Pendekatan Ekonomi Politik Neoklasik dan Pembangunan Politik di Negara Berkembang sebagai Tipe Politik Masyarakat Industri

Pendekatan Ekonomi Politik Neoklasik dan Pembangunan Politik di Negara Berkembang sebagai
Tipe Politik Masyarakat Industri
Muryanto Amin
BAHAN BACAAN EKONOMI POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DESEMBER 2013
Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan Pembangunan di negara-negara berkembang dihadapkan pada persoalan
diantaranya pengangguran dan kemiskinan yang semakin luas. Untuk mengatasinya pemikiran ekonomi dan politik menjadi penting. Salah satu resep ekonomi politik yang ditawarkan adalah pemikiran Neoklasik. Analisis ekonomi neoklasik bermula dari selfinterest yang menekankan bahwa kepuasan individu berada—pada penguasaan komoditas. Berbagai perkara dalam hidup masyarakat dianggap sebagai soal “ekonomi”. Perkara sosial sebagai urusan individual, begitu juga masalah social welfare sebagai urusan selfcare. Kelompok ini sangat percaya pada mekanisme pasar yang akan berlangsung bebas dan sukarela dari gangguan campur tangan pemerintah, sehingga semua persoalan termasuk pengangguran dan kemiskinan akan mudah terselesaikan.
Jelas bahwa pertukaran pasar dan efisiensi alokasi adalah konsep utama dalam ekonomi neoklasik. Produsen menekankan cara untuk memanfaatkan sumber daya agar memaksimalkan output dan laba. Sedangkan konsumen menekankan penggunaan sumber daya secara maksimal untuk kepuasannya. Logika ekonomi itu berlaku pada organisasiorganisasi perusahaan, sekolah, departemen pemerintah, dan lain sebagainya.
Dalam politik, tesis ekonomi neoklasik ketika diterapkan, dalam kasus Amerika Serikat (Reagenomics) dan Inggris (Thatcherism), 1 terbukti dapat mengatasi krisis ekonomi yang dipicu oleh inflasi pada tahun 1970-an yang dianggap sebagai produk kebijakan Keynes. Atas pengalaman itu pula, resep neoklasik diekspor ke negara-negara lainnya terutama di negara berkembang. Tanpa menghiraukan kondisi sosial, ekonomi, kultur dan politik masyarakat setempat yang tidak serta merta dapat disamakan diantara semua negara, resep itu menuai berbagai persoalan di negara berkembang diantaranya adalah kesenjangan pendapatan tidak terkecuali di Indonesia. Jika demikian, maka pertanyaan pentingnya adalah mengapa persoalan itu terjadi? Bagaimana peran pemerintah di negara-negara berkembang yang masih memiliki fungsi untuk mendistribusikan kesejahteraan umum? Tulisan ini mencoba mengurai logika ekonomi politik Neoklasik
1 Kebijakan dari dua negara ketika itu didukung oleh Friedman dan Hayek dengan argumentasi adanya kegagalan pemerintah, yang berbeda dari resep ekonomi Keynes (kegagalan pasar) dan dinilai menimbulkan masalah bagi ekonomi masyarakat. Perdebatan ini kemudian memiliki implikasi pada kebijakan ekonomi dan politik di kedua negara tersebut. Lihat Friedrich A. Hayek. 1944. The Road to Serfdom. Chicago: University of Chicago Press, dan Milton Friedman. 1962. Capitalism and Freedom. Chicago: University of Chicago Press. Bandingkan pula dengan JM. Keynes. 1936. The General Theory of Employment, Interest and Money. New York: B. Javanovich Harcourt.
Universitas Sumatera Utara

