Infestasi cacing pada domba ekor tipis dari rumah pemotongan domba rakyat di Bogor

INFESTASI CACING PADA DOMBA EKOR TIPIS DARI RUMAH
PEMOTONGAN DOMBA RAKYAT DI BOGOR

SARAH NILA

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ABSTRAK
SARAH NILA. Infestasi Cacing pada Domba Ekor Tipis dari Rumah Pemotongan
Domba Rakyat di Bogor. Dibimbing oleh ACHMAD FARAJALLAH dan TARUNI SRI
PRAWASTI.
Domba di pulau Jawa dibedakan menjadi Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis.
Domba yang dipelihara oleh masyarakat Bogor dan sekitarnya, termasuk jenis domba ekor tipis.
Salah satu kendala dalam pemeliharaan domba ialah adanya parasit, salah satunya ialah cacing
pada saluran pencernaan. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung dan mengidentifikasi telur
cacing dari feses domba ekor tipis yang dipotong di rumah pemotongan domba rakyat di Bogor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 18 sampel dari total 35 sampel yang diperiksa, terinfestasi

telur cacing. Berdasarkan jenis kelaminnya, domba betina yang terinfestasi telur cacing sebesar
50% dan domba jantan sebesar 100%. Identifikasi telur cacing menghasilkan 3,45% famili
Schistosomatidae, 6,90% famili Anoplocephalidae, 3,45% famili Ascarididae, 41,38% famili
Trichostrongylidae, 37,93% famili Capillariidae dan 6,90% famili Trichuriidae. Tingkat infestasi
telur cacing yang didapatkan dari penelitian ini sebesar 892 buah/g feses sehingga termasuk ke
dalam kategori tingkat infestasi sedang. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa curah hujan tidak
mempengaruhi pola dan jumlah telur cacing.
Kata kunci: Domba ekor tipis, cacing parasit, deteksi melalui feses.

ABSTRACT
SARAH NILA. The Worms Infestation of The Thin Tail Sheep from The Sheep’s
Abattoir House in Bogor. Supervised by ACHMAD FARAJALLAH and TARUNI SRI
PRAWASTI.
There are two kinds of sheep in Java, the thin tail sheep (which is the common livestock
in Bogor) and the fat tail sheep. Both type of sheep could be infected by worm parasites in
digestive tract, which reduce the health of the sheep. Therefore, the objections of this research
were counting and identifying the worm eggs from faecal samples of thin tail sheep which
slaughtered in the sheep’s abattoir house in Bogor. From the total 35 samples collection, I found
18 samples were infected by the worm parasites. The worm parasites were found in all sample of
males, meanwhile they were also found in half of faecal sample of females. The egg worms that

found in this research belonged to six families, they were Schistosomatidae (3,45%),
Anoplocephalidae (6,90%), Ascarididae (3,45%), Trichostrongylidae (41,38%), Capillaridae
(37,93%) and Trichuriidae (6,90%). The average of worm eggs infestation from all samples were
892 egg/g faeces, which included to the average category of infection degree. This research also
showed that the rain had no influence to the eggs number.
Key words: Thin tail sheep, worm intestinal parasites, egg worm faecal detection.

INFESTASI CACING PADA DOMBA EKOR TIPIS DARI RUMAH
PEMOTONGAN DOMBA RAKYAT DI BOGOR

SARAH NILA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2011

Judul Skripsi : Infestasi Cacing pada Domba Ekor Tipis dari Rumah Pemotongan
Domba Rakyat di Bogor
Nama
: Sarah Nila
NIM
: G34062969
Program Studi : Biologi

Menyetujui

Dr. Ir. Achmad Farajallah, M. Si

Dra. Taruni Sri Prawasti

Pembimbing I

Pembimbing II


Mengetahui

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si
Ketua Departemen Biologi

Tanggal lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Infestasi Cacing pada Domba
Ekor Tipis dari Rumah Pemotongan Domba Rakyat di Bogor. Karya ilmiah ini dilaksanakan di
Laboratorium Biosistematika dan Ekologi Hewan, Departemen Biologi, FMIPA IPB dari bulan
April sampai dengan November 2010.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Achmad Farajallah, M. Si dan Ibu
Dra. Taruni Sri Prawasti, masing-masing sebagai pembimbing I dan II yang telah banyak
memberikan bimbingan dan saran selama penelitian hingga penyusunan karya ilmiah. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Nina Ratna Djuita, M.Si selaku dosen penguji
wakil komisi pendidikan yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan saat ujian dan
penulisan karya ilmiah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua serta keluarga

atas segala doa dan dukungan, kepada Ibu Tini dan Ibu Ani atas bantuan dalam pengerjaan di
laboratorium, kepada Ibu Tetri, Ibu Rini, dan Mbak Kanthi atas bantuan, dukungan, dan sarannya,
serta Ega, Oya, Firza, kerzjakru, pf-ers, teman-teman biologi, dan semua pihak yang telah yang
telah membantu dan memberikan semangat.
Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membaca dan
membutuhkannya.

Bogor, Juni 2011

Sarah Nila

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 April 1988 sebagai anak kedua dari tiga
bersaudara, dari Ibu yang bernama Nurlaila Abdullah Mashabi dan ayah bernama B. Ahmad.
Penulis lulus SD Islam Dian Didaktika pada tahun 2000, lulus SLTP Islam Dian Didaktika tahun
2003, lulus Lazuardi Global Islamic School pada tahun 2006, dan pada tahun yang sama penulis
lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI. Setahun kemudian penulis mendapat mayor Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Penulis melakukan Studi Lapangan pada tahun 2008 mengenai Peranan Lumut dalam
Konservasi Air di Taman Wisata Alam Situ Gunung, Sukabumi, dan pada tahun 2009 penulis

melaksanakan Praktik Lapangan mengenai Konservasi Ex-Situ Macaca hecki di Pusat Primata
Schmutzer Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah
menjadi asisten praktikum mata kuliah Perkembangan Hewan pada tahun ajaran 2009/2010, mata
kuliah Vertebrata pada tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011, mata kuliah Avertebrata pada
tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011, mata kuliah Fungsi Hayati Hewan pada tahun ajaran
2010/2011, mata kuliah Biologi Alga dan Lumut pada tahun ajaran 2010/2011, dan mata kuliah
Biologi pada tahun ajaran 2010/2011. Penulis juga aktif dalam tim Bola Basket Putri FMIPA dan
berbagai kepanitiaan dalam kegiatan yang diselenggarakan baik di tingkat departemen maupun
tingkat fakultas.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................. viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ................................................................................................................... 1
Tujuan ................................................................................................................................. 1
BAHAN DAN METODE

Pengambilan Sampel ........................................................................................................... 1
Preparasi Sampel ................................................................................................................. 1
Uji Keberadaan Telur.......................................................................................................... 1
Analisis Data ....................................................................................................................... 2
Identifikasi Telur ................................................................................................................. 2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Infestasi Telur Cacing ............................................................................................ 2
Identifikasi Telur Cacing ..................................................................................................... 3
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ............................................................................................................................. 5
Saran ................................................................................................................................... 5
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................... 5
LAMPIRAN ...................................................................................................................................... 6

