatannya sudah semakin berkurang bukan berarti mereka sudah sadar untuk tidak melakukan kebrutalan lagi. Tetapi sebenarnya berkurangnya jumlah kebrutalan anak di sekolah itu karena anak cemas akan semakin bertambah banyak dan kerasnya peraturan – peraturan sekolah apabila ia melakukan kebrutalan di sekolah. Selain itu peraturan – peraturan kecil tentang kehidupan anakpun sudah ditekankan pada anak – anak dengan memberikan hukuman fisik jika aturan itu tidak dipatuhi.

Akibatnya, cara lain yang dilakukan oleh anak untuk menghindari hukuman fisik yang diberikan oleh guru maupun orang tuanya ini, muncul tindakan lain yang dilakukan oleh anak sebagai ungkapan protes di dalam dirinya,


(36)

yaitu dengan melakukan tindakan tokokyohi (tidak mau pergi ke sekolah). Selain itu mereka cenderung membentuk semacam kelompok yang bersifat protes dengan cara mengijime seorang teman dari kelompoknya yang dianggap memiliki dikelasnya, oleh karena itu anak yang dijadikan sasaran ijime itu mempunyai kelebihan atau kelainan yang tidak dimiliki oleh mayoritas teman – teman sekelasnya atau anak itu adalah anak yang lemah fisiknya. Ijime semacam ini dilakukan oleh kelompok mayoritas anak – anak sekolah di sekolah yang sama.

3. Lingkungan Keluarga

Cara pendidikan anak tradisional di Jepang dimana ibu secara langsung memeluk dan mengasuh anaknya semakin tidak terlihat akibat adanya perkembangan sarana mendidik anak yang tidak menunjukkan kehadiran ibu untuk turun tangan secara langsung. Hal ini merupakan salah satu hambatan yang mengakibatkan hilangnya hubungan ibu dan anak secara langsung. (Nojuu, 1989 : 69-70).

Yamamura Takeaki dari Universitas Rikkyo menjelaskan bahwa anak lahir

dari sebuah keluarga yang merupakan kelompok paling inti di dalam masyarakat manusia. Di dalam kelompok itulah ia dibesarkan sesuai dengan keberadaan kelompok itu di dalam masyarakat sebagai satu unit kelompok yang lebih besar lagi. Ditekankannya bahwa perkembangan anak di dalam keluarga sudah menunjukkan sifat bermasyarakat dan sifat bermasyarakat yang ada pada anak itu bukan dimulai dari adanya tahap – tahap perkembangan setelah anak itu lahir,


(37)

tetapi perkembangan itu sudah ada dengan sendirinya sejak begitu anak dilahirkan oleh ibunya.

Ciri ideal kehidupan keluarga adalah sebuah kehidupan yang dipenuhi kehangatan, kasih sayang, dan sikap saling menghormati. Tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa berbagai macam bentuk kekerasan serius terjadi dalam konteks keluarga. Seperti dikemukakan Gelles dalam Anisa (2005 : 34) pada kalimat pembukaan bukunya, “orang – orang di masyarakat lebih mungkin dibunuh, diserang secara fisik, dipukul, dihajar, ditampar, atau ditempeleng oleh anggota keluarganya sendiri, daripada oleh orang lain, di tempat lain”.

Anak – anak yang dianiaya oleh anggota keluarganya mungkin tidak mengungkapkan pengalamannya pada orang lain karena tidak ingin dianggap sebagai pendusta atau pembuat masalah. Karena statusnya sebagai anggota yang relative tak berdaya dalam sistem keluarga, anak paling beresiko menjadi sasaran perilaku agresif orang tua atau anggota keluarga lain yang lebih tua. Seperti dikemukakan Tedeschi, dkk dalam Anisa (2005 : 34) “orang – orang yang amat jarang menggunakan paksaan terhadap orang lain menganggap anak – anaknya sebagai pengecualian.

Orang tua tunggal dan ibu – ibu remaja juga lebih berkemungkinan menganiaya anak – anaknya secara fisik. Begitu juga orang tua yang memiliki masalah penggunaan alkohol dan obat terlarang (Wiehe dalam Anisa, 2005 : 35). Selain itu juga ditemukan bahwa orang tua yang menganiaya anak – anak secara fisik memiliki harapan tidak realistis terhadap kemampuan kontrol diri dan kemandirian anaknya. Kekurangan sumber keuangan dan dukungan sosial juga menjadi pemicu dari kekerasan terhadap anak.


(38)

Akibat menderita kekerasan fisik, yang jelas, menderita sakit badaniah akibat tindakan yang dilakukan orang tua merupakan pengalaman yang sangat negatif bagi anak. Dengan demikian tidak mengejutkan bila banyak diantara anak – anak itu mengalami gangguan serius dan berlangsung dalam jangka panjang pada kesehatan psikologis, fungsi dalam hubungan sosial, dan perilaku sosial mereka secara umum. Penilaian diri yang rendah, kecemasan, perilaku merusak diri, ketidak mampuan menjalin hubungan yang saling mempercayai dengan orang lain adalah efek – efek penganiayaan fisik pada masa anak – anak yang lazim dilaporkan (Miller, dkk, 1999 : 65). Pengalaman penganiayaan fisik ini berhubungan dengan lebih tingginya kemungkinan perilaku menyimpang pada anak yang bersangkutan dan meningkat sampai beranjak dewasa, terutama pada remaja laki – laki (Englander, 1997 : 27). Karena tekanan dari orang tua remaja tersebut meluapkannya kepada teman – temannya yang secara fisik berbeda dari yang lain. Ia akan terus melakoni tindak ijime secara terus – menerus.

