Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu Kupu di Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan

(1)

ANALISIS KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL

KUPU-KUPU DI DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL

BANTIMURUNG BULUSARAUNG KABUPATEN MAROS

PROVINSI SULAWESI SELATAN

MUHAMMAD ARIF MUHAMMADIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu di Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014 Muhammad Arif Muhammadiyah


(3)

MUHAMMAD ARIF MUHAMMADIYAH. Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu di Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, BURHANUDDIN MASY'UD dan DAMAYANTI BUCHORI.

Pemanfaatan komersial kupu-kupu dari habitat alam di Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1970-an dan masih terus berlangsung sampai saat ini. Pemanfaatan komersial kupu-kupu melalui penangkapan dari habitat alam diduga merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan jumlah jenis dan ukuran populasi kupu-kupu. Kinerja kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu sebagai sumber daya bersama

(common pool resources, CPRs) diindikasikan oleh kelestarian sumber daya

kupu-kupu di habitat alam dan peningkatan pendapatan masyarakat. Kinerja tersebut ditentukan oleh karakteristik sumber daya, karakteristik komunitas pemanfaat, serta peraturan perundang-undangan.

Penelitian ini bertujuan: (1) mendeskripsikan dan menganalisis karakteristik sumber daya kupu-kupu (Lepidoptera) yang dimanfaatkan secara komersial; (2) mendeskripsikan dan menganalisis karakteristik pelaku, teknik penangkapan dan perdagangan kupu-kupu; (3) menganalisis isi teks peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan komersial satwa liar dan keefektifan implementasi di lapangan; serta (4) merumuskan penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Analisis penguatan kelembagaan menggunakan analisis tema yang dilakukan berdasarkan hasil kajian untuk mencapai tujuan penelitian (1), (2), dan (3), selanjutnya dirumuskan permasalahan kelembagaan serta solusi penguatan kelembagaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para penangkap menangkap seluruh individu kupu-kupu yang dijumpai di alam. Rasio kelamin kupu-kupu hasil tangkapan menunjukkan jumlah jantan lebih banyak dibandingkan dengan betina. Terdapat 838 individu kupu-kupu hasil tangkapan dari 89 jenis, yang tergolong dalam famili Nymphalidae 52 jenis, Papilionidae 16 jenis, Pieridae 16 jenis, dan

Lycaenidae 5 jenis. Kupu-kupu hasil tangkapan tersebut termasuk 4 jenis

kupu-kupu yang dilindungi, 3 diantaranya dari genus Troides yang tergolong Appendix

II CITES. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari jenis kupu-kupu hasil

tangkapan tersebut, terdapat jenis-jenis yang belum ditetapkan kuotanya, yaitu dari famili Nymphalidae sebanyak 30 jenis, Pieridae 9 jenis, Lycaenidae 5 jenis,

dan Papilionidae 1 jenis.

Seluruh penangkap kupu-kupu di lokasi penelitian tidak memiliki izin tangkap. Para penangkap tersebut tidak terdefenisikan dengan jelas, dan tidak ada pembatasan jumlah penangkap sehingga memungkinkan siapa saja dapat melakukan penangkapan kupu-kupu. Alat penangkapan yang digunakan adalah jaring. Metode menjaring kupu-kupu terdiri atas 2 macam, yaitu dengan cara menggunakan umpan berupa air seni atau kupu-kupu mati, serta cara menjaring langsung tanpa menggunakan umpan. Lokasi penangkapan di luar batas kawasan


(4)

atau kebun milik masyarakat. Waktu penangkapan adalah setiap hari yang

dilakukan pada pukul 08.00−15.00.

Pelaku perdagangan kupu-kupu di daerah penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terdiri atas para penangkap, pengumpul pedagang, pengrajin souvenir, penjual souvenir, pembeli setempat, pembeli dari luar provinsi, dan kolektor luar negeri. Pengumpul pedagang memiliki peran yang sentral dalam aliran perdagangan kupu-kupu. Kupu-kupu yang diperdagangkan terdiri atas kualitas A1, A-, A2, dan A3. Kualitas kupu-kupu sangat ditentukan oleh cara menangkap, penanganan spesimen setelah ditangkap, serta kondisi kupu-kupu di alam sebelum ditangkap. Harga kupu-kupu yang diperdagangkan bervariasi, bergantung pada kualitas, jenis, jenis kelamin, dan ukurannya.

Terdapat sedikitnya 4 (empat) peraturan perundang-undangan yang mengatur pemanfaatan komersial satwa liar. Peraturan perundang-undangan tersebut belum efektif mengendalikan perilaku aparatur pemerintah maupun masyarakat dalam pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros, karena belum diimplementasikan secara keseluruhan oleh para pelaksana peraturan maupun oleh masyarakat pemanfaat sebagai kelompok sasaran. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya pemahaman atas isi peraturan perundang-undangan, tidak ada ketentuan sanksi yang jelas bagi siapa-siapa yang tidak memiliki izin dan melakukan perdagangan satwa liar yang tidak dilindungi, sehingga menyebabkan aparatur di lapangan tidak melakukan tindakan dan memberikan sanksi atas pelanggaran yang terjadi. Isi Kepmenhut 447/2003 masih sangat umum dan menyangkut objek yang sangat luas, yaitu mencakup seluruh jenis tumbuhan dan satwa liar. Sementara pemanfaatan satwa liar kupu-kupu membutuhkan peraturan yang lebih detail, sebab satwa liar ini memiliki siklus hidup yang spesifik, dan memiliki musim perkembangbiakan. Substansi peraturan bila dilaksanakan menimbulkan biaya transaksi tinggi, mulai dari biaya informasi, pengawasan, penegakan peraturan, pengendalian para pihak, maupun biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh kelompok sasaran untuk memperoleh hak dalam pemanfaatan.

Penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros dilakukan melalui upaya: (1) pendelegasian wewenang pengaturan pemanfaatan jenis kupu-kupu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk Appendix

CITES kepada Pemerintah Kabupaten Maros sebagaimana diatur dalam PP

38/2007; (2) penyusunan aturan operasional pemanfaatan komersial kupu-kupu yang memuat antara lain tentang: batasan sumber daya kupu-kupu yang dapat dimanfaatkan; batasan pelaku pemanfaatan; aktivitas pemanfaatan; mekanisme pengawasan dan sanksi; serta (3) izin penangkapan dan izin peredaran kupu-kupu untuk tujuan komersial diberikan kepada para pengumpul pedagang dengan mendaftarkan seluruh penangkap yang dikoordinirnya secara periodik. Peningkatan kapasitas Forum Pelestari Kupu-Kupu perlu dilakukan mengingat tingkat inisiatif dalam menyusun program-program aksi yang terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu secara lestari masih lemah, yaitu dengan cara pendampingan dan memberikan asistensi teknis serta permodalan.


(5)

MUHAMMAD ARIF MUHAMMADIYAH. Institutional Analysis of butterfly commercial utilization in Bantimurung Bulusaraung National Park Buffer Zone Maros Regency, South Sulawesi Province. Supervised by SAMBAS BASUNI, BURHANUDDIN MASY'UD and DAMAYANTI BUCHORI.

Butterfly trades and its commerce has been the source of income for many in habitats surrounding Bantimurung Bulusaraung National Park Maros Regency, South Sulawesi. The activites started as early as 1970s and still continues to the present time. Unfortunately, the extent of commercial utilization seems to threat the conservation of butterflies, in fact, it has been strongly linked with the causes for the decline of both species number and population size. The sustainability of butterfly commerce is very important for the livelihood of the community and its level of sustainability can be measured by the extent of conservation of the butterflies in the field. Overall, three factors have been diagnosed as having strong influence on butterfly conservation, i.e. the resource characteristics, the

communities’ characters, and regulations of local natural resources.

The objective of this research are: (1) to study and analyze butterfly trading in the area, which includes descriptions of the species that are being traded commercially; (2) to describe and analyze the typologies of butterfly hunters, the hunting techniques and butterfly trades; (3) to analyze the regulation on wildlife commercial utilization and its implementation in the field; and (4) to study the factors influencing institutional strength for butterfly commercial utilization in Maros Regency, South Sulawesi.

The results of the research revealed that all hunters caught all their specimens from the forests. Most of the butterflies caught are males, Altogether, 89 spp of butterflies were caught during a period of three months. Of the 838 butterfly specimens caught, 52 spp belongs to the Nymphalidae family, Papilionidae (16 species), Pieridae (16 species), and Lycaenidae (5 species). Four species belong to the protected category: 3 of which were from Troides genus which belongs to Appendix II CITES. Research result also showed that among the butterflies caught, there were a number of species whose quota were not yet determined; namely Nymphalidae family (as many as 30 species), Pieridae (9 species), Lycaenidae (5 species), and Papilionidae (1 species).

Must butterfly hunters did not have catching permit. In fact, there are no clear regulation that controls the numbers of hunters, the numbers of catches that are permitted, and the frequency of the hunters to enter the forests. Most hunters collect butterflies using the standard tool of a net. Sometimes they also use bait to capture the butterflies, such as urine or dead butterflies. Most of the hunting activities were located outside Bantimurung Bulusaraung National Park, mainly in

the public area or the community’s garden. Most hunters hunt around 08.00−15.00

everyday.

The agents involved in the trading comprised of the hunters, the middle-man, souvenir makers, local buyers, buyers from other provinces, and foreign collectors. It was worth noting that the middle men played a vital role in this butterfly trading cycle. Butterflies traded belonged to A1, A-, A2, and A3 qualities. The quality of butterflies was largely determined by ways of catching,


(6)

prices of butterflies varied, depending on quality, species, sexes, and sizes.

There are no less than four regulations managing wild animal commercial utilization; however, they are not effective in controlling behavior of not only society but also government agency in butterfly commercial utilization in Maros Regency, as they have not been entirely implemented by regulation perpetrators and society as the target group. This is due to inadequate understanding upon regulation content, and the absence of obvious sanctions for those having no license and trading unprotected wild animal, so that government agency did not perform any action nor give any sanction upon existing violation. The content of Forestry Ministry Decree (Kepmenhut) of 447/2003 is broadly general and covers relatively extensive objects; namely, all flora and wild fauna species. In fact, wild butterfly utilization definitely requires more detail regulations, since these wild animals posses specific life cycle and breeding season. When regulations are carried out, high cost transaction will be required, ranging from the cost for information, supervision, law enforcement, management of all sides and other costs required to be spent by target groups to obtain utilization right.