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Infestasi telur cacing pada domba berdasarkan jenis kelamin dan jenis infestasi .......................... 2
2 Rata-rata jumlah telur/g feses pada setiap famili/ml ...................................................................... 4

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Hubungan antara rata-rata telur/g feses dengan curah hujan pada bulan Juli sampai
dengan September 2010 ................................................................................................................ 3
2 Rata-rata curah hujan di daerah Empang, Bogor pada bulan Juli, Agustus,
dan September 2010 (BMKG 2010) ............................................................................................. 3
3 Telur cacing dari famili Schistosomatidae ..................................................................................... 3
4 Telur cacing dari famili Anoplocephalidae.................................................................................... 3
5 Telur cacing dari famili Ascarididae .............................................................................................. 4
6 Telur cacing dari famili Capillaridae.............................................................................................. 4
7 Telur cacing dari famili Trichuridae .............................................................................................. 4
8 Telur cacing dari famili Trichostrongylidae ................................................................................... 4

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba di pulau Jawa dibedakan menjadi
domba ekor gemuk dan domba ekor tipis.
Domba ekor gemuk biasa diternakan di daerah

Jawa Timur (Herman 1988). Domba ekor tipis
dibedakan dalam dua galur berdasarkan lokasi
geografinya, yaitu galur Bogor dan galur
Garut. Domba ekor tipis memiliki ekor
dengan sedikit jaringan lemak di bagian
pangkal, memiliki tanduk berukuran sedang,
domba
jantannya
memiliki
tanduk
melengkung. Umumnya domba betina dewasa
tidak memiliki tanduk, namun ada beberapa
yang memiliki penonjolan tanduk ataupun
bertanduk kecil. Posisi telinga, baik pada
domba jantan maupun betina, biasanya agak
menggantung dengan ukuran sedang. Domba
ekor tipis memiliki rambut yang bercampur
sedikit wool dengan warna bulu yang
bervariasi mulai putih, putih-cokelat, atau
putih-hitam (Mason 1978).

Parasit
menjadi
kendala
dalam
pemeliharaan
domba.
Penyakit
yang
disebabkan parasit merupakan salah satu
penyakit infeksi yang biasa menyerang
domba. Infeksi parasit biasanya menyebabkan
kerugian berupa penurunan kondisi badan dan
daya produktivitas yang sangat besar, namun
tidak
mengakibatkan
kematian
(Kusumamihardja 1982).
Salah satu contoh parasit yang
menyerang domba adalah cacing yang hidup
dalam saluran pencernaan. Jenis-jenis cacing

yang biasa ditemukan pada saluran
pencernaan domba antara lain Trichuris ovis,
Capillaria sp., Strongyloides pappilosus,
Moniezia expansa, Dicrocoelium lanceatum,
Fasciola sp., Paramphistomum cervi,
Toxocara vitolorum, Bunostomum, Chabertia
ovina, Trichostrongylus, Cooperia sp.,
Haemonchus contortus, Oesophagostomum,
Ostertagia, dan Nematodirus (Thienpont et al.
1985).
Telur-telur cacing parasit biasanya
keluar bersama feses inang dan berkembang di
lingkungan lembab. Domba, kambing, dan
sapi akan terinfeksi cacing tersebut apabila
makan rumput atau minum air yang
mengandung larva cacing (metaserkaria)
(Soulsby 1982). Kerusakan patologis pada
inang yang terjadi akibat infeksi cacing
bergantung pada patogenitas cacing, derajat
infeksi, habitat parasit, dan kondisi kekebalan
inang serta campur tangan manusia (Malek
1980).

Tinggi rendahnya infeksi cacing di
saluran pencernaan dapat dilihat melalui feses.
Jumlah telur cacing dalam setiap gram feses
sebanding dengan jumlah cacing dewasa
dalam saluran pencernaan satu individu
domba atau ternak lainnya (Handoko &
Henderson 1981). Pemeriksaan secara
kualitatif jumlah telur dalam feses bertujuan
untuk mendeteksi telur cacing, sedangkan
secara kuantitatif untuk menghitung jumlah
telur cacing dalam satu gram feses. Metode
yang dapat digunakan antara lain metode
langsung, metode pengapungan, dan metode
sedimentasi (Malek 1980). Metode yang
digunakan dalam penelitian ini ialah metode
langsung, karena lebih sederhana, memberi
hasil yang baik, dan tidak memerlukan biaya
tinggi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghitung dan
mengindentifikasi telur cacing dari feses
domba ekor tipis yang dipotong di rumah
pemotongan domba rakyat di Bogor.

BAHAN DAN METODE
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel feses dilakukan di
lokasi pemotongan domba/kambing rakyat,
Empang, Bogor pada bulan Juli sampai
dengan September 2010. Sampel diambil
secara acak dari 35 ekor domba pada bulan
Juli sampai dengan September 2010.
Preparasi Sampel
Feses sebanyak 5 gram digerus dan
disuspensikan dalam air sambil diaduk,
kemudian disaring menggunakan saringan
berukuran 370 µm. Hasil saringan diencerkan
dengan air 200 ml dan diendapkan.
Supernatan dibuang dan endapan yang
diperoleh disuspensikan dengan air sampai
200 ml, lalu diaduk dan diendapkan kembali.
Hal ini dilakukan beberapa kali sehingga
diperoleh endapan jernih.
Uji Keberadaan Telur
Endapan hasil preparasi diambil
sebanyak 0,05 ml dan diletakkan di atas gelas
objek (modifikasi McMaster) (Whitlock
1948). Preparat ditutup dengan kaca penutup
berukuran 60 x 24 mm. Pengamatan dilakukan
terhadap bentuk dan jumlah telur yang ada.

2

Analisis Data
Persentase telur cacing pada setiap famili
dapat diketahui dari :
Rata-rata jumlah telur/famili
Total sampel feses
Banyaknya telur cacing per gram feses
dari telur yang diperoleh dari berbagai famili,
dihitung menggunakan rumus :
Jumlah telur/g feses (buah/g) =
∑ telur yang di
dapat

x

∑ larutan yang
ditambahkan

∑ larutan yang di
periksa

x

berat feses awal

Setelah itu data juga diuji secara statistik
dengan menggunakan Anova.
Identifikasi Telur
Telur yang diperoleh
berdasarkan Soulsby (1982).

diidentifikasi

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Infestasi Telur Cacing
Sebanyak 18 dari total 35 sampel feses
yang diperoleh dari pengamatan, terinfestasi
telur cacing. Infestasi telur cacing dibedakan
berdasarkan jenis kelamin dan jenis infestasi.
Berdasarkan jenis kelaminnya, domba betina
yang terinfestasi ialah sebesar 50% dan
domba jantan sebesar 100%. Berdasarkan
jenis infestasi, domba betina yang terinfestasi
oleh satu jenis telur (single infestation)
sebesar 76,19%, sedangkan yang terinfestasi
oleh lebih dari satu jenis telur (double
infestation) sebesar 23,81%. Pada domba
jantan, single infestation sebesar 50%
sedangkan double infestation sebesar 50%
(Tabel 1). Larva cacing yang masuk ke dalam
tubuh bersamaan dengan masuknya makanan
dan menyerang organ tubuh domba akan
menimbulkan
infeksi
(Kusumamihardja
1982). Banyaknya cacing dewasa di dalam
tubuh ternak disebut dengan tingkat infestasi
(Tarazona 1987). Tingkat infestasi telur
cacing pada domba dapat disebabkan oleh
kondisi peternakan, jumlah ternak dalam satu
kandang, makanan yang diberikan, dan daya
tahan tubuh ternak (kekebalan) terhadap
penyakit (Boky & Suhardono 2006).

