Penggunaan Habitat Koridor Halimun Salak oleh Elang ular bido (Spilornis cheela Latham, 1790) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

PENGGUNAAN HABITAT KORIDOR HALIMUN SALAK
OLEH ELANG ULAR BIDO (Spilornis cheela Latham, 1790)
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ALYA FARYANTI PURBAHAPSARI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Penggunaan Habitat
Koridor Halimun Salak oleh Elang Ular Bido (Spilornis cheela Latham, 1790) di
Taman Nasional Gunung Halimun Salak” adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Alya Faryanti Purbahapsari
NIM E34090030

ABSTRAK
ALYA FARYANTI PURBAHAPSARI. Penggunaan Habitat Koridor Halimun
Salak oleh Elang Ular Bido (Spilornis cheela Latham, 1790) di Taman Nasional
Gunung Halimun Salak. Dibimbing oleh JARWADI BUDI HERNOWO dan
AGUS PRIYONO KARTONO.
Elang ular bido termasuk salah satu jenis burung pemangsa yang telah
dilindungi oleh peraturan pemerintah Indonesia. Populasinya di alam terancam
akibat hilangnya habitat yang disebabkan degradasi hutan. Langkah awal yang
dapat dilakukan untuk melindungi jenis ini adalah mengkaji penggunaan habitat
berdasarkan fungsinya, yakni sebagai cover maupun tempat mencari makan.
Selain fungsi habitat, dikaji pula fungsi pendukung berupa tipe penutupan lahan,
kemiringan lahan, ketinggian tempat dari permukaan laut dan jarak tempat
aktivitas elang ular bido dari pusat gangguan di Koridor Halimun Salak, Taman
Nasional Gunung Halimun Salak. Penelitian dilakukan pada bulan April-Juni

2013 dengan metode point count. Berdasarkan pengamatan, diketahui bahwa
fungsi habitat di penutupan hutan yaitu sebagai tempat beristirahat dan bersarang.
Elang ini berburu di hutan serta area terbuka berupa ladang, sawah dan semak
belukar yang dekat dengan hutan. Nilai-nilai fungsi pendukung yang dipilih elang
ular bido berada pada area terbuka yang dekat dengan hutan.
Kata kunci: elang ular bido, koridor Halimun Salak, penggunaan habitat
ABSTRACT
ALYA FARYANTI PURBAHAPSARI. Habitat Use of Halimun Salak Corridor
by Crested serpent eagle (Spilornis cheela Latham, 1790) in Mount Halimun
Salak National Park. Supervised by JARWADI BUDI HERNOWO and AGUS
PRIYONO KARTONO.
Crested serpent eagle is one of the raptor species in Indonesia which has
protected by the Indonesian law. The population threatened due to habitat looses
caused by forest degradation. The initial step could be done to preserve the
species through study of the habitat use based on habitat functions, such as cover
and food supply. Beside habitat functions, it was also identified the supporting
functions, such as slope, altitude, and distance from source of disturbances in
Halimun Salak Corridor, Mount Halimun Salak National Park. The research
conducted in April-June 2013 through point count method. Based on field
observation, it was identified that habitat function at forest cover can be as resting

area and nesting site. The eagle hunted in forest and open area such as
horticultural fields, rice fields, and shrubs near the forest. Values of the supporting
functions selected by crested serpent eagle was in open area near the forest.
Keywords: crested serpent eagle, habitat use, Halimun Salak corridor

PENGGUNAAN HABITAT KORIDOR HALIMUN SALAK
OLEH ELANG ULAR BIDO (Spilornis cheela Latham, 1790)
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ALYA FARYANTI PURBAHAPSARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2013

Judul Skripsi: Penggunaan Habitat Koridor Halimun Salak oleh Elang ular bido
(Spilornis cheela Latham, 1790) di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak
Nama
: Alya Faryanti Purbahapsari
NIM
: E34090030

Disetujui oleh

Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF
Pembimbing I

Dr Ir Agus Priyono Kmiono, MSi
Pembimbiag II

MS


Tanggal Lulus:

05 S:P 20t3

Judul Skripsi : Penggunaan Habitat Koridor Halimun Salak oleh Elang ular bido
(Spilornis cheela Latham, 1790) di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak
Nama
: Alya Faryanti Purbahapsari
NIM
: E34090030

Disetujui oleh

Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF
Pembimbing I

Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi
Pembimbing II


Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah
penggunaan habitat, dengan judul Penggunaan Habitat Koridor Halimun Salak
oleh Elang ular bido (Spilornis cheela Latham, 1790) di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF
dan Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi selaku pembimbing. Penghargaan penulis
sampaikan kepada Dr Ir Agus Priambudi, MSc beserta seluruh staff Taman
Nasional Gunung Halimun Salak, serta khususnya kepada Pak Ade, Pak Wawan,
Ibu Cicah, Pak Kewen serta Pak Mus yang telah membantu selama pengumpulan

data. Selain itu, terima kasih kepada teman-teman dari Fast Track 46, Anggrek
Hitam (KSHE 46), serta UKM Uni Konservasi Fauna atas semangat, saran serta
bantuannya selama penelitian ini berlangsung. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013
Alya Faryanti Purbahapsari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN


viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan

1

Manfaat

1

METODE


2

Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

2

Bahan Penelitian

2

Peralatan Penelitian

2

Prosedur Pengambilan Data

3

Analisis Data


6

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

8

Penggunaan Habitat Berdasarkan Fungsi Cover

8

Penggunaan Habitat Berdasarkan Fungsi Pakan

11

Penggunaan Habitat Berdasarkan Tipe penutupan Lahan


15

Penggunaan Habitat Berdasarkan Ketinggian dari Permukaan Laut

18

dan Kemiringan Lahan

18

Penggunaan Habitat Berdasarkan Jarak dari Pusat Gangguan

23

SIMPULAN DAN SARAN

29

Simpulan

29

Saran

29

DAFTAR PUSTAKA

29

RIWAYAT HIDUP

39

LAMPIRAN

32

DAFTAR TABEL
1 Lokasi pengamatan elang ular bido di KHS
2 Kriteria satwa pakan elang ular bido hasil modifikasi dari Chou et al.
(2004) dan Gokula (2012a)
3 Peubah yang diukur pada pemilihan habitat berdasarkan Indeks Neu
4 Penggunaan vegetasi untuk beristirahat oleh elang ular bido di KHS
5 Daftar jenis pakan potensial elang ular bido di KHS
6 Nilai chi square pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido
berdasarkan tipe penutupan lahan
7 Indeks Neu untuk pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido
berdasarkan tipe penutupan lahan
8 Nilai chi square pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido
berdasarkan ketinggian lahan dari permukaan laut
9 Indeks Neu untuk pemilhan habitat berdasarkan ketinggian lahan dari
permukaan laut
10 Nilai chi square pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido
berdasarkan kemiringan lahan
11 Nilai Indeks Neu untuk pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido
berdasarkan kemiringan lahan
12 Nilai chi square pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido
berdasarkan jarak dari jalan
13 Indeks Neu untuk pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido
berdasarkan jarak dari jalan
14 Nilai chi square pemilihan elang ular bido berdasarkan jarak dari
pemukiman di KHS
15 Indeks Neu untuk preferensi elang ular bido berdasarkan jarak dari
pemukiman di KHS

3
6
7
9
12
15
15
18
20
21
21
24
24
26
27

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Peta lokasi penelitian di wilayah Koridor Halimun Salak.
Pembagian ruang tajuk pohon (Putri 2009).
Ilustrasi jalur analisis vegetasi.
Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lahan.
Proses pembuatan peta jarak dari jalan dan peta jarak dari pemukiman.
Penggunaan pohon kayu afrika (Maesopsis eminii) oleh elang ular bido
untuk beristirahat.
Aktivitas soaring elang ular bido pada area ladang di stasiun
pengamatan Guest House Cipeteuy, KHS.
Aktivitas berburu (a) elang brontok dan (b) elang hitam di KHS.
Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan tipe
penutupan lahan.
Peta sebaran perjumpaan elang ular bido berdasarkan tipe penutupan
lahan di KHS.

