Interaksi Hasil Analisis Vegetasi Padang Penggembalaan dan Infestasi Cacing pada Domba di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat

INTERAKSI HASIL ANALISIS VEGETASI PADANG
PENGGEMBALAAN DAN INFESTASI CACING PADA
DOMBA DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT

ELLY WIDYAS NINGSIH

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Interaksi Hasil Analisis
Vegetasi Padang Penggembalaan dan Infestasi Cacing pada Domba di Kabupaten
Majalengka, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014
Elly Widyas Ningsih
NIM G34100114

ABSTRAK
ELLY WIDYAS NINGSIH. Interaksi Hasil Analisis Vegetasi Padang
Penggembalaan dan Infestasi Cacing pada Domba di Kabupaten Majalengka,
Jawa Barat. Dibimbing oleh ACHMAD FARAJALLAH dan SULISTIJORINI.
Infestasi cacing parasit saluran pencernaan menyebabkan pertumbuhan
domba terhambat. Faktor yang mempengaruhi infestasi cacing salah satunya
adalah jenis pakan hijauan di lahan penggembalaan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mempelajari interaksi keanekaragaman jenis tumbuhan dan
keanekaragaman jenis cacing pada domba di padang penggembalaan domba
Kabupaten Majalengka, Jawa Barat; serta membandingkan metode preparasi
sampel feses. Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode purposive
random sampling. Domba yang digembalakan pada lokasi tersebut diambil
fesesnya. Feses dipreparasi menggunakan metode pengapungan dan sedimentasi.
Keanekaragaman jenis cacing dan nilai FEC pada domba berbeda antar lokasi

penggembalaan. Domba yang digembalakan di areal persawahan pasca panen
memiliki keanekaragaman jenis cacing dan nilai FEC yang lebih rendah
dibanding domba yang digembalakan di kebun tebu. Pada lokasi yang terdapat
tumbuhan yang diduga mengandung senyawa antelmintik, diperoleh nilai FEC
yang lebih rendah. Metode pengapungan spesifik untuk spesies cacing Moniezia,
sedangkan metode sedimentasi spesifik untuk cacing Bunostomum sp.
Kata kunci: FEC, keanekaragaman jenis cacing, pengapungan, sedimentasi

ABSTRACT
ELLY WIDYAS NINGSIH. Interaction Between Vegetation Analysis of
Grassland and Worm Infestation of Sheep in Kabupaten Majalengka, West Java.
Supervised by ACHMAD FARAJALLAH and SULISTIJORINI.
The gastrointestinal worm can inhibit the growing rate of sheep. Worm
infestation on gastrointestinal of sheep influenced by vegetation composition of
grassland when the sheep were kept in pastoral system. The aim of this research is
to learn interaction between grassland’s plant composition and gastrointestinal
worm diversity within sheep in Kabupaten Majalengka, West Java; and learn
methods to determine the presence of worm eggs in faecal sample. Vegetation
composition were analyzed using purposive random sampling method. Feces was
taken from sheep that it was grazing on the location of grassland. Feces was

prepared using floating method and sedimentation method. Worm diversity and
FEC in sheep were different between locations. The sheep were grazing on postharvested rice field has worm diversity and FEC lower than grazing on cane
plantation. At locations with plants suspected to contain anthelmintic compound
were found lower FEC. The floating method is spesific method to species
Moniezia, whereas the sedimentation method spesific to Bunostomum sp.
Keywords: FEC, floating method, gastrointestinal worm, sedimentation method

INTERAKSI HASIL ANALISIS VEGETASI PADANG
PENGGEMBALAAN DAN INFESTASI CACING PADA
DOMBA DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT

ELLY WIDYAS NINGSIH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi: Interaksi Hasil Analisis Vegetasi Padang Penggembalaan dan
Infestasi Cacing pada Domba di Kabupaten Majalengka,
Jawa Barat
Nama
: Elly Widyas Ningsih
NIM
: G34100114

Disetujui oleh

Dr Ir Achmad Farajallah, MSi
Pembimbing I

Dr Ir Sulistijorini, MSi
Pembimbing II


Diketahui oleh

Dr Ir Iman Rusmana, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat
dan penyertaan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
berjudul Interaksi Hasil Analisis Vegetasi Padang Penggembalaan dan Infestasi
Cacing pada Domba di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Penelitian
dilaksanakan sejak bulan Oktober 2013 sampai Maret 2014 di padang
penggembalaan domba di Kecamatan Jati Tujuh, Kabupaten Majalengka, Jawa
Barat dan bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan Departemen Biologi, FMIPA
IPB.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Achmad Farajallah, MSi
dan Ibu Dr Ir Sulistijorini, MSi selaku dosen pembimbing, dan Ibu Dr Ir Yohana
C. Sulistyaningsih, MSi selaku dosen penguji skripsi atas bimbingan, saran, dan

ilmu yang bermanfaat selama melaksanakan penelitian dan penulisan karya
ilmiah. Terima kasih penulis ucapkan kepada Kak Wildan, Kak Silvi, Kak
Wahyudin, Wahyu, Bapak Mansur, Bapak Wamin, Bapak Sur, dan Bapak Cahim
yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih juga penulis
ucapkan kepada Bapak Cita dan keluarga atas bantuan tempat tinggal selama
penelitian. Di samping itu, terima kasih penulis ucapkan kepada ayah, ibu, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya, serta teman-teman terbaik
saya Mita, Agnes, Amel, Christyne, Irene, Ibeth, Sabeth, Carin dan seluruh temanteman Biologi angkatan 47 atas dukungan, doa, semangat, dan kebersamaannya.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi yang berguna dan
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, April 2014
Elly Widyas Ningsih