Institution strengthening of butterfly commercial utilization in Maros Regency was carried out through a number of efforts: (1) delegating authorities for managing utilization of unprotected butterfly species and those not listed in Appendix CITES to Maros Regency government as arranged in PP 38/2007; (2) arranging operational regulation for butterfly commercial utilization, containing, among others, limitation on utilizable butterfly resources; restriction on users; utilization activities; and sanction mechanism; and also (3) providing license for butterfly catching and circulation for commercial given to all middle men, by registering all catchers organized periodically. Increasing capacity of "Forum Pelestari Kupu-Kupu" needed to be performed regarding level of initiative in arranging action programs related to fragile butterfly commercial utilization by supervision and technical and capital assistance.


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini


(8)

ANALISIS KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL

KUPU-KUPU DI DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL

BANTIMURUNG BULUSARAUNG KABUPATEN MAROS

PROVINSI SULAWESI SELATAN

MUHAMMAD ARIF MUHAMMADIYAH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian:

Tertutup : 1. Dr Arif Satria, SP, MSi

2. Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScF

Terbuka : 1. Dr Ir Novianto Bambang W., MSi 2. Dr Ir Nandi Kosmaryandi, MScF


(10)

Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan

Nama : Muhammad Arif Muhammadiyah NIM : E361100021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua

Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS

Anggota

Prof Dr Ir Damayanti Buchori, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Dr Ir Burhanuddin Masy'ud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga September 2013 ini ialah analisis kelembagaan, dengan judul Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu di Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Sambas Basuni MS, Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy'ud MS dan Ibu Prof Dr Ir Damayanti Buchori MSc selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Pusat Diklat Kehutanan Kementerian Kehutanan yang telah membiayai pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih kepada Kepala Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan, Kepala Balai TN Babul, beserta staf serta masyarakat pemanfaat kupu-kupu di daerah penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri Ilyana Ilyas S.Hut., anak Muhammad Dzaky Arif, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014


(12)

DAFTAR TABEL xvi

DAFTAR GAMBAR xvii

DAFTAR LAMPIRAN xvii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Penelitian 5

1.4 Tujuan Penelitian 7

1.5 Manfaat Penelitian 8

1.6 Kebaruan (Novelty) 8

1.7 Definisi Operasional 8

2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Letak dan Potensi Wisata 11

2.2 Iklim dan Tanah 11

2.3 Satwa dan Tumbuhan 12

2.4 Vegetasi Tumbuhan Pakan Kupu-Kupu 12

2.5 Kependudukan dan Budaya 14

2.6 Tingkat Pendidikan 15

2.7 Mata Pencaharian dan Jumlah Tanggungan Keluarga 15

3 METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 17

3.2 Rancangan Penelitian 18

3.3 Metode Pengumpulan Data 18

3.4 Analisis Data 22

4 KARAKTERISTIK SUMBER DAYA KUPU-KUPU (Lepidoptera) YANG DIMANFAATKAN SECARA KOMERSIAL 4.1 Kupu-Kupu Hasil Tangkapan 24

4.2 Status Jenis Kupu-Kupu Yang Dimanfaatkan Secara Komersial 28

5 KARAKTERISTIK PELAKU, TEKNIK PENANGKAPAN DAN PERDAGANGAN KUPU-KUPU 5.1 Pelaku Penangkapan 31

5.2 Metode Menjaring Kupu-Kupu 33

5.3 Pelaku Peredaran (Perdagangan) Kupu-Kupu 36

5.4 Aktivitas Peredaran (Perdagangan) Kupu-Kupu 39

5.5 Klasifikasi Kualitas dan Harga Kupu-Kupu 40

5.6 Upaya Budi Daya Kupu-Kupu 43

6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN KOMERSIAL SATWA LIAR 6.1 Isi Peraturan Perundang-Undangan 47

6.2 Aliran Informasi dan Pemahaman Peraturan Perundang-Undangan 51

6.3 Dukungan Masyarakat 55


(13)

7 PENGUATAN KELEMBAGAAN PEMANFAATAN KOMERSIAL KUPU-KUPU

7.1 Permasalahan Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu 65

7.2 Rumusan Penguatan Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu 72

8 SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan 77

8.2 Saran 78

DAFTAR PUSTAKA 79

LAMPIRAN 85

RIWAYAT HIDUP 99


(14)

2.1 Jenis-jenis tumbuhan pakan larva kupu-kupu 13 2.2 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin, luas wilayah dan

kepadatan penduduk di lokasi penelitian 14 3.1 Informan penelitian 19 3.2 Waktu pengamatan aktivitas penangkapan kupu-kupu di lokasi

penelitian tahun 2013 20 4.1 Jumlah jenis dan individu kupu-kupu hasil tangkapan berdasarkan

famili di lokasi penelitian 24 4.2 Jumlah jenis kupu-kupu berdasarkan kelompok famili menurut

beberapa hasil penelitian 24 4.3 Jumlah spesies dan individu kupu-kupu berdasarkan kelompok famili

pada setiap lokasi pengamatan 25 4.4 Jumlah spesies dan individu kupu-kupu berdasarkan kelompok famili

pada setiap bulan pengamatan 26 4.5 Jumlah individu berdasarkan rasio kelamin 4 jenis kupu-kupu

dominan di lokasi penelitian 27 4.6 Jumlah individu kupu-kupu yang dilindungi menurut jenis kelamin

di lokasi pengamatan 28 4.7 Jumlah spesies dan individu kupu-kupu hasil tangkapan yang belum

ditetapkan kuota penangkapannya berdasarkan kelompok famili 29 5.1 Jumlah penangkap (orang) berdasarkan hasil pengamatan menurut

kelompok usia dan anggota pengumpul pedagang di lokasi penelitian 32 5.2 Jumlah penangkap (orang) berdasarkan hasil wawancara menurut

kelompok usia dan anggota pengumpul pedagang di lokasi penelitian 32 5.3 Metode dan teknik menjaring kupu-kupu di lokasi penelitian 34 5.4 Jumlah pengrajin dan penjual souvenir kupu-kupu berdasarkan hasil

pengamatan di lokasi penelitian (orang) 38 5.5 Klasifikasi kualitas spesimen kupu-kupu yang diperdagangkan 41 5.6 Jumlah spesimen kupu-kupu berdasarkan kelas kualitas yang

dikumpulkan oleh pengumpul pedagang di Desa Kalabbirang 41 5.7 Harga rata-rata beberapa jenis kupu-kupu kualitas A1dan A2 menurut

jenis kelamin pada tingkat penangkap dan pengumpul pedagang (Rupiah) 42 6.1 Matriks kecukupan isi peraturan perundang-undangan pemanfaatan

satwa liar 48

6.2 Tingkat pemahaman informan aparatur pemerintah terhadap peraturan

perundang-undangan pemanfaatan satwa liar 52 6.3 Tingkat pemahaman para penangkap dan pengumpul pedagang terhadap

peraturan perundang-undangan pemanfaatan satwa liar 54 6.4 Pelaksanaan tugas dan fungsi Ditjen PHKA terkait pemanfaatan

komersial kupu-kupu 58 6.5 Pelaksanaan tugas dan fungsi LIPI terkait pemanfaatan komersial

kupu-kupu 62

6.6 Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel


(15)

6.7 Pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Kabupaten Maros terkait pemanfaatan komersial kupu-kupu 63

7.1 Indikator kinerja harapan dan indikator kinerja faktual pemanfaatan komersial kupu-kupu di lokasi penelitian 65

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka pemikiran penelitian 6

3.1 Peta lokasi penelitian 17

5.1 Jenis Graphium milon pada pasir yang diberi umpan air seni 34

5.2 Metode menjaring kupu-kupu tanpa umpan 35

5.3 Kupu-kupu hasil tangkapan 35

5.4 Bagan alir tata niaga kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul 36

5.5 Produk souvenir gantungan kunci 40

5.6 Kepompong yang dipelihara oleh pengumpul pedagang 44

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jumlah individu per jenis kelamin spesies kupu-kupu hasil tangkapan berdasarkan famili di lokasi penelitian 87

2 Daftar kuota tangkap kupu-kupu untuk wilayah kerja Balai Besar KSDA Sulsel tahun 2009 hingga 2013 90

3 Pelaksanaan kewajiban penangkap dan pengumpul pedagang kupu-kupu menurut Kepmenhut 447/2003 93

4 Pelaksanaan tugas dan fungsi Balai Besar KSDA Sulsel terkait pemanfaatan komersial kupu-kupu menurut Kepmenhut 447/ 2003 95


(16)

1.1 Latar Belakang

Kupu-kupu merupakan satwa liar (SL) dari kelas serangga (Insecta) yang memiliki warna dan bentuk sayap yang indah. Di alam, kupu-kupu memiliki nilai penting, yaitu sebagai penyerbuk pada proses pembuahan bunga, sehingga secara ekologis turut memberi andil dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem dan memperkaya keanekaragaman hayati. Secara ekonomi, kupu-kupu mempunyai nilai jual yang tinggi dan merupakan obyek rekreasi yang menarik. Potensi ekonomi inilah yang menyebabkan kupu-kupu banyak ditangkap dari habitat alam untuk dinikmati keindahannya maupun dikoleksi sebagai kenang-kenangan, atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan tropis diperkirakan memiliki kekayaan jenis kupu-kupu mencapai 2.500 jenis, dengan tingkat endemisitas yang tinggi yaitu mencapai 35 % dari jumlah total jenisnya (Peggie 2011). Pulau Sulawesi memiliki 560 jenis kupu-kupu, 42 persen diantaranya endemik (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Kawasan Bantimurung yang terletak di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan identik dengan kupu-kupu, sehingga penjelajah asal Inggris Alfred Russel Wallace (1890) dalam bukunya The Malay

Archipelago menyebutkan Bantimurung sebagai Kerajaan Kupu-Kupu (Kingdom

of The Butterflies). Pada saat itu, ia menemukan 256 jenis kupu-kupu di kawasan

tersebut.

Dalam perkembangannya, jumlah jenis kupu-kupu terus menurun. Mattimu

et al. (1977) melaporkan hasil temuannya sebanyak 103 jenis kupu-kupu dan

Achmad (2002) pada tahun 1995 juga melakukan inventarisasi pada kawasan yang sama, tetapi jumlah jenis kupu-kupu hanya tinggal sekitar 80 jenis. Salah satu faktor penyebabnya diduga akibat kegiatan pemanfaatan komersial (Achmad 2002; Hamidun 2008; Sumah 2012). Pemanfaatan komersial yang dimaksud adalah untuk tujuan perdagangan yang dilakukan melalui penangkapan dari habitat alam. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan jenis SL menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 19991

yang bertujuan agar jenis satwa liar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat belum sepenuhnya efektif.

