Analisis Gender dalam Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat (Kasus Desa Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon Kabupaten Sukabumi)

ANALISIS GENDER DALAM KETAHANAN PANGAN
RUMAH TANGGA PETANI HUTAN RAKYAT
(Kasus Desa Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon
Kabupaten Sukabumi)

FERA NUR AINI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Gender dalam
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat (Kasus Desa
Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon Kabupaten Sukabumi) adalah benar
karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka

di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Fera Nur Aini
NIM I34100122

ABSTRAK
FERA NUR AINI. Analisis Gender dalam Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Petani Hutan Rakyat (Kasus Desa Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon
Kabupaten Sukabumi). Dibimbing oleh TITIK SUMARTI.
Ketahanan pangan menjadi isu universal di tengah ancaman kerawanan
pangan dunia. Hutan rakyat memberikan solusi dengan menjadi salah satu
penyedia pangan. Sehubungan dengan itu, perempuan dan laki-laki memegang
peranan penting yang berbeda. Perempuan mengelola pangan, sedangkan laki-laki
mengelola hutan rakyat. Penelitian ini menggunakan Kerangka Harvard untuk
menganalisis pembagian kerja, akses dan kontrol, serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Metode yang digunakan adalah survei pada petani hutan
rakyat Desa Bojonggenteng. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kontribusi
hutan rakyat, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan tingkat penguasaan

lahan berpengaruh positif; ukuran rumah tangga berpengaruh negatif; pembagian
kerja, serta akses dan kontrol gender tidak berpengaruh terhadap ketahanan
pangan rumah tangga. Laki-laki mendominasi kegiatan produktif dan perempuan
mendominasi kegiatan reproduktif. Pada kegiatan sosial, laki-laki dan perempuan
cenderung melakukannya bersama. Akses dan kontrol pada aspek sumberdaya dan
manfaat berbeda antara laki-laki dan perempuan. Faktor-faktor yang
mempengaruhinya antara lain adalah budaya Sunda dan agama Islam.
Kata kunci: gender, hutan rakyat, kerangka harvard, ketahanan pangan

ABSTRACT
FERA NUR AINI. Gender Analysis in Household Food Security of Private Forest
Farmers (Case of Desa Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon Kabupaten
Sukabumi). Supervised by TITIK SUMARTI.
Food security became a universal issue in the face of world food
vulnerability. Private forests provide a solution by becoming one of the food
providers. Accordingly, women and men hold different important role. Women
manage the food, while men manage private forests. This study uses the Harvard
Framework for analyzing the division of labor, access and control of gender, and
the factors that influence it. The method used was a survey on private forest
farmers of Bojonggenteng Village. The results showed the level of private forests

contribution, education level, income level, and tenure level has a positive effect;
the household size has negative effect; division of labor, access and control gender
had no effect on household food security. Men dominate on productive activities
and women dominate on reproductive activities. In the social activities, both of
them tend to do it. Access to and control over resources and benefits aspects are
different between men and women. Factors influencing include Sundanese culture
and the Islamic religion.
Keywords: gender, private forest, harvard framework, food security

ANALISIS GENDER DALAM KETAHANAN PANGAN
RUMAH TANGGA PETANI HUTAN RAKYAT
(Kasus Desa Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon
Kabupaten Sukabumi)

FERA NUR AINI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi

Nama
NIM

: Analisis Gender dalam Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Petani Hutan Rakyat (Kasus Desa Bojonggenteng
Kecamatan Jampangkulon Kabupaten Sukabumi)
: Fera Nur Aini
: I34100122

