Analisis Pengaruh Misalignment Nilai Tukar Terhadap Safeguard Measures Di Asean-5.

ANALISIS PENGARUH MISALIGNMENT NILAI TUKAR
TERHADAP SAFEGUARD MEASURES DI ASEAN-5

DILA VINDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

i

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengaruh
Misalignment Nilai Tukar terhadap Safeguard Measures di ASEAN-5 adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015
Dila Vindayani
NRP H151120421

ii

RINGKASAN
DILA VINDAYANI. Analisis Pengaruh Misalignment Nilai Tukar terhadap
Safeguard Measures di ASEAN-5. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM
dan ALLA ASMARA.
Penetapan rezim nilai tukar selama kurun waktu tertentu dapat
mempengaruhi terjadinya misalignment nilai tukar. Definisi misalignment nilai
tukar tersebut yakni kondisi aktual dari nilai tukar riil yang berada diluar tingkat
keseimbangannya dalam jangka panjang. Hasil penelitian menetapkan
misalignment nilai tukar melalui terjadinya over- atau undervaluation mata uang
yang dicerminkan sebagai Real Effective Exchange Rate (REER) aktual, terhadap
tingkat ekuilibriumnya. Kondisi overvalued currency terjadi ketika nilai tukar

menyebabkan harga domestik lebih mahal dari harga di luar negeri sehingga
meningkatkan tekanan industri import-competing terhadap perusahaan asing.
Kondisi undervalued currency terjadi saat nilai tukar menyebabkan harga
domestik lebih murah dari harga di luar negeri sehingga mendorong peningkatan
produksi domestik.
Kebijakan perdagangan restriksi berupa NTM telah meningkat relatif
terhadap tarif. Sejak tahun 2008, kebijakan NTM yang baru terus mendominasi
hingga melampaui kebijakan liberalisasi tarif. Penerapan NTM yang mengalami
peningkatan pesat di ASEAN dari tahun 2003 hingga 2012 adalah safeguards,
yakni dari 3 kasus menjadi 10 kasus. Tindakan safeguards diterapkan akibat
meningkatnya impor produk-produk tertentu sehingga mengancam kelangsungan
industri domestik di negara pengimpor.
Penelitian ini menyajikan gambaran mengenai kondisi misalignment nilai
tukar di negara-negara ASEAN-5 dan pengaruh misalignment nilai tukar
terhadap pengenaan tindakan safeguards. Tujuan utama penelitian yaitu untuk
menganalisis terjadinya misalignment nilai tukar dan dampaknya terhadap
pemberlakuan tindakan safeguards di negara-negara ASEAN-5. Analisis
misalignment nilai tukar riil dilakukan dengan menentukan tingkat nilai tukar
ekuilibrium melalui regresi real effective exchange rate (REER) terhadap faktorfaktor fundamental ekonominya menggunakan metode Panel Dynamic OLS
(Panel DOLS). Selanjutnya, tingkat REER ekuilibrium yang diperoleh dihitung

perbedaannya dengan tingkat REER aktual untuk mendapat besaran misalignment
nilai tukar. Pengaruh besarnya misalignment nilai tukar terhadap pengenaan
tindakan safeguards dianalisis dengan conditional fixed-effects logistic regression.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data panel berupa
data tahunan pada periode 1994 hingga 2013 di lima negara anggota ASEAN,
yaitu Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, dan Thailand.
Hasil penelitian mengenai kondisi misalignment di ASEAN-5 menunjukkan
bahwa misalignment nilai tukar mata uang rupiah mengalami undervalue atau
overvalue yang cukup tinggi ketika terjadi gejolak di dalam negeri. Untuk mata
uang ringgit, nilai tukar mengalami undervalue saat terjadi krisis keuangan Asia
pada Juli 1997. Kemudian pemerintah Malaysia segera merubah arah kebijakan
moneternya sehingga pada periode selanjutnya mata uang berfluktuasi di sekitar
tingkat ekuilibrium dengan persentase misalignment nilai tukar riil yang kecil.
Mata uang peso pada awalnya mengalami undervalue akibat program liberalisasi

iii

untuk mendorong impor barang modal. Sejalan dengan meningkatnya investasi,
nilai tukar semakin menguat sehingga peso perlahan mengalami overvalue.
Pergerakan nilai tukar dollar Singapore cenderung stabil disekitar tingkat

ekuilibrium karena pemerintahnya menetapkan nilai tukar berdasarkan mata uang
negara mitra dagang utama. Nilai tukar baht sempat mengalami overvalue dengan
persentase misalignment yang cukup besar hingga tahun 1996. Kondisi ini
dikarenakan mata uang baht dipatok terhadap dollar US, sehingga ketika nilai
tukar dollar US terapresiasi maka nilai tukar baht juga mengalami apresiasi,
begitu pula sebaliknya.
Analisis mengenai pengaruh misalignment nilai tukar terhadap pengenaan
tindakan safeguard menunjukkan bahwa peluang pengenaan tindakan safeguards
terhadap negara fokus i lebih tinggi terjadi saat mata uang negara tersebut
mengalami misalignment nilai tukar yang undervalue. Misalignment nilai tukar
yang undervalue ditunjukkan dengan besaran misalignment nilai tukar yang
negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa mata uang negara fokus i dinilai terlalu
lemah sehingga mengalami undervalue atau kondisi nilai tukar riil aktual berada
dibawah tingkat ekuilibriumnya. Kondisi tersebut menyebabkan harga domestik
lebih murah sehingga mendorong negara fokus i untuk melakukan ekspor. Akibat
dari meningkatnya ekspor yang dilakukan, akan mendorong peluang mitra dagang
untuk memberlakukan tindakan safeguards terhadap negara fokus i. Analisis
mengenai pengaruh ekspor terhadap pengenaan tindakan safeguard menunjukkan
bahwa peningkatan ekspor yang dilakukan negara fokus i akan meningkatkan
peluang dikenakannya tindakan safeguards ke negara tersebut.

