Keanekaragaman kumbang sungut panjang (coleoptera: cerambycidae) di kawasan Resort Salak 2 – Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

(1)

KEANEKARAGAMAN KUMBANG SUNGUT PANJANG

(COLEOPTERA: CERAMBYCIDAE)

DI KAWASAN RESORT SALAK 2

TAMAN NASIONAL

GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

EGA MULYA PUTRI

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

EGA MULYA PUTRI 1110095000023

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

(4)

diuji dan

dinyatakan LULUS dalam sidang munaqasyah Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tanggal 17 Februari 2015. Skripsi

ini telah diterima

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Jurusan Biologi.

Menyetujui,

Penguji

II,

W

Etyn Yunita. M. Si Penguji

I'

V:K,,

\"

d

{'

priiiilti.

ur.

si

NIP. 197505262000122001

Pembimbing I,

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi

Dr. Aeus Salim. M. Si NIP. 197208I6I999031

Pembimbing

II,

Ketua Jurusan Biologi

Dr. Dasumiati. M, Si NrP. 1 9730923 I 999032002

Mengetahui, ahiha/Wiiavanti. M. Si


(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Februari 2015

Ega Mulya Putri 1110095000023


(6)

Halimun Salak (TNGHS). Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. 2015.

Kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) merupakan serangga yang mudah dikenali karena memiliki antena yang panjang. Keberadaan kumbang sungut panjang dipengaruhi oleh adanya vegetasi tumbuhan berkayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan pola sebaran. Pengamatan dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Juli 2014 dengan menggunakan metode survei dan teknik sampling: perangkap artocarpus dan metode hand sorting. Perangkap Artocarpus (perangkap daun nangka) merupakan perangkap yang menggunakan umpan daun nangka. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kumbang sungut panjang yang dikoleksi sebanyak 126 individu yang berasal dari 15 spesies. Keanekaragaman kumbang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian tergolong sedang, yaitu dengan kisaran nilai H’=1,29 - 1,69. Kemerataan kumbang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian tergolong rendah, yaitu dengan kisaran nilai E=0,23 - 1,69. Kumbang sungut panjang Sybra fuscotriangularis dan Zorillispe spinipennis merupakan kumbang sungut panjang dengan sebaran luas. Pola sebaran kumbang sungut panjang pada ketiga lokasi penelitian cenderung seragam, lain halnya dengan kumbang sungut panjang S. fuscotriangularis cenderung mengelompok.

Kata kunci : Cerambycidae, keanekaragaman, perangkap artocarpus (perangkap daun nangka), Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)


(7)

ABSTRACT

Ega Mulya Putri. Diversity of Longhorn Beetles (Coleoptera: Cerambycidae) at Resort Salak 2 Region - the Halimun Salak National Park (TNGHS). Undergraduate Thesis. Department of Biology. Faculty of Science and Technology. Syarif Hidayatullah State Islamic University. Jakarta. 2015.

Longhorn beetles (Coleoptera: Cerambycidae) are insect that are easily recognized because it has long antenna. The existence of longhorn beetles is influenced by the presence of woody vegetation. The aim of this research was to determine the diversity and distribution patterns. Observations were made on June to July 2014 by using survey method and sampling technique: Artocarpus Trap (AT) and hand sorting method. Artocarpus Trap (leaf jackfruit trap) is a trap by using bait leaf jackfruit. The results showed longhorn beetles that were collected as many as 126 individuals from 15 species. Diversity of longhorn beetles three research sites was classified into moderate, that was H'=1.29 - 1.69. Evenness of longhorn beetles at three research sites was classified into low, that was E = 0.23 - 1.69. longhorn beetles of Sybra fuscotriangularis and Zorillispe spinipennis was wide distribution. The type distribution of lnghorn beetles at three locations tend to be uniform but S. fuscotriangularis tend to be cluster.

Keywords: Cerambycidae, diversity, artocarpus trap (leaf jackfruit trap), The Halimun Salak National Park (TNGHS)


(8)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirabbil’alaamiin, segala puji syukur kehadirat Allah penelitian ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam tak lupa disampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.

Penelitian ini berjudul “Keanekaragaman Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Kawasan Resort Salak 2 – Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) disusun untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan Program S1, Biologi Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan tugas akhir ini dapat diselesaikan berkat bantuan, dukungan, bimbingan, serta arahan dari banyak pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada :

1. Dr. Agus Salim. M. Si selaku Dekan Fakultas Sains Dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Dasumiati, M. Si selaku Ketua Jurusan Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Fahma Wijayanti, M. Si selaku pembimbing I dan Narti Fitriana, M. Si selaku pembimbing II.

4. Tim Dosen Jurusan Biologi dan civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

ii

5. Abah Ata, Mas Anto dan Bapak Sarino yang telah membantu pada saat pengambilan sampel dan proses identifikasi.

6. Segenap keluarga tersayang Ayah Afrizul (Alm), Ibu Zulhelmi, Uda David, Gusweni Mulia, A. Md. Kep, Egi Mulya Putri, A. Md. Keb, kak irma yang selalu memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis serta Almendrio yang selalu memberikan perhatian, motivasi dan masukan dalam penulisan.

7. Rekan satu tim Herwandi, Tubagus M Ishak dan Rachma Fauziah yang sangat membantu dalam penelitian ini.

8. Ai Siti Nurhayati, Ellyf Aulana Yatias dan Mega Indriyanti Nuris yang memberikan motivasi dan senyum semangat. Fazri, Oho, Alfan, Fadil, Indhina dan Ka Chagel yang telah membantu proses penyelesaian tugas akhir ini, serta teman-teman Biologi FST angkatan 2010 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semoga Allah memberikan balasan atas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari tugas akhir ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kriti dan saran yang sifatnya konstruktif sangat diharapkan oleh penulis. Akhirnya penulis berharap semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Aamiin.

Jakarta, Februari 2015


(10)

iii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambycidae) ... 5

2.2. Pola Sebaran ... 15

2.3. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 17

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 22

3.2. Alat dan Bahan ... 23

3.3. Metode Penelitian ... 23

3.3.1. Perangkap Artocarpus (AT) – Perangkap Daun Nangka ... 23

3.3.2. Hand Sorting Method ... 25

3.3.3. Pengamatan Faktor Lingkungan ... 28

3.4. Analisis Data ... 29

3.4.1. Indeks Keanekaragaman Jenis ... 29

3.4.2. Indeks Kemerataan Jenis ... 30

3.4.3. Indeks Similaritas ... 30

3.4.4. Pola Sebaran ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keanekaragaman dan kemerataan kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) pada tiga lokasi penelitian ... 36

4.2. Pola sebaran kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) ... 44

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 48


(11)

iv

5.2. Saran ... 48 DAFTAR PUSTAKA ... 49 LAMPIRAN ... 53


(12)

v

picticornis jantan (a), antena Epepeotes luscus jantan (b), antena Cacia picticornis betina (c), mata bertakik (d) dan

mandibel larva (e) ... 6

Gambar 2. Karakter morfologi kepala kumbang sungut panjang ... 7

Gambar 3. Karakter morfologi mata kumbang sungut panjang ... 7

Gambar 4. Karakter identifikasi kumbang sungut panjang (I) ... 8

Gambar 5. Karakter identifikasi kumbang sungut panjang (II) ... 9

Gambar 6. Karakter identifikasi kumbang sungut panjang (III) ... 10

Gambar 7. Karakter identifikasi kumbang sungut panjang (IV) ... 11

Gambar 8. Siklus hidup kumbang sungut panjang ... 12

Gambar 9. Pola sebaran individu di dalam populasi. a: seragam; b: acak; c: berkelompok ... 17

Gambar 10. Perangkap Artocarpus (perangkap daun nangka) ... 24

Gambar 11. Koleksi kumbang sungut panjang dengan metode beating 25 Gambar 12. Lokasi titik sampling pemasangan perangkap Artocarpus (perangkap daun nangka) pada tiga lokasi penelitian TNGHS ... 27

Gambar 13. Koleksi kumbang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian (hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 36

Gambar 14. Indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E) kumbang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian (hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 37

Gambar 15. Persentase jumlah spesies jumlah individu (a) dan (b) kumbang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian Hutan rasamala (R), hutan pinus (P) dan hutan alam (HA) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 41

Gambar 16. Vegetasi tempat pemasangan perangkap Artocarpus (perangkap daun nangka) pada tiga lokasi penelitian (hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 42

Gambar 17. Pola sebaran kumbang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian – TNGHS ... 45


(13)

vi

DAFTAR TABEL

Hlm. Tabel 1. Hubungan antara pola sebaran dengan varian dan rata-rata

populasi ... 17 Tabel 2. Spesies kumbang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian

(hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 33


(14)

vii

pada Habitat Hutan Rasamala di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ... 53 Lampiran 2. Indeks keanekaragaman jenis kumbang sungut panjang

pada Habitat Hutan Pinus di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ... 54 Lampiran 3. Indeks keanekaragaman jenis kumbang sungut Panjang

pada Habitat Hutan Alam di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ... 55 Lampiran 4. Indeks kesamaan (IS) jenis pada tiga lokasi penelitian

di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ... 56 Lampiran 5. Titik koordinat pemasangan perangkap Artocarpus

(perangkap daun nangka) pada Hutan Rasamala – TNGHS ... 57 Lampiran 6. Titik koordinat pemasangan perangkap Artocarpus

(perangkap daun nangka) pada Hutan Pinus – TNGHS 58 Lampiran 7. Titik koordinat pemasangan perangkap Artocarpus

(perangkap daun nangka) pada Hutan Alam – TNGHS 59 Lampiran 8. Suhu udara (oC) rata-rata pada tiga lokasi penelitian di

kawasan TNGHS ... 60 Lampiran 9. Kelembapan udara relatif (%) rata-rata pada tiga lokasi

penelitian di kawasan TNGHS ... 61 Lampiran 10. Intensitas cahaya (Klux) rata-rata pada tiga lokasi

penelitian di kawasan TNGHS ... 62 Lampiran 11. Kecepatan angin (m/s) pada tiga lokasi penelitian di

kawasan TNGHS ... 63 Lampiran 12. Pola sebaran kumbang Sungut Panjang di Hutan

Rasamala – TNGHS ... 64 Lampiran 13. Pola sebaran kumbang Sungut Panjang di Hutan Pinus

– TNGHS ... 65 Lampiran 14. Pola sebaran kumbang Sungut Panjang di Hutan Alam


(15)

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kumbang (Ordo Coleoptera) adalah ordo yang memiliki jumlah paling banyak jenis dari serangga dan mengandung kira-kira 40% dari jenis yang terkenal dalam Hexapoda. Lebih dari 250 juta jenis telah diteliti dan diidentifikasi (Borror et al., 2005). Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 10% jenis kumbang dari seluruh kumbang yang ada di dunia (Noerdjito, 2003). Kumbang (Ordo Coleoptera) pada umumnya mempunyai peranan yang sangat penting bagi ekosistem, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, kumbang juga memainkan peran penting dalam dekomposisi dan siklus hara dalam ekosistem hutan, serta dijadikan sebagai indikator perubahan lingkungan. Tanpa keberadaan kumbang, maka kehidupan suatu ekosistem akan terganggu dan tidak akan mencapai keseimbangan.

