Implikasi Modal Sosial Masyarakat Terhadap Pengelolaan Taman Nasional (Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak

(1)

YELIN ADALINA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi berjudul “Implikasi Modal Sosial Masyarakat Terhadap Pengelolaan Taman Nasional (Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak)” adalah merupakan karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Yelin Adalina E.161090104


(4)

(5)

RINGKASAN

YELIN ADALINA. Implikasi Modal Sosial Masyarakat Terhadap

Pengelolaan Taman Nasional (Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak). DODIK RIDHO NURROCHMAT sebagai Ketua Komisi Pembimbing, DUDUNG DARUSMAN dan LETI SUNDAWATI sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Keberadaan TNGHS tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Secara keseluruhan terdapat 108 desa yang sebagian/seluruhnya wilayahnya berada di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS dan 314 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS. Pada tahun 2006 jumlah rumah tangga (RT) miskin yang berada di dalam dan sekitar kawasan TNGHS berjumlah 68.113 RT. Dalam rangka mendukung program pengelolaan TNGHS diperlukan adanya aksi kolektif (collective action) yang positif dari masyarakat. Untuk membangun aksi kolektif diperlukan tingkat modal sosial yang cukup dari masyarakat. Namun keberhasilan pelestarian kawasan taman nasional selain tergantung pada kondisi modal sosial masyarakat juga tergantung pada keberhasilan dalam menangani masalah sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Oleh karena itu dalam mengelola sumber daya alam, penting untuk dipertimbangkan kondisi modal sosial masyarakat dan karakteristik sosial ekonomi masyarakat.

Tujuan penelitian ini adalah merumuskan strategi pengelolaan TNGHS dengan menelaah modal sosial komunitas masyarakat di sekitar kawasan TNGHS. Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) pada bulan Oktober 2012 sampai Oktober 2013. Pemilihan desa penelitian secara purposive, yakni desa yang berbatasan dengan kawasan TNGHS, yaitu sebanyak delapan desa penelitian. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan survei, observasi dan wawancara menggunakan kuesioner dengan responden terpilih. Pemilihan responden secara Random,yaitu sebanyak 297 responden dari populasi sebesar 2.223 KK. Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara langsung dari responden terpilih menggunakan kuesioner. Data primer yang dikumpulkan terdiri dari: (1) vegetasi dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK); (2) karakteristik individu; dan (3) unsur modal sosial masyarakat yang diadopsi dari konsep unsur modal sosial Uphoff (2000) dan Hasbullah (2006). Data sekunder diperoleh dari studi pustaka, Perum Perhutani, kantor kecamatan, kantor desa, dan Balai TNGHS. Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui hubungan-hubungan yang terjadi antara variabel-variabel melalui persamaan koefisien Peringkat Spearman (Supranto 2000). Pengambilan keputusan atas berbagai pilihan strategi di atas dilakukan dengan menggunakan analisis Quantitative Strategic Planing Method (QSPM). Strategi yang dipilih adalah strategi dengan nilai Total Attractiveness Score (TAS) yang paling tinggi (David 2009). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan tabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel dan atau gambar.

Berdasarkan hasil analisis vegetasi tiga jenis tanaman penghasil getah menunjukkan bahwa tanaman damar (Agathis dammara) dengan Indeks Nilai Penting (INP) 276,15% dan tingkat kerapatan 452 indvidu/ha, tanaman pinus


(6)

(Pinus merkusii) dengan INP 300,0% dan kerapatan jenis 552 pohon/ha serta tanaman karet (Hevea brasiliensis) dengan INP 217,42% dan kerapatan 85 pohon/ha. Pendapatan petani dari hasil sadapan getah pinus sebesar Rp 400.000,-sampai Rp 1.125.000,-/bulan, getah karet sebesar Rp 525.000 400.000,-sampai Rp 1.500.000 bulan/orang. Kontribusi pendapatan getah damar terhadap total pendapatan rumah tangga petani yang terlibat sebesar 1,28% sampai 4,41%, getah pinus sebesar 47,34% sampai 74,26% dan getah karet sebesar 22,32% sampai 100.00%. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan TNGHS termasuk dalam kategori masyarakat desa dengan tingkat pendapatan rendah, yaitu masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR), dengan tingkat pendidikan yang masih rendah. Mayoritas responden berusia produktif, dan merupakan penduduk asli setempat dengan kondisi kesehatan yang prima serta status sosial yang rendah. Tingkat modal sosial masyarakat di sekitar kawasan TNGHS dengan kategori sedang/kuat. Sebagian besar masyarakat memiliki modal sosial pada tingkat yang sedang/kuat, yaitu sebesar 78,11%, dan warga yang memiliki taraf modal sosial tinggi/sangat kuat sebesar 21,22%. Karakteristik individu yang berkorelasi dengan unsur-unsur pembentuk modal sosial adalah umur, pendidikan non formal, tingkat kesehatan dan luas lahan. Partisipasi masyarakat di sekitar kawasan dalam pengelolaan TNGHS sangat tinggi. Sebanyak 90,50% yang terlibat dan sebesar 88,48% melakukannya dengan sukarela. Berdasarkan hasil analisis SWOT, strategi pembangunan pengelolaan TNGHS yang terpilih untuk diimplementasikan adalah strategi yang bersifat kompetitif, yaitu strategi menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman (strategi ST). Strategi ST yang dapat di lakukan adalah:1) Melaksanakan sosialisasi intensif kepada pihak terkait tentang pengeloaan TNGHS; 2) Melaksanakan pengenalan potensi kawasan kepada masyarakat; 3) Melaksanakan sosialisai mengenai wilayah pengelolaan dan pemanfaatan lahan garapan masyarakat di kawasan TNGHS; 4) Mendorong pemanfaatan SDA secara lestari dengan pihak terkait, dan 5) Pengendalian pemanfaatan sumber daya hutan. Berdasarkan hasil analisis QSPM, strategi prioritas alternatif yang terpilih adalah sosialisasi mengenai wilayah pengelolaan dan pemanfaatan lahan garapan masyarakat di kawasan TNGHS dengan total skor ketertarikan (TAS) sebesar 6,784. Kesediaan masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan TNGHS dengan kategori tinggi dan latar belakang partisipasi sukarela. Tingkat modal sosial masyarakat berhubungan dengan tingkat partisipasi, tingkat degradasi hutan dan pendapatan. Dalam rangka pembangunan pengelolaan TNGHS perlu mempertimbangkan faktor sosial budaya masyarakat dalam bentuk modal sosial masyarakat. Pengembangan dan pemanfaatan flora di kawasan konservasi perlu dilakukan secara berkelanjutan dengan memilih komoditas flora unggulan melalui partisipasi masyarakat dalam menunjang ekonomi masyarakat sekitar hutan yang mampu mengakomodir kepentingan ekonomi dan ekologi secara seimbang.

Kata kunci: Masyarakat, modal sosial, pengelolaan, Taman Nasional Gunung Halimun Salak


(7)

SUMMARY

YELIN ADALINA. Implications of Social Capital Societies on National Park Management (Case Study Mount Halimun Salak National Park). Guided by DODIK RIDHO NURROCHMAT as Chairman, DUDUNG DARUSMAN and LETI SUNDAWATI as Member of the Advisory Committee.

The existence of Mount Halimun Salak National Park (MHSNP) cannot be separated from the society residing in and around the forest area. Overall there are 108 villages which part/whole area within and/or directly adjacent to the region of MHSNP and 314 villages located in the area of MHSNP. In 2006, the number of poor households (HH) in and around the region MHSNP amounted to 68,113 HH. In the success of the MHSNP management program, positive collective action is needed from the community. To build collective action, sufficient level of social capital of the community is necessary. But the success of the national park preservation depends on the condition of society social capital also depends on the success in addressing society social economic problems around the forest. Therefore, it is important to look at the social capital and socio-economic characteristics of the community in managing natural resources.

The purpose of this study is to formulate the concept of MHSNP management strategies by examining the communities’ social capital in and around the area of MHSNP. Study was conducted in Mount Halimun Salak National Park (MHSNP) in October 2012 to October 2013. Selection of study villages was done purposively, villages that adjacent to MHSNP region, as many as 8 study villages. This research is using quantitative and qualitative approaches. The approaches that were used are survey, observation and interviews with selected respondents using questionnaires. Random selection of respondents, as many as 297 respondents from 2,223 households population. Primary data were collected through observation and direct interviews of selected respondents using questionnaires. Collected primary data consisted of: (1) vegetation and collection of non-timber forest products (NTFPs); (2) the characteristics of the individual; and (3) elements of societies social capital that were adopted from the concept of social capital of Uphoof (2000) and Hasbullah (2006). Secondary data were obtained from literature, Perum Perhutani, district office, village office, and MHSNP Office. Quantitative analysis was conducted to determine the relationships that occur between the variables through the Spearman's Rank correlation coefficient (Supranto 2000). Decision-making on wide selection of the above strategies was done by using the Quantitative Strategic Planning Method (QSPM) analysis. Chosen strategy was the strategy with the highest Total Attractiveness Score (TAS) value (David 2009). Data were analyzed descriptively through tabulation and presented in tables and images.

Based on the vegetation analysis, three types of sap-producing plants shows that the damar plant (Agathis dammara) with Importance Value Index (IVI) of 276.15% and density of 452 individual/ha, pine plant (Pinus merkussi) with IVI of 300.0% and density of 552 individual/ha and rubber tree (Hevea brasiliensis) with IVI of 217.42% and density of 85 individual/ha. Income of farmers from the pine sap results leads Rp 400,000,- to Rp 1,125,000,- month/person, rubber Rp 525,000 to Rp 1,500,000 month/person. Gum resin revenue contribution to total household of farmers income involved by 1.28% to 4.41%, pine resin by


(8)

47.34% to 74.26% and rubber latex 22.32% to 100.00%. Socio-economic conditions of the people in the surrounding MHSNP area are included in the category of rural communities with low income levels, which is still below the regional minimum wage (UMR), with low levels of education. The majority of respondents are in productive age, and a native population with good health and low social status. The level of social capital in the communities around the area MHSNP in moderate/strong category. Most communities have social capital at the level of moderate/strong (78.11%), and residents who have a high level of social capital very strong at 21.22%. Individual characteristics correlated with the constituent elements of social capital are aged, non-formal education, health and land area. Community participation in the management of the area around MHSNP is very high. Involved as much as 90.50% and 88.48% do voluntarily. Based on SWOT analysis, chosen MHSNP management development strategy to be implemented is a strategy that is competitive, strategy using the strength to address the threat (ST strategy). ST strategies that can be done is: 1) Implementing intensive socialization to related parties about the management of MHSNP; 2) Implementing introduction about the potency of the area to the public; 3) Implementing socialization about the management area and utilization of the community’s arable land in the region of MHSNP; 4) Promoting sustainable utilization of natural resources with related parties, and 5) Control over forest resources utilization. The results of the chosen alternative priority strategy from QSPM analysis is socialization of public management area in MHSNP with an interest total score (TAS) of 6.784. Society’s willingness to participate on MHSNP management is at high category and voluntary participation. Level of society’s social capital related to participation rate, forest degradation rate, and income. In order of MHSNP management development, it is needed to consider the society cultural social factors in the form of society’s social capital. Development and utilization of the flora in the conservation area needs to be done in a sustainable manner by selecting the excellent flora commodities through public participation in an effort to increase the economic income of forest-dependent people who are able to accommodate the interests of economic and ecological balance.

