Strategi Kebijakan Dalam Restorasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Studi Kasus Di Wilayah Kabupaten Sukabumi).

STRATEGI KEBIJAKAN DALAM RESTORASI KORIDOR
TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
(Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Sukabumi)

FAHMI HAKIM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Kebijakan dalam
Restorasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Studi Kasus di
Wilayah Kabupaten Sukabumi) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Fahmi Hakim
NIM E351110031

RINGKASAN
FAHMI HAKIM. Strategi Kebijakan dalam Restorasi Koridor Taman Nasional
Gunung Halimun Salak (Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Sukabumi). Dibimbing
oleh RINEKSO SOEKMADI dan DODIK RIDHO NURROCHMAT.
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) memiliki karakter unik
dengan adanya koridor yang menggabungkan dua ekosistem pegunungan (G.
Halimun-G. Salak) dan melingkupi dua provinsi (Jawa Barat-Banten). Keberadaan
Koridor Halimun-Salak (KHS) menjadikan kedua gunung tersebut sebagai
kesatuan bentang alam dengan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di
Pulau Jawa dan berfungsi sebagai penghubung ekosistem Halimun-Salak, menjaga
tata air dua daerah aliran sungai (DAS) utama, yaitu DAS Cianten dan DAS Citarik,
wilayah jelajah satwa liar dan memberikan manfaat yang strategis bagi
pembangunan sosial-ekonomi. Pengelolaan TNGHS dan area koridor memiliki
tantangan pengelolaan yang serius dengan adanya degradasi dan deforestasi hutan
melalui penebangan liar, penambangan emas tanpa ijin (PETI), perburuan,

perambahan kawasan, kerusakan habitat dan ekosistem. Upaya pemulihan
ekosistem secara berkelanjutan diperlukan untuk memperbaiki kerusakan struktur
dan fungsi dari ekosistem alami TNGHS dan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Jangka panjang aksi restorasi di TNGHS ini akan terwujud jika pengelola mampu
mendorong pihak lain yang memiliki kemampuan untuk melakukan inisiatif
restorasi di kawasan TNGHS. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kapasitas dan
peran para pihak untuk mendukung restorasi dan mengetahui kebijakan dan regulasi
yang mendukung dan menghambat aksi restorasi menjadi hal yang strategis dalam
jangka panjang restorasi kawasan.
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan memetakan aktor-aktor
dalam aksi restorasi untuk menyusun opsi-opsi kebijakan dalam aksi restorasi di
kawasan TNGHS, wilayah Kabupaten Sukabumi. Penelitian dilaksanakan di
TNGHS, lembaga pemerintahan, BUMN/Swasta dan LSM serta lembaga
pendidikan yang memiliki aktivitas mendukung restorasi di kawasan TNGHS pada
bulan Juni sampai Agustus 2013 dan Mei 2015. Pemilihan lembaga dilakukan
secara puposive sampling, yakni lembaga yang berpotensi memiliki program
mendukung restorasi di KHS. Jenis data yang dikumpulkan mencakup data primer
meliputi identitas, kepentingan dan pengaruh serta data sekunder meliputi kondisi
fisik Koridor Halimun-Salak, dokumen kebijakan, dokumen resmi yang terkait
dengan aksi restorasi di KHS. Metode pengumpulan data dilakukan melalui

wawancara, pengamatan langsung dan studi pustaka. Analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif, analisis stakeholder dan
analisis isi (content analysis). Analisis deskriptif kualitatif pada tahap awal
difokuskan dalam penetapan daftar lembaga-lembaga yang potensial yang akan
menjadi target survei. Analisis stakeholders dilakukan untuk mengetahui
kepentingan dan pengaruh para pihak dan dipetakan ke dalam matriks kepentingan
dan pengaruh yang diadopsi dari Reed et al. (2009). Analisis isi (content analysis)
dilakukan terhadap aturan formal yang berlaku mulai dari peraturan perundangundangan hingga prosedur administrasi. Hal ini dilakukan untuk menjadi tinjauan
kebijakan aksi restorasi di TNGHS.

Kebijakan restorasi ekosistem secara khusus muncul pada Keputusan Menteri
Kehutanan No. 159 Tahun 2004 tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan
Produksi. Terminologi restorasi di kawasan taman nasional maupun hutan
konservasi baru muncul secara eksplisit dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2011 tentang pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam di pasal 29 yang menyatakan pemulihan ekosistem dilakukan dengan cara
mekanisme alam, rehabilitasi dan restorasi. Di bagian Penjelasan, pasal 29
menambahkan bahwa pemulihan ekosistem dilakukan dengan menggunakan
komponen spesies asli setempat yang diarahkan untuk mampu mengembalikan
struktur, fungsi, dinamika populasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya guna

memperkuat sistem pengelolaan kawasan yang dilindungi. Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 mendefinisikan restorasi sebagai upaya pemulihan untuk menjadikan
lingkungan hidup atau bagian-bagiannya berfungsi kembali sebagaimana semula.
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2013 juga mengatur
mengenai pemulihan kawasan lindung dan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi
No. 22 Tahun 2012 menyatakan bahwa rehabilitasi merupakan satu bagian dari
strategi penataan ruang.
Hasil analisis stakeholder menerangkan bahwa aktor dalam aksi restorasi
ekosistem terbagi ke dalam kelompok pemerintah, BUMN/Swasta, organisasi non
pemerintah (LSM) dan Lembaga Pendidikan. Teridentifikasi 26 aktor yang
termasuk kelompok pemerintah, terdiri dari 13 kantor di Pemerintah Pusat, 3 di
Pemerintah Provinsi dan 10 di Pemerintah Kabupaten. Teridentifikasi 15 aktor pada
kelompok BUMN/Swasta, 4 aktor kelompok lembaga pendidikan dan 11 aktor
organisasi non pemerintah/LSM, sehingga total stakeholders yang teridentifikasi
dalam aksi restorasi ekosistem di TNGHS pada wilayah sukabumi adalah 56
pemangku kepentingan (stakeholders). Stakeholders tersebut terpetakan menjadi 2
aktor yang menjadi aktor kunci (keyplayers) dengan kepentingan dan pengaruh
yang tinggi, 30 aktor yang menjadi subject dengan kepentingan yang tinggi dan
pengaruh rendah, 20 aktor yang menjadi context setter dengan kepentingan rendah
dan pengaruh tinggi, 4 aktor yang menjadi crowd dengan kepentingan dan pengaruh