Salah satu kumbang yang sangat berperan penting dalam ekosistem yaitu kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae). Kumbang ini berperan sebagai perombak bahan organik, terutama larvanya hidup di dalam kayu yang sedang mengalami proses pelapukan (Noerdjito, 2005). Menurut Noerdjito (2005), kumbang sungut panjang sebagian besar anggota jenisnya, terutama stadium larvanya hidup sebagai pengebor kayu dan cenderung memilih kayu mati atau kering yang sedang mengalami proses pelapukan. Beberapa jenis diketahui hidup pada kayu yang ditanam sebagai tanaman industri, sehingga dianggap sebagai hama, misalnya Xysttrocera festiva pada tanaman Jejunjing (Paraseriantes falcataria) di daerah Kalimantan. Keberadaan kumbang sungut


(16)

panjang sangat dipengaruhi oleh tipe vegetasi dan ketinggian tempat. Hal ini dijelaskan oleh Noerdjito (2010) dalam penelitiannya yaitu populasi kumbang sungut panjang tidak hanya dipengaruhi oleh tipe habitat, tetapi juga ketinggian tempat. Kehadiran kumbang sungut panjang di suatu habitat berkaitan erat dengan adanya tumbuhan berkayu karena larva kumbang ini hidup di dalam kayu. Oleh karena itu kegiatan manusia yang ada hubungannya dengan penebangan tumbuhan berkayu atau pengambilan pohon tumbang untuk berbagai keperluan rumah tangga akan sangat besar pengaruhnya terhadap keberadaan kumbang sungut panjang.

Penelitian Noerdjito (2010) mengenai kumbang sungut panjang di kawasan Gunung Ciremai menjelaskan bahwa tingkat keanekaragamannya tergolong tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya vegetasi tumbuhan berkayu yang mendukung keberadaannya. Selain itu, pola sebaran serangga yang banyak terjadi di alam yaitu pola sebaran berkelompok. Pola berkelompok ini dapat terjadi karena peluang untuk menemukan individu yang lain dari anggota populasi sangat besar jika telah ditemukan satu individu. Perbedaan ketinggian akan berpengaruh terhadap perbedaan iklim (suhu, kelembapan udara relatif, intensitas cahaya dan kecepatan angin) dan pola penyebaran vegetasi.

Menurut Lien dan Yuan (2003), pada ketinggian tempat yang lebih rendah, kekayaan jenis, kelimpahan jenis dan keanekaragaman jenis cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan ketinggian yang lebih tinggi. Menurut GHSNPMP-JICA (2007), kawasan Hutan Gunung Salak 2 – TNGHS masih memiliki hutan alam dengan berbagai tipe vegetasi tumbuhan yang berbeda pada tiap ketinggian


(17)

3

yang beragam yang menggambarkan keanekaragaman hayati kawasan TNGHS. Hasil penelitian yang dilakukan secara berkelanjutan (time series) diketahui kawasan ini memiliki 1.000 jenis tumbuhan yaitu 850 jenis tumbuhan adalah jenis tumbuhan berbunga. Banyaknya jenis vegetasi tumbuhan di kawasan TNGHS ini mengakibatkan banyaknya ranting dan kayu lapuk yang berperan sebagai habitat dari larva dan dewasa kumbang sungut panjang, kumbang sungut panjang inilah yang nantinya akan merombak bahan organik di kawasan TNGHS tersebut GHSNPMP-JICA (2007). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman kumbang sungut panjang di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Resort Salak 2).

1.2. Rumusan Masalah

a. Bagaimanakah keanekaragaman kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di kawasan Resort Salak 2 – Taman Nasional Gunung Halimun Salak?

b. Bagaimanakah pola persebaran kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di kawasan Resort Salak 2 – Taman Nasional Gunung Halimun Salak?.

1.3. Hipotesis

a. Keanekaragaman kumbang panjang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di kawasan Resort Salak 2 – Taman Nasional Gunung Halimun Salak tergolong tinggi.


(18)

b. Pola persebaran kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di kawasan Resort Salak 2 – Taman Nasional Gunung Halimun Salak yaitu berkelompok.

1.4. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui keanekaragaman kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di kawasan Resort Salak 2 – Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

b. Mengetahui pola persebaran kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di kawasan Resort Salak 2 – Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat digunakan sebagai informasi untuk penelitian-penelitian lanjutan yang lebih intensif dan menyeluruh. Selain itu data yang diperoleh dapat digunakan sebagai data penunjang untuk memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak (terutama pengelola Resort Salak 2 - Taman Nasional Gunung Halimun Salak) dalam mengelola kawasan berdasarkan data keanekaragaman.


(19)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambycidae)

Kumbang (Ordo Coleoptera) adalah ordo yang memiliki jumlah yang paling banyak dari serangga dan mengandung kira-kira 40% dari jenis yang terkenal dalam hexapoda. Kumbang merupakan salah satu ordo yang mudah dibedakan dibandingkan ordo lainnya. Kumbang sungut panjang merupakan serangga perombak kayu lapuk (Noerdjito, 2010). Kumbang mempunyai tubuh yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu caput (kepala), toraks (dada), dan abdomen (perut). Bagian kepala terdapat antena, mata dan mulut. Tipe mulut kumbang sungut panjang adalah penggigit dan pengunyah serta mandibula berkembang dengan baik. Antena pada kumbang sungut panjang memiliki ruas bervariasi (Borror et al., 2005). Kumbang sungut panjang dewasa mudah dikenali karena mempunyai antena yang sangat panjang.

Kumbang dewasa betina memiliki panjang antena kurang lebih sepanjang tubuhnya, sedangkan kumbang jantan sekitar 2 kali atau lebih dari panjang tubuhnya. Larva kumbang sungut panjang memiliki mandibula yang kuat dan keras yang digunakan untuk merombak kayu lapuk (Noerdjito et al., 2003). Bentuk tubuh kumbang sungut panjang ini silindris dengan panjang 2-60 mm. Secara umum mata bertakik (notched) sehingga memiliki kemampuan untuk mengelilingi pergerakan antena secara jelas. Formula tarsi terlihat 4-4-4, tetapi sebenarnya 5-5-5, karena ruas ke empat sangat kecil dan tersembunyi. Kumbang sungut panjang ini hampir mirip dengan kumbang Chrysomelid dengan formula


(20)

tarsalnya sama, akan tetapi kumbang Chrysomelid memiliki antena yang lebih pendek dibanding Cerambycidae). Selain itu bentuk tubuh Chrysomelid lebih oval dan mata yang tidak bertakik (Noerdjito, 2011).

Bagian toraks kumbang kumbang sungut panjang terdapat sepasang sayap. Sayap depan mengeras dan menebal yang disebut elytra berfungsi sebagai pelindung. Sayap belakang terdapat membranus yang berfungsi untuk terbang (Borror et al., 2005). Toraks terdiri atas tiga ruas yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Protoraks merupakan toraks bagian depan yang berkembang dengan baik, mesotoraks merupakan toraks bagian tengah dan metatoraks merupakan bagian belakang (Borror et al., 2005).

Gambar 1. Morfologi kumbang sungut panjang: - Antena Cacia picticornis jantan (a), antena Epepeotes luscus jantan (b), antena Cacia picticornis betina (c), mata bertakik (d) dan mandibel larva (e) (Fahri, 2013)


(21)

7

Gambar 2. Karakter Morfologi kepala kumbang sungut panjang (Duffy, 2012)


(22)

Gambar 4. Karakter identifikasi kumbang sungut panjang (I) - (1) Pronotum (L) Prionus coriarius; (2) Tampak samping Pronotum dari (a) Ergates spiculatus dan (b) E. Faber (L.); (3) Anterior coxal cavities dan prosternum (a) Prionus coriarius (L.) dan (b) Cerambyx cerdo (L.); (4) Tarsi belakang (a) Stenocorus meridianus (L.) dan (b) Rhagium bifasciatum (F.); (5) Pronotum (L.) Leptura rubra; (6) Pronotum Strangalia maculata; (7) Elytra kanan Judolia cerambyciformis; (8) Elytra kanan Strangalia maculata (Duffy, 2012)


(23)

9

Gambar 5. Karakter identifikasi kumbang sungut panjang (II) - (9) Kepala (tampak atas) Rhagium mordax; (10) tampak depan koksa (L.) Strangalia quadrifasciata (11) Bagian mata pada kepala Tetropium gabrieli; (12) Tarsi belakang (L.) (a) Arhopalus rusticus dan (b) A. Ferus; (13) Femur tengah (L.) Molorchus minor; (14) Elytra kanan (a) Plocaederus viridipennis (b) Cordylomera suturalis dan (15) Elytra kanan Eburia quadrigeminata (Duffy, 2012)


(24)

Gambar 6. Karakter identifikasi kumbang sungut panjang (III) – (16) Elytra kanan Romaleum rufulum; (17) kaki belakang Smodicum cucujiforme; (18) coksa depan (a) Plagionotus arcuatus dan (b) Callidium violaceum; (19) kepala C. Violaceum; (20) Pronotum Hylotrupes bajulus; (21) Pronotum Neoclytus acuminatus; (22) Prosternum (a) Plocaederus viridipennis dan (b) P. basalis; (23) Elytra kanan Ancylonotus tribulus dan (24) bagian dalam tibia depan Ancylonotus tribulus (Duffy, 2012)


(25)

11

Gambar 7. Karakter identifikasi kumbang sungut panjang (IV) – (25) Lengan depan Monochamus sutor; (26) lengan depan Lamia textor; (27) Pygidium betina Acanthocinus aedilis; (28) antena segmen pertama Coptops aedificator; (29) elytra kiri Oberea oculata; (30) elytra kiri (a) Pogonocherus hispidulus dan (b) P. hispidus dan elytra kiri Saperda scalaris (Duffy, 2012)

Abdomen pada kumbang sungut panjang terdiri dari 10 segmen pada jantan dan 9 segmen pada betina. Pada segmen pertama terdapat alat pendengaran (membrane tympanum). Di setiap segmen terdapat spirakel yaitu lubang tempat masuknya udara. Pada beberapa jenis kumbang, segmen terakhir pada betina menjadi ovipositor atau alat untuk meletakkan telur.

