Analisis Komparatif Risiko Keuangan Perusahaan Pembiayaan Berkonglomerasi dan Independen.

ANALISIS KOMPARATIF RISIKO KEUANGAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERKONGLOMERASI
DAN INDEPENDEN

SONIA PRATIWI LUBIS

DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi berjudul Analisis Komparatif
Risiko Keuangan Perusahaan Pembiayaan Berkonglomerasi dan Independen
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka bagian akhir Skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Sonia Pratiwi Lubis
NIM H24100124

ABSTRAK
SONIA PRATIWI LUBIS. Analisis Komparatif Risiko Keuangan
Perusahaan Pembiayaan Berkonglomerasi dan Independen. Dibimbing oleh ALI
MUTASOWIFIN.
Subsektor industri pembiayaan mengalami pertumbuhan yang pesat dari
tahun ke tahun. Banyak perusahaan baru yang tertarik untuk memasuki sektor ini,
baik perusahaan independen maupun perusahaan yang merupakan bagian
konglomerasi. Perkembangan industri jasa keuangan ini menimbulkan adanya
kompleksitas dan memicu timbulnya risiko dari kongkomerasi keuangan. Size
perusahaan terkait aset merupakan salah satu faktor utama yang memicu
timbulnya risiko dari konglomerasi keuangan. Penelitian ini menggunakan aset
Rp 100 Miliar-Rp 1 Triliun pada periode 2009-2012 sebagai dasar pertimbangan

dalam membandingkan perusahaan pembiayaan independen (PT Bentara
Sinergies Multifinance) dan berkonglomerasi (PT Batavia Prosperindo Finance).
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Z-Score dan
analisis rasio keuangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaaan
pembiayaan berkonglomerasi mempunyai kinerja yang lebih bagus dan risiko
yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan independen karena mempunyai
sumber pendanaan dan anak perusahaan yang kuat untuk mendukung operasi
bisnis.
Kata Kunci : kinerja keuangan, perusahaan pembiayaan berkonglomerasi,
perusahaan pembiayaan independen, risiko keuangan
ABSTRACT
SONIA PRATIWI LUBIS. A Comparative Financial Risk Analysis of
Conglomerate and Independent Finance Company. Supervised by ALI
MUTASOWIFIN.
Financing industry subsector has experienced a rapid growth from year to
year. Many new companies are interested in entering this sector, include
independent finance company as well as those that are part of financial
conglomeration. This growth raises the complexity and trigger the onset of
financial conglomeration risk. This research used assets of Rp 100 billion - Rp 1
trillion over period 2009-2012 as the basis in comparing both of them. Data

analysis was conducted using financial ratio measurement and Z-Score. The result
shows that conglomerate finance company has better performance and lower level
of risk than independent finance company because it has strong funding from
other companies in their structure.
Keyword
: financial performance, financial risk, conglomerate finance
company, independent finance company

ANALISIS KOMPARATIF RISIKO KEUANGAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERKONGLOMERASI DAN
INDEPENDEN

SONIA PRATIWI LUBIS

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Manajemen


DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Komparatif Risiko Keuangan Perusahaan Pembiayaan
Berkonglomerasi dan Independen.
Nama

: Sonia Pratiwi Lubis

NIM

: H24100124

Disetujui oleh

Ali Mutasowifin, SE, M.Ak
Pembimbing


Diketahui oleh

Dr Mukhamad Najib STP, MM
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari 2014 sampai dengan Mei 2014
ini adalah Risiko Keuangan dengan judul Analisis Komparatif Risiko Keuangan
Perusahaan Pembiayaan Berkonglomerasi dan Independen.
Terimakasih kepada bapak Ali Mutasowifin, SE, M.Ak selaku pembimbing
atas perhatian, dukungan dan saran yang telah diberikannya. Disamping itu,
ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak M. Syukur Lubis dan
Ibu Sri Sutarti selaku orang tua penulis atas doa, dukungan, kasih sayang dan
cinta yang luar biasa. Kepada Iskandar Zulkarnain Lubis selaku adik penulis atas
doa, dukungan, kasih sayang dan cinta yang luar biasa. Kepada Munadian Fajri

Matondang, SH yang selalu memberikan waktu, dukungan dan semangat kepada
penulis, kepada Keluarga Besar Lasimun dan Keluarga Besar Jamangaris Lubis
atas doa yang diberikan kepada penulis. Juga kepada D’gibz (Ade, Wina,
Yolanda, Nude) dan anak Pasca Ilmu Manajemen yang selalu menemani hari-hari
penulis selama kuliah, dan kepada teman-teman satu bimbingan (Nofrida,
Alvinda, Tiwi, dan Ucup) yan berjuang bersama penulis. Serta kepada semua
teman-teman Manajemen 47 atas doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014
Sonia Pratiwi Lubis

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

5


Ruang Lingkup Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA

6

Jenis Kelompok Usaha

6

Analisis Rasio Keuangan

6

Metode Z-Score

8


METODE

10

Kerangka Pemikiran Penelitian

10

Lokasi dan Waktu Penelitian

11

Jenis dan Sumber Data

12

Metode Pengumpulan Data

12


Variabel Penelitian

12

Pengolahan dan Analisis Data

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

12

Gambaran Umum Industri Pembiayaan

12

Gambaran Umum Perusahaan

13


Analisis Rasio Keuangan

13

Analisis Z-Score

21

SIMPULAN DAN SARAN

22

DAFTAR PUSTAKA

23

DAFTAR TABEL
1. Peningkatan pendapatan nasional per kapita masyarakat Indonesia
2. Tiga kelompok kondisi keuangan perusahaan berdasarkan Z-Score
3. Pendapatan Pembiayaan Konsumen Yang Belum Diakui dan
Penyisihan Kerugian Penurunan Nilai BESS Tahun 2011 dan 2012
4. Modal Sendiri BESS dan BPFI
5. Laba Bersih BESS dan BPFI
6. Hasil Pengukuran Risiko Keuangan BESS
7. Hasil Pengukuran Risiko Keuangan BPFI

1
10
15
17
20
22
22

DAFTAR GAMBAR
1. Jumlah perusahaan pembiayaan tahun 2008-2012
2. Kualitas piutang perusahaan pembiayaan
3. Kerangka pemikiran penelitian
4. Hasil perbandingan nilai FAR BESS, BPFI dan rata-rata
perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia periode 2009-2012
5. Hasil perbandingan nilai GR BESS, BPFI dan rata-rata
perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia periode 2009-2012
6. Hasil perbandingan nilai MSMD BESS, BPFI dan rata-rata
perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia periode 2009-2012
7. Hasil perbandingan nilai NPF BESS, BPFI dan rata-rata
perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia periode 2009-2012
8. Hasil perbandingan nilai ROA BESS, BPFI dan rata-rata
perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia periode 2009-2012
9. Hasil perbandingan nilai ROE BESS, BPFI dan rata-rata
perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia periode 2009-2012

2
3
11
14
16
17
18
20
21

DAFTAR LAMPIRAN
1. Laporan Keuangan BESS dan BPFI (2009-2012)