Tabel 1 Infestasi telur cacing pada domba
berdasarkan jenis kelamin dan jenis
infestasi
Domba

Jumlah
(ekor)

Terinfestasi
(%)

Single
infestation
(%)

Double
infestation
(%)

Betina

33

50

76,19

23,81

Jantan

2

100

50

50

Secara keseluruhan, tingkat infestasi
rata-rata yang didapatkan dari hasil
pengamatan sebesar 892 buah/g feses. Total
telur terendah adalah 472 buah/g feses dan
terbanyak adalah 7 500 buah/g feses. Tingkat
infestasi cacing pada domba dapat
digolongkan menjadi 3 yaitu, (1) tingkat
infestasi ringan dimana jumlah telur/g feses
antara 50-500 buah/g, (2) tingkat infestasi
sedang, yaitu jumlah telur/g feses berkisar
antara 500-2 000 buah/g, dan (3) tingkat
infestasi berat jika jumlah telur/g feses >2 000
buah/g (Tarazona 1987). Tingkat infestasi
yang didapatkan dari hasil penelitian ini
termasuk ke dalam tingkat infestasi sedang.
Apabila dibedakan berdasarkan jenis kelamin,
tingkat infestasi rata-rata pada domba betina
sebesar 900 buah/g, sedangkan pada domba
jantan sebesar 750 buah/g feses. Menurut
Barger (1993), jumlah telur cacing dalam satu
gram feses tidak dipengaruhi oleh jenis
kelamin. Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan jumlah telur/g feses pada domba
betina lebih besar dibandingkan domba jantan.
Kemungkinan hal itu disebabkan jumlah
sampel domba jantan lebih sedikit yaitu dua
ekor.
Menurut Levine & Anderson (1973) dan
Rossanigo & Gruner (1995), curah hujan
merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi translokasi dan keberadaan
larva cacing dari feses ke rumput tempat
domba makan. Pada musim hujan, populasi
larva akan meningkat dibandingkan dengan
musim kemarau (Kusumamihardja 1982;
Brotowidjoyo 1987). Namun berdasarkan
hasil penelitian ini, curah hujan pada bulan
Juli sampai dengan September tidak
mempengaruhi jumlah telur/g feses (anova,
p>0,05) (Gambar 1; Gambar 2). Hal ini sesuai
dengan Beriajaya & Copeman (1997) yang
menyatakan bahwa di daerah curah hujan
tinggi seperti Bogor dan sekitarnya, tidak
terdapat perubahan musiman dalam pola
jumlah telur cacing.

3

Famili : Schistosomatidae
Tubuh cacing memanjang berukuran 522 mm dan uniseksual. Cacing betina lebih
panjang dan ramping dibandingkan dengan
cacing jantan. Baik pada cacing betina
maupun jantan, terdapat skoleks dengan
penghisap yang menonjol dan biasanya tidak
memiliki kait (Soulsby 1982). Telur cacing
berukuran 90 x 50 µm, berbentuk oval,
memiliki operkulum, dan cangkang yang tipis
(Gambar 3).

operkulum

Gambar 1 Hubungan antara rata-rata jumlah
telur/g feses dengan curah hujan
pada bulan Juli sampai dengan
September 2010

10 µm

Gambar

3

Telur cacing dari
Schistosomatidae

famili

Famili : Anoplochepaliidae
Tubuh cacing berukuran 600 x 1,6 cm
dan memiliki skoleks tanpa kait (Soulsby
1982). Telur cacing berukuran 60 x 50 µm,
berbentuk piramida segitiga, berwarna abuabu, dan memiliki cangkang tebal (Gambar 4).

Gambar 2 Rata-rata curah hujan daerah
Empang, Bogor pada bulan Juli,
Agustus, dan September 2010
(BMKG 2010)
10 µm

Identifikasi Telur Cacing
Telur cacing dari 18 sampel feses
termasuk ke dalam 6 famili, yaitu famili
Schistosomatidae, Poche 1907, famili
Anoplocephalidae, Blanchard 1981, famili
Ascarididae,
Baird
1853,
famili
Trichostrongylidae, Leiper 1912, famili
Capillariidae, Neveu-Lemaire 1936, dan
famili Trichuridae, Raillet 1915. Persentase
telur
cacing
tertinggi
ialah
famili
Trichostrongylidae (41,38%), kemudian famili
Capillariidae (37,93%), sedangkan persentase
terendah ialah famili Schistosomatidae dan
Ascarididae yang masing-masing sebesar
3,45% (Tabel 2). Deskripsi dari setiap famili
disajikan di bawah ini.

Gambar

4

Telur cacing dari
Anoplochepaliidae

famili

Famili : Ascarididae
Tubuh cacing jantan dewasa berukuran
rata-rata 15x0,5 mm. Cacing ini memiliki batil
isap anterior yang terletak di ujung,
asetabulum (tonjolan pendek) yang berada di
ujung tubuh, tetapi, tidak terdapat faring dan
memiliki tegumen yang terlihat halus. Cacing
betina dewasa berukuran 20x0,3 mm, lebih
panjang dan sempit daripada jantan. Ovarium
terletak di pertengahan tubuh bagian posterior.
Lubang genital terbuka tepat di belakang batil
isap ventral (Soulsby 1982). Telur cacing
berukuran 30 x 20 µm dan memiliki kait
lateral yang biasanya sulit dilihat. Telur
dilapisi cangkang yang tebal (Gambar 5).

4

10 µm

Gambar 5 Telur cacing dari famili Ascarididae

Famili : Capillariidae
Tubuh cacing bagian anterior kecil dan
ramping seperti benang, sedangkan bagian
posterior lebih lebar dan pendek. Mulut tidak
dikelilingi oleh bibir, memiliki kapsula
bukalis berukuran kecil atau tidak sempurna,
terdapat esofagus tanpa pentolan, dan anus
biasanya terletak di ujung terminal. Cacing
betina umumnya bersifat oviparosa. Daur
hidup umumnya tanpa melalui perantara,
beberapa spesies memerlukan perantara
(Soulsby 1982). Telur cacing berukuran 70 x
48 µm, berbentuk oval, dan memiliki
cangkang tebal (Gambar 6).