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

METODE


2

Waktu dan Tempat

2

Metode Penelitian

2

Analisis Vegetasi

2

Pengambilan Sampel Feses

3

Preparasi Sampel Feses


3

Identifikasi Telur Cacing

3

Analisis Vegetasi dan FEC

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

3

Analisis Vegetasi

3

Faecal Egg Count


5

Perbandingan Metode Pengapungan dengan Metode Sedimentasi

5

Analisis Vegetasi dan FEC

7

SIMPULAN

11

DAFTAR PUSTAKA

11

LAMPIRAN


13

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL
1 Data jenis tumbuhan yang ditemukan di lima lokasi penggembalaan
2 Data jenis dan jumlah cacing yang menginfeksi domba di lima lokasi
penggembalaan
3 Pengelompokan cacing parasit domba

4
5
5

DAFTAR GAMBAR
1
2
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5

Peta lokasi penggembalaan domba
Perbandingan jenis telur yang dapat diamati menggunakan metode
pengapungan dan sedimentasi
Kerapatan relatif spesies tumbuhan dan rataan FEC di lokasi A
Kerapatan relatif spesies tumbuhan dan rataan FEC di lokasi B
Kerapatan relatif spesies tumbuhan dan rataan FEC di lokasi C
Kerapatan relatif spesies tumbuhan dan rataan FEC di lokasi D
Kerapatan relatif spesies tumbuhan dan rataan FEC di lokasi E

2
6
7
8
8
9
9

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Data iklim makro Kecamatan Jatitujuh
Kerapatan dan frekuensi relatif jenis tumbuhan di setiap lokasi
Data sampel domba dan lokasi penggembalaan
Data jenis dan jumlah cacing yang mengifeksi domba
Gambar telur cacing yang ditemukan menginfeksi domba
Gambar cacing dewasa yang ditemukan menginfeksi domba

13
14
15
16
17
18

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagaimana ternak lainnya di daerah tropis basah, dalam saluran
pencernaan domba bisa ditemukan beragam jenis cacing. Cacing yang ada di
saluran pencernaan domba dianggap parasit dan umumnya tergolong ke dalam
kelas Nematoda, Cestoda, dan Trematoda. Siklus hidup cacing Nematoda pada
ruminansia bersifat langsung, tidak membutuhkan inang antara, sedangkan pada
Cestoda dan Trematoda umumnya memerlukan inang antara (Levine 1990).
Cacing parasit saluran pencernaan bisa menghambat pertumbuhan domba dan
pada kondisi tertentu akan menyebabkan kematian. Cacing masuk ke dalam tubuh
domba melalui dua cara, masuk bersama dengan pakan dan aktif menembus kulit
domba. Cacing dewasa hidup dalam saluran pencernaan yang kemudian apabila
bertelur, telur-telur tersebut akan dikeluarkan bersama dengan feses. Pada kondisi
yang sesuai, telur akan berkembang menjadi larva, yang dapat melalui inang
antara terlebih dahulu maupun langsung menjadi larva infektif dan menempel
pada rumput dan termakan oleh domba.
Keberadaan cacing parasit dapat diketahui melalui pemeriksaan telur cacing
yang ada di feses. Beberapa jenis cacing parasit pada domba adalah Capillaria sp.,
Trichuris sp., Strongyloides papillosus, Skrajabinema sp., Dicrocoelium
dendriticum, Nematodirus sp., Fasciola hepatica, Protostrongylus sp.,
Dictyocaulus filaria, Moniezia expansa, Thysanosoma actinoides, dan Muellerius
capillaris (Zajac dan Conboy 2012). Menurut Morley dan Donald (1977), faktor
yang mempengaruhi tinggi rendahnya infestasi cacing pada domba antara lain
jenis pakan hijauan di lahan penggembalaan. Selain itu, domba yang
digembalakan terus-menerus pada suatu lahan. Hal ini disebabkan rumput di
tempat penggembalaan terkontaminasi oleh telur cacing yang menetas menjadi
larva infektif (Batubara 2005). Domba di peternakan rakyat Kecamatan Jatitujuh,
Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, dipelihara dengan cara digembalakan. Pada
musim kemarau, domba biasanya digembalakan di sawah, sedangkan apabila
musim tanam padi tiba, domba digembalakan di areal kebun tebu. Ternak domba
yang digembalakan di wilayah tersebut hanya mengkonsumsi pakan hijauan alami.
Menurut Fachrul (2007), masyarakat tumbuhan yang terbentuk oleh
berbagai populasi jenis tumbuhan dalam satu wilayah atau ekosistem disebut
vegetasi. Penduduk setempat di beberapa daerah mempercayai beberapa jenis
tumbuhan memiliki khasiat mengobati penyakit cacingan (antelmintik) pada
ternak (Ishtiaq et al. 2006). Beberapa jenis tumbuhan diketahui mengandung
senyawa antelmintik (Chengaiah et al. 2009; Cordeiro dan Kaliwal 2012; Mahato
et al. 2014; Niezen et al. 2002; Priyanka et al. 2010, Shaik et al. 2006)

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari interaksi keanekaragaman jenis
tumbuhan dan keanekaragaman jenis cacing pada domba di padang
penggembalaan domba Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat;
serta membandingkan metode preparasi sampel feses.

2

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan bulan
Maret 2014 di padang penggembalaan domba di Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten
Majalengka dan bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan Departemen Biologi,
FMIPA IPB.