24

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Subsektor industri pembiayaan mengalami pertumbuhan yang pesat dari tahun ke
tahun. Salah satunya dipengaruhi oleh pendapatan nasional per kapita masyarakat
Indonesia (atas dasar harga berlaku) yang semakin meningkat dari tahun ke tahun
seperti ditunjukkan Tabel 1. Atas dasar harga berlaku yang dimaksud menggambarkan
nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku setiap
tahun, termasuk memperhitungkan pengaruh inflasi. Pendapatan per kapita yang
semakin meningkat ini akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat dalam
memenuhi segala kebutuhan aktivitas perekonomian melalui kegiatan pembiayaan
konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring),
dan usaha kartu kredit. Ini dikarenakan ada keuntungan dan kemudahan yang diterima
oleh konsumen, seperti perbaikan keadaan likuiditas dan pembayaran lebih ringan
dibanding kalau membeli secara tunai.
Tabel 1. Peningkatan pendapatan nasional per kapita masyarakat Indonesia
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber: BPS (2013)

Pendapatan Nasional Per Kapita (Rupiah)
18,774,283.37
20,731,425.57
23,759,818.77
27,298,811.57
30,516,670.73

Selain itu, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan industri
pembiayaan ini juga dipengaruhi oleh adanya peningkatan laba bersih perusahaan
pembiayaan dari Rp 6,4 triliun pada tahun 2008 menjadi Rp 12,2 triliun pada tahun
2012 (OJK 2013). Peningkatan ini menandakan bahwa kinerja dari perusahaan
pembiayaan relatif baik. Peningkatan laba bersih ini didorong oleh peningkatan
pendapatan operasional yang bersumber dari piutang pembiayaan yang mengalami
kenaikan sebesar Rp 164,84 triliun dan pertambahan jumlah perusahaan pembiayaan
yang cukup baik.
Peningkatan tersebut menyebabkan industri ini cukup menjanjikan, banyak
perusahaan baru yang tertarik untuk memasuki sektor ini, baik perusahaan independen
maupun perusahaan yang merupakan bagian konglomerasi. Kebanyakan dari
konglomerasi perusahaan ini terdiri dari satu atap. Ini dikarenakan mereka ingin
mengejar pangsa pasar konsumen mereka dan ingin mendiversifikasi risiko yan mereka
miliki (Gatzert and Schmeiser 2011). Misalnya, perusahaan Astra yang mempunyai
anak perusahaan di bidang otomotif, mereka juga mempunyai anak perusahaan di
bidang jasa keuangan untuk melayani pembiayaan pembelian produk otomotif mereka.
Selain Astra, ada juga Bank yang mempunyai anak perusahaan yang memasuki industri
pembiayaan, seperti Bank BCA yang mempunyai anak perusahaan berupa BCA
Finance.
Bertambahnya perusahaan pembiayaan ini mengharuskan OJK (dulu Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) selaku pengawas industri pembiayaan

2

untuk mengawasi lebih ketat kinerja tiap perusahaan dalam industri pembiayaan ini.
Setiap tahun, OJK menerbitkan izin usaha baru dan mencabut izin usaha perusahaan
pembiayaan. Ini menunjukkan adanya fluktuasi pada jumlah perusahaan pembiayaan
seperti ditunjukkan Gambar 1. Pada Gambar 1, terlihat jelas pertumbuhan perusahaan
pembiayaan dalam lima tahun terakhir, sebanyak 24 izin usaha baru yang telah
diterbitkan dan 41 izin usaha yang telah dicabut. Ini mengindikasikan bahwa terdapat
risiko yang serius dalam industri pembiayaan ini mengingat cukup banyaknya izin
usaha yang dicabut. Akan tetapi, industri ini juga cukup menjanjikan dengan melihat
banyaknya penerbitan izin usaha baru.
Gambar 1 Jumlah Perusahaan Pembiayaan Tahun 2008-2012

Jumlah Perusahaan Pembiayaan
Izin Baru

Pencabutan

198

192

212

Jumlah

200

195

2 7

2

16

7 13

4 1

9 4

2008

2009

2010

2011

2012

Sumber: OJK (2013)
Untuk mendukung keberlangsungan bisnis mereka, suatu perusahaan pembiayaan
diharuskan mempunyai sumber pendanaan yang kuat dikarenakan kegiatan bisnis
mereka bergerak dalam membiayai produk-produk yang dibutuhkan dan diinginkan
konsumen. Dengan sumber pendanaan yang kuat, bisnis akan dapat berjalan dengan
lancar. Perusahaan pembiayaan yang merupakan bagian dari konglomerasi perusahaan
akan memiliki akses yang lebih mudah terhadap sumber pendanaan karena didukung
oleh induk perusahaannya. Akan tetapi, perusahaan pembiayaan yang merupakan
perusahaan independen harus mencari sumber pendanaannya sendiri untuk menopang
kegiatan bisnis mereka.
Ditambah lagi, kualitas piutang pembiayaan yang dimiliki perusahaan pembiayaan
mengalami trend yang meningkat dari tahun ke tahun seperti yang dapat dilihat pada
Gambar 2. Ini menandakan bahwa kualitas piutang pembiayaan kurang bagus karena
semakin kecil nilainya maka semakin bagus kualitas piutang pembiayaan. Kualitas aset
yang kurang bagus ini mengindikasikan adanya permasalahan dalam kualitas aset
piutang pembiayaan dan ketidakmampuan perusahaan dalam mengatasi risiko itu.
Dengan trend tersebut dapat diperkirakan nilai kualitas piutang pembiayaan di masa
depan akan meningkat juga. Peningkatan ini tentunya akan mempengaruhi kinerja dan
risiko yang dialami oleh perusahaan pembiayaan ke depan.

3

Gambar 2. Kualitas Piutang Perusahaan Pembiayaan

Kualitas Piutang Pembiayaan
2.85
2.8

Persen (%)

2.75
2.7
2.65
2.6
2.55
Kualitas Piutang

2009

2010

2011

2012

2.65

2.74

2.69

2.83

Sumber: OJK (2013)
Saat ini, OJK sedang mengawasi 31 financial conglomerate yang mana 30
perusahaan berinduk perbankan dan 1 perusahaan yang induknya keuangan non-bank.
Banyaknya konglomerasi keuangan di Indonesia mempengaruhi kompleknya transaksi
produk bank dan non bank. Maka dari itu, perusahaan pembiayaan yang
berkonglomerasi memerlukan sistem pengawasan yang terintegrasi agar koordinasi
antar konglomerasi perusahaan tersebut dapat berjalan dengan baik. Perkembangan
industri jasa keuangan ini menimbulkan adanya kompleksitas dari fenomena
konglomerasi keuangan. Fenomena ini memicu peningkatan risiko yang lebih besar di
industri jasa keuangan. Ada tiga faktor utama yang memicu timbulnya risiko dari
konglomerasi keuangan, yaitu (1) size perusahaan terkait aset, (2) interconectiveness
(keterkaitan antar perusahaan), dan (3) complexity struktur kepemilikan dan struktur
organisasi (Infobank 2014). Pada penelitian ini akan menggunakan aset sebagai dasar
pertimbangan dalam memilih perusahaan pembiayaan yang akan dibandingkan satu
sama lain. Aset yang digunakan dalam penelitian ini sebesar Rp 100 Miliar – Rp 1
Triliun sesuai dengan klasifikasi per kategori besaran aset yang digunakan Asosiasi
Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) yang terdiri dari: di atas Rp 1 Triliun, antara
Rp 100 Miliar-Rp 1 Triliun, di bawah Rp 100 Miliar.
Hasil penelitian OJK menyimpulkan bahwa perusahaan konglomerasi perbankan
cenderung melakukan risk taking dengan tingkat leveraging yang lebih besar jika
dibandingkan dengan perusahaan independen yang lebih kecil. Konglomerasi bank akan
meningkatkan risiko sistemik karena kesulitan yang dialami oleh anak perusahaan akan
berdampak negatif terhadap kinerja bank selaku induk usaha ataupun industri keuangan
secara keseluruhan. Risiko sistemik yang dimaksud adalah risiko terjadinya kehancuran
atau runtuhnya sistem keuangan dan pasar keuangan sehingga fungsi utama sistem