Famili : Trichostrongylidae
Cacing dewasa sebagian besar berukuran
kecil, 10-20 mm pada cacing jantan dan 18-30
mm pada cacing betina, memiliki mulut yang
kecil, dan berwarna cokelat kemerahan.
Cacing betina memiliki ujung anterior yang
sederhana tanpa kapsula bukalis yang
mencolok dan bagian posterior mengecil ke
arah ujung yang tumpul tanpa struktur
tambahan. Cacing jantan memiliki bursa
kopulatoris posterior dan sepasang spikulum
kopulatoris yang tebal, pendek, tidak teratur,
dan berwarna cokelat (Soulsby 1982). Telur
cacing berukuran 69-85 x 40-50 µm,
berbentuk simetris, dan memiliki cangkang
tipis serta berkitin (Gambar 8).

10 µm

10 µm

10 µm
10 µm

Gambar

6

Telur cacing
Capillariidae

Gambar
dari

famili

Famili : Trichuriidae
Tubuh cacing bagian belakang memiliki
penghisap yang lebih banyak. Tubuh bagian
depan panjang dan ramping. Bagian belakang
tubuh jantan terdapat satu spikula yang
dikelilingi oleh selubung dengan bulu halus.
Tubuh jantan berukuran 50-80 mm dan betina
berukuran 35-70 mm (Soulsby 1982). Telur
cacing berukuran 70 x 32 µm, berbentuk oval
dengan 2 tonjolan di masing-masing kutub
yang berwarna transparan, berwarna cokelat
muda atau tua, dan memiliki cangkang tebal
(Gambar 7).

10 µm

Gambar

7

Telur cacing
Trichuriidae

dari

8

famili

Telur cacing dari
Trichostrongylidae

famili

Tabel 2 Rata-rata jumlah telur/g feses pada
setiap famili/ml
Rata-rata
(buah)

Persentase
(%)

Anoplocephalidae

20

6,9

Schistosomatidae

10

3,45

Ascarididae

10

3,45

Capillariidae

110

37,93

Trichuriidae

20

6,9

Trichostongylidae

120

41,38

Jumlah

290

100

Famili

5

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Persentase domba yang terinfestasi telur
cacing sebesar 50% pada domba betina dan
100% pada domba jantan. Berdasarkan hasil
identifikasi, ditemukan telur cacing yang
termasuk ke dalam 6 famili. Tingkat infestasi
telur cacing pada domba tidak dipengaruhi
oleh musim hujan atau pun kemarau.

Saran
Penulis menyarankan kepada peternak
untuk lebih memperhatikan manajemen
pemeliharaan ternak agar kondisi peternakan
lebih baik lagi. Selain itu, atlas parasit yang
penulis buat dapat digunakan sebagai acuan
identifikasi secara teknis.

DAFTAR PUSTAKA
[BMKG].
2010.
Badan
Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika Bogor.
Curah Hujan Daerah Empang Bogor
2010. Bogor.
Barger IA. 1993. Influence of Sex and
Reproductive Status on Susceptibility
of
Ruminants
to
Nematode
Parasitism. J Parasitol 23 : 463-469.
Beriajaya, Copeman DB. 1997. An Estimate
of Seasonality and Intensity of
Infection
with
Gastrointestinal
Nematodes in Sheep and Goats in
West Java. JITV 2 : 270-276.
Boky JT, Suhardono. 2006. Pengaruh Infeksi
Fasciola gigantica (Cacing Hati)
Iradiasi terhadap Gambaran Darah
Kambing (Capra hircus Linn.). JITV
: 11.
Brotowidjoyo MD. 1987. Parasit dan
Parasitisme edisi 1. Jakarta : Media
Sarana Press.
Handoko NS, Henderson AK. 1981.
Helminthiasis dan Pengaruhnya pada
Gambaran Domba Ekor Gemuk di
Kabupaten DT II Bogor. Bul LPPH
12 (21) : 19-26.
Herman R. 1988. Kualitas Karkas Domba
Lokal Hasil Penggemukan. Prosiding
Pertemuan
Ilmiah
Ruminansia.
Bogor : Puslitbang Peternakan. hlm
228-233.
Kusumamihardja S. 1982. Parasit dan
Parasitologi pada Hewan Ternak
dan Piaraan di Indonesia. Bogor :
Pusat
Antar
Universitas
Bioteknologi,
Institut
Pertanian
Bogor.

Levine ND, Anderson FL. 1973. Development
and Survival of Trichostrongylus
colubiformis on Pasture. J Parasitol
59 : 147-165.
Malek E. 1980. Snail-Transmitter Disease
vol.2. Florida : CRC Press Inc.
Mason IL. 1978. Sheep in Java. JWAP 27 :
17-22.
Rossanigo CE, Gruner L. 1985 Moisture and
Temperature Requirements in Faeces
for The Development of Free-Living
Stages of Gastrointestinal Nematodes
of Sheep, Cattle and Deer. J
Helminthol 69 : 357-362.
Soulsby EJL. 1982. Helmiths, Artropods, and
Protozoa of Domesticated Animals
(Mönnig). Ed ke-7. New York and
London : Academic Press.
Tarazona JM. 1987. A Method for Parasite
Egg Count of Faeces of Sheep.
Veterinary Bull : 57.
Thienpont D, Rochette F, Vanparijs OFJ.
1985. Diagnosing Helminthasis by
Coprological Examination. Belgium
: Janssen Research Foundation.
Whitlock HV. 1948. Some Modifications of
The McMaster Helminth Egg
Counting Technique and Apparatus.
J Counc Sci Ind Res 21 : 177-180.

LAMPIRAN


 
Lampiran 1 Kunci Identifikasi Telur Cacing
1.

2.

3.

4.

5.

a.

Telur cacing berbentuk oval.............................................................................

2

b.

Telur cacing berbentuk segitiga.......................................................................

Anoplocephalidae

a.

Memiliki tonjolan transparan di dua kutub, telur berukuran 70 x 32 µm......

Trichuriidae

b.

Tidak memiliki tonjolan di dua kutub..............................................................

3

a.

Memiliki cangkang tebal..................................................................................

4

b.

Memiliki cangkang tipis...................................................................................

5

a.

Memiliki kait lateral, telur berukuran 30 x 20 µm...........................................

Ascarididae

b.

Tidak memiliki kait lateral, telur berukuran 70 x 48 µm................................

Capillariidae

a.

Memiliki operkulum, telur berukuran 90 x 50 µm...........................................

Schictosomatidae

b.

Tidak memiliki operkulum, telur berukuran 69-85 x 40-50 µm......................