Metode Penelitian
Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan di lima lokasi, yaitu lokasi A, B, C, D, dan E
(Gambar 1). Lokasi A, B, C merupakan areal persawahan pasca panen, sedangkan
lokasi D dan E merupakan areal perkebunan tebu. Lokasi A dan B diamati pada
bulan Oktober, lokasi C diamati pada bulan November, lokasi D diamati pada
bulan Desember, dan lokasi E diamati pada bulan Februari. Analisis vegetasi
dilakukan dengan menggunakan metode purposive random sampling. Plot
berukuran 2 x 2 meter dibuat sebanyak minimal 6 plot di 5 lokasi. Plot tersebut
ditentukan dengan mengikuti jelajah domba selama kurang lebih 1 jam. Setiap
plot dilakukan inventarisasi jenis dan jumlah tumbuhan, kemudian dihitung
kerapatan dan frekuensi relatifnya. Tumbuhan yang diperoleh diidentifikasi
berdasarkan Kostermans et al. (1987) dan Van Steenis (1988). Kerapatan dan
frekuensi relatif dihitung menggunakan rumus:

Data lingkungan yang direkam menggunakan alat pengukur cuaca tipe AW002
meliputi suhu, curah hujan, kelembaban, dan kecepatan angin.

Gambar 1 Peta lokasi penggembalaan domba

3
Pengambilan Sampel Feses
Feses diambil dari domba yang digembalakan pada lokasi yang diamati.
Feses diambil dengan cara faecal swapped from anus, yaitu diambil langsung dari
anus. Kisaran umur domba ditentukan dengan metode judging dan bertanya
kepada penggembala, sedangkan jenis kelamin diketahui dengan mengamati
secara langsung.
Preparasi Sampel Feses
Sampel feses dipreparasi dengan dua cara, yaitu dengan metode
pengapungan menggunakan larutan garam jenuh dan sedimentasi formalin-etil
asetat.
Pengapungan. Sebanyak 2 gram feses digerus dan ditambahkan garam jenuh
sebanyak 60 mL, dihomogenisasi, dan didiamkan selama 5 menit. Cairan yang
berada di permukaan diambil menggunakan pipet tetes dan diletakkan di atas
gelas objek (modifikasi McMaster) (Whitlock 1948) lalu diamati menggunakan
mikroskop.
Sedimentasi. Sebanyak 10 mL formalin 10% ditambahkan pada 1 gram
feses, kemudian diaduk sampai homogen. Campuran kemudian disaring dengan
kain kasa dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge hingga volume mencapai 7
mL. Lalu ditambahkan etil asetat sebanyak 3 mL dan disentrifuge selama 1 menit
dengan kecepatan 2700 rpm. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung sentrifuge
yang lain dan disentrifuge selama 1 menit dengan kecepatan 1000 rpm. Bagian
sedimen diambil dan diletakkan di atas gelas objek, lalu diamati menggunakan
mikroskop.
Identifikasi Telur Cacing
Telur yang diperoleh diidentifikasi berdasarkan Zajac dan Conboy (2012),
Mönnig dan Phill (1947), dan Soulsby (1982). Telur cacing yang ada di feses
dihitung untuk mengetahui tingkat infeksi cacing (FEC, Faecal Egg Count).
Domba tergolong infeksi ringan apabila jumlah telur cacing berkisar 0-499
telur/gram; sedang 500-2000 telur/gram; dan berat diatas 2000 telur/gram
(Tarazona 1986).
Analisis Vegetasi terhadap FEC
Kerapatan relatif spesies tumbuhan dibandingkan dengan rataan FEC di
setiap lokasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Vegetasi
Berdasarkan hasil analisis vegetasi di lima lokasi, diperoleh jenis tumbuhan
sebanyak 46 jenis. Keanekaragaman jenis tumbuhan paling rendah dijumpai pada
lokasi A (8 jenis), sedangkan keanekaragaman yang paling tinggi terdapat pada
lokasi B (21 jenis) (Tabel 1). Data iklim makro Kecamatan Jatitujuh disajikan

4
pada Lampiran 1. Nilai kerapatan dan frekuensi relatif spesies tumbuhan di setiap
lokasi disajikan pada Lampiran 2.
Tabel 1 Data jenis tumbuhan yang ditemukan di lima lokasi penggembalaan
No

Spesies tumbuhan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Alternanthera nodiflora
Ammannia baccifera
Bergia ammannioides
Brachiaria reptans
Centella asiatica
Chrozophora rottleri
Cyperus difformis
Cyperus iria
Dactyloctenium aegyptium
Dichondra repens

11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Digitaria ciliaris
Echinochloa colonum
Eleusine indica
Eriochloa polystachya
Fimbristylis miliaceae
Fimbristylis sp.
Glinus lotoides
Heliotropium indicum
Houstonia longifolia
Hydrolea zeylanica

21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Leptochloa chinensis
Ludwigia hyssopifolia
Ludwigia peruviana
Ludwigia sp.
Marsilea crenata
Oryza sativa
Panicum repens
Paspalum sp.
Phyllanthus debilis
Phyllanthus urinaria

31
32
33
34
35
36
37
38
39
40

Poaceae 1
Rhynchosia minima
Richardia brasiliensis
Saccharum officinarum
Sp. 1
Sp. 2
Sp. 3
Sp. 4
Sp. 5
Sp. 6