dan penerapannya di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia dan kaitannya dengan political development sebagai ciri khas negara-negara industri.2
Ekonomi Neoklasik dan Perubahan Politik Sebelum kita melihat pemikiran ekonomi neoklasik yang membawa perubahan
politik di negara-negara dunia mari kita bahas terlebih dahulu, secara pintas, pemikiran ekonomi neoklasik ini. Dalam pandangan neoklasik, pertumbuhan ekonomi akan optimal jika lalu lintas barang/jasa/modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi itu juga hanya akan terjadi bila barang, jasa, dan modal dimiliki/dikuasai oleh orang perorangan yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi dalam pasar yang sempurna. Kepuasan individu untuk mencapai keuntungan akan kepemilikan menjadi penting dan selalu dijadikan sebagai nilai dari kebahagiaan.3
Pengangguran, kemiskinan misalnya hanya dapat diatasi dengan penanaman modal privat. Adanya investasi tergantung pada tingkat tabungan (savings), dan tingkat tabungan bergantung pada tinggi rendahnya penghasilan pribadi (income). Pertumbuhan income tergantung pada bekerjanya akumulasi laba yang hanya mungkin terjadi dalam pasar bebas atau tanpa campur tangan pemerintah. Barang yang diperjualbelikan bisa jasa, modal finansial, pengetahuan, keterampilan, kecantikan, dan lain sebagainya. Karena itu, bekerjanya pasar akan menaikkan income dan akan meningkatkan jumlah tabungan. Kenaikan tabungan ini akan membawa investasi. Kenaikan investasi akan membawa tingginya pertumbuhan ekonomi, dan seterusnya, dan seterusnya. Sehingga siklus ini akan berjalan secara normal, asalkan adanya kedisplinan individu untuk berusaha. Tidak satu pun instansi masyarakat (termasuk pemerintah) yang dapat membuat kebijakan atau program perpindahan income dari kaum kaya ke kaum miskin. Maka pajak progresif, subsidi pangan, ketetapan upah minimum, perlindungan buruh dan petani, program khusus penciptaan lapangan kerja, jaring pengaman sosial, dan program-program serupa merupakan pantangan bagi ekonomi neoklasik.
Siklus ekonomi neoklasik, menurut Capuraso dan Levine, sebagai kegiatan ekonomi untuk mencapai kepuasan maksimal dari keinginan, telah disediakan dan didistribusikan diantara para individu dalam prinsip sukarela. Pasar sebagai satu-satunya institusi untuk pemenuhan kebutuhan mendirikan dan menegakkan sebuah himpunan hak-
2 Lucian W. Pye. 1966. Aspects of Political Development. Boston: The Little Brown. hal. 34-35. 3 Pengertian ini disebut sebagai Optimalitas Pareto dengan prinsip pasar yang sempurna akan meningkatkan kesejahteraan semua pelaku pasar. Lihat James A. Caporaso & David P. Levine. 1992. Theories of Political Economy. Cambridge: University Press. hal. 79-80.
Universitas Sumatera Utara