Trichostrongylidae

ABSTRAK
SARAH NILA. Infestasi Cacing pada Domba Ekor Tipis dari Rumah Pemotongan
Domba Rakyat di Bogor. Dibimbing oleh ACHMAD FARAJALLAH dan TARUNI SRI
PRAWASTI.
Domba di pulau Jawa dibedakan menjadi Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis.
Domba yang dipelihara oleh masyarakat Bogor dan sekitarnya, termasuk jenis domba ekor tipis.
Salah satu kendala dalam pemeliharaan domba ialah adanya parasit, salah satunya ialah cacing
pada saluran pencernaan. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung dan mengidentifikasi telur
cacing dari feses domba ekor tipis yang dipotong di rumah pemotongan domba rakyat di Bogor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 18 sampel dari total 35 sampel yang diperiksa, terinfestasi
telur cacing. Berdasarkan jenis kelaminnya, domba betina yang terinfestasi telur cacing sebesar
50% dan domba jantan sebesar 100%. Identifikasi telur cacing menghasilkan 3,45% famili
Schistosomatidae, 6,90% famili Anoplocephalidae, 3,45% famili Ascarididae, 41,38% famili
Trichostrongylidae, 37,93% famili Capillariidae dan 6,90% famili Trichuriidae. Tingkat infestasi
telur cacing yang didapatkan dari penelitian ini sebesar 892 buah/g feses sehingga termasuk ke
dalam kategori tingkat infestasi sedang. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa curah hujan tidak
mempengaruhi pola dan jumlah telur cacing.
Kata kunci: Domba ekor tipis, cacing parasit, deteksi melalui feses.

ABSTRACT
SARAH NILA. The Worms Infestation of The Thin Tail Sheep from The Sheep’s
Abattoir House in Bogor. Supervised by ACHMAD FARAJALLAH and TARUNI SRI
PRAWASTI.
There are two kinds of sheep in Java, the thin tail sheep (which is the common livestock
in Bogor) and the fat tail sheep. Both type of sheep could be infected by worm parasites in
digestive tract, which reduce the health of the sheep. Therefore, the objections of this research
were counting and identifying the worm eggs from faecal samples of thin tail sheep which
slaughtered in the sheep’s abattoir house in Bogor. From the total 35 samples collection, I found
18 samples were infected by the worm parasites. The worm parasites were found in all sample of
males, meanwhile they were also found in half of faecal sample of females. The egg worms that
found in this research belonged to six families, they were Schistosomatidae (3,45%),
Anoplocephalidae (6,90%), Ascarididae (3,45%), Trichostrongylidae (41,38%), Capillaridae
(37,93%) and Trichuriidae (6,90%). The average of worm eggs infestation from all samples were
892 egg/g faeces, which included to the average category of infection degree. This research also
showed that the rain had no influence to the eggs number.
Key words: Thin tail sheep, worm intestinal parasites, egg worm faecal detection.

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba di pulau Jawa dibedakan menjadi
domba ekor gemuk dan domba ekor tipis.
Domba ekor gemuk biasa diternakan di daerah
Jawa Timur (Herman 1988). Domba ekor tipis
dibedakan dalam dua galur berdasarkan lokasi
geografinya, yaitu galur Bogor dan galur
Garut. Domba ekor tipis memiliki ekor
dengan sedikit jaringan lemak di bagian
pangkal, memiliki tanduk berukuran sedang,
domba
jantannya
memiliki
tanduk
melengkung. Umumnya domba betina dewasa
tidak memiliki tanduk, namun ada beberapa
yang memiliki penonjolan tanduk ataupun
bertanduk kecil. Posisi telinga, baik pada
domba jantan maupun betina, biasanya agak
menggantung dengan ukuran sedang. Domba
ekor tipis memiliki rambut yang bercampur
sedikit wool dengan warna bulu yang
bervariasi mulai putih, putih-cokelat, atau
putih-hitam (Mason 1978).
Parasit
menjadi
kendala
dalam
pemeliharaan
domba.
Penyakit
yang
disebabkan parasit merupakan salah satu
penyakit infeksi yang biasa menyerang
domba. Infeksi parasit biasanya menyebabkan
kerugian berupa penurunan kondisi badan dan
daya produktivitas yang sangat besar, namun
tidak
mengakibatkan
kematian
(Kusumamihardja 1982).
Salah satu contoh parasit yang
menyerang domba adalah cacing yang hidup
dalam saluran pencernaan. Jenis-jenis cacing
yang biasa ditemukan pada saluran
pencernaan domba antara lain Trichuris ovis,
Capillaria sp., Strongyloides pappilosus,
Moniezia expansa, Dicrocoelium lanceatum,
Fasciola sp., Paramphistomum cervi,
Toxocara vitolorum, Bunostomum, Chabertia
ovina, Trichostrongylus, Cooperia sp.,
Haemonchus contortus, Oesophagostomum,
Ostertagia, dan Nematodirus (Thienpont et al.
1985).
Telur-telur cacing parasit biasanya
keluar bersama feses inang dan berkembang di
lingkungan lembab. Domba, kambing, dan
sapi akan terinfeksi cacing tersebut apabila
makan rumput atau minum air yang
mengandung larva cacing (metaserkaria)
(Soulsby 1982). Kerusakan patologis pada
inang yang terjadi akibat infeksi cacing
bergantung pada patogenitas cacing, derajat
infeksi, habitat parasit, dan kondisi kekebalan
inang serta campur tangan manusia (Malek
1980).

Tinggi rendahnya infeksi cacing di
saluran pencernaan dapat dilihat melalui feses.
Jumlah telur cacing dalam setiap gram feses
sebanding dengan jumlah cacing dewasa
dalam saluran pencernaan satu individu
domba atau ternak lainnya (Handoko &
Henderson 1981). Pemeriksaan secara
kualitatif jumlah telur dalam feses bertujuan
untuk mendeteksi telur cacing, sedangkan
secara kuantitatif untuk menghitung jumlah
telur cacing dalam satu gram feses. Metode
yang dapat digunakan antara lain metode
langsung, metode pengapungan, dan metode
sedimentasi (Malek 1980). Metode yang
digunakan dalam penelitian ini ialah metode
langsung, karena lebih sederhana, memberi
hasil yang baik, dan tidak memerlukan biaya
tinggi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghitung dan
mengindentifikasi telur cacing dari feses
domba ekor tipis yang dipotong di rumah
pemotongan domba rakyat di Bogor.

BAHAN DAN METODE
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel feses dilakukan di
lokasi pemotongan domba/kambing rakyat,
Empang, Bogor pada bulan Juli sampai
dengan September 2010. Sampel diambil
secara acak dari 35 ekor domba pada bulan
Juli sampai dengan September 2010.
Preparasi Sampel
Feses sebanyak 5 gram digerus dan
disuspensikan dalam air sambil diaduk,
kemudian disaring menggunakan saringan
berukuran 370 µm. Hasil saringan diencerkan
dengan air 200 ml dan diendapkan.
Supernatan dibuang dan endapan yang
diperoleh disuspensikan dengan air sampai
200 ml, lalu diaduk dan diendapkan kembali.
Hal ini dilakukan beberapa kali sehingga
diperoleh endapan jernih.
Uji Keberadaan Telur
Endapan hasil preparasi diambil
sebanyak 0,05 ml dan diletakkan di atas gelas
objek (modifikasi McMaster) (Whitlock
1948). Preparat ditutup dengan kaca penutup
berukuran 60 x 24 mm. Pengamatan dilakukan
terhadap bentuk dan jumlah telur yang ada.