2
3
4
5
6
10
13
14
16
17

11 Peta perjumpaan elang ular bido berdasarkan ketinggian lahan di KHS.
12 Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan ketinggian
lahan.
13 Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan kemiringan
lahan.
14 Peta sebaran perjumpaan elang ular bido berdasarkan kemiringan lahan
di KHS.
15 Peta sebaran perjumpan elang ular bido berdasarkan jarak dari jalan di
KHS.
16 Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan jarak dari
jalan.
17 Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido berdasarkan jarak dari
pemukiman.
18 Peta sebaran perjumpaan elang ular bido berdasarkan jarak dari
pemukiman di KHS.

19
20
21
22
25
26
27
28

DAFTAR LAMPIRAN
1 Daftar jenis satwa di Koridor Halimun Salak
2 Daftar jenis tumbuhan berdasarkan strata vertikal di Koridor Halimun
Salak
3 Data perjumpaan elang ular bido di Koridor Halimun Salak

32
35
37

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Elang ular bido (Spilornis cheela Latham, 1790) merupakan salah satu jenis
burung pemangsa di Indonesia (Supriatna 2012). Jenis ini menempati posisi
sebagai pemangsa tingkat puncak (top of predator) dalam ekosistem. Oleh karena
itu gangguan terhadap populasi elang ular bido akan mempengaruhi kestabilan
ekosistem, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jenis ini juga telah
tercantum dalam daftar jenis satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Kelestarian populasi elang ular bido di alam perlu diperhatikan karena terancam
akibat penurunan luas habitat yang disebabkan oleh kerusakan hutan. Hutan di
Pulau Jawa khususnya, telah mengalami kerusakan akibat penebangan liar serta
pembukaan lahan untuk pertanian dan pemukiman (Supriatna 2012). Mengingat
bahwa elang ular bido membutuhkan wilayah jelajah yang luas untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, yaitu 16.65 km2 untuk individu jantan dan 6.93 km2 untuk
individu betina (Chou et al. 2012) maka keutuhan habitatnya perlu dipertahankan.
Habitat merupakan suatu kesatuan komponen fisik maupun biotik yang
berfungsi sebagai tempat hidup dan berkembangnya satwa (Alikodra 2002;
Stamps 2008). Hasil penelitian Prawiradilaga et al. (2001) menunjukkan bahwa
Koridor Halimun Salak (KHS) merupakan salah satu habitat elang ular bido.
Wilayah KHS berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
dengan kondisi memanjang dari arah Barat ke Timur dan menghubungkan
kawasan Gunung Halimun dan kawasan Gunung Salak. Perbandingan klasifikasi
citra satelit tahun 1990 dan 2001 menunjukkan adanya penurunan luas hutan di
KHS sebesar 347.523 ha, serta penyempitan lebar hutan dari 1.4 km pada tahun
1990 menjadi 0.7 km pada tahun 2001 (Cahyadi 2003). Berkurangnya luas hutan
sebagai habitat elang ular bido dapat mempengaruhi fungsinya dalam memenuhi
kebutuhan hidup, khususnya dalam menyediakan pakan (Arroyo et al. 2004).
Informasi mengenai penggunaan habitat merupakan data dasar dalam mempelajari
bagaimana elang ular bido melangsungkan hidupnya di suatu habitat pada waktu
tertentu. Informasi ini perlu dikumpulkan secara berkala sebagai dasar penentuan
kebijakan pengelolaan kawasan. Oleh karena itu kajian mengenai penggunaan
habitat KHS oleh elang ular bido penting untuk dilakukan.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penggunaan habitat Koridor
Halimun Salak oleh elang ular bido di Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terbaru bagi
pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak serta menjadi bahan

2
pertimbangan dalam menentukan lokasi prioritas perlindungan habitat khususnya
di wilayah Koridor Halimun Salak.

METODE
Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Koridor Halimun Salak (KHS). KHS berada dalam
wilayah pengelolaan Resort Gunung Kendeng dan Resort Gunung Endut, Balai
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Penelitian dilakukan pada bulan April
hingga Juni tahun 2013. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di wilayah Koridor Halimun Salak.

Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta ASTER GDEM v2
tanggal 17 Oktober 2011, peta kawasan Koridor Halimun Salak skala 1:25000,
peta penutupan lahan TNGHS skala 1:25000 serta peta digital berupa peta sebaran
kampung dan peta jaringan jalan.

Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan terdiri atas: binokuler, kompas, Global
Positioning System (GPS), busur derajat untuk mengetahui posisi objek (elang
ular bido) dari pengamat, pita ukur untuk mengukur jarak dan diameter pohon,
haga untuk mengukur tinggi pohon, alat penunjuk waktu dan kamera digital untuk
keperluan dokumentasi, serta komputer yang dilengkapi software ArcGIS 9.3 dan
Global Mapper v13.00 untuk analisis data.

3
Prosedur Pengambilan Data
Penggunaan habitat oleh elang ular bido di KHS diketahui dengan
mengumpulkan data perjumpaan dan kondisi habitat. Prosedur yang dilakukan
yaitu:
1. Perjumpaan elang ular bido
Data perjumpaan dikumpulkan dengan metode point count. Berdasarkan
hasil survey lapang, ditetapkan lima titik pengamatan di KHS masing-masing
dengan radius 1500 m (Tabel 1). Lokasi titik pengamatan berada di puncak bukit
atau dasar lembah agar mudah mendeteksi keberadaan elang ular bido.
Pengamatan dilakukan pada pukul 08.00 - 16.00 WIB selama tujuh hari pada
setiap titik pengamatan.
Tabel 1 Lokasi pengamatan elang ular bido di KHS
Koordinat
Lokasi
Keterangan
Y
X
Guest House Cipeteuy
9252199.002
676632.855
puncak bukit
Garehong-Cimapag
9254350.203
677083.167
dasar lembah
Growek
9253250.793
680736.585
puncak bukit
Cisarua
9252484.379
678223.568
puncak bukit
Sukagalih
9252668.318
674118.330
puncak bukit
Informasi yang dicatat mencakup tipe tutupan lahan, waktu perjumpaan,
jumlah individu, posisi geografis pengamat, sudut proyeksi elang ular bido
terhadap arah Utara, jarak datar elang terhadap pengamat serta ciri fisik yang
terlihat seperti adanya bulu yang meluruh (molting), warna bulu dan adanya luka
atau cacat. Pencatatan aktivitas dilakukan dengan metode ad-libitum sampling.
Informasi yang dicatat yaitu jenis aktivitas, waktu setiap aktivitas dimulai dan
diakhiri, serta jenis sumber daya yang digunakan. Apabila ditemukan aktivitas
bertenger, dicatat jenis pohon serta posisi ruang tajuk yang digunakan. Pembagian
ruang tajuk mengikuti kriteria Putri (2009), yang disajikan pada Gambar 2. Tajuk
pohon dibagi secara vertikal menjadi ruang I, II, dan III, sedangkan secara
horizontal dibagi menjadi ruang A, B, dan C.