hak kekayaan (a self property rights) dan kegagalan pasar terjadi karena adanya faktorfaktor eksternalitas, penggunaan barang-barang publik yang tidak diproduksi oleh pasar, dan adanya oligopoli yang dapat merusak kesimbangan pasar.4 Atas dasar kegagalan pasar itulah, maka pendekatan neoklasik membutuhkan dua agenda politik. Pertama, agenda politik yang berusaha mengamankan sistem hak kepemilikan agar transaksi bisa berjalan sukarela. Kedua, agenda politik yang mengatur pihak-pihak yang terpengaruh secara langsung dan tidak langsung oleh transaksi tersebut namun tidak terlibat dalam transaksi.
Tidak dapat dipungkiri—menurut fakta sejak keberhasilan mengatasi kesulitan ekonomi di Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1970-an—pemikiran ekonomi neoklasik dengan cepat merambat ke Amerika Latin hingga Asia Timur, India dan hampir seluruh negara-negara di benua Afrika. Mereka memanfaatkan komunikasi dan media untuk memunculkan “pasar” sebagai slogan. Pada 1980-an dan 1990-an ekonomi neoklasik dengan praktik liberalisasi menjadi saksi keunggulan sistem kapitalis dan disertai kehancuran komunisme yang mempengaruhi negara-negara di luar Eropa yang sebelumnya telah mencontoh model Soviet dalam membangun perekonomiannya.
Bahkan sejumlah negara berkembang mulai mengakui kuntungan yang diperoleh dari pasar bebas dan keterbukaan ekonomi, padahal sebelumnya penanaman modal asing langsung (FDI) dipandang dengan penuh rasa curiga, karena sifatnya yang eksploitatif dan bertentangan dengan kepentingan-kepentingan nasional. 5 Karena frustasi dengan sedikitnya hasil yang diperoleh dari kebijakan ekonomi tertutup dan substitusi impor, serta menyaksikan sukses “macam ekonomi” Asia—Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan—banyak negara-negara sedang berkembang, tidak terkecuali Indonesia, secara bertahap mulai mengutarakan niatnya untuk membuka pasar domestiknya dan mempraktekkan doktrin-doktrin ekonomi neoklasik.
Penguasa di negara-negara berkembang telah menyaksikan bagaimana negaranegara tersebut telah membuat kesepakatan-kesepakatan lisensi dan joint venture, bagaimana mereka mendayagunakan modal ataupun teknologi dari perusahaan dan investor asing, dan akhirnya meraup sukses yang luar biasa. Sampai pertengahan tahun 1990-an hanya ada satu jenis permainan, pemerintah-pemerintah yang pada mulanya merasa perlu mewaspadai masuknya modal asing, akhirnya terperangkap dalam persaingan dunia pertumbuhan berorientasi ekspor.
4 Ibid. hal. 87-96. 5 Pandangan ini dikembangkan dalam teori dependensi, lihat Robert A. Packeham, 1992. The Dependency Movement: Scholarship and Politics in Development Studies. Cambridge: Cambridge University Press.
Universitas Sumatera Utara

Kebanyakan negara-negara berkembang mengakui bahwa modal sosial harus diperbaharui demi daya saing ekonomi sesuai dengan prinsip ekonomi neoklasik. Tingginya persaingan untuk menarik masuk investor telah mendesak seluruh perekonomian pasar sosial agar menerima doktrin pasar bebas sampai pada tingkat tertentu. Mereka melakukan deregulasi, menetapkan kebijakan pajak yang rendah dan menyusutkan welfare state dengan tujuan agar mereka dapat diperhitungkan oleh perusahaan-perusahaan global yang kian mudah berpindah tempat. Sehingga hampir dipastikan, ketika itu, hampir tidak ada alternatif lain selain pasar bebas sebagai ideologi dan minimnya peran negara dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Pendekatan neoklasik ini menganggap epistemologi pengetahuan bersifat linear, mengambil metode deduktif, dengan melihat bahwa semua tempat sama dan seimbang tanpa memperhatikan bahwa ada perbedaan bagi setiap individu dalam setiap ruang dan waktu. Peran negara sangat minim dalam melakukan fungsi-fungsi ekonomi, dan meletakkan individu sebagai pelaku dalam ekonomi untuk mencapai kepuasan itu. Resep neoklasik yang diekspor—dari Amerika dan Inggris ke setiap negara lain di dunia termasuk negara berkembang dan tidak terkecuali Indonesia—dilakukan tanpa mempertimbangkan nilai, kebiasaan, kultur yang berbeda pada setiap masyarakat. Banyak anomali terjadi di negara-negara tersebut ketika mengadopsi pemikiran Neoklasik dalam perspektif ekonomi politik.6 Neoklasik mungkin hanya bisa berjalan di suatu negara yang memiliki aturan yang dapat diprediksi, di mana pelaku ekonomi dan pemerintah bersikap rasional, dalam arti mereka memaksimalkan fungsi dan tujuan masing-masing. Artinya, gagasan neoklasik tidak selamanya dapat diterapkan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia ketika melakukan proses pembangunan politik dan ekonomi.
Lucyan W. Pye menjelaskan “polical development as the politics of industrial societies”. Asumsi Pye menyebutkan bahwa kehidupan industrial umumnya menghasilkan kurang lebih tipe politik di mana setiap masyarakat dapat mendekatkan fakta industrialisasi atau tidak sama sekali. Dalam pandangan ini, masyarakat industri apakah demokratis atau tidak, menetapkan standar tertentu terhadap perilaku politik yang mendasari pembangunan politik negara dan menetapkan tujuan pembangunan ekonomi yang sesuai dengan sistem lainnya seperti sosial dan kultur masyarakat setempat.7
6 Istilah anomali dalam perjalanan ilmu pengetahuan dijelaskan oleh Thomas Khun. 1970. The Structure of Scientific Revolution. Chicago: University of Chicago Press. Suatu pengetahuan akan mengalami penolakanpenolakan akibat perkembangan yang terjadi di masyarakat sehingga tidak ada pengetahuan dan paradigma yang dapat eksis selamanya. 7 Lucian W. Pye. Op. Cit. hal. 36.
Universitas Sumatera Utara