yang rendah.
Sebagai konsep yang masih tergolong baru, restorasi ekosistem di Indonesia
masih sering disamakan dengan rehabilitasi hutan. Hal ini menimbulkan
permasalahan secara regulasi dengan UU No. 32 Tahun 2009 dan tidak sesuai
dengan definisi ilmiah, lalu persoalan implementasi akan muncul jika restorasi
ekosistem KHS dengan menggunakan definisi ilmiah dan UU No. 32 Tahun 2009
yang berarti masyarakat keluar dari kawasan untuk mengembalikan seperti kondisi
asli atau tidak lagi dapat memanfaatkan kawasan. Selain itu, inisiatif restorasi
ekosistem di TNGHS sudah mulai bermunculan namun belum terintegrasi. Oleh
karena itu, opsi kebijakan restorasi di KHS yang dapat disusun adalah dengan
menyusun konsep, kebijakan dan regulasi tingkat nasional yang akan menjadi acuan
dalam implementasi restorasi ekosistem; menguatkan tata kelola kemitraan dan
kebijakan tenurial; dan menyusun strategi mobilisasi sumber daya para pihak dalam
restorasi ekosistem.

Kata kunci: Kebijakan restorasi, koridor halimun-salak, opsi kebijakan, restorasi
ekosistem, stakeholders

SUMMARY
FAHMI HAKIM. Policy Strategy of Ecosystem Restoration on Mt. Halimun-Salak

National Park (Study Case at Sukabumi Regency). Supervised by RINEKSO
SOEKMADI and DODIK RIDHO NURROCHMAT.
Mt. Halimun-Salak National Park (HSNP) is a national park in Indonesia,
which has a ecological corridor that connects two mountain ecosystems and
encompasess two provinces. The existence of Halimun-Salak Corridor (HSC)
makes both mountains into one landscape as the widest tropical rain forest
mountains ecosystem in Java, keeping the water system of two main watersheds
(Cianten and Citarik watershed), home range for wildlife and provide an essensial
benefits for socio-economic development. HSNP management have a serious
challenges with degradation and deforestation through illegal logging, illegal
mining, poaching, encroachment, destruction of habitats and ecosystems.
Sustainable Ecosystem restoration is needed to restore the structure and function of
natural ecosystems and biodiversity in HSNP. Long-term restoration action will be
able achieved if the manager is able to encourage others who have the ability to
perform restoration initiatives. Therefore, an ability to understand the role and
capacity of the parties and policies to support restoration is necessary in long-term
restoration strategy.
The objectives of this research are identifying the actors and develop policy
options in restoration implementation. This study was conducted in HSNP,
government agencies, State-Owned Enterprise (SOE)/Private, NGO, educational

institutions in June to August 2013 and May 2015. Selection of institutional study
was done by purposive sampling. Primary data includes identity, interests and
influence as well as secondary data include the physical condition of the HSC,
policy documents, official documents that related to restoration actions in HSC. The
methods of data collection through interviews, direct observation and literature.
This research used descriptive qualitative analysis, stakeholder analysis and content
analysis. Descriptive qualitative analysis at an early phase focused on a list of
potential institutions that would be survey targeted. Stakeholder analysis was
conducted to determine the interests and influence of the parties and mapped into
the matrix of interests and influences were adopted from Reed et al. (2009). Content
analysis was conducted on formal rules from legislation to administrative
procedures. This is to be a policy review in HSNP restoration action.
Ecosystem restoration policies specifically appear on Forestry Ministerial
Decree No. 159/2004 on Ecosystem Restoration in Forest Production. Restoration
terminology in national parks and conservation areas explicitly appear in
Government Regulation No. 28/2011 on management of Nature Reserve Area and
Nature Preservation Areas in article 29 which states ecosystem restoration is done
by natural mechanisms, rehabilitation and restoration. In Explanation Part, Article
29 adds that ecosystem restoration is done using native species component which
is directed to restore the structure, function, population dynamics of biodiversity

and ecosystems in order to strengthen the system of protected area management.
Law No. 32/2009 defines restoration as recovery efforts to make the environment
or its parts to function again as previous state. Regional Regulation of West Java
Province No. 1/2013 also regulates the recovery of protected areas and Sukabumi

District Regulation No. 22/2012 states that rehabilitation is a part of the spatial
strategy.
The results of stakeholder analysis explains that the actors in ecosystem
restoration actions are divided into groups of government, SOE/private, NGOs and
Educational Institution. 26 actors are identified as government group, consist of 13
offices in the Central Government, 3 offices in Provincial Government and 10 in
the district government. 15 actors are identified in SOE/private group, 4 actors in
educational institutions and 11 actors NGOs group. Total stakeholders identified in
ecosystem restoration on HSNP sukabumi region parts are 56 stakeholders.
Stakeholders are mapped to 2 actors as keyplayers with high interests and influence,
30 actors as subject with high interests and low influence, 20 actors as context setter
with low interest and high influence, 4 actors as crowd with low interest and
influence.
As the relatively new concept, implementation of ecosystem restoration in
Indonesia is similar to forest rehabilitation. This poses a problem in the regulation

and not in accordance with the scientific definition. Problem in implementation
issues would arise if the restoration of ecosystems HSC using scientific definitions
and Law No. 32 of 2009, which means people have to get out of the area to restore
into previous condition or no longer able to take advantage from HSC Area. In
addition, ecosystem restoration initiatives in HSNP is already emerging, but not yet
integrated. Therefore, The policy strategy options to achieve sustainable ecosystem
restoration in HSC are formulate concepts and policies at national level which will
be a reference in implementation of ecosystem restoration, strengthening land
tenure policy and partnerships with various parties, construct resource mobilization
strategy of the stakeholders in the ecosystem restoration in otder to enhance
effectiveness, synergy, and duplication of restoration activities so that restoration
action will sustainable.
Keywords: Ecosystem restoration, halimun-salak corridor, policy options,
restoration policy, stakeholders

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STRATEGI KEBIJAKAN DALAM RESTORASI KORIDOR
TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
(Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Sukabumi)

FAHMI HAKIM

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar pada Ujian Tesis: Dr Ir Yulius Hero MSc.F Trop

Judul Tesis : Strategi Kebijakan dalam Restorasi Koridor Taman Nasional
Gunung Halimun Salak (Studi Kasus di Wilayah Kabupaten
Sukabumi)
Nama
: Fahmi Hakim
NIM
: E351110031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Rinekso Soekmadi MScF
Ketua

Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat MScF
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Konservasi Biodiversitas Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Burhanuddin Masy’ud MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
(25 Agustus 2015)