4

keuangan, seperti penyediaan likuiditas, pengelolaan risiko, dan alokasi sumber daya
tidak berjalan semestinya. Ini bisa terjadi karena adanya interlink dan saling
ketergantungan dalam suatu perekonomian sehingga jika satu lembaga keuangan atau
satu pasar keuangan mengalami kegagalan akan memicu kegagalan di lembaga
keuangan yang lain. Dalam hal bank memiliki keterkaitan transaksi langsung dengan
anak perusahaan atau grup, risiko pasar, risiko kredit, dan risiko likuiditas sudah tentu
menjadi risiko utama yang harus diperhatikan. Di luar itu, meskipun bank tidak
memiliki transaksi langsung, kinerja grup atau anak perusahaan dapat dengan mudahnya
menyeret bank dalam permasalahan atau kita sebut dengan risiko reputasi. Bahkan,
ketika permasalahan berkembang, bank dapat terkena risiko hukum. Risiko sistemik ini
dapat meningkat ketika ada perbedaan standar regulasi dan pengawasan antara bank dan
Institusi Keuangan Non Bank (IKNB) lainnya yang menjadi anak perusahaan atau
kelompok usahanya. Perbedaan tersebut dapat berdampak pada kualitas pelaksanaan
tata kelola (GCG) ataupun pengelolaan risiko. Untuk itu, penyetaraan standar regulasi
dan pengawasan antara bank selaku induk dan IKNB selaku anak perusahaan harus
menjadi fokus perhatian pengawasan konglomerasi bank (Infobank 2013).
Akan tetapi, ada 1 induk perusahaan keuangan yang merupakan perusahaan
konglomerasi keuangan non-bank yaitu PT Batavia Prosperindo Internasional yang
mempunyai 3 anak perusahaan, yaitu PT Batavia Prosperindo Finance, PT Batavia
Prosperindo Aset Manajemen, dan PT PT Batavia Prosperindo Sekuritas. OJK belum
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai risiko keuangan terhadap perusahaan ini.
Untuk mengetahui lebih jelas apakah perusahaan konglomerasi ini juga memiliki risiko
yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan independen, maka dilakukan
penelitian terhadap salah satu anak perusahaan konglomerasi yaitu PT Batavia
Prosperindo Finance. Perusahaan ini akan dibandingkan dengan perusahaan pembiayaan
independen yang mempunyai aset yang sama yaitu aset Rp 100 Miliar – Rp 1 Triliun.
Perusahaan pembiayaan independen tersebut adalah PT Bentara Sinergies Multifinance.
Dalam menganalisis perbandingan risiko keuangan antara perusahaan pembiayaan
konglomerasi dan independen dapat menggunakan rasio keuangan dan Z-Score. Untuk
menganalisis kinerja keuangan perusahaan pembiayaan dapat dianalisis menggunakan
rasio-rasio keuangan. Rasio keuangan digunakan sebagai indikator atau awal analisis
untuk mencari penyebab munculnya risiko dan terjadinya masalah keuangan (Prihadi
2009). Hasil analisis ini dapat membantu perusahaan pembiayaan dalam mengetahui
kinerja keuangan mereka agar mereka dapat mengatasi risiko tersebut secara dini, baik
dari perusahaan konglomerasi maupun independen. Sedangkan, untuk menganalisis
risiko keuangan dapat dianalisis dengan menggunakan metode Z-Score sebagai bagian
dari indikator kinerja perusahaan yang akan memberikan informasi kepada investor
berkenanaan dengan potensi kebangkrutan dan ketidakbangkrutan suatu perusahaan
(Sudiyatno dan Puspitasari 2010). Penulis merasa perlu untuk meneliti dan
membandingkan risiko keuangan yang dihadapi oleh perusahaan pembiayaan
konglomerasi dan independen dengan analisis rasio keuangan dan metode Z-Score
untuk mengetahui kinerja dan risiko keuangan yang dihadapi mereka.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:

5

1. Bagaimana perbandingan kinerja perusahaan pembiayaan berkonglomerasi dan
independen?
2. Bagaimana perbandingan tingkat risiko keuangan perusahaan pembiayaan
berkonglomerasi dan independen?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis perbandingan kinerja perusahaan pembiayaan berkonglomerasi dan
independen dengan analisis rasio-rasio keuangan.
2. Menganalisis perbandingan tingkat risiko keuangan perusahaan pembiayaan
berkonglomerasi dan independen dengan metode Z-Score.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, sebagai berikut:
1. Bagi Perusahaan
Dapat dijadikan gambaran kondisi perusahaan pembiayaan yang
menguntungkan di masa mendatang, sehingga perusahaan dapat melakukan
continuous improvement dalam menjalankan bisnisnya.
2. Bagi Pemegang Saham
Menjadi pertimbangan dalam melakukan investasi di sub sektor pembiayaan.
3. Bagi OJK
Dapat menjadi referensi dan tambahan pengetahuan untuk OJK dalam menyusun
regulasi-regulasi yang berlaku.
4. Bagi Pihak Lain
Diharapkan dapat menjadi referensi dan tambahan pengetahuan bagi para
pembaca maupun bagi penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini membahas analisis perbandingan risiko
keuangan perusahaan pembiayaan independen dan konglomerasi dengan menggunakan
metode Z-Score dan analisis rasio keuangan. Analisis ini menggunakan kelompok
perbandingan yang sama, yakni berdasarkan aset Rp 100 miliar sampai dengan 1 triliun.
Analisis ini menggunakan data laporan keuangan pada tahun 2009 sampai dengan tahun
2012. Penelitian ini memfokuskan kepada analisis perbandingan kinerja keuangan
perusahaan pembiayaan konglomerasi dan independen dengan menggunakan analisis
rasio-rasio keuangan dan analisis perbandingan risiko keuangan perusahaan pembiayaan
konglomerasi dan independen dengan menggunakan metode Z-Score.