Keywords: Community, management, Mount Halimun Salak National Park , social capital


(9)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

IMPLIKASI MODAL SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP

PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL

(Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak)

YELIN ADALINA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian

Tertutup :

1. Dr. Ir. Yulius Hero, M.Sc

2. Prof. Ris. Dr. Ir. M. Bismark, MS, APU

Terbuka :

1. Dr. Ir. Nandi Kosmaryandi, M.Sc.F.Trop 2. Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc


(13)

Judul Disertasi : Implikasi Modal Sosial Masyarakat Terhadap Pengelolaan Taman Nasional (Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak)

Nama : Yelin Adalina

NRP : E. 161090104

Program Studi : Ilmu Pengelolaan Hutan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc F.Trop Ketua

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Anggota

Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc F.Trop Anggota

Diketahui oleh Departemen Manajemen Hutan

Fakultas Kehutanan IPB Ketua

Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc. F.Trop

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(14)

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas segala karunia-Nya, karena dengan kehendak izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi dengan judul “IMPLIKASI MODAL

SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP PENGELOLAAN TAMAN

NASIONAL: Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak”. Disertasi ini merupakan salah syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Program studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada komisi pembimbing: Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F.Trop sebagai anggota komisi pembimbing. Atas bimbingannya sejak pembentukan ide, perumusan masalah, membangun pola berpikir, mengarahkan dalam menentukan metode analisis hingga proses analisis dan sintesis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS selaku ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Institut Pertanian Bogor. Penulis merasakan bahwa disertasi ini menjadi lebih sempurna ketika Bapak Dr. Ir. Yulius Hero, M.Sc dan Bapak Prof. Ris. Dr. Ir. Bismark, MS memberikan masukan dan saran pada saat ujian tertutup serta Bapak Dr. Ir. Nandi Kosmaryandi, M.Sc. F.Trop dan Bapak Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc. memberikan masukan, kritik dan saran pada saat ujian terbuka. Oleh karenanya penulis sampaikan terima kasih atas kesediaan beliau membagi ilmu dan pengetahuan kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih atas pengayaan ide yang sangat berarti pada saat penulis berdiskusi dengan Ibu Ir. Nia Ramdhaniaty selaku direktur RMI, Bapak Dr.Yatta selaku Direktur JEEF, Ibu Ir. Reni Sawitri M.Sc, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.Sc

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Tri Siswo Rahardjo, M.Si selaku Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak berserta staf yang memfasilitasi dan memberikan ijin penelitian, Bapak Edi Purwanto Ph.D selaku Direktur Tropenbos beserta staf yang telah banyak membantu selama penulis melaksanakan penelitian. Penulis ucapkan terima kasih kepada masyarakat Desa Cipeuteuy, Desa Pangradin, Desa Lebak Gedong, Desa Mekarnangka, Desa Sirnaresmi, Desa Tamansari, Desa Tapos, dan Desa Malasari yang telah menerima penulis dalam melaksanakan penelitian.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Tachril Fathoni, M.Sc selaku Kepala Badan Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan tahun 2009 dan Bapak Dr. Ir. Iman Santosa, M.Sc selaku Kepala Badan Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan tahun 2013 yang telah memberi kesempatan penulis untuk mengikuti pendidikan program doktor di Institut Pertanian Bogor, Bapak Ir. Adi Susmianto, M.Sc selaku Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi yang telah memberi ijin dan memberikan biaya penelitian, Bapak Dr. Ir. I.B. Putera Parthama, M.Sc selaku Sekretaris Badan Litbang Kehutanan tahun 2009 dan Bapak Prof. Dr. Ir. Ombo Satjapradja, M.Sc selaku Kepala Lembaga penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Nusa Bangsa yang telah merekomondasikan dan membantu penulis pada proses penerimaan dalam mengikuti pendidikan pada program doktor di IPB.


(16)

Ungkapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, kakak, adik serta seluruh keluarga, atas segala doa, dorongan dan kasih sayangnya. Secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepada suami tercinta Drs. Pudji Mardjuki, M.Si dan anak-anakku tersayang Intannia Ekanasty, Meilina Pudjiani dan Rezadha Achmadani yang selalu memberikan doa serta dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan studi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih pada rekan-rekan S3 dan S2 Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH) angkatan 2009, 2010 dan 2011, teman-teman di Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi serta rekan dan handai taulan semua yang telah memberikan bantuan, dukungan, semangat dan doa dalam menyelesaikan program studi ini, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan rekan semua, Amien.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, masukan dan saran dari pihak-pihak yang berhubungan dengan tema disertasi ini sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat dalam pengelolaan taman nasional. Amin Yaa Robbal Alamin.

Bogor, September 2014


(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI xvii

DAFTAR TABEL xxi

DAFTAR GAMBAR xxiv

DAFTAR LAMPIRAN xxv

1. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 4

1.3. Tujuan Penelitian 5

1.4. Manfaat Penelitian 6

1.5. Batasan Penelitian 6

1.6. Kebaruan(Novelty) 7

1.7. Kerangka Pemikiran 7

2. TINJAUAN PUSTAKA 10

2.1. Modal Sosial 10

2.1.1. Konsep Modal Sosial 10

2.1.2. Dimensi dan Tipologi Modal Sosial 11

2.1.3. Unsur-Unsur Modal Sosial 12

2.1.4. Pengukuran Modal Sosial 16

2.2. Kelembagaan 17

2.3. Taman Nasional 19

2.4. Analisis SWOT dan QSPM 20

3. METODOLOGI PENELITIAN 22

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 22

3.2. Pendekatan Penelitian dan Metode Pengumpulan Data 23

3.3. Jenis Data dan Instrumen Penelitian 24

3.4. Metode Penentuan Responden 26

3.5. Variabel Pengamatan 28

3.5.1. Kajian Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat 28

3.5.2. Kajian Karakteristik Individu 28

3.5.3. Kajian Modal Sosial Masyarakat 28

3.5.4. Kajian Vegetasi dan Pemungutan HHBK 31


(18)

3.6. Metode Pengolahan dan Analisis Data 33

3.6.1. Analisis Deskriptif Kualitatif 33

3.6.2. Analisis Kuantitatif 33

3.6.3. Analisis Strategi Dalam Pengelolaan TNGHS 34

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 37

4.1. Gambaran Umum Taman Nasional Gunung Halimun Salak 37

4.1.1. Sejarah Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak 37

4.1.2. Letak dan Luas TNGHS 38

4.1.3. Iklim, Topografi dan Jenis Tanah 38

4.1.4. Keragaman Ekosistem TNGHS 39

4.1.5. Manajemen Pengelolaan 39

4.2. Gambaran Umum Desa Penelitian 40

4.2.1. Interaksi Masyarakat dengan Kawasan TNGHS 40

4.2.2. Kondisi Biofisik 41

4.2.3. Penggunaan Lahan 41

4.2.4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 43

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 45

5.1. Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Komunitas Masyarakat

di Sekitar Kawasan TNGHS 45

5.2. Karakteristik Individu Masyarakat di Sekitar Kawasan TNGHS 48

5.2.1. Jenis Kelamin, Agama dan Etnis 49

5.2.2. Umur Responden 49

5.2.3. Jumlah Anggota Keluarga 50

5.2.4. Tingkat Pendidikan Formal 51

5.2.5. Tingkat Pendidikan Non Formal 52

5.2.6. Tingkat Kesehatan 53

5.2.7. Lama Tinggal 53

5.2.8. Status Sosial 54

5.2.9. Jenis Mata Pencaharian 55

5.2.10. Luas dan Penggunaan Lahan Garapan 56

5.2.11. Tingkat Pendapatan 61

5.3. Penilaian Karakteristik Individu 64

5.4. Unsur-Unsur Pembentuk Modal Sosial Masyarakat 68

5.4.1. Kepercayaan 68

5.4.2. Jaringan Sosial 74


(19)

5.4.4. Tindakan Proaktif 83 5.4.5. Kepedulian Terhadap Sesama dan Lingkungan 87 5.5. Tingkat Modal Sosial Masyarakat di Sekitar Kawasan TNGHS 94 5.6. Partisipasi Masyarakat di Sekitar Kawasan dalam Pembangunan

PengelolaanTNGHS 98

5.7. Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Unsur-Unsur

Pembentuk Modal Sosial Masyarakat 103

5.8. Hubungan Antara Modal Sosial dengan Unsur Pembentuk

Modal Sosial 107

5.9. Hubungan Modal Sosial dengan Partisipasi Masyarakat dalam

Pengelolaan TNGHS 108

5.10. Vegetasi dan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu Oleh Masyarakat Sekitar Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun

Salak 110

5.10.1. Vegetasi Tanaman Damar(Agathis dammara), Pinus (Pinus merkusii)dan Karet(Hevea brasiliensis)di

Kawasan TNGHS 111

5.10.2. Pemungutan HHBK di Kawasan Taman Nasional

Gunung Halimun Salak 116

5.11. Kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun

Salak 120

5.11.1. Perubahan Tutupan Lahan Desa Kajian 120

5.11.2. Sikap Masyarakat Terhadap Keberadaan dan

Pengelolaan TNGHS 127

5.11.3. Kinerja Pengamanan TNGHS 129

5.11.4. Kelembagaan Formal dan Non-Formal 130

5.11.5. Unsur-Unsur Kelembagaan 134

5.11.6. Prioritas Kebijakan Dalam Pengelolaan TNGHS 135 5.12. Strategi Pengelolaan Taman Nasiona Gunung Halimun 137

5.12.1. Identifikasi Faktor Internal 138

5.12.2. Identifikasi Faktor Eksternal 145

5.12.3. Tahapan Analisis Strategi Pembangunan Pengelolaan

TNGHS 148

5.13. Implikasi Modal Sosial Masyarakat Terhadap Pengelolaan

Taman Nasional dan Pendapatan Rumah Tangga 157

5.13.1. Hubungan Tingkat Modal Sosial Masyarakat Terhadap

Pengelolaan TNGHS 157

5.13.2. Hubungan Tingkat Modal Sosial Masyarakat Adat dan

Masyarakat Non Adat Terhadap Pengelolaan TNGHS 159 5.13.3. Hubungan Tingkat Modal Sosial Masyarakat Terhadap


(20)

5.13.4. Hubungan Tingkat Modal Sosial Masyarakat Terhadap Pendapatan Berdasarkan Pekerjaan

Sampingan 165

5.13.5. Hubungan Tingkat Modal Sosial Masyarakat

Terhadap Total Pendapatan 168

5.13.6. Implikasi Modal Sosial Masyarakat 169

5.14. Strategi Pengelolaan TNGHS Berdasarkan Tingkat Modal Sosial

Masyarakat 170

5.15. Implikasi Managerial Modal Sosial Terhadap Strategi

Pengelolaan TNGHS 177

6. SIMPULAN DAN SARAN 182

6.1. Simpulan 182

6.2. Saran 183

DAFTAR PUSTAKA 184

LAMPIRAN 195


(21)