Kumbang sungut panjang mengalami metamorfosis sempurna (holometabola). Perkembangan lingkaran hidupnya dimulai dari telur, kemudian menetas menjadi larva. Larva berkembang dan setelah mengalami beberapa kali ganti kulit kemudian menjadi pupa. Pupa selanjutnya mengalami perkembangan


(26)

menjadi kumbang dewasa (Amir dan Kahono, 2003). Telur kumbang sungut panjang biasanya silinder, fusiform atau memanjang dengan ujung bulat. Korion lembut dan berkerut, biasanya berwarna putih atau kuning pucat. Periode inkubasi dari jenis ini biasanya 14 hari. Larva kumbang sungut panjang bersifat lunak dengan rahang yang kuat. Instar larva pertama umumnya berbeda dengan larva setelahnya yang memiliki spirakel biforus. Setelah fase larva lengkap, kumbang dewasa akan terbentuk (Duffy, 2012). Berikut gambar siklus hidup kumbang :

Gambar 8. Siklus Hidup Kumbang Sungut Panjang (Amir dan Kahono, 2003) Bentuk badan larva berbagai jenis kumbang bervariasi membentuk tipe-tipe tertentu yang dapat dipakai untuk pengenalan jenis atau kelompok taksanya, antara lain :

1. Tipe C (Scarabaeiform), tubuh lunak, membentuk huruf C, biasanya larva tidak aktif atau lambat setelah menjadi besar, misalnya larva Scarabaeidae.


(27)

13

2. Campodeiform, larva kumbang mirip bentuk perak, tubuh memanjang, pipih, kaki-kaki toraks berkembang baik dan bergerak aktif, misalnya kumbang Carabidae.

3. Elateriform, larva mirip ulat kawat, kulit badan keras, kaki-kaki pada toraks sangat pendek, misalnya kumbang Elateridae.

4. Eruciform, larva kumbang hidup mirip ulat, tidak mempunyai kaki abdomen, hidup pada habitat terbuka sebagai pemakan daun atau bunga, misalnya Chrysomelidae (Amir dan Kahono, 2003).

Jenis umbang sungut panjang sangat membutuhkan banyak makanan pada proses pendewasaannya. Kebanyakan jenis Lepturinae memilih bunga sebagai habitatnya. Kumbang Lamiinae memilih memakan daun dan batang. Kopulasi biasanya terjadi satu hari setelah munculnya kumbang dewasa dari pupa. Pupa biasanya diletakkan pada cabang atau batang dari pohon inang, akan tetapi kumbang Lepturinae sering meletakkan pupanya sedikit jauh dari pohon inang. Oviposisi dilakukan pada kulit kayu, batang tanaman, atau bahkan di dalam tanah (Duffy, 2012).

Kumbang pada umumnya mempunyai peranan yang sangat penting bagi ekosistem, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tanpa keberadaan kumbang, maka kehidupan suatu ekosistem akan terganggu dan tidak akan mencapai suatu keseimbangan. Kumbang sangat berperan dalam proses dekomposisi terutama di tanah. Kumbang tinja di hutan dapat berfungsi sebagai pendegradasi materi organik yang berupa tinja satwa liar terutama mamalia. Tinja


(28)

diuraikan oleh kumbang menjadi partikel dan senyawa sederhana dalam proses yang dikenal dengan daur ulang unsur hara atau siklus hara.

Selain itu, kumbang juga berperan sebagai predator, kebanyakan dari kumbang predator ini memakan kutu tanaman. Kumbang predator dan parasitoid ini merupakan kontrol bagi kepadatan kumbang pemakan tanaman (Arthtropoda herbivora). Jika dalam suatu komunitas alami tumbuhan yang dikonversi menjadi komunitas yang lebih seragam, maka jenis arthropoda herbivora cenderung mengalami peningkatan pada densitasnya jika pada komunitas ini keberadaan kumbang predator dan parasitoid sedikit. Hal ini juga ditambahkan oleh Suheriyanto (2008) yang menyatakan bahwa diversifikasi dalam komunitas arthropoda predator dan parasit sangat diperlukan untuk mencegah peningkatan potensi ledakan populasi hama maupun penyakit akibat perubahan dalam hutan yang telah dimanipulasi.

Kumbang juga berperan sebagai serangga penyerbuk, salah satunya kumbang jenis Elaeidobius kamerunicus. Kumbang ini memiliki peran dalam penyerbukan tanaman kelapa sawit. Penyerbukan terjadi karena kumbang ini tertarik dengan aroma bunga jantan, kemudian mendekati dan saat hinggap di bunga jantan, serbuk sari akan melekat di tubuhnya. Sewaktu hinggap di bunga betina yang mekar, serbuk sari akan terlepas dari kumbang dan menyerbuki bunga betina (Setyamidjaja, 2006).

Menurut Noerdjito (2010) terkait dengan penelitian kumbang sungut panjang yang dilakukan di Cikaniki dan Cidahu, kehadiran kumbang sungut panjang di suatu habitat berkaitan erat dengan adanya tumbuhan berkayu karena


(29)

15

larva kumbang ini hidup di dalam kayu. Spesies yang berukuran besar seperti Trachylopus approximator, Aelestes induta, dan Prionoma javanum hanya dapat ditemukan di kawasan yang mempunyai pohon yang berukuran besar (hutan primer atau hutan sekunder). Penelitian Noerdjito (2010) yang dilakukan di Kebon Raya Bogor menunjukkan keanekaragaman kumbang sungut panjang yang cukup beragam, yaitu ditemukan 657 individu Cerambycidae yang berasal dari 13 jenis. Salah satu spesies yang paling mendominasi keberadaannya yaitu Sybra fervida Pascoe. Kehadiran spesies ini didukung oleh banyaknya vegetasi tumbuhan berkayu yang terdapat di Kebon Raya Bogor.

2.2. Pola Sebaran

Sebaran menunjukkan pola distribusi serangga di suatu wilayah. Pola sebaran tersebut disebabkan oleh adanya karakteristik sumber daya lingkungan. Sebaran individu di dalam populasi mengikuti pola tertentu sesuai dengan jenis organisme, macam habitat yang ditempati dan luas area yang diamati.

Molles (2005) menyatakan bahwa terdapat tiga pola sebaran individu di dalam populasi, yaitu acak, seragam dan bergerombol. Berikut penjelasan masing-masing pola sebaran individu dalam populasi, antara lain :

a. Acak (random)

Pada pola acak setiap individu mempunyai pengaruh yang sama, sehingga keberadaan satu individu tidak mempengaruhi yang lainnya. Peluang setiap individu untuk menempati tempat lain dan kehadiran satu individu yang lain. Sebaran acak jarang ditemukan di alam karena habitat tidak homogen dan terdapat kecenderungan untuk berkumpul. Herbivora selalu berhubungan dengan tanaman


(30)

inang, sehingga pola acak mungkin tidak dapat ditemukan pada serangga agroekosistem dan pemancaran dengan bantuan angin pada batas-batas tertentu. b. Seragam (regular)

Sebaran seragam dapat terjadi jika kondisi lingkungan seragam, terdapat pengaturan jarak yang sama dan sistematis. Pada persaingan antara individu yang sangat keras, terdapat antagonism positif yang mendorong pembagian ruang yang sama. Pada umumnya dijumpai pada tanaman budidaya dan beberapa tanaman gurun. Pola ini terjadi pada kelompok hewan, karena adanya kompetisi yang berhubungan dengan teritorialitas. Pada serangga diketahui adanya feromon epideikti yang berperan sebagai pengatur jarak pada belatung buah apel.

c. Berkelompok (clumped)

Pola berkelompok sangat umum terjadi di alam. Peluang untuk menemukan individu yang lain dari anggota populasi sangat besar jika telah ditemukan satu individu. Pola ini dapat terjadi karena kondisi lingkungan tidak seragam dan tiap individu memberikan respon yang sama terhadap perubahan lingkungan, pola reproduksi yang memungkinkan adanya pengasuhan induk pada keturunannya dan perilaku sosial yang menghasilkan koloni atau himpunan organisasi lainnya. Pada pola sebaran ini, kelompok yang terbentuk dapat sama atau berubah-ubah besarnya dan tersebar secara acak, seragam atau berkelompok sehingga diasumsikan ada lima tipe persebaran, yaitu acak, seragam, berkelompok acak, berkelompok seragam dan berkelompok berkumpul.


(31)

17

a b c

Gambar 9. Pola sebaran individu di dalam populasi. a: seragam; b: acak; c: berkelompok (Indriyanto, 2005)

Salah satu cara untuk mengetahui pola sebaran individu dalam populasi adalah dengan melihat hubungan antara varian dan mean, seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Hubungan antara pola sebaran dengan varian dan rata-rata populasi (Molles, 2005)

Pola sebaran Hubungan

Acak Varian = Rata-rata atau Varian/rata-rata = 1 Seragam Varian < Rata-rata atau Varian/rata-rata < 1 Berkelompok Varian > Rata-rata atau Varian/rata-rata > 1 Pola sebaran yang telah diperoleh berdasarkan nilai varian dan rata-rata selanjutnya diuji dengan chi-square pada taraf signifikansi tertentu (misalnya P < 0,05) agar pola sebaran tersebut dapat diterima kebenarannya secara statistik (Molles, 2005).

2.3. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Berdasarkan sejarah geologi kawasan ini merupakan bagian dari sabuk gunung yang memanjang dari Pegunungan Bukit Barisan Selatan Sumatera ke Gunung Honje di Taman Nasional Ujung Kulon dan seterusnya ke Gunung Halimun Salak. Selama periode Miocene dan Pleostean (sekitar 10-20 juta tahun yang lalu) permukaan pegunungan tersebut terdorong ke atas. Gerakan tektonik kemudian membentuk wilayah Bayah sedang bagian yang runtuh menjadi Selat


(32)

Sunda yang telah memisahkan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa (GHSNPMP-JICA, 2007).

Rentetan gerakan tektonik ini membentuk dinding larva dan wilayah yang turun di sebelah selatan menhadap pegunungan yang membentuk formasi tapal kuda. Seiring berjalannya waktu, perubahan cuaca, permukaan bumi sehingga membentuk bentang alam yang luas. Akibatnya sebagian komplek kawasan TNGHS terdiri dari bantuan vulkanik seperti, brecsias, basalat, andesit dan beberapa dacitic. Bahkan gunung salak sampai saat ini masih berstatus gunung berapi strato tipe A dan tercatat terakhir Gunung Salak meletus tahun 1938. Gunung Salak memiliki kawah yang masih aktif dan lebih dikenal dengan nama Kawah Ratu (GHSNPMP-JICA, 2007).

Berdasarkan peta tanah Provinsi Jawa Barat skala 1: 250.000 dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1966, sebaguan jenis tanah di kawasan TNGHS terdiari dari asosiasi andosol coklat dan regosol coklat; latosol coklat; asosiasi latosol coklat kekuningan; asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat; asosiasi latosol merah; latosol coklat kemerahan dan literit air tanah; kompleks latosol coklat kemerahan dan litosol; sosiasi latosol coklat dan regosol kelabu (GHSNPMP-JICA, 2007).