6

TINJAUAN PUSTAKA
Jenis Kelompok Usaha
Halim Alamsyah dalam Infobank (2013) menyebutkan bahwa sesuai dengan
karakteristiknya, kelompok usaha yang melibatkan bank dan lembaga jasa keuangan
terdiri atas tiga hal, yaitu:
1. Banking Group
Suatu kelompok usaha yang dalam hal ini bank bertindak selaku parent company
dan memiliki anak-anak perusahaan di bidang lembaga keuangan. Menurut ketentuan
BI, bank tidak diperkenankan untuk memiliki anak perusahaan di bidang nonkeuangan.
2. Konglomerasi keuangan
Suatu kelompok usaha yang dalam hal ini parent company dapat berupa bank atau
lembaga keuangan lainnya yang memiliki anak-anak perusahaan di bidang lembaga
keuangan, misalnya bank, perusahaan asuransi, multifinance, dan sekuritas. Dalam
pengertian ini, banking group juga dapat dikategorikan sebagai konglomerasi
keuangan. Contohnya di Indonesia adalah Panin Group, dalam hal ini Panin Bank
dimiliki oleh perusahaan asuransi (Panin Life).
3. Mixed Activity Group
Suatu kelompok usaha yang dalam hal ini parent company dapat berupa bank,
lembaga keuangan lain, atau perusahaan non-keuangan yang memiliki anak
perusahaan dan/atau afiliasi yang bergerak, baik di bidang keuangan maupun nonkeuangan. Contohnya di Indonesia adalah CT Corp yang memiliki Bank Mega dan
sejumlah perusahaan keuangan dan non-keuangan lain.
Konglomerasi keuangan ini merupakan fenomena yang cukup baru dalam sektor
keuangan dan pasar membutuhkan waktu untuk mengenal lebih jauh dengan model
bisnis konglomerasi ini. Maka dari itu dibutuhkan suatu regulasi dan pengawasan yang
lebih ketat mengenai konglomerasi keuangan ini (Peleckiene et al. 2011). Regulasi dan
pengawasan tersebut dapat meningkatkan kualitas dari jasa keuangan, mengurangi biaya
intermediasi, dan memperrtajam posisi risiko-tingkat pengembalian perusahaan.
Kesuksesan suatu perusahaan konglomerasi dipengaruhi oleh posisi pasar, operasional,
dan strategis perusahaan pembiayaan (Staikouras 2006)

Analisis Rasio Keuangan
Rasio keuangan digunakan sebagai indikator atau awal analisis untuk mencari
penyebab munculnya risiko dan terjadinya masalah keuangan. Hasil dari rasio tersebut
biasa dikaitkan dengan kinerja suatu perusahaan. Setiap rasio diciptakan untuk analisis
tertentu, sehingga sebuah rasio tidak bisa memenuhi untuk segala macam kebutuhan.
Jenis rasio yang akan digunakan akan tergantung dari jenis keputusan yang akan
digunakan (Prihadi 2009). Berikut adalah rasio-rasio keuangan yang digunakan dalam
penelitian ini (OJK 2013):

7

1. Financing Asset Ratio (FAR)
FAR merupakan rasio perbandingan piutang pembiayaan terhadap total aset.
Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam mengelola piutang pembiayaan
atas total aset yang dimiliki perusahaan. Di dalam pasal 11 Salinan PMK Nomor
84/PMK.012/2006 tentang perusahaan pembiayaan menyebutkan bahwa perusahaan
pembiayaan wajib memiliki piutang pembiayaan sekurang-kurangnya sebesar 40%
(empat puluh perseratus) dari total aktiva.
Financing Asset Ratio (FAR )=

...

(1)

2. Gearing Ratio (GR)
GR merupakan rasio total pinjaman perusahaan pembiayaan terhadap modal
sendiri dan pinjaman subordinasi setelah dikurangi penyertaan modal yang ada.
Pinjaman subordinasi yang termasuk dalam penghitungan gearing ratio sebanyakbanyaknya sebesar 50% dari modal disetor. Di dalam pasal 25 ayat (3) Salinan PMK
Nomor 84/PMK.012/2006 tentang perusahaan pembiayaan menyebutkan bahwa
jumlah pinjaman bagi setiap perusahaan pembiayaan dibandingkan jumlah modal
sendiri (networth) dan pinjaman subordinasi dikurangi penyertaan (gearing ratio)
ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 10 (sepuluh) kali.
Gearing Ratio (GR) =

...

(2)

3. Rasio Modal Sendiri-Modal Disetor (MSMD)
Rasio MSMD merupakan rasio perbandingan modal sendiri terhadap modal
disetor. Di dalam pasal 28 ayat (1) Salinan PMK Nomor 84/PMK.012/2006 tentang
perusahaan pembiayaan menyebutkan bahwa perusahaan pembiayaan wajib memiliki
modal sendiri sekurang-kurangnya sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal
disetor.
Rasio Modal Sendiri-Modal Disetor =

...

(3)

4. Rasio Penyertaan Modal (PEYT)
Rasio PEYT merupakan rasio perbandingan jumlah seluruh penyertaan modal
perusahaan pembiayaan dibandingkan dengan jumlah modal sendirinya. Di dalam
pasal 29 ayat (3) Salinan PMK Nomor 84/PMK.012/2006 tentang perusahaan
pembiayaan menyebutkan bahwa jumlah seluruh penyertaan modal perusahaan
pembiayaan tidak boleh melebihi 40% (empat puluh perseratus) dari jumlah modal
sendiri perusahaan pembiayaan yang bersangkutan. Akan tetapi, pada penelitian ini
rasio PEYT tidak digunakan dikarenakan data penelitian yang kurang.

Rasio Penyertaan Modal (PEYT) =

...

(4)

8

5. Return on Assets (ROA)
Rasio ini merupakan perbandingan laba bersih terhadap total aset perusahaan
pembiayaan. ROA merupakan rasio untuk mengukur kemampuan dan efisiensi
aktiva dalam menghasilkan laba (profitabilitas). Menurut Manurung dan Rahardja
(2004), ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur keuntungan bersih yang
diperoleh dari penggunaan aktiva. Dengan kata lain, semakin tinggi rasio ini maka
semakin baik produktivitas asset dalam memperoleh keuntungan bersih. Hal ini
selanjutnya akan meningkatkan daya tarik perusahaan kepada investor. Peningkatan
daya tarik perusahaan menjadikan perusahaan tersebut makin diminati investor,
karena tingkat pengembalian akan semakin besar. Hal ini juga akan berdampak
bahwa harga saham dari perusahaan tersebut di Pasar Modal juga akan semakin
meningkat sehingga ROA akan berpengaruh terhadap harga saham perusahaan.
Dalam menentukan perbankan dikatakan sehat atau tidak, angka ROA dapat
dikatakan baik apabila diatas 2 persen. Sedangkan, untuk perusahaan pembiayaan,
belum ada peraturan yang mengatur mengenai aturan ROA dan ROE.
Return On Assets (RoA) =

...

(5)

6. Return on Equity (ROE)
Rasio ini merupakan perbandingan laba bersih terhadap total ekuitas perusahaan
pembiayaan. ROE merupakan rasio yang mengukur tingkat kemampuan modal
dalam menghasilkan laba bersih. Semakin besar nilai ROE, maka kinerja perusahaan
pembiayaan semakin baik. Menurut Manurung dan Rahardja (2004), ROE adalah
rasio yang digunakan untuk mengukur keuntungan bersih yang diperoleh dari
pengelolaan modal yang diinvestasikan oleh pemilik perusahaan. ROE diukur
dengan perbandingan antara laba bersih dengan total modal. Angka ROE yang
semakin tinggi memberikan indikasi bagi para pemegang saham bahwa tingkat
pengembalian investasi makin tinggi. Dalam perbankan, angka ROE dapat dikatakan
baik apabila diatas 12 persen.
Return on Equity (RoE) =

...

