Analisis Penerapan Nilai Tukar Asian Currency Unit (ACU) di Kawasan ASEAN+3

(1)

ANALISIS PENERAPAN NILAI TUKAR

ASIAN CURRENCY UNIT (ACU) DI KAWASAN ASEAN+3

BAYU DARUSSALAM H151054164

TESIS

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Penerapan Asian Currency Unit (ACU) di Kawasan ASEAN+3 adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2010

Bayu Darussalam H151064164


(3)

ABSTRACT

BAYU DARUSSALAM. The Analyze of ACU Implementation in ASEAN plus Three Economic. Under Supervision of NOER AZAM ACHSANI and NUNUNG NURYARTONO.

As financial crisis hit Asian countries in 1997, following international trade and globalization, there were global awareness toward maintaining regional stability. Since then, ASEAN+3 countries have made a lot of efforts to enhance economic coordination among regions, aiming at full economic integration. Along with greater ASEAN+3 economic integration, concerns on currency stabilization are raising. This research examines the readiness of the ASEAN+3 countries in the efforts of forming single currency unit, as a main representation of full economic integration. This research analyze regional cooperation on currency stabilization by way of adopting Asian Currency Unit (ACU) as parallel currency in ASEAN+3 countries, before the full implementation of common currency area, which will take longer time. The ACU implementation takes a similar model of establishing European Currency Unit (ECU), right before the Europe released the Euro single currency in 1999. The finding shows that, based on Maastricht Treaty, ASEAN+3 countries currently have no adequate capacity to be a fully, economically integrated. The reason is that not all ASEAN+3 economic meet the Maastricht convergence requirements. It shows that if ACU is implemented by now. Furthermore, as ACU and each individual domestic currencies are shocked at once against inflation, Vector Autoregressive (VAR) Model shows that ten countries are better off using ACU instead of their domestic currencies.

Key words: Economic integration, Maastricht Treaty convergence criteria, Asian Currency Unit (ACU), Vector Autoregressive (VAR).


(4)

RINGKASAN

BAYU DARUSSALAM. Analisis Penerapan Nilai Tukar Asian Currency Unit

(ACU) di Kawasan ASEAN+3. Dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI dan NUNUNG NURYARTONO

Sejak terjadi krisis ekonomi di Thailand yang menyebar menjadi Krisis Asia tahun 1997 sebagai dampak dari globalisasi dan integrasi ekonomi serta keuangan dunia, semakin meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya memelihara stabilitas suatu kawasan. Dari krisis tersebut, ada inisiasi untuk memulai kerjasama regional dalam memelihara stabilitas kawasan ASEAN+3. Kerjasama tersebut melahirkan suatu kesepakatan bernama Chiang Mai Initiative

(CMI). CMI merupakan hasil kesepakatan pertemuan Menteri Keuangan ASEAN+3 pada Mei 2000. CMI bertujuan untuk menyediakan bantuan keuangan regional sebagai bantuan pendamping yang diberikan oleh lembaga internasional, melalui jejaring swap bilateral di antara negara-negara ASEAN+3. Kerjasama dalam kawasan ini pun terus berlangsung dalam rangka membentuk integrasi ekonomi secara penuh.

Pembentukan integrasi ekonomi di kawasan ini dilandasi karena manfaat yang akan diperoleh dari integrasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara dalam kawasan tersebut (Sholihah dan Saichu, 2007). Faktor lainnya yang mempengaruhi perlunya integrasi di kawasan ASEAN+3 didasari dari kesuksesan Uni Eropa membentuk suatu single market dengan mata uang tunggal Euro, dimana perdagangan dilakukan secara bebas, tanpa dibebankan adanya pajak. Hal ini mendorong tumbuh pesatnya perekonomian di wilayah Uni Eropa. Berawal dari kesuksesan Eropa juga, maka negara-negara ASEAN terdorong untuk menciptakan suatu single market. Pada KTT ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003, para pemimpin ASEANmenyepakati sebuah penyatuan perekonomian yang dikenal dengan ASEAN Economic Community (AEC) yang ditargetkan akan beroperasi pada tahun 2015. Pembentukan AEC bermuara pada pembentukan

Asian Currency Unit (ACU) atau satuan mata uang ASEAN, yang akan menjadi satu-satunya alat transaksi diantara negara-negara tersebut. Oleh sebab itu, maka menjadi penting bagi kawasan ASEAN+3 mempersiapkan diri menghadapi tantangan dan peluang terciptanya sebuah integrasi ekonomi kawasan secara penuh.

Menurut tahapan integrasi Balassa, usaha-usaha untuk menuju integrasi ekonomi haruslah melalui berbagai tahapan yang dibagi dalam lima tahap antara lain : (i) Free Trade Area, (ii) Custom Union, (iii) Common Market, (iv)

Economic union, dan (v) Total Economic. Namun, kondisi aktual tahapan integrasi ekonomi yang dilakukan oleh ASEAN+3 baru pada tahapan Free Trade Area (FTA). Artinya masih banyak tahapan dan persiapan yang perlu dilakukan oleh kawasan ini dalam mencapai integrasi ekonomi secara penuh. Integrasi total economic ditandai dengan penyatuan moneter berupa penerbitan mata uang tunggal kawasan yang digunakan dalam bertransaksi, baik antar negara kawasan maupun dengan negara di luar kawasan. Dalam konteks ASEAN+3, kawasan ini


(5)

sedang melakukan penelitian mengenai kemungkinan penerapan mata uang tunggal kawasan. Menurut Kim (2007), terdapat pendekatan tiga tahap untuk menuju mata uang tunggal Asia. Ketiga tahapan ini meliputi : (i) Koordinasi kebijakan nilai tukar, (ii) membuat mata uang tunggal regional, (iii) membuat mata uang tunggal Asia.

Bertolak dari hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pembentukan mata uang parallel ACU sebagai mata uang kawasan ASEAN+3, selanjutnya adalah kegunaan dan keuntungan menggunakan ACU, serta bagaimana kesiapan negara-negara di ASEAN+3 membentuk sebuah uni moneter regional di kawasan tersebut. Pembahasan pada penelitian ini pun dibagi ke dalam dua periode, yaitu periode krisis ekonomi (1997-2002), dan periode pasca krisis ekonomi (2003-2007). Selain tujuan tersebut, penelitian ini mencoba merumuskan berbagai implikasi kebijakan berdasarkan hasil analisis tujuan penelitian ini.

Pada penelitian ini dibahas bagaimana kesiapan kawasan ASEAN+3 menuju integrasi ekonomi secara penuh dengan menggunakan kriteria konvergensi Maastricht Treaty seperti yang dilakukan oleh Eropa. Selanjutnya penelitian ini menganalisis pembentukan ACU di kawasan ASEAN+3 meliputi konstruksi model ACU, kriteria pembobotan (variabel yang digunakan maupun pembagian bobot), serta mekanisme nilai tukar yang dilakukan. Kemudian dalam penelitian ini pun dianalisis mengenai pilihan penggunaan mata uang bagi setiap negara di kawasan ASEAN+3 dengan menggunakan model VAR. Keputusan pemilihan model tersebut berdasarkan kebutuhan penelitian untuk melihat negara-negara anggota ASEAN+3 mana saja yang layak menggunakan mata uang ACU sebagai mata uang kawasan. Kriteria pemilihan tersebut didasarkan jika fluktuasi inflasi suatu negara lebih kecil jika menggunakan ACU daripada negara tersebut menggunakan mata uang domestiknya.

Berdasarkan kriteria konvergensi Maastricht Treaty untuk menuju suatu uni moneter regional seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa, hasil yang diperoleh antara lain : (i) pada periode krisis ekonomi (1997-2002) hanya negara China yang yang memenuhi empat kriteria konvergensi, dan (ii) pada periode pasca krisis ekonomi (2003-2007) kembali hanya China yang memenuhi empat kriteria konvergensi. Hal ini tentu saja mengindikasikan bahwa kondisi saat ini bukanlah saat yang tepat bagi negara-negara di kawasan ASEAN+3 membentuk sebuah uni moneter regional kawasan.

Untuk pembobotan nilai tukar ACU diperoleh bahwa pada periode krisis ekonomi (1997-2002), bobot pembentukan mata uang ACU ASEAN+3 dikuasi oleh tiga negara plus three sebesar 68 persen dari total keseluruhan bobot mata uang, antara lain Jepang (30.4 persen), China (30.1 persen), dan Korea (8.3 persen). Sementara periode pasca krisis ekonomi (2003-2007), bobot pembentukan mata uang ACU ASEAN+3 tidak lagi dikuasi oleh negara-negara

plus three. Pada periode ini komposisi bobot terbesar secara berturut-turut dikuasai oleh China (38.1 persen), Jepang (25.0 persen), dan Singapura (7.2 persen).

Dalam penelitian ini juga diperoleh bahwa pada periode 1997-2002 tidak dapat ditentukan benchmark rate sebesar 2.25 persen, 6 persen, maupun 15 persen seperti yang dilakukan oleh Eropa karena pergerakan seluruh mata uang anggota bergerak melebihi koridor fluktuasi tersebut. Sementara pada periode 2003-2007


(6)

kembali tidak ada negara yang benchmark rate-nya berada pada koridor 2.25 persen. Namun, pada periode ini dapat diberlakukan koridor fluktuasi sebesar 25 persen.

Hasil estimasi dari penelitian ini pun menunjukkan bahwa ada tiga negara yang tepat menggunakan mata uang ACU ASEAN+3 karena dapat meminimalisir fluktuasi inflasi jika terjadi shock pada nilai tukar ACU dan mata uang domestiknya. Ketiga negara tersebut antara lain, China, Singapura, dan Brunei Darussalam. Sementara itu untuk negara-negara seperti Jepang, Korea, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Brunei, Myanmar, Kamboja dan Laos lebih tepat menggunakan mata uang domestiknya daripada menggunakan nilai tukar ACU.

Secara keseluruhan, penelitian ini memberi gambaran bahwa kondisi hari ini bukanlah waktu yang tepat bagi negara-negara di kawasan ASEAN+3 membentuk integrasi ekonomi secara penuh. Namun, kemungkinan kawasan ASEAN+3 ini untuk dapat memenuhi kriteria konvergensi makroekonomi sangatlah terbuka, setidaknya dalam periode jangka panjang. Hal ini didukung oleh perkembangan yang terjadi pada kawasan ini, dengan cakupan kerja sama yang semakin luas, orientasi ekspor yang kuat, human capital yang solid, serta didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam beberapa dekade terakhir, mencerminkan optimisme tersebut.

Kata kunci : Integrasi ekonomi, Kriteria konvergensi Maatricht Treaty, Asian Currency Unit (ACU), Vector Autoregressive (VAR).


(7)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau menyeluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB


(8)

ANALISIS PENERAPAN NILAI TUKAR

ASIAN CURRENCY UNIT (ACU) DI KAWASAN ASEAN+3

BAYU DARUSSALAM H151054164

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :


(11)

PRAKATA

Puji serta syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat, karunia derta hidayah yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih pada tesis ini adalah Analisis Penerapan Nilai Tukar Asian Currency Unit (ACU) di Kawasan ASEAN+3.

Krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia pada tahun 1997 merupakan guncangan dari adanya globalisasi ekonomi. Besarnya dampak krisis terhadap kesejahteraan masyarakat dalam sekejap menghapus keuntungan globalisasi serta ketidakberdayaan suatu negara melindungi perekonomiannya. Sejak terjadi krisis tersebut, negara di Asia melakukan berbagai upaya untuk mengedepankan koordinasi ekonomi regional. Hal ini dilandasi bahwa dengan adanya koordinasi dalam wilayah dapat memberikan manfaat yang lebih besar daripada tidak adanya koordinasi dalam wilayah. Fakta tersebut menilik dari kesuksesan Eropa membentuk sebuah uni moneter regional dengan peluncuran mata uang Euro pada tahun 1999.