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

1 Definisi modal sosial menurut beberapa penulis 11

2 Dimensi modal sosial dalam tipologibondingdanbridging 12

3 Tingkatan modal sosial 13

4 Lokasi desa penelitian 22

5 Jenis, sumber dan teknik pengumpulan data berdasarkan tujuan penelitian 25 6 Jumlah populasi dan responden berdasarkan kampung yang berbatasan

dengan TNGHS 27

7 Jumlah sampel responden danstakeholder 27

8 Variabel dan definisi operasional dan karakteristik individu (X) 29

9 Variabel dan definisi operasional dari modal sosial (Y) 30

10 Ringkasan sejarah pengelolaan kawasan TNGHS 37

11 Kondisi biofisik desa kajian 42

12 Luas wilayah menurut jenis penggunaan lahan (ha) 43

13 Jumlah penduduk desa penelitian 43

14 Jumlah penduduk desa kajian menurut mata pencaharian 44

15 Tingkat pendidikan masyarakat di sekitar kawasan TNGHS 44

16 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin, agama dan etnis 49

17 Sebaran responden berdasarkan umur di lokasi penelitian 50

18 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan formal 51

19 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan non formal 52

20 Sebaran responden berdasarkan tingkat kesehatan 53

21 Sebaran responden berdasarkan lama tinggal dalam komunitas 54

22 Sebaran responden berdasarkan status sosial 54

23 Sebaran responden berdasarkan luas lahan milik dan garapan di TNGHS 56

24 Sebaran responden berdasarkan luas lahan milik 57

25 Sebaran responden berdasarkan luas lahan garapan di kawasan TNGHS 58

26 Sebaran responden berdasarkan pekerjaan utama dan sampingan 61

27 Rata-rata pendapatan responden 62

28 Sebaran responden berdasarkan tingkat pemdapatan dari lahan garapan

TNGHS 63

29 Kontribusi pendapatan penggunaan lahan TNGHS terhadap total

pendapatan responden 63

30 Penilaian karakteristik Individu pada masing-masing desa penelitian 65 31 Sebaran karakteristik individu desa penelitian berdasarkan kategori 66 32 Penilaian karakteristik individu masyarakat di sekitar kawasan TNGHS 68

33 Sebaran responden berdasarkan penilaian karakteristik individu 68

34 Skor tingkat kepercayaan masyarakat di masing-masing desa penelitian 69 35 Persentase tingkat kepercayaan masyarakat di masing-masing desa


(22)

Tabel Hal

36 Tingkat kepercayaan masyarakat di seluruh desa kajian 72

37 Sebaran tingkat kepercayaan responden di masing-masing desa kajian

berdasarkan kategori 73

38 Sebaran tingkat kepercayaan masyarakat di seluruh desa kajian

berdasarkan kategori 74

39 Skor tingkat jaringan sosial di masing-masing desa penelitian 74

40 Tingkat jaringan sosial masyarakat seluruh desa kajian 76

41 Sebaran jaringan sosial masyarakat di masing-masing desa kajian

berdasarkan kategori 80

42 Sebaran jaringan sosial masyarakat di seluruh desa kajian berdasarkan

kategori 80

43 Tingkat norma masyarakat di masing-masing desa kajian berdasarkan

kategori 81

44 Tingkat norma sosial masyarakat di seluruh desa penelitian 82

45 Penilaian tingkat norma sosial masyarakat di masing-masing desa

kajian berdasarkan kategori 83

46

Penilaian tingkat norma sosial di seluruh desa kajian berdasarkan

kategori 83

47 Tingkat tindakan proaktif masyarakat di masing-masing desa

penelitian 84

48 Tingkat tindakan proaktif masyarakat di delapan desa penelitian 85

49 Penilaian tingkat tindakan yang proaktif masyarakat di

masing-masing desa kajian berdasarkan kategori 86

50 Penilaian tingkat tindakan proaktif masyarakat di seluruh desa kajian

berdasarkan kategori 87

51 Tingkat kepedulian masyarakat terhadap sesama di masing-masing

desa kajian 88

52 Bentuk kepedulian masyarakat terhadap sesama di seluruh desa kajian 89 53 Sebaran tingkat kepeduliaan masyarakat terhadap sesama

berdasarkan kategori di masing-masing desa kajain 90

54 Sebaran tingkat kepeduliaan masyarakat terhadap sesama berdasarkan

kategori di seluruh desa kajian 90

55 Bentuk kepedulian masyarakat terhadap lingkungan di masing-masing

desa kajian di seluruh desa kajian 91

56 Bentuk kepedulian masyarakat terhadap lingkungan di seluruh desa

kajian 92

57 Penilaian tingkat kepeduliann masyarakat terhadap lingkungan

berdasarkan kategori di masing-masing desa kajian 93

58 Penilaian tingkat kepeduliaan masyarakat terhadap lingkungan

berdasarkan kategori di seluruh desa kajian 93

59 Tingkat modal sosial masyarakat di masing-masing desa penelitian 95


(23)

Tabel Hal 61 Penilaian tingkat modal sosial masyarakat berdasarkan kategori di

seluruh desa kajian 96

62 Sebaran tingkat modal sosial masyarakat di masing-masing desa penelitian

berdasarkan kategori 97

63 Partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi lahan TNGHS 99

64 Bentuk partisipasi masyarakat dalam program rehabilitasi di kawasan

TNGHS 100

65 Tingkat partisipasi masyarakat dalam program pembangunan pengelolaan

TNGHS 100

66 Berbagai bentuk kesediaan masyarakat sekitar kawasan TNGHS

berpartisipasi dalam pembangunan TNGHS 102

67 Hubungan antara komponen karakteristik individu di seluruh desa kajian 104 68 Hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur pembentuk

modal sosial 105

69 Hubungan antara modal sosial dengan unsur-unsur pembentuk modal

sosial 108

70 Hubungan antara modal sosial dan karakteristik individu dengan

partisipasi masyarakat dalam pembangunan pengelolaan TNGHS 109

71 Indeks nilai penting jenis vegetasi pada hutan damar, pinus dan karet di

kawasan TNGHS 112

72 Jenis tumbuhan di bawah tegakanAgathis dammaraberdasarkan Indeks

Nilai Penting di kawasan TNGHS di Desa Cipeuteuy 113

73 Jenis tumbuhan di bawah tegakanPinus merkusiiberdasarkan Indeks

Nilai Penting di kawasan di Desa Tamansari 113

74 Jenis tumbuhan di bawah tegakanHevea brasiliensisberdasarkan Indeks

Nilai Penting di kawasan TNGHS di Desa Pangradin 114

75 Tinggi dan diameter pohonAgathis dammara,Pinus merkusiidanHevea

brasiliensisdi kawasan TNGHS 115

76 Produksi dan pendapatan petani dari hasil sadapan getah tanaman damar,

pinus dan karet di kawasan TNGHS 119

77 Perubahan tutupan lahan di delapan desa penelitian 121

78 Perubahan luas tutupan lahan di delapan desa penelitian 122

79 Perubahan tutupan lahan delapan desa kajian tahun 2000 – 2005 dan

tahun 2005 – 2010 123

80 Sikap responden terhadap pengelolaan TNGHS 127

81 Rata-rata skor sikap responden pada masing-masing desa penelitian 128

82 Faktor-faktor unsur kekuatan dan nilai pengaruhnya 139

83 Faktor-faktor unsur kelemahan dan nilai pengaruhnya 143

84 Faktor-faktor unsur peluang dan nilai pengaruhnya 145

85 Faktor-faktor unsur ancaman dan nilai pengaruhnya 147


(24)

Tabel Hal 87 Rekapitulasi matriks pengambilan keputusan penguatan modal sosial pada

pengelolaan TNGHS 154

88 Hubungan tingkat modal sosial terhadap pendapatan 164

89 Modal Sosial Masyarakat di delapan desa kajian 172

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

1 Kerangka pemikiran penelitian modal sosial masyarakat dalam

pengelolaan TNGHS 9

2 Diagram SWOT 21

3 Lokasi desa penelitian 23

4 Struktur organisasi Balai TNGHS 40

5 Distribusi sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga 50

6 Sebaran responden berdasarkan pekerjaan utama 55

7 Sebaran responden berdasarkan pekerjaan sampingan 56

8 Sebaran responden berdasarkan luas lahan sawah di TNGHS 58

9 Sebaran responden mulai menggarap lahan kawasan TNGHS 60

10 Grafik pegawai tetap BTNGHS berdasarkan tingkat pendidikan tahun

2012 141

11 Diagram SWOT kedudukan posisi strategi pembangunan pengelolaan

TNGHS 151

12 Kecenderungan skor ketertarikanstakeholderspada berbagai strategi

alternatif 153

13 Hubungan modal sosial masyarakat terhadap perubahan tutupan

lahan/tingkat degradasi kawasan TNGHS 158

14 Hubungan modal sosial masyarakat adat dan non adat di dalam kawasan 161

15 Hubungan modal sosial masyarakat adat dan non adat di luar kawasan 162

16 Hubungan tingkat modal sosial terhadap pendapatan berdasarkan

pekerjaan utama 165

17 Hubungan tingkat modal sosial terhadap pendapatan pekerjaan

sampingan 165

18 Hubungan tingkat modal sosial terhadap total pendapatan 168


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Hal

1 Perubahan tutupan lahan desa kajian 195

2 Variabel dan definisi operasional dan karakteristik individu (X) 196

3 Variabel dan definisi operasional dari modal sosial (Y) 197

4 Tingkat kepercayaan masyarakat desa penelitian 198

5 Tingkat jaringan sosial masyarakat 200

6 Tingkat norma sosial masyarakat desa penelitian 201

7 Tindakan proaktif masyarakat 202

8 Kepedulian terhadap lingkungan (Y6) 203

9 Kepedulian responden terhadap sesama 204

10 Perubahan Tutupan Lahan Desa Lokasi Penelitian Tahun 2000−2005−2010 205 11 Korelasi antara Komponen Karakteristik Individu dengan Unsur Modal

Sosial 206

12 Korelasi antar Komponen Karakteristik Individu (Gabungan 8 Desa) 207 13 Korelasi antara Komponen Karakteristik Individu dengan Unsur Modal

Sosial 208

14 Korelasi antar Unsur-Unsur Modal Sosial 209

15 Prioritas alternatif strategi terpilih berdasarkan QSPM 210

16 Peta zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak 211

17 Peta tutupan lahan di delapan desa penelitian tahun 2000 – 2005 – 2010 212

18 Peta tutupan lahan Desa Cipeuteut tahun 2000 – 2005 – 2010 213

19 Peta tutupan lahan Desa Lebak Gedong tahun 2000 – 2005 – 2010 214

20 Peta tutupan lahan Desa Malasari tahun 2000 – 2005 – 2010 215

21 Peta tutupan lahan Desa Mekarnangka tahun 2000 – 2005 – 2010 216

22 Peta tutupan lahan Desa Pangradin tahun 2000 – 2005 – 2010 217

23 Peta tutupan lahan Desa Sirnaresmi tahun 2000 – 2005 – 2010 218

24 Peta tutupan lahan Desa Tamansari tahun 2000 – 2005 – 2010 219


(26)

(27)

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pada tahun 2003 kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) diperluas dari hasil perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung, dan Hutan Produksi pada kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak dari luas ± 40.000 hektar (ha) menjadi ± 113.357 ha. Kawasan ini ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 menjadi satu kesatuan dan disebut Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Secara administrasi pemerintahan, kawasan TNGHS berada di dalam wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten yang meliputi Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak

Suatu kawasan yang ditetapkan sebagai taman nasional mempunyai tiga manfaat, yaitu manfaat ekologi, ekonomi dan sosial. Manfaat ekologi, yang berarti melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Manfaat ekonomi, yang berarti mampu menciptakan peluang kerja dan kesempatan berusaha. Manfaat sosial, yang berarti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Widada 2004).