Gambar 2 Pembagian ruang tajuk pohon (Putri 2009).

4
2. Kondisi habitat
Data kondisi habitat yang dikumpulkan meliputi aspek vegetasi pelindung
(cover), aspek pakan serta aspek fisik kawasan. Pengukuran aspek vegetasi
dilakukan dengan metode jalur berpetak untuk mengetahui komposisi dan struktur
vegetasi. Sebanyak empat jalur ditempatkan di wilayah KHS dengan ukuran
masing-masing 100 m x 20 m. Secara teknis, jalur dibagi menjadi sub-sub petak
pengamatan dengan ukuran yang berbeda. Petak 20 m x 20 m untuk pengamatan
vegetasi tingkat pertumbuhan pohon, 10 m x 10 m untuk tingkat tiang, 5 m x 5 m
untuk tingkat pancang dan 2 m x 2 m untuk tingkat semai serta tumbuhan bawah
(Gambar 3). Data yang dikumpulkan untuk tingkat pohon dan tiang adalah jenis,
diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang dan tinggi total. Data untuk tingkat
pancang, semai, dan tumbuhan bawah yang dicatat adalah jenis tumbuhan dan
jumlah individu setiap jenis (Soerianegara dan Indrawan 1980).

Gambar 3 Ilustrasi jalur analisis vegetasi.
Aspek pakan diketahui dari hasil observasi terhadap jenis-jenis satwa
burung, mamalia, reptil serta amfibi. Pengumpulan data dilakukan pada tiga
kategori penutupan lahan, yaitu Hutan-Semak (Ht-Sm), Sawah-Ladang (Sw-Ld)
dan Kebun teh (Kt). Pengamat berjalan sambil mengamati keberadaan satwa pada
jalur sepanjang 1000 m di setiap kategori lahan. Pengamatan dilakukan selama
tiga hari pada setiap jalur, yaitu pada pukul 06.00-07.30 WIB dan 16.30-18.00
WIB. Pengamatan reptil dan amfibi juga dikumpulkan dengan metode VES
(Visual Encountered Survey) pada pukul 20.00-21.00 WIB. Satwa yang dijumpai
langsung diidentifikasi nama jenisnya. Jika satwa tidak dapat diidentifikasi
langsung, maka satwa ditangkap untuk kemudian diukur panjang tubuh, panjang
dari ujung moncong hingga ekor serta ciri fisik lainnya. Setelah diidentifikasi,
hasil tangkapan dilepaskan kembali.
Data kondisi fisik kawasan diperoleh dari tabulasi peta-peta tematik yaitu
peta penutupan lahan, peta ketinggian lahan dari permukaan laut, peta kemiringan
lahan, peta jarak dari jalan serta peta jarak dari pemukiman. Luas kawasan
ditentukan dengan tools ‘calculate geometry’ pada ArcGIS 9.3. Proses pembuatan
peta-peta tersebut yaitu sebagai berikut:
a. Tipe penutupan lahan
Peta penutupan lahan KHS diperoleh dari hasil reklasifikasi peta
penutupan lahan TNGHS menggunakan ArcGIS 9.3. Tutupan lahan
diklasifikasikan menjadi lima tipe yaitu hutan, semak belukar, sawah, ladang,
dan kebun teh.

5
b. Ketinggian dari permukaan laut dan kemiringan lahan
Data ketinggian lahan dari permukaan laut serta kemiringan lahan
diperoleh dari peta ASTER GDEM. Peta ASTER GDEM diubah menjadi peta
ketinggian menggunakan Global Mapper v13.00 kemudian diubah menjadi
peta kemiringan lahan menggunakan ArcGIS 9.3. Klasifikasi ketinggian lahan
dilakukan dengan interval 100 m dpl, karena menurut Alan dan Zeeya (2007)
setiap bertambahnya ketinggian 100 m maka suhu atmosfer akan meningkat
sebanyak 0.5oC. Klasifikasi kemiringan lahan berdasarkan pada Peraturan
Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. SK 157/V-SET/2004
tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Kemiringan 08% diklasifikasikan sebagai datar, 8-15% landai, 15-25% agak curam, 25-40%
curam dan >40% sangat curam. Proses pembuatan peta ketinggian dan
kelerengan disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lahan.
c. Jarak dari sumber gangguan
Sumber gangguan terhadap elang ular bido diasumsikan berada pada
pusat aktivitas manusia yaitu infrastruktur jalan serta pemukiman. Jarak lokasi
aktivitas elang ular bido dengan sumber gangguan diketahui dengan melakukan
multiple ring buffer terhadap peta jaringan jalan dan peta sebaran kampung
pada ArcGIS 9.3 (Gambar 5). Pengukuran jarak dimulai dari titik terluar jalan
dan pemukiman. Klasifikasi jarak dari jalan yang digunakan adalah 0-200 m,
200-400 m, 400-600 m dan >600 m karena frekuensi aktivitas elang meningkat
13.5% pada penambahan jarak sejauh 200 m (Steidl dan Anthony 2000) dan
respon elang terhadap aktivitas manusia yang berasal dari jalan sangat kecil
pada jarak >600 m. Klasifikasi jarak dari pemukiman yaitu 0-400 m, 400-800
m, 800-1200 m dan >1200 m. Hal ini didasari oleh hasil penelitian Steidl dan
Anthony (2000) terhadap elang botak (Haliaeetus leucocephalus) di Alaska,
Amerika Serikat, yang menunjukkan bahwa frekuensi aktivitas elang
meningkat sebanyak 26.6% dengan penambahan jarak sejauh 400 m. Respon
terhadap gangguan dari pemukiman sangat kecil pada jarak lebih dari 1200 m,
sehingga digunakan kelas jarak >1200 m.

6

Gambar 5 Proses pembuatan peta jarak dari jalan dan peta jarak dari pemukiman.

Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Penggunaan habitat berdasarkan fungsi pelindung (cover)
Pohon yang digunakan untuk berlindung oleh elang ular bido berada pada
strata A hingga C (Gokula 2012b; Ueta dan Minton 1998). Oleh sebab itu hasil
pengukuran vegetasi pelindung di KHS dianalisa dengan menjabarkan komposisi
dan struktur vegetasi pada strata vertikal A hingga C. Menurut klasifikasi
Longman dan Jenik (1987), strata A terdiri atas pohon dengan tinggi lebih dari 25
m. Strata B terdiri atas pohon dengan tinggi antara 10 - 25 m, sementara strata C
terdiri atas pohon dengan tinggi antara 5 - 10 m. Perhitungan kerapatan jenis
pohon dilakukan dengan rumus:
Jumlah individu suatu jenis
Kerapatan (K) =
Luas unit contoh
2. Penggunaan habitat berdasarkan fungsi pakan
Tidak semua jenis satwa yang dijumpai di KHS termasuk dalam jenis pakan
elang ular bido. Oleh sebab itu dilakukan penyaringan terhadap jenis satwa yang
dijumpai di KHS. Jenis-jenis mangsa elang ular bido di KHS diketahui dari
kriteria jenis pakan elang ular bido yang disarikan dari hasil pengamatan Chou et
al. (2004) serta Gokula (2012a) pada Tabel 2.
Tabel 2 Kriteria satwa pakan elang ular bido hasil modifikasi dari
Chou et al. (2004) dan Gokula (2012a)
Mamalia
Reptil
Amfibi
Burung
Mamalia
Semua jenis
Jenis yang tidak Jenis-jenis burung yang tidak
kecil, baik
kadal dan
gesit bergerak
gesit bergerak dengan ukuran
terestrial
bunglon serta
dan hidup pada
kecil (14 cm) hingga besar
seperti tikus
semua jenis
daerah yang
(50 cm), antara lain suku
maupun
ular dengan
terbuka, seperti
Chlorophseidae,
arboreal
panjang tubuh kodok buduk
Columbidae, Sturnidae,
seperti bajing hingga 2 m
(Bufonidae)
Monarchidae dan Oriolidae.
3. Penggunaan habitat berdasarkan fungsi pendukung
Ada tidaknya pemilihan terhadap peubah habitat yang digunakan oleh
elang ular bido di KHS dianalisa dengan chi square test. Peubah yang dianalisa
merupakan peubah fisik kawasan meliputi tutupan lahan, kemiringan lahan,
ketinggian lahan dari permukaan laut serta jarak dari pusat gangguan. Pemilihan

7
terhadap peubah habitat yang digunakan oleh elang ular bido diindikasikan terjadi
apabila penggunaan dilakukan secara tidak acak. Rumus yang digunakan yaitu:
(O  Ei )2
2
 hitung
 i
Ei
Keterangan :
Oi = frekuensi pengamatan
Ei = frekuensi harapan
Hipotesa yang diuji adalah:
Ho : Elang ular bido menggunakan peubah habitat secara acak
H1 : Elang ular bido menggunakan peubah habitat secara tidak acak (ada
pemilihan)
Keputusan yang diambil adalah sebagai berikut:
a. Jika

 2hitung  (20.05,df )
, maka terima H0.

b. Jika

 2hitung  (20.05,df )

maka tolak H0 dan terima H1.

Apabila peubah habitat yang digunakan oleh elang ular bido dilakukan
secara tidak acak (ada pemilihan), maka selanjutnya dilakukan penentuan nilai
peubah yang paling disukai dengan Indeks Neu (Bibby et al. 1998). Peubah yang
diukur disajikan dalam Tabel 3. Jika nilai indeks pemilihan habitat lebih besar dari
1 (w ≥ 1) maka habitat tersebut disukai, sebaliknya jika bernilai kurang dari 1 (w
< 1) maka habitat tersebut dihindari. Habitat yang paling disukai adalah yang
memiliki nilai tertinggi pada indeks pemilihan yang distandarkan (b).
Tabel 3 Peubah yang diukur pada pemilihan habitat berdasarkan Indeks Neu
Kriteria habitat
a
p
n
u
w
b
1
a1
p1
n1
u1
w1
b1
2
a2
p2
n2
u2
w2
b2
...
...
...
...
...
...
...
K
ak
pk
nk
uk
wk
bk
∑ni
Jumlah
∑ai
1.00
1.00
∑wi
1.00
a = luas area (ha)
p = proporsi luas lokasi dijumpainya elang ular bido
n = jumlah perjumpaan elang ular bido di suatu lokasi
u = proporsi jumlah perjumpaan elang ular bido (n i / ∑ni)
w = indeks pemilihan habitat (ui / pi)
b = indeks pemilihan habitat yang distandarkan (wi / ∑wi)

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kondisi Fisik
Koridor Halimun Salak (KHS) adalah area memanjang yang
menghubungkan kawasan Gunung Halimun dengan Kawasan Gunung Salak.
Berdasarkan klasifikasi Scmidt dan Ferguson, iklim di KHS termasuk tipe iklim
B. Kawasan KHS terbagi menjadi dua wilayah curah hujan tahunan rata-rata,
yaitu sedang (4000-4500 mm/tahun) yang terdapat di koridor bagian selatan, dan
tinggi (4500-5000 mm/tahun) di koridor bagian utara (BTNGHS 2009). KHS
merupakan hulu dari dua DAS yaitu DAS Cianten dan DAS CitariK. Das Cianten
memiliki empat anak sungai yaitu anak sungai Cianten, Cimapag, Cigarehong,
dan Cisurupan. Sedangkan DAS Citarik meliputi tujuh anak sungai yaitu
Cisalimar, Ciawitali, Cipanas, Cisarua, Cipicung, Ciherang, dan Cipeteuy.
Data BTNGHS (2009) menunjukkan bahwa jenis tanah di kawasan KHS
termasuk dalam tipe tanah mediteran yang didominasi oleh latosol coklat
kemerahan serta latosol coklat. Peta ASTER GDEM v2 tanggal 17 Oktober 2011
menunjukkan bahwa ketinggian area KHS berkisar antara 728-867 m dpl.
Kemiringan lahan di KHS mliputi datar hingga sangat curam. Kelas kemiringan
lahan yang dominan adalah 15-25% dengan topografi landai.
Kondisi Biologi
Menurut BTNGHS (2009), jumlah jenis flora yang ditemukan di KHS
meliputi 197 marga dan 80 suku. Jenis-jenis pohon yang dijumpai di KHS antara
lain puspa (Schima wallichii), kimerak (Weinmannia blumei), pasang (Quercus
sp.) serta saninten (Castanopsis sp.). Terbukanya kanopi hutan akibat kerusakan
merangsang pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan lantai hutan, antara lain paku
andam (Dicranopteris linearis), tepus (Etlingera punicea), dan nampong
(Clibadium surinamensis). Jenis-jenis fauna yang dijumpai di KHS antara lain
mencakup 14 jenis mamalia dan 66 jenis burung. Jenis primata yang dijumpai
antara lain owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung jawa
(Trachypithecus auratus) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Disamping itu dijumpai jenis-jenis burung pemangsa, antara lain elang ular bido
(Spilornis cheela), elang hitam (Ichtinaetus malayensis), elang jawa (Spizaetus
bartelsi) dan alap-alap capung (Microchierax fringillarius).