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Strategi Kebijakan Dalam
Restorasi Ekosistem di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Studi Kasus di
Wilayah Kabupaten Sukabumi) berhasil diselesaikan. Terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Rinekso
Soekmadi, MScF. dan Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MScF. selaku pembimbing
yang telah banyak memberi saran dan arahan selama penelitian berlangsung dan
dalam penulisan tesis ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Ir. Haryanto R.
Putro dan Teh Supriyatin atas kesediannya memberikan bantuan materi, moril dan
lain-lain. Kepada Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, SKPD
Pemerintahan Kabupaten Sukabumi, Kementerian Kehutanan, Gagat, Okta, Eka,
Mey, Joko, Dita, Yohana, Lintang, Septian, Dr. Ir. Tutut Sunarminto, MSi. yang
telah banyak membantu dan memberikan nasihat selama pengumpulan data serta
penyelesaian tesis. Ungkapan terima kasih dan sayang juga disampaikan kepada
ayah, ibu, papa, mama, keluarga, istriku tercinta dan buah hati kita Maryam, seluruh
keluarga besar Divisi Manajemen Kawasan Konservasi serta sahabat-sahabat
terbaik saya atas segala doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Fahmi Hakim

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pikir Penelitian

1
1
3
4
4
4

2 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Jenis Data yang Dikumpulkan
Metode Pengumpulan Data
Analisis Data

5
5
6
6
8

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinjauan Kebijakan dan Regulasi Restorasi Ekosistem
Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Terkait Restorasi Ekosistem
Opsi Strategi Kebijakan Restorasi di Koridor Halimun Salak

9
9
16
40

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

49
49
49

DAFTAR PUSTAKA

50

LAMPIRAN

53

RIWAYAT HIDUP

57

DAFTAR TABEL
1 Jenis dan metode pengumpulan data penelitian
2 Pemangku kepentingan restorasi ekosistem kawasan TNGHS di
wilayah Kabupaten Sukabumi
3 Program pemberdayaan masyarakat dan program peningkatan
kesadaran lingkungan pada beberapa lembaga pemerintah
4 Program peningkatan kapasitas SDM dan pembangunan infrastruktur
pedesaan pada beberapa lembaga pemerintah
5 Program pemberdayaan masyarakat dan program peningkatan
kesadaran lingkungan pada beberapa lembaga BUMN dan swasta
6 Program peningkatan kesehatan masyarakat, peningkatan SDM dan
pembangunan infrastruktur pedesaan pada lembaga BUMN/Swasta
7 Lembaga swasta yang bersedia memberikan imbal jasa dan/atau
bantuan permodalan
8 Program pemberdayaan masyarakat dan program peningkatan
kesadaran lingkungan pada organisasi non pemerintah dan lembaga
pendidikan
9 Program peningkatan kesehatan masyarakat, peningkatan SDM dan
pembangunan infrastruktur pedesaan pada organisasi non pemerintah
dan lembaga pendidikan
10 Peran yang telah dilakukan dan/atau dapat didorong dari lembaga
pemerintah dalam restorasi ekosistem
11 Peran yang telah dilakukan dan/atau dapat didorong dari BUMN dan
swasta dalam restorasi ekosistem
12 Peran yang telah dilakukan dan/atau dapat didorong organisasi non
pemerintah dan lembaga pendidikan dalam restorasi ekosistem

7
16
23
24
27
28
29

30

32
33
35
36

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir penelitian
2 Lokasi penelitian
3 Matriks kepentingan dan pengaruh lembaga pemerintah, lembaga
BUMN dan swasta, serta lembaga pendidikan dan organisasi non
pemerintah terhadap restorasi ekosistem di kawasan KHS

5
6

38

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner penelitian

53

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan salah satu dari
50 TN di Indonesia dan memiliki karakter yang unik dengan adanya koridor yang
menggabungkan dua ekosistem pegunungan dan melingkupi dua provinsi dengan
luas total 113.357 ha. Sejarah Koridor Halimun Salak (KHS) dimulai dengan
terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal
28 Februari 1992 dengan luas 40.000 ha sebagai Taman Nasional Gunung Halimun
(TNGH), lalu tanggal 23 Maret 1997 resmi ditetapkan sebagai salah satu Unit
Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan (UPT BTNGH) (Yelin 2014). Oleh
karena kondisi sumber daya hutan yang semakin terancam rusak dan dorongan para
pihak yang peduli terhadap konservasi keanekaragaman hayati, pada tahun 2003
kawasan Halimun ditambahkan areanya dengan memasukkan kawasan hutan
Gunung Salak dan Gunung Endut yang status sebelumnya merupakan hutan
produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani diubah
fungsinya menjadi hutan konservasi, dimasukkan ke dalam satu pengelolaan
kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) melalui SK
Menteri Kehutanan nomor 175/Kpts-II/2003 dengan luas total 113.357 ha pada
tanggal 10 Juni 2003 (Ekayani et al. 2014). Berdasarkan penyatuan tersebut,
terbentuk koridor yang menghubungkan G. Halimun dan G. Salak sehingga
menjadi hamparan kesatuan lanskap kawasan hutan pegunungan.
Koridor Halimun-Salak (KHS) dengan luas total 4206.18 ha dan lebar ratarata kurang dari 1.69 km menjadikan kedua gunung tersebut sebagai kesatuan
bentang alam dengan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Pulau
Jawa. Kondisi tutupan lahan di KHS anatara lain: adalah semak belukar 1484.53 ha
(35.29 %), Hutan Primer 268.56 ha (6.38 %), Hutan Sekunder 759.06 ha (18.05 %),
Kebun Campuran 186.13 ha (4.40 %), Hutan Tanaman 42.05 ha (1.00 %), Pertanian
Lahan Kering 512.48 (12.18 %), Perkebunan Teh 514.63 ha (12.24 %),
Perkampungan 24.90 ha (0.59 %) dan lain-lain. Koridor Halimun Salak merupakan
hulu dari dua DAS, yaitu DAS Cianten dan DAS Citarik. Jenis flora langka seperti
Awi Sengkol, dan Palahlar; jenis fauna langka seperti Owa Jawa, Macan Tutul dan
Elang Jawa. KHS menyimpan sebanyak 15 jenis burung yang dilindungi menurut
PP No. 7 tahun 1999, bahkan enam jenis diantaranya termasuk terancam punah
berdasarkan IUCN Redlist. Secara administratif, wilayah KHS terletak di dua
kabupaten, yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor. KHS bagian
Kabupaten Sukabumi terdiri dari tiga desa di Kec. Kabandungan, yaitu Desa
Cihamerang, Desa Cipeuteuy dan Desa Kabandungan. Secara umum, mata
pencaharian penduduk di sekitar KHS adalah sebagai pekerja perkebunan teh,
petani (sawah atau kebun), pedagang, buruh bangunan, dan pekerja luar daerah
(BTNGHS 2009).
Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan area koridor di dalamnya
memiliki tantangan pengelolaan yang serius dengan adanya tekanan penduduk
terhadap kawasan hutan dalam bentuk penebangan liar, penambangan emas tanpa
ijin (PETI), perburuan, perambahan kawasan, kerusakan habitat dan ekosistem
(BTNGHS 2007). Adalina (2014) menambahkan bahwa kawasan TNGHS telah