Sejumlah anak yang diabaikan diperkirakan akan tumbuh menjadi pelaku

ijime yang agresif. Ketiadaan akan perhatian dan kehangatan terhadap anak,

bersamaan dengan contoh perilaku menyimpang di rumah dan pengawasan yang kurang terhadap anak, menyediakan kesempatan yang sempurna akan terjadinya perilaku ijime (Loeber, dkk, 1998 : 53). Contoh perilaku penyimpangan seperti kekerasan fisik dan kekerasan secara lisan orang tua terhadap anak, atau menggunakan kekerasan fisik dan kekerasan, lisan terhadap satu sama lain. Karena anak sering melihat kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya dapat dipastikan bahwa perilaku penyimpangan oleh anak ketika ia beranjak remaja,


(39)

maka sebagian ditirunya dari kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya (Jaffe, dkk dalam Anisa, 2005 : 36).

Orang tua yang berpura – pura tidak melihat tabiat buruk anaknya mungkin memanjakan anak dengan cara lain, orang tua memberikan terlalu banyak kasih sayang yang salah. Anak – anak menjadi terhambat perkembangannya. Anak seperti ini lalu terlalu banyak bergantung pada “pengabdian” yang diterimanya di rumah, anak tidak memiliki kepercayaan pada dirinya. Agar diterima dan mendapatkan kasih sayang, anak lalu tidak berbuat apa – apa. Anak setuju saja terhadap apapun yang dikatakan kepadanya. Tetapi dia tidak pernah yakin apakah berbuat benar atau salah, akibatnya lalu menjadi cemas, yaitu selalu merasa takut dan tegang. Baginya dunia merupakan tempat yang menakutkan dan manusia merupakan makhluk hidup yang tidak dapat dipercaya.

Keluarga Jepang saat ini, yang popular di kalangan pekerja kota, biasanya mereka hidup dan tinggal di flat kecil terdiri dari dua kamar tidur dan satu dapur. Tetapi meskipun demikian, perabotan rumah tangganya lengkap dan berupa perabotan listrik. Pada tahun 1960-an mereka hanya menginginkan kulkas, mesin cuci dan alat penyedot debu. Tetapai lama – kelamaan, keinginannya itu meningkat seperti AC, mobil dan TV berwarna. Untuk memenuhi keinginannya ini, biasanya suami istri bekerja. Dalam bahasa Jepang, suami istri yang bekerja disebut Tomokasegi.

Dilain pihak karena terlalu banyaknya menggunakan perabotan elektronik di dalam rumah tangga membuat jam kerja berkurang (terutama untuk istri). Dengan berkurangnya jam kerja, banyak istri yang menganggur. Biasanya para


(40)

istri yang menganggur itu menghabiskan waktu senggangnya dengan memusatkan perhatian kepada pendidikan anak. Hal ini dikenal dengan istilah Kyooiku Mama.

Dalam Kyooiku Mama ini, ibu mempunyai peranan yang sangat penting terhadap pendidikan anak. Anak – anak dididik dengan keras dan disiplin yang kuat. Tentu saja hal ini dilakukan demi kebahagiaan anak di masa mendatang, tetapi di lain pihak tanpa disadari mempunyai dampak negatif yang timbul dalam diri si anak yang bersangkutan.

Karena disiplin dan ketatnya jam pelajaran, membuat waktu bermain hampir tidak ada, sehingga anak – anak merasa ditekan. Mereka belajar seakan – akan hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya atau juga karena ia merasa takut dimarahi orang tuanya. Perasaan tertekan ini tertimbun dalam diri sianak, meskipun ia melakukan tugas – tugasnya dengan baik. Di dalam rumah anak – anak memang patuh terhadap orang tua tetapi jika ia berada di luar rumah, mereka berontak dan melampiaskan ketegangan mereka dengan melakukan tindakan kekerasan di sekolah (booryoku).

Dampak lain dari Kyooiku Mama adalah timbulnya rasa bersaing dalam diri anak, karena selama ia dididik ibunya selalu menekankna agar anaknya masuk perguruan tinggi no. 1. Perasaan bersaing ini akan terbawa terus, sampai – sampai orang Jepang dijuluki sebagai masyarakat yang tidak bisa lepas dari rasa bersaing (Kyoosho Shakai). Karena memang orang Jepang selalu menerima status orang lain melalui pendidikannya, yang dalam istilah bahasa Jepangnya disebut

Gakureki Shakai.

Banyak suami istri yang bekerja di luar yang berarti meninggalkan anak – anaknya di rumah. Maka timbul masalah yang disebut Kagikko (anak pembawa


(41)

kunci). Maksudnya ialah anak diberi tugas membawa kunci rumah dan membukakan pintu jika orang tuanya pulang dari bekerja. Setelah sekolah seorang anak pulang dengan perasaan hampa karena tidak tiada seorang pun yang akan menyambut kedatangannya. Ia hanya ditemani oleh acara - acara TV saja seningga tidak ada pengawasan dari orang tua khususnya ibu karena acara TV terkadang membawa pengaruh negatif terhadap anak. Hal ini juga dapat dianggap sebagai hal – hal yang berkaitan dengan tindakan penyimpangan perilaku remaja Jepang yang dikenal dengan Ijime.

2.1.4. Pencegahan dan Penyelesaian Ijime

Ada beberapa langkah paling ampuh untuk menangkal ijime, yaitu dengan memiliki kesadaran diri yang kuat, menjadi seorang teman, memiliki setidaknya satu teman baik (baik dimasa susah maupun senang), dan melebur dalam sebuah kelompok. Dan seorang pengijime akan berusaha menggagalkan semua ini. Dengan ditindas maka anak dapat ditolak oleh rekan sebayanya. Pada saat ia sangat membutuhkan dukungan mereka, dia justru tidak mendapatkannya. Tampaknya tak seorangpun menyukainya, tak peduli betapa kerasnya ia mencoba menyesuaikan diri dan berupaya agar bisa diterima. Anak pun mulai memandang sekolah sebagai tempat yang mengancam dan terpencil yang mana ia tak bisa mengandalkan siapapun untuk membantunya. Siklus kekerasan pun berputar maju.

Siklus kekerasan lebih mudah dipecahkan sejak dini; namun kapanpun siklus tersebut timbul, begitu menyadari penindasan, maka bantulah menguatkan kesadaran diri, memperlihatkan kepada dirinya cara menjadi seorang teman yang


(42)

baik, mengajarinya cara merawat persahabatan – persahabatan yang kuat dan sehat serta mengajarinya memperkenalkan diri ke dalam sebuah kelompok.