Penggunaan Habitat Berdasarkan Fungsi Cover
Berdasarkan hasil pengamatan, elang ular bido menggunakan tipe
penutupan lahan hutan untuk berlindung. Aktivitas berlindung dilakukan dengan
cara beristirahat, yaitu diam dengan posisi bertengger pada dahan pohon. Hutan
KHS digunakan sebagai tempat beristirahat karena menyediakan tempat
bertengger serta naungan berupa vegetasi pohon. Hasil analisis vegetasi
menunjukkan bahwa pada hutan KHS terdapat enam jenis pohon pada strata A,
sepuluh jenis pohon pada strata B dan tujuh jenis pohon pada strata C (Lampiran
2). Seluruh jenis pohon ini berpotensi untuk digunakan oleh elang ular bido. Hal

9
ini didasari oleh hasil penelitian Gokula (2012b) di India serta Ueta dan Minton
(1998) di Jepang yang menunjukkan bahwa pohon yang digunakan untuk
bertengger oleh elang ular bido berada pada strata A hingga C. Frekuensi
penggunaan jenis-jenis pohon dibandingkan dengan ketersediaannya di hutan
KHS disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Penggunaan vegetasi untuk beristirahat oleh elang ular bido di KHS
Frekuensi Penggunaan
K
Strata
Jenis
Nama Ilmiah
Penggunaan Ruang Tajuk (ind/ha)
A
Pasang
Quercus sp.
4
BII
Ki putri
Podocarpus sp.
1
BII
Puspa
Schima wallichii
0
36.25
Lame
Alstonia scholaris
0
1.25
Rasamala
Altingia excels
0
10.00
Damar
Agathis damara
0
3.75
Ki hujan
Engelhardia spicata
0
1.25
Kayu afrika Maesopsis eminii
1
CIII
1.25
B
Damar
Agathis damara
0
10.00
Ki wates
Eurya acuminate
0
2.50
Jeret
Mastixia trichotoma
1
BII
1.25
Kaliandra
Calliandra
0
2.50
putih
emarginata
Kayu afrika Maesopsis eminii
0
1.25
Ki hujan
Engelhardia spicata
0
1.25
Kurai
Trema orientalis
0
1.25
Puspa
Schima wallichii
0
5.00
Symplocos
0
3.75
Jirag
fasciculata
Mara
Macaranga tanarius
0
1.25
C
Damar
Agathis damara
0
13.75
Kenung
Helica javanica
0
1.25
Ki sampang Melicope latifolia
0
1.25
Puspa
Schima wallichii
0
2.50
Kalapacing Horfieldia glabra
0
1.25
Arthrophyllum
0
1.25
Gompong
diversifolium
Kaliandra
Calliandra
0
17.50
putih
emarginata
BII = ruang tajuk tengah, pada jarak dua pertiga jari-jari tajuk dari pusat batang
CIII = ruang tajuk bawah, pada jarak satu pertiga jari-jari tajuk dari pusat batang
= tidak ditemukan dalam plot pengamatan

Jenis-jenis pohon di hutan KHS yang digunakan untuk beristirahat adalah
kayu afrika (Maesopsis eminii), jeret (Mastixia trichotoma), pasang (Quercus sp.)
dan ki putri (Podocarpus sp.). Pohon yang digunakan oleh elang ular bido dalam
kondisi mati (n=1) dan hidup (n=6). Hal ini sesuai dengan penelitian Gokula
(2012b) di India yang menunjukkan bahwa elang ular bido tidak hanya
menggunakan pohon dengan kondisi hidup, tetapi juga pohon dalam kondisi mati

10
untuk bertengger. Dua jenis pohon yang digunakan oleh elang ular bido berada di
luar petak analisis vegetasi, yaitu pohon pasang (Quercus sp.) dan ki putri
(Podocarpus sp.). Pohon-pohon yang digunakan untuk beristirahat di KHS
memiliki ciri tajuk yang tidak rapat. Kondisi tajuk demikian dapat mempermudah
akses untuk terbang masuk serta keluar dari tempat bertengger. Pohon ki putri
yang digunakan elang ular bido dalam kondisi mati. Pohon ini tidak tertutup oleh
tajuk sehingga memudahkan akses elang tersebut untuk bertengger.
Elang ular bido menggunakan pohon pada strata A hingga B untuk
beristirahat. Pohon yang menempati strata A digunakan sebanyak enam kali
sedangkan pohon pada strata B digunakan sebanyak satu kali. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Berkelman et al. (2002) terhadap elang ikan di
Madagaskar yang menunjukkan bahwa frekuensi penggunaan pohon untuk
bertengger terdapat korelasi positif dengan tinggi pohon. Semakin tinggi pohon
maka frekuensi penggunaannya oleh elang akan semakin tinggi. Berdasarkan
ruang tajuk pohon, elang ular bido menggunakan ruang tajuk BII sebanyak enam
kali dan satu kali pada ruang CIII. Kondisi cabang pohon pada kedua ruang tajuk
ini berukuran besar, tumbuh dengan posisi mendatar dan dekat dengan pusat
batang pohon (Gambar 6). Menurut Prawiradilaga et al. (2003), berat tubuh elang
ular bido berkisar antara 420 g hingga 1800 g, sehingga burung ini membutuhkan
cabang pohon yang cukup kokoh untuk menopang tubuhnya selama beristirahat.
Hal ini terpenuhi pada ruang tajuk BII dan CIII. Selain menyediakan cabang yang
kokoh, ruang BII dan CIII juga menyediakan naungan bagi elang ular bido karena
terhalangi tajuk pohon di atasnya. Aktivitas beristirahat ditemukan saat matahari
bersinar terik (pukul 11.50-13.47 WIB) sehingga naungan tajuk pohon dapat
memberikan perlindungan terhadap cuaca panas.

Gambar 6 Penggunaan pohon kayu afrika (Maesopsis eminii)
oleh elang ular bido untuk beristirahat.
Selain untuk beristirahat, hasil pengamatan menunjukkan bahwa area KHS
digunakan pula oleh elang ular bido untuk bersarang. Hal ini diketahui dari
teramatinya aktivitas berupa terbang sambil membawa ranting di stasiun
pengamatan Guest House Cipeteuy. Elang ular bido membawa ranting dengan
menggunakan paruhnya. Ranting merupakan material utama pembangun sarang
elang ular bido (Chou et al. 2004). Oleh karena itu aktivitas membawa ranting
menunjukkan potensi keberadaan sarang jenis elang ini di area KHS. Penggantian

11
ranting dilakukan oleh elang ular bido pada masa inkubasi hingga masa mengasuh
berakhir yaitu di bulan Februari-Juni (Chou et al. 2004; Gokula 2012a).
Penggantian ranting ini dilakukan untuk mencegah tumbuhnya ektoparasit (Chou
et al. 2004). Infestasi ektoparasit berbahaya bagi jenis-jenis elang karena dapat
mengakibatkan iritasi, kerontokan bulu dan kerusakan pada bulu-bulu primer
sehingga tidak dapat terbang lagi (Wijaya 2008).
Berdasarkan hasil pengamatan, jenis pohon di area koridor yang berpotensi
untuk digunakan sebagai pohon sarang elang ular bido adalah rasamala (Altingia
excelsa), puspa (Schima wallichii) dan ki hujan (Engelhardia spicata). Elang tidak
sembarangan dalam menggunakan pohon untuk bersarang. Penelitian Gokula
(2012b) menunjukkan bahwa pohon yang digunakan elang ular bido untuk
bersarang memiliki tinggi dan diameter yang berbeda signifikan dengan pohon
lain yang diukur pada petak acak di habitat yang sama. Pohon sarang memiliki
tinggi dan diameter yang lebih besar dibandingkan dengan pohon lain, atau
emergent trees. Hal yang sama juga terbukti pada pohon sarang elang ikan
(Haliaeetus vociferoides) di Madagaskar (Berkelman et al. 2002). Jenis-jenis
pohon emergent pada area KHS adalah rasamala, puspa dan ki hujan. Penggunaan
jenis pohon rasamala dan puspa untuk tempat bersarang juga pernah
terdokumentasi pada jenis elang lain, yaitu elang jawa (Prawiradilaga 2006) dan
elang hitam (Supriatna dan Suparman 2005). Selain ukuran pohon, aspek
keterbukaan tajuk juga menjadi pertimbangan oleh elang dalam pemilihan pohon
sarang (Berkelman et al. 2002). Hal ini terpenuhi pada jenis-jenis pohon yang
tajuknya tidak rapat, seperti kondisi pada pohon rasamala, puspa dan ki hujan.