Variasi curah hujan rata-rata di wilayah ini berkisar antara 4.000 mm sampai 6.000 mm/tahun, bulan Oktober-April merupakan musim hujan dengan curah hujan antara 400 mm – 600 mm/bulan, sedangkan musim kemarau berlangsung dari bulan Mei-September dengan curah hujan sekitar 200 mm/bulan. Menurut Schmidt dan Ferguson, daerah ini beriklim B dimana 1,5 – 3 bulan


(33)

19

kering. Perbandingan jumlah rata-rata bulan kering dan basah adalah 24,7. Namun ada sumber lain menyatakan bahwa berdasarkan overlay antara peta penutupan lahan dan peta tipe iklim kawasan TNGHS dan sekitarnya terdiri dari tipe iklim A, B1 dan B2 (GHSNPMP-JICA, 2007). Berdasarkan pencatatan data 5 tahun terakhir yang tercatat stasiun klimatologi Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor menunjukkan rata-rata jumlah curah hujan yang cukup tinggi yaitu dengan curah hujan rata-rata/tahun sebesar 209 mm/tahun, curah hujan maksimum 392 mm/tahun, dengan hari hujan rata-rata adalah 145 hari/tahun. Jumlah rata-rata bulan basah (curah hujan > 100 mm/tahun) adalah 9 bulan/tahun. Suhu udara rata-rata bulanan 31,50C dengan suhu terendah 19,70C dan suhu tertinggi 31,80C. Kelembaban udara rata-rata 88% (GHSNPMP-JICA, 2007).

TNGHS memiliki ketinggian tempat berkisar antara 500 – 2.211 meter di atas permukaan laut. Kawasan ini dapat dikatakan sebagai luasan terbesar bagi sekelompok hutan pegunungan (submontana) yang masih utuh di Pulau Jawa. Di dalam kawasan TNGHS terdapat gunung-gunung yang memiliki ketinggian antara lain, Gunung Salak 1 (2.211 m dpl), Gunung Salak 2 (2.180 m dpl), Gunung Halimun Selatan (1.920 m dpl), Gunung Halimun Utara (1.929 m dpl), Gunung Halimun Selatan (1.758 m dpl) dan Gunung Kendeng (1.680 m dpl) (Faizin et al., 2012).

Kawasan TNGHS dengan berbagai tipe ekosistem yang terdapat di dalamnya merupakan habitat dari berbagai jenis satwa langka dan dilindungi. Berdasarkan sejarahnya, kawasan ini pernah merupakan habitat Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus), Harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus). Badak Jawa


(34)

merupakan jenis langka dan dilindungi, sedangkan Harimau Jawa sekarang diduga sudah punah. Di kawasan TNGHS telah terdapat jenis mamalia sebanyak 61 jenis, dimana terdapat jenis-jenis yang endemik Pulau Jawa dan jenis-jenis terancam punah. Jenis-jenis terancam punah yang masih dapat dijumpai pada saat ini, antara lain : Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas), Kucing Hutan (Prionailurus bengalensis), Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comate), Lutung (Trachypithecus auratus), Ajag atau Anjing Hutan (Cuon alpinus javanicus) dan Sigung (Mydaus javanensis). Jika beruntung, di pagi hari pengunjung dapat melihat Owa Jawa. Meskipun agak sulit menemukan mamalia lain, namun terkadang dapat menemukan tanda-tanda kehadirannya seperti jejak kaki dan kotoran Macan Tutul serta teriakan Owa Jawa (GHSNPMP-JICA, 2007).

Selain jenis-jenis mamalia juga telah tercatat 244 jenis burung, 32 jenis diantaranya adalah endemik di Pulau Jawa dengan penyebaran yang terbatas/langka bahkan beberapa jenis terancam punah, seperti Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Ciung-mungkal Jawa (Chocoa azurea), Celepuk Jawa (Otus angelinae) dan Luntur Gunung (Harpactes reinwardtii). Di dalam kawasan juga dapat dijumpai jenis-jenis serangga yang menarik dan indah, seperti berbagai jenis kupu-kupu dan kumbang (GHSNPMP-JICA, 2007). Penelitian terakhir Dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat berhasil dikoleksi sekitar 50 jenis kumbang tinja dari subfamili Scarabinae/Coprinae (Noerdjito, 2003). Van Steenis (1972), salah seorang ahli botani yang pernah menerbitkan Flora Malesiana, membagi zonasi vegetasi berdasarkan ketinggian dari permukaan laut, yaitu :


(35)

21

- Zona Collin pada ketinggian antara 500 – 1.000 m dpl - Zona Submontana pada ketinggian 1.000 – 1.500 m dpl - Zona Montana pada ketinggian di atas 1.500 – 2.400 m dpl

Pada setiap ketinggian tersebut mempunyai beberapa ciri khas terutama menyangkut keanekaragaman jenis tumbuhan, yang diperkirakan di TNGHS terdapat lebih dari 1000 jenis tumbuhan, 845 jenis tumbuhan tercatat sebagai tumbuhan berbunga. Seperti pada ketinggian 500 – 1.000 m dpl di TNGHS dapat dijumpai jenis-jenis : Rasamala (Altingia excelsa), Puspa (Schima wallichii), Saninten (Castanopsis javanica), Kiriung Anak (C. acuminatissima), Pasang (Quercus gemelliflora). Pada ketinggian 1.000 – 1.500 m dpl dapat dijumpai jenis-jenis : Acer laurinum, Ganitri (Elaeocarpus ganitrus), Eurya acuminatissima, Antidesma bunius, Ficus sp., Kayu Putih (Cinnamomum sp.), Kileho (Saurauia pendula) dan Kimerak (Weinmannia blumei). Pada ketinggian ini dapat dijumpai pohon-pohon yang tinggi sampai 30 – 40 m dengan diameter 120 cm. sedangkan pada ketinggian yang lebih rendah, akan dijumpai pohon-pohon yang lebih tinggi lagi (GHSNPMP-JICA, 2007).

Demikian selanjutnya pada ketinggian di atas 1.500 m dpl didominasi oleh jenis Jamuju (Dacrycarpus imbricartus), Kibima (Podocarpus blumei) dan Kiputri (Podocarpus neriifolius). Jenis menarik lainnya adalah Hamirung (Vernonia arborea) yang merupakan satu-satunya anggota suku Asteraceae yang berbentuk pohon, jenis ini ditandai oleh adanya perbungaan yang majemuk (GHSNPMP-JICA, 2007).


(36)

22 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan November 2014. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Juni - Juli 2014 di Gunung Salak 2 (tepatnya di kawasan Gunung Bunder) kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kawasan TNGHS ini memiliki koordinat S : 0,6o41’24,8” E : 106o41’52,1” dengan ketinggian berkisar antara 500 m dpl sampai 1.800 m dpl. Pengambilan sampel dilakukan pada tiga lokasi penelitian yang berbeda yaitu hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam. Deskripsi masing-masing tipe lokasi penelitian adalah sebagai berikut :

a. Hutan rasamala merupakan hutan tanaman yang berdekatan dengan pemukiman warga dan lokasi perkemahan dengan ketinggian 900 m dpl. b. Hutan pinus merupakan hutan tanaman yang berdekatan dengan lokasi

perkemahan dan tempat wisata. Selain itu, pada lokasi ini masyarakat sekitar memanfaatkan getah pohon pinus untuk tambahan ekonomi dengan ketinggian 1.000 m dpl.

c. Hutan alam dengan intensitas gangguan aktifitas manusia rendah dengan ketinggian 1.100 m dpl.

Sampel kumbang sungut panjang yang didapat di lapangan diidentifikasi dan diopset di Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Laboratorium Entomologi, LIPI Cibinong, berdasarkan Makihara et


(37)

23

al., (2002), Makihara et al., (2004). Perwakilan spesimen kumbang sungut panjang disimpan di Laboratorium Ekologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3.2.Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah thermometer, hygrometer, anemometer, lux meter, GPS (Global Positioning System), tali, label, wadah, botol koleksi, kotak koleksi, parang, gunting, oven, jarum pentul, jarum serangga, lem serangga (perekat), kertas papilot, kertas point, pinset, alat tulis, mikroskop stereo, freezer, buku identifikasi dan kamera. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel kumbang sungut panjang, cabang pohon nangka yang masih memiliki daun dan ranting, kain 1 meter x 1 meter dan alkohol 70%.

3.3.Metode Penelitian

3.3.1. Perangkap Artocarpus (AT) – (Perangkap Daun Nangka)

Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode survei, penentuan titik pengamatan dilakukan secara purposive sampling. Teknik pengoleksian sampel kumbang sungut panjang dilakukan dengan menggunakan perangkap Artocarpus (perangkap daun nangka). Perangkap Artocarpus (perangkap daun nangka) merupakan pemerangkapan serangga dengan menggunakan umpan daun nangka. Senyawa kimia yang terdapat pada Artocarpus (perangkap daun nangka) dideskripsikan sebagai 3-hidroksiheksan-2-1, atau rasemat 3-hidroksioktan-2-1 (Reginald, 2012). Senyawa yang dikeluarkan perangkap Artocarpus (daun nangka) ini berupa odor atau bau yang mampu menarik kumbang sungut panjang. Menurut Hanks et al., (2007) senyawa tersebut merupakan atraktan (jenis zat kimia) pemikat Coleoptera: Cerambycidae. Beberapa serangga mengeluarkan feromon sebagai pemikat lawan jenisnya. Begitu pula dengan kumbang sungut


(38)

panjang, feromon secara alami dikeluarkan oleh kumbang jantan dan mampu menarik kumbang betina atau sebaliknya, tergantung pada jenis spesies kumbang sungut panjang (Hanks et al., 2007). Menurut Tantowijoyo dan Giyanto (2011), proses pengeringan dari ranting dan daun nangka mampu mengeluarkan odor yang menarik serangga ordo Coleoptera, khususnya Coleoptera yang berasal dari famili Cerambycidae. Oleh karena itu digunakan umpan yang berupa seikat cabang yang terdiri dari sekitar 5 cabang dengan jumlah daun sekitar 40 – 50 helai daun yang diikatkan pada cabang atau pohon.

Perangkap Artocarpus (perangkap daun nangka) merupakan perangkap yang spesifik digunakan untuk koleksi serangga jenis kumbang sungut panjang (Noerdjito, 2011). Perangkap Artocarpus (perangkap daun nangka) diperiksa setelah 3 hari pemasangan perangkap, kumbang sungut panjang yang hadir pada

perangkap dikoleksi dengan metode “beating”, yaitu dengan memukul perangkap dan kumbang yang jatuh ditampung dengan kain putih (1 meter x 1 meter) yang dibentangkan.