(6)

7. Non Performing Financing (NPF)
Proporsi kualitas aset piutang pembiayaan kategori macet dan diragukan terhadap
total piutang atas kegiatan pembiayaan. Semakin kecil nilai NPF, maka semakin
bagus kualitas aset piutang perusahaan pembiayaan.
NPF =

...

(7)

Metode Z-Score
Altman menciptakan suatu model multivariate Z-Score dalam rangka
memprediksi tingkat kebangkrutan yang berkaitan dengan risiko keuangan yang
dihadapi perusahaan. Jika suatu perusahaan masuk dalam kategori bangkrut, ini

9

mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut dianggap tidak mampu dalam mengatasi
risiko yang ada.
Untuk versi pertama kali, Z-Score dirumuskan pada tahun 1968 dengan kondisi
sampel diambil dari perusahaan manufaktur publik di Amerika. Ada 5 rasio yang secara
bersama berkorelasi dengan kebangkrutan, ini dimasukkan dalam rumus Z = 1,2 X1 +
1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5, dimana Z adalah indeks kebangkrutan, X1
(Working capital / Total asset), X2 (Retained earning / Total asset), X3 (EBIT / Total
asset), X4 (Market value of equity / Book value of debt), dan X5 (Sales / Total asset).
Hasil dari rumus pertama ini diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok kondisi keuangan
perusahaan berdasarkan score seperti yang ditunjukkan Tabel 2.
Karena rumus pertama tidak bisa digunakan untuk perusahaan non manufaktur,
maka Altman mengembangkan dua varian dari Z-Score pada tahun 1983, yaitu Z’-Score
dan Z”-Score. Z’-Score ditujukan untuk perusahaan non publik dengan merumuskan
kembali rasio yang digunakan, yaitu menghilangkan market value of dan menggantinya
dengan book value of equity. Sehingga, perumusan Z’Score berbeda dengan rumus yang
pertama menjadi Z’ = 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,420 X4 + 0,998 X5.
Kemudian, hasil rumus tersebut diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok kondisi
keuangan perusahaan berdasarkan score seperti yang ditunjukkan Tabel 2.
Sedangkan, varian terakhir Z”-Score, rasio sales to total asset dihilangkan dan
sampel yang digunakan merupakan dari perusahaan negara berkembang. Sehingga,
perumusan Z”-Score yang terakhir ini sangat cocok untuk digunakan di Indonesia
dibandingkan dengan Z-Score dan Z’-Score. Perumusan Z”-Score menjadi Z” = 6,56 X1
+ 3,26 X2 + 6,72 X3 + 1,05 X4. Hasil rumus tersebut diklasifikasikan ke dalam 3
kelompok kondisi keuangan perusahaan berdasarkan score seperti yang ditunjukkan
Tabel 2. (Prihadi 2009)
Alat analisis untuk mengukur risiko keuangan dalam penelitian ini menggunakan
metode Z”-Score dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Z” = 6,56 (X1) + 3,26 (X2) + 6,72 (X3) + 1,05 (X4)

...

(8)

Keterangan:
Z” = indeks kebangkrutan
(X1) = Working capital / Total Asset
(X2) = Retained earning / Total Asset
(X3) = EBIT / Total Asset
(X4) = Book value of equity / Book value of debt
Hasil rumus tersebut diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok kondisi keuangan
perusahaan berdasarkan score seperti yang ditunjukkan Tabel 2. Asumsi yang
digunakan pada model Z”-Score Altman ini bisa digunakan untuk perusahaan publik
dan perusahaan privat yang berasal dari negara berkembang, sehingga ini bisa
digunakan untuk mengukur risiko keuangan perusahaan pembiayaan baik konglomerasi
maupun independen. Metode ini mengasumsikan semua jenis perusahaan dapat
digunakan dengan metode Z-Score. Akan tetapi, setiap perusahaan mempunyai
karakteristik yang berbeda-beda. Inilah yang menjadi kelemahan dari metode Z-Score.

10

Dikarenakan metode Z-Score paling cocok untuk menganalisis penelitian ini dan belum
ada pengembangan metode lain sehingga pada penelitian ini menggunakan metode ZScore.
Tabel 2. Tiga kelompok kondisi keuangan perusahaan berdasarkan
Z-Score, Z’Score, dan Z”-Score
Z-Score

Z’-Score

Z”-Score

Kondisi

>2,99

>2,90

>2,60

Tidak Bangkrut

1,81 – 2,99

1,23 – 2,90

1,1 – 2,60

Daerah Kelabu

< 1,81

< 1,23

< 1,1

Bangkrut

Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini.
Penelitian pertama yang berkaitan dilakukan oleh Johan et al pada tahun 2013 dari
Sekolah Manajemen dan Bisnis IPB yang ditulis dalam International Journal of
Economics and Finance dengan judul “Key Financials Performance Independent versus
Integrated: Empirical Evidence from Indonesia Financial Service Industry (20012011)”. Pada penelitian tersebut, para peneliti melakukan analisis kinerja keuangan
antara perusahaan pembiayaan independen dan perusahaan pembiayaan yang
berintegrasi. Penelitian ini menggunakan 7 rasio keuangan, non-parametric Mann
Whitney, dan parametric Panel Data Dummy Regression. Hasil studi empiris
menunjukkan bahwa perusahaan pembiayaan yang berintegrasi mempunyai kinerja
yang baik dalam hal efisiensi, profitabilitas, ukuran, dan pertumbuhan. Ditambah lagi,
perusahaan pembiayaan yang berintegrasi mempunyai nilai likuiditas yang rendah.

METODE
Kerangka Pemikiran Penelitian
Kondisi keuangan perusahaan dapat dilihat dan dianalisis kinerja dan risiko
keuangannya dengan menggunakan analisis rasio-rasio keuangan dan metode Z-Score
yang terdapat pada laporan keuangan. Dalam penelitian ini, laporan keuangan yang
digunakan adalah laporan keuangan perusahaan pada periode 2009-2012 dan
menggunakan perbandingan berdasarkan kelompok aset yang sama, yaitu Rp 100 miliar
sampai dengan 1 triliun. Metode Z-Score Altman ini dapat menganalisis jenis
perusahaan pembiayaan yang mana yang menghadapi risiko lebih tinggi sehingga
berpotensial mengalami kebangkrutan. Metode ini mengelompokkan kondisi keuangan
perusahaan menjadi tiga kelompok berdasarkan score seperti ditunjukkan Tabel 2.
Dari analisis ini, kita dapat mengetahui kondisi keuangan perusahaan yang
sebenarnya baik dari kinerja keuangan maupun risiko keuangannya sehingga
perusahaan dapat mengantisipasi risiko tersebut terlebih dahulu. Kerangka pemikiran
penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

11

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian
Perusahaan Pembiayaan

Konglomerasi

Independen

Laporan Keuangan

Neraca

Laba Rugi

Analisis Rasio Keuangan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

FAR
GR
MSMD
ROA
ROE
NPF

Metode Z”-Score

Kinerja Keuangan

Risiko Keuangan

Rekomendasi

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 2 perusahaan pembiayaan yang mempunyai
kelompok aset yang sama pada periode 2009-2012. Waktu penelitian dilakukan pada
Februari 2014 – Mei 2014.

