Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu di Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan

ANALISIS KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL
KUPU-KUPU DI DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL
BANTIMURUNG BULUSARAUNG KABUPATEN MAROS
PROVINSI SULAWESI SELATAN

MUHAMMAD ARIF MUHAMMADIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis
Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu di Daerah Penyangga Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014

Muhammad Arif Muhammadiyah
NIM E361100021

RINGKASAN
MUHAMMAD ARIF MUHAMMADIYAH. Analisis Kelembagaan Pemanfaatan
Komersial Kupu-Kupu di Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh
SAMBAS BASUNI, BURHANUDDIN MASY'UD dan DAMAYANTI
BUCHORI.
Pemanfaatan komersial kupu-kupu dari habitat alam di Kabupaten Maros,
Provinsi Sulawesi Selatan telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1970-an
dan masih terus berlangsung sampai saat ini. Pemanfaatan komersial kupu-kupu
melalui penangkapan dari habitat alam diduga merupakan salah satu penyebab
terjadinya penurunan jumlah jenis dan ukuran populasi kupu-kupu. Kinerja
kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu sebagai sumber daya bersama

(common pool resources, CPRs) diindikasikan oleh kelestarian sumber daya
kupu-kupu di habitat alam dan peningkatan pendapatan masyarakat. Kinerja
tersebut ditentukan oleh karakteristik sumber daya, karakteristik komunitas
pemanfaat, serta peraturan perundang-undangan.
Penelitian ini bertujuan: (1) mendeskripsikan dan menganalisis karakteristik
sumber daya kupu-kupu (Lepidoptera) yang dimanfaatkan secara komersial; (2)
mendeskripsikan dan menganalisis karakteristik pelaku, teknik penangkapan dan
perdagangan kupu-kupu; (3) menganalisis isi teks peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan pemanfaatan komersial satwa liar dan keefektifan
implementasi di lapangan; serta (4) merumuskan penguatan kelembagaan
pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Analisis penguatan kelembagaan menggunakan analisis tema yang dilakukan
berdasarkan hasil kajian untuk mencapai tujuan penelitian (1), (2), dan (3),
selanjutnya dirumuskan permasalahan kelembagaan serta solusi penguatan
kelembagaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para penangkap menangkap seluruh
individu kupu-kupu yang dijumpai di alam. Rasio kelamin kupu-kupu hasil
tangkapan menunjukkan jumlah jantan lebih banyak dibandingkan dengan betina.
Terdapat 838 individu kupu-kupu hasil tangkapan dari 89 jenis, yang tergolong
dalam famili Nymphalidae 52 jenis, Papilionidae 16 jenis, Pieridae 16 jenis, dan

Lycaenidae 5 jenis. Kupu-kupu hasil tangkapan tersebut termasuk 4 jenis kupukupu yang dilindungi, 3 diantaranya dari genus Troides yang tergolong Appendix
II CITES. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari jenis kupu-kupu hasil
tangkapan tersebut, terdapat jenis-jenis yang belum ditetapkan kuotanya, yaitu
dari famili Nymphalidae sebanyak 30 jenis, Pieridae 9 jenis, Lycaenidae 5 jenis,
dan Papilionidae 1 jenis.
Seluruh penangkap kupu-kupu di lokasi penelitian tidak memiliki izin
tangkap. Para penangkap tersebut tidak terdefenisikan dengan jelas, dan tidak ada
pembatasan jumlah penangkap sehingga memungkinkan siapa saja dapat
melakukan penangkapan kupu-kupu. Alat penangkapan yang digunakan adalah
jaring. Metode menjaring kupu-kupu terdiri atas 2 macam, yaitu dengan cara
menggunakan umpan berupa air seni atau kupu-kupu mati, serta cara menjaring
langsung tanpa menggunakan umpan. Lokasi penangkapan di luar batas kawasan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yaitu pada lahan negara, pekarangan
atau kebun milik masyarakat. Waktu penangkapan adalah setiap hari yang
dilakukan pada pukul 08.00−15.00.
Pelaku perdagangan kupu-kupu di daerah penyangga Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung terdiri atas para penangkap, pengumpul pedagang,
pengrajin souvenir, penjual souvenir, pembeli setempat, pembeli dari luar
provinsi, dan kolektor luar negeri. Pengumpul pedagang memiliki peran yang

sentral dalam aliran perdagangan kupu-kupu. Kupu-kupu yang diperdagangkan
terdiri atas kualitas A1, A-, A2, dan A3. Kualitas kupu-kupu sangat ditentukan
oleh cara menangkap, penanganan spesimen setelah ditangkap, serta kondisi
kupu-kupu di alam sebelum ditangkap. Harga kupu-kupu yang diperdagangkan
bervariasi, bergantung pada kualitas, jenis, jenis kelamin, dan ukurannya.
Terdapat sedikitnya 4 (empat) peraturan perundang-undangan yang
mengatur pemanfaatan komersial satwa liar. Peraturan perundang-undangan
tersebut belum efektif mengendalikan perilaku aparatur pemerintah maupun
masyarakat dalam pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros, karena
belum diimplementasikan secara keseluruhan oleh para pelaksana peraturan
maupun oleh masyarakat pemanfaat sebagai kelompok sasaran. Hal tersebut
disebabkan oleh kurangnya pemahaman atas isi peraturan perundang-undangan,
tidak ada ketentuan sanksi yang jelas bagi siapa-siapa yang tidak memiliki izin
dan melakukan perdagangan satwa liar yang tidak dilindungi, sehingga
menyebabkan aparatur di lapangan tidak melakukan tindakan dan memberikan
sanksi atas pelanggaran yang terjadi. Isi Kepmenhut 447/2003 masih sangat
umum dan menyangkut objek yang sangat luas, yaitu mencakup seluruh jenis
tumbuhan dan satwa liar. Sementara pemanfaatan satwa liar kupu-kupu
membutuhkan peraturan yang lebih detail, sebab satwa liar ini memiliki siklus
hidup yang spesifik, dan memiliki musim perkembangbiakan. Substansi peraturan