Penggunaan Habitat Berdasarkan Fungsi Pakan
Berdasarkan hasil pengamatan, wilayah KHS memiliki potensi dalam
menyediakan makanan bagi elang ular bido. Jenis-jenis satwa yang dijumpai di
KHS meliputi 52 jenis burung, 9 jenis mamalia, 8 jenis reptil serta 6 jenis amfibi
(Lampiran 1). Jenis-jenis burung yang dijumpai antara lain srigunting kelabu
(Dicrurus leucophaeus), cica koreng jawa (Megalurus palustris), cucak gunung
(Pycnonotus bimaculatus), cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), serta
kacamata gunung (Zosterops montanus). Jenis mamalia yang dijumpai di KHS
antara lain tupai (Tupaia glis), bajing kelapa (Callosciurus notatus), owa jawa
(Hylobates moloch), surili (Presbytis comata) dan macan tutul (Panthera pardus).
Jenis-jenis reptil yang dijumpai antara lain bunglon surai (Bronchocela jubata),
kadal kebun (Eutropis multifasciata), ular lidah api (Dendrelaphis pictus), ular
pucuk (Ahaetulla prasina), dan bunglon hutan (Gonocephalus chamaeleontinus).
Dijumpai jenis-jenis amfibi antara lain katak serasah (Megophris montana), katak
pohon hijau (Rhacophorus reindwardtii), katak tegalan (Fejervarya limnocharis),
dan kodok buduk (Bufo sp.). Tidak semua jenis satwa yang dijumpai berpotensi
sebagai pakan bagi elang ular bido. Jenis-jenis yang termasuk dalam kriteria
mangsa elang ular bido di KHS mencakup sepuluh jenis burung, dua jenis
mamalia, delapan jenis reptil dan dua jenis amfibi (Tabel 5).

12
Tabel 5 Daftar jenis pakan potensial elang ular bido di KHS
No

1
2
3
4

Nama lokal
Burung
Ayam hutan
merah
Uncal
Tekukur biasa
Wiwik lurik

5 Wiwik uncuing
6
7
8
9
10
1
2
1
2

Kadalan
kembang
Bubut alangalang
Cipoh kacat
Cica daun sayap
biru
Seriwang asia
Mamalia
Tupai
Bajing kelapa
Reptil
Bunglon
mahkota
Bunglon surai

3 Bunglon hutan
4 Kadal terbang
5 Kadal kebun
6 Kadal rumput
7 Ular lidah api
8 Ular pucuk
Amfibi
1 Kodok buduk
2 Kodok buduk

Nama Jenis

Suku

Frekuensi
Ht-Sm Kt Sw-Ld

Gallus gallus

Phasianidae

1

2

0

Macropygia sp.
Streptopelia chinensis
Cacomantis sonneratii
Cacomantis
sepulcralis
Zanclostomus
javanicus

Columbidae
Columbidae
Cuculidae

5
1
1

0
9
0

0
0
0

Cuculidae

1

0

0

Cuculidae

3

0

0

Centropus bengalensis Cuculidae

0

3

2

Aegithina tiphia
Chloropsis
cochinchinensis
Terpsiphone paradisi

Chloropseidae

4

0

0

Chloropseidae

2

0

0

Monarchidae

1

0

0

Tupaia glis
Callosciurus notatus

Tupaiidae
Sciuridae

0
2

1
1

0
0

Agamidae

0

0

1

Agamidae

0

0

3

Agamidae

1

0

0

Agamidae

0

0

2

Scincidae

0

2

1

Lacertidae

0

0

2

Colubridae

0

0

1

Colubridae

1

0

0

Bufonidae
Bufonidae

0
0

0
0

2
1

Bronchocela
christatella
Bronchocela jubata
Gonocephalus
chamaeleontinus
Draco volans
Eutropis
multifasciata
Takydromus
sexlineatus
Dendrelaphis
pictus
Ahaetulla prasina
Bufo melanostictus
Bufo asper

Ht-Sm = hutan-semak; Kt = kebun teh; Sw-Ld = sawah-ladang

Jenis pakan potensial elang ular bido paling banyak dijumpai di kategori
lahan berupa hutan dan semak, yaitu sembilan jenis burung, satu jenis mamalia
dan dua jenis reptil. Frekuensi perjumpaan jenis uncal (Macropygia sp.) paling
banyak di antara jenis-jenis satwa lainnya di hutan dan semak. Jenis ini dijumpai
terbang ke arah pohon parengpeng (Lithocarpus sundaicus). Ketika pengamatan,
pohon parengpeng dalam kondisi berbuah, sehingga sering didatangi uncal untuk
mencari makan. Selain uncal, bajing kelapa juga memakan buah dari pohon ini.

13
Burung pemangsa termasuk predator opportunis, sehingga relatif memangsa jenisjenis pakan yang melimpah dan mudah diperoleh (Watson et al. 1991).
Berkumpulnya jenis-jenis mangsa elang ular bido pada tempat dan waktu yang
sama berpotensi besar untuk dimangsa oleh elang tersebut.
Aktivitas mencari mangsa oleh elang ular bido teramati pada area koridor
khususnya pada daerah tepi, baik berupa tutupan lahan hutan maupun semak
belukar. Selain di koridor, aktivitas mencari mangsa juga dilakukan di area
terbuka yang berbatasan langsung dengan hutan, yaitu pada penutupan lahan
sawah, dan ladang. Berdasarkan hasil pengamatan, elang ular bido dijumpai
melakukan aktivitas terbang berputar tanpa mengepakkan sayap. Aktivitas ini
disebut sebagai soaring. Penelitian Wiersma dan Richardson (2009) terhadap
elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster) menunjukkan bahwa aktivitas
mencari makan dapat dilakukan dengan teknik soaring. Elang ular bido di KHS
juga melakukan soaring untuk memindai mangsa (Gambar 7). Oleh karena itu
daerah tepi hutan koridor digunakan sebagai area berburu bagi elang ular bido.
Penggunaan daerah tepi hutan didukung pula oleh hasil penelitian Ueta dan
Minton (1998) di Jepang, bahwa elang ular bido paling banyak menggunakan
daerah yang berjarak 0-10 m dari tepi hutan untuk mengintai mangsa.