12

Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data sekunder yang
berupa laporan keuangan perusahaan pembiayaan pada periode 2009-2012 serta
buku/bahan pustaka lainnya yang mendukung penelitian ini.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan purposive
sampling. Perusahaan yang tidak memiliki data laporan keuangan yang lengkap akan
dikeluarkan dari sampel penelitian ini. Untuk bahan pustaka pendukung lainnya
diperoleh dengan mempelajari dan mengutip dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
jurnal, buku, dan internet.
Penelitian ini menggunakan 2 perusahaan pembiayaan sebagai sampel penelitian,
yang terdiri dari 1 perusahaan pembiayaan berkonglomerasi dan 1 perusahaan
pembiayaan independen. Kedua perusahaan pembiayaan ini dibandingkan satu sama
lain berdasarkan dengan aset yang sama yaitu Rp 100 Miliar – Rp 1 Triliun. Setelah itu,
akan dianalisis dengan metode Z-Score dan analisis rasio keuangan. Perusahaan
pembiayaan berkonglomerasi yang diteliti adalah PT Batavia Prosperindo Finance, Tbk
(BPFI). Perusahaan pembiayaan ini merupakan anak perusahaan dari PT Batavia
Prosperindo Internasional yang bergerak di bidang financial services. Sedangkan,
perusahaan independen dengan aset yang sama yaitu PT Bentara Sinergies
Multifinance.
Variabel Penelitian
Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan indeks
kebangkrutan sebagai variabel dependen dan variabel independen berupa working
capital/total Asset, retained earning/total asset, EBIT / total asset, dan book value of
equity / book value of debt.
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan secara manual dan menggunakan Microsoft Excel
2010. Pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Metode analisis yang
dilakukan secara kualitatif menggunakan metode deskriptif seperti pemilihan sampel
perusahaan pembiayaan. Pengolahan data secara kuantitatif dilakukan untuk
menganalisis perbandingan kinerja dan risiko keuangan antara perusahaan pembiayaan
berkonglomerasi dan perusahaan pembiayaan independen dengan menggunakan
perhitungan rasio-rasio keuangan dan metode Z-Score. Hasil tersebut kemudian
diinterpretasikan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Industri Pembiayaan
Industri pembiayaan mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan
industri pembiayaan ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan laba bersih perusahaan
pembiayaan dari Rp 6,4 triliun pada tahun 2008 menjadi Rp 12,2 triliun pada tahun
2012 (OJK 2013). Peningkatan ini menandakan bahwa kinerja dari perusahaan

13

pembiayaan relatif baik. Peningkatan laba bersih ini didorong oleh peningkatan
pendapatan operasional yang bersumber dari piutang pembiayaan yang mengalami
kenaikan sebesar Rp 164,84 triliun dan pertambahan jumlah perusahaan pembiayaan
yang cukup baik. Dari total 202 perusahaan pembiayaan yang ada di Indonesia, hanya
13 perusahaan pembiayaan yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia dan
menjadi perusahaan publik. Dengan menjadi perusahaan publik, perusahaan
pembiayaan ini bisa mendapatkan sumber pendanaan dari masyarakat. Akan tetapi,bagi
perusahaan yang belum terbuka, mereka melakukan perjanjian dengan penyedia fasilitas
pembiayaan bersama. Dalam pembiayaan bersama antara perusahaan pembiayaan dan
penyedia fasilitas pembiayaan bersama, perusahaan pembiayaan berhak menentukan
tingkat bunga yang lebih tinggi kepada konsumen dibandingkan tingkat bunga yang
ditetapkan dalam perjanjian pembiayaan bersama dengan penyedia fasilitas pembiayaan
bersama.
Gambaran Umum Perusahaan
Perusahaan pembiayaan yang diteliti dalam penelitian ini adalah PT Batavia
Prosperindo Finance, Tbk dan PT Bentara Sinergies Multifinance. PT Batavia
Prosperindo Finance, Tbk merupakan bagian dari perusahaan konglomerasi PT Batavia
Prosperindo Internasional, Tbk. Seluruh bagian dari konglomerasi ini bergerak di
financial services. PT Batavia Prosperindo Finance, Tbk adalah suatu perusahaan publik
yang bergerak di bidang Pembiayaan Konsumen untuk kendaraan bermotor roda empat,
terutama kendaraan bekas jenis Penumpang/Pribadi (Passenger) dan Niaga
(Commercial). Sebagai Perusahaan Pembiayaan (Multifinance Company), BPF telah
memperoleh ijin usaha Lembaga Pembiayaan dari Departemen Keuangan Republik
Indonesia yang mancakup Sewa Guna Pembiayaan (Financial Lease), Anjak Piutang
(Factoring), Kartu Kredit (Credit Cards) dan Pembiayaan Konsumen (Consumer
Financing) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
90/KMK.017/1995 pada tanggal 15 Februari 1995. Pada bulan Juni 2009, BPF menjadi
perusahaan publik setelah berhasil melaksanakan Penawaran Umum Perdana (IPO) dan
mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia.
PT Bentara Sinergies Multifinance (BESS Finance) merupakan suatu perseroan
terbatas yang didirikan berdasarkan Akta Notaris Esther Daniar Iskandar SH., nomor
55 tanggal 08 Januari 1994, yang telah mendapatkan Pengesahan dari Menteri
Kehakiman Republik Indonesia Nomor C2-4701 HT.01.01.TH.94 tanggal 12 Maret
1994. Bergerak dalam bidang pembiayaan konsumen, sebagai langkah awal PT. BESS
Finance menjalankan usahanya dengan visi menjadi "Perusahaan Multifinance Pilihan
Konsumen Yang Terbaik".
Analisis Rasio Keuangan
FAR
FAR (Financing Asset Ratio) merupakan rasio perbandingan piutang pembiayaan
terhadap total aset. Ketentuan dari OJK dalam penentuan FAR adalah minimal 40%.
Nilai FAR dari PT Batavia Prosperindo Finance, Tbk. (BPFI) dan nilai FAR dari PT
Bentara Sinergies Multifinance (BESS) akan diperbandingkan satu sama lain untuk
melihat kemampuan perusahaan dalam mengelola piutang pembiayaan atas total aset

14

yang dimiliki perusahaan. Gambar 4 menjelaskan hasil FAR PT Batavia Prosperindo
Finance, Tbk. dan PT Bentara Sinergies Multifinance dari tahun 2009-2012.
Gambar 4. Hasil Perbandingan Nilai FAR BESS, BPFI dan Rata-Rata Perusahaan
Pembiayaan Seluruh Indonesia Periode 2009-2012

Nilai FAR BESS, BPFI, dan Rata-Rata
Perusahaan Pembiayaan
95

Persen (%)