bila dilaksanakan menimbulkan biaya transaksi tinggi, mulai dari biaya informasi,
pengawasan, penegakan peraturan, pengendalian para pihak, maupun biaya-biaya
yang harus dikeluarkan oleh kelompok sasaran untuk memperoleh hak dalam
pemanfaatan.
Penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten
Maros dilakukan melalui upaya: (1) pendelegasian wewenang pengaturan
pemanfaatan jenis kupu-kupu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk Appendix
CITES kepada Pemerintah Kabupaten Maros sebagaimana diatur dalam PP
38/2007; (2) penyusunan aturan operasional pemanfaatan komersial kupu-kupu
yang memuat antara lain tentang: batasan sumber daya kupu-kupu yang dapat
dimanfaatkan; batasan pelaku pemanfaatan; aktivitas pemanfaatan; mekanisme
pengawasan dan sanksi; serta (3) izin penangkapan dan izin peredaran kupu-kupu
untuk tujuan komersial diberikan kepada para pengumpul pedagang dengan
mendaftarkan seluruh penangkap yang dikoordinirnya secara periodik.
Peningkatan kapasitas Forum Pelestari Kupu-Kupu perlu dilakukan mengingat
tingkat inisiatif dalam menyusun program-program aksi yang terkait dengan
pemanfaatan komersial kupu-kupu secara lestari masih lemah, yaitu dengan cara
pendampingan dan memberikan asistensi teknis serta permodalan.
Kata kunci: aturan operasional, CITES, konservasi, perdagangan, serangga


SUMMARY
MUHAMMAD ARIF MUHAMMADIYAH. Institutional Analysis of butterfly
commercial utilization in Bantimurung Bulusaraung National Park Buffer Zone
Maros Regency, South Sulawesi Province. Supervised by SAMBAS BASUNI,
BURHANUDDIN MASY'UD and DAMAYANTI BUCHORI.
Butterfly trades and its commerce has been the source of income for many
in habitats surrounding Bantimurung Bulusaraung National Park Maros Regency,
South Sulawesi. The activites started as early as 1970s and still continues to the
present time. Unfortunately, the extent of commercial utilization seems to threat
the conservation of butterflies, in fact, it has been strongly linked with the causes
for the decline of both species number and population size. The sustainability of
butterfly commerce is very important for the livelihood of the community and its
level of sustainability can be measured by the extent of conservation of the
butterflies in the field. Overall, three factors have been diagnosed as having strong
influence on butterfly conservation, i.e. the resource characteristics, the
communities’ characters, and regulations of local natural resources.
The objective of this research are: (1) to study and analyze butterfly trading
in the area, which includes descriptions of the species that are being traded
commercially; (2) to describe and analyze the typologies of butterfly hunters, the
hunting techniques and butterfly trades; (3) to analyze the regulation on wildlife

commercial utilization and its implementation in the field; and (4) to study the
factors influencing institutional strength for butterfly commercial utilization in
Maros Regency, South Sulawesi.
The results of the research revealed that all hunters caught all their
specimens from the forests. Most of the butterflies caught are males, Altogether,
89 spp of butterflies were caught during a period of three months. Of the 838
butterfly specimens caught, 52 spp belongs to the Nymphalidae family,
Papilionidae (16 species), Pieridae (16 species), and Lycaenidae (5 species). Four
species belong to the protected category: 3 of which were from Troides genus
which belongs to Appendix II CITES. Research result also showed that among
the butterflies caught, there were a number of species whose quota were not yet
determined; namely Nymphalidae family (as many as 30 species), Pieridae (9
species), Lycaenidae (5 species), and Papilionidae (1 species).
Must butterfly hunters did not have catching permit. In fact, there are no
clear regulation that controls the numbers of hunters, the numbers of catches that
are permitted, and the frequency of the hunters to enter the forests. Most hunters
collect butterflies using the standard tool of a net. Sometimes they also use bait to
capture the butterflies, such as urine or dead butterflies. Most of the hunting
activities were located outside Bantimurung Bulusaraung National Park, mainly in
the public area or the community’s garden. Most hunters hunt around 08.00−15.00

everyday.
The agents involved in the trading comprised of the hunters, the middleman, souvenir makers, local buyers, buyers from other provinces, and foreign
collectors. It was worth noting that the middle men played a vital role in this
butterfly trading cycle. Butterflies traded belonged to A1, A-, A2, and A3
qualities. The quality of butterflies was largely determined by ways of catching,

post handling, and butterfly’s condition in the nature before being caught. The
prices of butterflies varied, depending on quality, species, sexes, and sizes.
There are no less than four regulations managing wild animal commercial
utilization; however, they are not effective in controlling behavior of not only
society but also government agency in butterfly commercial utilization in Maros
Regency, as they have not been entirely implemented by regulation perpetrators
and society as the target group. This is due to inadequate understanding upon
regulation content, and the absence of obvious sanctions for those having no
license and trading unprotected wild animal, so that government agency did not
perform any action nor give any sanction upon existing violation. The content of
Forestry Ministry Decree (Kepmenhut) of 447/2003 is broadly general and covers
relatively extensive objects; namely, all flora and wild fauna species. In fact, wild
butterfly utilization definitely requires more detail regulations, since these wild
animals posses specific life cycle and breeding season. When regulations are

carried out, high cost transaction will be required, ranging from the cost for
information, supervision, law enforcement, management of all sides and other
costs required to be spent by target groups to obtain utilization right.
Institution strengthening of butterfly commercial utilization in Maros
Regency was carried out through a number of efforts: (1) delegating authorities
for managing utilization of unprotected butterfly species and those not listed in
Appendix CITES to Maros Regency government as arranged in PP 38/2007; (2)
arranging operational regulation for butterfly commercial utilization, containing,
among others, limitation on utilizable butterfly resources; restriction on users;
utilization activities; and sanction mechanism; and also (3) providing license for
butterfly catching and circulation for commercial given to all middle men, by
registering all catchers organized periodically. Increasing capacity of "Forum
Pelestari Kupu-Kupu" needed to be performed regarding level of initiative in
arranging action programs related to fragile butterfly commercial utilization by
supervision and technical and capital assistance.
Key words: operational rules, CITES, conservation, trade, insects

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL
KUPU-KUPU DI DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL
BANTIMURUNG BULUSARAUNG KABUPATEN MAROS
PROVINSI SULAWESI SELATAN

MUHAMMAD ARIF MUHAMMADIYAH

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian:
Tertutup

: 1. Dr Arif Satria, SP, MSi
2. Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScF

Terbuka

: 1. Dr Ir Novianto Bambang W., MSi
2. Dr Ir Nandi Kosmaryandi, MScF

Judul Disertasi: Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu di
Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung,
Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan
Nama
: Muhammad Arif Muhammadiyah
NIM
: E361100021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua

Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS
Anggota

Prof Dr Ir Damayanti Buchori, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Konservasi Biodiversitas Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Burhanuddin Masy'ud, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 22 Oktober 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga September
2013 ini ialah analisis kelembagaan, dengan judul Analisis Kelembagaan
Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu di Daerah Penyangga Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Sambas Basuni MS,
Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy'ud MS dan Ibu Prof Dr Ir Damayanti Buchori
MSc selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Kepala Pusat Diklat Kehutanan Kementerian Kehutanan yang telah membiayai
pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih kepada Kepala Balai Besar KSDA
Sulawesi Selatan, Kepala Balai TN Babul, beserta staf serta masyarakat
pemanfaat kupu-kupu di daerah penyangga Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada istri Ilyana Ilyas S.Hut., anak Muhammad Dzaky
Arif, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014
Muhammad Arif Muhammadiyah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xvi
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Perumusan Masalah
3
1.3 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Penelitian
5
1.4 Tujuan Penelitian
7
1.5 Manfaat Penelitian
8
1.6 Kebaruan (Novelty)
8
1.7 Definisi Operasional
8
2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1 Letak dan Potensi Wisata
11
2.2 Iklim dan Tanah
11
2.3 Satwa dan Tumbuhan
12
2.4 Vegetasi Tumbuhan Pakan Kupu-Kupu
12
2.5 Kependudukan dan Budaya
14
2.6 Tingkat Pendidikan
15
2.7 Mata Pencaharian dan Jumlah Tanggungan Keluarga
15
3 METODE
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
17
3.2 Rancangan Penelitian
18
3.3 Metode Pengumpulan Data
18
3.4 Analisis Data
22
4 KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera)
YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL
4.1 Kupu-Kupu Hasil Tangkapan
24
4.2 Status Jenis Kupu-Kupu Yang Dimanfaatkan Secara Komersial
28
5 KARAKTERISTIK PELAKU, TEKNIK PENANGKAPAN DAN
PERDAGANGAN KUPU-KUPU
5.1 Pelaku Penangkapan
31
5.2 Metode Menjaring Kupu-Kupu
33
5.3 Pelaku Peredaran (Perdagangan) Kupu-Kupu
36
5.4 Aktivitas Peredaran (Perdagangan) Kupu-Kupu
39
5.5 Klasifikasi Kualitas dan Harga Kupu-Kupu
40
5.6 Upaya Budi Daya Kupu-Kupu
43
6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN
KOMERSIAL SATWA LIAR
6.1 Isi Peraturan Perundang-Undangan
47
6.2 Aliran Informasi dan Pemahaman Peraturan Perundang-Undangan 51
6.3 Dukungan Masyarakat
55
6.4 Pembagian Tugas dan Fungsi Instansi Terkait
56

7 PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL
KUPU-KUPU
7.1 Permasalahan Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu
7.2 Rumusan Penguatan Kelembagaan Pemanfaatan Komersial
Kupu-Kupu
8 SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
8.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

65
72
77
78
79
85
99

DAFTAR TABEL
2.1 Jenis-jenis tumbuhan pakan larva kupu-kupu
2.2 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin, luas wilayah dan
kepadatan penduduk di lokasi penelitian
3.1 Informan penelitian
3.2 Waktu pengamatan aktivitas penangkapan kupu-kupu di lokasi
penelitian tahun 2013
4.1 Jumlah jenis dan individu kupu-kupu hasil tangkapan berdasarkan
famili di lokasi penelitian
4.2 Jumlah jenis kupu-kupu berdasarkan kelompok famili menurut
beberapa hasil penelitian
4.3 Jumlah spesies dan individu kupu-kupu berdasarkan kelompok famili
pada setiap lokasi pengamatan
4.4 Jumlah spesies dan individu kupu-kupu berdasarkan kelompok famili
pada setiap bulan pengamatan
4.5 Jumlah individu berdasarkan rasio kelamin 4 jenis kupu-kupu
dominan di lokasi penelitian
4.6 Jumlah individu kupu-kupu yang dilindungi menurut jenis kelamin
di lokasi pengamatan
4.7 Jumlah spesies dan individu kupu-kupu hasil tangkapan yang belum
ditetapkan kuota penangkapannya berdasarkan kelompok famili
5.1 Jumlah penangkap (orang) berdasarkan hasil pengamatan menurut
kelompok usia dan anggota pengumpul pedagang di lokasi penelitian
5.2 Jumlah penangkap (orang) berdasarkan hasil wawancara menurut
kelompok usia dan anggota pengumpul pedagang di lokasi penelitian
5.3 Metode dan teknik menjaring kupu-kupu di lokasi penelitian
5.4 Jumlah pengrajin dan penjual souvenir kupu-kupu berdasarkan hasil
pengamatan di lokasi penelitian (orang)
5.5 Klasifikasi kualitas spesimen kupu-kupu yang diperdagangkan
5.6 Jumlah spesimen kupu-kupu berdasarkan kelas kualitas yang
dikumpulkan oleh pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang
5.7 Harga rata-rata beberapa jenis kupu-kupu kualitas A1dan A2 menurut
jenis kelamin pada tingkat penangkap dan pengumpul pedagang (Rupiah)
6.1 Matriks kecukupan isi peraturan perundang-undangan pemanfaatan
satwa liar
6.2 Tingkat pemahaman informan aparatur pemerintah terhadap peraturan
perundang-undangan pemanfaatan satwa liar
6.3 Tingkat pemahaman para penangkap dan pengumpul pedagang terhadap
peraturan perundang-undangan pemanfaatan satwa liar
6.4 Pelaksanaan tugas dan fungsi Ditjen PHKA terkait pemanfaatan
komersial kupu-kupu
6.5 Pelaksanaan tugas dan fungsi LIPI terkait pemanfaatan komersial
kupu-kupu
6.6 Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel
terkait pemanfaatan komersial kupu-kupu