Asumsi Pye menekankan pentingnya kualifikasi khusus dari pembangunan politik yang dapat dijadikan sebagai pola teladan agar rasional dan merupakan bagian tanggung jawab pemerintahan. Pemerintah, dalam perspektif Pye, harus menghindari tindakan yang tidak tepat yang dapat mengancam kepentingan masyarakat, serta menetapkan adanya pembatasan kedaulatan politik. Nilai-nilai yang ada dan berkembang di masyarakat dijadikan sebagai prosedur untuk menyusun peraturan termasuk administrasi pemerintahan. Pengakuan kedaulatan politik bisa digunakan untuk program kesejahteraan yang melibatkan keikutsertaan masyarakat.8
Asumsi Pye itu berkaitan dengan Capuraso dan Levine yang menggunakan variabel politik dalam pendekatan ekonomi neoklasik ini dengan menekankan bahwa individu yang dimaksudkan di sini didorong oleh—bukan hanya keinginan untuk memaksimumkan kekuasaan masing-masing untuk konsumen dan produsen—namun termasuk penyelenggara negara, birokrat, politikus, berbagai elemen masyarakat dan bahkan negara itu sendiri yang termotivasi untuk memaksimumkan seperangkat kepentingannya masingmasing. Ekonomi politik neoklasik lebih melengkapi liberalisme, di mana ketika pasar gagal menjalankan fungsinya, negara masuk. Di sini, peran negara adalah derivatif, dan lingkup serta konteks peran negara tergantung pada kapasitas pasar dalam menjalankan fungsinya. Negara melakukan ini karena adanya sejumlah keterbatasan dalam pendekatan neoklasik.9
Pye, Caporaso dan Levine kemudian menyimpulkan kekuasaan negara dalam pembangunan ekonomi bisa dilakukan untuk mencapai barang-barang jika individu yang lain tidak dapat memperolehnya. Karena itu, negara adalah juga agen yang menguasakan beberapa aspek untuk mencapai barang-barang atas biaya orang lain dan mengontrol public goods. Pada tahap inilah kemudian pentingnya memadukan pendekatan ekonomi dan politik neoklasik untuk meminimalkan masalah pembangunan. Maka mari kita lihat beberapa persoalan yang terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia pada saat-saat pendekatan neoklasik itu menjadi booming dan negara-negara berkembang yang mengimpornya mendapatkan beberapa masalah akibat minimnya peran negara dalam mendistribusikan ekonomi kepada kelompok yang relatif tidak mampu (eksternalitas dalam pendekatan neoklasik). Negara-negara berkembang itu ternyata banyak yang melakukan mixed policy antara kepentingan individu dan peran negara.
8 Ibid. hal 39. 9 Keterbatasan pendekatan neoklasik lihat di James A. Caporaso & David P. Levine. Op. Cit. hal. 98-99.
Universitas Sumatera Utara


Munculnya Persoalan Neoklasik di Negara-Negara Berkembang

Sebagaimana pemikiran Neoklasik, optimalisasi ekonomi hanya akan terjadi jika

jasa dan modal digunakan oleh individu secara sukarela dan tidak dikontrol oleh negara.