90
85
80
75
70

2009

2010

2011

2012

BESS

86.708

83.915

77.058

82.779

BPFI

90.073

90.408

86.289

88.064

Rata-Rata

81.71

80.92

84.18

88

Pada Gambar 4 terlihat jelas bahwa kedua perusahaan pembiayaan mempunyai
nilai FAR diatas 40%. Ini mengindikasikan bahwa jika dilihat dari nilai FAR, kedua
perusahaan mempunyai kinerja yang bagus. Kedua perusahaan pembiayaan tersebut
dapat mengelola piutang pembiayaan perusahaan mereka atas total aset yang dimiliki
perusahaan. Nilai FAR PT Batavia Prosperindo Finance memiliki nilai FAR yang lebih
tinggi dibandingkan nilai FAR PT Bentara Sinergies Multifinance. Ini dapat diartikan
bahwa jika dilihat dari nilai FAR, kinerja PT Batavia Prosperindo Finance mempunyai
kinerja yang lebih bagus dibandingkan dengan PT Bentara Sinergies Finance.
Ditambah lagi, jika dibandingkan dengan nilai FAR rata-rata seluruh perusahaan
pembiayaan di Indonesia, nilai FAR PT Batavia Prosperindo Finance pada tahun 2009
sampai tahun 2012 berada diatas nilai rata-rata. Sedangkan, nilai FAR PT Bentara
Sinergies Multifinance pada tahun 2009 dan tahun 2010 berada diatas nilai FAR ratarata. Akan tetapi, pada tahun 2011 dan tahun 2012, nilai FAR PT Bentara Sinergies
Multifinance mengalami penurunan sehingga nilai FAR PT Bentara Sinergies
Multifinance berada di bawah nilai FAR rata-rata. Ini dikarenakan pada tahun 2011 di
tahun 2012, pendapatan pembiayaan konsumen yang belum diakui dan penyisihan
kerugian nilai mengalami kenaikan yang cukup signifikan seperti yang dapat dilihat
pada Tabel 3. Karena pendapatan pembiayaan konsumen yang belum diakui dan
penyisihan kerugian nilai merupakan pengurangan dalam penghitungan piutang
pembiayaan di neraca sehingga ini mempengaruhi penurunan nilai FAR PT Bentara
Sinergies Multifinance pada tahun 2011 dan tahun 2012. Pendapatan pembiayaan
konsumen yang belum diakui merupakan selisih antara jumlah keseluruhan pembayaran
angsuran yang akan diterima dari konsumen dan jumlah pokok pembiayaan, yang diakui
sebagai pendapatan selama jangka waktu kontrak berdasarkan tingkat suku bunga

15

efektif dari piutang pembiayaan konsumen. Sedangkan, penyisihan kerugian penurunan
nilai merupakan kerugian yang mungkin timbul dari tidak tertagihnya piutang tersebut.
Tabel 3. Pendapatan Pembiayaan Konsumen Yang Belum Diakui dan Penyisihan
Kerugian Penurunan Nilai PT Bentara Sinergies Multifinance Tahun 2011 dan 2012
Tahun

Pendapatan Pembiayaan
Konsumen Yang Belum
Diakui (Rp)

Penyisihan Kerugian
Penurunan Nilai (Rp)

2010
2011
2012

118.033.469.152
218.020.102.771
234.847.996.859

3.851.312.084
11.872.121.934
25.537.900.687

Total aset dan piutang pembiayaan PT Bentara Sinergies Multifinance jauh lebih
besar daripada PT Batavia Prosperindo Finance. Akan tetapi, nilai FAR PT Batavia
Prosperindo Finance berada diatas nilai FAR PT Bentara Sinergies Multifinance dan
rata-rata perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia. Ini dikarenakan adanya
peningkatan pendapatan operasional yang bersumber dari piutang pembiayaan yang
semakin dominan dalam aset PT Batavia Prosperindo Finance. Ini ditunjukkan oleh total
aset PT Batavia Prosperindo Finance yang didominasi oleh piutang pembiayaan
sehingga nilai FAR PT Batavia Prosperindo Finance lebih besar.
GEARING RATIO (GR)
Dikarenakan risiko keuangan merupakan tambahan risiko akibat penggunanaan
leverage keuangan, maka Gearing Ratio digunakan untuk menganalisis rasio total
pinjaman perusahaan pembiayaan terhadap total modal sendiri dan pinjaman
subordinasi. Jumlah pinjaman perusahaan pembiayaan dibatasi dengan ketentuan GR
paling tinggi sebesar 10 (sepuluh) kali. Perhitungan GR pada kedua perusahaan
pembiayaan tidak memasukkan pinjaman subordinasi dikarenakan pada laporan
keuangan tidak tercantum adanya pinjaman subordinasi. Ditambah lagi, nilai pinjaman
subordinasi rata-rata perusahaan pembiayaan cukup kecil bila dibandingkan dengan
pinjaman yang diterimanya. Pinjaman subordinasi merupakan pinjaman yang berjangka
waktu minimum 5 tahun dan dituangkan dalam perjanjian tertulis antara perusahaan
pembiayaan dengan pemberi pinjaman. Dalam hal terjadi likuidasi, hak tagih berlaku
paling akhir dari segala pinjaman yang ada.
Pada Gambar 5 terlihat bahwa GR terendah dimiliki oleh PT Batavia Prosperindo
Finance sehingga dapat diartikan bahwa PT Batavia Prosperindo Finance memiliki
jumlah pinjaman yang cukup kecil dibandingkan PT Bentara Sinergies Multifinance. Ini
dikarenakan PT Batavia memiliki banyak sumber pendanaan baik dari liabilitas maupun
ekuitas. PT Batavia Prosperindo Internasional (Induk Perusahaan) memiliki 95%
kepemilikan saham dan sisanya dipegang oleh masyarakat. Dengan adanya dukungan
dari induk perusahaan, PT Batavia Prosperindo Finance sangat dibantu dalam hal
pendanaan dan memiliki risiko keuangan yang cukup kecil.
Akan tetapi lain halnya dengan PT Bentara Sinergies Multifinance yang
merupakan perusahaan independen. Perusahaan ini lebih mengandalkan pinjaman yang
diterima sehingga jumlah pinjaman cukup besar dan menimbulkan risiko keuangan yang

16

cukup besar. GR rata-rata perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia juga menunjukkan
nilai yang cukup tinggi. Ini dikarenakan banyaknya perusahaan pembiayaan yang
mengandalkan pinjaman (luar negeri dan dalam negeri) untuk mendukung operasi
perusahaan mereka.
Gambar 5. Hasil Perbandingan Nilai GR BESS, BPFI dan Rata-Rata Perusahaan
Pembiayaan Seluruh Indonesia Periode 2009-2012

Nilai GR BESS, BPFI, dan Rata-Rata
Perusahaan Pembiayaan

X (Kali)