13
14
19
20
24
24
25
26
27
28
29
32
32
34
38
41
41
42
48
52
54
58
62
63

6.7 Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Maros terkait pemanfaatan komersial kupu-kupu
7.1 Indikator kinerja harapan dan indikator kinerja faktual pemanfaatan
komersial kupu-kupu di lokasi penelitian

63
65

DAFTAR GAMBAR
1.1
3.1
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6

Kerangka pemikiran penelitian
Peta lokasi penelitian
Jenis Graphium milon pada pasir yang diberi umpan air seni
Metode menjaring kupu-kupu tanpa umpan
Kupu-kupu hasil tangkapan
Bagan alir tata niaga kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul
Produk souvenir gantungan kunci
Kepompong yang dipelihara oleh pengumpul pedagang

6
17
34
35
35
36
40
44

DAFTAR LAMPIRAN
1

Jumlah individu per jenis kelamin spesies kupu-kupu hasil tangkapan
berdasarkan famili di lokasi penelitian
2 Daftar kuota tangkap kupu-kupu untuk wilayah kerja Balai Besar
KSDA Sulsel tahun 2009 hingga 2013
3 Pelaksanaan kewajiban penangkap dan pengumpul pedagang kupu-kupu
menurut Kepmenhut 447/2003
4 Pelaksanaan tugas dan fungsi Balai Besar KSDA Sulsel terkait
pemanfaatan komersial kupu-kupu menurut Kepmenhut 447/ 2003

87
90
93
95

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kupu-kupu merupakan satwa liar (SL) dari kelas serangga (Insecta) yang
memiliki warna dan bentuk sayap yang indah. Di alam, kupu-kupu memiliki nilai
penting, yaitu sebagai penyerbuk pada proses pembuahan bunga, sehingga secara
ekologis turut memberi andil dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem
dan memperkaya keanekaragaman hayati. Secara ekonomi, kupu-kupu
mempunyai nilai jual yang tinggi dan merupakan obyek rekreasi yang menarik.
Potensi ekonomi inilah yang menyebabkan kupu-kupu banyak ditangkap dari
habitat alam untuk dinikmati keindahannya maupun dikoleksi sebagai kenangkenangan, atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan tropis diperkirakan memiliki
kekayaan jenis kupu-kupu mencapai 2.500 jenis, dengan tingkat endemisitas yang
tinggi yaitu mencapai 35 % dari jumlah total jenisnya (Peggie 2011). Pulau
Sulawesi memiliki 560 jenis kupu-kupu, 42 persen diantaranya endemik
(Soehartono dan Mardiastuti 2003). Kawasan Bantimurung yang terletak di
Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan identik dengan kupu-kupu, sehingga
penjelajah asal Inggris Alfred Russel Wallace (1890) dalam bukunya The Malay
Archipelago menyebutkan Bantimurung sebagai Kerajaan Kupu-Kupu (Kingdom
of The Butterflies). Pada saat itu, ia menemukan 256 jenis kupu-kupu di kawasan
tersebut.
Dalam perkembangannya, jumlah jenis kupu-kupu terus menurun. Mattimu
et al. (1977) melaporkan hasil temuannya sebanyak 103 jenis kupu-kupu dan
Achmad (2002) pada tahun 1995 juga melakukan inventarisasi pada kawasan
yang sama, tetapi jumlah jenis kupu-kupu hanya tinggal sekitar 80 jenis. Salah
satu faktor penyebabnya diduga akibat kegiatan pemanfaatan komersial (Achmad
2002; Hamidun 2008; Sumah 2012). Pemanfaatan komersial yang dimaksud
adalah untuk tujuan perdagangan yang dilakukan melalui penangkapan dari
habitat alam. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan jenis SL menurut Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 19991 yang bertujuan agar jenis satwa liar dapat
didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat belum
sepenuhnya efektif.
Pemanfaatan komersial kupu-kupu dari habitat alam di daerah penyangga
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) Kabupaten Maros telah
dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1970-an2 dan masih terus berlangsung
sampai saat ini. Hal tersebut juga berkaitan erat dengan keberadaan kawasan
Bantimurung sebagai lokasi wisata, sehingga permintaan akan kupu-kupu awetan
oleh para pengunjung cukup tinggi. Bagi sebagian masyarakat di daerah
penyangga TN Babul, pemanfaatan komersial kupu-kupu dari habitat alam
merupakan mata pencaharian tetap dan memberikan hasil yang cukup besar.
Tingginya aktivitas penangkapan kupu-kupu diduga menyebabkan beberapa
jenis mengalami penurunan populasi dan peluang untuk menghasilkan keturunan
1
2

PP 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang kupu-kupu di Kecamatan
Bantimurung.

2
menjadi kecil sehingga ancaman kepunahannya menjadi tinggi (Achmad 2002).
Kegiatan penangkapan kupu-kupu yang berlebihan, apalagi tanpa
mempertimbangkan keseimbangan populasinya di alam, pada akhirnya akan
berdampak negatif terhadap kelestarian kupu-kupu itu sendiri, sehingga sumber
daya kupu-kupu di habitatnya mengalami tekanan dan bahkan sangat mungkin
pada suatu waktu masyarakat akan kehilangan sumber daya ini.
Sumber daya kupu-kupu di habitat alam adalah sebagai sumber daya
bersama (common pool resources, CPRs3). Sumber daya bersama menurut
Dharmawan dan Daryanto (2002) adalah sumber daya yang secara de facto tidak
dimiliki atau diawasi secara eksklusif oleh satu orang pemilik atau satu kelompok
pemilik. Oleh sebab itu menurutnya, pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatan
tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas dan
prospek sumber daya tersebut, sehingga tidak memiliki insentif untuk membuat
keputusan investasi dan alokasi sumber daya yang efisien. Eksploitasi sumber
daya bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang lebih dahulu dan mengeruk
terus menerus manfaat (keuntungan) yang bisa diperoleh, dengan mengabaikan pihak
lain dan efek yang ditimbulkannya.
Praktik penangkapan kupu-kupu secara bebas dari alam jelas tidak akan
memberikan insentif untuk mempraktikkan penangkapan secara selektif. Perilaku
yang demikian juga meniadakan insentif bagi pengembangbiakan buatan dalam
bentuk penangkaran atau budi daya lainnya, yang dampaknya beresiko terhadap
populasi kupu-kupu dalam jangka panjang. Dalam sumber daya bersama, apabila
seseorang yang merasakan manfaat, kemudian mengembangbiakan populasi
kupu-kupu melalui pengembangan habitat dan penyediaan tumbuhan pakan, tidak
menjamin bahwa hanya orang tersebut yang boleh memanfaatkan hasil dari
keberadaan kupu-kupu. Orang lain yang tidak berkontribusi juga dapat menerima
manfaat tanpa harus ikut menanggung biaya untuk pengadaannya. Perilaku ini
disebut dengan free riders (pengguna gratis).
Ketidakjelasan tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan kupu-kupu,
belum adanya penerapan aturan serta penegakan sanksi secara konsisten
menunjukkan bahwa kelembagaan4 dalam alokasi sumber daya alam hayati
tersebut tidak berfungsi, sehingga menimbulkan inefisiensi dan mengancam
kelestariannya. Kelembagaan yang tidak berfungsi tersebut menjadi salah satu
sebab terjadinya tekanan terhadap populasi kupu-kupu di habitat alam yang pada
akhirnya berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam
tentang bagaimana kelembagaan berupa peraturan perundang-undangan
pemanfaatan SL berperan mengendalikan perilaku masyarakat dalam kegiatan
pemanfaatan komersial kupu-kupu. Keberadaan peraturan perundang-undangan
pemanfaatan SL tidak dapat menjamin kinerja yang baik, jika peraturan
perundang-undangan yang diterapkan tidak sesuai dengan situasi yang ada.
3