2
lama digunakan oleh masyarakat untuk aktivitas pertanian, sehingga dengan
perluasan kawasan akan berdampak pada hilangnya hak akses masyarakat untuk
dapat menggarap lahan yang sudah digunakan untuk lahan pertanian dan menurut
Yatap (2008) perluasan telah menimbulkan konflik pemilikan lahan dan sumber
daya alam. Kemudian, Prasetyo dan Setiawan (2006), memperkirakan dalam kurun
waktu 1989 – 2004 telah terjadi deforestasi di kawasan TNGHS sebesar 25% atau
berkurangnya luas hutan alam sebesar 22.000 ha. Carolyn et al. (2013)
menambahkan bahwa antara tahun 2003 – 2011 telah terjadi degradasi sebesar
7.319 ha dan deforestasi sebesar 189.9 ha di kawasan TNGHS yang disebabkan
karena laju perubahan lahan non pertanian dan laju pertumbuhan penduduk dalam
kawasan. Koridor Halimun-Salak sendiri hanya menyisakan hutan primer seluas
268.56 ha (6.38%) dan hutan sekunder seluas 759.06 ha (18.05 %) dari luas total
KHS 4206.18 ha dari luas total di atas teridentifikasi semak belukar 1484.53 ha
(35.29%) (BTNGHS 2009).
Degradasi dan deforestasi yang terus berlanjut akan berdampak signifikan
pada kerusakan ekosistem di kawasan konservasi TNGHS. Upaya pemulihan
ekosistem secara berkelanjutan sebagai bagian dari upaya mempertahankan gejala
dan ekosistem alami diperlukan untuk memperbaiki kerusakan struktur dan fungsi
dari ekosistem alami dan keanekaragaman hayati di TNGHS. The Society for
Ecological Restoration/SER (2004) menjelaskan bahwa proses pemulihan suatu
ekosistem yang telah terdegradasi, rusak atau hancur dinamakan dengan restorasi
ekologi. Lamb (2003) juga menerangkan restorasi ekologi adalah pemulihan
kembali struktur, produktivitas, dan keanekaragaman jenis asli dari hutan yang ada.
Pada saatnya proses dan fungsi ekologi akan kembali sama seperti aslinya/kondisi
hutan pada awalnya.
BTNGHS dalam upayanya merestorasi ekosistem di kawasannya memiliki
fokus untuk melakukan upaya restorasi di Koridor Halimun-Salak yang menjadi
penghubung dua ekosistem sehingga menjadi bentang lanskap yang esensial untuk
penyangga kehidupan. Dokumen “Rencana Aksi Restorasi Koridor Halimun-Salak
(2009-2013)”, BTNGHS menetapkan kawasan KHS yang akan direstorasi adalah
seluas 571.12 ha. Jangka panjang aksi restorasi di TNGHS ini akan mampu
terwujud jika pengelola mampu mendorong pihak lain yang memiliki kemampuan
untuk melakukan inisiatif restorasi di kawasan TNGHS dengan tetap
mempertimbangkan aspek sosial ekonomi masyarakat dan keanekaragaman hayati
di dalamnya. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kapasitas dan potensi para
pihak untuk mendukung restorasi, memahami hubungan berbagai aktor atau
lembaga yang berada di kawasan TNGHS dan mengetahui kebijakan dan regulasi
yang mendukung dan menghambat aksi restorasi menjadi hal yang strategis dalam
aksi jangka panjang restorasi kawasan. Penelitian mengenai strategi kebijakan
untuk pemetaan kelembagaan yang mampu memiliki kapasitas untuk inisiatif
restorasi dalam program dilembaganya merupakan salah satu bentuk dari pemetaan
dan pelibatan stakeholders menjadi penting untuk dilakukan.

3
Perumusan Masalah
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai kawasan
konservasi dengan tipe ekosistem pegunungan di wilayah Jawa Barat dan Banten
memberikan peran dan manfaat strategis baik secara ekologi, jasa ekosistem
maupun sosial ekonomi budaya bagi masyarakat dan stakeholders lainnya. Oleh
karena itu, TNGHS menjadi sistem penyangga kehidupan dan modal dasar bagi
pembangunan berkelanjutan bagi penerima manfaat di daerah tersebut. Namun,
ancaman alih fungsi lahan, tingkat degradasi dan deforestasi hutan yang terus
meningkat dapat menjadi penyebab rusak bahkan hilangnya ekosistem hutan serta
keanekaragam hayati di kawasan TNGHS.
Program pemulihan ekosistem koridor TNGHS melalui pemulihan kembali
struktur, produktivitas, dan keanekaragaman jenis asli agar fungsi ekologi serta jasa
ekosistem dapat kembali dengan memerhatikan karakteristik lokal dan regulasi
yang ada menjadi penting untuk dilakukan. Karakteristik lokal dan regulasi
restorasi menjadi penting dalam keberlanjutan restorasi. Konsep restorasi untuk
mengembalikan kepada kawasan ke kondisi semula dengan tidak memperhatikan
aspek sosial ekonomi masyarakat dan ekologi di KHS akan berpotensi besar
menimbulkan konflik, sehingga kondisi yang diharapkan dapat terjadi setelah
terjadi restorasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Hutan alam seperti
kondisi awal kawasan sebelum ada alih fungsi dan pemukiman; 2) Mengembalikan
hutan sekunder dan hutan produksi kepada fungsi konservasi dengan pemanfaatan
terbatas; 3) Luasan hutan yang berbatasan langsung dengan masyarakat terjaga
melalui pemberdayaan dan pembinaan masyarakat. Melalui upaya ini, kerusakan
yang terjadi tidak semakin meluas dan fungsi TNGHS sebagai kawasan
perlindungan sistem penyangga kehidupan, kawasan pengawetan keragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta kawasan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dapat tetap terjaga. Guna mewujudkan keberhasilan
jangka panjang aksi restorasi di TNGHS perlu mendorong pemangku kepentingan
dan lembaga/institusi yang lain untuk melakukan inisiatif kegiatan restorasi.
Wilayah Kabupaten Sukabumi sebagai bagian dari kawasan TNGHS juga
mengalami ancaman kelestarian dan tantangan pengelolaan yang perlu
mendapatkan perhatian. Untuk merumuskan strategi kebijakan aksi restorasi yang
berkelanjutan, penelitian ini melihat pemetaan kelembagaan melalui identifikasi
aktor-aktor, memetakan kepentingan dan pengaruh institusi/aktor serta peraturan
perundangan terkait restorasi. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian yang ingin
dijawab dalam penelitian ini adalah:
a. Siapa saja aktor dalam aksi restorasi di koridor TNGHS?
b. Bagaimana kepentingan dan pengaruh aktor dalam aksi restorasi di koridor
TNGHS?
c. Apa saja peraturan perundangan yang mendukung dan yang menghambat aksi
restorasi di koridor TNGHS?