Disetujui oleh


Dr Ir Titik Sumarti MC, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
mencurahkan karunia agung-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
berjudul Analisis Gender dalam Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Hutan
Rakyat (Kasus Desa Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon Kabupaten
Sukabumi) tepat waktu. Penelitian dilaksanakan sejak bulan September 2013
sampai Oktober 2013 di Desa Bojonggenteng dengan sumber dana penelitian
berasal dari Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Kementrian Agama RI.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Titik Sumarti selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan
masukan selama proses penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Hadiyanto selaku dosen penguji petik sekaligus penguji akademik
dan Ibu Ekawati Sri wahyuni selaku dosen penguji utama.
3. Orang tua tercinta, Ibu Emi Hanifah dan Bapak Dimyati, serta Faisal
Fahmi dan Devi Atika Muyassaroh, kakak dan adik tersayang yang selalu
berdoa dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis.
4. Kementrian Agama RI yang yang telah memberikan beasiswa Program
Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) untuk menempuh pendidikan di IPB.
5. Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang, khususnya Bapak Kyai dan Ibu
Nyai Dimyathi Romly selaku pengasuh asrama Al Husna yang telah
memberikan ilmu dan doa yang luar biasa.
6. Seluruh ustadz dan ustadzah serta ibu/ bapak guru dan dosen yang pernah
menularkan ilmu-ilmunya kepada penulis.
7. Seluruh civitas akademika IPB khususnya FEMA dan SKPM yang telah
mendukung seluruh proses pembelajaran selama perkuliahan 7 semester
ini.
8. Masyarakat dan aparat Desa Bojonggenteng yang telah bersedia
memberikan berbagai informasi terkait penelitian ini. Khususnya keluarga
Iin, Bapak Mansur dan Ibu Asmanah.

9. Teman-teman seperjuangan saat di sekolah dan pesantren, khususnya
alumni Al Husna, Ikalum dan Fortteens yang selalu berbagi keceriaan.
10. Saudara-saudara bonus dari Allah, 59 orang anggota CSS MoRA IPB 47
yang telah memberikan warna selama hidup di kampus rakyat ini.
11. Teman-teman SKPM 47 yang telah menemani perjalanan meraih ilmu
yang bermanfaat. Sahabat-sahabat penulis yang telah memberi semangat
dan menemani penulis dalam proses penulisan laporan ini, serta semua
pihak yang telah mendukung penulis.
Semoga karya ilmiah ini menjadi sumber ilmu yang berkah dan bermanfaat
bagi pembacanya.

Bogor, Januari 2014
Fera Nur Aini

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN



Latar Belakang



Perumusan Masalah



Tujuan Penelitian




Manfaat Penelitian



PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka




Kerangka Pemikiran

12 

Definisi Operasional

14 


METODE

17 

Lokasi dan Waktu

17 

Teknik Sampling

17 

Teknik Pengumpulan Data

18 

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

18 


KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

19

KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI HUTAN RAKYAT 25
PENGARUH KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA
TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI
HUTAN RAKYAT

33

PENGARUH KONTRIBUSI HUTAN RAKYAT TERHADAP KETAHANAN
PANGAN RUMAH TANGGA PETANI HUTAN RAKYAT
39
ANALISIS GENDER DAN PENGARUHNYA TERHADAP KETAHANAN
PANGAN RUMAH TANGGA PETANI HUTAN RAKYAT
43
SIMPULAN DAN SARAN