Kata Kunci : misalignment nilai tukar, overvalue, undervalue, non-tariff measures
(NTMs), safeguards

iv

SUMMARY
DILA VINDAYANI. Analysis of Exchange Rate Misalignment Effect on
Safeguard Measures in ASEAN-5. Supervised by DEDI BUDIMAN HAKIM and
ALLA ASMARA.
Implementation of exchange rate regime for certain period may influence
exchange rate misalignment. Definition of exchange rate misalignment is actual
condition of real exchange rate which is beyond its equilibrium level in the long
term. Results of some researches claim exchange rate misalignment through overor undervaluation of currency which is reflected as the actual Real Effective
Exchange Rate (REER) against its equilibrium level. Condition of overvalued
currency occurs when exchange rates cause the domestic price more expensive
than abroad thereby increasing the pressure of import-competing industries to
foreign companies. Condition of undervalued currency occurs when the exchange
rate led to domestic price cheaper than abroad that encourage increased domestic
production.
Non-tariff measures (NTMs) have increased relative to tariffs. Since 2008,

the new NTMs continue to dominate beyond tariff liberalization policy.
Implementation of NTMs that increased rapidly in ASEAN from 2003 to 2012,
are safeguards which were risen from 3 cases to 10 cases. Safeguards measures
are applied due to increasing imports of certain products that threaten the survival
of domestic industry in importing country.
This study presents an overview of exchange rate misalignment condition in
ASEAN-5 and the effect of exchange rate misalignment against the imposition of
safeguard measures. The main purposes of research are analyzing the occurrence
of exchange rate misalignment and its impact on safeguards measures
impplementation in ASEAN-5. Analysis of real exchange rate misalignment is
conducted by determining equilibrium exchange rate level through regression of
real effective exchange rate (REER) and its fundamental economic factors using
Panel Dynamic OLS (Panel DOLS). Furthermore, equilibrium REER level is
reduced by actual REER level to get the magnitude of exchange rate
misalignment. Afterwards, the influence of exchange rate misalignment
magnitude against the imposition of safeguard measures were analyzed by
conditional fixed-effects logistic regression. Secondary data that used in this
research, is panel data which consists of annual data between 1994 and 2013 in
five ASEAN member countries, namely Indonesia, Malaysia, Philippines,
Singapore, and Thailand.

Results of research on exchange rate misalignment condition in ASEAN-5
shows that exchange rate misalignment of rupiah currency was undervalued or
overvalued in high magnitude when domestic turmoil happened. For ringgit
currency, exchange rate was undervalue when the Asian financial crisis occured in
July 1997. Then, Malaysian government changed monetary policy in order to
maintain ringgit fluctuates around its equilibrium level with low magnitude of real
exchange rate misalignment. Peso was undervalue because of liberalization

v

program to encourage the import of capital goods. In line with investment
increased, the exchange rate became stronger so peso became overvalue.
Singapore dollar currency movements tend to be stable around equilibrium level
since the government set its exchange rate based on currency's main trading
partner countries. Baht currency was overvalued with high magnitude of
misalignment until 1996 because the currency pegged to US dollar. Therefore, if
US dollar exchange rate appreciated so baht also appreciated, and vice versa.
Analysis on the effect of exchange rate misalignment against the imposition
of safeguard measures indicate that the imposition of safeguard measures have
higher opportunities when currency of exporting country was undervalued. It is

indicated by negative magnitude of exchange rate misalignment. This condition
shows that currency in exporting country is considered too weak because actual
real exchange rate level is below its equilibrium level. It makes domestic price
cheaper than abroad so that the country driven to export. As a result, trade partner
as importing country will be compelled to impose safeguard measures. Analysis
on the effect of exports to the imposition of safeguard measures showed that
increasing exports will raise the opportunities of safeguard measures imposed.
Keywords: exchange rate misalignment, overvalue, undervalue, non-tariff
measures (NTMs), safeguards

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vii

ANALISIS PENGARUH MISALIGNMENT NILAI TUKAR
TERHADAP SAFEGUARD MEASURES DI ASEAN-5

DILA VINDAYANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.Si

ix

Judul Tesis : Analisis Pengaruh Misalignment
Safeguard Measures di ASEAN-5
Nama
: Dila Vindayani
NIM
: H151120421

Nilai

Tukar

terhadap

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec
Ketua

Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 1 Juli 2015

Tanggal Lulus:

x

xi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah kebijakan perdagangan internasional dengan
judul Analisis Pengaruh Misalignment Nilai Tukar terhadap Safeguard Measures
di ASEAN-5, dan disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu pelaksanaan penelitian ini. Apresiasi dan ucapan terima kasih penulis
sampaikan secara khusus kepada:
1. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan
Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si selaku anggota komisi pembimbing, yang telah
meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan, dan
masukan yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.
2. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.Si sebagai penguji utama dan Dr. Syamsul
Hidayat Pasaribu, SE, M.Si sebagai penguji dari Komisi Akademik yang telah
memberikan masukan untuk kesempurnaan tesis ini.
3. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si dan Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si
selaku Ketua Program Studi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi
Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis.
4. Biro Organisasi dan Kepegawaian (Roganpeg) Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi
di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB.
5. Rekan-rekan di Sekretariat Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan
dukungan bagi penulis untuk menyelesaikan penyusunan tesis ini.
6. Teman-teman kuliah kelas khusus IPB-Kemendag atas segala bantuannya
selama penulis menyelesaikan pendidikan di IPB.
7. Orang tua dan keluarga besar penulis yang senantiasa mendoakan sehingga
penulis mampu menyelesaikan pendidikan ini. Kepada suami tercinta Eko
Andryanto atas segala doa, kasih sayang, dukungan, dan kesabaran yang telah
diberikan.
Besar harapan penulis bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam
proses pembangunan dan bermanfaat untuk pengembangan penelitian di masa
mendatang.
Bogor, September 2015
Dila Vindayani

xii

xiii

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar belakang
Perumusan masalah
Tujuan penelitian
Manfaat penelitian
Ruang lingkup penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan teori
Tinjauan ekonometrika
Tinjauan penelitian terdahulu
Kerangka penelitian
Hipotesis penelitian
3 METODE
Jenis dan sumber data
Metode analisis
Spesifikasi model
Definisi operasional
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Estimasi model persamaan nilai tukar ekuilibrium
Kondisi misalignment nilai tukar di lima negara ASEAN
Analisis model pengenaan tindakan safeguards
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xiii
xiv
xiv
xiv
1
1
6
8
8
8
9
9
19
20
21
22
22
22
22
23
23
24
24
27
31
32
32
33
33
37
50

xiv

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Tabel total ekspor – impor dan persentase perubahannya di
ASEAN dan Dunia pada tahun 2009 - 2013
Tabel rezim nilai tukar di negara-negara ASEAN periode
2012-2013
Perbandingan jumlah kasus NTM di ASEAN tahun 1994
dan 2005
Jenis dan sumber data yang digunakan
Hasil uji akar unit
Hasil uji kointegrasi
Hasil estimasi nilai tukar riil ekuilibrium
Hasil regresi faktor-faktor yang mempengaruhi pengenaan
safeguards