Ada lima faktor kepribadian yang ditulis oleh seorang mahasiswa doctoral, S. Pierce, yang dapat melindungi anak sehingga tidak menjadi korban penindasan selama bersekolah. Faktor – faktor itu adalah :

- Sifat ramah

- Keinginan untuk berbagi - Keinginan untuk bekerja sama

- Keterampilan untuk bergabung dalam permainan anak – anak lain - Memiliki rasa humor

Jika seorang anak memandang dirinya sebagai sosok yang cakap, terampil, koperatif, bertanggung jawab, banyak akal dan tangguh, maka mereka bukan saja tidak akan menjadi para penindas yang kejam dan suka cari perkara, namun mereka juga akan cenderung mampu secara efektif mempertahankan diri dari serangan seseorang.

Seorang anak yang melakukan pembicaraan yang positif dengan dirinya sendiri untuk mengembangkan kepercayaan diri dan penghormatan terhadap mereka sendiri cenderung memandang penyebab penindasan berasal dari luar dan, karenanya, bukan sesuatu yang bisa menjatuhkan mereka.

Di sisi lain kalau anak kurang memiliki kesadaran diri yang kuat, tergantung pada pujian, dan cenderung menyalahkan dirinya sendiri untuk hal – hal keliru dalam kehidupannya, maka ia cenderung akan menyalahkan dirinya sendiri karena telah ditindas.


(43)

Setiap anak membutuhkan orang – orang dalam lingkungan kehidupan mereka yang menawarkan dukungan, saran dan cinta tak bersyarat untuk membangun kesadaran diri yang kuat. Akan sangat berguna jika bisa menemukan seorang anak yang lebih besar sebagai sahabat. Dan karena setiap anak bisa saja beresiko menjadi korban ijime, gagasan idealnya adalah bersahabat dengan anak – anak lain sejak dini. Beberapa sahabat terbaik adalah pengijime yang telah berubah. Anak – anak perlu diajari untuk berteman dengan bijak, mengembangkan persahabatan, dan menyingkir dari pertemanan yang menyakiti.

Cara lain untuk menangkal penindasan, selain dengan menjadi seorang teman dan memiliki teman – teman, adalah dengan kecakapan seorang anak untuk memperkenalkan dirinya ke dalam sebuah kelompok. Carilah kelompok yang berisi teman – teman sejati yang peduli dengan mereka semua, saling peduli, dan peduli juga dengan orang – orang di luar kelompok mereka.

Anak –anak yang menghabiskan banyak waktu bersama dengan teman – temannya dijamin punya perselisihan dan pertengkaran. Penting bagi anak untuk belajar memecahkan permasalahan dan menuntaskan konflik secara damai. Ketika anak menyajikan gagasan dan pikiran mereka sendiri, simak alasan mereka, dan bekerja samalah untuk mencapai sebuah solusi. Sikap memberi, menerima, keterbukaan, dan kerja sama kedua anak membuat mereka semakin dekat satu sama lain. Anak –anak yang telah menuntaskan masalah secara bersama – sama dengan sukses cenderung akan saling membantu ketika salah satu di antara mereka ditindas.

Agar mampu menyelesaikan konflik secara damai, kita dapat mengajari anak melalui contoh, bimbingan, dan instruksi bahwa kekerasan adalah teknik


(44)

yang tidak dewasa, tidak bertanggung jawab, dan tidak produktif untuk menyelesaikan konflik. Dan alat bantu tanpa kekerasan yang digunakan untuk menuntaskan konflik adalah tindakan yang dewasa dan berani.

Orang tua juga memiliki peranan penting dalam pencegahan ijime terhadap anak. Orang tua harus mengembalikan kepercayaan diri anak ketika anak menjadi korban ijime atau ketika anak memperlihatkan gejala – gejala terjadinya

ijime pada dirinya. Orang tua tidak seharusnya cerewet dengan keluhan – keluhan

putra/putrinya, “jangan sampai kalah”, atau “ayo balas dendam”, tetapi seharusnya ikut merasakan bagaimana perasaan anak dan memberikan semangat serta bersama – sama menghadapi masalah tersebut. Apabila seorang anak memperoleh kembali kepercayaan dirinya sebagai hasil dari kehangatan orang tuanya, maka penganiayaan atau ijime akan segera berkurang sedikit demi sedikit, dan rasa frustasi akan lenyap.

2.2. Komik Jepang

2.2.1. Sejarah Munculnya Komik di Jepang

Komik Jepang yang paling tua dan terkenal pertama kali ditemukan di gudang Shooshooin di Nara. Fusakumen yang memperlihatkan berbagai ekspresi wajah manusia, merupakan gambar wajah dengan mata yang keluar dan melotot. Hal lain dari Shooshooin yaitu karikatur yang disebut Daidaron, menggambarkan mata yang terbelalak dan orang berjenggot. Karikatur lain yaitu gambar komik yang ditemukan pada langit – langit Kondoo (gedung utama) kuil dan pada panggung bangunan Brahma dan Indra di kuil Tooshoodaiji pada abad ke- 8. Dalam gambar komik ini terdapat unsur – unsur religius dan nilai – nilai tradisi.


(45)

Kemudian di gedung Phoenix kuil Byoodooin, tercatat arsitektur masa Heian (794-1185), yang pada saat itu ditemukan sejumlah karikatur pengadilan rendah.

Pada zaman Heian terdapat gambar komik yang disebut Oko-e yang popular sebagai hobi kalangan kaum penguasa. Kemudian diakhir zaman Heian juga terdapat gulungan surat bergambar Choju Jinbutsu Giga, menggambarkan binatang yang bersikap seperti manusia dengan garis artinya yang sederhana dan bentuknya dilebih – lebihkan. Gulungan surat bergambar ini merupakan karya biksu Toba Soojoo, berupa sindiran yang ditujukan bagi bangsawan dan biksu yang tamak dan haus akan kedudukan dalam politik.