Artinya, negara dianggap sebagai sesuatu yang monolitis. Ada beberapa persoalan yang

muncul di negara berkembang untuk menerapkan pendekatan neoklasik ini. Pertama,

ketika income dan tabungan menjadi penting dalam neoklasik, bagaimana menjelaskan

syarat ini berlaku untuk negara-negara miskin dan sedang berkembang yang sangat rendah

pendapatan per kapita masyarakatnya. Meskipun kebijakan deregulasi liberalisasi dan

debirokratisasi disediakan untuk kebebasan lalu lintas modal, namun pemerintah negara-

negara berkembang itu juga melakukan substitusi impor dan proteksi bagi industri yang


membutuhkannya. Modifikasi kebijakan seperti itu, yang sebenarnya tidak dibenarkan

dalam neoklasik, namun dilakukan oleh Korea Selatan dan Taiwan pada akhir 1980-an dan

1990-an.

Kedua, liberalisasi ekonomi juga bertumpu pada investasi asing yang dilakukan

negara maju seperti Amerika dan Inggris yang seharusnya banyak diarahkan ke negara-

negara berkembang, namun dalam praktiknya investasi itu lebih banyak mengalir ke

negara-negara industri maju sendiri seperti Kanada, Jepang, dan negara-negara Barat

lainnya. Hanya 1% tertuju ke nagara-negara miskin dan 18% ke negara-negara

berpendapatan menengah. Tabel 1 berikut dengan jelas mencerminkan pola itu.

Tabel 1. Ke Mana Modal Mengalir? Investasi Langsung Amerika Serikat ke Luar Amerika Serikat, tahun 2000.


Ke Mana Investasi AS Mengalir

Jumlah (milyar $ AS)

Negara-negara Berpenghasilan Tinggi

982,8

Negara-negara Berpenghasilan Menengah

218,1

Negara-negara Berpenghasilan Rendah

12,2

Total

1.213,1


Sumber: The Economist, A Survey Globalization (29 September 2001), hal. 6.

Persentasi dari Total
81,0 18,0
1,0 100,0

Ketiga, modal asing yang diinvestasikan dapat keluar dengan bebas dan dapat

mengancam kekuasaan negara-negara miskin dan berkembang karena alasan menolak

tuntutan para buruh maupun peraturan pemerintah yang merugikan para investor asing itu.

Kekuasaan ekonomi ini berupa kemampuan yang semakin besar untuk memindahkan hasil

produksi yang diciptakan melalui keringat banyak warga masyarakat ke tangan semakin

sedikit orang. Akibatnya yang terjadi adalah kesenjangan yang semakin besar dalam hal

pendapatan dan membuat lebarnya kesenjangan kaya dan miskin. Ini bisa dilihat dalam


Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Kekayaan yang Dikuasai Golongan Kaya dan Miskin

Universitas Sumatera Utara

(Lingkup Global, dalam persen)

Tahun

20% Terkaya

20% termiskin

Ratio Income Kaya/Miskin

1960

70,2 2,3


1970

73,9 2,3

1980

76,3 1,7

1989

82,7 1,4

Sumber: United Nation Development Programme, Human Development Report (1992)

30:1 32:1 45:1 59:1

Dari ketiga masalah di atas, yang paling penting dan menjadi persoalan bagi

negara-negara miskin dan berkembang adalah kesenjangan pendapatan. Mungkin benar,


membuat kelompok kaya lebih miskin tidak akan menjadikan kaum miskin lebih kaya.

Akan tetapi, perkara distribusi memang bukan soal membuat kaya menjadi miskin apalagi

kalah. Namun, masalah yang begitu tajam dan mencemaskan adalah kemiskinan

merupakan awal tindakan kejahatan. Seperti yang disampaikan oleh Mendel bahwa sebuah

masyarakat yang ditandai kesenjangan besar dalam pendapatan, pertumbuhan yang lebih

cepat, dan tingkat kemiskinan yang lebih rendah adalah sebuah masyarakat yang lebih

dikehendaki daripada masyarakat yang ditandai oleh distribusi pendapatan yang lebih rata dengan tingkat kemiskinan yang tinggi.10