1
3
7
22
25
25
26
31

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Komposisi new restrictive trade measures periode 2008-2011
Pergerakan nilai tukar nominal di ASEAN pada tahun 2007-2012
Kurva internal balance, external balance, dan long-run equilibrium
real exchange rate
4 New UNCTAD classification of non-tariff measures
5 Kurva hubungan antara tingkat nilai tukar dan output
6 Kerangka pemikiran
7 Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Indonesia
8 Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Malaysia
9 Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Philippines
10 Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Singapore
11 Kondisi misalignment nilai tukar riil efektif di Thailand

5
6
12
16
18
21
27
28
29
29
30

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Hasil uji akar unit pada level
Hasil uji akar unit pada first difference
Hasil uji kointegrasi
Hasil estimasi nilai tukar ekuilibrium
Hasil estimasi pengaruh misalignment nilai tukar dan total ekspor
terhadap kebijakan safeguard

38
41
44
48
49

xv

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perdagangan merupakan salah satu bagian penting dari sektor riil yang
menjadi pemicu aktivitas perekonomian. Dalam hal ini, perdagangan
internasional akan mendorong terciptanya suatu hubungan ekonomi yang saling
mempengaruhi antar negara serta lalu lintas barang dan jasa. Oleh karena itu,
perdagangan internasional dapat dianggap sebagai fokus utama guna menghadapi
era liberalisasi. Proses liberalisasi dalam perdagangan tersebut ditandai dengan
mulai terbentuknya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun
1947 yang perannya sekarang telah digantikan oleh World Trade Organization
(WTO). Tujuannya adalah untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan
yang selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat.
Setiap negara berupaya memperkuat posisinya di bidang perdagangan
melalui keterlibatan di beragam forum bilateral, regional maupun multilateral.
Negara-negara yang terlibat dalam perdagangan akan mendapat keuntungan
karena negara tersebut akan berspesialisasi untuk menghasilkan komoditi secara
efisien (Salvatore 1997). Kesepakatan negara-negara yang terjalin di kawasan
Asia Tenggara melalui ASEAN, merupakan salah satu contoh kerjasama secara
regional yang diantaranya membahas upaya meningkatkan perdagangan pada
intra- maupun extra-ASEAN. Jumlah negara anggota ASEAN saat ini mencapai
sepuluh negara, yaitu Indonesia, Singapore, Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei
Darussalam, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar. Masing-masing negara
memiliki kondisi perekonomian yang beragam dimana terdapat potensi besar
untuk ditingkatkan.
Tabel 1. Total ekspor - impor dan persentase perubahannya di ASEAN dan Dunia
pada tahun 2009-2013
ASEAN
Ekspor
Impor
US$ Juta (%)
US$ Juta
(%)
2009
813 787
726 951
2010
1 050 050 (22.5)
953 113 (23.7)
2011
1 236 787 (15.1)
1 153 020 (17.3)
2012
1 252 276 (1.27)
1 221 838 (5.6)
2013
1 270 336 (1.42)
1 245 308 (1.8)
Sumber: WTO, 2014
Tahun

Dunia
Ekspor
Impor
US$ Juta
(%)
US$ Juta (%)
12 554 000
12 781 000
15 300 000 (17.9) 15 509 000 (17.6)
18 327 000 (16.5) 18 503 000 (16.2)
18 404 000 (0.4) 18 608 000 (0.5)
18 784 000 (2.0) 18 874 000 (1.4)

Tabel 1 menjelaskan total ekspor dan impor (dalam juta US Dollar) yang
dilakukan oleh ASEAN dan dunia antara tahun 2009 hingga 2013 dengan
menampilkan nilai perubahan dari periode sebelumnya (dalam persen). Selama
rentang waktu tersebut, total ekspor ASEAN terus meningkat setiap tahun, yakni
dari US$ 813.787 juta pada tahun 2009 menjadi US$ 1.270.336 juta pada tahun
2013. Kenaikan ekspor yang cukup besar dibandingkan periode sebelumnya
terjadi pada tahun 2010 dan 2011, yakni sekitar 22 dan 15 persen. Sedangkan
ekspor pada tahun 2012 dan 2013 hanya mengalami peningkatan sekitar 1 persen.
Total impor ASEAN juga mengalami kenaikan dalam lima tahun terakhir, dimana
impor pada tahun 2009 yang sebesar US$ 726.951 juta meningkat pada tahun

2

2013 menjadi US$ 1.245.308 juta. Kenaikan impor ASEAN yang tinggi terjadi
pada tahun 2010 dan 2011 yakni sekitar 23 dan 17 persen dari periode terdahulu.
Persentase ini lebih besar dibandingkan kenaikan selama tahun 2012 dan 2013
yang hanya sekitar 1 hingga 6 persen. Secara umum, pertumbuhan perdagangan
yang terjadi di ASEAN lebih cepat dibandingkan total ekspor dan impor secara
keseluruhan di dunia.
Perdagangan internasional juga dipengaruhi oleh sektor moneter, yakni
melalui nilai tukar mata uang. Secara teori, nilai tukar mata uang suatu negara
yang terdepresiasi akan menjadikan harga domestik lebih murah dibandingkan
negara lain sehingga mendorong ekspor, hal yang sebaliknya dengan apresiasi
nilai tukar (Krugman et al. 2012). Namun fluktuasi dalam tingkat nilai tukar mata
uang tersebut juga ditentukan rezim moneter yang berlaku dalam suatu negara.
Penelitian Liang (1998) mengenai hubungan volatilitas nilai tukar dengan rezim
yang berlaku di negara-negara Eropa sebelum diberlakukannya mata uang euro,
menemukan bahwa periode flexible exchange rate terkait dengan tingginya
volatilitas real exchange rate (RER) dibandingkan periode fixed exchange rate.
Selain itu, pergeseran rezim juga berpengaruh penting dalam menentukan
guncangan RER yang persisten.
Sistem klasifikasi rezim nilai tukar berdasarkan IMF (2013) ditentukan dari
sejauh mana basis of degree atau nilai tukar suatu mata uang ditentukan oleh
pasar, bukan oleh intervensi pemerintah. Semakin tinggi pengaruh pasar dalam
penentuan nilai tukar, maka rezim akan semakin fleksibel. Dalam hal ini,
klasifikasi rezim nilai tukar dibagi menjadi empat kategori utama, yaitu: (1) hard
pegs (seperti exchange arrangements with no separate legal tender dan currency
board arrangements); (2) soft pegs (seperti conventional pegged arrangements,
pegged exchange rates within horizontal bands, crawling pegs, stabilized
arrangements, dan crawl-like arrangements); (3) floating regimes (seperti floating
dan free floating); serta (4) a residual category (seperti other managed
arrangements). Kategori hard pegs cenderung memiliki nilai tukar tetap dalam
waktu lama, sehingga tingkat kepastian untuk transaksi internasional lebih tinggi.
Sedangkan soft pegs cenderung menjaga nilai tukar yang stabil terhadap anchor
currency dengan fluktuasi sebesar 1 hingga 30 persen tergantung dengan tingkat
inflasi. Untuk floating regimes, nilai tukar secara dominan ditentukan oleh pasar
dengan intervensi pemerintah yang hampir tidak ada. Rezim nilai tukar yang tidak
termasuk dalam tiga kategori pertama umumnya dianggap sebagai other managed
arrangements.
Mayoritas negara-negara ASEAN saat ini menganut rezim nilai tukar dalam
klasifikasi soft pegs seperti yang terlihat pada Tabel 2. Kamboja, Laos, dan
Vietnam menganut stabilized arrangement, yang mengindikasikan fluktuasi nilai
tukar sekitar 1 persen dari central rate atau memiliki margin 2 persen dalam
jangka waktu minimal enam bulan. Indonesia dan Singapura sama-sama
menetapkan crawl-like arrangement dalam rezim nilai tukarnya. Hal ini
mengindikasikan nilai tukar berfluktuasi dalam tren margin minimal enam bulan
dengan perubahan keseluruhan lebih besar dari 2 persen, atau dalam batas terkait
proyeksi perbedaan inflasi terhadap mitra dagang utama.