Pemanfaatan komersial kupu-kupu dari habitat alam di daerah penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) Kabupaten Maros telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1970-an2 dan masih terus berlangsung sampai saat ini. Hal tersebut juga berkaitan erat dengan keberadaan kawasan Bantimurung sebagai lokasi wisata, sehingga permintaan akan kupu-kupu awetan oleh para pengunjung cukup tinggi. Bagi sebagian masyarakat di daerah penyangga TN Babul, pemanfaatan komersial kupu-kupu dari habitat alam merupakan mata pencaharian tetap dan memberikan hasil yang cukup besar.

Tingginya aktivitas penangkapan kupu-kupu diduga menyebabkan beberapa jenis mengalami penurunan populasi dan peluang untuk menghasilkan keturunan

1

PP 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

2

Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang kupu-kupu di Kecamatan Bantimurung.


(17)

menjadi kecil sehingga ancaman kepunahannya menjadi tinggi (Achmad 2002). Kegiatan penangkapan kupu-kupu yang berlebihan, apalagi tanpa mempertimbangkan keseimbangan populasinya di alam, pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap kelestarian kupu-kupu itu sendiri, sehingga sumber daya kupu-kupu di habitatnya mengalami tekanan dan bahkan sangat mungkin pada suatu waktu masyarakat akan kehilangan sumber daya ini.

Sumber daya kupu-kupu di habitat alam adalah sebagai sumber daya bersama (common pool resources, CPRs3

). Sumber daya bersama menurut

Dharmawan dan Daryanto (2002) adalah sumber daya yang secara de facto tidak dimiliki atau diawasi secara eksklusif oleh satu orang pemilik atau satu kelompok pemilik. Oleh sebab itu menurutnya, pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatan tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas dan prospek sumber daya tersebut, sehingga tidak memiliki insentif untuk membuat keputusan investasi dan alokasi sumber daya yang efisien. Eksploitasi sumber daya bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang lebih dahulu dan mengeruk terus menerus manfaat (keuntungan) yang bisa diperoleh, dengan mengabaikan pihak lain dan efek yang ditimbulkannya.

Praktik penangkapan kupu-kupu secara bebas dari alam jelas tidak akan memberikan insentif untuk mempraktikkan penangkapan secara selektif. Perilaku yang demikian juga meniadakan insentif bagi pengembangbiakan buatan dalam bentuk penangkaran atau budi daya lainnya, yang dampaknya beresiko terhadap populasi kupu-kupu dalam jangka panjang. Dalam sumber daya bersama, apabila seseorang yang merasakan manfaat, kemudian mengembangbiakan populasi kupu-kupu melalui pengembangan habitat dan penyediaan tumbuhan pakan, tidak menjamin bahwa hanya orang tersebut yang boleh memanfaatkan hasil dari keberadaan kupu-kupu. Orang lain yang tidak berkontribusi juga dapat menerima manfaat tanpa harus ikut menanggung biaya untuk pengadaannya. Perilaku ini disebut dengan free riders (pengguna gratis).

Ketidakjelasan tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan kupu-kupu, belum adanya penerapan aturan serta penegakan sanksi secara konsisten menunjukkan bahwa kelembagaan4 dalam alokasi sumber daya alam hayati tersebut tidak berfungsi, sehingga menimbulkan inefisiensi dan mengancam kelestariannya. Kelembagaan yang tidak berfungsi tersebut menjadi salah satu sebab terjadinya tekanan terhadap populasi kupu-kupu di habitat alam yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana kelembagaan berupa peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL berperan mengendalikan perilaku masyarakat dalam kegiatan pemanfaatan komersial kupu-kupu. Keberadaan peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL tidak dapat menjamin kinerja yang baik, jika peraturan perundang-undangan yang diterapkan tidak sesuai dengan situasi yang ada.

3

Common pool resources (CPRs) adalah karakteristik sumber daya alam yang memiliki

excludability rendah (secara fisik seseorang sangat sulit untuk membatasi orang lain dalam memanfaatkan barang/sumber daya tersebut) dan subtractability tinggi (barang/sumber daya tersebut mudah berkurang karena pemanfaatan) (Buck 1998; Berge 2003).

4

Kelembagaan adalah sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab baik secara individu maupun sebagai kelompok (Schmid 1987).


(18)

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan kenapa individu, kelompok masyarakat, dan pihak-pihak lain yang terlibat membuat keputusan produksi, alokasi dan konsumsi tidak kondusif terhadap pemanfaatan sumber daya sangat ditentukan oleh gugus kesempatan yang tersedia dalam lingkungannya. Menurut North (1990) gugus kesempatan tersebut bergantung pada aturan main yang ada, baik yang bersifat formal maupun informal. Aturan main formal antara lain dalam bentuk kebijakan formal. Kebijakan formal adalah keputusan-keputusan yang dikodifikasi secara tertulis dan disahkan atau diformalkan agar dapat berlaku (Nugroho 2013). Seluruh aturan main tersebut merupakan bentuk kelembagaan yang menentukan interdependensi antar individu atau kelompok masyarakat yang terlibat (Schmid 1987; North 1990; Barzel 1991). Kelembagaan merupakan instrumen yang mengatur hubungan antar individu atau kelompok masyarakat dan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh seseorang atau dalam kondisi bagaimana seseorang dapat mengerjakan sesuatu (North 1990).

Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka di dalam penelitian ini masalah kelembagaan yang dimaksud meliputi dua aspek utama yaitu kelembagaan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai organisasi (lembaga). Kelembagaan sebagai aturan main dalam hal ini berupa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemanfaatan jenis SL, antara lain adalah: (a) UU 5/19905

; (b) PP 8/1999; (c) PP 38/20076

; (d) Kepmenhut 447/20037

; dan (e) Permen LH 29/20098.

Sementara sebagai organisasi, berdasarkan pasal 65 PP 8/1999, departemen yang bertanggungjawab di bidang Kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority) konservasi tumbuhan dan SL dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ditetapkan sebagai Otoritas Keilmuan

(Scientific Authority). Selanjutnya melalui Kepmenhut Nomor 104/Kpts-II/2003,

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) ditunjuk sebagai pelaksana Otoritas Pengelola CITES9 di Indonesia.

Pengaturan pemanfaatan SL diawali dengan penetapan kuota penangkapan SL dari habitat alam yang merupakan batas maksimal jenis dan jumlah spesimen SL yang dapat ditangkap dari habitat alam. Kuota ditetapkan oleh Dirjen PHKA berdasarkan rekomendasi LIPI untuk setiap kurun waktu 1 (satu) tahun takwim untuk spesimen, baik yang termasuk maupun tidak termasuk dalam daftar

Appendix CITES, jenis yang dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang.

Ketersediaan data potensi SL yang menggambarkan populasi dan penyebaran setiap jenis masih sangat terbatas sehingga merupakan hambatan bagi otoritas

5

UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

6

PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

7

Kepmenhut 447/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.

8

Permen LH 29/2009 tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah.

9

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) adalah konvensi (perjanjian) internasional yang bertujuan untuk membantu pelestarian populasi di habitat alamnya melalui pengendalian perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa.


(19)

keilmuan dalam memberikan rekomendasi kepada otoritas pengelola bagi penetapan kuota penangkapan secara optimal.

Sementara menurut PP 38/2007, pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah provinsi memiliki kewenangan pengawasan pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam AppendixCITES.

Ketentuan Kepmenhut 447/2003 telah mengatur peran dan fungsi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk melaksanakan penilaian keberhasilan pemanfaatan, melakukan pembinaan dan pengendalian, pengawasan peredaran di dalam negeri maupun ke luar negeri dalam wilayah kerjanya. Merujuk pada Keputusan Menteri tersebut, secara legal formal, BKSDA telah diakui menjadi sebuah entitas tata kelola pemanfaatan SL. Dengan demikian BKSDA mempunyai otoritas secara teknis administratif untuk memaksimalkan kewenangan yang dimilikinya. Pada tataran konseptual, dengan adanya peraturan tersebut, idealnya segenap perangkat organisasi BKSDA dapat menjalankan fungsi administrasi, fungsi regulasi, fungsi pelayanan publik, maupun fungsi pengawasan. Namun demikian, realitas praktis berkebalikan dengan asumsi konseptual itu. Balai KSDA di wilayah kerja hanya menghadirkan tata kelola dalam derajat yang minimalis, artinya fungsi-fungsi tersebut belum seluruhnya dilaksanakan. Hal ini tercermin dari belum sepenuhnya ketentuan peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL dapat diimplementasikan. Berpijak pada paparan praktis di atas, penguatan tata kelola pemanfaatan SL sangat diperlukan.

Aktivitas pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros yang masih berlangsung, belum sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ketidaksesuaian tersebut adalah tidak dilengkapi dengan izin, tidak mematuhi kuota penangkapan, tidak sesuai dengan lokasi penangkapan dan waktu yang ditentukan, serta dilakukan oleh perorangan atau kelompok yang dianggap belum mampu secara teknis dan terampil melakukan penangkapan sehingga menyebabkan terganggunya populasi serta habitatnya di alam.

Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL belum menyelesaikan permasalahan yang sesungguhnya. Padahal, peraturan perundang-undangan bertujuan untuk menciptakan tertib pemanfaatan SL termasuk mekanisme penegakan hukum dan sanksi sebagaimana diatur dalam UU 5/1990, PP 8/1999 dan Kepmenhut 447/2003. Semua permasalahan yang diuraikan di atas mengindikasikan bahwa negara dalam hal ini pemerintah selaku pihak yang menguasai kekayaan alam termasuk SL kupu-kupu di habitat alam, belum berhasil melakukan pengelolaan pemanfaatan sebagaimana yang diharapkan.

Penelitian ini dilaksanakan dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan mengapa kelembagaan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan lembaga pemerintah yang mengatur pemanfaatan SL termasuk dalam hal ini pemanfaatan komersial kupu-kupu, belum sepenuhnya mampu mengarahkan perilaku masyarakat dan para pihak yang terkait ke arah pemanfaatan kupu-kupu secara lestari.