Pada pertengahan abad ke- 12, terdapat gulungan surat bergambar yang terkenal yang disebut Shigisan Engi Emaki, menggambarkan gerakan yang dinamis. Dalam sebuah adegan, pendeta Buddha Myoren membuat sebuah panci ajaib terbang ke udara dan membawa gudang beras orang kaya ke puncak gunung. Dalam adegan lainnya, karung – karung beras keluar dari gudang. Kemudian Bandainagon Ekotoba (akhir tahun 1100-an) memperlihatkan gerbang utama dari sebuah kuil terkenal sedang terbakar. Ekspresi wajah dari sekitar seratus orang, yang dikejutkan oleh api atau orang – orang yang melarikan diri, membuat adegan ini menjadi hidup dan membuat kita merasa ada diantara mereka. Kedua gambar ini termasuk kedalam kategori cerita bergambar (emaki mono).

Kemudian seiring dengan perkembangan agama Buddha pada zaman Kamakura (1185 – 1333), komik juga terlihat yaitu pada gulungan surat bergambar, seperti Jigoku Zooshi dalam bentuk adegan gambar neraka dan Gaki Zooshi dalam bentuk adegan penderitaan. Kedua surat bergambar ini memperlihatkan adegan yang berhubungan dengan kematian. Contoh komik lain


(46)

pada abad pertengahan yaitu pada cerita pendek Otogi Zooshi dari zaman Muromachi (1333 – 1568). Pada masa ini keberanian berimajinasi, daya pikir dan selera humor yang tinggi sudah terlihat jelas.

Di zaman Edo (1603 – 1867), pertumbuhan kebudayaan popular membawa semacam semangat baru dalam komik yang merebut daya tarik lebih besar dalam bentuk buku cetakan blok kayu, seperti pada lukisan Ootsure-e yang dibuat dengan tekanan kuas yang kasar, lukisan Toba-e dengan sindirannya terhadap manusia, dan lukisan paham Kuwagata (1764 – 1824) yang dikenal juga sebagai Kitao Masayoshi, serta Yamaguchi (1759 – 1818).

Sejarah komik Jepang seutuhnya dimulai di zaman Edo, ketika istilah

manga pertama kali digunakan oleh pelukis Ukio-e (grafis pahatan kayu) yang

terkenal yaitu Hokusai Katsushika. Ia memproduksi serial buku bergambar yang diterbitkan dalam 15 jilid antara tahun 1814 dan 1878. Manga ini berisi lebih dari 4000 ilustrasi. Cara Hokusai menggambarkan gerakan badan manusia, dan pengamatan ilmiahnya tentang gerakan otot benar – benar terlihat.

Pada zaman Showa (1926 – 1989) yang dikenal juga dengan abad manga anak – anak. Manga mulai berkembang pesat yaitu pada manga anak – anak yang waktu itu tahun 1989 dalam selang waktu satu tahun telah diterbitkan sekitar 500 juta manga, 500 juta majalah manga bulanan, dan 700 juta majalah mingguan

manga. Dari prestasi yang dicapai ini Jepang bisa dibilang sebagai “Kerajaan Manga”, yang mulai bangkit dalam situasi setelah melewati masa perang lewat manga anak – anak.

Sebelum dan selama Perang Dunia II, para seniman lokal menggunakan The Japan Punch sebagai media penerbitan, yang juga merupakan majalah komik


(47)

dengan cerita humor yang dikelola oleh orang – orang Inggris yang tinggal di Jepang, meskipun awalnya The Japan Punch muncul sebagai sarana politik yang pada saat itu diawasi dengan ketat oleh pemerintah Jepang.

Sukses manga pada pasca Perang Dunia II tidak lepas dari peran serta komikus berbakat Osamu Tezuka (1928 – 1989). Tezuka mengubah wajah dunia komik Jepang pasca perang Dunia II secara radikal. Ia menggunakan gaya narasi yang unik dengan komposisi cerita menyerupai novel yang disebut dengan komik naratif atau Story Manga.

Komik naratif mengunakan teknik – teknik seperti pada pembuatan film, dengan sudut pengambilan gambar yang dinamis dengan penggalan – penggalan gambar yang tidak beraturan, yang sengaja didesain untuk menggambarkan urutan gerakan dan membangun ketegangan. Bunyi pun juga diungkapkan dengan huruf sebagai penggambaran aktifitas bisu dan emosi.

Selain gaya komik narasi, Tezuka juga memperkenalkan sistem produksi manga yang baru, yaitu cara mempercepat proses produksi serta menjamin kelangsungan usaha manga. Di samping itu, Tezuka juga memperkenalkan teknik sinematik ke dalam gambar komik tradisional.

Selama tahun 1960-an, seiring dengan meningkatnya pendapatan ekonomi Jepang, perusahaan penerbitan komik menyadari bahwa pasar untuk buku komik dan majalah komik telah berkembang dan jumlah komik pun meningkat.

Pada tahun 1963, Tezuka membuat animasi televisi untuk pertama kalinya dan menjual karakter animasi tersebut untuk menutupi biaya produksi. Karya – karyanya yang sukses besar di luar negeri antara lain yaitu “Mighty Atom” (Astro


(48)

yang berjudul “Faust”, dan “Dostoyevki’s Crime and Punishment”, yang menceritakan tentang kehidupan Buddha serta drama mengenai samurai. Kemudian karya Tezuka tersebut dibuat dalam lembaran komik yang sangat dihargai sebagai suatu karya seni.

Tezuka telah meletakkan pondasi bagi industri manga di Jepang pasca Perang Dunia II dan merombak tradisi manga lama. Ia meninggal pada tahun 1989, dan untuk penghormatan dan untuk mengenang jasanya didirikanlah Manga

Museum pada tahun 1994 di Tajarazuka.

2.2.2. Perkembangan Komik di Jepang

Industri manga di Jepang mulai berkembang pesat sejak tahun 1963. Ketika itu masyarakat Jepang sudah mampu berbelanja kebutuhan akan hiburan, termasuk membeli televisi. Jumlah televisi di Jepang pada tahun 1963 mencapai 15 juta unit, bertambah 5 juta unit dari tahun sebelumnya. Masuknya abad televisi mendorong para penerbit dan produser film memperbaiki industri manga menjadi lebih baik lagi.