3

Tabel 2. Rezim nilai tukar di negara-negara ASEAN periode 2012-2013
Negara

Periode

Rezim Nilai Tukar

Brunei Darussalam

2012-2013

Currency board

Filipina
Indonesia
Kamboja
Laos

2012-2013
2012
2013
2012-2013
2012-2013

Floating
Floating
Crawl-like arrangement
Stabilized arrangement
Stabilized arrangement

Malaysia

2012-2013

Other managed arrangement

Myanmar
Singapura

2012-2013
Other managed arrangement
2012
Other managed arrangement
2013
Crawl-like arrangement
Thailand
2012-2013
Floating
2012-2013
Stabilized arrangement
Vietnam
Sumber: IMF Annual Report on Exchange Arrangements and Exchange Restrictions,
2012-2013

Kategori lain yang juga dominan adalah floating regimes, dimana negara
Filipina dan Thailand menerapkan rezim ini selama tahun 2012-2013. Tingkat
nilai tukar pada rezim floating ditentukan oleh pasar dengan kondisi tidak ada
lebih dari tiga intervensi selama enam bulan sebelumnya dimana masing-masing
intervensi berlangsung kurang dari tiga hari kerja. Dalam periode yang sama,
hanya Brunei Darussalam yang menganut kategori hard pegs yakni currency
board. Rezim ini dianut ketika negara memiliki beberapa partner negara lain yang
penting dalam hubungan dagang sehingga volatilitas nilai tukar mata uang yang
terlalu tinggi selama waktu tertentu akan berdampak buruk. Oleh karena itu,
negara tersebut dapat mematok nilai tukar mata uangnya ke weighted average dari
beberapa mata uang negara partner. Malaysia dan Myanmar dikategorikan sebagai
residual category dimana rezim yang dianut termasuk dalam other managed
arrangement. Hal tersebut umumnya dikarenakan oleh pergeseran kebijakan yang
terlalu sering selama jangka waktu tertentu akibat perubahan beberapa indikator
seperti posisi neraca pembayaran dan cadangan devisa.
Rezim nilai tukar yang dianut masing-masing negara ASEAN bersifat
dinamis mengikuti kondisi perekonomian terkini. Hal ini senada dengan hasil
penelitian Klein dan Shambaugh (2008) bahwa peningkatan atas peluang
diberlakukannya suatu rezim nilai tukar pada periode mendatang, bergantung
kondisi yang terjadi dalam periode selama satu atau dua tahun sebelumnya. Selain
itu, penelitian juga menunjukkan bahwa periode nilai tukar fixed menghasilkan
kondisi bilateral exchange rate yang lebih stabil dibandingkan periode nilai tukar
flexible dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, tingkat volatilitas
pada periode nilai tukar fixed cenderung lebih tinggi dibandingkan periode nilai
tukar flexible.
Penetapan rezim nilai tukar selama kurun waktu tertentu dapat
mempengaruhi terjadinya misalignment nilai tukar. Definisi misalignment nilai
tukar tersebut yakni deviasi yang terjadi akibat adanya perbedaan antara nilai
tukar riil pada kondisi aktual dengan nilai tukar riil saat ekuilibrium (Aguirre and