Bukan suatu perkara yang mudah mencapai integrasi ekonomi seperti yang telah dilakukan oleh Uni Eropa. Namun berbagai cara telah dilakukan dalam bentuk kerja sama yang mengarah pada integrasi ekonomi, keuangan, dan moneter. Dalam proses menuju integrasi tersebut terdapat peluang bagi kawasan ASEAN+3 mencapai suatu integrasi ekonomi secara penuh. Salah satu dari peluang tersebut adalah mengoptimalkan potensi manfaat dari proses integrasi ekonomi untuk memelihara stabilitas ekonomi melalui pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar. Dengan tujuan untuk stabilitas nilai tukar dalam kawasan ASEAN+3 diperlukan sistem nilai tukar bersama sebelum mencapai mata uang tunggal kawasan seperti yang dilakukan Eropa. Sistem nilai tukar yang dimaksud adalah sistem nilai tukar parallel yang dibentuk sesuai dengan pola pembentukan

European Currency Unit (ECU) di kawasan Eropa. Hal tersebut dapat direalisasikan melalui pembentukan Asian Currency Unit (ACU) dengan mengikuti pola pembentukan ECU pada masa lampau.

Hasil analisis menjelaskan bahwa pada kondisi saat ini, kawasan ASEAN+3 masih belum dapat membentuk integrasi ekonomi secara penuh berdasarkan kriteria konvergensi Maastricht Treaty. Hal ini pun didukung fakta bahwa proses integrasi negara-negara di kawasan ASEAN+3 baru pada tahapan

Free Trade Area (FTA) dan membutuhkan beberapa tahapan integrasi untuk mencapai total economic integration. Dalam stabilitas nilai tukar dengan menggunakan sistem nilai tukar ACU terlihat bahwa negara-negara plus three

(Cina, Jepang, Korea) relatif mendominasi penguasaan bobot ACU dibandingkan negara-negara ASEAN. Walaupun demikian, dengan adanya negara-negara plus three setidaknya memberikan pangsa perekonomian yang besar di dunia yang diharapkan dapat menjadi kutub perekonomian baru setelah Amerika dan Uni Eropa bagi ASEAN+3.

Berdasarkan Deklarasi ASEAN Concord II, disepakati bahwa Visi ASEAN 2020 adalah menuju masyarakat ekonomi ASEAN, yang kemudian dipercepat menjadi tahun 2015. Mengingat pentingnya kesepakatan regional


(12)

tersebut, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi persiapan negara-negara di kawasan ASEAN+3 menyongsong integrasi ekonomi yang dimaksud. Selain sebagai referensi, penelitian ini mutlak dibutuhkan sebagai landasan kebijakan yang sinergis untuk mencapai Visi ASEAN 2015 dengan kondisi yang ada pada saat ini. Kebijakan ini sejatinya tidak hanya menjadi wacana yang terabaikan di kawasan ASEAN, namun layak juga untuk diimplementasikan.

Berbagai pihak telah memberikan kontribusi secara langsung maupun tidak langsung bagi penyelesaian maupun penyempurnaan tesis ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Ibunda Lily Arlina dan Ayahanda Khairil Anwar Notodiputro atas doa dan kasih sayang-nya.

2. Pembimbing Dr. Noer Azam Achsani dan Dr. Nunug Nuryartono yang dengan sabar serta ikhlas menuntun penulis menyelesaikan tesis ini dari segi ide, saran, dan kritik yang membangun.

3. Dr. Dedi Budiman Hakim selaku dosen penguji luar komisi yang telah menyempatkan waktunya untuk menguji penulis dalam mempertahankan hasil penelitiannya.

4. Dr. Wiwiek Rindayanti selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB dalam ujian tesis.

5. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi (2010-sekarang) Dr. Nunung Nuryartono dan Dr. D. S. Priyarsono yang telah menjadi Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi pada periode 2006-2009.

6. Semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB.

7. Kakanda Nusron Wahid (calon) MSi yang telah melakukan proses perkaderan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan jenjang akademik ini secara baik dan memuaskan.

8. Sandi, Ilham, Ridwan, Yusuf, dan Ica sebagai saudara kandung penulis yang telah memberikan kasih sayang serta kehangatan dalam keluarga besar Khairil Anwar.

9. Genta Sari Luwina, yang selalu menjaga dan menambah ghiroh, semangat, serta daya juang kepada penulis, hingga akhirnya tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.

10.Special Thanks untuk Syarif Syahrial, Fathurrahman, Indra, dan Ade Kholis yang bersedia menunjang Sumberdaya data serta keilmuan dalam menyempurnakan tulisan ini.

11.Rekan-rekan IReS, DPRRI (Tenaga Ahli, Staf Ahli, Asisten dan Sekretaris Pribadi Anggota) serta Yayasan MataAir atas support maupun sebagai forum diskusi, yang melahirkan ide-ide brilian dalam menempuh studi.


(13)

Akhirnya penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak lain yang telah membantu namun namanya tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.

Bogor, Februari 2010


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada Tanggal 24 April 1984 dari pasangan Khairil Anwar Notodiputro dan Lily Arlina. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Penulis menempuh pendidikan formal di Kent Road Public School Sydney Australia pada tahun 1988-1991. Selanjutnya Sekolah Dasar dilanjutkan di SDN Polisi 4 Bogor dan lulus tahun 1996, kemudian dilanjutkan di SMP Negeri 4 Bogor dan lulus tahun 1999, serta dilanjutkan di SMU Negeri 5 Bogor dan lulus tahun 2002. Ketika sampai di jenjang perguruan tinggi, penulis melanjutkan kuliah di Program Studi Agribisnis Departemen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan lulus tahun 2006.

Setelah lulus menjadi sarjana, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Ilmu Ekonomi IPB pada tahun 2007. Saat ini penulis bekerja sebagai asisten pribadi Anggota DPR RI terhitung sejak tahun 2008. Namun, selain sebagai asisten pribadi Anggota DPR RI, penulis juga belajar menjadi seorang peneliti di Lembaga kajian IReS (Institute for Rural and Economic Studies).


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi ……… xv

Daftar Tabel ……….. xvii

Daftar Grafik ………. xviii

Daftar Gambar ……….. xix

Bab I. Pendahuluan ………... 1

1.1. Latar Belakang …………...………. 1

1.2. Perumusan Masalah …………...………. 6

1.3. Tujuan Penelitian ………...………. 14

1.4. Ruang Lingkup, Keluaran, dan Manfaat Penelitian ... 14

Bab II. Tinjauan Pustaka ………. 16

2.1. Pentahapan Proses Integrasi ………...………. 16

2.1.1. Integrasi Sektor Riil menuju Integrasi Ekonomi ... 17

2.1.2. Teori Integrasi Ekonomi ... 21

2.2. Cerita Sukses Eropa ... 22

2.2.1. Pengalaman Uni Eropa untuk ASEAN+3 ... 23

2.2.2. Kondisi Kerjasama ASEAN+3 ... 25

2.3. Integrasi Regional ASEAN+3 ... 27

2.3.1. Latar Belakang Integrasi Moneter ASEAN+3 ... 28

2.3.2. Parallel Currency ACU ... 29

2.3.3. Vector Autoregresive (VAR) ... 31

2.4. Optimum Currency Area (OCA) ... 33

2.5. Maastricht Treaty Convergence Criteria ... 36

2.6. Penelitian Empiris Terkait ... 37

2.7. Kerangka Pemikiran ... 39

Bab III. Data dan Metodologi Penelitian ... 43

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 43

3.2. Hipotesis Penelitian ... 44

3.3. Model Teoritis ... 45

3.3.1. Weighted Average ... 45

3.3.2. Model Vector Autoregressive (VAR) ... 46

3.4. Spesifikasi Model Penelitian ... 51

3.4.1. Model Asian Currency Unit (ACU) ………...…… 51

3.4.2. Model VAR untuk ACU, Mata Uang Domestik dan Inflasi ... 55

3.5. Prosedur Analisis Penelitian ... 57

Bab IV. Asian Currency Unit (ACU) sebagai Mata Uang Regional ASEAN+3 ……… 61


(16)

4.2. Pengalaman Eropa – ECU ... 64

4.3. Kesiapan ASEAN+3 Membentuk Uni Moneter Regional ... 67

4.4. Komposisi dan Penentuan Bobot ACU ... 72

4.5. ACU pada Periode Krisis Ekonomi (1997-2002) ... 74

4.5.1. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Lokal 1997-2002 ... 81

4.5.2. Mekanisme Nilai Tukar Periode 1997-2002 ... 83

4.6. Periode Pasca Krisis Ekonomi (2003 - 2007) ... 87

4.6.1. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Lokal 2003-2007 ... 93

4.6.2. Mekanisme Nilai Tukar Periode 2003-2007 ... 95

Bab V. PILIHAN PENGGUNAAN MATA UANG SETIAP NEGARA DI ASEAN+3 ... 99

5.1. Nilai Tukar (Exchange Rate) ... 101

5.1.1. Bentuk Kerja sama Nilai Tukar Regional ... 101

5.1.2. Kerjasama Nilai Tukar di ASEAN+3 ... 103

5.1.3. Nilai Tukar dan Inflasi ... 104

5.2. Pilihan Penggunaan Mata Uang ASEAN+3 ... 106

5.2.1 Uji Stasioneritas Data ... 106

5.2.2. Uji Kointegrasi Variabel Non-Stationer ... 107

5.2.3. Penentuan Lag Optimal ... 107

5.2.4. Impulse Response Functions ... 109

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 114

6.1. Kesimpulan ... 114

6.2. Implikasi Kebijakan ... 115

6.3. Saran Penelitian Lebih Lanjut ... 116

DAFTAR PUSTAKA ... 117


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Tahapan Integrasi Ekonomi Bela Balassa ... 19

Tabel 2. Penelitian Empiris Terkait ... 39

Tabel 3 .Variabel-variabel Ekonomi dalam Penelitian ... 44

Tabel 4. Tahapan Prosedur Analisis Penelitian ... 59

Tabel 5 Komposisi Awal ECU ... 65

Tabel 6. Revisi Pertama dari Komposisi ECU ... 66

Tabel 7. Revisi Kedua dari Komposisi ECU ... 67

Tabel 8. Konvergensi ASEAN+3, Kriteria Maastricht, Periode 1997-2002 ... 69

Tabel 9. Konvergensi ASEAN+3, Kriteria Maastricht, Periode 2003-2007 ... 70

Tabel 10. Konvergensi ASEAN+3, Kriteria Maastricht, Periode 1997-2007 ... 71

Tabel 11. Mata Uang Negara ASEAN+3 ... 73

Tebel 12. Pangsa Masing-masing Anggota ASEAN+3 1997-2002 . 74 Tabel 13. Bobot Masing-masing Anggota ASEAN+3 1997-2002 ... 75

Tabel 14. Perhitungan ASEAN+3 ACU 1997-2002 ... 77

Tabel 15. USD/ACU dengan Memperhitungkan Bobot Mata Uang Lokal Masing-masing Negara 1997-2002 ... 79

Tabel 16. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Won dan Rupiah 1997-2002 ... 82

Tabel 17. Pergerakan Nilai ACU dalam Mata Uang Nasional 1997-2002 ... 83

Tabel 18. Koridor Pergerakan Mata Uang Domestik terhadap ASEAN+3 ACU 1997-2002 ... 86

Tabel 19. Pangsa Masing-masing Anggota ASEAN+3, 2003-2007 87 Tabel 20. Bobot Masing-masing Anggota ASEAN+3 2003-2007 ... 88

Tabel 21. Perhitungan ASEAN+3 ACU 2003-2007 ... 90

Tabel 22. USD/ACU dengan Memperhitungkan Bobot Mata Uang Lokal Masing-masing Negara 2003-2007 ... 91

Tabel 23. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Peso dan Kyat 2003-2007 ………... 94

Tabel 24. Pergerakan Nilai ACU dalam Mata Uang Nasional 2003- 2007 ... 95

Tabel 25. Koridor Pergerakan Mata Uang Domestik Terhadap ASEAN+3 ACU 2003-2007 ... 98