Dari banyaknya harapan yang ditumpukan oleh pendekatan neoklasik itu dengan

argumentasi bahwa pembangunan merupakan efek tetesan ke bawah (trickle down effect)

dengan maksud ada tetesan pertumbuhan pendapatan golongan ekonomi menengah dan


atas ke kelompok-kelompok ekonomi bawah, ternyata banyak pula tidak terjadi di negara-

negara miskin dan berkembang. Justru yang diuntungkan adalah sekelompok kecil pemilik

modal yang tidak jarang terkoneksi dengan pemegang kekuasaan. Kasus di beberapa

negara berkembang tersebut menunjukkan bahwa peran negara tidak bisa dikesampingkan

dalam melakukan pembangunan ekonomi terutama untuk mengurangi kesenjangan

pendapatan dengan mendistribusikan kepada kelompok-kelompok yang relatif kurang

beruntung.

Melihat Kasus Indonesia
Pendekatan ekonomi neoklasik juga diadopsi di Indonesia dalam berbagai bentuk
kebijakan terutama pertengahan 1980-an sampai 1990-an yaitu pada saat berkurangnya pendapatan negara dari sektor migas.11 Kebijakan ekonomi Indonesia, ketika itu, dianggap
10 Michel J. Mendel mengutarakannya dalam Business Week. 26 Agustus 2002. hal. 55. 11 Pembahasan lebih lengkap tentang awal munculnya pemikiran ekonomi Neoklasik dalam perspektif ekonomi politik di Indonesia dilakukan oleh Rizal Rizal Mallarangeng. 2002. Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992. Jakarta: KPG. Dia menyebutkan sekompok intelektual, yang diistilahkan dengan “komunitas epistemis liberal” yang menyebarkan pemikiran dan mendukung ekonomi neoliberal atau neoklasik.

Universitas Sumatera Utara


liberal, propasar, dan merupakan produk dari rasionalitas ekonomi yang dimotori oleh teknokratis yang menduduki jabatan pemerintahan seperti Departemen Keuangan, BI, dan lain sebagainya. Mereka menyetujui free market, private enterprise, open door policy yang didukung oleh lembaga keuangan seperti Bank Dunia dan IMF. Konon sebelumnya, kebijakan ekonomi Indonesia sangat proteksionis dan sentralistis dengan mengandalkan intervensi ekonomi negara.
Pada pertengahan tahun 1980-an, Widjojo dan kaum ekonomi seangkatannya, memiliki kemauan yang lebih besar untuk lebih menyandarkan perekonomian nasional pada usaha swasta, domestik maupun internasional, demi terciptanya kemakmuran dan terselenggaranya pembangunan secara menyeluruh. Singkatnya, mereka yakin bahwa intervensi pemerintah harus diarahkan untuk “menciptakan kondisi di mana lembagalembaga yang ada mendorong munculnya kepentingan-kepentingan yang tercerahkan, enlightened self-interests, dari para aktor ekonomi.”12 Pemikiran para ekonom itu akhirnya membuahkan serangkaian kebijakan yang lebih pro pasar dengan aktor pelaku usaha sebagai garda terdepan melalui sejumlah paket deregulasi dan debirokratisasi yang menghambat pertumbuhan dunia usaha. Karena alasan kebangkrutan ekonomi yang dipicu menurunya harga minyak tahun 1980-an, kebijakan yang harus diambil adalah mendiskreditkan peran negara yang sentralistis dengan solusi kebijakan liberal atau pro pasar serta meminimalkan peran negara. Menjalankan deregulasi di bidang perdagangan serta melanjutkan langkah-langkah reformasi di sektor perbankan, dan keuangan.
Ketika mulai diberlakukannya kebijakan yang lebih liberal itu, kondisi ekonomi Indonesia menunjukkan fondasinya yang baik dari sebelumnya. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi propasar itu mendapatkan perlawanan yang besar menghadapi sejumlah dilema-dilema yang cukup sulit. Terdapat alasan politis yang mendasari perlawanan itu. Setidaknya terdapat dua kubu yang menentang yaitu perusahaan-perusahaan negara serta perusahaan-perusahaan pencari rente yang perluasan bisnisnya terutama dimungkinkan karena hubungan mereka yang erat dengan elit di tubuh pemerintah. Meskipun kelompok terakhir ini tidak dibenarkan dalam ekonomi neoklasik. Akhirnya, kebijakan meminimalkan peran pemerintah melalui serangkaian program deregulasi mempengaruhi keseimbangan antara negara dan pasar.
Banyak kritik dari proses kebijakan yang propasar di Indonesia, pada masa itu, yang melahirkan monster baru yaitu para konglomerat yang sebagian besar adalah
12 Emil Salim. 1997. “Recollection of My Career”, Bulletin of Indonesian Economic Studies. Canberra. Vol. 33, No. 1 1997. Dukutip dari Rizal Mallarangeng. Ibid. hal 42.
Universitas Sumatera Utara