4

Calderon 2005). Tingkat ekuilibrium nilai tukar riil adalah salah satu konsep
penting dalam ekonomi makro, dimana merupakan tingkat nilai tukar riil yang
konsisten dengan pencapaian simultan keseimbangan internal dan eksternal
(Hyder and Mahboob 2005). Estimasi nilai tukar ekuilibrium dapat dilakukan
melalui beragam pendekatan. Namun, penelitian ini menggunakan pendekatan
Fundamental Equilibrium Exchange Rate (FEER) karena pendekatan tersebut
lebih tepat untuk menilai apakah pergerakan nilai tukar riil merupakan
misalignment atau apakah nilai tukar riil ekuilibrium telah bergeser akibat
perubahan variable fundamental ekonomi.
FEER merupakan pendekatan multiple equation untuk mengestimasi nilai
tukar ekuilibrium. Keseimbangan internal direpresentasikan oleh keadaan negara
dimana produksi ekonomi domestik dan luar negeri berada pada tingkat
potensialnya (sesuai dengan non-accelerating inflation rate of unemployment NAIRU). Hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian menggunakan semua
alokasi sumber daya sehingga tidak menyebabkan inflasi yang berlebihan.
Keseimbangan eksternal didefinisikan sebagai nilai target normatif untuk current
account dari neraca pembayaran. Pengaruh capital account dan financial account
pada keseimbangan eksternal dapat dipertimbangkan ketika menetapkan nilai
target untuk neraca transaksi berjalan (Gylanik 2012).
Hasil penelitian yang dilakukan Holtemöller dan Mallick (2009)
menunjukkan bahwa semakin tinggi fleksibilitas rezim nilai tukar, maka akan
semakin rendah peluang terjadinya misalignment. Penelitian mereka menetapkan
misalignment nilai tukar melalui terjadinya over- atau undervaluation mata uang
yang dicerminkan sebagai Real Effective Exchange Rate (REER) aktual, terhadap
tingkat ekuilibriumnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Coudert dan Couharde
(2008) memperlihatkan perbedaan kondisi misalignment nilai tukar pada berbagai
rezim mata uang dimana pegged currencies cenderung menyebabkan overvalued,
dan floating exchange rates menyebabkan terjadinya undervalued. Sedangkan
intermediate regimes berada diantaranya, dengan kecenderungan undervalued
tetapi pada tingkat yang lebih rendah.
Kondisi misalignment nilai tukar berdasarkan penelitian terdahulu dapat
dilihat dari dua aspek, yaitu saat terjadi overvalued currency dan undervalued
currency. Dalam teori The Law of One Price (Krugman et al. 2012), kondisi
overvalued currency terjadi ketika mata uang suatu negara memiliki tingkat nilai
tukar aktual lebih kecil dari tingkat ekuilibrium selama periode tertentu. Hal ini
menyebabkan harga domestik menjadi lebih mahal dari harga di luar negeri.
Sedangkan undervalued currency terjadi saat tingkat nilai tukar aktual lebih besar
dari tingkat ekuilibrium selama periode tertentu. Hal ini menyebabkan harga
domestik menjadi lebih murah dari harga di luar negeri. IMF menjaga nilai tukar
riil berada disekitar ekuilibriumnya. Alasannya yakni nilai tukar riil yang
overvalue dapat melemahkan daya saing ekspor dan melemahkan posisi eksternal,
sementara nilai tukar undervalue dapat membuat tekanan inflasi. Selain itu,
pemeliharaan nilai tukar riil dekat dengan tingkat ekuilibrium juga mencegah
negara dari krisis mata uang dan perbankan krisis, serta biaya yang timbul akibat
efek neraca perdagangan.
Mata uang yang mengalami overvalue maka akan meningkatkan tekanan
industri import-competing terhadap perusahaan asing, sehingga turut
meningkatkan permintaan akan proteksi impor (Shatz and Tarr, 2000). Sedangkan

5

mata uang yang undervalue akan mendorong peningkatan produksi domestik,
namun proteksi yang diterapkan di luar negeri juga turut meningkat (Irwin 2011).
Berdasarkan hal tersebut, misalignment nilai tukar terbukti memiliki pengaruh
dalam penentuan kebijakan perdagangan.
Efek misalignment nilai tukar terkait mata uang yang over- atau undervalue,
akan mempengaruhi arah kebijakan perdagangan yang diterapkan suatu negara.
Kebijakan perdagangan tersebut umumnya bersifat menghambat dimana dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu tarif dan non tarif (Salvatore 1997). Tarif
adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang
diperdagangkan lintas batas teritorial. Sedangkan non tarif merupakan hambatan
perdagangan yang terjadi di era modern dan merupakan bentuk proteksi
perdagangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan hambatan tarif. Dalam
hal ini, WTO kemudian mendefinisikan kebijakan-kebijakan perdagangan non
tarif dengan istilah non tariff measures (NTM).
Laporan monitoring WTO pada Gambar 1 menunjukkan bahwa penggunaan
kebijakan perdagangan restriksi berupa non-tarif telah meningkat relatif terhadap
tarif. Sejak tahun 2008, kebijakan restriksi non-tarif yang baru terus mendominasi
hingga melampaui kebijakan liberalisasi tarif. Sementara itu, jumlah kebijakan
liberalisasi tarif telah melebihi jumlah kebijakan restriksi tarif dalam setiap
periode kecuali tahun 2009. Hal ini sejalan dengan semakin berkembangnya
kerjasama regional, seperti ASEAN, yang berupaya meminimalisir hambatan
demi memperlancar arus perdagangan.

Sumber: World Bank, 2013
Gambar 1. Komposisi new restrictive trade measures periode 2008-2011
(persentase)

6

Gambar 1 menunjukkan kebijakan perdagangan restriksi yang paling sering
digunakan yaitu bail out atau state aid sebesar 25 persen. Porsi terbesar kedua
yaitu trade defence berupa anti-dumping, countervailing duties, dan safeguards,
sebesar 22 persen. Sedangkan tariffs hanya menyumbang sebesar 13 persen dari
seluruh hambatan. Bail out merupakan program penalangan yang dilakukan
pemerintah. Trade defence merupakan tindakan yang diterapkan ketika terjadi
perdagangan yang tidak adil, subsidi impor, dan lonjakan drastis dalam aliran
perdagangan.
Perumusan Masalah
Perbedaan dalam rezim moneter dan mata uang yang berlaku di masingmasing negara ASEAN, mengakibatkan arah pergerakan nilai tukar yang berbeda
sehingga mempengaruhi perdagangan internasional. Gambar 2 menunjukkan
pergerakan nilai tukar nominal dalam basis rata-rata tahunan antara periode 2007
hingga 2012 di negara-negara ASEAN dengan penghitungan mengacu pada nilai
tukar rata-rata bulanan. Nilai tukar Dong Vietnam mengalami tren depresiasi
selama lima tahun terakhir. Sedangkan nilai tukar Peso Philippines, Baht
Thailand, dan Kip Laos cenderung mengalami apresiasi dalam periode yang sama.
Untuk nilai tukar Rupiah Indonesia, pergerakan selama lima tahun cenderung
berfluktuasi. Apresiasi nilai tukar dapat menyebabkan mata uang mengalami
overvalued, sedangkan depresiasi nilai tukar kemungkinan akan menyebabkan
mata uang mengalami undervalued. Kondisi over- atau undervalued dalam jangka
waktu lama dapat mengindikasikan terjadinya misalignment nilai tukar
(Holtemöller and Mallick 2009).