Pemanfaatan sumber daya hutan taman nasional diharapkan lebih menjamin kelestarian sumber daya alam dan dapat meningkatkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat lokal dengan lebih nyata. Meskipun konsep pemanfaatan taman nasional adalah sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi dalam praktik operasionalnya tidak mudah diwujudkan. Adanya perluasan kawasan TNGHS pada tahun 2003 telah menimbulkan konflik antara pengelola, pemerintah daerah dan masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan (Yatap 2008). Bagi pengelola taman nasional dipahami sebagai sumber daya alam dan ekosistem yang harus dilestarikan keberadaan dan fungsi ekologisnya. Bagi masyarakat, penetapan suatu kawasan menjadi taman nasional berarti aktivitas mereka dalam kawasan tersebut serba dibatasi, dan bagi pemerintah daerah, keberadaan taman nasional dipersepsikan hilangnya kewenangan mengatur sumber daya alam yang berada di taman nasional tersebut dan hilangnya peluang memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai pendukung pembangunan ekonomi (Benda-Bekmen dan Koming 2001).

Penunjukan kawasan TNGHS telah menimbulkan konflik mengenai kepemilikan lahan dan pemanfaatan sumber daya alam. Permasalahan ini, erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan, dengan sumber mata pencaharian utama dari bidang pertanian (Yatap 2008). Pada umumnya kegiatan masyarakat dalam menggarap lahan pertanian telah berlangsung sebelum kawasan tersebut ditunjuk menjadi TNGHS. Dari hasil studi yang dilakukan Galudra et al. (2005), didapatkan bahwa pada beberapa bagian kawasan hutan yang ditunjuk sebelum menjadai kawasan TNGHS telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Konsekuensi dari perluasan taman nasional ini adalah hilangnya hak akses masyarakat untuk dapat menggarap lahan pertanian yang sudah lama mereka lakukan (Rahmawatiet al. 2008).

Keberadaan TNGHS tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi


(28)

terhadap sumber daya alam yang ada di dalam kawasan (Sudarmadji 2001). Secara keseluruhan terdapat terdapat 108 desa yang berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS dan 314 kampung dengan 99.782 jiwa yang berada di dalam kawasan TNGHS. Jumlah penduduk miskin yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS sebanyak 68.113 jumlah rumah tangga (RT) (BTNGHS 2007). Kategori miskin di daerah pedesaan menurut Sayogyo (1977) adalah keluarga yang mengkonsumsi pangan ”kurang dari nilai tukar beras 240 kg beras per orang per tahun”.

Birgantoro dan Nurrochmat (2007) dan Marwa et al. (2010), mengemukakan bahwa pengelolaan hutan yang baik harus dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar hutan. Menurut Darusman (2000) masyarakat akan menjaga keberadaan dan kelestarian hutan apabila mereka bisa mendapatkan manfaat, baik manfaat langsung maupun tidak langsung dari sumber daya. Dukungan dan partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan akan sulit terwujud tanpa diimbangi oleh upaya nyata yang dapat menunjang ekonomi masyarakat sekitar hutan dan ekologi secara seimbang. Oleh karena itu konsep pengelolaan taman nasional dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya masyarakat di dalam dan sekitar hutan sangat penting. Hal ini dapat meningkatkan efektivitas dan dalam beberapa hal mungkin meningkatkan efisiensi, sehingga mampu memberikan manfaat ekonomi bagi berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat yang tingal di dalam dan di sekitar hutan.

Untuk mencapai partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan yang lestari melalui kolaborasi dengan masyarakat, antara lain melalui program pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal sekitar hutan. Pada tahun 2012 program ini telah dilaksanakan oleh Balai TNGHS melalui kolaborasi antara pihak pengelola taman nasional, swasta dan masyarakat lokal. Persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di sekitar hutan adalah kepastian hak pemanfaatan sumber daya hutan untuk memperoleh manfaat dari sumber daya hutan (Nurrochmat dan Hasan 2012). Keberhasilan dalam pengelolaan hutan ditentukan oleh kepastian hak dan keputusan-keputusan kolektif (collective action) yang tinggi (Kartodihardjo 2006; Nurrochmatet al. 2014). Menurut Hasbullah (2006) salah satu faktor munculnya (collective action) yang positif dalam masyarakat adalah tingkat modal sosial yang terdapat dalam masyarakat.

Program pembangunan yang dilaksanakan selama ini lebih banyak bertumpu pada pengerahan modal pembangunan alamiah (natural capital), manusia (human capital), fisik (physical capital). Satu jenis modal yang belum secara optimal dimanfaatkan, bahkan cenderung diabaikan adalah modal sosial. Modal sosial adalah kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat karena adanya saling kepercayaan, jejaring, norma yang diakui bersama. Hasbullah (2006) mengemukakan bahwa tidak berhasilnya pembangunan karena hilangnya kebersamaan dalam mengatasi masalah yang dibangun dalam bentuk modal sosial. Menurut Uphoff (2000) upaya-upaya pembangunan tidak mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan apabila tidak mempertimbangkan dimensi manusia termasuk faktor-faktor seperti nilai, norma, budaya, motivasi dan solidaritas. Modal sosial, bersama-sama dengan modal lainnya seperti modal fisik, modal


(29)

manusia dan modal ekonomi merupakan faktor krusial yang mendorong percepatan pembangunan (Fadli 2007).

Sistem pengelolaan sumber daya hutan tentunya tidak terlepas dari modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat (Nurrochmat 2005a). Pranadji (2006) mengemukakan bahwa keberhasilan pengelolaan sumber daya sangat ditentukan tata nilai dalam bentuk modal sosial masyarakat. Putnam (1993) menyatakan bahwa kualitas modal sosial sangat berperan dalam mendukung keberhasilan program pembangunan. Berbagai studi menunjukkan bahwa modal sosial berperan penting dalam pengelolaan sumber daya antara lain: Mulyono (2012) mengemukakan bahwa modal sosial yang tinggi pada komunitas dukuh di Kecamatan Karang Intan telah memfasilitasi terbentuknya performansi kebun hutan (dukuh) yang baik, sedangkan Lenggono (2004) yang menekankan pentingnya modal sosial dalam pengelolaan tambak. Begitu pula penelitian Sidu (2006) yang membuktikan adanya hubungan yang erat antara modal sosial dengan pemberdayaan masyarakat di sekitar Hutan Lindung Jompi. Hartoyo et al.(2012) mengemukakan bahwa perbaikan ekosistem dan kelestarian lingkungan hutan mangrove berkaitan dengan kuatnya modal sosial masyarakat, antara lain karena adanya kepercayaan, jaringan, dan norma sosial.

Menurut Hartoyo et al. (2012) keberhasilan program pembangunan karena adanya rasa saling percaya dan norma yang terbangun dalam kelompok masyarakat. Kepercayaan merupakan modal yang penting dalam menumbuhkan partisipasi, kerjasama dan kemitraan stakeholders dalam perencanaan pembangunan. Modal sosial mencakup kepercayaan sosial yang memfasilitasi adanya koordinasi dan komunikasi (Coleman 1988). Menurut Vipriyanti (2007) adanya rasa percaya akan memudahkan terjalinnya kerjasama. Kerjasama dan jaringan kerja tidak akan terbentuk jika tidak dilandaskan pada terbentuknya hubungan saling percaya (mutual-trust) antar anggota masyarakat (Pranadji 2006). Hal ini sejalan dengan penelitian Yulidar (2003) menunjukkan bahwa program pemberdayaan pada komunitas nelayan Desa Teluk, Banten kurang berhasil karena rendahnya kepercayaan dan solidaritas antara masyarakat dan pemerintah. Nurrochmat (2005) mengemukakan bahwa kepercayaan merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan hutan. Maka sangat penting untuk meningkatkan saling percaya di antara berbagai pihak, baik Kementerian Kehutanan dan masyarakat, sehingga dapat terbangun kemampuan lokal yang kuat dan dapat terwujud pengelolaan hutan yang efektif. Putnam (1993) menyatakan bahwa kualitas modal sosial sangat berperan dalam mendukung keberhasilan program pembangunan. Penguatan modal sosial berpotensi untuk mengurangi biaya negara yang mencakup biaya pengawasan, perlakuan, dan pemeliharaan dalam pengelolaan sumber daya alam (Birner dan Wittmer 2000; Nurrochmat 2005).

Uraian di atas memberikan gambaran pentingnya melihat modal sosial masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk taman nasional. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian tentang modal sosial pada komunitas masyarakat dalam mendukung pembangunan pengelolaan sumber daya hutan taman nasional. Hasil kajian tersebut sebagai masukan bagi pemegang kebijakan dalam menyusun program pembangunan dalam pengelolaan taman nasional sesuai dengan dengan tingkat modal sosial yang ada pada masyarakat.


(30)

1.2. Perumusan Masalah

Berbagai permasalahan dalam pengelolaan kawasan TNGHS antara lain: adanya tekanan penduduk terhadap kawasan hutan dalam bentuk penebangan liar, penambangan emas tanpa ijin (PETI), perburuan, perambahan kawasan dan degradasi sumber daya alam dan lingkungan (BTNGHS 2007). Prasetyo dan Setiawan (2006), memperkirakan dalam kurun waktu 1989 – 2004 telah terjadi deforestasi di kawasan TNGHS sebesar 25% atau berkurangnya luas hutan alam sebesar 22 ribu ha dengan laju kerusakan rata-rata 1,3% per tahun. Carolynet al. (2013) mengemukakan bahwa pada kurun waktu antara tahun 2003 – 2011 telah terjadi degradasi sebesar 7.319 ha dan deforestasi sebesar 189,9 ha di kawasan TNGHS yang disebabkan karena laju perubahan luas non pertanian dan laju pertumbuhan penduduk dalam kawasan. Degradasi ekosistem hutan banyak terjadi di desa-desa yang berada di dalam dan sekitar kawasan TNGHS (BTNGHS 2007). Permasalahan tersebut seringkali berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar taman nasional yang rendah (Dunggio dan Gunawan 2009).