Kupu-kupu merupakan salah satu sumber daya hayati yang diminati sebagian masyarakat di daerah penyangga TN Babul, sehingga penangkapannya


(20)

dari habitat alam selalu berlanjut tanpa henti. Penangkapan SL tersebut didasarkan pada nilai. Nilai yang dicari oleh para pemanfaat kupu-kupu ini adalah nilai ekonomi yang terdapat pada SL tersebut. Karakteristik sumber daya kupu-kupu terutama kelimpahan jenis, seks rasio, dan status pemanfaatan kupu-kupu yang diperdagangkan (komersial) perlu diketahui. Karakteristik pemanfaatan melalui penangkapan dan peredaran/perdagangan kupu-kupu oleh masyarakat juga perlu diketahui.

North (1990) dan Agrawal (2001) menyatakan bahwa permasalahan yang yang harus diperhatikan dan sangat krusial adalah berkenaan dengan aturan formal, karena aturan formal menentukan perilaku individu/kelompok. Aturan formal mengatur hubungan antar pemanfaat dengan sumber daya yang dimanfaatkan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya. Oleh sebab itu, permasalahan yang terkait dengan aturan formal perlu diketahui. Sejauh mana kewenangan lembaga yang terkait, serta keefektifan implementasi terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan komersial SL kupu-kupu.

Pemahaman terhadap karakteristik sumber daya kupu-kupu, karakteristik masyarakat pemanfaat dan aktivitasnya, serta peraturan perundang-undangan akan sangat bermanfaat dalam menyusun kelembagaan yang efektif untuk mencapai kinerja yang diharapkan, yaitu pemanfaatan komersial kupu-kupu yang terjamin kelestariannya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

Beberapa pokok permasalahan yang perlu dijawab dalam rangka meningkatkan kinerja pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros, adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah karakteristik sumber daya kupu-kupu yang dimanfaatkan secara komersial?

2. Bagaimanakah karakteristik pemanfaatan meliputi penangkapan dari alam dan peredaran komersial kupu-kupu?

3. Sejauh mana keefektifan implementasi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL kaitanya dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu?

4. Bagaimanakah kelembagaan yang efektif yang harus disusun untuk mengendalikan pemanfaatan komersial kupu-kupu secara lestari?

1.3 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Penelitian

Satwa liar kupu-kupu di habitat alam merupakan sumber daya bersama

(common pool resources, CPRs) yang di Indonesia pengaturannya di bawah rezim

kepemilikan negara. Menurut Ellsworth (2004), rezim kepemilikan negara adalah bentuk pengelolaan sumber daya alam yang pemiliknya adalah lembaga publik atau organisasi pemerintah yang diberi kuasa oleh negara. Hak kepemilikan negara memiliki ciri pengaturannya dilaksanakan pemerintah. Pengaturan oleh pemerintah ini harus menjamin masyarakat untuk memperoleh hak untuk memanfaatkan secara berkeadilan. Pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul didasarkan pada peraturan perundang-undangan tertentu. Siapa yang dapat menjadi pemegang hak (izin) ditentukan oleh kaidah peraturan perundang-undangan, sedangkan kewajiban pemegang izin ditujukan untuk memelihara tujuan sosial (Ellsworth 2004).

Ostrom (2008) menyatakan bahwa kinerja pengelolaan sumber daya bersama (CPRs) tidak hanya ditentukan oleh tersedianya kebijakan yang mengatur


(21)

bagaimana sumber daya tersebut harus dikelola dan prosedur administrasi yang harus dilalui (peraturan perundang-undangan), tetapi juga ditentukan oleh kondisi fisik material (karakteristik sumber daya) dan atribut komunitas (karakteristik pemanfaat). North (1990) dan Agrawal (2001) menjelaskan bahwa aturan formal dan informal mengarahkan perilaku individu/organisasi dalam hubungannya dengan sumber daya, sementara perilaku individu/organisasi merupakan faktor kunci yang menentukan keberhasilan pengelolaan sumber daya, tidak terkecuali dalam pemanfaatan komersial kupu-kupu. Hal ini berarti bahwa perilaku pelaksana peraturan perundang-undangan dan perilaku individu/kelompok masyarakat pemanfaat sebagai kelompok sasaran berperan dalam keberhasilan pengelolaan pemanfaatan sumber daya kupu-kupu.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, disusun kerangka pemikiran penelitian yang merupakan kerangka analisis kelembagaan sebagaimana disajikan pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Kerangka pemikiran penelitian (dimodifikasi dari Basuni 2003)

Kerangka analisis kelembagaan yang digunakan dalam penelitian ini mengadaptasi konsep analisis yang dikemukakan oleh Heltberg (2001) dan Oakerson (1992). Analisis kelembagaan dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap: 1) analisis karakteristik spesifik tentang sumber daya kupu-kupu yang dimanfaatkan secara komersial; 2) analisis karakteristik pemanfaatan komersial kupu-kupu meliputi penangkapan dari habitat alam dan aktivitas peredaran (perdagangan); 3) analisis isi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL dan keefektifan implementasinya; 4) perilaku pemanfaat kupu-kupu dan pelaksana peraturan; dan 5) analisis kinerja pemanfaatan komersial kupu-kupu.

Karakteristik spesifik sumber daya akan mempengaruhi fungsi peraturan dalam mengelola sumber daya. Karakteristik sumber daya, karakteristik pemanfaat dan peraturan perundang-undangan akan mempengaruhi pola pemanfaatan sumber daya. Sedangkan pola pemanfaatan sumber daya akan mempengaruhi perilaku pelaksana peraturan dan pemanfaat sumber daya, sehingga pada akhirnya mempengaruhi kinerja.


(22)

Indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros adalah : (1) Penangkapan kupu-kupu dilakukan dengan memperhatikan kelestarian (tidak melampaui kuota yang telah ditetapkan) dan tidak menyebabkan kerusakan pada spesimen kupu-kupu yang ditangkap; (2) Cara menangkap kupu-kupu tidak menyebabkan terganggunya atau rusaknya populasi dan habitat di alam; (3) Penangkapan dan peredaran spesimen kupu-kupu harus sesuai dengan izin termasuk lokasi penangkapan dan musim perkembangbiakan, serta dilakukan oleh perorangan atau kelompok yang dianggap mampu secara teknis atau terampil dalam melakukan penangkapan; serta (4) Penerapan peraturan dan sanksi dilakukan secara konsisten oleh lembaga yang bertanggungjawab.

Bila kinerja tidak sesuai dengan yang diharapkan, berarti kelembagaan tersebut belum dapat mengarahkan perilaku masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai kinerja yang diharapkan (Basuni 2003). Menurut Pratiwi (2008), ketika kelembagaan tidak berjalan atau kinerjanya dipertanyakan maka diperlukan suatu langkah perbaikan. Salah satu langkah perbaikan adalah melalui penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan merupakan usaha untuk mengorganisasi ulang (reorganize) atau melakukan orientasi ulang terhadap kelembagaan agar dapat berfungsi kembali secara efektif (Pratiwi 2008).

Penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu merupakan bentuk rekayasa sosial yang ditujukan untuk memecahkan suatu masalah sosial yang dihadapi dalam rangka mengatur alokasi sumber daya untuk mencapai kinerja yang dikehendaki yaitu pemanfaatan komersial kupu-kupu secara lestari dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Keluaran dari suatu penelitian menunjang rekayasa sosial adalah pengetahuan mengenai preskripsi atau resep yang dicirikan oleh suatu penelitian multi disiplin ilmu.

Pakpahan (1989) menyatakan: "...suatu penelitian rekayasa sosial dicirikan oleh suatu penelitian yang bersifat lintas bidang. Kelompok disiplin bio-fisik memegang peranan dalam menghasilkan pengetahuan positif dan kelompok disiplin ilmu-ilmu sosial memegang peranan penting dalam menghasilkan

pengetahuan tentang nilai...". Pendekatan positivisme berguna untuk

mendapatkan pengetahuan bio-fisik antara lain mengenai populasi kupu-kupu hasil tangkapan. Selain itu, pendekatan normativisme juga diperlukan, dalam hal ini pengetahuan mengenai aktivitas penangkapan dan peredaran kupu-kupu serta implementasi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL. Berdasarkan dua pendekatan tersebut maka penelitian ini diharapkan menghasilkan suatu preskripsi tentang penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu secara lestari di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mendeskripsikan dan menganalisis karakteristik sumber daya kupu-kupu

(Lepidoptera) yang dimanfaatkan secara komersial.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis karakteristik pelaku, teknik penangkapan dan perdagangan kupu-kupu.

3. Menganalisis isi teks peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan komersial SL dan keefektifan implementasi di lapangan.


(23)

4. Merumuskan penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

1.5 Manfaat Penelitian

Informasi mengenai pemanfaatan komersial kupu-kupu terutama pada skala lokal sangat sedikit sehingga dibutuhkan suatu penelitian. Karakteristik pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul disadari tidak dapat mewakili seluruh tingkat pemanfaatan komersial kupu-kupu di Provinsi Sulawesi Selatan, akan tetapi hasil penelitian ini diharapkan dapat:

1. Menghasilkan informasi dan pengetahuan ilmiah yang berguna bagi para pihak yang berkepentingan terutama bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros khususnya, serta kebijakan pemanfaatan komersial kupu-kupu di Indonesia pada umumnya.

2. Berguna sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang akan meneliti permasalahan yang berkaitan dengan pemanfaatan komersial SL kupu-kupu dari habitat alam.

1.6 Kebaruan (Novelty)

Penelitian mengenai analisis kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga taman nasional belum pernah dilakukan, khususnya ditinjau berdasarkan hal-hal berikut: pertama, karakteristik sumber daya kupu-kupu yang dimanfaatkan; kedua, karakteristik pelaku, teknik penangkapan dan perdagangan kupu-kupu; dan ketiga, aturan-aturan formal terkait pemanfaatan SL dan keefektifan implementasinya di lapangan. Kebaruan penelitian ini menyangkut data yang diperoleh serta rumusan masalah dan alternatif solusi terkait dengan penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros.

1.7 Definisi Operasional

1. Kebijakan adalah keputusan formal-legal-terkodifikasi yang dibuat oleh suatu lembaga dan bersifat mengikat para pihak yang terkait dengan lembaga tersebut.

2. Pemanfaatan komersial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemanfaatan dalam bentuk penangkapan kupu-kupu dari habitat alam untuk tujuan perdagangan.

3. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia (UU 5/1990).