Sumber: World Bank, 2013
Gambar 2. Pergerakan nilai tukar nominal di ASEAN pada tahun 2007 - 2012
(local currency unit per US$, period average)

7

Pengaruh misalignment nilai tukar penting untuk ditelaah lebih lanjut dalam
konteks perdagangan internasional. Hal ini dikarenakan dampaknya yang nyata
terhadap perkembangan ekspor dan impor. Penelitian dengan menggunakan data
panel di 42 negara berkembang antara tahun 1975 hingga 2004, memperlihatkan
adanya dampak negatif REER misalignment terhadap ekspor (Diallo 2011).
Terkait ASEAN, negara-negara yang bersepakat dalam kerjasama regional ini
memiliki berbagai produk unggulan yang diperdagangkan di pasar internasional.
Tingkat harga yang berlaku untuk masing-masing produk dipengaruhi oleh nilai
tukar. Apabila nilai tukar menyebabkan mata uang mengalami overvalued, maka
harga barang domestik menjadi lebih mahal di pasar internasional. Sedangkan
nilai tukar yang menyebabkan undervalued pada mata uang akan membuat harga
barang domestik lebih murah sehingga industri dalam negeri terdorong melakukan
ekspor.
Kaitan nilai tukar dengan perdagangan internasional juga menyinggung
hubungan misalignment nilai tukar terhadap kebijakan perdagangan. Alasannya
dikarenakan pergerakan nilai tukar secara tidak langsung akan mempengaruhi
keputusan pemerintah dalam menetapkan kebijakan terkait perdagangan
internasional. Matto dan Subramanian (2008) menyatakan bahwa IMF sebagai
lembaga yang berwenang menangani undervalued currency akibat nilai tukar,
belum berperan efektif secara mandiri. Sebaliknya, WTO dianggap lebih kredibel
dan efektif dalam menyelesaikan sengketa perdagangan karena telah ada aturan
tentang mata uang undervalue akibat kondisi nilai tukar, yang menjadi pelengkap
diberlakukannya tarif dan subsidi ekspor. Disisi lain, penelitian Nicita (2013)
menunjukkan adanya penggunaan kebijakan perdagangan untuk mengkompensasi
efek nilai tukar yang dapat menyebabkan overvalued currency. Perusahaan
domestik yang kehilangan daya saing akibat apresiasi nilai tukar akan melobi
pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan perdagangan yang bersifat
menghambat.
Tabel 3 memperlihatkan perbandingan atas jumlah kasus NTM yang
dikeluarkan oleh negara-negara ASEAN pada tahun 2003 dan 2012. Hasilnya
menunjukkan bahwa secara umum kasus pengenaan NTM pada tahun 2012 lebih
tinggi dibandingkan tahun 2003. Hal ini senada dengan data yang dikeluarkan
world bank pada gambar 1 dimana persentase penerapan NTM dalam
perdagangan dunia menempati porsi yang semakin besar dibandingkan tarif.
Tabel 3. Perbandingan jumlah kasus NTM di ASEAN tahun 2003 dan 2012
Klasifikasi
Technical
Measures
Non-Technical
Measures

Sanitary and Phytosanitary
Technical Barriers to Trade
Anti dumping
Safeguards
Quantitative Restrictions

Tahun
2003
27
42
6
3
1

2012
43
45
6
10
4

Sumber: WTO, 2014

Technical measures mengacu pada sifat khusus produk seperti karakteristik,
spesifikasi teknis, dan proses produksi suatu produk. Sedangkan non-technical
measures mengacu pada persyaratan perdagangan, seperti syarat pengiriman,

8

custom formalities, peraturan perdagangan, dan kebijakan perpajakan. Terkait
nilai tukar, maka NTM yang akan terpengaruh dengan pergerakan mata uang
berasal dari klasifikasi non-technical measures. Untuk klasifikasi tersebut,
penerapan NTM yang mengalami peningkatan pesat di ASEAN adalah safeguards
yakni dari 3 kasus pada tahun 2003 menjadi 10 kasus pada tahun 2012. Tindakan
safeguards diterapkan akibat meningkatnya impor produk-produk tertentu
sehingga mengancam kelangsungan industri domestik di negara pengimpor.
Dalam hal ini, perkembangan nilai tukar dapat mempengaruhi harga produk
ekspor maupun impor (Thorstensen et al. 2011).
Berdasarkan uraian sebelumnya, terlihat bahwa hubungan antara
misalignment nilai tukar terhadap perdagangan negara-negara ASEAN perlu
diteliti. Hal ini selanjutnya memberikan ruang bagi peneliti untuk mengkaji lebih
jauh mengenai permasalahan-permasalahan berikut:
1. Bagaimana kondisi misalignment nilai tukar yang terjadi pada mata uang
negara- negara ASEAN-5?
2. Bagaimana pengaruh misalignment nilai tukar terhadap kebijakan non-tarif
pada masing-masing negara ASEAN-5?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan
dilaksanakannya penelitian ini yaitu:
1. Menganalisis terjadinya misalignment nilai tukar pada mata uang negaranegara ASEAN-5.
2. Menganalisis pengaruh misalignment nilai tukar terhadap kebijakan non-tarif
pada masing-masing negara ASEAN-5.
Manfaat Penelitian

1.
2.

3.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
Hasil penelitian dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan untuk bisa
menyelaraskan kondisi antara sektor moneter dan sektor perdagangan.
Para pelaku ekonomi dapat semakin mempersiapkan diri untuk menyongsong
integrasi ekonomi terutama dalam kerangka ASEAN Economic Community
(AEC).
Wawasan masyarakat secara umum dapat bertambah mengenai hubungan
nilai tukar terhadap perdagangan internasional.
Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian hanya mencakup lima negara anggota ASEAN, yaitu Indonesia,
Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Hal ini dikarenakan perbedaan
masing-masing negara dalam keterbukaannya menyampaikan data perekonomian.
Selain itu, kelima negara yang diteliti memiliki perekonomian yang beragam
sehingga dapat mewakili kondisi ekonomi ASEAN secara umum. Untuk
kebijakan non tarif, penelitian ini hanya mencakup tindakan safeguards karena
terkait dengan harga. Periode data yang digunakan dalam penelitian ini berkisar
pada tahun 1994 hingga 2013.