4

Common pool resources (CPRs) adalah karakteristik sumber daya alam yang memiliki
excludability rendah (secara fisik seseorang sangat sulit untuk membatasi orang lain dalam
memanfaatkan barang/sumber daya tersebut) dan subtractability tinggi (barang/sumber daya
tersebut mudah berkurang karena pemanfaatan) (Buck 1998; Berge 2003).
Kelembagaan adalah sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau
komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab baik secara individu maupun sebagai
kelompok (Schmid 1987).

3
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan kenapa individu, kelompok masyarakat, dan pihak-pihak lain
yang terlibat membuat keputusan produksi, alokasi dan konsumsi tidak kondusif
terhadap pemanfaatan sumber daya sangat ditentukan oleh gugus kesempatan
yang tersedia dalam lingkungannya. Menurut North (1990) gugus kesempatan
tersebut bergantung pada aturan main yang ada, baik yang bersifat formal maupun
informal. Aturan main formal antara lain dalam bentuk kebijakan formal.
Kebijakan formal adalah keputusan-keputusan yang dikodifikasi secara tertulis
dan disahkan atau diformalkan agar dapat berlaku (Nugroho 2013). Seluruh aturan
main tersebut merupakan bentuk kelembagaan yang menentukan interdependensi
antar individu atau kelompok masyarakat yang terlibat (Schmid 1987; North
1990; Barzel 1991). Kelembagaan merupakan instrumen yang mengatur hubungan
antar individu atau kelompok masyarakat dan mengatur apa yang dilarang
dikerjakan oleh seseorang atau dalam kondisi bagaimana seseorang dapat
mengerjakan sesuatu (North 1990).
Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka di dalam penelitian ini
masalah kelembagaan yang dimaksud meliputi dua aspek utama yaitu
kelembagaan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai organisasi (lembaga).
Kelembagaan sebagai aturan main dalam hal ini berupa ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur pemanfaatan jenis SL, antara lain adalah: (a)
UU 5/19905; (b) PP 8/1999; (c) PP 38/20076; (d) Kepmenhut 447/20037; dan (e)
Permen LH 29/20098.
Sementara sebagai organisasi, berdasarkan pasal 65 PP 8/1999, departemen
yang bertanggungjawab di bidang Kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas
Pengelola (Management Authority) konservasi tumbuhan dan SL dan Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ditetapkan sebagai Otoritas Keilmuan
(Scientific Authority). Selanjutnya melalui Kepmenhut Nomor 104/Kpts-II/2003,
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA)
ditunjuk sebagai pelaksana Otoritas Pengelola CITES9 di Indonesia.
Pengaturan pemanfaatan SL diawali dengan penetapan kuota penangkapan
SL dari habitat alam yang merupakan batas maksimal jenis dan jumlah spesimen
SL yang dapat ditangkap dari habitat alam. Kuota ditetapkan oleh Dirjen PHKA
berdasarkan rekomendasi LIPI untuk setiap kurun waktu 1 (satu) tahun takwim
untuk spesimen, baik yang termasuk maupun tidak termasuk dalam daftar
Appendix CITES, jenis yang dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang.
Ketersediaan data potensi SL yang menggambarkan populasi dan penyebaran
setiap jenis masih sangat terbatas sehingga merupakan hambatan bagi otoritas
5

UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
7
Kepmenhut 447/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran
Tumbuhan dan Satwa Liar.
8
Permen LH 29/2009 tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah.
9
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora)
adalah konvensi (perjanjian) internasional yang bertujuan untuk membantu pelestarian populasi
di habitat alamnya melalui pengendalian perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan
satwa.
6