(39)

25

Gambar 11. Koleksi kumbang sungut panjang dengan metode beating (ukuran kain 1 meter x 1 meter)

Perangkap Artocarpus (perangkap daun nangka) dipasang pada tiga lokasi penelitian yaitu hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam. Setiap lokasi dipasang 15 perangkap Artocarpus (perangkap daun nangka) dengan jarak masing-masing perangkap 10 meter. Koleksi kumbang sungut panjang dilakukan sebanyak 3 kali (hari ke-3, hari ke-7 dan hari ke-11) setelah pemasangan perangkap Artocarp (perangkap daun nangka).

3.3.2. Hand Sorting Method

Metode hand sorting merupakan metode yang dilakukan secara langsung, yaitu dengan cara memperhatikan dan menyortir kumbang sungut panjang yang dikoleksi pada tiga lokasi penelitian. Metode ini dilakukan pada pohon yang dijadikan tempat pemasangan perangkap Artocarpus (perangkap daun nangka).

Kumbang sungut panjang yang dikoleksi dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi alkohol 70%. Perwakilan kumbang sungut panjang yang telah dibius menggunakan alkohol 70% dicatat spesies dan jumlah individunya dan disimpan dalam kertas papilot untuk koleksi kering. Sebelum diidentifikasi, dilakukan proses pinning dan labelling terlebih dahulu mengikuti prosedur


(40)

standar. Pinning dilakukan dengan cara menusukkan jarum serangga ke bagian elytra sebelah kanan untuk kumbang yang berukuran lebih dari 10 mm. Jarum serangga yang digunakan disesuaikan dengan ukuran tubuh kumbang, semakin besar ukuran tubuh kumbang sungut panjang maka semakin besar jarum yang digunakan. Kumbang yang berukuran kurang dari 10 mm, spesimen ditempelkan pada ujung point (kertas segitiga memanjang dengan panjang 8-10 mm dan lebar 3-4 mm). Penggunaan point dilakukan dengan cara menyentuhkan lem (perekat) pada ujung point kemudian disentuhkan ke bagian abdomen sebelah kiri dengan posisi kepala menghadap ke sebelah kanan. Setelah proses pinning, dilanjutkan dengan proses labelling yang meliputi lokasi, tanggal, bulan, tahun, metode koleksi dan nama kolektor. Selanjutnya spesimen kumbang dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 45oC selama 1 minggu dan setelah itu dimasukkan ke dalam freezer selama 1 minggu dan kemudian dimasukkan ke dalam ruang koleksi untuk proses identifikasi.

Spesimen kumbang sungut panjang diidentifikasi di Laboratorium Entomologi, LIPI Cibinong, berdasarkan Makihara et al., (2002), Makihara et al., (2004) dan diverifikasi dengan spesimen koleksi di Museum Serangga LIPI Cibinong. Semua spesimen kumbang sungut panjang disimpan di Laboratorium Ekologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kumbang sungut panjang yang dikoleksi pada masing-masing plot di masing-masing lokasi penelitian (hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam) dipetakan dengan menggunakan aplikasi ArcGIS.


(41)

(42)

3.3.3. Pengamatan Faktor Lingkungan

Pengukuran faktor lingkungan dilakukan bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh lingkungan terhadap keberadaan kumbang sungut panjang yang dikoleksi. Faktor lingkungan yang diukur antara lain :

a. Faktor Lingkungan 1. Suhu udara (0C)

Pengukuran suhu udara diukur dengan menggunakan thermometer yang dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada saat pemasangan perangkap pukul 08.00 WIB dan saat pengoleksian kumbang sungut panjang pukul 15.00 WIB.

2. Kelembapan Udara Relatif (%)

Pengukuran kelembapan udara relatif diukur dengan menggunakan hygrometer sebanyak 2 kali, yaitu pada saat pemasangan perangkap pukul 08.00 WIB dan saat pengoleksian kumbang sungut panjang pukul 15.00 WIB.

3. Kecepatan Angin (m/s)

Pengukuran kecepatan angin diukur dengan menggunakan anemometer yang dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada saat pemasangan perangkap pukul 08.00 WIB dan saat pengoleksian kumbang sungut panjang pukul 15.00 WIB. 4. Intensitas Cahaya (klux)

Pengukuran intensitas cahaya diukur dengan menggunakan lux meter yang dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada saat pemasangan perangkap pukul 08.00 WIB dan saat pengoleksian kumbang sungut panjang pukul 15.00 WIB.


(43)

29

b. Titik Koordinat

Penentuan titik koordinat dilakukan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Pengambilan titik koordinat dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada saat pemasangan perangkap dan koleksi kumbang sungut panjang. Pengambilan data koordinat ini dilakukan pada jarak 2 meter dari titik pemasangan perangkap.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Indeks Keanekaragaman Jenis

Indeks ini digunakan untuk mengukur karakteristik dari komunitas pada suatu lokasi pada waktu tertentu. Menurut Fachrul (2006), tinggi atau rendahnya tingkat keanekaragaman suatu komunitas dapat dilihat dari nilai indeks keanekaragaman jenis (Shannon-Wiener). Indeks keanekaragaman jenis (Shannon-Wiener) menurut Magurran (2004) sebagai berikut :

H’ = -∑

Keterangan : H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener s = Jumlah jenis (spesies)

ni = jumlah total individu / spesies N = jumlah individu seluruhnya

Pi = = Proporsi jumlah total individu tiap jenis

Besarnya indeks keanekaragaman jenis menurut Shannon-Wiener

didefinisikan sebagai berikut : a. Nilai H’ > 3 menunjukkan bahwa

keanekaragaman spesies transek adalah melimpah tinggi; b. Nilai H’ ≤ H’ ≤ 3

menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu transek adalah sedang;

c. Nilai H’ < 1 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu transek


(44)

3.4.2. Indeks Kemerataan Jenis

Indeks kemerataan spesies kumbang pada suatu habitat dihitung dengan menggunakan formulasi Pielou (Krebs, 1972) :

E =

Keterangan : E = Indeks Kemerataan jenis

H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener S = Jumlah keseluruhan dari spesies

Dengan ketentuan penilaian sebagai berikut : jika E < 0,4 maka keseragaman spesies rendah; jika 0,4 < E < 0,6 maka keseragaman spesies sedang; jika E > 0,6 maka keseragaman spesies tinggi.

3.4.3. Indeks Similaritas (IS)

Kesamaan kumbang antar lokasi dianalisis dengan menggunakan Indeks kesamaan spesies Sorensen (Fachrul, 2006) :

Keterangan :

IS = Indeks similaritas spesies

C = Jumlah spesies kumbang pada habitat A dan B A = Jumlah spesies kumbang habitat A

B = Jumlah spesies kumbang habitat B

Nilai indeks kesamaan dibagi dalam dua kriteria yaitu jika nilai indeks > 50%, berarti kesamaan spesies tinggi pada kedua habitat dan jika nilai indeks kesamaan < 50% berarti kesamaan spesies rendah. Jika Indeks Kesamaan suatu spesies habitat diketahui, maka dapat dicari pula Indeks Ketidaksamaannya (Indeks Dissimilarity = IDS). Indeks Kesamaan dan Indeks Ketidaksamaan antara lain dapat dipakai untuk menyusun matriks Indeks Kesamaan dan Indeks Ketidaksamaan dengan rumus :


(45)

31

Keterangan:

IDS = Indeks Dissimilaritas (%) IS = Indeks Kesamaan Sorensen 3.4.4. Pola Sebaran

Pola sebaran diketahui dengan menggunakan indeks morisita (Fowler dan Cohen, 1990) :

S2 = ∑ Keterangan : S2 = variansi

Xi = jumlah individu tiap plot

X = rata-rata jumlah individu semua plot n = banyak plot

Dengan ketentuan penilaian sebagai berikut : jika S2 < 1 maka pola sebaran seragam; jika S2 = 1 maka pola sebaran acak; jika S2 > 1 maka pola sebaran berkelompok.


(46)

32 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut data GHSNPMP-JICA (2007), Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) secara geografis berada pada koordinat S : 0,6o41’24,8” E : 106o41’52,1” dengan ketinggian berkisar antara 500 m dpl sampai 1.800 m dpl. Variasi curah hujan rata-rata di wilayah ini berkisar antara 4.000 mm sampai 6.000 mm/tahun, bulan Oktober-April merupakan musim hujan dengan curah hujan antara 400 mm – 600 mm/bulan, sedangkan musim kemarau berlangsung dari bulan Mei-September dengan curah hujan sekitar 200 mm/bulan. Suhu udara rata-rata bulanan 31,5oC dengan suhu terendah 19,7oC dan suhu tertinggi 31,8oC. Kelembapan udara relatif rata-rata 88%. Berdasarkan kondisi di atas, maka kawasan TNGHS merupakan suatu kawasan yang memiliki potensi yang cukup baik sebagai habitat dari berbagai flora dan fauna, salah satunya kumbang sungut panjang.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bulan Juni-Juli 2014 di tiga lokasi penelitian Resort Salak 2 – TNGHS, jumlah koleksi kumbang sungut panjang pada kawasan ini jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah koleksi yang dilakukan di kawasan Citiis dan Cidahu oleh Noerdjito (2009 dan 2010). Jumlah koleksi kumbang sungut panjang yang dikoleksi di Gunung Bunder, Resort Salak 2 – Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) berjumlah 126 individu yang termasuk ke dalam 15 spesies, sedangkan jumlah individu di kawasan Citiis dan Cidahu terdiri dari 729 individu yang termasuk ke


(47)

33

dalam 50 spesies. Berikut spesies kumbang sungut panjang yang dikoleksi pada tiga lokasi penelitian di kawasan Resort Salak 2 – TNGHS :

Tabel 2. Spesies kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) pada tiga lokasi penelitian (hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Spesies Rasamala Pinus Hutan Alam

Acalolepta laevifrons (Aurivillius, 1924)

0 0 2 2

Acalolepta rusticatrix (Fisher, 1925)

0 2 0 2

Cacia subfasciata (Schwarzer, 1931)

0 1 0 1

Cleptometopus javanicus (Breuning, 1943)

0 1 0 1

Exocentrus artocarpi (Breuning, 1939)

0 0 1 1

Nctymenius varicornis (White, 1853)

0 0 2 2

Pterolophia melanura (Pascoe, 1859)

0 0 5 5

Pterolophia triangularis (Pascoe, 1866)

0 0 1 1

Pterolophia uniformis (Pascoe, 1859)

0 13 5 18

Ropica obliquelineata (Breuning, 1939)

1 0 0 1

Ropica strandi (Breuning, 1942)

1 6 0 7

Sciades minutus (Breuning, 1977)

5 0 0 5

Sybra fuscotriangularis (Breuning, 1944)

10 41 13 64

Trachelophora cervicollis (Pascoe, 1866)

1 0 0 1

Zorillispe spinipennis (Breuning, 1939)

4 9 2 15

Jumlah Spesies 6 7 8 15

Jumlah individu 22 73 31 126

H’ 1.418 1.298 1.695


(48)