51 

Simpulan

51 

Saran

51 

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

52 

DAFTAR TABEL
1 Jadwal pelaksanaan penelitian
17
2 jenis penggunaan dan persentase luas lahan di Desa Bojonggenteng
tahun 2013
20
3 Tingkat pendidikan perempuan dan laki-laki Desa Bojonggenteng
21
4 Jenis pekerjaan perempuan dan laki-laki usia 18-56 tahun Desa
Bojonggenteng
21
5 Tingkat penguasaan lahan penduduk Desa Bojonggenteng
22
6 Tingkat ketahanan pangan petani hutan rakyat Desa
Bojonggenteng
25
7 Luas lahan dan hasil panen dari berbagai kelompok pangan
27
8 Jenis hewan, jumlah pemilik dan perkiraan jumlah ternak pada
kelompok pangan hewani
28
9 Jumlah pengeluaran pangan petani hutan rakyat Desa Bojonggenteng 30
10 Data jumlah kader terlatih, bayi dan balita serta status gizi bayi dan
balita di lima Posyandu Desa Bojonggenteng
30
11 Jumlah, pemanfaat, dan kondisi berbagai jenis sumber air bersih di
Desa Bojonggenteng
31
12 Hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat ketahanan pangan
rumah tangga
33
13 Hubungan antara tingkat pendapatan dan tingkat ketahanan pangan
rumah tangga
34
14 Hubungan antara tingkat penguasaan lahan dan tingkat ketahanan
pangan rumah tangga
35
15 Hubungan antara ukuran rumah tangga dan tingkat ketahanan
pangan rumah tangga
36
16 Hubungan antara tingkat kontribusi hutan rakyat sebagai sumber
pangan dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga
41
17 Hubungan antara tingkat kontribusi hutan rakyat sebagai sumber
pangan dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga
42
18 Hubungan antara tingkat beban kerja perempuan dan tingkat
ketahanan pangan rumah tangga
43
19 Profil persentase aktivitas petani hutan rakyat Desa Bojonggenteng 44
20 Tingkat akses dan kontrol perempuan terhadap sumberdaya dan
manfaat
45
21 Profil akses dan kontrol petani hutan rakyat Desa Bojonggenteng
terhadap sumber daya
46
22 Profil akses dan kontrol petani hutan rakyat Desa Bojonggenteng
terhadap manfaat
48

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka konseptual ketahanan pangan dan indikator generik
2 Kerangka pemikiran

6
13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta Desa Bojonggenteng

viii  

2 Kerangka sampling penelitian

ix 

3 Gambaran biaya produksi

xii 

4 Kuesioner

xii 

5 Panduan wawancara mendalam

xix 

6 Hasil olah data korelasi rank Spearman

xx 

7 Dokumentasi penelitian

xiv

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan (FSVA) 1 dari World Food
Programme (WFP) dan Pemerintah Indonesia tahun 2009 menunjukkan 87 dari
237 juta atau 36,7% masyarakat Indonesia masih berada dalam status rawan
pangan atau tidak tahan pangan. Pengertian ketahanan pangan dijelaskan dalam
UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012 sebagai berikut:
“... Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta
tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan ...”

Pesan Presiden Republik Indonesia pada peluncuran FSVA tersebut adalah
bahwa Pemerintah Indonesia menyadari sepenuhnya peran strategis untuk
mencapai ketahanan pangan di dalam negeri dengan merevitalisasi sektor
kehutanan dan perikanan sejak 2005 (WFP 2011). Salah satu upaya revitalisasi di
sektor kehutanan adalah kebijakan perluasan hutan oleh Kementrian Kehutanan
dengan program pengembangan hutan rakyat. Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.04/Menhut-V/2004: 111-2 mendefinisikan hutan rakyat adalah hutan
yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan
ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan
tanaman lainnya lebih dari 50%.
Tiap tahunnya izin perluasan kawasan hutan rakyat dari Kementrian
Kehutanan adalah seluas 3.698,24 ha sehingga luas hutan rakyat meningkat 2,44%
pada tahun 2012. Pengembangan hutan rakyat dilakukan untuk menunjang
perluasan hutan demi menyangga keseimbangan lingkungan, khususnya di Pulau
Jawa. Selain ditanami tegakan (kayu), hutan rakyat juga dikombinasikan dengan
beragam tanaman penghasil pangan dan peternakan yang menjadi salah satu
sumber ketersediaan pangan, seperti singkong, ubi, ayam, kambing, dan lain-lain.
Secara mikro, pangan dikelola oleh tiap rumah tangga, untuk itu salah satu
faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga adalah karakteristik
sosial ekonominya. Fathonah dan Prasodjo (2011) menyebutkan karakteristik
sosial ekonomi rumah tangga yang berhubungan dengan ketahanan pangan antara
lain adalah tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan. Hal serupa juga diungkap
dalam penelitian Taridala et al. (2010) yang menunjukkan bahwa tingkat
pendapatan dan ukuran rumah tangga berpengaruh terhadap tingkat ketahanan
pangan. Suhardianto (2007) menambahkan bahwa ada berbagai faktor determinan
yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan, dua di antaranya adalah
pendapatan dan tingkat penguasaan lahan.