Tabel 26. Sistem Nilai Tukar Negara ASEAN+3 ... 100

Tabel 27. Hasil Pengujian Unit Root, dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF) ………. 107

Tabel 28. Hasil Uji Kointegrasi Johanssen ... 108

Tabel 29. Model VAR yang Terbentuk ... 109


(18)

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Grafik 1. Laju Fluktuasi Nilai Tukar Negara Eropa ………... 8

Grafik 2. Laju Fluktuasi Nilai Tukar Negara ASEAN+3 …………... 9

Grafik 3. Laju Inflasi Negara ASEAN+3 ………... 10

Grafik 4. Pergerakan ASEAN+3 ACU Terhadap USD 1997-2002 .... 80

Grafik 5. Nilai Tukar JPY/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ………….. 84

Grafik 6. Nilai Tukar CNY/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ………… 84

Grafik 7. Nilai Tukar KRW/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ………... 84

Grafik 8. Nilai Tukar IDR/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ... 84

Grafik 9. Nilai Tukar MYR/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ... 84

Grafik 10. Nilai Tukar SGD/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ... 84

Grafik 11. Nilai Tukar THB/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ... 84

Grafik 12. Nilai Tukar PHP/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ... 84

Grafik 13. Nilai Tukar VND/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ... 85

Grafik 14. Nilai Tukar BRD/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ... 85

Grafik 15. Nilai Tukar MMK/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ……….. 85

Grafik 16. Nilai Tukar KHR/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ………… 85

Grafik 17. Nilai Tukar LAK/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ………… 85

Grafik 18. Pergerakan ASEAN+3 ACU Terhadap USD 2003-2007 .... 93

Grafik 19. Nilai Tukar CNY/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ………… 96

Grafik 20. Nilai Tukar JPY/ASEAN+3 ACU (2003-2007) …………. 96

Grafik 21. Nilai Tukar KRW/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ………... 96

Grafik 22. Nilai Tukar IDR/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ... 96

Grafik 23. Nilai Tukar MYR/ASEAN+ACU (2003-2007) ... 96

Grafik 24. Nilai Tukar SGD/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ... 96

Grafik 25. Nilai Tukar THB/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ... 96

Grafik 26. Nilai Tukar PHP/ASEAN+3 ACU (2003-2007) …………. 96

Grafik 27. Nilai Tukar VND/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ... 97

Grafik 28. Nilai Tukar BRD/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ... 97

Grafik 29. Nilai Tukar MMK/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ……… 97

Grafik 30. Nilai Tukar KHR/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ………… 97

Grafik 31. Nilai Tukar LAK/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ………… 97

Grafik 32. Grafik Impulse Response Function terhadap Inflasi setiap Negara ASEAN+3 ... 112


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Tingkatan Integrasi Ekonomi menurut Griffin dan Pustay ... 20 Gambar 2. Pembentukan Asian Currency Unit ………... 31 Gambar 3. Kerangka Pemikiran ... 42 Gambar 4. Mekanisme Transmisi Nilai Tukar ke Inflasi ... 105


(20)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Globalisasi menyebabkan aliran barang, jasa dan modal di dunia dapat bergerak dengan bebas. Hal ini terjadi sejak diberlakukannya secara global suatu

mekanisme perdagangan melalui penciptaan kebijakan free trade. Globalisasi

perdagangan bebas, secara langsung berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara, yang menimbulkan persaingan global. Era globalisasi ini sendiri merupakan sesuatu yang positif, dalam pengertian sebagai proses dimana ekonomi setiap negara berinteraksi secara timbal balik satu dengan yang lainnya, yang dengan demikian memberikan peluang bagi setiap negara untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya, sehingga diharapkan dapat membuat perekonomian menjadi efisien.

Dalam era globalisasi, dunia menjadi seolah tanpa batas (boundaryless)

yang ditandai dengan munculnya perdagangan bebas antar pelaku ekonomi. Menurut Damanhuri (2008), sisi positif dari globalisasi adalah meningkatkan secara besar-besaran potensi produksi suatu negara dan menciptakan peluang baru dalam perdagangan internasional dan investasi. Berbagai upaya kerjasama antar negara juga menghasilkan negosiasi pengurangan hambatan-hambatan perdagangan dan investasi. Perdagangan dan investasi yang dikelola dengan baik mempunyai potensi untuk mengangkat jutaan orang keluar dari jalur kemiskinan.

Terlepas dari berbagai manfaat yang diberikan oleh globalisasi perdagangan bebas, ekspansi perdagangan dunia melalui globalisasi memberikan hasil yang mengecewakan dalam indikator makroekonomi, salah satunya adalah memberantas kemiskinan. Menurut Sen (2002), kemiskinan yang mengakar dan kesenjangan yang semakin lebar adalah ciri-ciri yang menonjol dari globalisasi. Hal ini didukung oleh data dari Bank Dunia (2003), yang menunjukan bahwa meningkatnya kemakmuran yang dihasilkan dari perdagangan, terdapat 1.1 milyar manusia yang berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari 1 US Dollar per hari.


(21)

Di sisi lain, kebijakan liberalisasi perdagangan dapat dilihat sebagai suatu upaya meningkatkan daya saing ekonomi (Soesastro, 2007). Berbagai kajian menunjukkan bahwa bagi negara berkembang, kunci utama untuk melakukan

penetrasi pasar adalah daya saing harga.1 Maka upaya nasional maupun

internasional untuk meningkatkan daya saing, sedikitnya pada tahap permulaan hingga kehadiran di suatu pasar menjadi cukup mapan, adalah dengan mempertajam daya saing harga produk. Soesastro pun berpendapat bahwa negara-negara ASEAN bersepakat untuk membentuk kawasan perdagangan bebas, AFTA (ASEAN Free Trade Area), dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasar dunia. Langkah ini merupakan jawaban kawasan terhadap tantangan globalisasi.

Di kawasan Asia Tenggara, globalisasi ekonomi juga memicu terbentuknya integrasi ekonomi regional. Integrasi dan keuangan regional dalam beberapa dekade terakhir telah menjadi kecenderungan di berbagai belahan dunia. Negara-negara yang berada dalam satu kawasan membentuk persekutuan regional (regionalisme) seperti pembentukan Pasar Tunggal Eropa (PTE) dan NAFTA (Dwisaputra, 2007). Alasan utama dalam pembentukan integrasi ekonomi dan keuangan regional salah satunya dikemukakan oleh Kurniati (2007) karena adanya kedekatan geografis dan historis serta hubungan ekonomi antar negara di suatu kawasan.2

Berbagai fakta yang menunjukkan perekonomian negara-negara di seluruh dunia semakin terintegrasi akibat adanya globalisasi ekonomi dikemukakan oleh Jeffrey Sachs (2005). Menurut Sachs, terdapat empat dimensi yang dapat menjadi

rujukan tersebut. Pertama, berkembangnya perdagangan internasional. Kedua,

krisis mata uang di Asia Tenggara pada tahun 1997. Ketiga, sistem produksi yang semakin terintegrasi secara internasional, dimana sepertiga perdagangan dunia dilakukan oleh perusahaan multinasional. Keempat, adanya regulasi internasional dalam kehidupan kekinian.

1

Tirthayatra, Made. 2003. Resensi Buku “Dangerous Market, Managing in Financial Crisis”. Pengarang Buku : Dominic Barton, Roberto Newell dan Gregory Willson. Diterbitkan oleh John Willey & Sons, Inc.

2

Kuniati, Yati. 2007. Buku “Integrasi Keuangan dan Moneter di Asia Timur”. Biro hubungan dan Studi Internasional Direktorat Internasional, Bank Indonesia. Jakarta.


(22)

Kecenderungan peningkatan proses integrasi ekonomi dan keuangan regional di berbagai belahan dunia pada dasarnya dilandasi oleh pemikiran bahwa manfaat yang akan diperoleh dari integrasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara anggota dalam kawasan tersebut (Sholihah dan Saichu, 2007). Integrasi ekonomi akan menyebabkan adanya pasar yang besar, mobilitas faktor produksi, yang akan

menjadikan bahan baku murah, economics of scale, kenaikan produktifitas, yang

berujung pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Kurniati, 2007).

Namun, dalam kajian Satria (2008) dikatakan bahwa integrasi ekonomi (dalam hal ini perdagangan) telah memaksa terjadinya konflik dalam distribusi pendapatan. Persoalan gap pendapatan ini disimpulkan dalam model

Hecksher-Ohlin yang berbunyi ” A country will be better off with trade, but owners of

abundant factors gain and owners of scarce factors lose; with trade, owners of scarce factors will be worse off without compensation”. Secara umum, teori ini menjelaskan bahwa sebagian masyarakat yang tidak mampu memanfaatkan perdagangan internasional dari adanya integrasi ekonomi, akan mengalami kerugian akibat hal tersebut.

Di sisi lain, dalam perkembangannya, berbagai konsep terkait dengan integrasi keuangan dan moneter ini pun terus mengalami perkembangan. Inisiatif kerjasama mulai dikembangkan untuk dapat meningkatkan efektifitas pencapaian

tujuan bersama yaitu menciptakan stabilitas keuangan regional.3 Hal ini yang

mendorong negara-negara di kawasan ASEAN, Jepang, Cina, dan Korea Selatan, atau yang lebih dikenal dengan nama ASEAN+3 untuk mencapai kerjasama yang lebih dalam berupa integrasi keuangan dan moneter.

Peningkatan intensitas kerjasama keuangan dan moneter di kawasan ini pada dasarnya dilatarbelakangi beberapa faktor,4 antara lain krisis keuangan dan moneter di kawasan Asia. Sebelum krisis pada tahun 1997, hanya sedikit pihak di

3

Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional. 2000, Triwulan II. Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia.

4 Falianty, T. A. 2006. “

Optimum Currency Area : Studi Kasus di Negara ASEAN-5. Dalam Desertasinya penulis menuliskan bahwa peningkatan intensitas kerjasama keuangan dan moneter di kawasan ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh tiga faktor, yaitu : pertama, krisis keuangan dan moneter di kawasan Asia. Kedua, Aliran modal ASEAN yang semakin terbuka. Ketiga, kesuksesan Eropa menjadi sebuah Uni Moneter Regional dengan meluncurkan mata uang euro pada Tahun 1999.


(23)

Asia Timur dan ASEAN yang memikirkan kerjasama moneter. Adanya permusuhan, persaingan, dan distribusi kekuasaan yang tidak merata di kawasan ini menyebabkan tidak adanya dorongan untuk melakukan integrasi regional lebih lanjut, walaupun integrasi perdagangan telah mulai berlangsung sejak tahun 1992

dengan perjanjian kerjasama AFTA (ASEAN Free Trade Area). Namun, dengan

terjadinya krisis mata uang di Asia, mengingatkan pentingnya stabilitas mata uang untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial (Falianty, 2006).

Krisis yang berdampak luar biasa terhadap perekonomian negara-negara ASEAN+3 telah memberikan kesadaran bahwa terdapat efek tular dari krisis

ekonomi di suatu kawasan.5 Sementara itu, menurut Baharumshah dan Habibullah

(2006), krisis di Asia pada tahun 1997-1998 mengungkap dua jenis resiko stabilitas keuangan Asia, yaitu :

1. Resiko yang muncul dari sifat mudah diserang/rentan pada bank dan

neraca perusahaan. Khususnya, ketidakseimbangan severe currency dalam

neraca yang akan membuat ekonomi secara keseluruhan rentan menuju

twin crises6.

2. Resiko pengaruh buruk yang harus diterima akibat tidak adanya koordinasi

kebijakan secara efektif di regional. Kasus untuk kerjasama regional sangat kuat di Asia Timur, dimana ekonomi terintegrasi satu dengan lainnya dan ketidakstabilan finansial dapat menyebar dengan cepat antar wilayah.