4
keilmuan dalam memberikan rekomendasi kepada otoritas pengelola bagi
penetapan kuota penangkapan secara optimal.
Sementara menurut PP 38/2007, pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak
dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES menjadi kewenangan
pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah provinsi memiliki kewenangan
pengawasan pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak dilindungi dan tidak
termasuk dalam Appendix CITES.
Ketentuan Kepmenhut 447/2003 telah mengatur peran dan fungsi Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk melaksanakan penilaian
keberhasilan pemanfaatan, melakukan pembinaan dan pengendalian, pengawasan
peredaran di dalam negeri maupun ke luar negeri dalam wilayah kerjanya.
Merujuk pada Keputusan Menteri tersebut, secara legal formal, BKSDA telah
diakui menjadi sebuah entitas tata kelola pemanfaatan SL. Dengan demikian
BKSDA mempunyai otoritas secara teknis administratif untuk memaksimalkan
kewenangan yang dimilikinya. Pada tataran konseptual, dengan adanya peraturan
tersebut, idealnya segenap perangkat organisasi BKSDA dapat menjalankan
fungsi administrasi, fungsi regulasi, fungsi pelayanan publik, maupun fungsi
pengawasan. Namun demikian, realitas praktis berkebalikan dengan asumsi
konseptual itu. Balai KSDA di wilayah kerja hanya menghadirkan tata kelola
dalam derajat yang minimalis, artinya fungsi-fungsi tersebut belum seluruhnya
dilaksanakan. Hal ini tercermin dari belum sepenuhnya ketentuan peraturan
perundang-undangan pemanfaatan SL dapat diimplementasikan. Berpijak pada
paparan praktis di atas, penguatan tata kelola pemanfaatan SL sangat diperlukan.
Aktivitas pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul
Kabupaten Maros yang masih berlangsung, belum sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ketidaksesuaian
tersebut adalah tidak dilengkapi dengan izin, tidak mematuhi kuota penangkapan,
tidak sesuai dengan lokasi penangkapan dan waktu yang ditentukan, serta
dilakukan oleh perorangan atau kelompok yang dianggap belum mampu secara
teknis dan terampil melakukan penangkapan sehingga menyebabkan
terganggunya populasi serta habitatnya di alam.
Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa ketentuan peraturan perundangundangan pemanfaatan SL belum menyelesaikan permasalahan yang
sesungguhnya. Padahal, peraturan perundang-undangan bertujuan untuk
menciptakan tertib pemanfaatan SL termasuk mekanisme penegakan hukum dan
sanksi sebagaimana diatur dalam UU 5/1990, PP 8/1999 dan Kepmenhut
447/2003. Semua permasalahan yang diuraikan di atas mengindikasikan bahwa
negara dalam hal ini pemerintah selaku pihak yang menguasai kekayaan alam
termasuk SL kupu-kupu di habitat alam, belum berhasil melakukan pengelolaan
pemanfaatan sebagaimana yang diharapkan.
Penelitian ini dilaksanakan dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan
mengapa kelembagaan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundangundangan dan lembaga pemerintah yang mengatur pemanfaatan SL termasuk
dalam hal ini pemanfaatan komersial kupu-kupu, belum sepenuhnya mampu
mengarahkan perilaku masyarakat dan para pihak yang terkait ke arah
pemanfaatan kupu-kupu secara lestari.
Kupu-kupu merupakan salah satu sumber daya hayati yang diminati
sebagian masyarakat di daerah penyangga TN Babul, sehingga penangkapannya

5
dari habitat alam selalu berlanjut tanpa henti. Penangkapan SL tersebut didasarkan
pada nilai. Nilai yang dicari oleh para pemanfaat kupu-kupu ini adalah nilai
ekonomi yang terdapat pada SL tersebut. Karakteristik sumber daya kupu-kupu
terutama kelimpahan jenis, seks rasio, dan status pemanfaatan kupu-kupu yang
diperdagangkan (komersial) perlu diketahui. Karakteristik pemanfaatan melalui
penangkapan dan peredaran/perdagangan kupu-kupu oleh masyarakat juga perlu
diketahui.
North (1990) dan Agrawal (2001) menyatakan bahwa permasalahan yang
yang harus diperhatikan dan sangat krusial adalah berkenaan dengan aturan
formal, karena aturan formal menentukan perilaku individu/kelompok. Aturan
formal mengatur hubungan antar pemanfaat dengan sumber daya yang
dimanfaatkan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait dengan pemanfaatan
sumber daya. Oleh sebab itu, permasalahan yang terkait dengan aturan formal
perlu diketahui. Sejauh mana kewenangan lembaga yang terkait, serta keefektifan
implementasi terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan komersial SL
kupu-kupu.
Pemahaman terhadap karakteristik sumber daya kupu-kupu, karakteristik
masyarakat pemanfaat dan aktivitasnya, serta peraturan perundang-undangan akan
sangat bermanfaat dalam menyusun kelembagaan yang efektif untuk mencapai
kinerja yang diharapkan, yaitu pemanfaatan komersial kupu-kupu yang terjamin
kelestariannya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
Beberapa pokok permasalahan yang perlu dijawab dalam rangka
meningkatkan kinerja pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN
Babul Kabupaten Maros, adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah karakteristik sumber daya kupu-kupu yang dimanfaatkan secara
komersial?
2. Bagaimanakah karakteristik pemanfaatan meliputi penangkapan dari alam dan
peredaran komersial kupu-kupu?
3. Sejauh mana keefektifan implementasi peraturan perundang-undangan
pemanfaatan SL kaitanya dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu?
4. Bagaimanakah kelembagaan yang efektif yang harus disusun untuk
mengendalikan pemanfaatan komersial kupu-kupu secara lestari?
1.3 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Penelitian
Satwa liar kupu-kupu di habitat alam merupakan sumber daya bersama
(common pool resources, CPRs) yang di Indonesia pengaturannya di bawah rezim
kepemilikan negara. Menurut Ellsworth (2004), rezim kepemilikan negara adalah
bentuk pengelolaan sumber daya alam yang pemiliknya adalah lembaga publik
atau organisasi pemerintah yang diberi kuasa oleh negara. Hak kepemilikan
negara memiliki ciri pengaturannya dilaksanakan pemerintah. Pengaturan oleh
pemerintah ini harus menjamin masyarakat untuk memperoleh hak untuk
memanfaatkan secara berkeadilan. Pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah
penyangga TN Babul didasarkan pada peraturan perundang-undangan tertentu.
Siapa yang dapat menjadi pemegang hak (izin) ditentukan oleh kaidah peraturan
perundang-undangan, sedangkan kewajiban pemegang izin ditujukan untuk
memelihara tujuan sosial (Ellsworth 2004).
Ostrom (2008) menyatakan bahwa kinerja pengelolaan sumber daya
bersama (CPRs) tidak hanya ditentukan oleh tersedianya kebijakan yang mengatur