Perbedaan jumlah koleksi ini disebabkan karena adanya perbedaan banyaknya jumlah habitat yang digunakan pada saat penelitian. Habitat yang digunakan oleh Noerdjito (2009) sebanyak 10 habitat, sedangkan habitat yang digunakan di kawasan Gunung Bunder sebanyak 3 habitat. Hal ini dijelaskan oleh Noerdjito (2010) yaitu keberadaan kumbang sungut panjang sangat dipengaruhi oleh tipe vegetasi dan ketinggian tempat. Selain itu, keberadaan kumbang sungut panjang sangat bergantung dengan vegetasi tumbuhan berkayu. Berikut koleksi kumang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

a. Acalolepta laevifrons

b. Acalolepta rusticatrix

c. Cacia subfasciata

d. Cleptometopus javanicus

f. Nyctimenius varicornis e. Exocentrus artocarpi


(49)

35

g. Pterolophia melanura

h. Pterolophia triangularis

i. Pterolophia uniformis j. Pterolophia uniformis

l. Ropica strandi

n. Sybra fuscotriangularis k. Ropica obliquelineata


(50)

o. Trachelophora cervicollis

p. Zorillispe spinipennis

Gambar 13. Koleksi kumbang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian (hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

4.1. Keanekaragaman dan Kemerataan Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambycidae) pada Tiga Lokasi Penelitian

Keanekaragaman jenis merupakan sifat komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragaman jenis organisme yang ada di dalamnya. Keanekaragaman kumbang sungut panjang diketahui dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk menyatakan hubungan kelimpahan spesies dalam komunitas (kekayaan spesies) dan kesamaan spesies. Nilai keanekaragaman akan tinggi jika jumlah individu per spesies merata.

Berdasarkan Gambar 14 nilai keanekaragaman kumbang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian (hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) tergolong sedang yaitu masing-masing berjumlah H’=1,41; H’=1,29 dan H’=1,69. Namun, diantara nilai yang ditunjukkan oleh ketiga lokasi penelitian tersebut, nilai keanekaragaman kumbang sungut panjang di hutan alam adalah yang tertinggi,


(51)

37

yaitu H’=1,69. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan jenis habitat pada setiap lokasi yang diteliti.

Gambar 14. Indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E) kumbang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian (hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Menurut Connor and McCoy (1979); Speight et al., (1999) bahwa keanekaragaman habitat akan mempengaruhi keanekaragaman spesies yang ada di dalamnya yaitu habitat yang lebih heterogen mampu memberikan “niche” yang lebih banyak, sehingga mampu menopang jenis organisme yang lebih banyak pula, atau lebih sederhananya, habitat yang lebih beragam menyebabkan keanekaragaman spesies yang lebih besar.

Menurut Fauziah (2015), hutan alam memiliki keanekaragaman habitat yang lebih bervariasi jika dibandingkan dengan habitat hutan rasamala dan hutan pinus. Jenis tumbuhan yang terdapat di hutan alam terdiri dari saninten

1.41

1.29

1.69

0.23

0.18 0.21

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

Rasamala Pinus Hutan Alam

Indek s K eanek aragam an dan K em erat aan Habitat Keanekaragaman Kemerataan


(52)

(Castanopsis javanica), puspa (Schima wallichii), huni hutan (Antidesma tetrandrum), jirak (Symplocos fasciculata), pinus (Pinus merkusii), ki merak (Weinmannia blumei), ki bangkong (Turpinia sphaerocarpa), ki sampang (Euodia latifolia), seuhang (Ficus grossularioides), ipis kulit (Pternandra azurea), gompong (Arthrophylum diversifolium), wali songo (Leucaena sp.). Keanekaragaman habitat inilah yang menyebabkan keanekaragaman kumbang sungut panjang pada hutan alam tertinggi dibandingkan dengan habitat hutan rasamala dan hutan pinus.

Indeks Evennes digunakan untuk mengetahui kemerataan jenis. Semakin tinggi nilai indeks kemerataan jenis maka jumlah individu dari tiap jenis semakin merata. Berdasarkan Gambar 14 indeks kemerataan jenis kumbang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian (hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam) kemerataan jenis kumbang tidak merata atau tergolong rendah, yaitu hutan rasamala E=0,23; hutan pinus E=0,18 dan hutan alam E=0,21. Hal ini disebabkan adanya spesies yang memiliki jumlah individu lebih banyak dibandingkan spesies yang lain, yaitu S. fuscotriangularis. Pada masing-masing lokasi penelitian, kehadiran kumbang sungut panjang S. fuscotriangularis ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan koleksi kumbang sungut panjang lainnya. Hal ini terlihat pada Tabel 2, yaitu pada hutan rasamala kehadiran S. fuscotriangularis sebanyak 10 individu, hutan pinus 41 individu dan hutan alam sebanyak 13 individu.

Indeks Similaritas (IS) digunakan untuk membandingkan kesamaan antara habitat berdasarkan kesamaan antar jenis spesies. Nilai kesamaan jenis pada tiga lokasi penelitian ini menunjukkan tingkat kesamaan jenis pada tiga lokasi


(53)

39

penelitian tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 4 yang menunjukkan nilai indeks similaritas tergolong rendah, yaitu kurang dari 50%. Berdasarkan Tabel 2 terdapat kumbang sungut panjang yang keberadaannya hanya terdapat pada satu habitat. Diantaranya, R. strandi, R. obliquelineata, T. cervicoliis, dan S. minutus yang hanya terdapat pada hutan rasamala. A. rusticatrix, C. subfasciata dan C. javanicus keberadaannya hanya pada hutan pinus. A. laevifrons, E. artocarpi, N. varicornis, P. melanura dan P. triangularis yang keberadaannya hanya pada hutan alam. Hal inilah yang menyebabkan nilai kesamaan ketiga habitat ini tergolong rendah. Hanya dua jenis kumbang sungut panjang yang tersebar pada tiga lokasi penelitian tersebut, yaitu S. fuscotriangularis dan Z. spinipennis. Menurut Noerdjito (2009), S. fuscotriangularis dan Z. spinipennis merupakan spesies-spesies yang bersifat mampu hidup di berbagai tipe habitat atau mempunyai sebaran luas dalam jumlah tertinggi dibandingkan dengan jenis yang lainnya.

Kumbang sungut panjang yang dikoleksi pada tiga lokasi penelitian tersebut berasal dari 11 genus, yaitu Sybra, Zorillispe, Pterolophia, Cacia, Ropica, Acalolepta, Cleptometopus, Trachelophora, Sciades, Exocentrus, Nyctimenius. Semua genus yang teridentifikasi ini berasal dari satu subfamili, yaitu subfamili Lamiinae. Menurut Duffy (2012), subfamili Lamiinae merupakan kelompok serangga pemakan daun dan batang. Kumbang sungut panjang S. fuscotriangularis dan Z. spinipennis tersebar di semua habitat. Jumlah individu kumbang sungut panjang yang jumlah individunya paling banyak pada tiga lokasi penelitian (hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam) yaitu S. fuscotriangularis.


(54)

Menurut Noerdjito (2009), S. fuscotriangularis diketahui hanya terdapat di pulau Jawa (endemik Jawa). Spesies ini memiliki sebaran yang luas, artinya spesies ini mampu bertahan pada berbagai jenis habitat. Ukurannya yang kecil, sekitar 4 mm memungkinkan spesies ini hidup dan berlindung di ranting atau ranting-ranting mati yang kecil dari tumbuhan semak yang ada di antara pinus, sehingga tekanan terhadap keselamatannya menjadi kecil.

Jenis kumbang sungut panjang yang dikoleksi pada ketiga habitat di kawasan Gunung Bunder – Resort Salak 2 ini memiliki kemiripan dengan koleksi kumbang Cerambycidae di kawasan Cidahu dan Citiis (2009 dan 2010). Diantaranya A. laevifrons, A. rusticatrix, R. strandi, R. obliquelineata, S. fuscotriangularis, C. javanicus, S. minutus, Z. spinipennis, P. melanura, P. uniformis, P. triangularis dan N. varicornis. Menurut Noerdjito (2010), S. minutus, Z. spinipennis dan C. javanicus merupakan spesies endemik jawa.

Perbedaan lokasi penelitian berpengaruh terhadap jumlah individu dan jenis kumbang sungut panjang yang dikoleksi. Total individu kumbang sungut panjang yang dikoleksi berjumlah 126 individu yang termasuk dalam 15 spesies (Tabel 2).

Jumlah spesies kumbang sungut panjang tertinggi dikoleksi di hutan alam (8 spesies, 38%), diikuti hutan pinus (7 spesies, 33%) dan terendah di hutan rasamala (6 spesies, 29%) (Gambar 15.a). Jumlah individu kumbang sungut panjang tertinggi dikoleksi pada habitat hutan pinus (73 individu, 58%), diikuti hutan alam (31 individu, 25%) dan hutan rasamala (22 individu, 17%) (Gambar 15.b).


(55)

41

Gambar 15. Persentase jumlah spesies (a) dan jumlah individu (b) kumbang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian Hutan rasamala (R), hutan pinus (P) dan hutan alam (HA) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Berdasarkan gambar 15 (b) persentase jumlah individu kumbang sungut panjang yang terdapat pada hutan pinus lebih tinggi dibandingkan persentase jumlah individu kumbang sungut panjang pada hutan rasamala dan hutan alam, yaitu sebesar 58%. Sedangkan persentase jumlah individu kumbang sungut panjang pada hutan alam dan hutan rasamala masing-masing sebesar 25% dan 17%. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi habitat dan kerapatan vegetasi (tutupan tajuk). Hal ini dijelaskan oleh Fahri (2013) bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komunitas kumbang sungut panjang adalah jenis pohon, penutupan tajuk, serasah, pohon busuk atau yang sedang mengalami proses pelapukan. 33% 38% 29% 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% Jum lah spesie s Habitat

P HA R

58% 25% 17% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% Ju m lah in d ivi d u Habitat


(56)

(a) (b) (c)

Gambar 16. Vegetasi tempat pemasangan perangkap artocarpus (perangkap daun nangka) pada tiga lokasi penelitian (hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kondisi habitat hutan alam dan hutan rasamala pada saat penelitian cenderung lebih banyak mengalami gangguan. Tidak jarang masyarakat melewati jalur pemasangan perangkap Artocarpus (AT). Selain itu, pada saat penelitian berlangsung, Tentara Nasional Indonesia (TNI) sedang melakukan latihan militer. Sehingga, situasi ini berdampak terhadap jumlah individu kumbang sungut panjang yang dikoleksi.

Kehadiran kumbang sungut panjang pada hutan pinus pun cenderung lebih banyak spesies yang berukuran kecil yaitu kurang dari 10 mm diantaranya S.fuscotriangularis. S. fuscotriangularis diketahui hanya terdapat di pulau Jawa (endemik Jawa). Spesies ini memiliki sebaran yang luas, artinya spesies ini mampu bertahan pada berbagai jenis habitat. Ukurannya yang kecil, sekitar 4 mm memungkinkan spesies ini hidup dan berlindung di ranting atau ranting-ranting


(57)

43

mati yang kecil dari tumbuhan semak yang ada di antara pinus, sehingga tekanan terhadap keselamatannya menjadi kecil.