Krisis keuangan dan moneter di Asia pada tahun 1997 merupakan salah

satu faktor dalam pembentukan Regional Monetary Unit (RMU) di kawasan ini

(Mittal, 2004). Terdapat dua keuntungan besar untuk menciptakan dan menggunakan uni moneter regional (Moon dan Rhee, 2006), yaitu:

1. RMU tepat sebagai benchmark yang berguna bagi otoritas moneter Asia

untuk perkembangan pasar nilai tukar. Sebagai contoh, RMU dapat digunakan sebagai indikator untuk memonitor pergerakan mata uang

5

Kuniati, Yati. 2007. Buku “Integrasi Keuangan dan Moneter di Asia Timur”. Biro hubungan dan Studi Internasional Direktorat Internasional, Bank Indonesia. Jakarta.

6

Pengertian dari krisis ganda adalah krisis nilai tukar yang datangnya bersamaan dengan krisis perbankan dikarenakan dari sistem keuangan yang liberal, atau umumnya disebut dengan krisis finansial.


(24)

negara-negara Asia berhadap-hadapan (vis-a-vis) dengan mata uang

penting lainnya seperti Dollar Amerika dan Euro, dan juga untuk

memonitor pergerakan individu setiap mata uang negara-negara Asia terhadap rata-rata regional yang ditampilkan oleh RMU.

2. Untuk partisipan pasar sektor swasta, rancangan terbaik indeks RMU akan

dibuktikan dapat berguna sebagai denominasi transaksi pasar, seperti penerbitan obligasi, dan juga berkontribusi terhadap aktivitas Asian Bond Market Initiative (ABMI). Sebaran luas dan penggunaan RMU dapat menunjukkan transaksi perdagangan dan instrumen finansial guna membantu mengurangi ketidakseimbangan mata uang dalam neraca dan hal tersebut meringankan resiko dari krisis yang pernah terjadi di Asia pada tahun 1997-1998.

Sejak krisis yang melanda negara-negara Asia pada tahun 1997, negara di Asia melakukan upaya untuk mewacanakan adanya koordinasi finansial dan moneter regional. Namun, Moon dan Rhee (2007) berpendapat bahwa tidak ada kemajuan signifikan dalam perkembangan wacana integrasi moneter dan ekonomi yang dimaksud, akan tetapi masih ada harapan dan sedikit kemajuan dalam hal pengaturan moneter dan nilai tukar.

Perkembangan wacana dimulai terhitung sejak krisis ekonomi 1997. Sejak krisis tersebut telah terjadi banyak pembaharuan di negara-negara ASEAN. Pada bulan Mei tahun 2000, sebuah persetujuan ditandatangani di Chiang Mai, Thailand, dimana ASEAN+3 menerapkan suatu jaringan kerjasama bagi perjanjian tukar menukar untuk membantu negara anggota ASEAN pada masa krisis. Dalam perjanjian tersebut negara ASEAN+3 setuju untuk mengembangkan

jaringan perjanjian swap yang sudah ada untuk menghadapi krisis keuangan di

masa mendatang. Dalam Chiang Mai Initiative (CMI) juga mencakup adanya

Billateral Swap Arragement (BSA) antara negara ASEAN dan tiga negara donor Jepang, China, dan Korea Selatan. Rencana dari CMI merupakan langkah maju

untuk memperkuat kerjasama keuangan antar negara di Asia Timur.7

Adapun pertemuan lanjutan ASEAN+3, antara lain untuk membentuk suatu kesatuan moneter regional, yakni adanya pertemuan ADB di Hyderabad,

7

Falianty, T.A. 2006. Optimum Currency Area : Studi Kasus di Negara ASEAN-5 [Desertasi]. Fakultas Ilmu Ekonomi: Universitas Indonesia, Jakarta.


(25)

India, pada tanggal 3 Mei 2006. Menteri Keuangan Korea Selatan, Cina, dan Jepang mengumumkan bahwa negara mereka akan mengambil langkah dalam pengaturan mata uangnya sebagai bentuk menciptakan mata uang regional yang serupa dengan Euro. Negara-negara tersebut pun melakukan studi terhadap

beberapa wacana yang berkembang, termasuk menciptakan Regional Curreny

Unit (RCU), yang kerap kali disebut sebagai Asian Currency Unit (ACU).

Meskipun tujuan akhirnya adalah sebuah kesatuan moneter, ide dari RCU merupakan sesuatu yang penting sebelum tercapainya kesatuan moneter.

Pengenalan awal RCU akan membantu mengadopsi integrasi moneter dan keuangan di Asia, mengkatalisasi pasar obligasi Asia, dan tepat sebagai pengaturan nilai tukar Asia yang serupa dengan sistem nilai tukar Eropa. Kecenderungan bahwa belum adanya suatu kemajuan berarti dalam integrasi moneter Asia, RCU akan secara tepat menjadi instrumen yang efektif untuk

mematahkan current standstill. Pengenalan awal RCU, bagimanapun, mempunyai

pertanyaan teknis yang penting, seperti mata uang apa saja yang dapat digabungkan dalam satu basket, dan bobot apa yang menjadi atribut dalam setiap komponen mata uang. Hal tersebut juga menimbulkan pertanyaan kebijakan yang seperti apa agar RCU dapat digunakan untuk memperkuat integrasi moneter di Asia.8

1.2. Perumusan Masalah

Kesuksesan Euro merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan kerja sama maupun integrasi keuangan dan moneter. Alasannya adalah keberhasilan penyatuan ekonomi dan peluncuran mata uang tunggal di Eropa (euro) yang telah diluncurkan pada Januari 1999. Peluncuran mata uang tunggal di 11 negara Uni Eropa yang dapat melindungi mata uang mereka terhadap serangan spekulasi pasar keuangan telah menyita perhatian negara-negara di seluruh dunia, termasuk negara-negara-negara-negara di kawasan ASEAN+3. Dalam dekade ini, euro telah berkembang menjadi sarana hubungan moneter internasional yang sangat signifikan, sehingga berhasil menjadi mata uang nomor dua di dunia, dan menjadi alternatif dari mata uang US Dollar. Keberadaan euro

8

Moon, W. dan Y. Rhee. 2007. Regional Currency Unit and Exchange Rate Coordination in East Asia. The Kyoto Economic Review 76(1): 53-66 (June 2007).


(26)

diprediksi akan menjadi nilai tukar yang paling penting dalam perekonomian dunia. Keberadaan euro juga diprediksi akan mengubah konfigurasi kekuasaan dari sistem moneter internasional dengan mengurangi peran monopolistik US Dollar yang terjadi selama ini.9

Tujuan maupun kepentingan yang diinginkan oleh negara-negara Eropa dengan meluncurkan mata uang tunggal Euro adalah mengendalikan fluktuasi nilai tukar di antara negara Eropa, yang mendorong adanya kerjasama moneter. Nilai tukar yang berfluktuatif rentan bagi mata uang negara-negara di Eropa untuk mengalami depresiasi/pelemahan nilai tukar yang terlalu dalam ketika diguncang krisis ekonomi dan moneter. Untuk melihat bagaimana laju fluktuasi nilai tukar negara-negara di Eropa yang menyetujui penggunaan mata uang euro sebelum adanya integrasi moneter maupun sesudah terjadinya integrasi moneter dengan peluncuran mata uang Euro disajikan pada Grafik 1.

Rencana mata uang tunggal Eropa dimulai pada 1970 atau lebih dikenal dengan periode pertumbuhan anggota (Kosotali dan Saichu, 2008). Pada waktu tersebut, untuk menjaga stabilitas moneter, keenam negara anggota (Jerman, Perancis, Italia, Belanda, Belgia, dan Luksemburg) memutuskan agar mata uang mereka saling berfluktuasi hanya dalam batasan yang sempit. Dua tahun

kemudian, yakni Tahun 1972, dilakukan mekanisme nilai tukar (Exchange Rate

Mechanism, ERM) yang merupakan langkah awal menuju pembentukan mata uang Euro. Namun, pada periode pasca 1973 (pasca terjadinya krisis minyak

bumi) Eropa menganut sistem Monetary Snake, yaitu mengatur tingkat margin

fluktuasi di antara mata uang anggota Masyarakat Eropa, yang pada saat itu tidak tercapai. Hal ini terlihat di Grafik 1, bahwa keenam negara mengalami pelemahan nilai tukar.

9

Falianty, T.A. 2006. Optimum Currency Area : Studi Kasus di Negara ASEAN-5 [Desertasi]. Fakultas Ilmu Ekonomi: Universitas Indonesia, Jakarta.


(27)

‐30 ‐20 ‐10 0 10 20 30 40 19 71 19 73 19 75 19 77 19 79 19 81 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 Per c en t Austria Belgia Finlandia Perancis Jerman Irlandia Spanyol Potugal Italia

Sumber : IMF Economic Outlook, 2008 (diolah)

Grafik 1. Laju Fluktuasi Nilai Tukar Mata Uang Negara-negara Eropa terhadap USD 1971-1997

Memasuki dekade 1980-an dengan didirikannya European Monetary

System (EMS) yang merupakan tahapan perkembangan integrasi moneter di Eropa, diluncurkanlah sebuah mata uang paralel (parralel currency) yang diberi

nama European Currency Unit (ECU), yang merupakan langkah maju dalam

mengkoordinasikan mata uang negara-negara di Eropa. Pada periode tersebut, dalam Grafik 1, dapat dilihat bahwa negara-negara di Eropa mengalami masa

penyesuaian (adjusment) ditandai dengan pelemahan nilai tukar hingga tahun

1987. Setelah proses itu kemudian terjadi apresiasi terhadap mata uang jangkar (dollar AS), yang diidentifikasi dari penguatan mata uang setiap negara anggota Uni Eropa, yang dalam hal ini ditandai dengan laju pertumbuhan nilai tukar yang negatif. Dalam perjalanannya, Eropa menetapkan indikator konvergensi nominal

berdasarkan Maastricht Treaty (1993). Pada saat itu pula kriteria konvergensi

diterapkan dengan indikator laju inflasi, suku bunga jangka pendek, defisit anggaran, dan pinjaman pemerintah, sebelum akhirnya negara eropa bergerak menuju penggunaan mata uang tunggal euro pada tahun 1999.

Pada konteks kawasan ASEAN+3, rencana integrasi ekonomi dan moneter dikemukakan pasca terjadinya krisis ekonomi dan moneter yang melanda wilayah


(28)

Asia khususnya Asia tenggara pada tahun 1997. Bermula dari krisis keuangan Bath-Thailand, kemudian secara perlahan merambat ke negara-negara Asia lainnya. Krisis keuangan ini menandakan bahwa perekonomian di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur semakin terintegrasi dengan perekonomian dunia lainnya. Dampak dari krisis ini adalah pelemahan nilai tukar negara-negara di kawasan ASEAN+3, seperti yang dapat dilihat di Grafik 2 sebagai berikut :

‐20 30 80 130 180 230 1 990 1 991 1 992 1 993 1 994 1 995 1 996 1 997 1 998 1 999 2 000 2 001 2 002 2 003 2 004 CIN JPG KOR IND SING THAI MAL FIL BRU

Sumber : IMF Economic Outlook, 2008 (diolah)

Grafik 2. Laju Fluktuasi Nilai Tukar Negara ASEAN+3 terhadap USD Periode 1990-2004

Krisis yang melanda Asia pada Tahun 1997 dikarenakan kemungkinan dua krisis keuangan : (i) pembayaran utang luar negeri yang berat (debt crisis) atau (ii) krisis nilai tukar (Tambunan, 1997). Redelet (1995) berpendapat bahwa krisis ini terjadi karena krisis nilai tukar. Di sisi lain, McLoad (1995) cenderung memilih alasan krisis karena beratnya utang luar negeri. Redelet beranggapan bahwa krisis hutang luar negeri dan perubahan nilai tukar sebagai masalah yang saling berkaitan. Berbagai pandangan tentang penyebab krisis antara lain dikemukakan oleh Nasution (2004) bahwa besarnya defisit neraca berjalan dan hutang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistem perbankan nasional merupakan akar dari terjadinya krisis finansial.