keturunan Tionghoa. Kemudian mempersempit peluang bagi usaha kecil untuk berkembang. Akibatnya juga yang terjadi, sebagaimana kasus di negara berkembang lainnya, adalah kesenjangan antara si kaya dan mayoritas penduduk yang semakin tak dapat ditolerir. Hal ini merupakan sebagian fakta yang terjadi pada awal 1990-an diantara persoalan lainnya yang kemudian memunculkan tuntutan dari serikat buruh, petani, dan kelompok masyarakat lainnya. Gencarnya kritik tersebut ditambah dengan alasan politis bagi Soeharto untuk menjalankan kebijakannya sendiri dengan dalih nasionalisme dan tuntutan keadilan menyebabkan perubahan kebijakan yang lebih memberikan peran kepada negara.
Setelah jatuhnya Soeharto, pada tahun 1997, pergantian kepemimpinan belum menunjukkan sikap yang lebih konsisten untuk pembangunan ekonomi. Masa kepemimpinan Habibie, kecenderungan ekonomi yang memberikan porsi kepada negara untuk melakukan proteksi kepada pengusaha dalam negeri terutama usaha kecil dan menengah masih terlihat juga tidak begitu konsisten, begitu pula pada era Abdurrahman Wahid yang berjalan kurang lebih 1 tahun. Pada masa pemerintahan Megawati terlihat kebijakan propasar dengan melakukan privatisasi besar-besaran kepada perusahaan BUMN juga tidak menunjukkan langkah-langkah perbaikan ekonomi atas dasar filosofi pengetahuan. Mungkin, pada saat pemerintahan SBY-JK, kombinasi antara peran negara dan kebijakan propasar masih mendapatkan perhatian, meskipun program-program ekonominya masih pragmatis dan berorientasi jangka pendek. Selama ini belum terlihat blue print kebijakan ekonomi yang didasarkan atas landasan filosofi ilmu pengetahuan baik ekonomi dan politik.
Kasus tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa negara memiliki peran yang tidak lebih dari sekadar mengatasi kegagalan pasar. Namun, hanya negara yang mampu melaksanakan keadilan dan hukum secara lebih efisien ketimbang pihak-pihak lain termasuk pasar. Negara dalam pandangan neoklasik akan bertindak untuk menghasilkan barang-barang (goods) yang dapat diproduksi dengan cara lain. Tapi, negara juga sebenarnya bisa bertindak untuk menghasilkan keuntungan bagi kelompok tertentu dengan mengorbankan kelompok lain.13
Observasi seperti yang dijelaskan di atas, membawa kita pada dua agenda politik. Pertama, mengukuhkan tentang hak kekayaan sehingga transaksi berlangsung secara sukarela. Hal ini bisa dilakukan dengan mendirikan dan menegakkan sebuah himpunan
13 James A. Caporaso & David P. Levine. Op. Cit. hal.99.
Universitas Sumatera Utara