41
42
43
44
45
46

Sp. 7
Sp. 8
Sphaeranthus africanus
Sphaeranthus indicus
Sutera cordata
Zea mays

A

B




Lokasi
C

D

E

































































































5
Faecal Egg Count
Didapati 9 spesies cacing yang menginfeksi domba (Tabel 2).
Pengelompokan jenis cacing tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Spesies
Oesophagostomum spp. ditemukan di setiap lokasi penggembalaan. Jumlah telur
cacing paling tinggi dijumpai pada domba yang digembalakan di lokasi C. Data
sampel domba dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan nilai FEC, diketahui
sebanyak 87,9% domba terinfeksi ringan; 9,1% domba terinfeksi sedang; dan 3%
domba terinfeksi berat (Lampiran 4). Gambar telur cacing yang diperoleh dapat
dilihat pada Lampiran 5.
Tabel 2 Data jenis dan jumlah cacing yang menginfeksi domba di lima lokasi
penggembalaan
Lokasi

Jumlah
domba

A

5

B

7

C

8

D

5

E

8

Metode pengapungan
Rataan
FEC
Spesies cacing
(telur/g)
Moniezia benedeni
6
Moniezia expansa
6
Trichostrongylus spp.
6
Skrjabinema ovis
6
Strongyloides pappilosus
6
Schistosoma sp.
4
Strongyloides pappilosus
13
Oesophagostomum spp.
4
Oesophagostomum spp.
300
Trichostrongylus spp.
38
Haemonchus contortus
38
Oesophagostomum spp.
132
Trichostrongylus spp.
42
Strongyloides pappilosus
6
Haemonchus contortus
45
Oesophagostomum spp.
120
Trichostrongylus spp.
75

Metode sedimentasi
Spesies cacing
Skrjabinema ovis
Haemonchus contortus
Oesophagostomum spp.
Strongyloides pappilosus
Trichostrongylus spp.
Oesophagostomum spp.

Rataan
FEC
(telur/g)
10
10
60
30
30
14

Oesophagostomum spp.
Trichostrongylus spp.

13
13

Schistosoma sp.

10

Bunostomum sp.
Oesophagostomum spp.
Trichostrongylus spp.
Schistosoma sp.

6
13
6
6

Tabel 3 Pengelompokan cacing parasit domba
Kelas
Nematoda

Cestoda
Trematoda

Famili
Ancylostomatidae
Oxyuridae
Strongylidae
Strongyloididae
Trichostrongylidae
Anoplopcephalidae
Schistosomatidae

Spesies
Bunostomum sp.
Skrjabinema ovis
Oesophagostomum spp.
Strongyloides pappilosus
Haemonchus contortus, Trichostrongylus spp.
Moniezia benedeni, Moniezia expansa
Schistosoma sp.

Perbandingan Metode Pengapungan dengan Metode Sedimentasi
Jenis cacing ditemukan lebih banyak pada sampel yang menggunakan
metode pengapungan daripada metode sedimentasi (Gambar 3). Hal ini tidak
sesuai dengan yang dikatakan Baker et al. (2007), bahwa metode sedimentasi

6
secara umum dapat digunakan untuk memperoleh jenis cacing yang lebih banyak
dibanding metode pengapungan. Menurut Southwell et al. (2008) metode
pengapungan menggunakan larutan garam jenuh dapat digunakan untuk
mengamati Trichostrongylus, H. contortus, Teladorsagia, Cooperia, Bunostomum,
Oesophagostomum, Chabertia, Nematodirus, Moniezia, dan Trichuris.

Haemonchus contortus
Oesophagostomum spp.
Moniezia benedeni
Moniezia expansa

Schistosoma sp.
Skrjabinema ovis

Bunostomum sp.

Strongyloides pappilosus
Trichostrongylus spp.

Metode pengapungan

Metode sedimentasi

Gambar 2 Perbandingan jenis telur yang dapat diamati menggunakan metode
pengapungan dan sedimentasi
Pada metode pengapungan, larutan yang digunakan bersifat hipertonik. Pada
pengamatan yang terlalu lama, larutan hipertonik tersebut dapat menaikan tekanan
osmotik. Larutan flotasi yang bersifat hipertonik tersebut akan membuat bentuk
telur terdistorsi, misal mengkerut karena kehilangan air. Selain itu, waktu
penyimpanan yang lama sebelum dipreparasi dapat menyebabkan telur menjadi
rusak (Baker et al. 2007). Kedua hal tersebut mungkin yang meyebabkan telur
cacing Bunostomum tidak ditemukan pada metode pengapungan.
Metode sedimentasi memiliki tahapan pekerjaan yang lebih banyak. Tahap
penyaringan dan pembuangan supernatan merupakan tahapan yang penting. Telur
cacing Moniezia yang ditemukan pada metode pengapungan tidak ditemukan pada
metode pengendapan. Hal tersebut mungkin disebabkan telur menempel pada
kotoran saat proses penyaringan, terbuang bersama supernatan, atau terhalangi
oleh debris saat pengamatan. Menurut Baker et al. (2007), salah satu kelemahan
metode sedimentasi adalah adanya debris berukuran besar yang menghalangi
pengamatan.
Berdasarkan dari banyaknya telur cacing maupun jenis cacing yang
ditemukan, metode pengapungan menggunakan larutan garam jenuh jauh lebih
baik daripada metode sedimentasi. Hal ini dikarenakan metode sedimentasi
memiliki tahapan pekerjaan yang lebih banyak. Tahap penyaringan dan
pembuangan supernatan merupakan tahapan yang penting yang memerlukan
kecermatan, agar telur tidak menempel pada kotoran ataupun terbuang bersama
supernatan.