4. Penangkapan spesimen satwa liar adalah kegiatan memperoleh satwa liar dari habitat alam.

5. Penangkap adalah orang atau individu yang melakukan kegiatan memperoleh kupu-kupu dari habitat alam.

6. Usia sekolah adalah usia para penangkap dari usia 5 sampai 18 tahun. 7. Usia dewasa adalah usia para penangkap yaitu usia 19 tahun atau lebih.


(24)

8. Pengumpul pedagang adalah orang atau individu yang membeli atau menampung hasil tangkapan para penangkap, mengolah kupu-kupu menjadi produk souvenir, atau menjual kembali dalam bentuk kupu-kupu yang belum atau sudah diolah.

9. Spesimen kupu-kupu adalah fisik satwa liar kupu-kupu dalam keadaan hidup atau mati atau bagian-bagian dari padanya yang secara visual masih dapat dikenali.

10.Jenis satwa liar adalah jenis yang secara ilmiah disebut spesies atau anak-anak jenis yang secara ilmiah disebut sub-spesies baik di dalam maupun di luar habitat aslinya.

11.Kuota adalah batas maksimum ukuran dan satuan satwa liar dari alam untuk setiap jenis yang dapat dimanfaatkan selama satu tahun takwim.

12.Peraturan perundangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perangkat regulasi formal terkait pemanfaatan komersial SL kupu-kupu, meliputi: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah. 13.Pelaku pemanfaatan kupu-kupu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

individu kepala keluarga dan atau anggota keluarga yang terdaftar sebagai penduduk desa/kelurahan pada areal studi kasus.

14.Lembaga atau organisasi terkait adalah Balai Besar KSDA Sulsel, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros.

15.Perilaku adalah tindakan atau cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam memanfaatkan satwa liar kupu-kupu, meliputi tata cara menangkap, musim dan waktu menangkap, peralatan yang digunakan serta proses penanganan spesimen kupu-kupu setelah ditangkap sampai dengan siap untuk dijual. 16.Perilaku harapan adalah tindakan atau cara masyarakat (warga) dalam

memanfaatkan kupu-kupu, yaitu: penangkapan sesuai dengan kuota yang ditentukan dan tidak merusak populasinya di alam, penangkapan dan peredaran sesuai dengan izin serta sesuai dengan lokasi dan musim perkembangbiakan.

17.Kinerja adalah serangkaian proses mengenai apa dan bagaimana suatu pekerjaan dilakukan serta hasil atau capaian prestasi yang dapat diperoleh dari proses tersebut.

18.Kinerja harapan adalah hasil atau capaian akhir dari pemanfaatan komersial kupu-kupu, yaitu kelestarian kupu-kupu di habitat alam serta pendapatan masyarakat meningkat. Kinerja harapan dalam penelitian ini diukur dari indikator kinerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Kepmenhut 447/2003. 19.Inventarisasi populasi adalah kegiatan mengumpulkan data lapangan yang

bertujuan untuk mengetahui atau menduga populasi suatu jenis, di tempat tertentu, pada waktu tertentu dengan metode yang secara ilmiah berlaku.


(25)

20.Monitoring populasi adalah kegiatan mengumpulkan data lapangan yang bertujuan untuk mengetahui kecenderungan naik atau turunnya populasi akibat adanya penangkapan pada populasi suatu jenis di tempat tertentu, yang dilakukan secara berulang dan teratur dengan metoda yang secara ilmiah berlaku.

21.Nilai adalah sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan.

22.Observasi adalah merupakan kegiatan pasif yang biasa dipergunakan oleh peneliti dengan tujuan menjelaskan obyek penelitian dalam hal atribut atributnya.

23.Survei adalah cara mengumpulkan data primer dengan tujuan untuk meneliti populasi secara langsung.

24.Wawancara adalah bentuk pengumpulan data dengan cara menanyakan secara langsung kepada informan.


(26)

2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Letak dan Potensi Wisata

Secara administrasi pemerintahan, lokasi penelitian terletak di Desa Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung; serta Desa Jenetaesa dan Desa Samangki, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis areal penelitian ini terletak antara 119°37’30”–119°45’00” Bujur Timur dan antara 4°57’43”–5°06’08” Lintang Selatan. Lokasi penelitian ini merupakan daerah penyangga bagi kawasan TN Babul.

Kawasan TN Babul ditunjuk oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 18 Oktober 2004 melalui SK.398/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung–Bulusaraung seluas ± 43.750 Ha terdiri dari Cagar Alam seluas ± 10.282,65 Ha, Taman Wisata Alam seluas ± 1.624,25 Ha, Hutan Lindung seluas ± 21.343,10 Ha, Hutan Produksi Terbatas seluas ± 145 Ha, dan Hutan Produksi Tetap seluas ± 10.335 Ha yang terletak di Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi Sulsel menjadi TN Babul.

Di kawasan Bantimurung terdapat air terjun yang sudah sangat dikenal kalangan masyarakat di Sulawesi Selatan. Obyek wisata ini merupakan idola masyarakat karena tingkat aksesibilitasnya yang tinggi. Pada tahun 2012, tercatat jumlah pengunjung areal wisata Bantimurung mencapai 566.586 orang pengunjung. Obyek wisata ini di tahun 2012 mampu menghasilkan PAD bagi Pemerintah Kabupaten Maros sebesar Rp6 957 673 200 dari retribusi karcis pengunjung, sedangkan dari retribusi jasa penggunaan lahan parkir sebesar Rp132 848 000. Sementara dari tingkat kunjungan tahun 2012 tersebut jumlah PNBP yang diperoleh melalui Balai TN Babul sebesar Rp1 422 350 000. Bagi Balai TN Babul sasaran ini dapat direlisasikan melebihi target yang ditetapkan, yaitu sebesar atau 101,60% dari target yang ditetapkan sebesar 1,4 M di tahun 2012.

2.2 Iklim dan Tanah

Achmad (2011) menyatakan bahwa berdasar pada peta sebaran intensitas curah hujan dengan metode Polygon Thiessen dari data rataan curah hujan selama 10 tahun pada enam stasiun di sekitar areal karst Maros-Pangkep, menunjukkan bahwa pada wilayah Bantimurung dan sekitarnya yang juga merupakan lokasi penelitian memiliki intensitas curah hujan 3.249 mm/tahun. Selanjutnya dijelaskan bahwa tipe iklim di lokasi penelitian termasuk tipe D (Schmid & Fergusson) dengan nilai Qratio = 56,52%. Curah hujan bulanan dengan intensitas

di atas 100 mm berlangsung antara bulan November hingga Mei, intensitas

60−100 mm pada bulan Juni−Juli dan Oktober−November, sedangkan intensitas curah hujan di bawah 60 mm berlangsung pada bulan Agustus−September.

Jenis tanah yang umum ditemukan pada wilayah Bantimurung dan sekitarnya adalah jenis tanah Rendolls. Tanah tersebut mempunyai warna kehitaman karena tingginya kandungan bahan organik, kaya akan kalsium dan magnesium, ditemukan pada dasar lembah lereng yang landai yang merupakan areal pertanian dan pemukiman penduduk (Ditjen PHKA 2008).


(27)

2.3 Satwa dan Tumbuhan

Menurut Ditjen PHKA (2008), pada kawasan TN Babul telah terdaftar sebanyak 356 jenis SL. Daftar jenis SL tersebut dihimpun dari berbagai sumber yang dapat dipercaya serta hasil dari kegiatan identifikasi jenis yang dilakukan oleh Balai TN Babul sendiri. Jenis-jenis satwa liar tersebut terdiri dari 6 jenis Mamalia, 73 jenis Aves, 7 jenis Amphibi, 19 jenis Reptilia, 224 Jenis Insecta, serta 27 jenis Collembola, Pisces, Moluska dan lain sebagainya. Dari 356 jenis SL yang telah terdaftar pada TN Babul, 30 jenis diantaranya adalah jenis SL yang dilindungi undang-undang, 1 jenis diantaranya adalah jenis SL yang termasuk dalam Appendix I CITES, 9 jenis adalah jenis SL yang termasuk dalam Appendix

II CITES, dan 1 jenis SL yang termasuk dalam Appendix III CITES. Dari 224 jenis

insecta, tercatat 147 jenis merupakan jenis kupu-kupu. TN Babul dikenal dengan potensi kupu-kupunya. Jenis-jenis tersebut dikatakan sebagai Flag Species taman nasional ini.

Selain jenis-jenis SL, terdapat juga 302 jenis tumbuhan alam yang telah dicatat pada kawasan TN Babul. Jenis-jenis tumbuhan tersebut terdiri atas 2 famili dari kelas Monocotyledonae dan 43 famili dari kelas Dicotyledonae. Dari 302 jenis tumbuhan alam yang telah terdaftar pada TN Babul tersebut, 1 jenis diantaranya adalah jenis tumbuhan alam yang dilindungi undang-undang, 1 jenis tumbuhan alam yang termasuk dalam Appendix II CITES, dan 1 jenis lainnya adalah termasuk dalam Appendix III CITES. Suatu hal yang cukup unik dari keberadaan tumbuhan alam tersebut adalah adanya 43 jenis/sub spesies tumbuhan alam dari marga Ficus. Jenis-jenis Ficus ini adalah makanan utama bagi banyak jenis SL termasuk yang paling umum adalah kera hitam sulawesi/Dare (Macaca

maura).

Daftar keanekaragaman hayati di dalam TN Babul masih terus bertambah panjang seiring dengan semakin intensifnya pelaksanaan identifikasi, inventarisasi ataupun sensus di dalam kawasan. Daftar jenis keanekaragaman hayati tersebut, hingga saat ini masih sebatas menjadi daftar. Upaya-upaya konservasi keanekaragaman hayati di dalam kawasan masih dalam tahap pengumpulan dan pengolahan data, serta pemetaan sebaran habitatnya di dalam kawasan. Kajian lebih lanjut tentang bagaimana kondisi populasinya di dalam kawasan, daya dukung habitat terhadap kelangsungan populasi jenis tersebut, serta hal-hal lain yang terkait dengan konservasi keanekaragaman hayati belum dapat diupayakan hingga saat ini (Ditjen PHKA 2008).

2.4 Vegetasi Tumbuhan Pakan Kupu-Kupu

Lokasi pengamatan aktivitas penangkapan kupu-kupu di Desa Kalabbirang adalah areal yang relatif terbuka dan merupakan pemukiman penduduk. Pada lokasi tersebut dijumpai jenis-jenis tumbuhan Lantana camara (Verbenaceae),

Psidium guajava (Myrtaceae), Annona muricata (Annonaceae), Aristolochia sp.