hak-hak kekayaan (a self property rights) yang dirancang untuk mendukung tujuan ideal neoklasik tentang kesejahteraan individu. Kedua, menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga pihak-pihak yang tidak terlibat transaksi (eksternalitas) dapat juga menikmati kesejahteraan mereka. Karena keterbatasan pendekatan neoklasik itu, maka negara harus terlibat dalam aktivitas ekonomi bagi kelompok eksternalitas dengan menyediakan public goods dan oligopoli yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana juga yang disampaikan oleh Pye bahwa pengakuan kedaulatan politik, sebagaimana yang dimiliki oleh negara, bisa digunakan untuk program kesejahteraan yang melibatkan keikutsertaan masyarakat.
Kesimpulan Keterbatasan, yang disampaikan oleh Caporaso dan Levine, terhadap ekonomi
neoklasik dan Pye tentang pembangunan politik membuktikan pentingnya peran negara. Kasus di negara-negara berkembang dan Indonesia tersebut merupakan ilustrasi yang paling meyakinkan bahwa disamping mengikuti booming neoklasik, ketika itu, ternyata ada intervensi negara meskipun di Indonesia intervensi pemerintah sering mengakibatkan distorsi pasar. Kekuatan lembaga-lembaga keuangan dunia baik Bank Dunia dan IMF memaksa negara untuk mundur menjadi satpam pengusaha, sementara kekuatan pasar dibiarkan menabrak setiap orang yang tidak siap. Hukum rimba berlaku di mana yang kuat menelan yang lemah, yang kaya menelan yang miskin. Persoalan yang ditimbulkan dari ekonomi neoklasik harus dihindari oleh pemerintah di negara-negara berkembang.
Dalam kenyataannya, termasuk kasus krisis yang terjadi di Amerika Serikat saat ini, menyiratkan perilaku menyimpang dari individu sebagai keniscayaan yang ditanggalkan kaum liberalis sehingga regulasi untuk membatasi tabiat buruk tidak masuk hitungan. Padahal prilaku yang mencederai etika merupakan bagian penting dalam kasus ambruknya ekonomi dunia saat ini. Seterusnya, kanibalisme ekonomi tidak diprediksikan akibat dogma equal access akan membuat seluruh individu mendapatkan hasil setara. Kepemilikan aset dan modal lebih menentukan siapa pemenang dalam pertarungan ekonomi tanpa regulasi sehingga ketimpangan dan keterbelakangan di banyak negara, termasuk Indonesia, merupakan fakta yang sulit dibantah.
Selama asumsi yang selalu dikaitkan dengan kepentingan penguasa, maka usulan penyelesaian permasalahan manusia akan bergeser dari realita. Kecenderungan ini harus berbalik secara radikal, keseimbangan negara dan pasar akan menjadi basis sosio-ekonomi suatu negara untuk membangun sistem pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab

Universitas Sumatera Utara

di tahun-tahun mendatang. Karena itu peran negara—yang dilakoni oleh pemerintah negara-negara berkembang—masih dibutuhkan untuk melakukan pembangunan ekonomi khususnya dalam mengurangi kesenjangan pendapatan. Buktinya, isu ini masih laku dijual saat pemilihan presiden Amerika Serikat yang ke 44.
Daftar Pustaka Caporaso, James, A. & David P. Levine. 1992. Theories of Political Economy. Cambridge:
University Press. Friedman, Milton. 1962. Capitalism and Freedom. Chicago: University of Chicago Press. Hayek, Friedrich A.. 1944. The Road to Serfdom. Chicago: University of Chicago Press, Keynes, JM.. 1936. The General Theory of Employment, Interest and Money. New York:
B. Javanovich Harcourt. Khun, Thomas. 1970. The Structure of Scientific Revolution. Chicago: University of
Chicago Press. Mendel, Michel J. Business Week. 26 Agustus 2002. Packeham, Robert, A, 1992. The Dependency Movement: Scholarship and Politics in
Development Studies. Cambridge: Cambridge University Press. Pye, Lucian, W. 1966. Aspects of Political Development. Boston: The Little Brown. Rizal Rizal Mallarangeng. 2002. Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992.
Jakarta: KPG. Salim, Emil. 1997. “Recollection of My Career”. Bulletin of Indonesian Economic Studies.
Canberra. Vol. 33, No. 1 1997.
Universitas Sumatera Utara