Gambar 7 Aktivitas soaring elang ular bido pada area ladang di stasiun
pengamatan Guest House Cipeteuy, KHS.
Selama penelitian tidak dijumpai secara langsung elang ular bido yang
makan maupun membawa mangsa di KHS. Meski demikian, aktivitas berburu
teramati satu kali di stasiun pengamatan Sukagalih. Aktivitas ini dilakukan pada
daerah tepi hutan yang berbatasan langsung dengan ladang dan sawah milik
masyarakat. Elang ular bido yang awalnya hinggap di pohon rasamala (strata A,
ruang tajuk CII), terbang lurus dari tempat bertenggernya lalu menukik cepat
untuk menangkap mangsa. Jenis mangsa yang diincar oleh elang ini tidak teramati
karena terhalang tajuk pohon. Elang tidak tampak terbang naik kembali setelah
menukik, diduga elang tersebut menyambar mangsa kemudian memakannya di
lantai hutan. Elang ular bido umumnya menggunakan teknik perch hunting untuk
berburu (Chou et al. 2004). Teknik ini dilakukan dengan cara bertengger pada
dahan pohon di daerah perburuan sambil mengamati gerakan-gerakan yang
mencurigakan sebagai gerakan mangsanya. Apabila posisi mangsa sudah
diketahui, maka akan diincar, lalu segera disambar menggunakan kedua cakarnya.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa elang ular bido menggunakan teknik
berburu yang berbeda, yaitu ambush hunting. Elang tersebut menukik untuk

14
menyambar mangsa pada posisi terbang. Teknik ambush hunting umum
digunakan oleh jenis-jenis elang karena meningkatkan peluang tertangkapnya
mangsa terestrial (Li 2008). Elang ular bido dijumpai bertengger pada saat
berburu. Hal ini wajar terjadi karena menurut Li (2008) aktivitas berburu
menghabiskan banyak energi, sehingga elang menggunakan pohon untuk
beristirahat sejenak di sela-sela aktivitas berburu.
Elang ular bido bukan burung pemangsa tunggal di KHS. Hasil pengamatan
menunjukkan adanya empat jenis burung pemangsa diurnal lain yang bersifat
penetap. Burung pemangsa tersebut yaitu elang hitam (Ictinaetus malayensis),
elang brontok (Spizaetus cirrhatus), elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan sikep
madu asia (Pernis ptilorhynchus). Selain jenis tersebut, data Endangered Species
Team (2005) juga menunjukkan adanya jenis alap-alap capung (Microchierax
fringillarius). Keberadaan jenis-jenis burung pemangsa diurnal ini memungkinkan
terjadinya persaingan dalam mencari pakan. Elang umumnya memiliki rentang
jenis mangsa yang sama, mencakup mamalia kecil, burung dan reptil. Perrins dan
Birkhead (1983) memaparkan bahwa jika terdapat tiga atau lebih spesies yang koeksis dalam suatu ruang dengan relung yang overlap, maka setiap spesies akan
cenderung memiliki relung yang lebih sempit. Elang ular bido umumnya
mempersempit relung dengan memangsa jenis-jenis reptil secara eksklusif (Li
2008).
Area yang dijelajahi elang ular bido di KHS digunakan pula oleh elang
brontok dan elang hitam untuk mencari makan (Gambar 8). Elang brontok
teramati berburu ayam hutan merah (Gallus gallus) pada area kebun teh
Garehong-Cimpag. Sementara elang hitam teramati berburu di area sawah dan
ladang Sukagalih, area kebun teh Garehong-Cimapag serta area kebun teh Growek.
Jenis mangsa yang diburu oleh elang hitam adalah tikus (Rattus sp.). Kedua jenis
elang ini mendeteksi keberadaan mangsa dengan cara terbang berputar-putar
mengelilingi area buru. Meski menggunakan lokasi yang sama untuk mencari
mangsa, namun tidak terlihat persaingan secara langsung antara ketiga jenis elang
ini. Menurut Alikodra (2002), persaingan terjadi jika terdapat penggunaan
sumberdaya yang sama dalam kondisi yang terbatas. Tidak dijumpainya
persaingan antar jenis dalam memperoleh pakan menunjukkan bahwa habitat di
KHS masih dapat memenuhi kebutuhan pakan bagi jenis-jenis burung pemangsa
tersebut.

(a)
(b)
Gambar 8 Aktivitas berburu (a) elang brontok dan (b) elang hitam di KHS.

15
Ketiga jenis elang tersebut menunjukkan perbedaan waktu berburu. Elang
ular bido teramati berburu pada pukul 09.45-11.28 WIB sementara elang brontok
pada pukul 10.40-11.20 WIB. Aktivitas berburu elang hitam teramati hampir
sepanjang hari, yaitu pukul 09.41-15.29 WIB. Berdasarkan hasil pengamatan,
elang ular bido terlihat tidak aktif bergerak hingga suhu udara mulai panas (pukul
09.00 WIB). Aktivitas terbang menghabiskan banyak energi sehingga beberapa
jenis burung pemangsa menggunakan bantuan suhu panas untuk terbang soaring
ketika memindai mangsa (Li 2008). Strategi ini juga dilakukan oleh elang ular
bido di KHS.

Penggunaan Habitat Berdasarkan Tipe penutupan Lahan
Berdasarkan hasil pengamatan, elang ular bido menggunakan seluruh tipe
penutupan lahan di KHS untuk beraktivitas, yaitu hutan (n=28), kebun teh (n=5),
sawah (n=4), semak (n=9), dan ladang (n=16). Tipe habitat sawah tidak disertakan
dalam perhitungan pemilihan habitat karena tidak memenuhi syarat pengujian chi
square yaitu nilai sel kurang dari lima. Pengujian chi square pada tingkat
kepercayaan 95% (Tabel 6) menghasilkan nilai χ2 hitung (21.03) yang lebih besar
dari χ2 tabel (7.82). Hal ini menunjukkan bahwa elang ular bido menggunakan tipe
penutupan lahan secara tidak acak atau terdapat pemilihan.
Tabel 6 Nilai chi square pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido
berdasarkan tipe penutupan lahan
Tipe Lahan
Hutan
Semak
Ladang Kebun teh Jumlah
Frekuensi perjumpaan (Oi)
28
9
16
5
58
Frekuensi harapan (Ei)
14.5
14.5
14.5
14.5
58
χ2 hitung [(Oi-Ei)2/Ei]
12.57
2.09
0.16
6.22
21.03
χ2(0.05,3)
7.82
Berdasarkan perhitungan Indeks Neu, elang ular bido paling menyukai
tutupan lahan berupa ladang untuk digunakan. Nilai indeks pemilihan yang
distandarkan pada tipe penutupan ladang menunjukkan nilai yang terbesar, yaitu
0.43 (Tabel 7). Hal ini disebabkan oleh tingginya proporsi penggunan oleh elang
tersebut (0.28) dibandingkan dengan proporsi ketersediannya (0.13).
Tabel 7 Indeks Neu untuk pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido
berdasarkan tipe penutupan lahan
Luas Proporsi
Indeks
w
Frekuensi
Proporsi
luas
pemilihan
distanPenutupan area
penggunaan penggunaan
(ha)
area
habitat
darkan
Lahan
a
p
n
u
w
b
Hutan
2493
0.55
28
0.48
0.88
0.18
Semak
799
0.18
9
0.16
0.89
0.18
Ladang
580
0.13
16
0.28
2.17
0.43
Kebun teh
692
0.15
5
0.09
0.57
0.11
Jumlah
4563
1.00
58
1.00
4.51
0.90