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba di pulau Jawa dibedakan menjadi
domba ekor gemuk dan domba ekor tipis.
Domba ekor gemuk biasa diternakan di daerah
Jawa Timur (Herman 1988). Domba ekor tipis
dibedakan dalam dua galur berdasarkan lokasi
geografinya, yaitu galur Bogor dan galur
Garut. Domba ekor tipis memiliki ekor
dengan sedikit jaringan lemak di bagian
pangkal, memiliki tanduk berukuran sedang,
domba
jantannya
memiliki
tanduk
melengkung. Umumnya domba betina dewasa
tidak memiliki tanduk, namun ada beberapa
yang memiliki penonjolan tanduk ataupun
bertanduk kecil. Posisi telinga, baik pada
domba jantan maupun betina, biasanya agak
menggantung dengan ukuran sedang. Domba
ekor tipis memiliki rambut yang bercampur
sedikit wool dengan warna bulu yang
bervariasi mulai putih, putih-cokelat, atau
putih-hitam (Mason 1978).
Parasit
menjadi
kendala
dalam
pemeliharaan
domba.
Penyakit
yang
disebabkan parasit merupakan salah satu
penyakit infeksi yang biasa menyerang
domba. Infeksi parasit biasanya menyebabkan
kerugian berupa penurunan kondisi badan dan
daya produktivitas yang sangat besar, namun
tidak
mengakibatkan
kematian
(Kusumamihardja 1982).
Salah satu contoh parasit yang
menyerang domba adalah cacing yang hidup
dalam saluran pencernaan. Jenis-jenis cacing
yang biasa ditemukan pada saluran
pencernaan domba antara lain Trichuris ovis,
Capillaria sp., Strongyloides pappilosus,
Moniezia expansa, Dicrocoelium lanceatum,
Fasciola sp., Paramphistomum cervi,
Toxocara vitolorum, Bunostomum, Chabertia
ovina, Trichostrongylus, Cooperia sp.,
Haemonchus contortus, Oesophagostomum,
Ostertagia, dan Nematodirus (Thienpont et al.
1985).
Telur-telur cacing parasit biasanya
keluar bersama feses inang dan berkembang di
lingkungan lembab. Domba, kambing, dan
sapi akan terinfeksi cacing tersebut apabila
makan rumput atau minum air yang
mengandung larva cacing (metaserkaria)
(Soulsby 1982). Kerusakan patologis pada
inang yang terjadi akibat infeksi cacing
bergantung pada patogenitas cacing, derajat
infeksi, habitat parasit, dan kondisi kekebalan
inang serta campur tangan manusia (Malek
1980).

Tinggi rendahnya infeksi cacing di
saluran pencernaan dapat dilihat melalui feses.
Jumlah telur cacing dalam setiap gram feses
sebanding dengan jumlah cacing dewasa
dalam saluran pencernaan satu individu
domba atau ternak lainnya (Handoko &
Henderson 1981). Pemeriksaan secara
kualitatif jumlah telur dalam feses bertujuan
untuk mendeteksi telur cacing, sedangkan
secara kuantitatif untuk menghitung jumlah
telur cacing dalam satu gram feses. Metode
yang dapat digunakan antara lain metode
langsung, metode pengapungan, dan metode
sedimentasi (Malek 1980). Metode yang
digunakan dalam penelitian ini ialah metode
langsung, karena lebih sederhana, memberi
hasil yang baik, dan tidak memerlukan biaya
tinggi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghitung dan
mengindentifikasi telur cacing dari feses
domba ekor tipis yang dipotong di rumah
pemotongan domba rakyat di Bogor.

BAHAN DAN METODE
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel feses dilakukan di
lokasi pemotongan domba/kambing rakyat,
Empang, Bogor pada bulan Juli sampai
dengan September 2010. Sampel diambil
secara acak dari 35 ekor domba pada bulan
Juli sampai dengan September 2010.
Preparasi Sampel
Feses sebanyak 5 gram digerus dan
disuspensikan dalam air sambil diaduk,
kemudian disaring menggunakan saringan
berukuran 370 µm. Hasil saringan diencerkan
dengan air 200 ml dan diendapkan.
Supernatan dibuang dan endapan yang
diperoleh disuspensikan dengan air sampai
200 ml, lalu diaduk dan diendapkan kembali.
Hal ini dilakukan beberapa kali sehingga
diperoleh endapan jernih.
Uji Keberadaan Telur
Endapan hasil preparasi diambil
sebanyak 0,05 ml dan diletakkan di atas gelas
objek (modifikasi McMaster) (Whitlock
1948). Preparat ditutup dengan kaca penutup
berukuran 60 x 24 mm. Pengamatan dilakukan
terhadap bentuk dan jumlah telur yang ada.

2

Analisis Data
Persentase telur cacing pada setiap famili
dapat diketahui dari :
Rata-rata jumlah telur/famili
Total sampel feses
Banyaknya telur cacing per gram feses
dari telur yang diperoleh dari berbagai famili,
dihitung menggunakan rumus :
Jumlah telur/g feses (buah/g) =
∑ telur yang di
dapat

x

∑ larutan yang
ditambahkan

∑ larutan yang di
periksa

x

berat feses awal

Setelah itu data juga diuji secara statistik
dengan menggunakan Anova.
Identifikasi Telur
Telur yang diperoleh
berdasarkan Soulsby (1982).

diidentifikasi

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Infestasi Telur Cacing
Sebanyak 18 dari total 35 sampel feses
yang diperoleh dari pengamatan, terinfestasi
telur cacing. Infestasi telur cacing dibedakan
berdasarkan jenis kelamin dan jenis infestasi.
Berdasarkan jenis kelaminnya, domba betina
yang terinfestasi ialah sebesar 50% dan
domba jantan sebesar 100%. Berdasarkan
jenis infestasi, domba betina yang terinfestasi
oleh satu jenis telur (single infestation)
sebesar 76,19%, sedangkan yang terinfestasi
oleh lebih dari satu jenis telur (double
infestation) sebesar 23,81%. Pada domba
jantan, single infestation sebesar 50%
sedangkan double infestation sebesar 50%
(Tabel 1). Larva cacing yang masuk ke dalam
tubuh bersamaan dengan masuknya makanan
dan menyerang organ tubuh domba akan
menimbulkan
infeksi
(Kusumamihardja
1982). Banyaknya cacing dewasa di dalam
tubuh ternak disebut dengan tingkat infestasi
(Tarazona 1987). Tingkat infestasi telur
cacing pada domba dapat disebabkan oleh
kondisi peternakan, jumlah ternak dalam satu
kandang, makanan yang diberikan, dan daya
tahan tubuh ternak (kekebalan) terhadap
penyakit (Boky & Suhardono 2006).