4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

2009

2010

2011

2012

BESS

0.734

2.783

4.121

3.527

BPFI

0.79

0.853

1.194

1.739

Rata-Rata

2.95

3.49

3.95

3.9

MSMD
Rasio ketiga yang digunakan adalah Rasio Modal Sendiri-Modal Disetor
(MSMD). Rasio ini merupakan rasio perbandingan modal sendiri terhadap modal
disetor. OJK memiliki ketentuan bahwa nilai dari rasio MSMD harus minimal 50%.
Rasio MSMD antar kedua perusahaan saling diperbandingkan satu sama lain seperti
yang terlihat pada Gambar 6. Pada Gambar 6 terlihat bahwa kedua perusahaan berada di
atas nilai 50%. Ini mengindikasikan bahwa kedua perusahaan pembiayaan memiliki
modal sendiri yang cukup sehingga tidak memerlukan penambahan setoran modal.
Akan tetapi, jika dibandingkan dengan nilai MSMD dari rata-rata perusahaan
pembiayaan seluruh Indonesia, nilai MSMD PT Bentara Sinergies Finance dan PT
Batavia Prosperindo Multifinance berada dibawah nilai rata-rata. Ini dikarenakan nilai
modal sendiri dan nilai modal disetor rata-rata perusahaan pembiayaan seluruh
Indonesia berada di kisaran Rp 18 triliun – Rp 30 triliun. Sedangkan, nilai modal sendiri
dan nilai modal disetor PT Bentara Sinergies Finance dan PT Batavia Prosperindo
Finance berada pada kisaran Rp 100 Miliar – Rp 160 Miliar. Karena kisaran nilai ratarata perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia lebih besar menyebabkan kurva nilai
rata-rata berada diatas kurva kedua perusahaan pembiayaan tersebut.
Akan tetapi, jika membandingkan rasio MSMD antara PT Bentara Sinergies
Finance dan PT Batavia Prosperindo Multifinance, PT Batavia Prosperindo Finance
memiliki nilai MSMD yang lebih besar daripada nilai MSMD PT Bentara Sinergies
Multifinance. Dalam neraca, kedua perusahaan menyetor penuh sebesar Rp

17

100.000.000.000. Akan tetapi, dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2012, PT Batavia
Prosperindo Finance memiliki tambahan modal disetor sebesar Rp 2.651.244.367.
Ditambah lagi, modal sendiri PT Batavia Prosperindo Finance memiliki nilai yang lebih
besar. Ini dapat terlihat pada Tabel 4 yang menunjukkan nilai modal sendiri PT Bentara
Sinergies Finance dan PT Batavia Prosperindo Multifinance. Terlihat bahwa dari tahun
2009 sampai tahun 2012, modal sendiri PT Batavia Prosperindo Finance mempunyai
nilai yang lebih besar daripada PT Bentara Sinergies Finance sehingga jika dilihat dari
rasio MSMD, kinerja PT Batavia Prosperindo Multifinance lebih baik daripada PT
Bentara Sinergies Finance.
Gambar 6. Hasil Perbandingan Nilai MSMD BESS, BPFI dan Rata-Rata Perusahaan
Pembiayaan Seluruh Indonesia Periode 2009-2012

Nilai MSMD BESS, BPFI, dan Rata-Rata
Perusahaan Pembiayaan
300
Persen (%)

250
200
150
100
50
0

2009

2010

2011

2012

BESS

104.028

118.88

134.21

162.023

BPFI

122.621

146.959

159.9

183.612

Rata-Rata

215.13

233.62

228.3

249.5

Tabel 4. Modal Sendiri PT Bentara Sinergies Finance dan PT Batavia Prosperindo
Multifinance
Tahun
2009
2010
2011
2012

BESS (RP JUTA)
104.028
118.880
134.210
162.023

BPFI (RP JUTA)
125.872
150.855
164.139
188.480

NPF
Kualitas aset pembiayaan dapat dilihat dari fluktuasi nilai Non-Performing
Financing (NPF) yang melihat piutang pembiayaan yang dimiliki perusahaan
pembiayaan. NPF merupakan proporsi kualitas aset piutang pembiayaan kategori macet
dan diragukan terhadap total piutang atas kegiatan pembiayaan. Semakin kecil nilai

18

NPF, maka semakin bagus kualitas aset piutang pembiayaan. Ini dapat dilihat pada
Gambar 7.
Nilai NPF PT Batavia Prosperindo Finance berada diatas nilai rata-rata
perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia. Ini menandakan bahwa kualitas pembiayaan
PT Batavia Prospeindo Finance kurang bagus. Akan tetapi, pada grafik tersebut terlihat
jelas bahwa terjadi fluktuasi pada PT Batavia Prosperindo Finance. Ini mengindikasikan
bahwa PT Batavia Prosperindo Finance sudah mencoba untuk memperbaiki kualitas
pembiyaan mereka. Lain halnya dengan PT Bentara Sinergies Multifinance, walaupun
memiliki nilai NPF yang lebih kecil, akan tetapi nilai NPF PT Bentara Sinergies
Multifinance cenderung mengalami kenaikan sehingga dapat diartikan bahwa
perusahaan pembiayaan ini tidak memperbaiki kualitas pembiayaan mereka. Ini
dikarenakan kualitas piutang pembiayaan kategori ragu-ragu dan macet yang dimiliki
PT Bentara Sinergies Multifinance semakin tinggi dari tahun ke tahun.
Gambar 7. Hasil Perbandingan Nilai NPF BESS, BPFI dan Rata-Rata Perusahaan
Pembiayaan Seluruh Indonesia Periode 2009-2012

Nilai NPF BESS, BPFI, dan Rata-Rata
Perusahaan Pembiayaan
6
5
Persen (%)

4
3
2
1
0

2009

2010

2011

2012

BESS

0.809

0.979

2.159

4.027

BPFI

3.748

2.737

4.893

3.131

Rata-Rata

2.59

2.27

1.99

2.03

Pada tahun 2012, jumlah kerugian penurunan nilai untuk periode tahun finansial
yang berakhir pada 31 Desember 2012 adalah sebesar Rp 25.537.000.000. Beban ini
mengalami kenaikan sebesar 115% dibandingkan tahun finansial 2011 yang sebesar Rp
11.872.000.000. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya penurunan kualitas piutang
pembiayaan pada tahun 2012 yang lebih baik daripada tahun sebelumnya sehingga PT
Bentara Sinergies Finance kurang mampu untuk mengelola piutang pembiayaan
perusahaan mereka secara baik atas total aset yang dimiliki perusahaan.
ROA
Rasio lain yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah ROA. ROA (Return
On Assets) merupakan rasio perbandingan laba bersih terhadap total aset perusahaan
pembiayaan yang mana menggambarkan perusahaan dalam menghasilkan laba atas aset

19

yang dikelola dalam kegiatan operasional sehari-hari. Semakin tinggi rasio ini maka
semakin baik produktivitas asset dalam memperoleh keuntungan bersih. Seperti yang
dapat dilihat pada Gambar 8, nilai ROA terbesar dimiliki oleh PT Batavia Prosperindo
Finance yang menandakan bahwa kinerja keuangan PT Batavia Prosperindo Finance
lebih baik dibandingkan PT Bentara Sinergies Multifinance. Ditambah lagi, bila
dibandingkan dengan nilai ROA rata-rata perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia,
nilai ROA PT Batavia Prosperindo Finance masih berada diatas sehingga dapat