(Aristolochiaceae), Citrus sp. (Rutaceae), Tectona grandis (Verbenaceae) dan

Ficus sp. (Moraceae). Lokasi pengamatan Desa Jenetaesa juga merupakan areal

pemukiman penduduk. Pada lokasi ini terdapat aliran sungai yang selalu mengalir, jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan antara lain adalah Hibiscus sp. (Malvaceae),

Bauhinia purpurea (Caesalpiniaceae), Ixora sp. (Rubiaceae), Arenga pinnata


(28)

Ficus sp. (Moraceae). Selanjutnya lokasi pengamatan Desa Samangki merupakan formasi hutan sekunder dan terdapat aliran sungai yang selalu mengalir setiap tahun. Jenis-jenis tumbuhan berbunga yang dapat dijumpai di lokasi ini adalah

Aristolochia sp. (Aristolochiaceae), Arenga pinnata (Palmae), Lantana camara

(Verbenaceae), Hibiscus sp. (Malvaceae), Tectona grandis (Verbenaceae), Ficus

sp. (Moraceae) dan tumbuhan benalu.

Noerdjito dan Amir (1992) menyatakan bahwa tumbuhan perdu yang berbunga dan banyak dikunjungi kupu-kupu di Leang-Leang (Kecamatan Bantimurung) antara lain: Lantana, Mimosa, tumbuhan Asteraceae, Myrtaceae,

dan Graminae. Di sekitar kawasan wisata Bantimurung, jenis-jenis vegetasi yang

menonjol adalah pandan, aren, Ficus, dan tumbuhan merambat seperti

Aristolochiaceae dan Convolvulaceae. Sementara di Pattunuang, Desa Samangki

(Kecamatan Simbang) terdapat banyak jenis tumbuhan yang ditanam penduduk seperti pisang, jeruk (Rutaceae), nangka (Annonaceae) serta beberapa perdu. Jenis-jenis tumbuhan Leguminosae, palem, aren, dan tumbuhan Ficus juga banyak ditemukan.

Achmad (2011) telah mengidentifikasi 14 jenis tumbuhan yang diketahui dengan pasti sebagai tumbuhan inang dari beberapa jenis larva kupu-kupu di Bantimurung seperti tersaji pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jenis-jenis tumbuhan pakan larva kupu-kupu Jenis tumbuhan Jenis larva kupu-kupu

Citrus sp.

Loranta sp.

Sangilu (Rutaceae)

_______ (Rutaceae)

Evodia roxburghiana (Rutaceae) Aristolachia sp.

Passiflora sp. Ficus sp.

Annona muricata Annona squamosa Polyalthia sp. Clorotaria striata Cassia sp.

_______ (Annonaceae)

Colona sp.

Papilio ascalapus Papilio polithes Papilio gigon Euthalia Amanda Papilio sataspes Papilio fuscus Papilio blumei Papilio adamanthius Papilio gigon

Troides helena Troides hypolithus Troides haliphron Cethosia myrina Euploea sp.

Graphium agamemnon Graphium agamemnon Graphium agamemnon Graphium agamemnon Eurema sp.

Valeria sp.

Hebomoia glaucippe Sumber : Achmad (2011)

Tabel 2.1 memperlihatkan bahwa ada hubungan yang spesifik antara satu jenis kupu-kupu dengan satu jenis tumbuhan. Namun demikian, ditemukan


(29)

bahwa satu jenis tumbuhan dapat merupakan tumbuhan inang dari beberapa jenis kupu-kupu yang bergenus sama, dan sebaliknya satu jenis kupu-kupu mempunyai lebih dari satu jenis tumbuhan inang yang spesifik untuk meletakkan telurnya dan sekaligus sebagai tumbuhan pakan larvanya.

2.5 Kependudukan dan Budaya

Menurut data BPS Kabupaten Maros Tahun 2012, secara keseluruhan pada dua kecamatan (Kecamatan Bantimurung dan Kecamatan Simbang) yang merupakan daerah penyangga kawasan TN Babul terdapat populasi penduduk sebanyak 50.678 jiwa. Kecamatan Bantimurung dengan jumlah penduduk 28.278 jiwa, terdiri atas 13.506 jiwa laki-laki dan 14.772 jiwa perempuan. Kecamatan Simbang dengan jumlah penduduk 22.400 jiwa, terdiri atas 10.766 laki-laki dan 11.634 jiwa perempuan.

Pada lokasi penelitian yaitu di Desa Kalabbirang (Kecamatan Bantimurung); Desa Jenetaesa dan Desa Samangki (Kecamatan Simbang), data keadaan penduduk tahun 2011 ditunjukkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin, luas wilayah dan kepadatan penduduk di lokasi penelitian

Kecamatan Desa Jumlah penduduk (jiwa) Luas (km2)

Kepadatan (jiwa/km2) L P Total

Bantimurung Simbang

Kallabirang Jenetaesa Samangki

1.974 1.805 2.347

2.121 1.958 2.501

4.095 3.763 4.848

45,47 10,08 43,62

90 373 111

Sumber: BPS Kabupaten Maros (2012)

Jumlah jiwa berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin, di Desa Kalabbirang tahun 2011 adalah: laki-laki pada kelompok umur 5–9 tahun 219 jiwa; kelompok umur 10–14 tahun 211 jiwa; dan kelompok umur 15–19 tahun 202 jiwa. Desa Jenetaesa: laki-laki pada kelompok umur 5–9 tahun 200 jiwa; kelompok umur 10–14 tahun 187 jiwa; dan kelompok umur 15–19 tahun 166 jiwa. Selanjutnya di Desa Samangki: laki-laki pada kelompok umur 5–9 tahun 262 jiwa; kelompok umur 10–14 tahun 281 jiwa; dan kelompok umur 15–19 tahun 205 jiwa.

Masyarakat yang bermukim di daerah penyangga TN Babul pada umumnya merupakan etnis Bugis─Makassar yang menganut agama Islam. Sistem kepercayaan dan budaya masyarakat sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Bugis─Makassar dan Islam. Nilai-nilai budaya yang berlaku masih dijunjung tinggi oleh masyarakat di wilayah tersebut.

Sebagai masyarakat agraris, dikenal berbagai kegiatan kebudayaan yang berkaitan dengan aktivitas pertanian, mulai dari persiapan lahan, penanaman dan panen. Penentuan waktu musim tanam dilakukan kegiatan Tudang Sipulung yang dihadiri oleh masyarakat dan aparat desa. Sementara itu, kegiatan Mappadendang

merupakan acara syukuran yang dilaksanakan setelah musim panen padi. Di samping itu, dikenal berbagai budaya lokal yang terkait dengan sistem kepemilikan (sanra, teseng, dan pewarisan) dan perkawinan yang berkaitan dengan budaya agraris (Ditjen PHKA 2008).


(30)

2.6 Tingkat Pendidikan

Pendidikan masyarakat merupakan salah satu indikator kesejahteraan dan keberhasilan pembangunan suatu daerah. Tingkat pendidikan masyarakat dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang, terutama dalam menganalisis suatu permasalahan. Dengan tingkat pendidikan masyarakat yang tinggi diharapkan masyarakat lebih cepat menerima dan memberikan respon terhadap hal-hal yang membutuhkan kemampuan berpikir dari inovasi-inovasi baru yang dianjurkan kepadanya. Kecenderungan yang ada, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin responsif orang tersebut terhadap perubahan–perubahan. Tingkat pendidikan masyarakat yang bermukim di sekitar TN Babul dapat

dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu tingkat pendidikan rendah (≤ SD),

tingkat pendidikan menengah (SLTP−SLTA) dan tingkat pendidikan tinggi (Akademi/PT).

Hasil penelitian Kadir et al. (2010) menunjukkan bahwa persentase masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan rendah mencapai 84,4%. Tingkat pendidikan masyarakat sekitar TN Babul yang rendah dapat menjadi faktor penghambat dalam pengelolaan TN Babul. Walau demikian, hal ini dapat diatasi dengan melakukan kegiatan pendampingan kepada masyarakat sekitar, meningkatkan kegiatan penyuluhan dan pelatihan secara intensif sehingga tercipta kesamaan visi dan persepsi terhadap pengelolaan SL dan TN Babul.

2.7 Mata Pencaharian dan Jumlah Tanggungan Keluarga

Masyarakat yang bermukim di sekitar taman nasional selain bekerja sebagai petani, peternak dan pedagang, sebagian juga menggantungkan hidupnya dari hasil hutan. Bisa saja dikatakan bahwa tidak sedikit yang menggantungkan hidupnya dari hasil hutan, karena pada umumnya masyarakat ini juga mempunyai mata pencaharian ganda. Pekerjaan pokok masyarakat yag bermukim di sekitar TN Babul umumnya (92,2%) adalah petani (petani sawah dan kebun). Hal ini berarti bahwa masyarakat di sekitar TN Babul sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam berupa lahan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari (Kadir et al. 2010).

Aktivitas ekonomi masyarakat yang dilakukan di sekitar kawasan taman nasional umumnya adalah pembuat gula aren, mencari madu, menangkap kupu-kupu, memungut kemiri, dan mengambil kayu bahan bangunan, bahkan sebagian masyarakat berkebun atau berladang di dalam kawasan taman nasional karena ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang status lahan (pada umumnya di wilayah-wilayah yang dulunya adalah hutan lindung dan produksi). Pemungutan hasil hutan ikutan seperti gula aren, kemiri dan madu merupakan aktivitas yang memberikan keuntungan ekonomi yang cukup besar bagi masyarakat setempat. Penangkapan kupu-kupu juga merupakan sumber pendapatan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan wisata Bantimurung khususnya di Kecamatan Bantimurung dan Kecamatan Simbang (Ditjen PHKA 2008).

Hasil penelitian Kadir et al (2010) menunjukkan bahwa tingkat pendapatan masyarakat sekitar TN Babul berkisar antara Rp210 000/tahun hingga Rp55 960 000/tahun dengan rata-rata total pendapatan sebesar Rp8 836 367/tahun. Rata-rata total pendapatan masyarakat sekitar TN Babul masih lebih rendah jika dibandingkan dengan Upah Minimum Propinsi (UMP) Sulawesi Selatan tahun


(31)

2010 sebesar Rp1 000 000/bulan (Rp12 000 000/tahun). Hal ini berarti bahwa sebagian masyarakat sekitar TN Babul belum dapat memenuhi kebutuhan minimum mereka sehari-hari.