Dukungan dan partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan akan sulit terwujud, jika tidak diimbangi upaya nyata pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Nurrochmat (2005) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat memiliki potensi menuju pengelolaan hutan yang lebih baik. Berbagai program di bidang kehutanan yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan sekaligus dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat telah dilaksanakan. Namun selain partisipasi masyarakat, keberhasilan program sangat ditentukan juga oleh modal sosial masyarakat. Dalam banyak hal kegagalan program disebabkan oleh kesalahan memahami fenomena sosial di masyarakat (Nurrochmat 2005). Hal ini sejalan dengan penelitian Rinawati (2012) yang mengemukakan bahwa penyebab kegagalan program karena tidak tersedianya unsur kapital yang memadai baik dalam bentuk sarana dan prasarana maupun modal sosial sebagai faktor kesiapan dan kemampuan masyarakat dalam menerima, melaksanakan dan mengelola program secara profesional. Oleh karena itu dalam mengelola sumber daya alam pentingnya melihat modal sosial masyarakat. Begitu pula dalam melaksanakan program-program pembangunan di TNGHS perlunya melihat modal sosial masyarakat. Menurut Uphoff (2000) upaya-upaya pembangunan tidak mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan apabila tidak mempertimbangkan dimensi manusia termasuk faktor-faktor seperti kepercayaan, norma, budaya, motivasi dan solidaritas. Kepercayaan merupakan modal yang penting dalam menumbuhkan partisipasi, kerjasama dan kemitraan stakeholders dalam perencanaan pembangunan. Adanya norma dan jaringan memungkinkan terjadinya aksi kolektif. Dalam sejumlah kasus, kenyataan menunjukkan bahwa modal sosial yang digunakan dalam pengelolaan sumber daya alam dapat mempertahankan kelestarian (Mariana 2006).

Namun keberhasilan pelestarian kawasan taman nasional selain tergantung pada kondisi modal sosial masyarakat juga tergantung pada keberhasilan dalam menangani masalah sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Oleh karena itu aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat merupakan aspek yang tidak terpisahkan dari pengelolaan TNGHS. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) pada kawasan TNGHS merupakan salah satu alternatif yang dapat


(31)

memberikan kontribusi terhadap ekonomi masyarakat sekitar hutan. Oleh karena itu mengetahui potensi dan pemungutan HHBK oleh masyarakat perlu dilakukan, sehingga dapat dimengerti dan dipahami oleh semua stakeholders dalam pengelolaan TNGHS. Penelitian ini hanya berkaitan dengan HHBK flora yang terdiri dari tiga jenis tanaman penghasil getah, yaitu: tanaman Pinus (Pinus merkusii), tanaman Damar (Agathis dammara), dan tanaman Karet (Hevea brasiliensis)

Berkaitan dengan aspek kelembagaan adalah bagaimana mengatur dan mengendalikan konflik yang selalu muncul dalam setiap pengelolaan sumber daya hutan. Konflik penguasaan sumber daya hutan menjadi salah satu hambatan yang sangat signifikan untuk mencapai pengelolaan hutan yang lesatri (Nurrochmat dan Hasan 2012). Oleh karena itu mengetahui kelembagaan pengelolaan TNGHS perlu dilakukan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka untuk menunjang keberhasilan program pembangunan dalam pengelolaan TNGHS perlu dilakukan suatu kajian tingkat modal sosial masyarakat, karakteristik sosial ekonomi dan budaya masyarakat, jenis dan pemungutan HHBK flora serta kelembagaan dalam pengelolaan TNGHS. Dengan demikian tujuan pengelolaan dapat dicapai dengan manfaat yang lebih tinggi bagi seluruh stakeholders, sehingga dapat dirumuskan strategi pengelolaan taman nasional yang dapat mengakomodir kepentingan sosial, ekonomi dan ekologi secara seimbang. Dari uraian di atas dirumuskan beberapa pertanyaan yang menjadi fokus penelitian ini adalah:

1. Bagaimana karakteristik individu, sosial ekonomi dan budaya komunitas masyarakat serta kondisi modal sosial masyarakat di sekitar kawasan TNGHS? 2. Bagaimana hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur modal

sosial, dan antara modal sosial dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNGHS?

3. Bagaimana pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) flora di kawasan TNGHS?

4. Bagaimana kelembagaan dalam pengelolaan TNGHS?

5. Strategi apa yang paling sesuai dalam rangka pengelolaan TNGHS?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan konsep strategi dalam pengelolaan TNGHS dengan menelaah modal sosial komunitas masyarakat di sekitar kawasan TNGHS. Secara terinci tujuan khusus penelitian ini terdiri dari: 1. Mengidentifikasi dan menilai karakteristik individu dan unsur-unsur modal

sosial pada masyarakat di sekitar TNGHS.

2. Mengukur dan menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur modal sosial, dan antara modal sosial dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNGHS.

3. Mengkaji potensi dan pemungutan HHBK flora oleh masyarakat di sekitar kawasan TNGHS.

4. Mengkaji kelembagaan dalam pengelolaan TNGHS.


(32)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan gambaran tentang karakteristik sosial, ekonomi dan budaya komunitas masyarakat, pemungutan HHBK flora oleh masyarakat sekitar hutan dan tingkat modal sosial masyarakat sebagai bahan masukan dalam penyusunan strategi pengelolaan TNGHS.

2. Memberikan dasar pertimbangan yang integralistik bagi pemerintah dalam melakukan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan baik pada tingkat daerah maupun nasional yang memiliki kesamaan dengan karakteristik TNGHS.

1.5. Batasan Penelitian

Data yang dipergunakan sebagai landasan dalam menyusun strategi pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah: vegetasi dan pemungutan HHBK tiga jenis tanaman penghasil getah yang terdiri dari tanaman pinus, damar dan karet, karakteristik individu dan sosial ekonomi masyarakat, modal sosial masyarakat dan kelembagaan dalam pengelolaan TNGHS.

Penelitian ini dilakukan di tiga Seksi Wilayah Pengelolaan TNGHS di tiga Kabupaten, yaitu Seksi Wilayah I Kabupaten Lebak, Seksi Wilayah II Kabupaten Bogor, dan Seksi Wilayah III Kabupaten Sukabumi. Pemilihan lokasi desa penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling), yakni desa yang berbatasan dengan kawasan TNGHS dan masyarakatnya memiliki keterkaitan erat dengan kawasan dalam kepentingan ekonomi maupun sosial. Pemilihan kampung dalam satu desa berdasarkan pada kampung yang berdekatan dengan kawasan TNGHS, sedangkan pemilihan responden secara random berdasarkan pada masyarakat yang berinteraksi dengan kawasan, yaitu responden yang mempunyai lahan garapan di kawasan TNGHS.

Penelitian ini mengkaji pemungutan sumber daya hutan yang dilakukan oleh masyarakat melalui pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) tiga jenis tanaman penghasil getah yang terdiri dari tanaman pinus, damar dan karet dengan mengidentifikasi: vegetasi, jenis pemungutan HHBK oleh masyarakat sekitar TNGHS. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan tabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel dan atau gambar.

Karakteristik sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang dikaji antara lain: kependudukan, aksesbilitas, lapangan pekerjaan, ketersediaan sarana produksi, budaya dan adat istiadat yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan lahan. Karakteristik individu yang dikaji anatara lain: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, tingkat pendapatan, tingkat kesehatan, luas penggunaan lahan, suku bangsa, asal domisili, status sosial, dan lama tinggal. Aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat serta karakteristik indivu dianalisis secara deskriptif dengan tabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

Penelitian ini mengidentifikasi modal sosial masyarakat di sekitar kawasan TNGHS. Modal sosial masyarakat yang dianalisis adalah: penilaian unsur-unsur modal sosial yang ada di masyarakat untuk memperoleh kriteria tingkat modal sosial masyarakat. Unsur-unsur modal sosial yang dianalisis terdiri dari:


(33)

kepercayaan, jaringan sosial, norma-norma sosial, tindakan yang proaktif dan kepedulian terhadap sesama dan lingkungan. Mengukur dan menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur modal sosial, dan antara modal sosial dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNGHS melalui persamaan koefisien Rank Spearman.

Kelembagaan dalam penelitian ini dilakukan untuk mengkaji aturan yang mengatur perilaku atau hubungan antar manusia dalam penetapan dan pengurusan sumber daya alam di taman nasional. Analisis kelembagaan mengacu dengan menggunakan kerangka analisis S-S-B-P ( Situation-Structure-Behaviour-Performance). Melalui penelitian ini diharapkan dapat dirumuskan strategi pengelolaan TNGHS melalui pengembangan pemanfaatan sumber daya hutan dengan berorientasi pada kelestarian hasil secara ekologi, ekonomi dan sosial budaya.

1.6. Kebaruan(Novelty)

Nilai kebaruan dari penelitian ini adalah mengembangkan pengelolaan taman nasional dengan konsep modal sosial masyarakat dalam rangka penyusunan strategi pengelolaan TNGHS. Perhutanan sosial dalam perkembangannya masih menganggap masyarakat sebagai pihak luar yang perlu dibantu/dikasihani (charity). Disertasi ini menempatkan masyarakat di dalam pengelolaan kawasan konservasi, modal sosial diadaptasikan atau diadopsi ke dalam pola pengelolaan taman nasional.

Penelitian yang mengadopsi tentang modal adat/budaya dalam pengelolaan sumber daya alam taman nasional sudah banyak dipublikasikan, antara lain: Nur Arafah yang mengadopsi terhadap modal adat tentang zonasi taman nasional; Golar yang mengadopsi masyarakat adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya taman nasional. Disertasi ini menambahkan modal sosial masyarakat dalam pengelolaan taman nasional. Adaptive management paradigm dalam disertasi ini direalisasikan ke dalam strategi pengelolaan taman nasional dengan menambahkan modal sosial sebagai wujud pentingnya masyarakat.

Seiring dengan perkembangan kebijakan kawasan konservasi, yaitu pada kongres WCPA (World Commission on Protected Areas) di Caracas, Venezuela tahun 1993 dan di Durban, Yordania tahun 2003, yang mengamanahkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa hanya dikelola oleh single institution, melainkan harus melibatkan masyarakat sekitar hutan dan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi. Disertasi ini menempatkan masyarakat lokal sebagai mitra yang penting dengan mengintegrasikan modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan.

1.7. Kerangka Pemikiran

Pengelolaan TNGHS tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan yang mempunyai ketergantungan tinggi terhadap sumber daya alam yang ada di dalam kawasan. Bentuk pemanfaatan sumber daya alam berlangsung sejak sebelum adanya perluasan kawasan TNGHS, yaitu


(34)

sejak pengelolaan oleh Perum Perhutani. Tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan TNGHS pada umumnya masih rendah. Jumlah rumah tangga (RT) miskin di desa-desa yang ada di dalam/sekitar kawasan TNGHS sekitar 68.113 rumah tangga (BTNGHS 2007).