(29)

Salah satu dampak dari krisis yang melanda Asia adalah penurunan nilai tukar yang cepat atau lambat akan berpengaruh terhadap seluruh elemen dan pelaku ekonomi. Secara teoritis, dampak utama dari penurunan nilai tukar secara efektif akan menyebabkan inflasi yang tidak terkendali sehingga mengurangi daya beli (permintaan) konsumen, terutama masyarakat berpendapatan menengah dan rendah. Inflasi yang terjadi pada saat krisis ekonomi dan moneter dapat dilihat pada Grafik 3.

‐20 30 80 130 180 1 990 1 991 1 992 1 993 1 994 1 995 1 996 1 997 1 998 1 999 2 000 2 001 2 002 2 003 2 004 2 005 2 006 2 007 2 008 CIN JPG KOR IND SING THA BRU Laos MAL

Sumber : IMF Economic Outlook, 2008 (diolah)

Grafik 3. Laju Inflasi Negara ASEAN+3

Dampak dari penurunan permintaan akibat inflasi akan mendorong berkurangnya produksi barang dan jasa. Apabila daya beli menurun sementara harga barang dan jasa terus meningkat, jika dilihat dari sisi produsen maka produsen kemungkinan besar akan melakukan pemotongan produksi untuk barang dan jasa. Dampak dari hal tersebut adalah pengurangan tenaga kerja yang mendorong tumbuhnya tingkat pengangguran. Negara-negara seperti Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Korea mengalami pelemahan nilai tukar yang cukup dalam ketika krisis ekonomi dan moneter melanda. Indonesia mengalami pelemahan nilai tukar rupiahnya hingga 244 persen, dan ini merupakan pelemahan


(30)

nilai tukar terdalam yang dialami negara-negara di Kawasan Asia. Namun, krisis ekonomi dan moneter tahun 1997 ternyata tidak terlalu mempengaruhi perekonomian Amerika dan Eropa.

Alasan tersebut dimungkinkan karena kondisi aktual saat ini menggambarkan bahwa kutub perekonomian di dunia terbagi atas dua kutub, yakni Eropa dan Amerika (Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko). Hal ini tentu saja membuat perekonomian dunia menjadi tidak seimbang karena hanya terkonsentrasi di kedua kutub itu saja. Pernyataan tersebut berdasarkan kontribusi perekonomian Eropa dan perekonomian Amerika terhadap GDP dunia. Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2007, ekonomi Eropa mempunyai sumbangsih 22 persen terhadap GDP Dunia, dan ekonomi Amerika besarnya adalah 30 persen dari total GDP dunia. Jika di akumulasikan, maka kedua perekonomian tersebut menguasai lebih dari 50 persen total GDP di dunia.

Artinya, jika kedua perekonomian itu terkena shock dan tidak kuat menghadapi

krisis, maka dapat dipastikan perekonomian di seluruh dunia pun akan mengalami dampak yang tidak baik.

Sementara menurut laporan IMF (2009), GDP dunia tahun 2008 adalah sebesar 60 trilyun US Dollar, dan diprediksi akan tumbuh tiap tahunnya sebesar 6 persen. Ternyata dari jumlah tersebut, 80 persennya dihasilkan oleh hanya dua puluh negara saja dan Indonesia berada di peringkat dua puluh tersebut. Selanjutnya data tersebut memberi informasi bahwa hanya empat negara saja yang menyumbang lebih dari 5 persen GDP dunia, antara lain Amerika serikat (23 persen), Jepang (8 persen), Cina (7 persen), dan Jerman (6 persen), sementara Indonesia yang berada diperingkat dua puluh menyumbang sekitar 0.9 persen. Dari perkembangan data IMF tersebut, dapat dilihat bahwa sangat memungkinkan membentuk kutub perekonomian baru di Asia karena Cina dan Jepang menyumbang lebih dari 15 persen GDP dunia.

Oleh sebab itu, dibutuhkan kutub perekonomian baru, dalam hal ini ASEAN+3, yang dapat menciptakan keseimbangan konstalasi perekonomian dunia, dan secara khusus meminimunkan dampak jika adanya krisis yang melanda

negara-negara di Asia. Namun, kawasan ASEAN+3 belum menjadi suatu original


(31)

menjadi ekonomi yang efektif. Alangkah lebih baik, jika harapannya ke depan

ASEAN+3 menjadi sebuah original economic community seperti yang telah

dilakukan oleh Eropa dan Amerika saat ini.

Hal tersebut tentu saja mendorong diperlukannya sebuah bentuk integrasi

moneter menjadi Asian Monetary Unit (AMU) dengan mengikuti tahapan-tahapan

yang pernah dilakukan oleh Eropa. Langkah awal yang perlu disepakati dari sebuah kesatuan uni moeter adalah kepentingan bersama dalam mengendalikan fluktuasi nilai tukar anggota dalam kawasan ASEAN+3. Tahapan ini pernah dilakukan oleh Eropa pada tahun 1973 dengan sebuah mekanisme pengelolaan batas fluktuasi antar mata uang negara-negara di Eropa dalam sistem snake in the tunnel. Namun, hal tersebut tidak mencapai sasaran yang diinginkan oleh Eropa

dan menyempurnakannya pada tahun 1979 dengan membentuk European

Monetary System (EMS).

Sejak diberlakukannya EMS di Eropa, terdapat suatu alat transaksi yang

disebut dengan nilai tukar paralel European Currency Unit (ECU). Jika

diimplementasikan di ASEAN+3, maka pembentukan Asian Currency Unit

(ACU) ASEAN+3 harus melalui pembentukan sistem moneter kawasan. Pembentukan ECU yang dilakukan oleh Eropa pada masa itu berdasarkan bobot pangsa perekonomian GDP, perdagangan (trade), dan short-term support facility

(Girardin dan Alfred, 2008). Untuk konteks ASEAN+3, AMU diharapkan dapat mengikuti tahapan-tahapan yang pernah dilakukan oleh eropa baik dari sisi sistem (EMS) maupun dalam hal mengkoordinasi mata uang negara-negara Eropa melalui ECU, agar dampak krisis yang terjadi dapat dikendalikan bersama sehingga resiko dampak krisis yang diterima negara-negara anggota menjadi lebih kecil.

Namun, sebelum mencapai suatu unit moneter regional, ada pra syarat yang harus diikuti oleh setiap anggota negara dalam kawasan tersebut. Menurut Becker (2008), suatu kawasan dapat membentuk sebuah uni moneter regional jika

memenuhi kriteria Optimum Currency Area (OCA). Teori OCA bertujuan untuk

melihat guncangan supply dan demand yang simetrik dalam suatu kawasan.


(32)

karena faktor perdagangan dan mobilitas faktor produksi mempunyai guncangan

supply dan demand yang simetrik (Mundell, 1961).

Untuk keadaan di Eropa saat itu, prasyarat ini tidak dapat diberlakukan dengan alasan kesulitan pergerakan ekonomi setiap negara anggota, yang dikarenakan setiap negara anggota Uni Eropa mempunyai latar belakang ekonomi yang berbeda. Oleh sebab itu, kawasan di Eropa membuat sebuah peraturan baru

pada tahun 1993 yang diberi nama Maastricht Treaty Convergence Criteria untuk

mengganti pra syarat OCA yang tidak dapat diimplementasikan. Berdasarkan kriteria ini, beberapa kriteria divergen mulai diberlakukan, yaitu laju inflasi, suku bunga jangka pendek, defisit anggaran dan pinjaman pemerintah.

Melihat hal tersebut, peluncuran ACU sebenarnya bertujuan untuk

memonitor pergerakan divergen (divergence movement) dari mata uang

negara-negara yang tergabung dalam ASEAN ditambah negara-negara Cina, Korea Selatan, dan Jepang (ASEAN+3) dalam menghadapi pergerakan kawasan perekonominya sendiri. ACU pun bertujuan untuk menggelompokan mata uangnya dalam suatu obligasi regional dengan jumlah tertentu (Kawai dan Takagi, 2005). Oleh karena itu, diperlukan analisis terhadap beberapa aspek teknis, guna mengidentifikasi kriteria yang tepat dalam membentuk ACU.

Proses pembentukan ACU ini dapat mengikuti tahapan yang pernah dilakukan oleh Eropa pada saat itu. Setelah nanti nilai tukar ACU ASEAN+3 ini terbentuk, harus di analisis apakah ACU memang mampu memberikan nilai tambah bagi para negara anggota ASEAN+3 dibandingkan jika mereka tetap menggunakan mata uang domestiknya. Pada kondisi ini, ACU harus mempunyai peranan yang besar sebagai indikator monitor pergerakan mata uang negara-negara ASEAN+3, maupun untuk menjawab permasalahan dampak indikator

ekonomi (inflasi) yang buruk apabila terjadi shock di kehidupan ekonomi yang

akan datang. Selanjutnya, untuk mencapai suatu uni moneter regional ASEAN+3, semua negara-negara anggota kawasan ASEAN+3 harus memenuhi pra syarat

yang telah dilakukan oleh eropa. Pra syarat yang dimaksud adalah Maastricht

Treaty Convergence Criteria untuk menggantikan pra syarat OCA seperti yang tidak dapat dilakukan oleh Eropa.


(33)

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah peluang terjadinya integrasi ekonomi di kawasan

ASEAN+3?

2. Bagaimana ACU dapat diterapkan sebelum terjadinya penyatuan moneter

ASEAN+3?

3. Apa keuntungan menggunakan Asian Currency Unit (ACU) sebagai

bentuk koordinasi pergerakan mata uang negara-negara di kawasan ASEAN+3?

1.3. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan permasalahan yang telah dikemukan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis kemungkinan terjadinya integrasi ekonomi dan moneter di

kawasan ASEAN+3.

2. Membentuk Asian Currency Unit (ACU) sebagai mata uang paralel

ASEAN+3 sebelum diterapkannya integrasi ekonomi di kawasan ASEAN+3.

3. Menganalisis keuntungan yang diperoleh jika adanya penerapan Asian

Currency Unit (ACU) di kawasan ASEAN+3.

1.4. Ruang Lingkup, Keluaran, dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini menganalisis proses dan kemungkinan negara-negara di kawasan ASEAN+3 membentuk suatu unit moneter regional di kawasan tersebut. Lankah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan kemungkinan integrasi ekonomi dan moneter di kawasan ASEAN+3. Pada bagian ini digunakan indikator laju inflasi, tingkat suku bunga jangka pendek, dan kebijakan fiskal (general budget deficit dan public debt) negara-negara ASEAN+3

sebagaimana yang tertuang dalam konvergensi Maastricht criteria. Pada bahasan

ini pun akan diperoleh negara mana saja di kawasan ASEAN+3 yang sudah siap untuk membentuk suatu uni moneter regional, dan negara mana saja yang belum siap untuk perihal tersebut.


(34)

Kemudian dalam penelitian ini akan melakukan konstruksi ACU sebagai

parallel currency negara-negara di Kawasan ASEAN+3 dengan menggunakan variabel Gross National Product (GDP) dan variabel perdagangan (Trade). Dalam pembahasan ini akan diperoleh beberapa hal, antara lain (i) bobot masing-masing mata uang negara-negara ASEAN+3 dalam membentuk ASEAN+3, (ii) pergerakan vis-à-vis antara nilai tukar ACU terhadap mata uang US Dollar, (iii) nilai tukar mata uang domestik setiap negara-negara ASEAN+3 terhadap ACU, serta (iv) koridor pergerakan mata uang domestik setiap negara anggota ASEAN+3 terhadap ACU.

Sementara pada analisis selanjutnya adalah melihat keuntungan yang diperoleh jika negara-negara di kawasan ASEAN+3 menerapkan ACU. Analisis dilakukan dengan menggunakan penentuan pilihan penggunaan mata uang dalam kawasan. Hal ini meliputi apakah kawasan ASEAN+3 ini lebih baik menggunakan nilai tukar domestik setiap negaranya, atau lebih baik menggunakan

ACU. Pilihan tersebut akan diuji dengan menggunakan Model Vector

Autoregression (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM) untuk menentukan mata uang terbaik yang dapat dipilih oleh setiap negara di kawasan ASEAN+3 dengan variabel inflasi sebagai tolak ukurnya.