1

The Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia (FSVA) 2009 adalah hasil kerja sama
antara Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dan World Food Programme (WFP) yang mencakup 346
kabupaten di 32 provinsi (WFP 2011).

2
Anggota rumah tangga terdiri atas perempuan dan laki-laki yang memiliki
pembagian kerja, akses, dan kontrol dalam rumah tangga tersebut serta faktorfaktor yang mempengaruhinya. WFP (2011) menyatakan hampir dua pertiga
masyarakat dunia yang mengalami kelaparan kronis adalah kaum perempuan dan
anak perempuan. Artinya perempuan lebih tidak akses terhadap pangan. Meskipun
demikian banyak kaum perempuan berperan sebagai aktor yang mengupayakan
pengentasan kelaparan di lingkungan mereka. Hubeis (2010) menjelaskan pada
wilayah perdesaan – tempat terbesar kelaparan terjadi – perempuan mengelola
sebagian besar kegiatan pertanian untuk konsumsi domestik dan
penanggungjawab terhadap pengelolaan makanan.
Akan tetapi, kerja perempuan sering kali tidak dikenal dan kurang
memperoleh akses ke sumber daya, pendidikan atau pelatihan, dan finansial
(Hubeis 2010). Selain itu perempuan memberikan sumbangan yang sedikit untuk
pendapatan rumah tangga yang akan digunakan dalam pemenuhan kebutuhan
pangan. Hal ini terjadi karena adanya kesenjangan upah antara laki-laki dan
perempuan di dunia kerja. Kesenjangan upah tersebut juga terjadi di bidang
kehutanan yang memiliki stereotip bahwa pekerjaan yang ada di kawasan hutan
adalah pekerjaan laki-laki. Perempuan hanya berperan dominan pada pekerjaan
domestik dan sangat minim partisipasinya dalam pengaturan pengelolaan hutan
(Varghese dan Reed 2012). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan
banyak terjadi ketidakadilan gender di bidang kehutanan seperti stereotip,
subordinasi, dan beban kerja ganda pada perempuan.
Desa Bojonggenteng merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Luas hutan rakyat di
wilayah ini mencapai 27,986 ha. Penduduk lokal menyebutnya dengan kebon atau
leweung (Suparwanti 2009). Desa Bojonggenteng memiliki potensi pangan yang
cukup baik dilihat dari sumber daya alamnya yang melimpah yaitu area
persawahan, perkebunan rakyat, dan hutan rakyat yang cukup luas. Walau
demikian, Desa Bojonggenteng juga memiliki permasalahan yang cukup besar
dalam produksi pangan karena daerah Sukabumi bagian selatan dikenal
mengalami kesulitan air. Pemilihan lokasi penelitian di Desa Bojonggenteng
diharapkan dapat relevan dengan tujuan penelitian. Berdasarkan hasil-hasil
penelitian sebelumnya di lokasi lain, fokus penelitian yang digunakan hanya
terletak pada gender dan kehutanan atau gender dan ketahanan pangan saja. Untuk
itu, penelitian ini mengambil fokus baru dengan mengidentifikasi hubungan
ketiganya: gender, ketahanan pangan rumah tangga, dan hutan rakyat.

Perumusan Masalah
Ketahanan pangan rumah tangga berkaitan erat dengan karakteristik sosial
dan ekonomi rumah tangga. Kondisi perekonomian yang ideal dianggap lebih
tahan pangan dibandingkan dengan rumah tangga yang terjebak dalam
kemiskinan. Begitu pula dengan kondisi sosial, rumah tangga yang memiliki
karakteristik sosial tinggi seperti tingkat pendidikan dan pendapatannya diduga
akan lebih tahan pangan. Salah satu upaya meningkatkan ketahanan pangan
adalah dengan meningkatkan aksesibilitas dan pemanfaatan pangan serta
menambah ketersediaan pangan oleh alam. Hutan menjadi obyek yang menarik