Berbagai usaha dilakukan oleh pengelola TNGHS dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian kawasan melalui berbagai program, antara lain: program pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK), ekowisata, budidaya ternak, kegiatan adopsi pohon dan rehabilitasi. Dalam mensukseskan program pengelolaan TNGHS diperlukan adanya aksi kolektif (collective action) yang positif dari masyarakat. Untuk membangun aksi kolektif diperlukan tingkat modal sosial yang cukup dari masyarakat. Selain modal sosial masyarakat, keberhasilan program juga ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam program pengelolaan TNGHS perlu diwujudkan dengan cara mengetahui karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, karakteristik individu dalam masyarakat serta mengidentifikasi unsur-unsur modal sosial yang berada dalam kehidupan masyarakat. Konsep modal sosial Uphoff (2000) menjadi rujukan untuk mengetahui tingkat modal sosial masyarakat, sedangkan unsur-unsur modal sosial mengacu pada Hasbullah (2006) yang terdiri dari: partisipasi dalam jaringan, resiprocity, kepercayaan, norma, dan tindakan yang proaktif.

Tingkat modal sosial dalam masyarakat dapat ditentukan dengan melakukan penilaian terhadap unsur-unsur modal sosial yang terdapat dalam masyarakat. Kemudian dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur modal sosial, dan hubungan antara modal sosial dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNGHS. Karakteristik individu yang dianggap berhubungan dengan unsur modal sosial antara lain: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, luas lahan garapan, tingkat kesehatan, lama tinggal serta status sosial. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, dan kelembagaan pengelolaan TNGHS serta bentuk dukungan dari pemerintah desa, tokoh masyarakat/adat dan LSM dalam kegiatan pengelolaan TNGHS.

Berdasarkan karakteristik individu, karakteristik masyarakat, modal sosial masyarakat dan aspek kelembagaan, kemudian dilakukan analisis strength, weakness, opportunity and threat (SWOT) untuk mengetahui faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh dalam pengelolaan TNGHS. Untuk menentukan strategi pilihan dalam pengelolaan TNGHS digunakan metode Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM), sehingga akan dirumuskan strategi pengelolaan TNGHS melalui pengembangan pemanfaatan sumber daya hutan dengan berorientasi pada kelestarian hasil secara ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Secara skematis, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.


(35)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian modal sosial masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional

Rekomendasi dan saran kebijakan pengelolaan TNGHS

yang berkelanjutan

Analisis SWOT

dan QSPM

Kelembagaan pengelolaan

TNGHS

Tingkat modal sosial masyarakat (Uphoff 2000);

Unsur-unsur modal sosial (Y1) Hasbullah 2006):

 Kepercayaan (Y1.1)

 Norma (Y1.2)

 Jaringan (Y1.3)

 Tindakan proaktif (Y1.4)

 Kepedulian (Y1.5) Karakteristik individu (X)

 Umur (X1)

 Pendidikan formal (X2)

 Keterampilan atau pendidikan non formal (X3)

 Pendapatan (X4)

 Kesehatan (X5)

 Kepemilikan lahan (X6)

 Lama tinggal (X7)

 Status sosial (X8)

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Komunitas masyarakat

dengan karakteristik Sosekbud

 Tingkat modal sosial :

Minimum, rendah, sedang, tinggi (Uphoff 2000)

 Hubungan karakteristik individu dengan modal sosial (Rank Spearman)

 Hubungan modal sosial dengan partisipasi dalam pengelolaan TNGHS (Rank Spearman) Skenario prioritas program


(36)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Modal Sosial 2.1.1. Konsep Modal Sosial

Konsep modal sosial pertama kali dikembangkan oleh L.F. Hanifan pada tahun 1916 di daerah bagian Barat Virginia. Dalam tulisannya berjudulThe Rural School Community Centre, ia mengatakan bahwa modal sosial, bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup masyarakat (Hasbullah 2006). Pengertian modal sosial yang berkembang selama ini banyak didasarkan pada pandangan Bourdieu, Coleman, Putnam dan Fukuyama.

Bourdieu (1986), mendefinisikan modal sosial sebagai sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang yang berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif. Modal sosial merupakan investasi strategis baik secara individu maupun kelompok. Modal sosial dapat menghasilkan hubungan sosial secara langsung dan tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hubungan ini dapat dilakukan dalam hubungan tetangga, teman kerja (tempat kerja), maupun hubungan antar famili.

Coleman (1988), menggambarkan modal sosial bukan dari sesuatu yang terlihat hasil tetapi lebih kepada sesuatu yang dilakukan atau dengan kata lain fungsi dari modal sosial itu sendiri. Ia memandang bahwa modal sosial memiliki nilai yang terkandung didalamnya terutama dalam struktur sosial. Oleh karena itu, Coleman menyebut modal sosial sebagai sumber daya karena ia dapat memberi kontribusi terhadap kesejahteraan individu dan masyarakat seperti halnya dengan sumber daya lain (alam, ekonomi dan sumber daya manusia). Coleman memandang modal sosial dari sudut pandang struktur sosial yang memiliki berbagai bentuk tindakan dan aturan yang dapat dimanfaatkan bersama yakni: kewajiban (obligation) dan harapan, informasi, dan norma-norma yang dapat menghambat dan mendorong perilaku manusia.

Putnam (1993) berpendapat bahwa konsep modal sosial dapat berupa: hubungan/jaringan, kepercayaan, dan norma-norma yang merupakan fasilitas bersama dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Konsep modal sosial menurut Putnam, aplikasinya lebih menekankan pada tingkat wilayah (regional, democratic, institutions, dan economic development). Modal sosial menurut Putnam, kepercayaan, norma (norms of trust) dalam jaringan-jaringan atau hubungan sosial/ekonomi merupakan unsur terpenting dalam modal sosial dan merupakan sumber daya. Putnam mengukur modal sosial terfokus pada sistem perilaku perkembangan ekonomi dan politik pada tingkat regional dan negara. Kemudian aspek yang dikaji tentang modal sosial menurut Putnam, yaitu berkaitan dengan sistem norma yang berlaku pada bidang ekonomi dan politik. Pengukuran modal sosial menurut Putnam harus melibatkan beberapa asosiasi dan institusi formal yang diakui secara sah.

Fukuyama (2007) mendefinisikan modal sosial sebagai “kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam masyarakat atau bagian-bagian tertentu


(37)

darinya”. Konsep ini melihat modal sosial sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerjasama diantara mereka. Norma dan hubungan-hubungan tersebut membentuk kualitas dan kuantitas hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat, yang berfungsi sebagai perekat sosial yang menjaga kesatuan anggota masyarakat secara bersama-sama. Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme kultural seperti agama, tradisi atau kebiasaan sejarah.

Modal sosial sebagai bagian dari modal komunitas selain modal manusia, modal sumber daya alam dan modal finansial. Modal sosial adalah segala hal yang berkaitan dengan kerjasama dalam masyarakat, yang memberikan manfaat bersama untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik dan ditopang oleh unsur-unsur seperti kepercayaan, jaringan sosial, norma sosial, tindakan yang proaktif dan kepedulian (Hasbullah 2006). Berikut beberapa definisi tentang modal sosial menurut beberapa ahli (Tabel 1).

Tabel 1. Definisi modal sosial menurut beberapa penulis

Penulis Tertambat pada Modal sosial

(independen) Variabel (dependen)

Bourdieu Hubungan secara kelembagaan

Seluruh sumber daya baik aktual maupun materi

Keanggotaan individu dalam masyarakat

Coleman

Struktur sosial, hubungan sosial, institusi

Fungsi kewajiban, harapan, layak percaya, saluran, norma, saksi, jaringan, organisasi

Tindakan aktor atau aktor dalam badan hukum

Putnam Institusi sosial Jaringan, norma, kepercayaan

Keberhasilan ekonomi, demokrasi

Fukuyama Agama, filsafat Kepercayaan, nilai Kerjasama keberhasilan

ekonomi

Hasbullah Kerjasama dalam masyarakat

Kepercayaan, jaringan, norma, nilai, tindakan yang proaktif, kepedulian

Pencapaian tujuan bersama

Sumber: Winter (2000), Hasbullah (2006)

2.1.2. Dimensi dan Tipologi Modal Sosial

World Bank melihat bahwa modal sosial memiliki enam dimensi, yakni: 1) jaringan/ikatan hubungan dan kelompok/organisasi, 2) solidaritas dan kepercayaan, 3) kegotong-royongan, 4) komunikasi dan informasi, 5) inklusi dan kohesi sosial dalam masyarakat, dan 6) kebijakan dan pemberdayaan (Grootaertet al. 2004). Dimensi dari modal sosial yang berkaitan dengan tipologinya, yaitu bagaimana pola-pola interelasi berikut konsekuensinya antar modal sosial yang membentuk bonding (terikat) atau bridging (menjembatani) sebagaimana pada Tabel 2.

Modal sosial terikat cenderung bersifat ekslusif dan lebih berorientasi ke dalam daripada ke luar. Modal sosial menjembatani, biasanya keanggotaan kelompok heterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku (Hasbullah 2006). Menurut Woolcock (2000) modal sosial dapat dilihat dari tiga tipe ikatan hubungan atau koneksi, yaitu modal sosial yang mengikat, menyambung dan mengait (bonding, bridging dan linking social capital). Modal sosial yang bersifat mengikat (bonding capital) umumnya berasal dari ikatan


(38)

kekeluargaan, kehidupan bertetangga dan sahabat. Anggota dalam kelompok ini umumnya berinteraksi secara intensif, face-to-face dan saling mendukung.Social bonding merupakan modal sosial yang lebih banyak bekerja secara internal dan solidaritas yang dibangun karenanya menimbulkan kohesi sosial yang lebih bersifat mikro dan komunal. Modal sosial yang bersifat menyambung (bridging social) timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompok dan lebih banyak menjalin jaringan dengan potensi eksternal yang melekat. Modal sosial yang bersifat mengait (linking capital) merupakan hubungan sosial diantara beberapa level dari kekuatan sosial atau status sosial dalam masyarakat tanpa membedakan kelas dan status sosial.

Tabel 2. Dimensi modal sosial dalam tipologibondingdanbridging

Tipologi modal sosial

Bonding Bridging

 Terikat/ketat, jaringan yang eksklusif

 Pembedaan yang kuat antara”orang kami” dan “orang luar”

 Hanya ada satu alternatif jawaban

 Sulit menerima arus perubahan

 Kurang akomodatif terhadap pihak luar

 Mengutamakan kepentingan kelompok

 Mengutamakan solidaritas kelompok

 Terbuka

 Memiliki jaringan yang lebih fleksibel

 Toleran

 Memungkinkan untuk memiliki banyak alternatif jawaban dan penyelesaian masalah

 Akomodatif untuk menerima perubahan

 Cenderung memiliki sikap yang altruistik, humanitarianistik dan universal

Sumber: Hasbullah (2006)

2.1.3. Unsur-Unsur Modal Sosial

Secara umum modal sosial merupakan hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat, yaitu sebagai perekat sosial yang menjaga kesatuan anggota secara bersama-sama. Beberapa ahli menyebutkan berbagai unsur-unsur pembentuk modal sosial seperti Putnam (1993) menyebutkan tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks). Uphoff (2000) menyebutkan bahwa unsur modal sosial terbagi dalam dua kategori, yaitu modal sosial struktural dan kognitif. Kategori modal sosial struktural berupa hubungan (jaringan) sosial yang mengakibatkan tindakan bersama yang saling menguntungkan serta berbasis pada kebutuhan dan kesepakatan tentang aturan. Kategori modal sosial kognitif yang merupakan proses mental dan ide-ide yang berbasis pada ideologi dan budaya dengan unsur-unsur norma, nilai, sikap, keyakinan, kepercayaan solidaritas, kerjasama dan kedermawanan/kesediaan membantu. Uphoff (2000) membagi modal sosial dalam empat tingkatan (kontinum), yaitu minimum, rendah, sedang dan tinggi sebagaimana tersaji pada Tabel 3.