16

Frekuensi Perjumpaan
Elang ular bido

Elang ular bido paling menyukai area ladang untuk beraktivitas, namun
tipe penutupan lahan lain juga digunakan oleh elang ini (Gambar 10). Salah satu
faktor yang mempengaruhi penggunaan habitat adalah distribusi sumber daya
khususnya pakan (Block dan Brennan 1993). Pada area KHS, seluruh tipe
penutupan lahan menyediakan pakan potensial bagi elang ular bido dengan jumlah
jenis yang berbeda. Pakan potensial di hutan dan semak paling tinggi, yaitu
sembilan jenis burung, satu jenis mamalia serta dua jenis reptil. Sementara itu,
potensi pakan di kebun teh meliputi tiga jenis burung, dua jenis mamalia dan satu
jenis reptil. Potensi pakan di ladang dan sawah meliputi satu jenis burung, empat
jenis reptil dan dua jenis amfibi. Berdasarkan hasil pengamatan, ladang digunakan
oleh elang ular bido untuk soaring dan terbang berpindah. Hutan dipergunakan
oleh elang ular bido untuk soaring, berpindah, berburu, beristirahat dan
mengumpulkan ranting. Area sawah dan semak digunakan untuk soaring dan
berpindah, sementara kebun teh digunakan untuk berpindah. Penggunaan habitat
KHS oleh elang ular bido berdasarkan tipe penutupan lahan disajikan pada
Gambar 9.
12
10
8
6
4
2
0

11
8

10
7

7
3

11
Hutan

1
Sawah

6

Berburu
5

Membawa ranting
Soaring

2

Berpindah
Semak

Ladang Kebun teh

Beristirahat

Tipe Penutupan Lahan

Gambar 9 Penggunaan habitat KHS oleh elang ular bido
berdasarkan tipe penutupan lahan.
Elang ular bido melakukan soaring pada area ladang sebanyak sepuluh
kali dan berpindah sebanyak enam kali. Menurut Wiersma dan Richardson (2009),
soaring dilakukan dengan tujuan mencari potensi mangsa. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa elang ular bido cenderung berburu jenis-jenis reptil. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Chou et al. 2004 di Taiwan dan Gokula (2012a) di
India yang menunjukkan bahwa elang ular bido paling banyak memakan reptil,
khususnya jenis-jenis ular. Pada area KHS, reptil paling banyak dijumpai di
tutupan lahan berupa ladang dan sawah. Jenis-jenis tersebut khususnya berada di
area ladang KHS pada pagi hari, saat melakukan aktivitas berjemur atau busking.
Ketika berjemur, reptil berada pada area terbuka yang terpapar sinar matahari
secara langsung. Kondisi demikian memungkinkan pemangsa untuk mendeteksi
keberadaan mangsanya dengan mudah. Hasil penelitian Ontiveros (2005) terhadap
elang bornelli (Hieraaetus fasciatus) di Spanyol menunjukkan bahwa jumlah
mangsa yang dimakan oleh burung pemangsa berhubungan lebih erat dengan
aksesibilitas dan detektabilitas terhadap mangsa dibandingkan dengan kelimpahan
mangsa. Oleh sebab itu meski mangsa potensial elang ular bido dapat dijumpai di
beberapa tipe penutupan lahan di KHS, elang ini paling banyak mencari mangsa
pada area dimana mangsa mudah dideteksi yaitu pada area terbuka berupa ladang.

17

Gambar 10 Peta sebaran perjumpaan elang ular bido berdasarkan tipe penutupan lahan di KHS.

18
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tutupan hutan secara khusus
dipergunakan elang ular bido untuk berlindung. Pohon-pohon tinggi atau
emergent trees pada tutupan lahan ini digunakan untuk tempat beristirahat dan
membangun sarang. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hutan memiliki peran
penting bagi keberlangsungan hidup elang ular bido. Namun fungsi hutan sebagai
habitat elang ular bido terancam menurun. Hasil penelitian Cahyadi (2004)
menunjukkan bahwa luas hutan KHS berkurang sebesar 347.52 ha pada tahun
1990 hingga 2001 akibat aktivitas penebangan dan perambahan lahan. Hasil
penelitian Sambas (2010) di KHS juga menunjukkan bahwa pada daerah bekas
penebangan dan perambahan hutan ditumbuhi jenis-jenis paku antara lain
Pteridium sp., Dicranopteris linearis dan Cyathea contaminans. Dominasi
tumbuhan tersebut menyebabkan anakan pohon kurang berkembang sehingga
pohon-pohon tinggi tidak terbentuk. Aktivitas penduduk berupa pemangkasan
daun untuk pakan ternak juga menyebabkan tanaman menjadi kerdil (Sambas
2010). Berkurangnya ketersediaan pohon khususnya pohon-pohon tinggi, dapat
mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan elang ular bido untuk berlindung.
Oleh sebab itu pencegahan terhadap aktivitas penebangan dan perambahan lahan
di KHS perlu dilakukan. Selain itu juga dibutuhkan upaya penanaman dan
pemeliharaan pohon agar fungsi hutan KHS sebagai habitat elang ular bido tidak
menurun.

Penggunaan Habitat Berdasarkan Ketinggian dari Permukaan Laut
dan Kemiringan Lahan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa elang ular bido menggunakan lahan
pada ketinggian 796-1098 m dpl (Lampiran 3). Kelas ketinggian yang digunakan
elang tersebut yaitu 700-800 m dpl (n=2), 800-900 m dpl (n=23), 900-1000 m dpl
(n=21), dan 1000-1100 m dpl (n=16). Hal ini sesuai dengan pernyataan
MacKinnon et al. (2010) dan Prawiradilaga (2003) bahwa elang ular bido hidup
pada daerah berhutan hingga ketinggian 1900 m dpl. Kelas ketinggian 700-800 m
dpl memiliki nilai penggunaan kurang dari 5 sehingga tidak disertakan dalam
pengujian chi square untuk pemilihan habitat. Hasil pengujian chi-square pada
tingkat kepercayaan 95% (Tabel 8) menunjukkan bahwa nilai χ2 hitung (6.73)
lebih besar dari χ2 tabel (5.99). Hal ini menunjukkan bahwa elang ular bido
menggunakan kelas ketinggian lahan secara tidak acak. Artinya elang ini
melakukan pemilihan terhadap kelas ketinggian yang digunakan untuk
beraktivitas. Peta sebaran perjumpaan elang ular bido berdasarkan ketinggian
lahan disajikan dalam Gambar 11.
Tabel 8 Nilai chi square pemilihan habitat KHS oleh elang ular bido
berdasarkan ketinggian lahan dari permukaan laut
Ketinggian lahan (m dpl)
800-900 900-1000 1000-1100 Jumlah
Frekuensi perjumpaan (Oi)
23
21
16
60
Frekuensi harapan (Ei)
15
15
15
60
χ2 hitung [(Oi-Ei)2/Ei]
4.27
2.40
0.07
6.73
χ2(0.05,2)
5.99

19

Gambar 11 Peta perjumpaan elang ular bido berdasarkan ketinggian lahan di KHS.

20
Hasil perhitungan Indeks Neu menunjukkan bahwa elang ular bido paling
memilih daerah dengan ketinggian 1000-1100 m dpl untuk digunakan. Nilai
indeks pemilihan yang distandarkan pada daerah dengan ketinggian tersebut
merupakan yang terbesar, yaitu 0.41. Hal ini disebabkan oleh nilai proporsi
penggunaan area tersebut (0.27) yang lebih besar dibandingkan proporsi
ketersediaannya (0.19). Hasil perhitungan Indeks Neu untuk pemilihan habitat
berdasarkan ketinggian lahan disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9 Indeks Neu untuk pemilhan habitat berdasarkan
ketinggian lahan dari permukaan laut
Luas
Indeks
w