Adapun manfaat dari penelitian ini selain sebagai literatur maupun referensi bagi penelitian selanjutnya, penelitian ini merupakan informasi mengenai kesiapan negara ASEAN+3 dalam mewujudkan integrasi ekonomi dan moneter di ASEAN+3.


(35)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Kecenderungan peningkatan proses integrasi ekonomi dan moneter regional di berbagai belahan dunia pada dasarnya dilandasi oleh suatu konsep dasar, yakni bahwa manfaat yang akan diperoleh dari integrasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara anggota dalam kawasan. Dalam perkembangannya, berbagai konsep terkait dengan integrasi keuangan dan moneter ini pun terus melakukan perbaikan seiring dengan perkembangan ekonomi.

Bab ini secara khusus akan meninjau secara teoritis mengenai pengertian, pentahapan, dan manfaat yang diperoleh dari adanya integrasi ekonomi regional. Hasil studi empiris juga akan dipaparkan dalam bab ini untuk melengkapi argument-argumen terkait dengan teori ekonomi dan moneter regional.

2.1. Pentahapan Proses Integrasi

Pasar keuangan di suatu kawasan dikatakan telah terintegrasi secara penuh apabila masing-masing negara dalam kawasan tersebut telah menghadapi

kebijaksanaan dan atau ketentuan yang sama dalam pasar keuangan (single set of

rules), di mana investor dan penerbit aset keuangan mempunyai akses yang sama

terhadap pasar keuangan (equal access) dan diperlakukan secara sama (treated

equally) ketika beroperasi di pasar keuangan (Baele et al, 2004). Definisi integrasi

keuangan tersebut sangat terkait dengan the law of one price yang merupakan

definisi lain dari integrasi keuangan. The law of one price ini pada dasarnya

menyebutkan bahwa apabila suatu pasar keuangan mempunyai resiko dan tingkat pengembalian yang identik, maka aset keuangan tersebut haruslah mempunyai harga yang sama, terlepas dari tempat transaksi keuangan di mana aset keuangan tersebut dilangsungkan.

Definisi integrasi keuangan ini baik secara teoritis maupun dalam prakteknya tidak mengalami banyak perdebatan. Namun demikian, dalam ranah teori integrasi keuangan, perdebatan yang seringkali muncul ialah terkait dengan bagaimana proses integrasi keuangan ini harus dijalankan. Haruskah integrasi


(36)

keuangan dan moneter di suatu kawasan didahului oleh integrasi sektor riil (perdagangan) atau tidak? Ada dua kelompok pendapat mengenai hal tersebut, kelompok pertama berpendapat bahwa integrasi keuangan harus didahului oleh integrasi sektor riil (perdagangan) di kawasan tersebut. Kelompok kedua berpendapat bahwa integrasi keuangan dan moneter tidak harus didahului adanya integrasi perdagangan. Perkembangan dari aliran pendapat ini, kemudian diikuti oleh munculnya berbagai pandangan yang memperkuat fenomena bahwa integrasi moneter merupakan langkah untuk memperkuat integrasi di sektor riil.10

Melihat pengalaman di Asia khususnya ASEAN+3, inisiatif integrasi keuangan dan moneter yang meningkat setelah krisis keuangan di Asia tahun 1997 dapat dikatakan mengikuti pendapat yang kedua, dimana proses integrasi keuangan dan moneter berlangsung tanpa didahului oleh adanya integrasi sektor riil. Kondisi ini berbeda dengan pengalaman Eropa di mana proses menuju integrasi keuangan dan moneter didahului oleh integrasi sektor riil terlebih dahulu.

2.1.1. Integrasi Sektor Riil menuju Integrasi Ekonomi

Teori awal mengenai tahapan dalam mencapai integrasi ekonomi, secara

populer disebut sebagai Coronation Theory. Teori ini berpandangan bahwa

integrasi sektor riil yang dilakukan melalui liberalisasi perdagangan dan mobilitas faktor produksi adalah sebagai prasyarat dalam mencapai integrasi ekonomi secara penuh (Sholihah dan Saicu, 2007). Teori ini berdasarkan pengalaman kawasan Eropa dalam proses menuju pembentukan Uni Eropa. Pada proses tersebut, inisiatif dimulai dengan adanya kerjasama di sektor riil yaitu melalui

pembentukan komunitas batubara dan baja eropa (The European Coal and Steel

Community-ECSC) melalui Threaty of Paris pada tahun 1951 dengan enam negara anggota, yaitu Belgia, Jerman Barat, Luksemburg, Prancis, Italy, dan Belanda.

Pengalaman sukses ECSC mendorong keenam negara tersebut untuk mengintegrasikan sektor-sektor lainnya. Pada tahun 1957 keenam negara tersebut

menandatangani Treaties of Rome, the European Atomic Energy

Community-EEC). Selanjutnya negara anggota menetapkan pembebasan hambatan

10

Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis Integrasi Keuangan Regional. (Eds). S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan Internasional. Bank Indonesia, Jakarta.


(37)

perdagangan di antara mereka dan membentuk suatu pasar tunggal (common market) sebelum pada akhirnya mewujudkan suatu mata uang tunggal Euro. Dari perjalanan tersebut dapat diketahui bahwa negara-negara kawasan eropa melakukan proses yang panjang dalam menuju sebuah integrasi moneter (monetary union) dengan mengawalinya dari inisiatif integrasi di sektor riil/perdagangan.

Proses integrasi yang terjadi di Eropa maupun di belahan bumi lainnya menunjukan bahwa perekonomian antar negara maupun antar kawasan saling

terbuka. Secara harfiyah, kata integrasi (integration) dapat diartikan sebagai

penggabungan. Jovanovic (2006) menggunakan istilah integrasi dalam ranah ekonomi pertama kali pada konteks organisasi dalam suatu industri. Sementara itu, Timbergen (1962) membedakan definisi integrasi sebagai bentuk penghapusan diskriminasi serta kebebasan bertransaksi dan sebagai bentuk penyerahan kebijakan pada lembaga bersama.

Pada sisi lain, Balassa dalam Sholihah dan Saicu (2007) membedakan

integrasi sebagai konsep dinamis melalui penghapusan diskriminasi di antara negara yang berbeda, maupun dalam konsep statis yang melihat ada atau tidaknya perbedaan dalam diskriminasi. Di tengah berbagai perbedaan definisi yang berkembang, Jovanovic (2006) menyimpulkan bahwa konsep integrasi ekonomi sebagai sebuah proses di mana sekelompok negara berupaya untuk meningkatkan tingkat kemakmurannya. Integrasi juga mensyaratkan paling tidak, adanya beberapa pembagian tenaga kerja dan kebebasan mobilitas yang bebas atas faktor produksi.11

Balassa menyebutkan bahwa usaha-usaha untuk menuju integrasi ekonomi haruslah melalui berbagai tahapan. Tahapan tersebut dibagi dalam lima tahap

dimulai dari integrasi sektor perdagangan dalam bentuk free trade area dan

custom union, dilanjutkan dengan pasar bersama (common market), economic union, dan terakhir adalah integrasi ekonomi secara total. Secara lebih ringkas tahapan integrasi ekonomi Bela Balassa dapat dilihat pada Tabel 1.

11

Kosotali, A. dan Gunawan Saichu. 2007. Integrasi Ekonomi : Konsep Dasar dan Realitas. Bank Indonesia.


(38)

Tabel 1. Tahapan Integrasi Ekonomi Bela Balassa Tahapan Keterangan

Prefential Trading Area (PTA)

Blok perdagangan yang memberikan keistimewaan untuk produk-produk tertentu dari negara tertentu dengan melakukan pengurangan tarif (bukan menghilangkan).

Free Trade Area

(FTA)

Suatu kawasan di mana tarif dan kuota antar negara anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara bukan anggota.

Custom Union Merupakan FTA yang meniadakan hambatan pergerakan komiditi antar negara anggota tetapi menerapkan tarif yang sama terhadap negara bukan anggota.

Common Market Merupakan Custom Union yang juga meniadakan hambatan-hambatan pada pergerakan faktor-faktor produksi (barang, jasa, aliran modal). Kesamaan harga dari faktor-faktor produksi diharapkan dapat menghasilkan alokasi sumber daya yang efisien.

Economic Union Interation

Merupakan suatu Common Market dengan tingkat

harmonisasi kebijakan ekonomi nasional yang signifikan (termasuk kebijakan struktural)

Total Economic Penyatuan moneter, fiskal, dan kebijakan sosial yang diikuti dengan lembaga supranasional dengan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh negara anggota.

Sumber : Sholihah dan Saichu, 2007

Teori tahapan/tingkat integrasi lainnya yang hampir mirip dengan Balassa adalah teori yang dikemukan oleh Griffin dan Pustay (2002). Griffin dan Pustay menyusun integrasi ekonomi dalam lima tingkatan, yaitu kawasan perdagangan bebas, persekutuan pabean, pasaran bersama, uni ekonomi, dan uni politik yang dapat dilihat pada Gambar 1.


(39)

TINGGI

Uni Politik

Uni Ekonomi

Pasaran Bersama

Persekutuan Pabean

Kawasan Perdagangan Bebas

RENDAH

Meliputi integrasi politik dan ekonomi

Pasaran pabean + mengkoordinasikan kebijakan ekonomi di antara

negara-negara anggota

Persekutuan Pabean + menghapuskan hambatan pergerakan factor produksi

di antara negara-negara anggota

Kawasan perdagangan bebas + menyeragamkan kebijakan perdagangan untuk negara-negara

Menurunkan hambatan tariff dan non tariff terhadap sesama negara anggota,

namun masing-masing negara berhak menentukan sendiri kebijakan perdagangannya terhadap negara

Sumber : R. W. Griffin dan M. W. Pustay, 2002

Gambar 1. Tingkatan Integrasi Ekonomi Menurut Griffin dan Pustay

Untuk memperjelas berbagai tahapan mengenai integrasi yang

dikemukakan oleh Balassa maupun Griffin dan Pustay, maka pada bahasan selanjutnya akan diberikan berbagai teori terkait dengan integrasi ekonomi. Berdasarkan literatur yang terkumpul, terdapat berbagai landasan teori integrasi ekonomi antara lain : (i) teori custom union, (ii) teori common market, dan (iii) teori model gravitasi.


(40)

2.1.2. Teori Integrasi Ekonomi

Pergerakan barang dan jasa di antara negara yang sepakat membentuk integrasi difasilitasi oleh upaya penghapusan tarif dan hambatan non tarif (NTB) yang mendistorsi perdagangan intra negara-negara tersebut. Salah satu teori yang membahas pendekatan tariff dalam kaitannya dengan perbedaan secara geografis adalah teori custom union (CU). Teori CU ini merupakan teori integrasi neo-clasic

dan teori perrdagangan yang paling berkembang. Pembahasan teori ini dilakukan mengingat CU merupakan tahapan penting dalam rangkaian tahap integrasi.

1. Teori Custom Union

CU adalah tipe integrasi ekonomi dimana negara-negara yang berpartisipasi dalam kesepakatan tersebut tidak hanya melakukan penghapusan tarif dan hambatan kuantitatif lainnya di antara anggota terhadap barang yang berasal dari negara-negara tersebut, tetapi juga menerapkan tarif yang sama

terhadap negara bukan anggota yaitu Common Effective Preferential Tariff

(CEPT). Dalam CU tidak terdapat kebutuhan untuk menerapkan preferential rules

of origin sebagaimana dalam FTA.

2. Teori Common Market (CM)

Dalam teori CM ini, mobilitas faktor produksi dalam suatu kawasan adalah kondisi integrasi pasar di mana tidak terjadi perlakuan diskriminasi (Juvanovic, 2006). Tidak adanya diskriminatif ini, di mana faktor produksi bebas, akan mendorong alokasi faktor produksi yang efisien melalui pergerakan faktor tersebut menuju tempat dengan tingkat produktifitas yang tinggi. Hal ini yang menyebabkan perbedaan produktifitas antara CU dan CM.