7
Analisis Vegetasi dan FEC
Kelima lokasi penggembalaan yang dianalisis memiliki kerapatan dan jenis
tumbuhan yang berbeda. Jenis dan jumlah cacing yang ditemukan pada saluran
pencernaan domba, berbeda antar lokasi. Kerapatan relatif spesies tumbuhan dan
rataan FEC di setiap lokasi digambarkan dalam bentuk diagram batang (Gambar
2.1-2.5).
100

80

70

70

60
Rataan FEC (telur/g)

Kerapatan relatif (%)

90

60
50
40
30
20

50
40
30
20
10

10
0
0

Spesies tumbuhan
Spesies cacing

Gambar 3.1 Kerapatan relatif spesies tumbuhan dan rataan FEC di lokasi A

P. debilis
Poaceae 1
S. indicus
Rataan FEC (telur/g)
350

300

250

200

150

100

50

0

Rataan FEC (telur/g)

60

O. sativa

A. nodiflora
B. ammannioides
C. rottleri
E. polystachya
F. miliaceae
G. lotoides
H. indicum
H. longifolia
H. zeylanica
L. chinensis
Ludwigia sp.
O. sativa
P. repens
Poaceae 1
Sp. 1
Sp. 2
Sp. 3
Sp. 4
S. indicus
S. cordata
Z. mays

50

M. crenata

40

L. peruviana

30

L. hyssopifolia

20

H. longifolia

Spesies tumbuhan

G. lotoides

10

F. miliaceae

0

E. polystachya

20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

Spesies cacing

Spesies cacing

Gambar 3.2 Kerapatan relatif spesies tumbuhan dan rataan FEC di lokasi B

C. iria

60

50

40

30

20

10

0
C. difformis

Spesies tumbuhan

Gambar 3.3 Kerapatan relatif spesies tumbuhan dan rataan FEC di lokasi C

A. baccifera

8

Kerapatan relatif (%)

Kerapatan relatif (%)

9
70
140

50

Rataan FEC (telur/g)

Kerapatan relatif (%)

60

40
30
20
10

120
100
80
60
40
20

0

0

Spesies tumbuhan
Spesies cacing

Gambar 3.4 Kerapatan relatif spesies tumbuhan dan rataan FEC di lokasi D
25
140
120
Rataan FEC (telur/g)

15
10
5

100
80
60
40
20
0

0

C. asiatica
C. difformis
C. iria
D. aegyptium
D. ciliaris
E. colonum
E. indica
F. miliaceae
Fimbristylis sp.
Paspalum sp.
R. minima
R. brasiliensis
S. officinarum
Sp. 7
Sp. 8

Kerapatan relatif (%)

20

Spesies tumbuhan

Spesies cacing

Gambar 3.5 Kerapatan relatif spesies tumbuhan dan rataan FEC di lokasi E
Infeksi cacing paling besar adalah dari famili Strongylidae dan
Trichostrongylidae. Hal itu sesuai dengan yang dikatakan Levine (1990) bahwa
cacing yang tidak memerlukan inang antara ditemukan lebih banyak dibanding
cacing yang memerlukan inang antara. Famili cacing Strongylidae,

10
Trichostrongylidae, Strongyloididae, Oxyuridae, dan Ancylostomatidae tergolong
ke dalam kelas Nematoda yang umumnya tidak memerlukan inang antara,
sedangkan Schistosomatidae masuk ke dalam kelas Trematoda yang memerlukan
inang antara berupa siput dan Anoplopcephalidae tergolong dalam kelas Cestoda
yang memerlukan inang antara berupa tungau.
Keanekaragaman jenis cacing dan nilai FEC pada domba yang
digembalakan, berbeda antar lokasi. Spesies cacing paling banyak ditemukan pada
domba yang digembalakan di lokasi A. Jenis tumbuhan yang paling banyak
dijumpai pada lokasi ini adalah Poaceae, sedangkan jenis cacing yang paling
banyak menginfeksi domba adalah Oesophagostomum spp. Spesies cacing M.
expansa, M. benedeni, dan S. ovis hanya ditemukan pada lokasi A. Keberadaan
cacing Moniezia ini diduga karena pada lokasi A terdapat tungau yang merupakan
inang antara cacing tersebut. Pada lokasi B, jenis tumbuhan yang paling banyak
ditemukan adalah Poaceae. Pada lokasi ini keanekaragaman tumbuhannya paling
tinggi, sedangkan kenanekaragaman cacingnya paling rendah. Jumlah telur cacing
paling banyak dijumpai domba yang digembalakan di lokasi C yang didominasi
oleh tumbuhan F. miliaceae. Lokasi D didominasi oleh tumbuhan B. reptans
dengan jenis cacing yang ditemukan sebanyak empat jenis. Lokasi E didominasi
oleh beberapa jenis tumbuhan dengan jenis cacing yang ditemukan sebanyak lima
jenis. Spesies cacing Bunostomum sp. hanya ditemukan pada domba yang
digembalakan di lokasi E.
Domba yang digembalakan di areal persawahan (lokasi A, B, dan C)
umumnya memiliki keanekaragaman jenis cacing dan nilai FEC yang lebih
rendah dibanding domba yang digembalakan di kebun tebu. Hal tersebut diduga
karena domba digembalakan di sawah selama musim kemarau. Menurut Gordon
(1948), musim kemarau merupakan masa yang sulit untuk perkembangan larva
cacing, karena memiliki curah hujan dan kelembaban yang rendah. Peningkatan
curah hujan dan kelembaban dapat meningkatkan nilai FEC. Domba yang
digembalakan di lokasi E memiliki keanekaragaman jenis cacing dan nilai FEC
yang lebih tinggi dibanding domba yang digembalakan di lokasi D. Hal tersebut
karena domba digembalakan di lokasi E pada bulan Februari, dimana curah hujan
dan kelembabannya lebih tinggi dibanding domba yang digembalakan di lokasi D
pada bulan Desember.
Selain faktor diatas, faktor lain yang diduga mempengaruhi nilai FEC
adalah adanya tumbuhan yang berpotensi antelmintik di lokasi penggembalaan.
Pada lokasi penggembalaan diketahui terdapat tiga jenis tumbuhan yang memiliki
potensi antelmintik. Ketiganya adalah Chrozophora rottleri, Heliotropium
indicum, dan Rhynchosia minima (Cordeiro dan Kaliwal 2012; Mahato et al.
2014; dan Priyanka et al. 2010). Ditemukan adanya tumbuhan C. rottleri dan H.
indicum pada lokasi B. Keberadaan tumbuhan tersebut diduga menjadi penyebab
rata-rata FEC pada lokasi B paling rendah. Sedangkan pada lokasi C, tidak
didapati ketiga jenis tumbuhan yang mengandung senyawa antelmintik tersebut,
sehingga diduga mengakibatkan rata-rata FEC di lokasi C paling tinggi dibanding
lokasi lain. Lokasi A, D, dan E masing-masing didapati satu jenis tumbuhan yang
mengandung senyawa antelmintik, sehingga rata-rata FEC tidak terlalu tinggi.
Potensi antelmintik pada Chrozophora rottleri berasal dari ekstrak air pada daun
(Patil et al. 2010). Menurut Mahato et al. (2014), Heliotropium indicum
mengandung senyawa metanol yang memiliki potensi antelmintik. Aktivitas