(39)

Tabel 3. Tingkatan modal sosial

Tingkatan modal sosial

Minimum Rendah Sedang Tinggi Tidak mementingkan kesejahteraan orang lain; memaksimal-kan kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain Hanya mengutamakan kesejahteraan sendiri; kerjasama terjadi sejauh menguntungkan sendiri Komitmen terhadap upaya bersama; kerjasama terjadi bila memberikan

keuntungan kepada orang lain

Komitmen terhadap kesejahteraan orang lain; kerjasama tidak terbatas pada kemanfaatan sendiri tetapi juga untuk kebaikan bersama Nilai-nilai: Hanya menghargai kebersamaan diri sendiri Nilai-nilai: Efisiensi kerjasama Nilai-nilai: Efektifitas kerjasama Nilai-nilai: Altruismdipandang sebagai hal yang baik

Isu-isu pokok: Selfisness:

Bagaimana sifat ini bisa dicegah agar tidak merusak masyarakat secara keseluruhan

Isu-isu pokok:

Biaya transaksi: Bagaimana biaya ini bisa dikurangi untuk meningkatkan manfaat bersih bagi masing-masing orang Isu-isu pokok: Tindakan kolektif: Bagaimana kerjasama penghimpunan sumber daya bisa berhasil

berkelanjutan

Isu-isu pokok:

Pengorbanan diri: Sejauhmana hal-hal seperti patriotism dan pengorbanan demi fanatisme agama perlu dilakukan Strategi: Jalan sendiri Strategi: Kerjasama teknis Strategi: Kerjasama strategis Strategi: Bergabung atau melarutkan kepentingan individu Kepentingan bersama: Tidak jadi pertimbangan Kepentingan bersama: Instrumental Kepentingan bersama: Institusional Kepentingan bersama: Transedental Pilihan:

Keluar: bila tidak puas Pilihan: Bersuara: berusaha untuk memperbaiki syarat pertukaran Pilihan: Bersuara: mencoba memperbaiki keseluruhan produktivitas Pilihan: Setia: menerima apapun jika hal itu baik untuk kepentingan bersama secara keseluruhan Teori permainan: Zero-sum Tapi apabila kompetisi tanpa adanya hambatan pilihan akan menghasilkan negative-sum Teori permainan: Zero-sum Pertukaran yang memaksimalkan keuntungan sendiri bisa menghasilkan positive-sum Teori permainan: positive-sum Ditujukan untuk memaksimalkan kepentingan sendiri dan kepentingan untuk mendapatkan manfaat bersama Teori permainan: positive-sum Ditujukan untuk memaksimalkan kepentingan bersama dengan mengesampingkan kepentingan sendiri Fungsi utilitas: Independent Penekanan diberikan bagi utilitas sendiri Fungsi utilitas: Independent

Dengan utilitas bagi diri sendiri diperbesar melalui kerjasama Fungsi utilitas: Interdependent positive Dengan sebagian penekanan diberikan bagi kemanfaatan orang lain Fungsi utilitas: Interdependent positive

Dengan lebih banyak penekanan diberikan bagi kemanfaatan orang lain daripada keuntungan diri sendiri


(40)

Hasbullah (2006) membagi unsur modal sosial menjadi enam, yaitu: kepercayaan, partisipasi dalam jaringan, resiprocity, norma sosial, nilai-nilai dan tindakan yang proaktif.

a. Kepercayaan (Trust)

Kepercayaan atau rasa percaya adalah dasar dari perilaku moral dimana modal sosial dibangun. Moralitas menyediakan arahan bagi kerjasama dan koordinasi sosial dari semua aktivitas sehingga manusia dapat hidup bersama dan berinteraksi satu dengan lainnya. Membangun rasa percaya adalah bagian dari proses kasih sayang yang dibangun sejak awal dalam suatu keluarga. Sepanjang adanya rasa percaya dalam perilaku dan hubungan kekeluargaan, maka akan terbangun prinsip-prinsip resiprositas dan pertukaran (Bordieu 1986; Fukuyama 2007).

Fukuyama (2007) berpendapat bahwa kepercayaan adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Suharto (2007) mengemukakan bahwa kepercayaan menjadi salah satu unsur dan sumber kekuatan modal sosial, karena kepercayaan merupakan produk modal sosial yang baik dan berperan penting sebagai energi pembangunan masyarakat.

Putnam (1993) menyebutkan bahwa kepercayaan memiliki kekuatan mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi yang dicapai oleh suatu komunitas dan merupakan ruh dari institusi sosial. Berbagai tindakan yang didasari atas rasa saling mempercayai yang tinggi akan meningkatkan partisipasi dalam beragam bentuk dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama.

Rasa percaya merupakan alat untuk membangun hubungan yang dapat menekan biaya transaksi, yaitu biaya yang muncul dalam proses pertukaran dan biaya untuk melakukan kontak, kontrak dan kontrol. Rasa saling percaya dapat menekan biaya pemantauan (monitoring) terhadap perilaku orang lain agar orang tersebut berperilaku seperti yang diinginkan. Rasa percaya memudahkan terjalinnya kerjasama. Semakin tebal rasa saling percaya semakin kuat kerjasama yang terbangun antar individu.

Rasa saling percaya dapat dibangun namun dapat pula hancur. Rasa percaya yang berkelanjutan terbangun dari adanya interaksi personal yang berulang-ulang (personalized trust), pengetahuan terhadap populasi maupun insentif-insentif yang diperoleh (generalized trust) dan tidak dapat dibangun tanpa menunjukkan kebenaran. Sifat rasional manusia yang terbatas (bounded rationality) berpengaruh pada usaha membangun rasa saling percaya tersebut.

b. Partisipasi dalam jaringan sosial (participation in social networking)

Putnam (1993) menyatakan bahwa jaringan kerjasama antar manusia merupakan wujud dari infrastruktur dinamis modal sosial. Wujud nyata dari jaringan adalah adanya interaksi sehingga jaringan itulah yang disebut modal sosial (Coleman 1998). Modal sosial yang kuat sebagai salah satu kunci keberhasilan pembangunan tidak dibangun oleh satu individu tetapi terletak pada jaringan sosial yang kuat yang dibangun dengan prinsip-prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility). Tipologi dari jaringan sosial yang terbentuk di dalam masyarakat tergantung dari


(41)

karakteristik dan orientasi kelompok. Kelompok sosial yang membangun jaringan atas dasar keturunan, pengalaman sosial dan kesamaan kepercayaan dan agama cenderung akan membentuk jaringan dengan kohesifitas yang tinggi namun rentang jaringan maupun kepercayaan yang sempit. Kelompok masyarakat yang membangun jaringan dengan dasar kesamaan orientasi dan tujuan dan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi dan rentang jaringan yang lebih luas. Tipologi jaringan ini akan memberikan dampak positif bagi kemajuan kelompoknya dan masyarakat secara luas (Hasbullah 2006). Modal sosial adalah suatu keadaan dimana individu-individu menggunakan keanggotaannya dalam suatu kelompok untuk memperoleh manfaat. Modal sosial tidak dapat dievaluasi tanpa pengetahuan mengenai dimana individu tersebut berada, karena interaksi sosial tergantung dari struktur jaringan kerja dan struktur masyarakatnya. Coleman (1988), berpendapat bahwa kepadatan jaringan kerja sosial akan meningkatkan efisiensi penguatan perilaku kerjasama dalam suatu organisasi. Menurutnya, modal sosial adalah jumlah dari ”relational capital” yang dimiliki beberapa individu dan dibangun berdasarkan norma resiprositas. Hubungan sosial yang terbangun dalam suatu penutupan(closure)struktur sosial, tidak hanya penting untuk membangun norma yang efektif tetapi juga membangun kepercayaan karena penutupan jaringan kerja (network closure) tersebut menghasilkan eksternalitas ekonomi positif melalui proses fasilitasi terhadap aksi bersama (collective action).

c. Norma sosial(social norms)

Norma adalah nilai bersama yang mengatur perilaku individu dalam suatu masyarakat atau kelompok. Hasbullah (2006) menyatakan bahwa norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang (Suharto 2007). Norma sosial ini sangat berperan dalam mengontrol perilaku masyarakat. Norma-norma ini biasanya tidak tertulis tetapi dipahami oleh setiap anggota masyarakat dan menentukan tingkah laku dalam konteks hubungan sosial.

Norma merupakan elemen penting untuk menjaga agar hubungan sosial dalam suatu sistem sosial dapat terlaksana sesuai yang diharapkan. Fukuyama (2007) menyatakan bahwa modal sosial dibentuk dari norma-norma informal yang mendukung kerjasama antar individu. Norma sosial yang menentukan perilaku bersama dalam suatu kelompok individu juga dipahami sebagai prinsip keadilan yang mengarahkan pelaku untuk berperilaku yang tidak mementingkan diri sendiri. Norma-norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol perilaku yang tumbuh dalam masyarakat.

d. Nilai sosial (values)

Nilai adalah suatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat. Hasbullah (2006) mengemukakan bahwa pada setiap kebudayaan biasanya terdapat nilai-nilai tertentu yang mendominasi ide yang berkembang. Dominasi ide tertentu akan mempengaruhi dan membentuk aturan-aturan bertindak masyarakatnya (the rules of condacts) dan aturan-aturan


(42)

bertingkah laku (the rules of behavior) yang secara bersama-sama membentuk pola-pola kultural (cultural pattern). Kekuatan modal sosial dalam masyarakat dipengaruhi oleh konfigurasi nilai yang ada pada masyarakat.

e. Tindakan yang proaktif

Hasbullah (2006) menyatakan bahwa tindakan yang proaktif merupakan salah satu unsur penting dalam modal sosial, yaitu keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam kegiatan masyarakat. Lenggono (2004) menyebutkan bahwa proaktif sebagai bagian dari modal sosial merupakan kerelaan warga sebagai subjek dalam suatu pembangunan. Berbagai inisiatif individu yang menjadi inisiatif kelompok merupakan wujud proaktif yang bernuansa modal sosial.

f. Hubungan timbal balik (reciprocity) dan kepedulian/solidaritas (solidarity)

Salah satu unsur penting dari modal sosial adalah keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak sekedar berpartisipasi tetapi ikut terlibat dalam kegiatan masyarakat. Dalam kegiatan tersebut anggota melibatkan diri dan mencari kesempatan yang dapat memperkaya tidak hanya dari sisi material tetapi juga kekayaan hubungan sosial dan menguntungkan kelompok tanpa merugikan orang lain (Lawang 2005). Modal sosial senantiasa adanya kecenderungan untuk saling tukar kebaikan antar individu dalam kelompok maupun antar kelompok dengan nuansaaltruism. Namun masyarakat dengan tingkat resiprositas yang kuat belum tentu memberikan dampak positif yang cukup besar bagi kelompok lainnya tergantung dari derajat keterbukaan masyarakat tersebut (Hasbullah 2006).