3. Model Gravitasi

Model Gravitasi dikembangkan oleh Tinbergen pada 1962 dan Linnemann pada 1996 (Helmers dan Pasteels, 2005) yang menunjukkan bahwa perdagangan mengikuti prinsip-prinsip fisik dari gravitasi yakni dua kekuatan yang bertentangan menentukan volume perdagangan bilateral di antara negara-negara melalui (i) tingkat aktifitas dan pendapatan ekonomi, serta (ii) tingkat hambatan perdagangan. Hal-hal yang termasuk dalam hambatan perdagangan yaitu biaya transportasi, kebijakan-kebijakan perdagangan, ketidakpastian, perbedaan budaya dan karakteristik geografi.


(41)

Teori-teori integrasi yang dikemukakan merupakan serangkaian teori yang mendukung tahapan integrasi ekonomi di seluruh dunia. Integrasi ekonomi yang telah dilakukan oleh Eropa menjadi sebuah momentum baru kebangkitan ego regional dalam membuat suatu komunitas ekonomi. Merujuk pada berbagai teori integrasi ekonomi, menjadi sebuah pertanyaan yakni seperti apa dan bagaimana negara-negara di Eropa berhasil menjadi sebuah komunitas ekonomi baru? Pada pembahasan selanjutnya akan dibahas secara singkat bagaimana proses yang telah dilalui oleh Uni Eropa, dan bagaimana kesiapan kawasan ASEAN+3 mempersiapkan diri dalam menyongsong sebuah komunitas ekonomi baru di kawasan tersebut.

2.2. Cerita Sukses Eropa

Keberhasilan Eropa menuju kesatuan Ekonomi dan Moneter dimulai

dengan penandatanganan Treaty of Paris pada tahun 1951 yang mengawali

pembentukan the European Coal and Steel Community (ECSC) oleh enam negara

(yaitu Belgia, Belanda, Luksemburg, Jerman Barat, Italia, dan Perancis) dan

Treaties of Rome (1957) sebagai dasar pembentukan the European Anatomic Energy Community (EUROATOM) dan the European Economic Community

(EEC). Tiga Komunitas tersebut pada akhirnya dilebur menjadi Masyarakat Eropa (European Community).

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi di The Haque, Belanda tahun 1969, disepakati bahwa Masyarakat Eropa akan secara progresif menuju pembentukan

European Monetary Union (EMU) dalam waktu sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1979. Untuk mencapai sasaran tersebut, dibentuk sebuah komite pakar yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Lukemburg, Pierre Werner, untuk mengkaji berbagai elemen yang diperlukan bagi pembentukan kesatuan ekonomi dan moneter tersebut. Namun demikian, seiring dengan terjadinya gejolak ekonomi dikawasan tersebut pada tahun 1970-an, maka rencana pembentukan EMU ini pun sempat terabaikan mengingat masing-masing negara mefokuskan dirinya pada pencapaian kepentingan domestik mereka.

Adanya kepentingan bersama yaitu mengendalikan fluktuasi nilai tukar di antara anggota Masyarakat Eropa menyebabkan kerja sama di bidang moneter


(42)

tetap tumbuh meskipun dalam bentuk yang berbeda. Pada saat itu masyarakat di Eropa berinisiatif membentuk sebuah mekanisme untuk mengelola batas fluktuasi antara mata uang anggota Masyarakat Eropa secara lebih tegas dalam sistem

snake in the tunnel. Sistem snake ini mengatur tingkat margin fluktuasi di antara mata uang negara anggota terhadap mata uang anggota Masyarakat Eropa lainnya dan juga terhadap dollar AS. Margin fluktuasi terhadap dollar AS ini turut dijaga ketat mengingat dollar AS masih merupakan referensi utama bagi mata uang

negara Masyarakat Eropa. Namun demikian, sistem snake ini tidak mencapai

sasaran yang dikehendaki terutama karena adanya kebijakan ekonomi yang

beragam di Eropa pasca krisis minyak bumi tahun 1973. Kegagalan sistem snake

ini pada akhirnya menumbuhkan semangat untuk kembali mewujudkan EMU.

Akhirnya pada tahun 1979 dibentuklah European Monetary System (EMS) bagi

pembentukan sebuah bank sentral bersama di Eropa.

Ada tiga proses transisi utama yang ditempuh oleh Eropa untuk menuju EMU. Pada tahap pertama, yaitu Juli 1990-Desember 1993, arus transaksi neraca

modal (capital account) dan jasa keuangan dibebaskan secara substansial dalam

kawasan negara Masyarakat Eropa. Pada tahap kedua, yaitu Januari

1994-Desember 1998), the European Monetary Institute (EMI) dibentuk sebagai embrio

bagi pembentukan sebuah bank sentral bersama di Eropa. EMI berfungsi untuk memperkuat kerja sama antar negara dan bank sentral, melakukan koordinasi kebijakan moneter dan mempersiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk

membentuk suatu European Central Bank System (ECBS). Pada saat yang sama,

berdasarkan Maasttricht Treaty (1993), beberapa indikator divergen konvergensi nominal mulai diberlakukan, yaitu laju inflasi, suku bunga jangka pendek, defisit anggaran, dan pinjaman pemerintah. Pada tahap ketiga, (yaitu mulai Januari 1999), 11 negara anggota Masyarakat Eropa bergerak menuju penggunaan mata uang tunggal, euro, dan penggunaan sebuah bank sentral bersama, yaitu the

European Central Bank (ECB).

2.2.1. Pengalaman Uni Eropa untuk ASEAN+3

Pembentukan European Union (EU) merupakan prestasi keberhasilan


(43)

integrasi yang mencoba mengikuti EU seperti Latin American Free Trade Area

dan East African Common Market justru mengalami kegagalan.

Mencermati perjalanan integrasi di Eropa, banyak pelajaran dan pengalaman pembentukan yang dapat diambil bagi ASEAN. Namun demikian, para pemimpin ASEAN+3 perlu memperhatikan dengan seksama perbedaan-perbedaan yang ada di kawasan ASEAN+3 dan juga perbedaan-perbedaan latar belakang sejarah anggota ASEAN. Beberapa pembelajaran yang dapat diambil ASEAN bila

membandingkan dengan kondisi awal European Economic Community pada tahun

1950-an antara lain adalah (Plummer, 2005) : 1. Perbedaan Lingkungan Kelembagaan

Integrasi di Eropa pada 1950-an dipicu oleh semangat kawasan yang baru saja dilanda kehancuran Perang Dunia II dan timbulnya perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Sehingga motivasi politik dan sosial dalam upaya penyatuan kawasan di Eropa sangat jauh berbeda dengan latarbelakang upaya integrasi di ASEAN+3. Meskipun kecil, ASEAN+3 juga berperan menjaga perdamaian di Asia Tenggara pada khususnya dengan menjaga stabilitas politik kawasan. Perkembangan kelembagaan di ASEAN berbeda dengan di Eropa karena (i) negara-negara ASEAN yang relatif baru, (ii) keragaman tingkat kelembagaan sosial dan politik di ASEAN yang relatif lebih tinggi, dan (iii) keterbatasan dana dalam pengembangan kelembagaan di ASEAN.

2. Perbedaan Lingkungan Ekonomi Internasional

Kemajuan tingkat keterbukaan pada saat ini sangat mewarnai perkembangan pasar global. Keterbukaan di pasar global dipicu antara lain : (i) meningkatnya pengurangan hambatan perdagangan internasional dengan adanya putaran-putaran perundingan seperti GATT, WTO, dan juga liberalisasi unilateral, (ii) meningkatnya aliran modal global (termasuk aliran modal asing). Tetapi di lain sisi, biaya yang harus dibayar dengan adanya integrasi regional, yaitu

memperbesar trade diversion, lebih besar daripada waktu yang lampau.

Perkembangan regionalism yang pesat ditunjukkan dengan meningkatnya

pembentukan grup-grup perdagangan dalam WTO yang mencapai lebih dari 200. Grup perdagangan tersebut banyak yang merupakan mitra dagang penting ASEAN sehingga dapat mempengaruhi eksistensi ASEAN.


(44)

3. Perbedaan Tingkat Perkembangan Ekonomi

Negara yang tergabung dalam ASEAN pada saat ini mempunyai keragaman tingkat ekonomi yang bervariasi dan dapat dikategorikan dalam beberapa tingkatan yaitu (i) kelompok negara maju, (ii) kelompok negara ”dinamis”, (iii) kelompok negara pendapatan menengah, dan (iv) kelompok negara belum maju. Sehingga memerlukan proses konvergensi yang cukup panjang untuk mencapai tingkatan perkembangan yang hampir sama.

4. Perbedaan Tingkat Keterbukaan Ekonomi

Dibandingkan dengan Eropa, secara umum ekonomi ASEAN lebih kecil

tetapi lebih terbuka, kecuali untuk negara-negara CLMV (Cambodia, Laos,

Myanmar, and Vietnam). Perbedaan tersebut tidak hanya terjadi pada 1950-an tetapi juga pada saat ini dibanding mayoritas negara-negara maju.

2.2.2. Kondisi Kerjasama ASEAN+3

Krisis keuangan Asia 1997-1998 yang memperburuk kinerja ekonomi negara anggota ASEAN utama mendorong ASEAN untuk memperluas kerja sama

ekonomi dan keuangannya mencakup Cina, Korea, dan Jepang (ASEAN+3)12.

Tujuan kerja sama tersebut adalah memperkuat dialog kebijakan, koordinasi dan kerjasama dalam isu-isu bersama mengenai keuangan, moneter, dan fiskal. Kerja

sama tersebut terdiri dari empat komponen, yaitu : (i) review perkembangan

ekonomi terkini dan dialog kebijakan (Economic Review and Policy Dialogue

-ERPD), (ii) Chiang Mai Initiative (CMI), (iii) Asian Bond Market Initiative

(ABMI), dan (iv) ASEAN+3 Research Group.

Tujuan ERPD adalah untuk mendukung upaya pencegahan krisis keuangan melalui pengimplementasian secara cepat dan tepat berbagai langkah kebijakan perbaikan. ERPD memfokuskan diri pada isu-isu yang menjadi kepentingan bersama. ERPD pun bertujuan untuk mempersiapkan landasan bagi penyediaan bantuan darurat, seperti CMI, pada saat terjadi krisis. Di bawah kerangka ERPD, menteri keuangan ASEAN+3 bertemu satu tahun satu kali (sementara para wakilnya bertemu dua tahun satu kali) untuk membahas isu-isu ekonomi dan kebijakan.

12

The Joint Statement on East Asia Corporation, November 1999 merupakan landasan utama kerangka kerja sama menteri keuangan ASEAN+3.


(45)

Sedangkan CMI merupakan hasil kesepakatan pertemuan Menteri Keuangan ASEAN+3 pada Mei 2000. CMI bertujuan untuk menyediakan bantuan keuangan regional sebagai bantuan pendamping yang diberikan oleh lembaga internasional, melalui jejaring swap bilateral di antara negara-negara ASEAN+3.

Selain itu, CMI juga memperluas ASEAN Swap Arrangement (ASA), yang

semula dibentuk oleh lima negara ASEAN pada tahun 1977, dan berkembang menjadi seluruh negara ASEAN dengan jumlah komitmen yang meningkat pula.

Pada Agustus 2003, ASEAN+3 menyetujui inisiatif pengembangan pasar obligasi Asia (ABMI). Sebagai inisiatif utama dalam mengembangkan pasar modal yang efisien dan likuid sehingga penggunaan tabungan Asia untuk kebutuhan investasi di Asia dapat terlaksana dengan lebih baik. Selain itu, ABMI juga bertujuan untuk mendukung upaya mengatasi permasalahan ketidaksesuaian mata uang (currency mismatch) dan jatuh tempo pinjaman (maturity mismatch).