3
untuk dikaji karena keberagaman sumber pangan yang bisa didapatkan di sana.
Konsep baru upaya perluasan kawasan hutan yang sedang dikembangkan adalah
hutan rakyat. Fungsinya tidak hanya menjadi sumber pangan namun juga sumber
pendapatan bagi pemiliknya. Untuk itu, penting untuk diteliti lebih lanjut
mengenai bagaimana pengaruh karakteristik sosial ekonomi rumah tangga
dan pengaruh kontribusi hutan rakyat terhadap ketahanan pangan rumah
tangga petani hutan rakyat.
Selanjutnya, pengelolaan hutan rakyat lebih banyak dilakukan oleh laki-laki
karena dianggap lebih kuat, jika perempuan ikut serta pun hanya dibayar dengan
upah yang lebih rendah dari laki-laki. Sebaliknya, dalam pengelolaan pangan
perempuan mengambil peranan yang sangat besar dari proses pemilihan pangan
sampai penyajiannya. Keseluruhan peran perempuan dan laki-laki dalam rumah
tangga petani hutan rakyat dapat kita lihat dengan menganalisis bagaimana
pembagian kerja, akses, dan kontrol gender dalam rumah tangga dan
pengaruhnya terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani hutan
rakyat.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Menganalisis tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat.
2. Menganalisis pengaruh karakteristik sosial ekonomi rumah tangga terhadap
ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat.
3. Menganalisis pengaruh kontribusi hutan rakyat terhadap ketahanan pangan
rumah tangga petani hutan rakyat.
4. Menganalisis pembagian kerja, akses, dan kontrol gender dalam rumah tangga
dan pengaruhnya terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat.
5. Menguraikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembagian kerja, akses,
dan kontrol gender dalam ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
wawasan mengenai gender, ketahanan pangan, dan hutan rakyat serta hubungan
ketiganya kepada para akademisi, pembuat kebijakan dan pembaca pada
umumnya. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
literatur untuk penelitian selanjutnya dan rujukan dalam membuat kebijakan.

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Rumah tangga merupakan seorang atau sekelompok orang yang mendiami
sebagian atau seluruh bangunan fisik/ sensus dan biasanya tinggal bersama serta
makan dari satu dapur. Bagi rumah tangga, pangan adalah kebutuhan dasar yang
menjadi prioritas utama. Bahkan menurut Hariyadi dalam Taridala et al. (2010)
pangan bukan hanya basic need tapi juga basic right. Pemenuhan kebutuhan
pangan digambarkan dengan kondisi ketahanan pangan di rumah tangga tersebut.
Konsep ketahanan pangan disebutkan dalam UU No. 18 Tahun 2012 Tentang
Pangan pasal 1 ayat 4. Konsep ini sering kali diperdebatkan penggunaannya
dengan konsep kedaulatan pangan. Pada UU yang sama definisi kedaulatan
pangan disebutkan dalam pasal 2 sebagai berikut:
“... kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri
menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat
dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem
Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal ...”
Perbedaan yang nampak pada dua konsep tersebut adalah unit analisis yang
digunakan. Ketahanan pangan menganalisis kondisi pangan pada aras makro
(negara) sampai mikro (perseorangan) sementara kedaulatan pangan menekankan
penjelasan pada kebijakan pangan di aras makro (negara dan bangsa).
Indikator-indikator yang dipakai untuk mengukur ketahanan pangan suatu
rumah tangga berbeda dalam setiap penelitian. Penelitian Taridala et al. (2010)
menggunakan indikator ketahanan pangan rumah tangga berupa frekuensi makan,
yaitu bila anggota suatu rumah tangga dapat makan paling tidak tiga kali dalam
sehari, masuk kriteria tahan pangan. Selanjutnya rumah tangga yang anggotanya
makan dua kali atau kurang dari itu, masuk kriteria tidak tahan pangan. Penelitian
ini juga menyebutkan bahwa status gizi anggota rumah tangga merupakan suatu
indikator ketahanan pangan.
Menurut Chung et al. (1997) yang dikutip oleh Amirian (2009) ketahanan
pangan mempunyai tiga komponen utama yaitu: 1) Ketersediaan pangan, 2)
Aksesibilitas Pangan, dan 3) Pemanfaatan Pangan. Berikut adalah kerangka
konseptual ketahanan pangan dan indikator generik menurut Chung et al. (1997)
yang dikutip Amirian (2009).