Tabel 1 Infestasi telur cacing pada domba
berdasarkan jenis kelamin dan jenis
infestasi
Domba

Jumlah
(ekor)

Terinfestasi
(%)

Single
infestation
(%)

Double
infestation
(%)

Betina

33

50

76,19

23,81

Jantan

2

100

50

50

Secara keseluruhan, tingkat infestasi
rata-rata yang didapatkan dari hasil
pengamatan sebesar 892 buah/g feses. Total
telur terendah adalah 472 buah/g feses dan
terbanyak adalah 7 500 buah/g feses. Tingkat
infestasi cacing pada domba dapat
digolongkan menjadi 3 yaitu, (1) tingkat
infestasi ringan dimana jumlah telur/g feses
antara 50-500 buah/g, (2) tingkat infestasi
sedang, yaitu jumlah telur/g feses berkisar
antara 500-2 000 buah/g, dan (3) tingkat
infestasi berat jika jumlah telur/g feses >2 000
buah/g (Tarazona 1987). Tingkat infestasi
yang didapatkan dari hasil penelitian ini
termasuk ke dalam tingkat infestasi sedang.
Apabila dibedakan berdasarkan jenis kelamin,
tingkat infestasi rata-rata pada domba betina
sebesar 900 buah/g, sedangkan pada domba
jantan sebesar 750 buah/g feses. Menurut
Barger (1993), jumlah telur cacing dalam satu
gram feses tidak dipengaruhi oleh jenis
kelamin. Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan jumlah telur/g feses pada domba
betina lebih besar dibandingkan domba jantan.
Kemungkinan hal itu disebabkan jumlah
sampel domba jantan lebih sedikit yaitu dua
ekor.
Menurut Levine & Anderson (1973) dan
Rossanigo & Gruner (1995), curah hujan
merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi translokasi dan keberadaan
larva cacing dari feses ke rumput tempat
domba makan. Pada musim hujan, populasi
larva akan meningkat dibandingkan dengan
musim kemarau (Kusumamihardja 1982;
Brotowidjoyo 1987). Namun berdasarkan
hasil penelitian ini, curah hujan pada bulan
Juli sampai dengan September tidak
mempengaruhi jumlah telur/g feses (anova,
p>0,05) (Gambar 1; Gambar 2). Hal ini sesuai
dengan Beriajaya & Copeman (1997) yang
menyatakan bahwa di daerah curah hujan
tinggi seperti Bogor dan sekitarnya, tidak
terdapat perubahan musiman dalam pola
jumlah telur cacing.

2

Analisis Data
Persentase telur cacing pada setiap famili
dapat diketahui dari :
Rata-rata jumlah telur/famili
Total sampel feses
Banyaknya telur cacing per gram feses
dari telur yang diperoleh dari berbagai famili,
dihitung menggunakan rumus :
Jumlah telur/g feses (buah/g) =
∑ telur yang di
dapat

x

∑ larutan yang
ditambahkan

∑ larutan yang di
periksa

x

berat feses awal

Setelah itu data juga diuji secara statistik
dengan menggunakan Anova.
Identifikasi Telur
Telur yang diperoleh
berdasarkan Soulsby (1982).

diidentifikasi

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Infestasi Telur Cacing
Sebanyak 18 dari total 35 sampel feses
yang diperoleh dari pengamatan, terinfestasi
telur cacing. Infestasi telur cacing dibedakan
berdasarkan jenis kelamin dan jenis infestasi.
Berdasarkan jenis kelaminnya, domba betina
yang terinfestasi ialah sebesar 50% dan
domba jantan sebesar 100%. Berdasarkan
jenis infestasi, domba betina yang terinfestasi
oleh satu jenis telur (single infestation)
sebesar 76,19%, sedangkan yang terinfestasi
oleh lebih dari satu jenis telur (double
infestation) sebesar 23,81%. Pada domba
jantan, single infestation sebesar 50%
sedangkan double infestation sebesar 50%
(Tabel 1). Larva cacing yang masuk ke dalam
tubuh bersamaan dengan masuknya makanan
dan menyerang organ tubuh domba akan
menimbulkan
infeksi
(Kusumamihardja
1982). Banyaknya cacing dewasa di dalam
tubuh ternak disebut dengan tingkat infestasi
(Tarazona 1987). Tingkat infestasi telur
cacing pada domba dapat disebabkan oleh
kondisi peternakan, jumlah ternak dalam satu
kandang, makanan yang diberikan, dan daya
tahan tubuh ternak (kekebalan) terhadap
penyakit (Boky & Suhardono 2006).

Tabel 1 Infestasi telur cacing pada domba
berdasarkan jenis kelamin dan jenis
infestasi
Domba

Jumlah
(ekor)

Terinfestasi
(%)

Single
infestation
(%)

Double
infestation
(%)

Betina

33

50

76,19

23,81

Jantan

2

100

50

50

Secara keseluruhan, tingkat infestasi
rata-rata yang didapatkan dari hasil
pengamatan sebesar 892 buah/g feses. Total
telur terendah adalah 472 buah/g feses dan
terbanyak adalah 7 500 buah/g feses. Tingkat
infestasi cacing pada domba dapat
digolongkan menjadi 3 yaitu, (1) tingkat
infestasi ringan dimana jumlah telur/g feses
antara 50-500 buah/g, (2) tingkat infestasi
sedang, yaitu jumlah telur/g feses berkisar
antara 500-2 000 buah/g, dan (3) tingkat
infestasi berat jika jumlah telur/g feses >2 000
buah/g (Tarazona 1987). Tingkat infestasi
yang didapatkan dari hasil penelitian ini
termasuk ke dalam tingkat infestasi sedang.
Apabila dibedakan berdasarkan jenis kelamin,
tingkat infestasi rata-rata pada domba betina
sebesar 900 buah/g, sedangkan pada domba
jantan sebesar 750 buah/g feses. Menurut
Barger (1993), jumlah telur cacing dalam satu
gram feses tidak dipengaruhi oleh jenis
kelamin. Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan jumlah telur/g feses pada domba
betina lebih besar dibandingkan domba jantan.
Kemungkinan hal itu disebabkan jumlah
sampel domba jantan lebih sedikit yaitu dua
ekor.
Menurut Levine & Anderson (1973) dan
Rossanigo & Gruner (1995), curah hujan
merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi translokasi dan keberadaan
larva cacing dari feses ke rumput tempat
domba makan. Pada musim hujan, populasi
larva akan meningkat dibandingkan dengan
musim kemarau (Kusumamihardja 1982;
Brotowidjoyo 1987). Namun berdasarkan
hasil penelitian ini, curah hujan pada bulan
Juli sampai dengan September tidak
mempengaruhi jumlah telur/g feses (anova,
p>0,05) (Gambar 1; Gambar 2). Hal ini sesuai
dengan Beriajaya & Copeman (1997) yang
menyatakan bahwa di daerah curah hujan
tinggi seperti Bogor dan sekitarnya, tidak
terdapat perubahan musiman dalam pola
jumlah telur cacing.

3

Famili : Schistosomatidae
Tubuh cacing memanjang berukuran 522 mm dan uniseksual. Cacing betina lebih
panjang dan ramping dibandingkan dengan
cacing jantan. Baik pada cacing betina
maupun jantan, terdapat skoleks dengan
penghisap yang menonjol dan biasanya tidak
memiliki kait (Soulsby 1982). Telur cacing
berukuran 90 x 50 µm, berbentuk oval,
memiliki operkulum, dan cangkang yang tipis
(Gambar 3).

operkulum

Gambar 1 Hubungan antara rata-rata jumlah
telur/g feses dengan curah hujan
pada bulan Juli sampai dengan
September 2010

10 µm

Gambar

3

Telur cacing dari
Schistosomatidae

famili

Famili : Anoplochepaliidae
Tubuh cacing berukuran 600 x 1,6 cm
dan memiliki skoleks tanpa kait (Soulsby
1982). Telur cacing berukuran 60 x 50 µm,
berbentuk piramida segitiga, berwarna abuabu, dan memiliki cangkang tebal (Gambar 4).