4
Tujuan Penelitian
1.
2.

Tujuan penelitian ini adalah:
Mengidentifikasi dan memetakan aktor-aktor dalam aksi restorasi di kawasan
TNGHS, wilayah Kabupaten Sukabumi.
Menyusun opsi-opsi kebijakan dalam aksi restorasi di kawasan TNGHS,
wilayah Kabupaten Sukabumi.

Manfaat Penelitian
1.
2.

Penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan:
Input bagi pengelola taman nasional dalam menyusun kebijakan dan rencana
aksi restorasi yang berkelanjutan.
Rekomendasi untuk mobilisasi para pihak dalam restorasi ekosistem di dalam
kawasan taman nasional.

Kerangka Pikir Penelitian
Pengelola Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak memerlukan
dukungan dan kerjasama dari semua pihak untuk dapat menanggulangi ancaman
terhadap kawasan, deforestasi dan degradasi hutan. Keterbatasan sumber daya yang
dimiliki oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak menuntut untuk dapat
melakukan upaya-upaya kolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya. Upaya
pemulihan ekosistem secara berkelanjutan sebagai bagian dari upaya
mempertahankan gejala dan ekosistem alami diperlukan untuk memperbaiki
kerusakan struktur dan fungsi dari ekosistem alami TNGHS dan keanekaragaman
hayati di dalamnya agar tetap berada pada keadaan seimbang dan dinamis secara
alami.
Kunci keberhasilan jangka panjang aksi restorasi di kawasan TNGHS dapat
dilihat dari strategi kebijakan yang mampu mendorong pihak lain yang memiliki
kapasitas dan/atau kepentingan di kawasan TNGHS melakukan inisiatif aksi
restorasi baik karena mandat yang diikat regulasi atau secara sukarela. Hal tersebut
merupakan bagian dari strategi mobilisasi sumber daya untuk mencapai tujuan
pengelolaan. Untuk dapat merumuskan strategi tersebut diperlukan pemetaan
pemangku kepentingan (stakeholder) atau aktor untuk mengetahui potensi,
kapasitas dan hubungan antara para pihak serta tinjauan kebijakan yang menjadi
dasar implementasi restorasi di taman nasional. Pemetaan pemangku kepentingan
(stakeholder) dapat ditentukan dengan mengetahui kepentingan dan pengaruh
stakeholder yang terkait dengan aksi restorasi di Koridor Halimun Salak kemudian
dianalisis untuk dapat memetakan pemangku kepentingan dalam matriks
kepentingan dan pengaruh. Matriks tersebut dapat menggambarkan perbedaan
kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap jangka panjang restorasi kawasan
Koridor Halimun-Salak. Tinjauan kebijakan terkait restorasi ditelusuri dari
kebijakan dan regulasi tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Kebijakan dan
regulasi tersebut dianalisis isinya yang terkait dengan upaya pemulihan ekosistem
dan restorasi baik secara ekspilisit terkait restorasi atau restorasi menjadi salah satu
bagian dalam upaya pemulihan ekosistem.

5
Pemetaan aktor restorasi ekosistem kawasan TNGHS pada dasarnya
merupakan upaya untuk memahami distribusi dan relasi kekuatan (power relation)
berbagai aktor dalam konteks restorasi ekosistem di kawasan TNGHS. Untuk
memahami hal tersebut konsep restorasi yang dapat menjadi solusi pemulihan
ekosistem untuk mengembalikan kepada kondisi semula dengan memperhatikan
aspek ekologi, sosial ekonomi dan kebijakan-kebijakan baik pusat maupun daerah
yang menjadi dasar pelaksanaan dan menghambat aksi restorasi serta stakeholders
yang memiliki kepentingan dan pengaruh menjadi fokus pemetaan untuk dapat
merumuskan opsi kebijakan dalam restorasi ekosistem di TNGHS. Adapun alur
kerangka pemikiran tersaji dalam Gambar 1.
Opsi-Opsi Kebijakan
dalam Restorasi
Ekosistem di TNGHS

Pemetaan Aktor

Kebijakan

Stakeholder

Analisis Kebijakan

Analisis Stakeholder

Kebijakan Pusat

Kebijakan Daerah

Kepentingan

Pengaruh

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

2 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Koridor Halimun-Salak Taman Nasional Gunung
Halimun Salak, lembaga pemerintahan (Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi, BUMN/Swasta dan LSM serta lembaga
pendidikan yang memiliki aktivitas mendukung restorasi di kawasan TNGHS.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2013 dan Mei 2015.
Lokasi Koridor Halimun-Salak dapat dilihat pada Gambar 2.

6

Gambar 2 Lokasi penelitian

Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi identitas, kepentingan yang dapat dilihat berdasarkan program dan
kegiatan stakeholders dalam aksi restorasi, kesediaan dukungan terhadap aksi
restorasi. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain: kondisi fisik Koridor
Halimun-Salak, dokumen kebijakan (termasuk peraturan perundang-undangan),
dokumen resmi TNGHS, laporan dan hasil penelitian dari berbagai pihak serta data
lembaga yang terlibat dengan aksi restorasi di kawasan TNGHS.
Data tersebut akan digunakan dalam pemetaan dan analisis kebijakan untuk
menggambarkan tingkat kepentingan dan pengaruh aktor dalam aksi restorasi di
TNGHS dan menggambarkan hubungan antar aktor serta melihat alternatifalternatif kebijakan yang dapat digunakan dalam mewujudkan restorasi ekosistem
yang berkelanjutan.

Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data primer terbagi menjadi wawancara, pengamatan
langsung dan studi pustaka.
1. Wawancara
Wawancara dilakukan kepada responden yang dipilih secara sengaja
(purposive sampling) dengan pertimbangan laporan BTNGHS mengenai
lembaga-lembaga yang melakukan kegiatan rehabilitasi atau restorasi.

7
2. Pengamatan Langsung
Pengamatan langsung dilakukan dengan mengamati fenomena lapang untuk
mengecek silang data literatur dan wawancara. Pengamatan dilakukan dengan
memperhatikan dan mempelajari fenomena yang terjadi di keseharian dengan
mengandalkan penilaian peneliti untuk mengevaluasi secara sederhana
kebenaran dari data yang diperoleh melalui wawancara maupun studi pustaka.
3. Studi pustaka
Studi pustaka dilakukan terhadap penelitian terdahulu, dokumen pengelolaan
dan pustaka lain yang terkait dengan bahasan. Studi pustaka tidak hanya
dilakukan di BTNGHS tetapi juga terhadap publikasi ilmiah terkait dan
berbagai bentuk informasi yang dapat ditemukan.
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka dan data lain
yang dapat menunjang penelitian. Data sekunder dalam hal ini dimaksudkan untuk
membantu dalam memahami konteks yang akan dikaji, memperjelas konteks kajian
dan membantu dalam memformulasikan alternatif kebijakan aksi restorasi. Adapun
jenis data dan metode pengumpulannya berdasarkan tujuan penelitian disajikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data penelitian
No.
1

Jenis Data
Identitas aktor
Analisis
kepentingan
Analisis
pengaruh

2

Kesediaan aktor
memberikan
dukungan
Peraturan
perundangundangan yang
berkenaan
dengan restorasi
di kawasan
TNGHS

Teknik
Pengumpulan
Data

Variabel

Sumber Data

Nama aktor;
Cakupan wilayah kerja
Kebutuhan aktor terhadap
TNGHS;
Program pemanfaatan fungsi
ekosistem dan jasa lingkungan
Visi misi, tupoksi, program;
Program aktor yang berhubungan
dengan aksi restorasi;
Program yang mendorong aktor
lain untuk melaksanakan
restorasi;
Program pendidikan konservasi
dan kesadaran bencana alam;
Program pengendalian jumlah
penduduk;
Program sarana dan prasarana
infrastruktur kawasan;
Program bantuan terhadap aktor
lain yang melaksanakan aksi
restorasi
 Pengelolaan taman nasional
 Restorasi secara umum dan di
kawasan konservasi/TN
 Peran pihak lain dalam
pengelolaan taman nasional
 Kepemilikan lahan di kawasan
hutan/konservasi

BTNGHS,
responden lain
yang pernah
dan
melakukan
aksi restorasi
di TNGHS

Studi pustaka,
wawancara
dengan
kuesioner dan
observasi
lapang

BTNGHS dan
responden lain
yang pernah
dan
melakukan
aksi restorasi
di TNGHS;
Regulasi
mengenai TN
dan restorasi

Studi pustaka
dan hasil
pengolahan
data

8
Wawancara dilakukan untuk memperoleh data program-program yang dapat
mendukung aksi restorasi, potensi sumber pendanaan terhadap aksi restorasi dan
pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan protokol pemetaan kelembagaan serta
kesediaan untuk memberikan dukungan terhadap aksi restorasi di TNGHS.

Analisis Data
Analisis deskriptif kualitatif dilakukan baik terhadap data primer maupun
sekunder. Pada tahap awal, analisis data kualitatif terhadap data sekunder lebih
difokuskan dalam penetapan daftar lembaga yang potensial sebagai aktor restorasi
ekosistem lalu menjadi target survei. Analisis kualitatif terhadap data primer hasil
wawancara dengan responden diarahkan untuk dapat menentukan aktor kunci (key
players) restorasi ekosistem KHS. Analisis diawali dengan pencermatan terhadap
lanskap institusi pada berbagai tingkat tata kelola.
Analisis stakeholders dilakukan untuk mengetahui kepentingan, pengaruh
dan klasifikasi stakeholders dalam restorasi ekosistem kawasan TNGHS, lalu
dikategorikan dengan bentuk penyajian matriks pengaruh dan kepentingan disusun
untuk mengklasifikasikan stakeholders ke dalam key players, context setters,
subjects, dan crowd (Bryson (2004); Reed et al. (2009). Key player merupakan
stakeholders yang aktif karena mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi.
Context setters memiliki pengaruh yang tinggi tetapi kepentingan terhadap
keberhasilan program kecil. Oleh karena itu, Context setter dapat menjadi resiko
yang signifikan sehingga harus dipantau. Subjects memiliki kepentingan yang
tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan walaupun mendukung kegiatan, kapasitasnya
terhadap dampak mungkin tidak ada. Namun, Subjects dapat menjadi berpengaruh
jika membentuk aliansi dengan stakeholders lainnya. Crowd merupakan
stakeholders yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang
diinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam
pengambilan keputusan.
Analisis stakeholders dimulai dengan identifikasi stakeholders, penilaian
atribut stakeholders, dan menyusun analisis. Setelah stakeholders teridentifikasi,
maka langkah selanjutnya yaitu mengkaji kepentingan (interest) dan pengaruh
(influence). Langkah selanjutnya yaitu mengelompokkan dan membedakan antar
stakeholders berdasarkan posisinya terkait kepentingan dan pengaruhnya dalam
restorasi ekosistem TNGHS. Pada analisis ini digunakan tiga klasifikasi untuk
menentukan tingkat kepentingan pemangku kepentingan terhadap aksi restorasi,
yaitu (1) Tidak memiliki program aksi restorasi; (2) Memiliki program namun
belum berjalan; (3) Memiliki program dan berjalan.
Analisis isi (content analysis) dilakukan terhadap aturan formal yang berlaku
mulai dari peraturan perundang-undangan hingga prosedur administrasi. Hal ini
dilakukan untuk menjadi tinjauan kebijakan aksi restorasi di TNGHS. Analisis isi
digunakan untuk secara sistematis menelusuri dan mengidentifikasi informasi dari
suatu teks, artikel ataupun literaratur yang mampu menjawab pertanyaan penelitian
(Ekayani 2015). Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan mengkaji semua
dokumen dan data yang ada, lalu mengutip dokumen dan data yang paling sesuai
dengan pertanyaan penelitian (include-exclude data). Kemudian, dokumen dan data
yang ada dikategorikan sesuai dengan pertanyaan penelitaan yang ada.