2.1.4. Pengukuran Modal Sosial

Terdapat berbagai metode pengukuran modal sosial yang dapat disesuaikan dengan kondisi lokal, antara lain Model Integrated Questionnaire for The Measurement of Social Capital (SC-IQ) dan Social Capital Assesment Tool (SCAT). SC-IQ dikembangkan oleh Grootaert et al. (2004) dengan penekanan fokus pada negara-negara berkembang. Model ini bertujuan memperoleh data kuantitatif pada berbagai dimensi modal sosial dengan unit analisis pada tingkat rumah tangga. Pada model ini digunakan enam indikator, yaitu: kelompok dan jejaring kerja, kepercayaan dan solidaritas, aksi kolektif dan kerjasama, informasi dan komunikasi, kohesi dan inklusivitas sosial serta pemberdayaan dan tindakan politik.

SCAT dikembangkan oleh Krishna dan Shrader (1999) yang mencoba menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif untuk menciptakan pengukuran komplementer dan kompleksitas dimensi sosial. Unit analisis SCAT adalah rumah tangga dan komunitas, dengan variabel yang berhubungan dengan modal sosial yang mungkin diciptakan dan diakses oleh individu, rumah tangga dan institusi lokal. SCAT mengukur modal sosial pada level komunitas, rumah tangga dan organisasi.


(43)

2.2. Kelembagaan

Kelembagaan merupakan aturan main atau prosedur yang mengatur interaksi antar masyarakat dan organisasi yang mengimplementasikan aturan-aturan tersebut untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut North (1990), terdapat dua jenis pengertian kelembagaan, yaitu kelembagaan diartikan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai organisasi. Sebagai aturan main, kelembagaan berupa aturan baik formal maupun informal, yang tertulis dan tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia. Kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hirarki. Sebagai suatu organisasi, ada beberapa stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya termasuk hutan. Ostrom (1990) mengartikan kelembagaan adalah aturan main yang berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi diantara sesama anggota masyarakat. Suhaeri (1994) mengartikan institusi atau kelembagaan sebagai suatu sistem yang mengatur hubungan orang dengan orang terhadap sesuatu. Kartodihardjo (1998) mendefinisikan kelembagaan sebagai suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak, yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang tidak boleh dikerjakan oleh individu atau perorangan maupun organisasi. Oleh karena itu kelembagaan adalah instrument yang mengatur hubungan antar individu. Selanjutnya Kartodihardjo (1998), mengemukakan bahwa kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mampu merumuskan kegiatan yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, memahami hak-hak istimewa yang telah diberikan, serta tanggung jawab yang harus diemban. Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol interdependensi antar manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui inovasi dalam hak kepemilikan, aturan representasi, atau batas yuridiksi.

Berdasarkan pengertian institusi atau kelembagaan di atas dapat disimpulkan bahwa kelembagaan ialah sekumpulan aturan, baik formal maupun informal yang mengikat dan mengatur dan membatasi perilaku atau hubungan antar manusia yang diwadahi dalam sebuah organisasi atau jaringan. Sistem kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak, yang mencakup ideologi, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan (Pasaribu 2007). Kelembagaan mengatur atau mengontrol interdependensi antar manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui inovasi dalamproperty rights, aturan representatis dan batas yuridiksi.

Kelembagaan tersusun atas tiga komponen utama, yaitu: 1) hak kepemilikan (property right) yang berupa hak atas benda materi maupun non materi, 2) batas wilayah kewenangan (yurisdictional boundary), dan 3) aturan representasi (rule of representation) (Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan 1989). Berkaitan dengan pengelolaan taman nasional, ketiga unsur tersebut diatur oleh undang-undang. Dengan demikian perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan satu atau lebih unsur-unsur kelembagaan. Hak kepemilikan (property right), mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara anggota


(44)

masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumber daya, situasi atau kondisi (Pasaribu 2007). Hak kepemilikan taman nasional, menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 dan Undang-Undang No 5 Tahun 1967 mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, adalah tanah milik Negara atau state property. Oleh karenanya menurut Pasal 34 Undang-Undang (UU) No 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberda Hayati dan Ekosistemnya, pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan.

Batas yurisdiksi (yurisdictional boundary), menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam kelembagaan suatu masyarakat. Batas yurisdiksi menjelaskan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing unsur hirarki sosial yang ada dalam struktur kelembagaan. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan dan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu kelembagaan, sehingga terkandung makna bagaimana batas yurisdiksi berperan dalam mengatur alokasi sumber daya. Perubahan batas yurisdiksi dipengaruhi oleh empat faktor antara lain: 1) Perasaan sebagai suatu masyarakat. Perasaan sebagai suatu masyarakat menentukan siapa termasuk dalam masyarakat dan siapa yang tidak. Hal ini berkaitan dengan konsep jarak sosial yang menentukan komitmen yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan; 2) Eksternalitas, merupakan dampak yang diterima pihak tertentu akibat tindakan pihak lain. Perubahan batas yurisdiksi akan merubah struktur eksternalitas yang akhirnya merubah siapa yang menanggung apa; 3) Homogenitas, berkaitan dengan preferensi masyarakat yang merefleksikan permintaan terhadap barang dan jasa, dan 4) Skala ekonomi, yang menunjukkan suatu situasi dimana ongkos per satuan terus menurun apabila output ditingkatkan. Batas yurisdiksi yang sesuai akan menghasilkan ongkos per satuan yang lebih rendah dibandingkan dengan alternatif batas yurisdiksi yang lainnya. Dasar penentuan batas wilayah kewenangan taman nasional diatur oleh lima peraturan perundangan setingkat undang-undang yang secara teknis dijabarkan ke dalam Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Menteri (Kepmen). Dalam peraturan perundangan tersebut, tata batas taman nasional harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat.

Aturan representasi (rule of representation) merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Aturan representatif mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan jenis keputusan yang dibuat, sehingga aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumber daya yang langka. Oleh karena itu perlu dicari suatu mekanisme representasi yang efisien dalam arti menurunkan biaya transaksi (Pasaribu 2007).

Ostrom (1990) mengemukakan tujuan kelembagaan adalah untuk mengarahkan perilaku individu menuju arah yang diinginkan oleh anggota masyarakat serta untuk meningkatkan kepastian dan peraturan dalam masyarakat serta mengurangi perilaku oportunis. Menurut MacKinnon et al. (1993) taman nasioanl merupakan suatu sitem organisasi yang unsur-unsurnya terdiri atas kelembagaan, tujuan jangka panjang, pengelolaan, kelompok masyarakat yang terlibat serta unsur lingkungan. Kelembagaan merupakan unsur kunci guna mewujudkan keragaan yang diharapkan, karena melalui kelembagaan baik formal maupun informal perilaku masyarakat akan cepat berubah ke arah yang


(1)

Lampiran 21.

Peta tutupan lahan Desa Mekarnangka tahun 2000 – 2005 – 2010

Tutupan lahan kawasan TNGHS tahun 2000 di Desa Mekarnangka (Sumber: Analisis Citra landsat Tropenboss)

Tutupan lahan kawasan TNGHS tahun 2005 di Desa Mekarnangka (Sumber: Analisis Citra landsat Tropenboss)

Tutupan lahan kawasan TNGHS tahun 2010 di Desa Mekarnangka (Sumber: Analisis Citra landsat Tropenboss)


(2)

Lampiran 22.

Peta tutupan lahan Desa Pangradin tahun 2000 – 2005 – 2010

Tutupan lahan kawasan TNGHS tahun 2000 di Desa Pangradin (Sumber: Analisis Citra landsat Tropenboss)

Tutupan lahan kawasan TNGHS tahun 2005di Desa Pangradin (Sumber: Analisis Citra landsat Tropenboss)


(3)

Lampiran 23.

Peta tutupan lahan Desa Sirnaresmi tahun 2000 – 2005 – 2010

Tutupan lahan kawasan TNGHS tahun 2000 di Desa Sirnaresmi (Sumber: Analisis Citra landsat Tropenboss)

Tutupan lahan kawasan TNGHS tahun 2005 di Desa Sirnaresmi (Sumber: Analisis Citra landsat Tropenboss)


(4)

Lampiran 24.

Peta tutupan lahan Desa Tamansari tahun 2000 – 2005 – 2010

Tutupan lahan kawasan TNGHS tahun 2000 di Desa Tamansari (Sumber: Analisis Citra landsat Tropenboss)

Tutupan lahan kawasan TNGHS tahun 2005 di Desa Tamansari (Sumber: Analisis Citra landsat Tropenboss)

Tutupan lahan kawasan TNGHS tahun 2010 di Desa Tamansari (Sumber: Analisis Citra landsat Tropenboss)


(5)

Lampiran 25.

Peta tutupan lahan Desa Tapos tahun 2000 – 2005 – 2010

Tutupan lahan kawasan TNGHS tahun 2000 di Desa Tapos I (Sumber: Analisis Citra landsat Tropenboss)

Tutupan lahan kawasan TNGHS tahun 2005 di Desa Tapos I (Sumber: Analisis Citra landsat Tropenboss)

Tutupan lahan kawasan TNGHS tahun 2010 di Desa Tapos I (Sumber: Analisis Citra landsat Tropenboss)


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 7 April 1964,

penulis merupakan anak kelima dari delapan bersaudara dari pasangan

Bapak H. Abdul Gani (Almarhum) dan Ibu Hj Siti Rukoyah (Almarhumah).

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Cibalagung

Bogor, Sekolah Menengah Pertama di SMPN I Bogor, Sekolah Analis

Kimia Bogor. Pada tahun 1986 penulis lulus Akademi Kimia Analis Bogor,

Penulis lulus Universitas Terbuka pada tahun 1997, dan melanjutkan di

Sekolah Pascasarjana Universitas Nusa Bangsa pada tahun 2003 dan lulus

tahun 2005.

Penulis menikah dengan Udjiono (Almarhum) padan tahun 1989 dan

dikaruniai dua orang putri yaitu Intannia Ekanasty dan Meilina Pudjiani,

kemudian penulis menikah dengan Drs. Pudji Mardjuki Achmadi, MSi pada

tahun 1999 dan dikaruniai seorang putra yaitu Rezadha Achmadani. Sejak

tahun 1988 sampai sekarang penulis bekerja di Pusat Litbang Hutan dan

Konservasi Alam Bogor dan institusinya sekarang menjadi Pusat Litbang

Konservasi dan Rehabilitasi dan sejak tahun 2001 penulis sebagai peneliti.

Pada tahun 2009 penulis mendapat kesempatan dari Badan Litbang

Kehutanan, Kementerian Kehutanan untuk melanjutkan pendidikan S3

melalui program Research School pada Sekolah Pascasarjana dengan Mayor

Ilmu Pengelolaan Hutan, Institut Pertanian Bogor.