Majalah komik dicetak massa dan dijual di berbagai tempat dengan harga murah. Setiap edisi memuat sekitar 12 atau lebih judul komik serial dan bagi komik yang mendapat sambutan atau disukai oleh pembaca akan terus dibuat dan dimuat untuk beberapa bulan, tahun dan dibukukan sampai ceritanya tamat. Meski menerbitkan buku komik jauh lebih menguntungkan daripada menerbitkan majalah komik, namun majalah komik tetap dipertahankan untuk memperkenalkan karya mangaka baru dan menyeleksi komik – komik yang layak


(49)

dibukukan, atau bisa dikatakan majalah komik merupakan media untuk memulai debut bagi para mangaka yang baru terjun ke dunia industri manga.

Untuk penjualan, majalah manga mencapai angka yang cukup besar, sepuluh majalah manga mingguan terlaris terjual sekitar satu juta eksemplar, sementara Shonen Jump yang dijual dengan harga 200 yen dengan ketebalan buku terdiri atas 300 sampai 400 halaman, terjual sekitar lima sampai enam juta eksemplar setiap kali terbit. Pada tahun 1992, penjualan majalah manga mencapai 540 milyar yen atau sekitar 23% penjualan buku di Jepang. Manga mempunyai posisi yang sangat tinggi dalam industri penerbitan di Jepang, karena hampir ¼ % hasil penjualan buku merupakan komik yang angka penjualan setiap tahunnya meningkat, belum termasuk penjualan komik Jepang di luar negeri yang juga sangat laris di pasaran. Meningkatnya angka penjualan manga baik di Jepang maupun luar negeri membuat industri manga di Jepang memiliki kedudukan yang sangat kuat.

Persaingan antara mangaka senior maupun junior cukup ketat, karena banyak mangaka yang terjun dalam bisnis ini, tetapi cuma ada beberapa manga yang bisa bertahan dan bahkan berhasil mendobrak angka penjualan fantastis yang belum pernah dicapai oleh manga lain, seperti Dragon Ball, Detektif Conan,

Doraemon, Sailor Moon, Great teacher Onizuka, dan lain – lain. Begitu juga

dengan penjualan cetakan kesekian kalinya, penjualan merchandise, boneka karakter dari manga – manga tersebut.


(50)

BAB III

ANALISIS KASUS IJIME DALAM KOMIK LIFE

Life (ライ フ ‘Raifu’) adalah sebuah serial Shoujo Manga (komik anak

perempuan) yang ditulis oleh Keiko Suenobu, yang juga mengarang Manga

Vitamin dan Happy Tomorrow. Komik Life diterbitkan di majalah Bessatsu

Friend; Kodansha. Komik Life berisikan banyak tema kontroversial seperti ijime, penyiksaan terhadap diri sendiri, pemerkosaan dan manipulasi/ penipuan. Di tahun 2006, komik Life mendapat penghargaan pada Kodansha Manga Award untuk seri Shoujo Manga.

3.1 Sinopsis Cerita

Bermula dari persahabatan semasa di SMP antara Ayumu Shiba dengan Yuko Shinozuka atau chan yang merupakan seorang pelajar terbaik. Shii-chan dikenal sebagai siswi terbaik si sekolah yang selalu mendapat nilai yang tinggi sedangkan Ayumu hanya seorang siswi yang nilainya sering rendah. Namun mereka berdua bersahabat dekat. Ayumu sangat menyukai Shii-chan dan tidak ingin berpisah dengan Shii-chan. Sejak dulu Shii-chan sangat ingin masuk di SMU Nishidate, dan karena itu Ayumu pun bertekad untuk bisa masuk di sekolah tersebut agar tetap bisa belajar di sekolah yang sama dengan Shii-chan. Karena Ayumu menyadari kemampuannya jauh dari Shii-chan maka Ayumu pun memohon agar Shii-chan mau menolongnya belajar. Maka mereka berdua selalu belajar bersama, Shii-chan senantiasa membantu Ayumu dalam belajar untuk ujian masuk sekolah Nishidate dan Ayumu pun belajar keras sepanjang hari. Lalu


(51)

mereka pun menghadapi ujian masuk SMU Nishidate. Namun pada akhirnya hanya Ayumu yang berhasil diterima di SMU Nishidate. Shii-chan sangat terpukul karena kejadian ini, tidak dapat menerima kenyataan jika Ayumu lah yang lulus SMU Nishidate karena dialah yang sangat menginginkan bisa bersekolah di SMU Nishidate. Kejadian ini mengakibatkan persahabatan mereka berdua retak. Apalagi setelah itu Shii-chan yang kecewa, berusaha bunuh diri namun bisa diselamatkan. Saat Ayumu mengunjungi Shii-chan di rumah sakit, Shii-chan menolak bertemu dengan Ayumu. Ayumu pun makin merasa bersalah, menganggap semua ini terjadi karena dirinya.

Saat memasuki SMU, Ayumu berkenalan dengan Manami Anzai. Tadinya Ayumu mengira ia bisa bersahabat dengan Manami, namun ternyata Manami malah menekan, mempermainkan, dan melakukan hal – hal buruk terhadap Ayumu, bersama – sama dengan teman satu kelompoknya. Manami bahkan bisa membuat seisi sekolah membenci Ayumu hanya karena kesalahpahaman. Kesalahpahaman itu terjadi karena Sako Katsumi. Sako Katsumi adalah pacar Manami (yang juga bersifat manipulatif seperti Manami), dan ia mengatakan pada Manami kalau Ayumu berusaha merebut dirinya dari Manami

Tidak semua murid di sekolah itu membenci Ayumu. Ada seorang murid yang cantik bernama Miki Hatori, Miki juga salau satu korban tindakan ijime yang dilakukan oleh Manami dan teman-temannya. Tapi Miki seorang gadis yang kuat dan ia tidak peduli akan perlakuan Manami yang jahat. Ayumu dan Miki kemudian berteman. Dan Ayumu yang pada awalnya hanya diam saja bahkan sempat mencoba bunuh diri akibat menerima ijime dari Manami dan teman-temannya, akhirnya mulai bisa melawan.