6
bagaimana sumber daya tersebut harus dikelola dan prosedur administrasi yang
harus dilalui (peraturan perundang-undangan), tetapi juga ditentukan oleh kondisi
fisik material (karakteristik sumber daya) dan atribut komunitas (karakteristik
pemanfaat). North (1990) dan Agrawal (2001) menjelaskan bahwa aturan formal
dan informal mengarahkan perilaku individu/organisasi dalam hubungannya
dengan sumber daya, sementara perilaku individu/organisasi merupakan faktor
kunci yang menentukan keberhasilan pengelolaan sumber daya, tidak terkecuali
dalam pemanfaatan komersial kupu-kupu. Hal ini berarti bahwa perilaku
pelaksana peraturan perundang-undangan dan perilaku individu/kelompok
masyarakat pemanfaat sebagai kelompok sasaran berperan dalam keberhasilan
pengelolaan pemanfaatan sumber daya kupu-kupu.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, disusun kerangka pemikiran
penelitian yang merupakan kerangka analisis kelembagaan sebagaimana disajikan
pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Kerangka pemikiran penelitian
(dimodifikasi dari Basuni 2003)
Kerangka analisis kelembagaan yang digunakan dalam penelitian ini
mengadaptasi konsep analisis yang dikemukakan oleh Heltberg (2001) dan
Oakerson (1992). Analisis kelembagaan dalam penelitian ini dilakukan melalui
beberapa tahap: 1) analisis karakteristik spesifik tentang sumber daya kupu-kupu
yang dimanfaatkan secara komersial; 2) analisis karakteristik pemanfaatan
komersial kupu-kupu meliputi penangkapan dari habitat alam dan aktivitas
peredaran (perdagangan); 3) analisis isi peraturan perundang-undangan
pemanfaatan SL dan keefektifan implementasinya; 4) perilaku pemanfaat kupukupu dan pelaksana peraturan; dan 5) analisis kinerja pemanfaatan komersial
kupu-kupu.
Karakteristik spesifik sumber daya akan mempengaruhi fungsi peraturan
dalam mengelola sumber daya. Karakteristik sumber daya, karakteristik
pemanfaat dan peraturan perundang-undangan akan mempengaruhi pola
pemanfaatan sumber daya. Sedangkan pola pemanfaatan sumber daya akan
mempengaruhi perilaku pelaksana peraturan dan pemanfaat sumber daya,
sehingga pada akhirnya mempengaruhi kinerja.

7
Indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja pemanfaatan komersial
kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros adalah : (1)
Penangkapan kupu-kupu dilakukan dengan memperhatikan kelestarian (tidak
melampaui kuota yang telah ditetapkan) dan tidak menyebabkan kerusakan pada
spesimen kupu-kupu yang ditangkap; (2) Cara menangkap kupu-kupu tidak
menyebabkan terganggunya atau rusaknya populasi dan habitat di alam; (3)
Penangkapan dan peredaran spesimen kupu-kupu harus sesuai dengan izin
termasuk lokasi penangkapan dan musim perkembangbiakan, serta dilakukan oleh
perorangan atau kelompok yang dianggap mampu secara teknis atau terampil
dalam melakukan penangkapan; serta (4) Penerapan peraturan dan sanksi
dilakukan secara konsisten oleh lembaga yang bertanggungjawab.
Bila kinerja tidak sesuai dengan yang diharapkan, berarti kelembagaan
tersebut belum dapat mengarahkan perilaku masyarakat dan pihak-pihak yang
terlibat untuk mencapai kinerja yang diharapkan (Basuni 2003). Menurut Pratiwi
(2008), ketika kelembagaan tidak berjalan atau kinerjanya dipertanyakan maka
diperlukan suatu langkah perbaikan. Salah satu langkah perbaikan adalah melalui
penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan merupakan usaha untuk
mengorganisasi ulang (reorganize) atau melakukan orientasi ulang terhadap
kelembagaan agar dapat berfungsi kembali secara efektif (Pratiwi 2008).
Penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu merupakan
bentuk rekayasa sosial yang ditujukan untuk memecahkan suatu masalah sosial
yang dihadapi dalam rangka mengatur alokasi sumber daya untuk mencapai
kinerja yang dikehendaki yaitu pemanfaatan komersial kupu-kupu secara lestari
dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Keluaran dari suatu penelitian
menunjang rekayasa sosial adalah pengetahuan mengenai preskripsi atau resep
yang dicirikan oleh suatu penelitian multi disiplin ilmu.
Pakpahan (1989) menyatakan: "...suatu penelitian rekayasa sosial dicirikan
oleh suatu penelitian yang bersifat lintas bidang. Kelompok disiplin bio-fisik
memegang peranan dalam menghasilkan pengetahuan positif dan kelompok
disiplin ilmu-ilmu sosial memegang peranan penting dalam menghasilkan
pengetahuan tentang nilai...". Pendekatan positivisme berguna untuk
mendapatkan pengetahuan bio-fisik antara lain mengenai populasi kupu-kupu
hasil tangkapan. Selain itu, pendekatan normativisme juga diperlukan, dalam hal
ini pengetahuan mengenai aktivitas penangkapan dan peredaran kupu-kupu serta
implementasi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL. Berdasarkan dua
pendekatan tersebut maka penelitian ini diharapkan menghasilkan suatu preskripsi
tentang penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu secara lestari
di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Mendeskripsikan dan menganalisis karakteristik sumber daya kupu-kupu
(Lepidoptera) yang dimanfaatkan secara komersial.
2. Mendeskripsikan dan menganalisis karakteristik pelaku, teknik penangkapan
dan perdagangan kupu-kupu.
3. Menganalisis isi teks peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
pemanfaatan komersial SL dan keefektifan implementasi di lapangan.