11
antelmintik pada Rhynchosia minima diduga karena mengandung komponen aktif
flavonoid, tanin, dan terpenoid (Cordeiro dan Kaliwal 2012).

SIMPULAN
Keanekaragaman jenis cacing dan nilai FEC pada domba, berbeda antar
lokasi penggembalaan. Domba yang digembalakan di areal sawah pasca panen
umumnya memiliki keanekaragaman jenis cacing dan nilai FEC yang lebih
rendah dibanding domba yang digembalakan di kebun tebu. Pada lokasi yang
terdapat tumbuhan yang diduga mengandung senyawa antelmintik, diperoleh nilai
FEC yang lebih rendah. Metode pengapungan garam jenuh dapat digunakan untuk
mengamati jumlah telur yang lebih banyak dibanding metode sedimentasi
formalin-etil asetat. Metode pengapungan garam jenuh spesifik untuk jenis cacing
Moniezia benedeni dan Moniezia expansa, sedangkan metode sedimentasi
formalin-etil asetat spesifik untuk jenis cacing Bunostomum sp.

DAFTAR PUSTAKA
Baker DG, Baker RA, Ballweber LR, Berger DMP, Bowman DD, Byford RL,
Cartner SC, Cogswell F, Craig ME, Craig TM, Fournie JW et al. 2007.
Flynn’s Parasites of Laboratory Animals. Ed ke-2. Iowa (US): Blackwell.
Batubara A. 2005. Pengaruh waktu rotasi gembala pada rumput Brachiaria
brizantha terhadap tingkat infestasi cacing Haemonchus contortus pada
ternak domba. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner; 2004 Ags 4-5; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan. 354-359.
Chengaiah B, Kumar KM, Alagusundaram M, Sasikala C, Chetty CM. 2009. Invitro anthelmintic activity of roots of Acalypha indica Linn. Int J
PharmTech Res. 1(4):1499-1502.
Cordeiro MC, Kaliwal BB. 2012. Antihelmintic activity of stem bark extract of
Bridelia retusa Spreng. IJABPT. 3(4):15-19.
Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Gordon MM. 1948. The epidemiology of parasitic diseases, with special reference
to studies with special nematode parasites of sheep. Austral Vet J. 24(2):1745.
Ishtiaq M, Khan MA, Hanif W. 2006. Ethno veterinary medicinal uses of plants
from Samahni Valley Dist. Bhimber, (Azad Kashmir) Pakistan. Asian J
Plant Sci. 5(2):390-396.
Kostermans AJGH, Soerjani M, Utomo IH, Wirjahardja S, Megia R, Laumonier
EKW, Dekker RJ, Eussen JHH, Pons TL, Veenstra H. 1987. Weeds of Rice
in Indonesia. Jakarta (ID): Balai Pustaka.
Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah;
Wardiarto, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr. Terjemahan dari:
Textbook of Veterinary Parasitology.

12
Mahato K, Kakoti BB, Borah S, Kumar M. 2014. Evaluation of in-vitro
anthelmintic activity of Heliotropium indicum Linn. leaves in Indian adult
earthworm. Asian Pac J Trop Dis. 4(Suppl 4):S259-S262.
Mönnig HO, Phil BA. 1947. Veterinary Helminthology and Entomology. Ed ke-3.
Baltimore (US): Williams & Wilkins.
Morley FHW, Donald AD. 1977. Farm management and systems of helminth
control. Vet Parasitol. 6:105-134.
Niezen JH, Charleston WAG, Robertson HA, Shelton D, Waghorn GC, Green R.
2002. The effect of feeding sulla (Hedysarum coronarium) or lucerne
(Medicago sativa) on lamb parasite burdens and development of immunity
to gastrointestinal nematodes. Vet Parasitol. 105:229-245.
Priyanka P, Patel JK, Kulkarni PS, Patel MU, Bhavsar CJ, Patel JA. 2010. In vitro
anthelmintic activity of various herbal plants extracts against Pheritima
posthuma. IJPP. 29(3):234-237.
Shaik SA, Terrill TH, Miller JE, Kouakou B, Kannan G, Kaplan RM, Burke JM,
Mosjidis JA. 2006. Sericea lespedeza hay as a natural deworming agent
against gastrointestinal nematode infection in goats. Vet Parasitol. 139(13):150-157.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated
Animals. Ed ke-7. London (GB): Bailliere Tindall.
Southwell J, Fisk C, Sallur N. 2008. Internal Parasite Control in Sheep: reference
manual. Armidale (AU): Sheep CRC.
Tarazona JM. 1986. A method for interpretation of parasite egg count of faeces of
sheep. Vet Parasitol. 22(1):113-119.
Van Steenis CGGJ. 1998. Flora: untuk sekolah di Indonesia. Surjowinoto M,
penerjemah. Jakarta (ID): Pradnya Paramita Pr.
Whitlock HV. 1948. Some modifications of the McMaster helminth egg counting
technique and apparatus. J Counc Sci Ind Res. 21:177-180.
Zajac AM, Conboy GA. 2012. Veterinary Clinical Parasitology. Ed ke-8. Oxford
(GB): J Wiley.