(52)

3.2 Analisis Kasus Ijime dalam Bentuk Cuplikan

Cuplikan 1, Jilid 2 :

Kaatsumi yang baru putus dengan Manami memberi selembar peta kepada Ayumu, alamat rumah Manami katanya. Katsumi meminta Ayumu datang ke alamat tersebut dengan alasan bahwa Manami ingin bertemu Ayumu. “Kemarin aku sudah meneleponnya”, demikian ucap Katsumi. Ketika sampai di rumah itu, Katsumi langsung menarik Ayumu ke dalam rumah, memborgolnya, dan menutup mulut Ayumu dengan plester.

Katsumi : Kali ini teman Manami, makin lama makin menggairahkan (sambil menggunting dan melepas seragam Ayumu).

Ayumu : (menangis)

Katsumi : (melihat bekas sayatan di pergelangan tangan Ayumu)

Katakan “tolong jangan bilang, Tuan”

Ayumu : tolong jangan bilang, Tuan. (menangis)

Katsumi : hadap kesini dan tertawa, satu foto lagi. Ayo kalau tidak tertawa kamu tidak bisa pulang lo.. (memfoto Ayumu yang tanpa busana dengan kamera handphonenya)


(53)

Analisis

Cuplikan di atas terjadi ketika Ayumu berusaha menyelamatkan hubungan Manami dan Katsumi. Dari cuplikan tersebut kita bisa menganalisis bahwa ditemuka n indikasi telah terjadi ijime di antara teman sekelas, dilihat melalui tindakan Katsumi kepada Ayumu dengan memaksa Ayumu berfoto telanjang dan juga memaksa Ayumu memohon padanya untuk tidak menceritakan kebisaaan buruk Ayumu yang suka menyayat tangan sendiri (Katsumi mengetahuinya ketika menyadari dan melihat bekas-bekas luka sayatan di pergelangan tangan Ayumu). Tindakan tersebut juga memberi kesan peringatan kepada korban untuk tidak berbuat macam-macam.

Cuplikan 2, Jilid 2

Manami yang sedang berbahagia karena telah kembali berpacaran dengan Katsumi mengajak Ayumu makan bertiga bersama Katsumi, Manami memperlihatkan handphone yang diberikan Katsumi kepadanya, Katsumi juga memperlihatkan handphone dengan jenis yang sama, yang digunakan Katsumi saat mengambil foto yang melecehkan Ayumu. Ayumu terkejut dan hanya bisa terdiam. Manami terharu karena diberi handphone yang sama dengan milik Katsumi.

Manami : Tadinya kukira seumur hidup gak bisa ngomong dengan Katsumi lagi.


(54)

Manami : katanya ini waterproof (terkejut ketika bercermin,Manami lari ke toilet untuk membersihkan maskaranya). Aku perbaiki sebentar.

Ayumu : jangan menangis Manami.

Katsumi : apa pertama kirim ini dulu (memperlihatkan foto pelecehan Ayumu kepada Ayumu). Fotonya bagus, kan?

Katsumi : mulai saat ini, agar kau nggak menyakiti dirimu sendiri, aku akan sering mengganggumu (menusukkan sumpit di paha Ayumu).

Analisis

Cuplikan di atas terjadi ketika Manami dan Katsumi mengajak Ayumu makan bertiga. Pada cuplikan dan dialog di atas kita dapat melihat bahwa telah terjadi ijime terhadap Ayumu yang dilakukan oleh Katsumi baik secara fisik maupun mental. Secara mental, Ayumu mendapat tekanan dalam setiap kata-kata oleh Katsumi. Katsumi selalu melakukan penekanan atas kata-kata yang keluar dari mulutnya, seperti kata-kata bahwa ia akan sering mengganggu Ayumu. Kata ‘sering’ mengindikasikan ijime karena sesuai dengan ciri ijime, bukan atau tidak dilakukan dengan beerakhir dalam satu kali seperti halnya suatu perkelahian, tetapi dalam masa yang panjang atau berulang-ulang. Dan secara fisik, Katsumi mengijime Ayumu dengan menyakiti ayumu, menusukkan sumpit di paha Ayumu. Ayumu tidak dapat melakukan apa-apa terhadap apa yang telah dilakukan Katsumi terhadapnya, karena sekalipun Ayumu melaporkan perbuatan Katsumi terhadap dirinya tentu saja tidak akan ada yang percaya pada Ayumu. Karena sebagai murid yang paling pintar di sekolah dan mendapat kepercayaan dari para


(55)

guru, Katsumi dikenal sebagai anak yang baik dan tidak pernah terlihat melakukan penyimpangan apapun. Hal ini semakin membuat Ayumu tertekan, atas tindakan ijime yang dilakaukan terhadapnya.

Cuplikan 3, Jilid 2

Semua teman Manami menuduh kalau Ayumu menyukai Katsumi. Manami pun mulai tidak menyukai ayumu. Pada saat makan malam,ketika study tour sekolah, Manami dan teman-temannya menyuruh Ayumu memakan semua sisa wortel dan bawang dari piring mereka. Setelah makan mereka meninggalkan Ayumu sendirian untuk mencuci semua piring kotor dengan berbagai alasan. Sedangkan mereka bermain kembang api.

Analisis

Cuplikan di atas terjadi ketika liburan musim panas. Pada cuplikan ini mengandung indikasi adanya ijime kelompok atau shudan ijime, seperti yang dilakukan oleh Manami dan teman-temanya terhadap Ayumu. Walaupun dari cuplikan di atas Manami dan teman-temannya belum secara terang-terangan melakukan ijime terhadap Ayumu. Ketika Manami dan teman-temannya meletakkan sisa makanan mereka semua ke piring Ayumu dan menyuruh Ayumu untuk memakannya, ketika teman-temannya meninggalkan Ayumu untuk mencuci piring kotor sendirian yang seharusnya menjadi tugas mereka bersama, ini merupakan tanda terjadinya shudan ijime. Karena dalam shudan ijime, para pelaku tidak menyukai atau tidak ingin melakukan segala sesuatu berupa


(56)

kewajiban di luar apa yang menjadi kewajiban kelompoknya, baik dalam kelompok resmi seperti sekolah, kelas, dan lain sebagainya, maupun kelompok tidak resmi seperti kelompok bermain. Disini, teman-teman Manami menganggap Ayumu bukan bagian dari kelompok mereka.