Gambar 2 Rata-rata curah hujan daerah
Empang, Bogor pada bulan Juli,
Agustus, dan September 2010
(BMKG 2010)
10 µm

Identifikasi Telur Cacing
Telur cacing dari 18 sampel feses
termasuk ke dalam 6 famili, yaitu famili
Schistosomatidae, Poche 1907, famili
Anoplocephalidae, Blanchard 1981, famili
Ascarididae,
Baird
1853,
famili
Trichostrongylidae, Leiper 1912, famili
Capillariidae, Neveu-Lemaire 1936, dan
famili Trichuridae, Raillet 1915. Persentase
telur
cacing
tertinggi
ialah
famili
Trichostrongylidae (41,38%), kemudian famili
Capillariidae (37,93%), sedangkan persentase
terendah ialah famili Schistosomatidae dan
Ascarididae yang masing-masing sebesar
3,45% (Tabel 2). Deskripsi dari setiap famili
disajikan di bawah ini.

Gambar

4

Telur cacing dari
Anoplochepaliidae

famili

Famili : Ascarididae
Tubuh cacing jantan dewasa berukuran
rata-rata 15x0,5 mm. Cacing ini memiliki batil
isap anterior yang terletak di ujung,
asetabulum (tonjolan pendek) yang berada di
ujung tubuh, tetapi, tidak terdapat faring dan
memiliki tegumen yang terlihat halus. Cacing
betina dewasa berukuran 20x0,3 mm, lebih
panjang dan sempit daripada jantan. Ovarium
terletak di pertengahan tubuh bagian posterior.
Lubang genital terbuka tepat di belakang batil
isap ventral (Soulsby 1982). Telur cacing
berukuran 30 x 20 µm dan memiliki kait
lateral yang biasanya sulit dilihat. Telur
dilapisi cangkang yang tebal (Gambar 5).

4

10 µm

Gambar 5 Telur cacing dari famili Ascarididae

Famili : Capillariidae
Tubuh cacing bagian anterior kecil dan
ramping seperti benang, sedangkan bagian
posterior lebih lebar dan pendek. Mulut tidak
dikelilingi oleh bibir, memiliki kapsula
bukalis berukuran kecil atau tidak sempurna,
terdapat esofagus tanpa pentolan, dan anus
biasanya terletak di ujung terminal. Cacing
betina umumnya bersifat oviparosa. Daur
hidup umumnya tanpa melalui perantara,
beberapa spesies memerlukan perantara
(Soulsby 1982). Telur cacing berukuran 70 x
48 µm, berbentuk oval, dan memiliki
cangkang tebal (Gambar 6).

Famili : Trichostrongylidae
Cacing dewasa sebagian besar berukuran
kecil, 10-20 mm pada cacing jantan dan 18-30
mm pada cacing betina, memiliki mulut yang
kecil, dan berwarna cokelat kemerahan.
Cacing betina memiliki ujung anterior yang
sederhana tanpa kapsula bukalis yang
mencolok dan bagian posterior mengecil ke
arah ujung yang tumpul tanpa struktur
tambahan. Cacing jantan memiliki bursa
kopulatoris posterior dan sepasang spikulum
kopulatoris yang tebal, pendek, tidak teratur,
dan berwarna cokelat (Soulsby 1982). Telur
cacing berukuran 69-85 x 40-50 µm,
berbentuk simetris, dan memiliki cangkang
tipis serta berkitin (Gambar 8).

10 µm

10 µm

10 µm
10 µm

Gambar

6

Telur cacing
Capillariidae

Gambar
dari

famili

Famili : Trichuriidae
Tubuh cacing bagian belakang memiliki
penghisap yang lebih banyak. Tubuh bagian
depan panjang dan ramping. Bagian belakang
tubuh jantan terdapat satu spikula yang
dikelilingi oleh selubung dengan bulu halus.
Tubuh jantan berukuran 50-80 mm dan betina
berukuran 35-70 mm (Soulsby 1982). Telur
cacing berukuran 70 x 32 µm, berbentuk oval
dengan 2 tonjolan di masing-masing kutub
yang berwarna transparan, berwarna cokelat
muda atau tua, dan memiliki cangkang tebal
(Gambar 7).

10 µm

Gambar

7

Telur cacing
Trichuriidae

dari

8

famili

Telur cacing dari
Trichostrongylidae

famili

Tabel 2 Rata-rata jumlah telur/g feses pada
setiap famili/ml
Rata-rata
(buah)

Persentase
(%)

Anoplocephalidae

20

6,9

Schistosomatidae

10

3,45

Ascarididae

10

3,45

Capillariidae

110

37,93

Trichuriidae

20

6,9

Trichostongylidae

120

41,38

Jumlah

290

100

Famili

5

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Persentase domba yang terinfestasi telur
cacing sebesar 50% pada domba betina dan
100% pada domba jantan. Berdasarkan hasil
identifikasi, ditemukan telur cacing yang
termasuk ke dalam 6 famili. Tingkat infestasi
telur cacing pada domba tidak dipengaruhi
oleh musim hujan atau pun kemarau.

Saran
Penulis menyarankan kepada peternak
untuk lebih memperhatikan manajemen
pemeliharaan ternak agar kondisi peternakan
lebih baik lagi. Selain itu, atlas parasit yang
penulis buat dapat digunakan sebagai acuan
identifikasi secara teknis.

DAFTAR PUSTAKA
[BMKG].
2010.
Badan
Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika Bogor.
Curah Hujan Daerah Empang Bogor
2010. Bogor.
Barger IA. 1993. Influence of Sex and
Reproductive Status on Susceptibility
of
Ruminants
to
Nematode
Parasitism. J Parasitol 23 : 463-469.
Beriajaya, Copeman DB. 1997. An Estimate
of Seasonality and Intensity of
Infection
with
Gastrointestinal
Nematodes in Sheep and Goats in
West Java. JITV 2 : 270-276.
Boky JT, Suhardono. 2006. Pengaruh Infeksi
Fasciola gigantica (Cacing Hati)
Iradiasi terhadap Gambaran Darah
Kambing (Capra hircus Linn.). JITV
: 11.
Brotowidjoyo MD. 1987. Parasit dan
Parasitisme edisi 1. Jakarta : Media
Sarana Press.
Handoko NS, Henderson AK. 1981.
Helminthiasis dan Pengaruhnya pada
Gambaran Domba Ekor Gemuk di
Kabupaten DT II Bogor. Bul LPPH
12 (21) : 19-26.
Herman R. 1988. Kualitas Karkas Domba
Lokal Hasil Penggemukan. Prosiding
Pertemuan
Ilmiah
Ruminansia.
Bogor : Pus