9

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinjauan Kebijakan dan Regulasi Restorasi Ekosistem
Kebijakan dan Regulasi Nasional
Konsep implementasi restorasi ekosistem di Indonesia masih tergolong baru
dalam upaya pemulihan kondisi ekosistem yang rusak. konsep restorasi cenderung
disamakan dengan konsep rehabilitasi hutan. Padahal, konsep restorasi ekosistem
berbeda dengan konsep rehabilitasi hutan yang tujuannya hanya memperbaiki
fungsi dan produktivitas hutan tanpa harus membandingkan dengan kondisi semula
(asli) ketika hutan belum mengalami kerusakan (Wali 1992 dalam Gunawan 2012).
Restorasi ekologi hutan bertujuan untuk memulihkan struktur, komposisi, fungsi,
dan produktivitas hutan seperti keadaan sebelum hutan mengalami kerusakan
(ITTO 2002; Lamb 2003). Tujuan dalam rehabilitasi hutan hampir mendekati
tujuan yang diharapkan pada restorasi ekosistem dalam hal kepentingan pemulihan
kondisi ekosistem, namun dalam kegiatan restorasi ekosistem tidak dapat
mengembalikan keseluruhan jenis yang dahulu pernah berada di hutan sebelum
deforestasi terjadi.
Kebijakan restorasi ekosistem secara khusus muncul pada Keputusan Menteri
Kehutanan (Kepmen) No. 159 Tahun 2004 tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan
Hutan Produksi. Regulasi tersebut menyampaikan bahwa latar belakang kebijakan
restorasi ekosistem di hutan produksi adalah: a) degradasi sumber daya hutan
cenderung terus meningkat sehingga perlu upaya pemulihan melalui rehabilitasi
dan konservasi serta pemanfaatan berkelanjutan; b) upaya pemulihan tersebut
dilaksanakan dalam bentuk restorasi ekosistem di kawasan hutan produksi.
Kegiatan restorasi ekosistem di Hutan Produksi bertujuan untuk kembali mencapai
keseimbangan hayati melalui pemulihan unsur biotik serta unsur abiotik pada
kawasan hutan produksi. Pasal 1 pada peraturan tersebut mendefinisikan
keseimbangan hayati merupakan proses interaksi antara unsur biotik maupun
abiotik yang dapat menunjang kehidupan. Oleh karena itu melalui pemulihan
ekosistem hutan produksi diharapkan kondisi ekologi hutan dapat kembali ke
potensi optimalnya. Peraturan di tingkat Kementerian Kehutanan tersebut
ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun
2007 juncto PP Nomor 3 Tahun 2008 yang memuat UPHHK-RE sebagai tipe
pengelolaan hutan produksi yang baru bersama dengan Hutan Alam Produksi dan
Hutan Tanaman. Hierarki peraturan yang lebih tinggi dari PP mengenai Restorasi
ada pada Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 32/2009 mendefinisikan Restorasi sebagai
upaya pemulihan untuk menjadikan lingkungan hidup atau bagian-bagiannya
berfungsi kembali sebagaimana semula. Kemudian, pasal 54 menjelaskan bahwa
restorasi menjadi salah satu tahapan dalam pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara
khusus mengatur mengenai restorasi ekosistem di kawasan hutan konservasi. Hal
tersebut menyebabkan implementasi restorasi ekosistem di kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan kawasan konservasi lainnya di
Indonesia selama ini masih mengacu pada peraturan mengenai rehabilitasi hutan
yang bersifat umum. Terminologi restorasi di kawasan taman nasional maupun

10
hutan konservasi baru muncul secara eksplisit dalam Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2011 tentang pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan
Pelestarian Alam (KPA), akan tetapi belum diikuti oleh peraturan pelaksanaan yang
lebih teknis. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 pasal 25 disebutkan
pengawetan merupakan salah satu bentuk dalam penyelenggaraan KSA dan KPA
termasuk kegiatan pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa beserta habitatnya,
penetapan koridor kehidupan liar, pemulihan ekosistem dan penutupan kawasan.
Pemulihan ekosistem pada pasal 25 huruf c, dilakukan untuk memulihkan struktur,
fungsi, dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya guna
memperkuat sistem pengelolaan kawasan yang dilindungi. Pasal 29 mengatur lebih
lanjut mengenai pemulihan ekosistem dilakukan dengan cara, antara lain:
a. Mekanisme alam dilakukan dengan menjaga dan melindungi ekosistem agar
proses pemulihan ekosistem dapat berlangsung secara alami (Pasal 29 ayat 3);
b. Rehabilitasi dilakukan melalui penanaman atau pengkayaan jenis dengan jenis
tanaman asli atau pernah tumbuh secara alami di lokasi tersebut (Pasal 29 ayat
4; dan
c. Restorasi dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan, penanaman,
pengkayaan jenis tumbuhan dan satwa liar, atau pelepasliaran satwa liar hasil
penangkaran atau relokasi satwa liar dari lokasi lain (pasal 29 ayat 5).
Penjelasan Pasal 29, pemulihan ekosistem dilakukan setelah melalui suatu
pengkajian dan studi mendalam bersama kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan
instansi terkait lainnya, serta dalam pelaksanaannya harus menggunakan komponen
spesies asli setempat yang diarahkan untuk mampu mengembalikan struktur,
fungsi, dinamika populasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya guna
memperkuat sistem pengelolaan kawasan yang dilindungi. Kemudian, pada Pasal
30 diatur bahwa rehabilitasi dan restorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
dapat dilakukan oleh badan usaha; dimana badan usaha harus memperoleh izin dari
Menteri. Kegiatan pemulihan ekosistem berupa restorasi oleh badan usaha
dilakukan untuk tujuan percepatan tercapainya keseimbangan alam hayati dan
ekosistemnya (penjelasan Pasal 30). Terkait dengan pendanaan kegiatan pemulihan
ekosistem, PP No. 28/2011 pasal 48 menyebutkan bahwa pendanaan pengelolaan
KSA dan KPA bersumber dari dana APBN dan APBD dan sumber dana lainnya
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Dasar hukum lain yang sampai saat ini dijadikan sebagai acuan atau landasan
penyelenggaraan restorasi di taman nasional adalah Peraturan Pemerintah Nomor
76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. Peraturan tersebut
menempatkan kegiatan rehabilitasi sebagai bagian dari pengelolaan hutan. Prinsip
yang dipegang dalam penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan meliputi
sistem penganggaran yang berkesinambungan, kejelasan kewenangan, pemahaman
sistem tenurial, andil biaya (cost sharing), penerapan sistem insentif, pemberdayaan
masyarakat dan kapasitas kelembagaan, pendekatan partisipatif, serta transparansi
dan akuntabilitas. Adapun pendekatan yang digunakan meliputi aspek politik,
sosial, ekonomi, ekosistem, dan kelembagaan dan organisasi. Sementara kriteria
dan standar dalam penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan meliputi aspek
kawasan, kelembagaan, dan teknologi.
Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2008 juga mengatur mengenai insentif
bagi kegiatan rehabilitasi yang berhasil baik berupa kemudahan pelayanan maupun