Jumlah tanggungan setiap kepala keluarga dapat mempengaruhi semangat dan tingkat kreativitas seorang kepala keluarga. Dengan banyaknya jumlah orang yang ditanggung dalam keluarga maka semakin besar biaya yang harus disiapkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Banyaknya jumlah tanggungan keluarga juga dapat mengindikasikan besarnya potensi tenaga kerja keluarga yang tersedia yang dapat membantu kepala keluarga dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

Hasil penelitian Kadir et al. (2010) menunjukkan bahwa jumlah tanggungan setiap kepala keluarga yang bermukin disekitar TN Babul berkisar antara 0–9 orang dengan rata-rata 4 orang setiap kepala keluarga. Jumlah tanggungan setiap kepala keluarga yang bermukim di sekitar TN Babul dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu sedikit (0–2 orang/kk), sedang (3–4 orang/KK) dan banyak (>4 orang/KK). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 72,8% masyarakat sekitar TN Babul memiliki tanggungan keluarga lebih besar dari 2 orang. Hal ini berarti bahwa tingkat kebutuhan lahan garapan pada masa datang akan semakin tinggi. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap keberhasilan pengelolaan TN Babul jika potensi tenaga kerja tidak dibina dengan baik.


(32)

3 METODE

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan September 2013. Lokasi penelitian terletak di Desa Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung; serta di Desa Jenetaesa dan Desa Samangki, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros. Alasan pemilihan desa-desa tersebut karena merupakan lokasi-lokasi penangkapan berbagai jenis kupu-kupu yang diperdagangkan (Noerdjito dan Aswari 2003).

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian; Sumber: Ditjen PHKA (2008)

Fokus penelitian adalah pemanfaatan komersial kupu-kupu melalui penangkapan dari habitat alam untuk tujuan perdagangan yang dilakukan oleh warga di desa-desa yang merupakan lokasi penelitian. Subjek penelitian adalah individu warga pemanfaat kupu-kupu sebagai kelompok sasaran serta aparatur pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL.


(33)

3.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat lintas bidang dengan menggunakan pengetahuan positif dan pengetahuan tentang nilai untuk menghasilkan suatu preskripsi (resep) tentang penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Pakpahan (1989) menyatakan "...suatu

preskripsi selalu mengandung unsur nilai dan bukan nilai...". Pendekatan

penelitian menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif sesuai keperluan masing-masing kajian. Kajian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: karakteristik sumber daya kupu-kupu (Lepidoptera) yang dimanfaatkan secara komersial; karakteristik pelaku, teknik penangkapan dan pedagangan kupu-kupu; keefektifan implementasi peraturan pemanfaatan komersial SL; serta penguatan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu.

Penggunaan metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif tersebut menekankan pada penggambaran, pemahaman dan penjelasan atas data-data yang dikumpulkan. Kredibilitas data diuji secara triangulasi terhadap cara pengumpulan dan sumber data (Sugiyono 2012).

3.3 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui: (a) observasi atau pengamatan untuk memperoleh data primer dan melihat langsung aktivitas pemanfaatan komersial kupu-kupu di lapangan; (b) wawancara mendalam dengan informan yang meliputi para pelaku pemanfaat kupu-kupu yaitu penangkap, pengumpul pedagang serta para pejabat di instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan pemanfaatan SL; serta (c) studi literatur terhadap beberapa data sekunder. Data primer diperoleh langsung melalui observasi dan wawancara, serta data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, data statistik dan laporan tahunan diperoleh dari instansi terkait.

Observasi awal dilakukan dengan menelusuri para pengumpul pedagang serta para penangkap secara snow ball technique untuk mendapatkan informasi mengenai para pengumpul pedagang dan penangkap yang ada di lokasi penelitian. Setiap kali melakukan kunjungan ke pengumpul pedagang, dilakukan wawancara secara mendalam mengenai aspek perdagangan dan informasi jenis-jenis kupu-kupu dilihat dari pembelian hasil tangkapan. Wawancara juga dilakukan dengan para penangkap saat melakukan aktivitas penangkapan di lapangan, guna mendapatkan gambaran tambahan mengenai jenis-jenis kupu-kupu serta sebagai suatu cross reference terhadap data yang telah disampaikan oleh para pengumpul pedagang. Wawancara mendalam juga dilakukan terhadap petugas pada instansi terkait mengenai aspek pengaturan pemanfaatan komersial kupu-kupu. Studi literatur sebagai pelengkap data dan informasi, didapatkan dari instansi terkait.

Pemilihan informan sebagai sumber data dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive. Informan yang dipilih berdasarkan pada pertimbangan tertentu yaitu bahwa orang tersebut dianggap paling tahu tentang data dan informasi apa yang diharapkan (Sugiyono 2012). Pertimbangan tertentu bagi aparatur pelaksana peraturan adalah berdasarkan pada jenjang jabatan, tugas pokok dan fungsinya yang terkait langsung dengan pemanfaatan SL. Bagi kelompok sasaran khususnya pengumpul pedagang, pertimbangannya adalah yang telah menekuni usaha pemanfaatan komersial kupu-kupu lebih dari 10 tahun.


(34)

Jumlah informan ditentukan dengan pertimbangan-pertimbangan informasi yang diperlukan, jika tidak ada lagi informasi yang dapat dijaring maka pemilihan informan sudah dapat diakhiri (Moleong 2002). Jumlah informan yang dimaksud dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Informan penelitian

Pelaksana Peraturan Jabatan Jumlah Balai Besar KSDA

Sulsel

Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Kabupaten Maros Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel

Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Direktorat Jenderal PHKA Pusat Penelitian Biologi LIPI

Kepala Bidang Teknis Kepala Bagian Tata Usaha

Kepala Seksi Pemanfaatan dan Pelayanan Kepala Seksi Perlindungan, Pengawetan dan Perpetaan

Pengendali Ekosistem Hutan Tingkat Ahli Kepala Bidang Kehutanan

Kepala Seksi Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Kepala Seksi Aneka Usaha Kehutanan

Kepala Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Kepala Seksi Peredaran Hasil Hutan Kepala Sub bagian Tata Usaha

Kepala Seksi Wilayah II Bantimurung Pengendali Ekosistem Hutan Tingkat Ahli Polisi Kehutanan

Kepala Sub Direktorat Pengawetan dan Pemanfaatan jenis

Kepala Sub Direktorat Tertib Peredaran Kepala Sub Direktorat Lembaga Konservasi dan Perburuan

Kepala Sub Direktorat Program dan Evaluasi Penyidikan dan Pengamanan

Kepala Seksi Pembalakan Ilegal dan Satwa Liar Wilayah I

Peneliti pada Bidang Zoologi

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 Kelompok Sasaran Kategori Jumlah Penangkap

Pengumpul pedagang

Kelompok usia di bawah 19 tahun Kelompok usia di atas 19 tahun Memiliki izin pengedar

Tidak memiliki izin pengedar

3 6 2 5

3.3.1 Kajian tentang karakteristik sumber daya kupu-kupu (Lepidoptera) yang dimanfaatkan secara komersial

Sumber daya kupu-kupu yang dimanfaatkan secara komersial di daerah penyangga TN Babul diketahui melalui studi terhadap jenis-jenis kupu-kupu hasil


(1)

Lampiran 3 Pelaksanaan kewajiban penangkap dan pengumpul pedagang

kupu-kupu menurut Kepmenhut 447/2003

No Kewajiban Pelaksanaan Keterangan

Ya Tidak 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

Mengajukan permohonan izin penangkapan dengan

mengikuti tata cara dan prosedur perizinan penangkapan SL untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi dan yang dilindungi yang ditetapkan sebagai satwa buru (pasal 29, pasal 30, pasal 32); permohonan memuat diantaranya informasi mengenai jenis, jumlah, jenis kelamin, umur atau ukuran, dan wilayah penangkapan serta deskripsi rinci mengenai tujuan

penangkapan (pasal 32 ayat 1 poin a).

Memiliki izin penangkapan komersial (pasal 26 ayat 1); penangkapan spesimen jenis SL harus sesuai dengan izin penangkapan yang meliputi :

- lokasi penangkapan

- dilakukan oleh perorangan atau kelompok yang dianggap

mampu secara teknis atau terampil dalam melakukan penangkapan (pasal 27 ayat 1).

Penangkapan spesimen SL dilakukan dengan memperhatikan kelestarian dan tidak menyebabkan kematian atau luka pada spesimen SL yang ditangkap (pasal 27 ayat 2).

Cara menangkap spesimen jenis SL tidak menyebabkan terganggunya atau rusaknya populasi, habitat dan lingkungan (pasal 27 ayat 3).

Mengajukan izin pengedar atau perdagangan SL dalam negeri (DN) dengan mengikuti tata cara dan prosedur (pasal 44 ayat 1 poin a sampai e).

Membuat laporan dengan benar dan tepat waktu (pasal 45 ayat 1 poin c); menyampaikan laporan realisasi

penangkapan, dalam hal mendapatkan perpanjangan izin penangkapan, menyampaikan laporan realisasi peredaran DN dengan rencana kerja berikutnya untuk perpanjangan izin peredaran DN (pasal 45 ayat 1).

Permohonan perpanjangan izin pengedar atau perdagangan SL dalam negeri (DN) diajukan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum masa berlakunya berakhir. (pasal 45 ayat 1 dan 2). Mengajukan izin pengedar atau perdagangan SL luar negeri (LN) dengan mengikuti tata cara dan prosedur (51 ayat 1 poin a sampai c).

Wajib menyertai Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATSDN) bagi seluruh kegiatan peredaran komersial DN (pasal 61; pasal 69 ayat 1 sd 6).

Pemegang izin pengedar yang mendapatkan izin

penangkapan, wajib memiliki penangkap, memberitahukan tentang jenis, lokasi, jumlah, ukuran dan ketentuan lain dalam izin penangkapan (pasal 46 ayat 1).

Pemegang izin pengedar melalui kerjasama dengan BKSDA, Asosiasi atau ORNOP memberikan pembinaan, pelatihan dan pendidikan keterampilan yang menyangkut penangkapan serta isu-isu konservasi jenis dan lingkungan kepada para penangkap (pasal 46 ayat 3).