9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Definisi Nilai Tukar
Nilai tukar merupakan harga mata uang suatu negara terhadap mata uang
negara lain (Krugman et al. 2012). Definisi ini disebut juga nilai tukar nominal,
dimana nilai tukar diekspresikan sebagai harga domestik atas mata uang asing.
Perubahan pada nilai tukar dibedakan menjadi dua, yaitu apresiasi dan depresiasi.
Apresiasi adalah penguatan nilai tukar mata uang suatu negara dimana harga yang
harus dibayarkan untuk ditukarkan dengan mata uang negara lain menjadi lebih
murah. Sedangkan depresiasi adalah pelemahan nilai tukar mata uang dimana
harga yang harus dibayarkan untuk menukar mata uang suatu negara dengan mata
uang negara lain menjadi lebih mahal.
Pelaku ekonomi cenderung tertarik pada apa yang bisa mereka dapatkan
dengan mata uang yang diukur melalui tingkat nilai tukarnya di pasar. Oleh
karena itu, berkembanglah konsep nilai tukar riil atau real exchange rate (RER),
yang mengukur nilai barang di suatu negara terhadap negara lain pada tingkat
nilai tukar nominal yang berlaku. Nilai tukar riil berperan penting dalam
perdagangan internasional karena memungkinkan kita untuk membandingkan
harga suatu barang yang diproduksi di berbagai negara. Ketika harga barang yang
sama, baik yang diproduksi domestik maupun luar negeri, telah dikonversi dalam
suatu mata uang maka harga relatif yang mempengaruhi perdagangan
internasional dapat diketahui (Krugman et al. 2012).
Apresiasi pada mata uang suatu negara meningkatkan harga relatif barang
yang diekspor dan menurunkan harga relatif barang yang diimpor. Hal ini dapat
menyebabkan peningkatan impor karena harga yang lebih murah. Sebaliknya,
depresiasi pada mata uang suatu negara akan menurunkan harga relatif barang
yang diekspor dan meningkatkan harga relatif barang yang diimpor. Kondisi
tersebut mendorong terjadinya ekspor karena harga impor yang lebih mahal.
Hubungan antara nilai tukar riil suatu mata uang dengan nilai tukar nominal, harga
barang domestik, serta harga barang luar negeri dapat dirumuskan sebagai berikut:
(2.1)
dimana e adalah nilai tukar riil, S adalah nilai tukar nominal, P adalah harga
barang domestik, dan P* adalah harga barang luar negeri.
Konsep Equlibrium Real Exchange Rate
Konsep keseimbangan pada nilai tukar riil merupakan kondisi seimbang
yang terjadi apabila tidak ada kecenderungan untuk mengalami perubahan. Nilai
tukar riil sebagai bagian penting dari mekanisme penyesuaian ekonomi makro,
akan cenderung berubah setiap kali ekonomi terkena guncangan baru. Hal ini
dapat menyebabkan perubahan nilai secara kontinu sehingga sulit dijadikan acuan
dalam menetapkan ekuilibrium nilai tukar riil. Oleh karenanya, konsep
keseimbangan akan tetap mengacu pada kondisi tanpa guncangan. Disisi lain,
perekonomian diasumsikan memiliki beberapa kondisi keseimbangan pada saat
tertentu sehingga perbedaaan antara aktual dan ekuilibrium harus lebih nyata.
Kondisi keseimbangan tersebut bergantung pada current dan expected future

10

values yang ditetapkan atas variabel-variabel makroekonomi tertentu. Hal ini
mengindikasikan bahwa keseimbangan tidak bersifat statis, namun akan berubah
dari waktu ke waktu seperti perubahan yang terjadi pada nilai variabel. Oleh
karenanya, keseimbangan perlu dibedakan antara short-run dan long-run
equilibrium. Perbedaan antara keduanya seringkali disebut juga sebagai nilai tukar
misalignment (Montiel 2002).
Contoh konkret dapat dilihat dalam persamaan berikut. Asumsikan nilai
tukar riil pada setiap waktu ditentukan oleh hubungan reduced-form:
(2.2)
dimana X1 merepresentasikan sustainable values of a set of real exogenous
dan policy variables, sedangkan X2 merepresentasikan current values of a set
of predetermined variables. Variabel terakhir merupakan variabel-variabel
makroekonomi seperti upah nominal, economy's net international creditor
position, dan capital stocks dalam sektor traded dan nontraded goods, yang
nilainya tetap setiap saat tetapi berubah secara bertahap dari waktu ke waktu:
̇
(2.3)
Dalam hal ini, nilai e pada persamaan (2.2) adalah nilai short-run equilibrium
karena current values atas X2 pada persamaan (2.3) akan berubah sendiri dari
waktu ke waktu.
Ketika variabel-variabel makroekonomi pada X2 berhenti berubah, maka
kondisi tersebut dianggap telah mencapai long-run equilibrium, sehingga:
0
(2.3‟)
Dengan demikian, persamaan untuk nilai long-run atas X2 menjadi:
(2.4)
Kemudian disubstitusi dengan persamaan (2.2) menjadi:
(2.5)
dimana e* adalah long-run equilibrium real exchange rate (LRER). Persamaan
tersebut hanya bergantung pada sustainable values of a the exogenous dan
policy variables, yang mempengaruhi e secara langsung maupun tidak langsung
(melalui X2).
Kondisi Long-run Equlibrium Real Exchange Rate
Istilah "jangka panjang" pada kondisi nyata jauh lebih kompleks.
Kesulitannya terletak pada predetermined variables seperti upah nominal,
economy's net international creditor position, dan capital stocks secara sektoral,
yang memiliki kecepatan berbeda dalam mendekati nilai-nilai kondisi jangka
panjang. Oleh karena itu, kita perlu mengacu kembali pada konsep LRER sebagai
nilai tukar riil yang secara simultan konsisten dengan keseimbangan internal dan
eksternal, dengan pengaruh dari sustainable values of a the exogenous dan
policy variables. Keseimbangan internal mengacu pada situasi pasar untuk
nontraded goods dan tenaga kerja berada dalam ekuilibrium. Hal ini sesuai
dengan kondisi keseimbangan makroekonomi pada jangka pendek, yakni full
employment. Sedangkan keseimbangan eksternal mengacu pada situasi di mana
defisit current account sama dengan nilai capital inflow yang berkelanjutan.
Keseimbangan internal mensyaratkan bahwa siklus mekanisme
penyesuaian melalui pasar tenaga kerja berhenti beroperasi. Pada saat yang sama,
hal ini mencerminkan pandangan bahwa membiarkan penyesuaian penuh untuk
capital stock adalah berlebihan, karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai

11

penyesuaian penuh akan berlangsung lama bergantung pada kebijakan yang
berlaku. Disisi lain, keseimbangan eksternal membutuhkan tingkat spesifik dari
capital inflow yang berkelanjutan. Suatu kerangka yang dinamis menjelaskan
bahwa capital inflow atau outflow adalah berkelanjutan ketika economy's net
international creditor position (dalam predetermined variable) tidak mengalami
perubahan. Berdasarkan hal tersebut, tingkat berkelanjutan atas arus modal akan
diperlukan untuk mempertahankan rasio utang dengan GDP. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa penyesuaian yang berkelanjutan pada jangka panjang
untuk pasar tenaga kerja dan economy's net creditor position akan berlangsung
lama, sedangkan untuk capital stock belum tentu membutuhkan waktu selama
itu. Pendapat lainnya menyatakan bahwa terlalu lama menunggu kondisi jangka
panjang bagi net creditor position, sehingga mereka mengkondisikan jangka
panjang hanya pada tingkat stabil dari arus modal. Asumsi implisit atas kondisi
ini adalah bahwa arus modal hanya memiliki pengaruh kecil pada net creditor
position (Montiel 2002).
Teori Long-run Equlibrium Real Exchange Rate
Kondisi ekuilibrium yang berkelanjutan dalam pasar tenaga kerja dan
nontraded goods dapat digambarkan sebagai berikut:
yN (e , ɸ) = (1 - θ) c/e + gN
(2.6)
+ Persamaan ini mencerminkan bahwa penawaran nontraded goods yN, pada sisi
kiri, harus sama dengan permintaan barang dari sektor privat [(1 - θ) c/e] dan
publik (gN), pada sisi kanan. Tanda dibawah persamaan sisi kiri menunjukkan
partial derivatives terhadap argumen persamaan diatasnya. Penawaran nontraded
goods berhubungan positif dengan fungsi nilai tukar riil e, dan berhubungan
negatif dengan fungsi terms of trade ɸ. Hal tersebut berimplikasi pada
keseimbangan pasar tenaga kerja, dimana ketika depresiasi menyebabkan tenaga
kerja berpindah dari sektor nontraded goods ke sektor ekspor dan impor, maka
perbaikan dalam terms of trade akan mendorong tenaga kerja berpindah dari
sektor nontraded goods dan impor ke sektor ekspor. Spesifikasi permintaan
privat untuk nontraded goods mencerminkan asumsi constant expenditure shares
(Cobb-Douglas utility) untuk impor dan nontraded goods (penduduk domestik
diasumsikan tidak mengkonsumsi barang ekspor); dengan θ menunjukkan share
of spending khususnya impor, dan c menunjukkan level of total private
expenditure dengan satuan unit yang diimpor. Kenaikan private spending
menyebabkan excess demand untuk nontraded goods, dimana nilai tukar riil
harus terapresiasi agar posisi kembali ke ekuilibrium pada Gambar 3.
Kondisi keseimbangan eksternal digambarkan sebagai berikut:
π* f* = ɸ yx (e , ɸ) + yz (e , ɸ) + (r* + π*) f* - [τ (ε + π*) + θ] c - gz
(2.7)
- +
- +
Persamaan ini menggambarkan ekuilibrium jangka panjang dimana current
account balance, pada sisi kanan, sama dengan sustainable capital inflow, pada
sisi kiri. Sustainable capital inflow sama dengan inflationary erosion of the real
value of the country’s net debt terhadap dunia; dengan country’s real net
international creditor position (f*), world inflation rate (π*), dan sustainable
capital inflow (-π* f*). Sisi kanan persamaan terdiri dari trade balance ditambah

12

net interest receipts dari dunia. Trade balance merupakan jumlah produksi
domestik yang diekspor yx (dihitung dalam terms of importables dari perkalian
dengan terms of trade ɸ) dan diimpor

yz, dikurangi oleh permintaan privat dan
+ θ] c dan gz). Net interest receipts dari

publik atas impor (diberikan oleh [τ
(pembayaran terhadap) dunia diberikan oleh (r* + π*) f*, dengan r* adalah
external real interest rate yang dihadapi perekonomian domestik, sehingga
r* + π* merupakan external nominal interest rate.
6 e

IB

5
4

A
3e*
2
1

EB

c

0
1

2

c*
3

4

5

Sumber: Montiel, 2002
Gambar 3. Kurva internal balance, external balance, dan long-run equilibrium
real exchange rate
Permintaan privat untuk impor memiliki dua komponen. Pertama,
komponen θc yang menggambarkan asumsi bahwa share θ dari total private
spending dikhususkan untuk barang impor, sehingga cz = θc. Kedua, komponen
τc yang merupakan asumsi atas biaya transaksi terkait the act of spending (terdiri
dari τ barang per unit konsumsi) yang muncul dalam bentuk traded goods. Biaya
tersebut dapat dikurangi melalui kepemilikan money balances, namun hal ini
tidak disarankan ketika inflasi domestik sedang tinggi. Apabila ε menunjukkan
tingkat depresiasi dari nilai tukar nominal, maka tingkat inflasi domestik dalam
jangka panjang harus sama dengan ε + π*, sehingga τ akan meningkatkan ε + π*.
Country’s net international creditor position (f*) bergantung hanya kepada
external real interest rate, sehingga tidak terpengaruh guncangan lain pada
model. Alasannya adalah suku bunga riil domestik dalam kondisi steady state
harus sama dengan the rate of time preference, yang merupakan variabel
eksogen. Dengan external real interest rate merupakan variabel eksogen, yang
sama dengan the rate of time preference; maka yang dapat menyeimbangkan
keduanya adalah risk premium on lending to the domestic economy, yang
dijelaskan fungsi f*. Dalam hal ini, f* tidak akan berubah jika r* tidak
mengalami perubahan.
Ketika produksi traded goods (ɸ yx + yz) mengalami penurunan pada nilai
tukar riil e, dan kenaikan pengeluaran konsumsi mengurangi surplus
perdagangan, maka kombinasi e dan c yang menggambarkan kondisi

13

keseimbangan eksternal diplotkan dalam kurva EB dengan slope negatif pada
gambar 3. Perpotongan di titik A dengan kurva IB yang berslope positif
menjelaskan tingkat nilai tukar riil dan pengeluaran privat pada kondisi
ekuilibrium jangka panjang.
Fundamental Equilibrium Exchange Rate (FEER)
Metodologi Fundamental Equilibrium Exchange Rate (FEER)
menggunakan indikator keseimbangan internal dan eksternal untuk mendapatkan
tingkat nilai tukar yang optimal. Oleh karena itu, FEER sesuai untuk menilai
apakah gerakan REER merupakan misalignment atau apakah EREER telah
bergeser sebagai akibat dari perubahan fundamental ekonomi (Roudet et al.
2007). Sedangkan penelitian Driver dan Westaway (2003) menyatakan bahwa
FEER adalah model kesetimbangan yang mendefinisikan tingkat nilai tukar riil
yang kompatibel dengan keseimbangan internal dan eksternal.
Variabel yang digunakan untuk menilai keseimbangan internal dan eksternal
adalah variabel yang mempengaruhi keseimbangan saving-investment suatu
negara. Dalam hal ini, FEER mencerminkan nilai tukar riil yang berkelanjutan.
Nilai tukar ini diharapkan dapat menghasilkan current account surplus atau defisit
yang dapat menyesuaikan aliran modal suatu negara selama siklus tertentu.
Asumsinya adalah bahwa negara sedang mengejar keseimbangan internal dan
tidak membatasi perdagangan untuk alasan balance-of-payments (Cline dan
Williamson 201