11
penghargaan. Peraturan teknis yang menjelaskan mekanisme insentif terdapat pada
Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 9 tahun 2013 tentang Tata Cara
Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung dan Pemberian Insentif Kegiatan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (RHL). Dalam Peraturan Menteri tersebut Penanaman RHL di
hutan konservasi dilakukan dalam bentuk kegiatan Reboisasi yang dimaksudkan
untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi sumber daya hutan
dan lahan baik fungsi produksi, fungsi lindung maupun fungsi konservasi. Selain
itu terdapat kegiatan pendukung RHL untuk meningkatkan peluang keberhasilan
melalui: a. Pengembangan perbenihan; b. Pengembangan teknologi RHL; c.
Pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan; d. Penyuluhan; e.
pelatihan; f. Pemberdayaan masyarakat; g. Pembinaan; dan/atau h. Pengawasan.
Teknis pelaksanaan RHL diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
(Perdirjen) Bina Pengelolaan Daerah Airan Sungai dan Perhutanan Sosial
(BPDASPS) No. P.1/V-Set/2013 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kegiatan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Pada Bab IV lampiran Perdirjen BPDASPS No. 1
tahun 2013 ini memuat teknis reboisasi secara umum bertujuan mengembalikan
fungsi hutan baik sebagai fungsi perlindungan, konservasi sumber daya alam
maupun fungsi produksi. Lokasi kegiatan rehabilitasi hutan dilaksanakan pada
hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak atau tidak dalam proses
perijinan/pencadangan areal untuk Hutan Tanaman Industri (HTI)/Hutan Tanaman
Rakyat (HTR), serta hutan konservasi. Rehabilitasi kawasan hutan konservasi
maupun hutan lindung dilakukan dengan menanam berbagai jenis. Hal ini
dimaksudkan agar fungsi konservasi ataupun lindung dapat tercapai secara optimal.
Rehabilitasi pada hutan konservasi bertujuan mempertahankan dan
meningkatkan keanekaragaman dan kelestarian flora dan fauna serta pembinaan
habitat. Sasaran lokasinya diutamakan pada lahan kritis dan atau sasaran RHL yang
ditetapkan pada rencana pengelolaan RHL. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL
dapat mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi setempat.
Kriteria jenis tanaman yang dipilih untuk rehabilitasi hutan konservasi antara lain:
1. Berdaur panjang;
2. Perakaran dalam;
3. Evapotranspirasi rendah;
4. Anakan/biji/stek berasal dari jenis endemik baik kayu-kayuan maupun jenis
tanaman serbaguna (multi purpose tree species/MPTS), atau dari lokasi lain
dengan jenis yang sama.
Saat ini, kebijakan yang biasa digunakan dalam upaya pemulihan
(rehabilitasi) hutan di Indonesia adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (GNRHL/Gerhan). Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
Lahan ini merupakan program nasional yang dikelola secara terpusat. Program
GNRHL/Gerhan dicanangkan oleh Departemen Kehutanan pada tahun 2003 untuk
menanggapi perlunya rehabilitasi karena wilayah hutan yang terdegradasi
bertambah luas. Program Gerhan dianggap sebagai kegiatan strategis nasional
untuk memulihkan dan memperbaiki fungsi hutan dan lahan dengan tujuan supaya
secara perlahan-lahan daya dukung hutan, produktivitas serta fungsinya dapat
dipelihara untuk menyediakan manfaat bagi manusia.
Kegiatan rehabilitasi melalui GNRHL/Gerhan dilaksanakan di semua
kategori kawasan yang terdegradasi, namun lebih terkonsentrasi di luar kawasan
hutan. GNRHL/Gerhan juga melibatkan berbagai lembaga dan pemangku

12
kepentingan dari tingkat kabupaten hingga tingkat pusat. Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Perhutanan Sosial (sekarang Direktorat Jenderal
Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial/BPDASPS) yang
dibantu oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) di daerah bertanggung jawab atas
perencanaan dan pengembangan teknis. UPT merupakan unit teknis terkecil yang
bertugas melaksanakan pengelolaan proyek di lapangan. Balai Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (BPDAS), sebagai salah satu UPT di bawah Ditjen BPDASPS,
bertanggung jawab dalam pengadaan bibit di lapangan. BPDAS merupakan instansi
pelaksana utama program rehabilitasi hutan dan lahan di lapangan karena Daerah
Aliran Sungai (DAS) ditetapkan sebagai unit perencanaan, pengelolaan dan
pengawasan.
Kebijakan dan Regulasi Tingkat Provinsi
Pada level sub-nasional atau tingkat Provinsi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat
telah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun
2013 tentang Pedoman Pelestarian dan Pengendalian Pemanfaatan Kawasan
Lindung termasuk kawasan yang berfungsi lindung di dalam kawasan hutan. Salah
satunya adalah hutan konservasi. Peraturan daerah No. 1 tahun 2011 ini diantaranya
mengatur mengenai pemulihan kawasan lindung serta peran dunia usaha dan
masyarakat. Pasal 17 mengatur bahwa setiap pemanfaat kawasan lindung yang
menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan di kawasan lindung, wajib
melakukan pemulihan guna mengembalikan fungsi kawasan lindung, melalui:
a. Rehabilitasi, yaitu upaya pemulihan untuk mengembalikan nilai, fungsi, dan
manfaat kawasan lindung termasuk upaya pencegahan kerusakan lahan,
memberikan perlindungan, dan memperbaiki ekosistem;
b. Restorasi, yaitu upaya pemulihan untuk menjadikan kawasan lindung atau
bagian-bagiannya berfungsi kembali sebagaimana semula;
c. Remediasi, yaitu upaya pemulihan pencemaran kaw