Cuplikan 4, jilid 3

Salah seorang teman Manami berlari masuk kelas dan bercerita jika dia menapat kabar bahwa Hatori adalah cewek nakal, Hatori juga kerja part time dan dia juga seorang host. Manami dan teman-temannya membenci Hatori karena Hatori membela Ayumu saat mereka meninggalkan Ayumu mencuci semua piring makan malam, Hatori juga menyiram mereka saat mereka bermain kembang api.

Teman Manami 1 : aku yang rajin datang ke sekolah saja cuma punya uang jajan sedikit kayak orang bego. Kamu mau ambil uang Hatori?

Teman Manami 2 : kita ambil saja (membongkar tas Hatori). Dompetnya ketemu! Dengan uang ini kita bisa senang-senang.

Ayumu : kalian salah, dia gak sejahat itu. Kenapa harus Hatori?


(57)

Analisis

Cuplikan di atas terjadi ketika baru masuk sekolah setelah libur musim panas. Teman-teman Manami yang masih marah kepada Hatori karena kejadian malam liburan itu, mengejek Hatori karena pekerjaannya sebagai host di klub malam. Dapat kita analisis dari dialog di atas bahwa Manami dan teman-temannya membenci Hatori. Tindakan mereka yang membongkar tas dan mengambil dompet Hatori, adalah merupakan salah satu tindak ijime. Ijime yang disebabkan oleh kekecewaan mereka terhadap Hatori yang tidak sependapat dengan apa yang dilakukan oleh kelompok Manami. Sebagai pihak yang merasa lebih besar kuasanya, Manami dan kawan-kawannya melakukan tindakan yang dapat memuaskan mereka atas kekecewaannya terhadap Hatori yang dianggap lebih lemah. Dalam hal ini Hatori juga sebagai korban ijime atas kelompok Manami.

Cuplikan 5, Jilid 3

Manami dan teman-temannya kembali mengisengi Hatori. Mereka menyembunyikan sepatu Hatori sekaligus untuk menguji kesetiaan Ayumu kepada Manami.

Manami : Hatori nyebelin, kita buat dia lebih menderita!!

Ayumu : (baru masuk kelas dan melihat isi lacinya. Di lacinya ada surat dari Manami dan juga sepatu Hatori yang disembunyikan Manami. Isi suratnya, Manami meminta Ayumu menyimpan sepatu Hatori hari ini)


(1)

karena pelaku tidak perlu turun tangan langsung untuk menyakiti korban atau sasarannya.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Setelah membahas ijime melalui komik Life karya Keiko Suenobu, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Komik Life merupakan salah satu karya mangaka wanita Jepang, yaitu Keiko Suenobu, yang menghadirkan kisah remaja di sekolah menengah atas yang memfokuskan terjadinya ijime terhadap seorang siswi.

2. Keiko Suenobu menampilkan cerita mengenai ijime yang kerap terjadi pada anak – anak tertentu di Jepang, yang ditampilkan oleh tokoh – tokoh cerita yang masing – masing memiliki karakter yang kuat yang mampu menyampaikan makna dan pesan tersendiri bagi pembacanya

3. Dalam komik Life, penulisan cerita dilatar belakangi dari persahabatan dua orang siswi perempuan yang akhirnya pecah dan menggambarkan kondisi sosial para remaja saat berada di sekolah dan sepulang dari sekolah yang merupakan setting tempat dari cerita ini.

4. Melalui karakter tokoh utamanya, Ayumu Shiba, yang menjadi korban ijime dalam komik Life tersebut, disajikan bagaimana dan mengapa ijime itu dapat terjadi kepadanya.

5. Ijime mengandung beberapa pengertian, seperti mengganggu, melecehkan, merendahkan, mengintimidasi dan menganiaya. Ijime biasanya terjadi secara berkelanjutan selama jangka waktu yang cukup lama, sehingga korban secara terus – menerus berada dalam keadaan cemas dan


(3)

terintimidasi, yang menyebabkan targetnya terasing dan terkucil secara sosial. Penyebabnya biasanya terjadi karena kurangnya perhatian orang tua terhadap perkembangan kondisi sosial anak ataupun perhatian yang terlalu berlebihan.

6. Beberapa langkah paling ampuh untuk menangkal ijime, yaitu dengan memiliki kesadaran diri yang kuat, menjadi seorang teman, memiliki setidaknya satu teman baik, dan melebur dalam sebuah kelompok. Orang tua juga memiliki peranan penting dalam pencegahan ijime terhadap anak. Orang tua harus mengembalikan kepercayaan diri anak ketika anak menjadi korban ijime atau ketika anak memperlihatkan gejala – gejala terjadinya ijime pada dirinya.

4.2. Saran

Karena ijime akan merusak mental dan fisik anak, maka orang tua diharapkan lebih memperhatikan perkembangan anak di sekolah dan juga lebih sensitif untuk menyadari gejala terjadinya ijime pada anak. Orang tua harus mengembalikan kepercayaan diri anak ketika anak menjadi korban ijime atau ketika anak memperlihatkan gejala – gejala terjadinya ijime pada dirinya. Agar mampu menyelesaikan konflik secara damai, kita dapat mengajari anak melalui contoh, bimbingan, dan instruksi bahwa kekerasan adalah teknik yang tidak dewasa, tidak bertanggung jawab, dan tidak produktif untuk menyelesaikan konflik. Dan alat bantu tanpa kekerasan yang digunakan untuk menuntaskan konflik adalah tindakan yang dewasa dan berani.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Akiko,Dogakinai.2004.Ijime The Social Illnes Of Japan. http:www.Atimes.com/Atimes/japan/ff02Dh04.html.