Kerapatan vegetasi (tutupan tajuk) berpengaruh terhadap faktor abiotik pada tiga lokasi penelitian. Menurut Fauziah (2015) tutupan tajuk pada hutan rasamala dan hutan pinus tergolong rendah, sehingga berpengaruh terhadap suhu udara, kelembapan udara relatif, intensitas cahaya dan kecepatan angin. Nilai faktor abiotik yang diukur pada saat penelitian di hutan rasamala dan hutan pinus menunjukkan nilai yang tidak terlalu berbeda jauh (Lampiran 8-11). Berdasarkan gambar 16 dapat dilihat bahwa intensitas cahaya matahari pada kedua kawasan (hutan rasamala dan hutan pinus) ini tergolong tinggi. Tingginya intensitas cahaya berdampak pada suhu dan kelembapan udara relatif pada dua kawasan ini. Intensitas cahaya yang lebih tinggi mengakibatkan suhu dan kelembapan udara menjadi lebih tinggi pula.

Berbeda dengan faktor abiotik pada kawasan hutan alam. Intensitas cahaya pada kawasan ini relatif rendah (Lampiran 10). Hal ini disebabkan tutupan tajuk pada kawasan hutan alam ini relatif lebih rapat (Gambar 17). Kurangnya intensitas cahaya pada kawasan ini berbanding lurus dengan nilai suhu udara, kelembapan udara relatif dan kecepatan angin. Suhu udara, kelembapan udara relatif dan kecepatan angin pada kawasan ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hutan rasamala dan hutan pinus. Rendahnya intensitas cahaya dan suhu pada kawasan hutan alam ini menjadikan situasi pada kawasan ini lebih dingin dibandingkan dengan dua lokasi penelitian lainnya.


(58)

4.2. Pola Sebaran Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambyciadae) Pengukuran pola sebaran jenis kumbang sungut panjang dihitung dengan menggunakan indeks morisita. Berdasarkan data jumlah individu dan jumlah spesies tersebut dapat diketahui pola sebaran kumbang sungut panjang pada masing-masing lokasi penelitian cenderung seragam. Akan tetapi, terdapat satu jenis kumbang sungut panjang yang memiliki pola sebaran berkelompok. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh biotik. Menurut Fahrul (2005), faktor biotik merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi keberadaan kumbang sungut panjang.

Faktor ini meliputi hubungan intraspesifik dan interpsesifik. Hubungan intraspesifik merupakan hubungan antar serangga yang termasuk ke dalam spesies yang sama, sehingga terjadi persaingan dalam mendapatkan sumber pakan. Hubungan interspesifik merupakan hubungan serangga dalam spesies yang berbeda atau hubungan serangga dengan makhluk hidup lainnya. Menurut Indriyanto (2005), tipe pola sebaran seragam terjadi apabila kondisi lingkungan cukup seragam di seluruh area dan ada kompetisi yang kuat antarindividu anggota populasi. Kompetisi yang kuat antarindividu anggota populasi akan mendorong terjadinya pembagian ruang yang sama. Berdasarkan Tabel 2, kumbang sungut panjang yang keberadaannya paling mendominasi dibandingkan dengan spesies lain yaitu S. fuscotriangularis. Hal ini juga terlihat pada Gambar 17 yang menunjukkan bahwa kehadiran kumbang S. fuscotriangularis menumpuk pada beberapa titik sampling saja di masing-masing lokasi penelitian.


(59)

45

Gambar 17. Pola sebaran kumbang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian – TNGHS; Keterangan : merupakan spesies yang jumlah individu paling banyak pada masing-masing habitat dengan pola sebaran berkelompok (S. fuscotriangularis)

H’ = 1,41 H’ = 1,29 H’ =1,69


(60)

Perbedaan yang paling signifikan terlihat jelas pada lokasi penelitian hutan pinus bahwa sebaran S. fuscotriangularis hanya pada titik sampling 1, 2, 9, 11 dan 12. Hal ini disebabkan karena pada lokasi hutan pinus ini tingkat aktivitas manusia sangat tinggi, seperti tempat wisata (lokasi perkemahan) bahkan masyarakat sekitar menjadikan lokasi ini sebagai tempat tambahan biaya ekonomi dengan mengambil getah pohon pinus, sehingga kompetisi untuk mencari sumber pakan oleh kumbang sungut panjang pada lokasi ini menjadi lebih tinggi. Selian itu, menurut Noerdjito (2009), spesies S. fuscotriangularis merupakan spesies yang memiliki pola sebaran yang luas, maksudnya spesies S. fuscotriangularis ini mampu hidup pada berbagai habitat dengan jumlah yang relatif tinggi.

Menurut Indriyanto (2005), pola sebaran berkelompok pada suatu populasi merupakan distribusi yang umum terjadi di alam, baik bagi tumbuhan maupun bagi binatang. Pola sebaran berkelompok terjadi karena berbagai sebab, antara lain sebagai berikut : (a) kondisi lingkungan jarang yang seragam, meskipun pada area yang sempit. Perbedaan kondisi tanah dan iklim pada suatu area akan menghasilkan perbedaan dalam habitat yang penting bagi setiap organisme yang ada di dalamnya, karena suatu organisme akan ada pada suatu area yang faktor-faktor ekologinya tersedia dan sesuai bagi kehidupannya; (b) pola reproduksi dari suatu individu-individu anggota populasi. bagi tumbuhan yang bereproduksi secara vegetatif, juga bagi binatang yang masih muda menetap bersama dengan induknya merupakan suatu kekuatan yang mendorong terjadinya pola berkelompok dan (c) adanya perilaku hewan yang cenderung membentuk kesatuan atau membentuk koloni merupakan kekuatan yang mendorong terjadinya


(61)

47

distribusi berkelompok. Demikian juga daya tarik seksual bagi binatang merupakan kekuatan yang mendorong terjadinya pola sebaran berkelompok.


(62)

48

1) Keanekaragaman kumbang sungut panjang di tiga habitat di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) tergolong sedang, yaitu dengan rentang nilai H’ = 1,2 – 1,69.

2) Pola sebaran kumbang sungut panjang pada tiga habitat (hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam yaitu seragam dan berkelompok.

5.2. Saran

Perlu dilakukan studi lanjutan mengenai tanaman inang yang spesifik dikunjungi oleh kumbang sungut panjang. Berkurangnya aktifitas manusia akan berdampak baik terhadap keberadaan kumbang sungut panjang.


(63)

49

DAFTAR PUSTAKA

Amir, M dan Kahono. 2003. Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. (Edisi I). Biodiversity Conversation Project. LIPI Bogor. Aurivillius, Chr. 1924. Neue oder wenig Bekkante Coleoptera Longicornia 20,

Ark. Zool., 17A (12): 1-21.

Borror, J. D., A. C., Johnson, F. N. 2005. Introduction to the Study of Insect. Thomson Brooks/Cole. USA.

Breuning, E. 1939. Etudes sur les Lamiaires (Coleoptera: Cerambycidae). Nov. Entomol., 3. Suppl., (9): 393- 520.

Breuning, E. 1944. Etudes sur les Lamiaires (Coleoptera, Cerambycidae). Nov. Entomol., 3 suppl., (14): 281-512.

Breuning, S. 1943. Novae species Cerambycidarum 12, Folia Zool. Hydrob., 12 (1): 12-66.

Connor, E. F dan E. D. McCoy. 1979. The Statistics ad Biology of the Species-area relationship. Ameri. Nat. (113): 27-49.

Duffy, E. A. J. 2012. Coleoptera (Cerambycidae). Copy Right Royal Entomological Society of London Vol V. Part 12. London.

Fahri, Badjeber. 2013. Diversity and Abundance of Cerambycid Beetles (Coleoptera: Cerambycidae) on the Four Types of Land Use in Jambi Province. Tesis. IPB Bogor.

Fauziah, R. 2015. Struktur dan Komposisi Tumbuhan di Hutan Resort Salak 2- Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (unpublish).

Ferianita, M. F. 2006. Metode Sampling Bioekologi. Edisi I. Bumi Aksara. Jakarta.

Fisher, W.S. 1925. New Malaysian Cerambycidae, Subfamily Lamiinae. Philipp. Jl. Sci. 28 (2): 205-275.

Fowler, J. dan L Cohen. 1990. Practical Statistics for Field Biology. John Wiley dan Sons Inc. Chichester, New York, Brisbane, Toronto Singapore.


(64)

GHSNPMP-JICA. 2007. Taman Nasional Gunung Halimun – Salak. Bogor. Email: info@mhalimun.go.id/mgh(g)/telkom.net. Website: www.tnhalimun.go.id. Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Hank, LM., Millar JG, Moreira JA., Barbour JD., Lacey ES., McElfresh JS.,

Reuter FR, Ray AM. 2007. Using generic pheromone lures to expedite identification of aggregation pheromones for the cerambycid beetles Xylotrechus nauticus, Phymatodes lecontei, and Neoclytus modestus modestus. Doi: 10.1007/s10886-007-7275-4. Journal of Chemical Ecology 33: 889-907.

Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Penertbit: Bumi Aksara. Jakarta.

Lien, V. V. And D. Yuan. 2003. The Differences of Butterfly (Lepidoptera, Papilionoidea) Communities in Habitats with Various Degrees of Disturbance and Altitudes in Tropical. Biodiv and Concer, (12): 1099-1111.

Magurran, A. E. 2004. Measuring Biological Diversity. Blackwell Publishing Company. Australia.

Makihara, H., W. A. Noerdjito dan Sugiharto. 2002. Longicorn Beetles from Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia. Bull. FFPRI, Japan, Vol I, No. 3 (384): 189-223.

Makihara, H., W. A. Noerdjito dan Sugiharto. 2004. Differences and features of Cerambycid Fauna with Fragment of Primary, Secondary and Degraded Forest in Landscape affected by Human Impacts and Fire Disturbance, Est Kalimantan, Indonesia. Proc. Int. Workshop on The Landscape Level Rehabilitation og Degraded Tropical Forests, 2-3 Marh 2004. FFPRI, Tsukuba, Japan, pp: 63-73.

Molles, Jr. M. C. 2005. Ecology Concepts and Applications, Fifth Edition. McGraw-Hill International Edition. University of New Mexico. Mexico. Noerdjito, W. A dan Sarino. 2009. Fauna Kumbang Cerambycidae, Lucanidae

dan Scarabaeidae di Kawasan Jalur Pendakian Palutungan Taman Nasinal Gunung Ciremai. Laporan Teknik 208. Puslit Biologi-LIPI: 146-157.