13

LAMPIRAN
Lampiran 1 Data iklim makro Kecamatan Jatitujuh
Parameter
Indoor humidity (%)
Indoor temperature (°C)
Outdoor humidity (%)
Outdoor temperature (°C)
Absolute pressure (mmHg)
Wind (m/s)
Gust (m/s)
Relative pressure (mmHg)
Dewpoint (°C)
Windchill (°C)
Hour rainfall (mm)
24 hour rainfall (mm)
Week rainfall (mm)
Month rainfall (mm)
Total rainfall (mm)
Wind level (bft)
Gust level (bft)

October
64,8
29,4
70,4
28,9
755,5
2,7
3,5
761
22,6
28,7
0,2
5,4
36,7
43,6
43,6
2,1
2,5

November
71,8
28,4
76
28,2
753,8
2,3
3
759,3
23,1
27,9
0,2
4,2
23,2
115,9
140,9
1,8
2,2

December
83,3
27,1
86,3
27,1
753,9
1,7
2,4
759,4
24,4
26,9
0,2
5,3
36,7
153,1
290,3
1,5
1,9

14
Lampiran 2 Kerapatan dan frekuensi relatif jenis tumbuhan di setiap lokasi
Lokasi
A

B

C

Spesies tumbuhan
Ammannia baccifera
Chrozophora rottleri
Glinus lotoides
Oryza sativa
Poaceae 1
Sp. 1
Sphaeranthus africanus
Sphaeranthus indicus
Alternanthera nodiflora
Bergia ammannioides
Chrozophora rottleri
Eriochloa polystachya
Fimbristylis miliaceae
Glinus lotoides
Heliotropium indicum
Houstonia longifolia
Hydrolea zeylanica
Leptochloa chinensis
Ludwigia sp.
Oryza sativa
Panicum repens
Poaceae 1
Sp. 1
Sp. 2
Sp. 3
Sp. 4
Sphaeranthus indicus
Sutera cordata
Zea mays
Ammannia baccifera
Cyperus difformis
Cyperus iria
Eriochloa polystachya
Fimbristylis miliaceae
Glinus lotoides
Houstonia longifolia
Ludwigia hyssopifolia
Ludwigia peruviana
Marsilea crenata
Oryza sativa
Phyllanthus debilis
Poaceae 1
Sphaeranthus indicus

KR
(%)
1,44
0,61
0,68
6,40
86,75
0,06
0,61
3,45
0,63
0,47
1,11
3,16
0,32
0,95
0,16
2,21
0,47
5,06
1,26
6,32
1,26
54,50
0,95
0,16
0,47
0,16
3,16
17,06
0,16
1,25
1,25
0,50
14,11
50,56
1,37
1,25
12,48
9,11
0,50
0,50
0,38
3,12
3,62

FR
(%)
17,86
10,71
3,57
17,86
17,86
3,57
10,71
17,86
3,23
1,61
4,84
6,45
1,61
6,45
1,61
6,45
4,85
3,23
3,23
6,45
6,45
11,29
6,45
1,61
3,23
1,61
6,45
11,29
1,61
10,00
6,60
3,40
3,40
16,60
6,60
6,60
16,60
10,00
3,40
3,40
3,40
3,40
6,60

Lokasi
D

E

Spesies tumbuhan
Brachiaria reptans
Centella asiatica
Cyperus difformis
Dichondra repens
Ludwigia peruviana
Phyllanthus urinaria
Rhynchosia minima
Saccharum officinarum
Sp. 5
Sp. 6
Sphaeranthus indicus
Centella asiatica
Cyperus difformis
Cyperus iria
Dactyloctenium aegyptium
Digitaria ciliaris
Echinochloa colonum
Eleusine indica
Fimbristylis miliaceae
Fimbristylis sp.
Paspalum sp.
Rhynchosia minima
Richardia brasiliensis
Saccharum officinarum
Sp. 7
Sp. 8

KR
(%)
68,12
3,23
0,28
0,28
2,25
0,84
10,53
2,25
7,16
4,78
0,28
4,99
0,23
1,28
1,39
17,87
13,81
0,35
0,12
1,74
21,92
0,81
14,50
5,45
15,31
0,23

FR
(%)
19,38
16,13
3,22
6,45
6,45
3,22
16,13
16,13
6,45
3,22
3,22
10,17
1,70
5,08
6,77
10,17
10,17
3,39
1,70
6,78
10,17
1,70
10,17
10,17
8,47
3,39