Aminuddin. 2000. Pengantar Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algensindo. __________2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru

Algensindo.

Angkat, Guntur.Selintas Sejarah Komik Indonesia. www. Pendidikannetwork.co.id 23 November 2004.

Annisa. 2005. Ijime Sebagai Gejala Penyimpangan Perilaku Remaja Jepang. (Skripsi) Medan : Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Citra, Exe. 2006. Analisis Gakkyu Houkai Sebagai Wujud Sisi Gelap Sistem Pendidikan Di Jepang Dalam Komik GTO Karya Tooru Fujisawa.(skripsi) Medan : Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Coloroso,Barbara. 2007. Stop Bullying. Jakarta : PT Serambi Ilmu Pustaka.

Englander. 1997. Understanding Violence. Mahwah, NJ : Thousand Oaks, CA : Sage

Frederic, Louis. 2002. Japan Encyclopedia. London England : Harvard University Press.

Fredman, Lauren. 1995. Bullied to Death in Japan (Tenager Suicides). New York : World Press.

Harahap , Sofyan Syafri. 2001. Tips menulis Skripsi. Jakarta : Pustaka Quantum. Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT Raja


(5)

Loeber. 1998. Development of Juvinille Aggresion and Violence : Some Common Misconceptions and Controversies. CA : Academic Press.

Luxemburg, Jan Van. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

__________________. 1992. Pengantar Ilmu Sastra (terj. Dick Hartoko). Jakarta : PT Gramedia.

Madubrangti,Diah. 1994. Dasar Kemunculan Ijime Pada Anak Sekolah Di Jepang. Jakarta : Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Miller, Js. 1999. Child Physichal Abuse : Theory and Research. Thousand Oaks, CA : Sage.

Nojuu, Shinsaku. 1989. Kodomo to Ijime ’Anak dan Ijime’. Tokyo : Otsuki Shoten.

Siswantoro. 2005. metode Penelitian Sastra : Analisis Psikologis. Surakarta : Muhammadiyah University Press.

Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan Bushi dari Keshogunan dalam Feodalisme Zaman Edo di Jepang . Medan: USU press.

Suenobu, Keiko. 2007. Life. Jakarta : PT Gramedia Jakarta.

Sugono, Dendy. 2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia jilid 2. Jakarta : Pusat Bahasa.

Taki, M. 2003. Ijime Bullying : Characteristic, Causalityand Intervension, Oxford-Kobe Seminars: Measures to reduce ”Bullying in Schools”. Kobe Institute, Kobe, Japan.

Uchida, Reiko. 1997. Ijime No Nekko Sumber Pelecehan. Jakarta : Pustaka Firdaus.


(6)

Wellek, Rene, Austin Warren. 1997. Teori Kesusastraan (terj. M Budianto). Jakarta : PT Gramedia

Yoneyama, S.;Naito, A. 2003. Problems with the Paradigm: the School as a factor in Understanding Bullying, British Journal of sociology of Education, vol. 24, No.3

http : //en.wikipedia.org/wiki/life_(manga).html


Dokumen yang terkait

Analisis Sosiologis Terhadap Novel Musashi Karya Eiji Yoshikawa = Eiji Yoshikawa No Sakuhin No “Musashi No Shousetsu” Ni Taishite No Shakai Gaku Teki No Bunseki Ni Tsuite

2 75 101

Analisis Aspek Sosiologis Tokoh Gals Dalam Komik “Gals!” Karya Mihona Fuji = Mihona Fuji No Sakuhin No “Gals!” To Iu Manga Ni Okeru Gyaru No Shujinkou No Shakaigakuteki No Bunseki Ni Tsuite

0 59 62

Analisis Peran Tokoh Ninja Dalam Komik Naruto Karya, Masashi Kishimoto Masashi Kishimoto No Sakuhin No “Naruto No Manga” Ni Okeru Ninja No Shujinkou No Yakusha No Bunseki Ni Tsuite

3 59 89

Analisis Psikologis Tokoh Utama Arisa Morishige Dalam Komik “Limit” Karya Keiko Suenobu Keiko Suenobu No “Limit” No Manga Ni Okeru Arisa Morishige To Iu Shuujinkou No Shinrigakutekina Bunseki

0 6 70

Analisis Psikologis Tokoh Utama Arisa Morishige Dalam Komik “Limit” Karya Keiko Suenobu Keiko Suenobu No “Limit” No Manga Ni Okeru Arisa Morishige To Iu Shuujinkou No Shinrigakutekina Bunseki

0 0 8

Analisis Psikologis Tokoh Utama Arisa Morishige Dalam Komik “Limit” Karya Keiko Suenobu Keiko Suenobu No “Limit” No Manga Ni Okeru Arisa Morishige To Iu Shuujinkou No Shinrigakutekina Bunseki

0 0 6

Analisis Psikologis Tokoh Utama Arisa Morishige Dalam Komik “Limit” Karya Keiko Suenobu Keiko Suenobu No “Limit” No Manga Ni Okeru Arisa Morishige To Iu Shuujinkou No Shinrigakutekina Bunseki

0 0 15

Analisis Psikologis Tokoh Utama Arisa Morishige Dalam Komik “Limit” Karya Keiko Suenobu Keiko Suenobu No “Limit” No Manga Ni Okeru Arisa Morishige To Iu Shuujinkou No Shinrigakutekina Bunseki

0 0 21

Analisis Psikologis Tokoh Utama Arisa Morishige Dalam Komik “Limit” Karya Keiko Suenobu Keiko Suenobu No “Limit” No Manga Ni Okeru Arisa Morishige To Iu Shuujinkou No Shinrigakutekina Bunseki

0 0 2

BAB II IJIME DALAM MASYARAKAT JEPANG - Usaha – Usaha Penanggulangan Ijime Di Kalangan Siswa Di Jepang Nihon No Gakusei No Shuui Ni Aru Ijime No Mondai No Kaishaku

1 2 20