Noerdjito, W. A. 2003. Keragaman Kumbang (Coleoptera) di dalam: Amir M, Kahono S. Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat, JICA Biodiversity Coversation Project: 149-200.


(65)

51

Noerdjito, W. A. 2009. Keragaman dan Distribusi Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Berbagai Tipe Habitat di Gunung Salak, Sisi Selatan, Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. LIPI: 75-87.

Noerdjito, W. A. 2009. Struktur Komunitas Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Kawasan Gunung Ciremai. Edisi khusus kawasan Gunung Ciremai Bagian 1. Jurnal Biologi Indonesia 4(5): 371-384.

Noerdjito, W. A. 2010. Arti Kebun Raya Bogor Bagi Kehidupan Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambycidae). Jurnal Biologi Indonesia. 6(2): 289-292.

Noerdjito, W. A. 2010. Dampak Kegiatan Manusia terhadap Keanekaragaman dan Pola Distribusi Serangga di Gunung Salak. Laporan Akhir. LIPI. Noerdjito, W. A. 2010. Keragaman dan Distribusi Kumbang Sungut Panjang

(Coleoptera: Cerambycidae) di Kebun Raya Bogor. Prosiding seminar Nasional, Perhimpunan Entomologi Indonesia, Bogor 2008. 289-291. Noerdjito, W. A. 2012. Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk di

Gunung Slamet. Ekologi Gunung Slamet. LIPI. 205-229.

Noerdjito, W. A., Aswari, P., Peggie Djunijanti. 2011. Fauna Serangga Gunung Ciremai. LIPI Press. Bogor.

Noerdjito, W. A., H, Makihara dan K, Matsumoto. 2005. Longicorn Beetle Fauna (Coleoptera: Cerambycidae) Colected from Friendship Forest at Sekaroh, Lombok. Proc. Int. Workshop on the Landscape Level Rehabilitation of Degraded Tropical Forests, 22-23 February, 2005., FFPRI, Tsukuba, Japan, pp: 55-64.

Pascoe, F.P. 1859. Descriptions of new genera and species of Asiatic longicorn coleoptera. part 3, Trans. Entomol. Soc. London, (2)IV: 236-267.

Pascoe, F.P. 1866. Catalogue of Longicorn Coleoptera, collected in the Island of Penang by James Lamb, Esq. I,II. Proc. Zool. Soc. London, 1866, 222-267, pls.26-29;504-536: 41-43.

Schwarzer, B. 1931. Beitrag zur Kenntnis der Cerambyciden (Ins. Col.) II, Senckenbergiana, 13: 59-78.

Setyamidjaja, D. 2006. Kelapa Sawit Teknik Budidaya, Panendan Pengolahan. Kanisius. Yogyakarta.


(66)

Speight, M. R., M. D. Hunter dan A. D. Watt. 1999. Ecology of Insect: Concepts and Applications. Blackwell Science Pty Ltd, Oxford.

Tantowijoyo, W dan Giyanto. 2011. Eksplorasi Keragaman Serangga Coleoptera dan Lepidoptera di Pulau Moti, Ternate. Maluku Utara. LIPI Press. 167-185.

White, A. 1853. Catalogue of coleopterous insects in the collection of the British Museum. part 7, Longicornia, 1: 1-174.


(67)

53 LAMPIRAN

Lampiran 1. Indeks Keanekaragaman Jenis Kumbang Sungut Panjang pada Habitat Hutan Rasamala di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

Spesies

individu

Rasamala

Pi ln Pi Pi ln Pi

Acalolepta laevifrons 0 0 0 0

Acalolepta rusticatrix 0 0 0 0

Cacia subfasciata 0 0 0 0

Cleptometopus javanicus 0 0 0 0

Exocentrus artocarpi 0 0 0 0

Nctymenius varicornis 0 0 0 0

Pterolophia melanura 0 0 0 0

Pterolophia triangularis 0 0 0 0

Pterolophia uniformis 0 0 0 0

Ropica obliquelineata 1 0.045 -3.091 -0.139

Ropica strandi 1 0.045 -3.091 -0.139

Sciades minutus 5 0.227 -1.481 -0.336

Sybra fuscotriangularis 10 0.454 -0.788 0.357 Trachelophora cervicollis 1 0.045 -3.091 -0.139 Zorillispe spinipennis 4 0.181 -1.704 -0.308

Jumlah spesies 6 H’ = 1.418


(68)

Lampiran 2. Indeks Keanekaragaman Jenis Kumbang Sungut Panjang pada Habitat Hutan Pinus di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

Spesies

individu

Pinus

Pi ln Pi Pi ln Pi

A. laevifrons 0 0 0 0

A. rusticatrix 2 0.027 -3.597 -0.097

C. subfasciata 1 0.013 -4.290 -0.055

C. javanicus 1 0.013 -4.290 -0.055

E. artocarpi 0 0 0 0

N. varicornis 0 0 0 0

P. melanura 0 0 0 0

P. triangularis 0 0 0 0

P. uniformis 13 0.178 -1.725 -0.307

R. obliquelineata 0 0 0 0

R. strandi 6 0.082 -2.498 -0.204

S. minutus 0 0 0 0

S. fuscotriangularis 41 0.561 -0.576 0.323

T. cervicollis 0 0 0 0

Z. spinipennis 9 0.123 -2.093 -0.257

Jumlah spesies 7 H’ = 1.298


(69)

55

Lampiran 3. Indeks Keanekaragaman Jenis Kumbang Sungut Panjang pada Habitat Hutan Alam di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

Spesies

individu

Hutan Alam

Pi ln Pi Pi ln Pi

A. laevifrons 2 0.064 -2.740 0.175

A. rusticatrix 0 0 0 0

C. subfasciata 0 0 0 0

C. javanicus 0 0 0 0

E. artocarpi 1 0.032 -3.433 -0.109

N. varicornis 2 0.064 -2.740 0.175

P. melanura 5 0.161 -1.826 -0.294

P. triangularis 1 0.032 -3.433 -0.109

P. uniformis 5 0.161 -1.826 -0.294

R. obliquelineata 0 0 0 0

R. strandi 0 0 0 0

S. minutus 0 0 0 0

S. fuscotriangularis 13 0.419 -0.869 -0.364

T. cervicollis 0 0 0 0

Z. spinipennis 2 0.064 -2.740 0.175

Jumlah spesies 8 H’ = 1.695


(70)

Lampiran 4. Indeks Kesamaan (IS) Jenis pada tiga lokasi penelitian di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

a. Indeks Similaritas pada hutan rasamala dan hutan pinus

= 46 %

b. Indeks Similaritas pada hutan pinus dan hutan alam

= 40 %

c. Indeks Similaritas pada hutan rasamala dan hutan alam

= 28 %


(1)

Lampiran 9. Kelembapan udara relatif (%) pada tiga lokasi penelitian di kawasan TNGHS

Hari Koleksi Rasamala Pinus Hutan Alam

Hari ke-3 73,3 78,16 89,86

Hari ke-7 74,4 77,2 88,76


(2)

Lampiran 10. Intensitas cahaya (Klux) pada tiga lokasi penelitian di kawasan TNGHS

Hari Koleksi Rasamala Pinus Hutan Alam

Hari ke-3 18,72 16,27 7,13

Hari ke-7 19,86 18,04 7,44


(3)

Lampiran 11. Kecepatan angin (m/s) pada tiga lokasi penelitian di kawasan TNGHS

Hari Koleksi Rasamala Pinus Hutan Alam

Hari ke-3 0,4 0,6 0

Hari ke-7 0,3 0,3 0


(4)

Lampiran 12. Pola sebaran kumbang sungut panjang di Hutan Rasamala – TNGHS

Spesies ∑ Xi X Xi-X kuadrat (Xi-X)2 (Xi-X)2/n-1 Sebaran

Ropica obliquelineata (Breuning, 1939) 1 0,0454 0,9545 0,9545 0,9111 0,0650 seragam Ropica strandi (Breuning, 1942) 2 0,0909 1,9090 1,9090 3,6446 0,2603 seragam Sciades minutus (Breuning, 1977) 3 0,1363 2,8636 2,8636 8,2004 0,5857 seragam Sybra fuscotriangularis (Breuning, 1944) 4 0,1818 3,8181 3,1818 12,1487 0,8677 seragam Trachelophora cervicollis (Pascoe, 1866) 1 0,0454 0,9545 0,9545 0,9111 0,0650 seragam Zorillispe spinipennis (Breuning, 1939) 2 0,0909 1,9090 1,9090 3,6446 0,2603 seragam


(5)

Lampiran 13. Pola sebaran kumbang sungut panjang di Hutan Pinus – TNGHS

Spesies ∑ Xi X Xi-X kuadrat (Xi-X)2 (Xi-X)2/14 Sebaran

Acalolepta rusticatrix (Fisher, 1925) 1 0,0136 0,9863 0,9863 0,9727 0,0694 seragam Cacia subfasciata (Schwarzer, 1931) 2 0,0273 1,9726 1,9726 3,8911 0,2779 seragam Cleptometopus javanicus (Breuning, 1943) 1 0,0136 0,9863 0,9863 0,9727 0,0694 seragam Pterolophia uniformis (Pascoe, 1859) 3 0,0410 2,95890 2,9589 8,7551 0,6253 seragam Ropica strandi (Breuning, 1942) 3 0,0410 2,95890 2,9589 8,7551 0,6253 seragam Sybra fuscotriangularis (Breuning, 1944) 5 0,0684 4,9315 4,9315 24,319 1,7371 berkelompok Zorillispe spinipennis (Breuning, 1939) 3 0,0410 2,95890 2,9589 8,7551 0,6253 seragam


(6)

Lampiran 14. Pola sebaran kumbang sungut panjang di Hutan Alam – TNGHS

Spesies ∑ Xi X Xi-X kuadrat (Xi-X)2 (Xi-X)2/14 Sebaran

Acalolepta laevifrons (Aurivillius, 1924) 1 0,0322 0,9677 0,9677 0,9365 0,0668 seragam Exocentrus artocarpi (Breuning, 1939) 1 0,0322 0,9677 0,9677 0,9365 0,0668 seragam Nctymenius varicornis (White, 1853) 2 0,0645 1,9354 1,9354 3,7460 0,2675 seragam Pterolophia melanura (Pascoe, 1859) 1 0,0322 0,9677 0,9677 0,9365 0,0668 seragam Pterolophia triangularis (Pascoe, 1866) 1 0,0322 0,9677 0,9677 0,9365 0,0668 seragam Pterolophia uniformis (Pascoe, 1859) 3 0,0967 2,9032 2,9032 8,4287 0,6020 seragam Sybra fuscotriangularis (Breuning, 1944) 4 0,1290 3,8709 3,8709 14,9843 1,0703 berkelompok Zorillispe spinipennis (Breuning, 1939) 2 0,0645 1,9354 1,9354 3,7460 0,2675 seragam