15
Lampiran 3 Data sampel domba dan lokasi penggembalaan
Lokasi
penggembalaan
A

B

C

Sampel
domba
Sr 1
Sr 2
Sr 3
Sr 4
Sr 5
Mn 1
Mn 2
Mn 3
Mn 4
Mn 5
Mn 6
Mn 7
Mn 8
Mn 9
Mn 10
Mn 11
Mn 12
Mn 13
Mn 14
Mn 15

Umur
(bulan)
3
24
5
24
5
9
24
7
7
7
60
18
8
84
11
18
10
18
6
8

Jenis
Kelamin





















Lokasi
penggembalaan
D

E

Sampel
domba
Wm 1
Wm 2
Wm 3
Wm 4
Wm 5
Wm 6
Wm 7
Wm 8
Wm 9
Wm 10
Wm 11
Wm 12
Wm 13

Umur
(bulan)
8
3
8
7
7
6
24
1,5
1,5
12
7
2
24

Jenis
Kelamin














16
Lampiran 4 Data jenis dan jumlah cacing yang mengifeksi domba
Sampel
Domba
Sr 1
Sr 2
Sr 3

Sr 4

Sr 5
Mn 1
Mn 2
Mn 3
Mn 4
Mn 5
Mn 6
Mn 7
Mn 8
Mn 9
Mn 10
Mn 11
Mn 12
Mn 13

Mn 14
Mn 15
Wm 1
Wm 2
Wm 3
Wm 4
Wm 5
Wm 6

Wm 7

Wm 8
Wm 9

Wm 10
Wm 11
Wm 12
Wm 13

Metode Pengapungan
Spesies
Moniezia benedeni
Moniezia expansa
Trichostrongylus spp.
-

Skrjabinema ovis
Strongyloides pappilosus
Schistosoma sp.
Strongyloides pappilosus
Strongyloides pappilosus
Oesophagostomum spp.
Strongyloides pappilosus
Oesophagostomum spp.
Trichostrongylus spp.
Haemonchus contortus
Oesophagostomum spp.
Oesophagostomum spp.
Trichostrongylus spp.
Haemonchus contortus
Oesophagostomum spp.
Trichostrongylus spp.
Haemonchus contortus
Oesophagostomum spp.
Oesophagostomum spp.
Trichostrongylus spp.
Oesophagostomum spp.
Trichostrongylus spp.
Oesophagostomum spp.
Trichstrongylus spp.
Oesophagostomum spp.
Oesophagostomum spp.
Trichostrongylus spp.
Oesophagostomum spp.
Strongyloides pappilosus
Haemonchus contortus
Oesophagostomum spp.
Trichostrongylus spp.
Haemonchus contortus
Oesophagostomum spp.
Trichostrongylus spp.
Haemonchus contortus
Oesophagostomum spp.
Trichostrongylus spp.
Oesophagostomum spp.
Trichostrongylus spp.
Oesophagostomum spp.
Trichostrongylus spp.
-

Metode Sedimentasi
FEC
(telur/g)
30
30
30
-

30
30
30
30
30
30
30
150
30
30
30
90
90
150
1860
150
120
180
90
30
270
90
60
30
90
60
90
180
30
210
450
300
120
240
180
30
60
30
120
60
90
30
-

Spesies
Skrjabinema ovis
-

FEC
(telur/g)
50
-

Haemonchus contortus
Oesophagostomum spp.
Strongyloides pappilosus
Trichostrongylus spp.
Strongyloides pappilosus

50
300
100
150
50

Oesophagostomum spp.
-

100
-

-

-

Oesophagostomum spp.

50

Trichostrongylus spp.
Oesophagostomum spp.

100
50

-

-

-

-

-

-

Schistosoma sp.
Bunostomum sp.
Oesophagostomum spp.
Trichostrongylus spp.
-

-

Schistosoma sp.

50
50
100
50
-

-

50

-

-

-

-

17
Lampiran 5 Gambar telur cacing yang ditemukan menginfeksi domba

Bunostomum sp.

Trichostrongylus sp.

Moniezia benedeni

Haemonchus contortus

Oseophagostomum sp.

Moniezia expansa

Schistosoma sp.

Strongyloides pappilosus

Skrjabinema ovis

18
Lampiran 6 Gambar cacing dewasa yang menginfeksi domba

Haemonchus contortus
Oesophagostomum spp.

Trichostrongylus spp.

Strongyloides sp.

Moniezia sp.

Schistosoma sp.

19

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 1992. Penulis merupakan
putri ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Homat Syukur dan Ibu
Marsini. Penulis lulus dari SMA Negeri 112 Jakarta pada tahun 2010 dan
melanjutkan pendidikan S1 di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Semasa studi penulis pernah menjadi penyaji makalah Seminar Nasional
MIPA (Semirata) tahun 2014, asisten praktikum mata kuliah Biologi Dasar tahun
2013-2014, Botani Umum dan Struktur Hewan tahun 2014. Penulis melaksanakan
Studi Lapangan tahun 2012 di di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan
kawasan Kebun Raya Cibodas, Jawa Barat dengan judul Diversitas Serangga di
Kebun Raya Cibodas dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, yang
dibimbing oleh Dr Tri Atmowidi, MSi. Penulis melaksanakan kegiatan Praktik
Lapangan tahun 2013 di PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Bogasari Flour Mills
Jakarta dengan judul Proses Pengolahan dan Analisis Mutu Tepung Terigu di PT
Indofood Sukses Makmur Tbk. Bogasari Flour Mills, yang dibimbing oleh Dr Ir
Nisa Rachmania Mubarik, MSi.