Setiap pemegang izin penangkapan komersial wajib membuat catatan dan menyampaikan laporan mengenai sediaan (stok) spesimen SL kepada Kepala BKSDA setiap bulan (pasal 102 ayat 1).

dalam kurun

2009−2013

penangkapan terhadap seluruh

jenis

ada 3 pemegang izin

oleh 3 pemegang izin

memiliki penangkap


(2)

No Kewajiban Pelaksanaan Keterangan

Ya Tidak 13. Pemegang izin pengedar DN, wajib membuat catatan mutasi

stok dan menyampaikan laporan realisasi perdagangan SL, meliputi laporan transaksi dan laporan berkala setiap 3 bulan kepada Kepala BKSDA dan laporan tahunan dengan tembusan ke Dirjen PHKA (pasal 103 ayat 1 sd 5).


(3)

Lampiran 4. Pelaksanaan tugas dan fungsi Balai Besar KSDA Sulsel terkait

pemanfaatan komersial kupu-kupu menurut Kepmenhut 447/2003

No

Tugas dan fungsi Pelaksanaan Keterangan

Ya Tidak 1.

2. 3. 4.

5.

6.

7. 8.

9. 10.

11. 12. 13.

Melaksanakan inventarisasi dan atau monitoring populasi SL (pasal 9 ayat 1).

Menetapkan lokasi penangkapan SL berdasarkan kuota tangkap (pasal 13 ayat 2).

Menerbitkan Izin Penangkapan spesimen SL (pasal 13 ayat 2 dan 3).

Dalam penetapan lokasi penangkapan, memperhatikan :

- status kawasan - kelimpahan populasi - kondisi habitat

- rencana penggunaan lahan

- aspek-aspek sosial budaya masyarakat setempat

(pasal 15 ayat 1).

Membuat peta lokasi penangkapan dengan skala minimal 1 : 250.000 yang selalu dimutakhirkan secara periodik minimal 2 (dua) tahun sekali (pasal 15 ayat 3).

Informasi lokasi penangkapan sedikitnya memuat :

- nama tempat (nama desa) - nama kecamatan

- nama kabupaten

- koordinat peta atau koordinat geografis

Melakukan rotasi lokasi penangkapan SL (pasal 16 ayat 1). Menentukan jangka waktu rotasi lokasi penangkapan berdasarkan :

- kondisi populasi - habitat

- sifat-sifat biologis

- perilaku jenis yang ditetapkan

(pasal 16 ayat 2).

Melaksanakan prosedur perizinan penangkapan SL untuk tujuan komersial (pasal 32 poin a sampai f).

Melaksanakan pemeriksaan sediaan (stok) spesimen SL untuk tujuan komersial. Dasar pemeriksaan sediaan (stok) adalah Izin Penangkapan atau permohonan SATS-DN atau SATS-LN. Membuat BAP sediaan (stok), yang memuat :

- jenis

- jumlah (volume) - bentuk spesimen

- keterangan dokumen asal-usul - keterangan lain

(pasal 33 ayat 1 sd 3).

Menerbitkan Izin Pengedar atau Perdagangan DN spesimen SL (pasal 43 ayat 3).

Mengikuti tata cara dan prosedur Izin Pengedar atau Perdagangan SL DN (pasal 44 ayat 1 poin a sampai e) Menilai Proposal dan Rencana Kerja Tahunan Izin Pengedar atau Perdagangan yang memuat antara lain :

- data perusahaan - organisasi

- asal-usul spesimen yang akan diusahakan - teknis pelaksanaan penampungan (pengumpulan) - teknis pengangkutan

dalam kurun

2009−2013

dalam kurun

2009−2013

skala lebih kecil

hanya nama kabupaten

dalam kurun

2009−2013

terdapat 3 pemegang izin


(4)

No

Tugas dan fungsi Pelaksanaan Keterangan

Ya Tidak

14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.

- sarana dan prasarana yang dimiliki - program pembinaan konservasi jenis yang

diusahakan (pasal 44 ayat 2).

Menelaah permohonan Izin Pengedar atau Perdagangan, menilai kelengkapan permohonan dan memberikan

pertimbangan teknis yang mengacu kepada kriteria ( pasal 44 ayat 3 poin a sampai d).

Memberikan atau menolak perpanjangan Izin Pengedar atau Perdagangan dengan menilai persyaratan sebagaimana diatur pada pasal 45 ayat 2 poin a sampai d.

Memberikan rekomendasi Izin Pengedar atau Perdagangan LN spesimen SL (pasal 51 ayat 1 poin a.6).

Menerbitkan SATS-DN dengan menilai bukti-bukti :

- Izin Pengedar atau Perdagangan DN - Izin terkait legalitas asal-usul spesimen - Laporan mutasi sediaan (stok)

(pasal 69 ayat 2)

Memberikan rekomendasi pengurusan SATS-LN dengan melampiri BAP (pasal 77 ayat 2 poin d).

Melakukan pemantauan penangkapan di lapangan atau pemeriksaan silang terhadap laporan hasil penangkapan di tempat pengumpulan (pasal 88 ayat 1).

Melakukan pemantauan secara berkala di tempat-tempat dilakukannya penangkapan SL (pasal 88 ayat 2).

Pengendalian penggunaan peralatan, cara-cara penangkapan dan cara-cara pengumpulan atau penampungan (pasal 88 ayat 4).

Membuat BAP pengendalian dengan pemeriksaan fisik spesimen hasil penangkapan (pasal 89 ayat 1).

Membuat sistem pencatatan dan pendataan untuk pemantauan penangkapan (pasal 89 ayat 2).

Melaporkan seluruh kegiatan pengawasan dan pengendalian penangkapan SL kepada Dirjen (pasal 89 ayat 3).

Memproses secara hukum segala pelanggaran dan kejahatan yang terjadi sehubungan dengan penangkapan SL (pasal 90). Melakukan pengawasan dan pengendalian pemilikan spesimen SL baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi yang termasuk dalam Appendiks I, Appendiks II atau Appendiks III CITES (pasal 92 ayat 1).

Melakukan pengawasan dan pengendalian perdagangan spesimen SL di pasar satwa dan tempat-tempat lain yang menjual hasil-hasil SL kupu-kupu seperti toko cinderamata (pasal 94 ayat 1).

Memproses secara hukum segala pelanggaran yang terjadi sehubungan dengan peredaran di DN sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 95). Melakukan verifikasi dengan memeriksa kesesuaian dokumen SATS-LN dengan fisik spesimen yang akan diekspor dan mengisi kolom inspeksi pada SATS-LN sesuai dengan hasil pemeriksaan (pasal 98 ayat 1).

Memproses secara hukum segala pelanggaran yang terjadi sehubungan dengan ekspor, impor, re-ekspor dan introduksi dari laut, seusai dengan peraturan perundang-ungangan yang berlaku (pasal 101).

tidak ada yang mengajukan

dalam kurun

2009−2013

khusus kupu-kupu


(5)

No

Tugas dan fungsi Pelaksanaan Keterangan

Ya Tidak 31.

32.

33.

34.

35. 36.

37.

38.

39.

40.

Memeriksa silang kebenaran laporan pemegang izin

penangkapan komersial untuk tujuan perdagangan mengenai sediaan (stok) spesimen SL (pasal 102 ayat 2).

Melaporkan seluruh izin yang telah diterbitkan dan hasil penangkapan SL di wilayahnya kepada Dirjen (pasal 102 ayat 3).

Memeriksa silang catatan dan laporan pemegang izin Pengedar DN tentang realisasi perdagangan SL dengan keadaaan di lapangan (pasal 103 ayat 6).

Menyampaikan tembusan SATS-DN yang diterbitkan kepada Dirjen selambat-lambatnya tiga hari setelah tanggal penerbitan SATS-DN (pasal 103 ayat 7.)

Menyampaikan laporan realisasi peredaran DN SL kepada Dirjen setiap akhir bulan Desember (pasal 103 ayat 8). Melakukan pembinaan kepada para penangkap, para pengumpul terdaftar dan para pemegang izin pengedar SL secara berkala setiap tiga bulan di wilayahnya (pasal 107 ayat 1).

Berkoordinasi dengan petugas Bea dan Cukai dan petugas Karantina Hewan dan dapat mengembangkan sistem kerja sama formal dalam bentuk nota kerjasama (MoU) (pasal 110 ayat 1 dan 2).

Menangani spesimen SL hidup hasil sitaan atau rampasan dengan tidak mengganggu proses hukum di pengadilan, dengan pilihan sebagaimana diatur (pasal 113 ayat 1 poin a sampai e).

Menangani spesimen SL mati hasil sitaan atau rampasan, dengan pilihan sebagaimana diatur (pasal 113 ayat 3 poin a sampai c).

Melaporkan kepada Dirjen setiap penyitaan dan spesimen yang berhasil dilelang (pasal 116 ayat 2).

Izin pengedar

catatan Nihil tidak secara berkala

khusus kupu-kupu


(6)

Penulis dilahirkan di Namlea pada tanggal 12 April 1972 sebagai anak

kelima dari pasangan H. Muhammadiyah (Alm) dan R.N. Nuraini (Almh). Setelah

menamatkan SMA Negeri 1 Makassar tahun 1991, penulis melanjutkan

pendidikan sarjana pada Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian dan Kehutanan

Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1995. Pada tahun 1997, penulis diterima

di Program Studi Pengelolaan Lingkungan Hidup, Konsentrasi Konservasi

Sumber Daya Alam Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin melalui

beasiswa URGE Batch-IV dan memperoleh gelar Magister Sains pada tahun 2000.

Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

diperoleh pada tahun 2010, melalui beasiswa pendidikan pascasarjana dari Pusat

Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Kementerian Kehutanan.

Riwayat pekerjaan penulis dimulai tahun 1996 pada bagian Perizinan HPH

PT. Rante Mario (

Humpuss Group

) sampai dengan tahun 2000. Selanjutnya

penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Kementerian Kehutanan di

SKMA Makassar sejak tahun 2000. Pada tahun 2004 hingga saat ini penulis

bertugas sebagai Widyaiswara pada Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan

Makassar.

Artikel berjudul

Diversity of butterflies (Lepidoptera) utilized commercially

in Bantimurung Bulusaraung National Park buffer zone, South Sulawesi

telah

diterima untuk diterbitkan pada Jurnal Entomologi Indonesia Volume 11, Nomor

2 edisi September 2014. Artikel berjudul Implementasi Peraturan Pemanfaatan

Satwa Liar di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan telah diterima untuk diterbitkan

pada Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Volume 12 Nomor 1 Tahun 2015.

Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi ini.