Kegiatan ABMI difokuskan pada dua sasaran, yaitu : (i) mendorong akses pasar melalui perluasan berbagai kelompok penerbit obligasi, dan (ii) meningkatkan infrastruktur pasar modal di Asia. Untuk mencapai kedua sasaran tersebut, saat ini terdapat empat kelompok kerja teknis yang terdiri dari (i) New securitized debts instrument, yang memfokuskan pada metode-metode sekuritas

surat-surat utang sehingga dapat diperdagangkan di pasar obligasi, (ii) Credit

guarantee and investment mechanisme, yang meneliti berbagai pilihan mekanisme

dan skema penjaminan obligasi untuk proyek-proyek investasi, (iii) Foreign

exchange transactions and settlement issues, yang meneliti berbagai isu berkaitan dengan upaya meminimalkan resiko-resiko transaksi obligasi antar negara, dan

(iv) Rating system, yang memfokuskan pada kegiatan-kegiatan untuk

meningkatkan harmonisasi ketentuan dan peraturan lembaga pemeringkat kredit di negara-negara anggota, sehingga penilaiannya atas obligasi yang diterbitkan masing-masing negara anggota dapat diperbandingkan.

Untuk mendukung pengembangan upaya-upaya kerja sama ekonomi di ASEAN+3 terutama berkaitan dengan isu-isu jangka menengah-panjang,

ASEAN+3 mendirikan ASEAN+3 Research Group pada Nopember 2003.

Tujuannya adalah menggali berbagai ide untuk meningkatkan kerja sama keuangan dan mendorong stabilitas keuangan di dalam kawasan melalui


(46)

masukan-masukan akademik dari para peneliti atau lembaga-lembaga penelitian di negara ASEAN+3.

Selain berbagai kegiatan kerja sama yang telah dilakukan di kawasan ASEAN+3, ada pula beberapa langkah integrasi yang terjadi di ASEAN+3. Untuk melihat sejauh mana proses integrasi yang terjadi di ASEAN+3, pada pembahasan selanjutnya akan di bahas mengenai integrasi regional di kawasan ASEAN+3.

2.3. Integrasi Regional ASEAN+3

Integrasi ekonomi regional salah satunya dilandasi oleh kedekatan geografis dan historis serta hubungan ekonomi antar negara di suatu kawasan. Tujuan dari integrasi tersebut adalah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan kawasan dimaksud. Di Eropa, integrasi regional diawali dengan integrasi ekonomi (sektor riil) yang kemudian diikuti dengan integrasi moneter dan diakhiri dengan pembentukan mata uang tunggal Euro.

Di ASEAN+3, proses integrasi regional diawali dengan kerja sama

ekonomi yang lebih banyak digerakkan oleh sektor swasta (market-led and

private sector driven integration), terutama sejak awal tahun 1990-an. Dalam periode tersebut, peranan pemerintah dalam mendorong inisiatif kerja sama relatif terbatas pada bidang-bidang tertentu seperti perdagangan, investasi dan pembangunan infrastruktur lintas batas (cross-border infrastructure). Dicapainya

kesepakatan perdagangan bebas seperti pembentukan ASEAN Free Trade Area

(AFTA) tahun 1992 dan kerja sama Sub-kawasan Mekong (Greater Mekong

Sub-regional Cooperation) pada tahun yang sama menunjukan bahwa ASEAN sudah memasuki tahapan integrasi ekonomi.

Kondisi tersebut berbeda dengan periode setelah krisis Asia 1997, di mana inisiatif pemerintah mulai semakin meningkat dalam kerja sama di kawasan. Hal ini tercermin dari perluasan kerja sama ekonomi di bidang keuangan dan moneter dengan tujuan untuk mencapai dan memelihara stabilitas keuangan regional, menjaga dan mendorong pertumbuhan regional dan domestik yang berkesinambungan, serta mengurangi ketergantungan pada lembaga keuangan internasional.


(47)

2.3.1. Latar Belakang Integrasi Moneter ASEAN+3

Pada 1 Januari 1999, negara-negara Uni Eropa meluncurkan mata uang tunggal mereka yang diberi nama Euro. Sejak awalnya, Euro sudah memaninkan suatu peranan penting sebagai mata uang internasional kunci. Hal itu sudah menjadikan Euro sebagai mata uang penting seperti dollar Amerika di kancah internasional. Negara Uni Eropa mungkin mempunyai beberapa kerugian dari sebuah mata uang tunggal tetapi mungkin juga mempunyai beberapa keuntungan lebih banyak dari hal tersebut. Untuk suatu hal, dengan adanya mata uang tunggal Euro, negara-negara Uni Eropa sangat tidak mungkin mengalami krisis seperti yang dialami negara-negara Asia di tahun 1997.

Sejak krisis, banyak negara di Asia Timur dan Asia Tenggara telah melakukan usaha-usaha yang kuat untuk mencegah terjadinya krisis mata uang. Para pemimpin sepuluh negara ASEAN dan tiga negara lainnya membuat

kesepakatan di Chiang May Initiative (CMI) pada bulan Mei tahun 2000. CMI

mencakup swap mata uang bilateral, dialog tentang kebijakan, dan pengembangan

pasar obligasi regional. Selain itu, mereka mencoba untuk menyamai pengalaman dari negara-negara Uni Eropa, mengadopsi Unit Mata Uang Eropa (ECU) dan bahkan menuju keberhasilan mata uang tunggal Asia di masa depan.

Seperti pengalaman yang ditunjukkan oleh Eropa, negara Uni Eropa sudah mencapai suatu mata uang tunggal dengan suatu langkah pendekatan. Berdasarkan pengalaman yang dilakukan oleh Eropa, negara-negara di Asia sangat mungkin mengambil tindakan pendekatan gradual/berjenjang sampai terbentuknya mata uang tunggal di Asia. Asia dapat mengambil pembelajaran dari pengalaman yang dilakukan Eropa. Walaupun demikian, bagaimana pun, hal ini menghadapi

bottlenecks. Beban yang paling utama dari suatu negara menetapkan mata uang tunggal regional adalah kehilangan otonomi kebijakannya. Meski begitu, apabila manfaat yang diperoleh lebih besar dari biayanya, maka negara-negara anggota akan meluncurkan mata uang tunggal regional. Oleh karena itu pertanyaan kritisnya adalah bukan apakah suatu kawasan (dalam konteks ini ASEAN+3) akan membuat mata uang tunggal regional atau tidak, tetapi proses atau langkah apa yang akan diambil dan bagaimana cara yang harus dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi era mata uang tunggal Asia.


(1)

sedang melakukan penelitian mengenai kemungkinan penerapan mata uang tunggal kawasan. Menurut Kim (2007), terdapat pendekatan tiga tahap untuk menuju mata uang tunggal Asia. Ketiga tahapan ini meliputi : (i) Koordinasi kebijakan nilai tukar, (ii) membuat mata uang tunggal regional, (iii) membuat mata uang tunggal Asia.

Bertolak dari hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pembentukan mata uang parallel ACU sebagai mata uang kawasan ASEAN+3, selanjutnya adalah kegunaan dan keuntungan menggunakan ACU, serta bagaimana kesiapan negara-negara di ASEAN+3 membentuk sebuah uni moneter regional di kawasan tersebut. Pembahasan pada penelitian ini pun dibagi ke dalam dua periode, yaitu periode krisis ekonomi (1997-2002), dan periode pasca krisis ekonomi (2003-2007). Selain tujuan tersebut, penelitian ini mencoba merumuskan berbagai implikasi kebijakan berdasarkan hasil analisis tujuan penelitian ini.

Pada penelitian ini dibahas bagaimana kesiapan kawasan ASEAN+3 menuju integrasi ekonomi secara penuh dengan menggunakan kriteria konvergensi Maastricht Treaty seperti yang dilakukan oleh Eropa. Selanjutnya penelitian ini menganalisis pembentukan ACU di kawasan ASEAN+3 meliputi konstruksi model ACU, kriteria pembobotan (variabel yang digunakan maupun pembagian bobot), serta mekanisme nilai tukar yang dilakukan. Kemudian dalam penelitian ini pun dianalisis mengenai pilihan penggunaan mata uang bagi setiap negara di kawasan ASEAN+3 dengan menggunakan model VAR. Keputusan pemilihan model tersebut berdasarkan kebutuhan penelitian untuk melihat negara-negara anggota ASEAN+3 mana saja yang layak menggunakan mata uang ACU sebagai mata uang kawasan. Kriteria pemilihan tersebut didasarkan jika fluktuasi inflasi suatu negara lebih kecil jika menggunakan ACU daripada negara tersebut menggunakan mata uang domestiknya.

Berdasarkan kriteria konvergensi Maastricht Treaty untuk menuju suatu uni moneter regional seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa, hasil yang diperoleh antara lain : (i) pada periode krisis ekonomi (1997-2002) hanya negara China yang yang memenuhi empat kriteria konvergensi, dan (ii) pada periode pasca krisis ekonomi (2003-2007) kembali hanya China yang memenuhi empat kriteria konvergensi. Hal ini tentu saja mengindikasikan bahwa kondisi saat ini bukanlah saat yang tepat bagi negara-negara di kawasan ASEAN+3 membentuk sebuah uni moneter regional kawasan.

Untuk pembobotan nilai tukar ACU diperoleh bahwa pada periode krisis ekonomi (1997-2002), bobot pembentukan mata uang ACU ASEAN+3 dikuasi oleh tiga negara plus three sebesar 68 persen dari total keseluruhan bobot mata uang, antara lain Jepang (30.4 persen), China (30.1 persen), dan Korea (8.3 persen). Sementara periode pasca krisis ekonomi (2003-2007), bobot pembentukan mata uang ACU ASEAN+3 tidak lagi dikuasi oleh negara-negara plus three. Pada periode ini komposisi bobot terbesar secara berturut-turut dikuasai oleh China (38.1 persen), Jepang (25.0 persen), dan Singapura (7.2 persen).

Dalam penelitian ini juga diperoleh bahwa pada periode 1997-2002 tidak dapat ditentukan benchmark rate sebesar 2.25 persen, 6 persen, maupun 15 persen seperti yang dilakukan oleh Eropa karena pergerakan seluruh mata uang anggota bergerak melebihi koridor fluktuasi tersebut. Sementara pada periode 2003-2007


(2)

kembali tidak ada negara yang benchmark rate-nya berada pada koridor 2.25 persen. Namun, pada periode ini dapat diberlakukan koridor fluktuasi sebesar 25 persen.

Hasil estimasi dari penelitian ini pun menunjukkan bahwa ada tiga negara yang tepat menggunakan mata uang ACU ASEAN+3 karena dapat meminimalisir fluktuasi inflasi jika terjadi shock pada nilai tukar ACU dan mata uang domestiknya. Ketiga negara tersebut antara lain, China, Singapura, dan Brunei Darussalam. Sementara itu untuk negara-negara seperti Jepang, Korea, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Brunei, Myanmar, Kamboja dan Laos lebih tepat menggunakan mata uang domestiknya daripada menggunakan nilai tukar ACU.

Secara keseluruhan, penelitian ini memberi gambaran bahwa kondisi hari ini bukanlah waktu yang tepat bagi negara-negara di kawasan ASEAN+3 membentuk integrasi ekonomi secara penuh. Namun, kemungkinan kawasan ASEAN+3 ini untuk dapat memenuhi kriteria konvergensi makroekonomi sangatlah terbuka, setidaknya dalam periode jangka panjang. Hal ini didukung oleh perkembangan yang terjadi pada kawasan ini, dengan cakupan kerja sama yang semakin luas, orientasi ekspor yang kuat, human capital yang solid, serta didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam beberapa dekade terakhir, mencerminkan optimisme tersebut.

Kata kunci : Integrasi ekonomi, Kriteria konvergensi Maatricht Treaty, Asian Currency Unit (ACU), Vector Autoregressive (VAR).


(3)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau menyeluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB


(4)

ANALISIS PENERAPAN NILAI TUKAR

ASIAN CURRENCY UNIT (ACU) DI KAWASAN ASEAN+3

BAYU DARUSSALAM H151054164

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

(6)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MS