8
4. Merumuskan penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
1.5 Manfaat Penelitian
Informasi mengenai pemanfaatan komersial kupu-kupu terutama pada skala
lokal sangat sedikit sehingga dibutuhkan suatu penelitian. Karakteristik
pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul disadari tidak
dapat mewakili seluruh tingkat pemanfaatan komersial kupu-kupu di Provinsi
Sulawesi Selatan, akan tetapi hasil penelitian ini diharapkan dapat:
1. Menghasilkan informasi dan pengetahuan ilmiah yang berguna bagi para pihak
yang berkepentingan terutama bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam
merumuskan kebijakan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah
penyangga TN Babul Kabupaten Maros khususnya, serta kebijakan
pemanfaatan komersial kupu-kupu di Indonesia pada umumnya.
2. Berguna sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang akan meneliti
permasalahan yang berkaitan dengan pemanfaatan komersial SL kupu-kupu
dari habitat alam.
1.6 Kebaruan (Novelty)
Penelitian mengenai analisis kelembagaan pemanfaatan komersial kupukupu di daerah penyangga taman nasional belum pernah dilakukan, khususnya
ditinjau berdasarkan hal-hal berikut: pertama, karakteristik sumber daya kupukupu yang dimanfaatkan; kedua, karakteristik pelaku, teknik penangkapan dan
perdagangan kupu-kupu; dan ketiga, aturan-aturan formal terkait pemanfaatan SL
dan keefektifan implementasinya di lapangan. Kebaruan penelitian ini
menyangkut data yang diperoleh serta rumusan masalah dan alternatif solusi
terkait dengan penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di
daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros.
1.7 Definisi Operasional
1. Kebijakan adalah keputusan formal-legal-terkodifikasi yang dibuat oleh suatu
lembaga dan bersifat mengikat para pihak yang terkait dengan lembaga
tersebut.
2. Pemanfaatan komersial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pemanfaatan dalam bentuk penangkapan kupu-kupu dari habitat alam untuk
tujuan perdagangan.
3. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau
di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas
maupun yang dipelihara oleh manusia (UU 5/1990).
4. Penangkapan spesimen satwa liar adalah kegiatan memperoleh satwa liar dari
habitat alam.
5. Penangkap adalah orang atau individu yang melakukan kegiatan memperoleh
kupu-kupu dari habitat alam.
6. Usia sekolah adalah usia para penangkap dari usia 5 sampai 18 tahun.
7. Usia dewasa adalah usia para penangkap yaitu usia 19 tahun atau lebih.

9
8. Pengumpul pedagang adalah orang atau individu yang membeli atau
menampung hasil tangkapan para penangkap, mengolah kupu-kupu menjadi
produk souvenir, atau menjual kembali dalam bentuk kupu-kupu yang belum
atau sudah diolah.
9. Spesimen kupu-kupu adalah fisik satwa liar kupu-kupu dalam keadaan hidup
atau mati atau bagian-bagian dari padanya yang secara visual masih dapat
dikenali.
10. Jenis satwa liar adalah jenis yang secara ilmiah disebut spesies atau anak-anak
jenis yang secara ilmiah disebut sub-spesies baik di dalam maupun di luar
habitat aslinya.
11. Kuota adalah batas maksimum ukuran dan satuan satwa liar dari alam untuk
setiap jenis yang dapat dimanfaatkan selama satu tahun takwim.
12. Peraturan perundangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perangkat
regulasi formal terkait pemanfaatan komersial SL kupu-kupu, meliputi:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999
tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003
tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan
dan Satwa Liar, dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29
Tahun 2009 tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah.
13. Pelaku pemanfaatan kupu-kupu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
individu kepala keluarga dan atau anggota keluarga yang terdaftar sebagai
penduduk desa/kelurahan pada areal studi kasus.
14. Lembaga atau organisasi terkait adalah Balai Besar KSDA Sulsel, Dinas
Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Maros.
15. Perilaku adalah tindakan atau cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam
memanfaatkan satwa liar kupu-kupu, meliputi tata cara menangkap, musim
dan waktu menangkap, peralatan yang digunakan serta proses penanganan
spesimen kupu-kupu setelah ditangkap sampai dengan siap untuk dijual.
16. Perilaku harapan adalah tindakan atau cara masyarakat (warga) dalam
memanfaatkan kupu-kupu, yaitu: penangkapan sesuai dengan kuota yang
ditentukan dan tidak merusak populasinya di alam, penangkapan dan
peredaran sesuai dengan izin serta sesuai dengan lokasi dan musim
perkembangbiakan.
17. Kinerja adalah serangkaian proses mengenai apa dan bagaimana suatu
pekerjaan dilakukan serta hasil atau capaian prestasi yang dapat diperoleh dari
proses tersebut.
18. Kinerja harapan adalah hasil atau capaian akhir dari pemanfaatan komersial
kupu-kupu, yaitu kelestarian kupu-kupu di habitat alam serta pendapatan
masyarakat meningkat. Kinerja harapan dalam penelitian ini diukur dari
indikator kinerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Kepmenhut 447/2003.
19. Inventarisasi populasi adalah kegiatan mengumpulkan data lapangan yang
bertujuan untuk mengetahui atau menduga populasi suatu jenis, di tempat
tertentu, pada waktu tertentu dengan metode yang secara ilmiah berlaku.

10
20. Monitoring populasi adalah kegiatan mengumpulkan data lapangan yang
bertujuan untuk mengetahui kecenderungan naik atau turunnya populasi akibat
adanya penangkapan pada populasi suatu jenis di tempat tertentu, yang
dilakukan secara berulang dan teratur dengan metoda yang secara ilmiah
berlaku.
21. Nilai adalah sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan.
22. Observasi adalah merupakan kegiatan pasif yang biasa dipergunakan oleh
peneliti dengan tujuan menjelaskan obyek penelitian dalam hal atribut
atributnya.
23. Survei adalah cara mengumpulkan data primer dengan tujuan untuk meneliti
populasi secara langsung.
24. Wawancara adalah bentuk pengumpulan data dengan cara menanyakan secara
langsung kepada informan.

11

2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1 Letak dan Potensi Wisata
Secara administrasi pemerintahan, lokasi penelitian terletak di Desa
Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung; serta Desa Jenetaesa dan Desa Samangki,
Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Secara
geografis areal penelitian ini terletak antara 119°37’30”–119°45’00” Bujur Timur
dan antara 4°57’43”–5°06’08” Lintang Selatan. Lokasi penelitian ini merupakan
daerah penyangga bagi kawasan TN Babul.
Kawasan TN Babul ditunjuk oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 18
Oktober 2004 melalui SK.398/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung–Bulusaraung seluas ±
43.750 Ha terdiri dari Cagar Alam seluas ± 10.282,65 Ha, Taman Wisata Alam
seluas ± 1.624,25 Ha, Hutan Lindung seluas ± 21.343,10 Ha, Hutan Produksi
Terbatas seluas ± 145 Ha, dan Hutan Produksi Tetap seluas ± 10.335 Ha yang
terletak di Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi Sulsel menjadi TN Babul.
Di kawasan Bantimurung terdapat air terjun yang sudah sangat dikenal
kalangan masyarakat di Sul