6

Gambar 1 Kerangka konseptual ketahanan pangan dan indikator generik.

1) Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi, ketersediaan
pangan di pasar maupun di tingkat rumah tangga. Pada dasarnya produksi
pangan mencerminkan kondisi pendapatan petani. Selain itu produksi
pangan diharapkan dapat menyediakan pangan dengan harga yang dapat
dijangkau konsumen. Untuk mencapai ketersediaan pangan yang diperoleh
dari proses produksi sangat bergantung pada sumber daya alam, fisik, dan
manusia. Pangan yang dimaksud dalam ketersediaan pangan meliputi
produk serealia, kacang-kacangan, minyak nabati, sayur-sayuran, buahbuahan, rempah, gula, dan produk hewani karena porsi utama kebutuhan
kalori harian berasal dari sumber pangan karbohidrat yang merupakan
setengah dari kebutuhan energi per orang per hari.
2) Aksesibilitas Pangan
Akses pangan terkait dengan akses ekonomi untuk memperoleh
pangan yang dipengaruhi oleh pendapatan rumah tangga dan harga pangan
(Fathonah dan Prasodjo 2011). Maxwell dan Frankenberger (1992) dan
Chung et al. (1997) seperti dikutip Amirian (2009) menjelaskan hal
tersebut berkaitan dengan kepemilikan sumberdaya untuk memproduksi
pangan yang dibutuhkan seperti kualitas lahan pemilikan dan penguasaan
lahan, pemilikan ternak dan aset lainnya, harga pangan maupun daya beli
3) Pemanfaatan Pangan
Pemanfaatan pangan dapat diartikan sebagai konsumsi pangan.
Konsumsi pangan adalah informasi pangan yang dimakan (dikonsumsi)
seseorang atau kelompok orang, baik berupa jenis maupun jumlahnya pada
waktu tertentu, artinya konsumsi pangan dapat dilihat dari aspek jumlah

7
maupun jenis pangan yang dikonsumsi. Dengan demikian konsumsi
pangan dapat dilihat dari frekuensi dan keragaman pangan. Faktor yang
mempengaruhi adalah ketersediaan air bersih, sanitasi, pola asuh balita,
fasilitas kesehatan, dan pendidikan.
Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga
Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga merupakan sifat yang melekat
pada rumah tangga dan akan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi serta
pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Fathonah dan Prasodjo (2011)
menyebutkan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga yang berhubungan
dengan ketahanan pangan antara lain adalah tingkat pendidikan dan tingkat
pendapatan. Hal serupa juga diungkap dalam penelitian Taridala et al. (2010)
yang menunjukkan bahwa tingkat pendapatan dan ukuran rumah tangga
berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan. Suhardianto (2007)
menambahkan bahwa ada berbagai faktor determinan yang berpengaruh terhadap
ketahanan pangan, dua di antaranya adalah pendapatan dan tingkat penguasaan
lahan.
1) Tingkat pendidikan
Hubungan antara tingkat pendidikan pengelola pangan seluruh
rumah tangga dengan tingkat ketahanan pangan seluruh rumah tangga
adalah semakin meningkat tingkat pendidikan pengelola pangan, maka
akan semakin tahan pangan tingkat ketahanan pangannya (Fathonah dan
Prasodjo 2011). Tingkat pendidikan formal anggota rumah tangga sangat
penting karena diduga berkaitan dengan pengetahuan akan pangan dan gizi
beserta pengelolaannya.
2) Tingkat pendapatan
Selain tingkat pendidikan, Fathonah dan Prasodjo (2011) juga
menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendapatan rumah
tangga dengan tingkat ketahanan pangan seluruh rumah tangga. Semakin
tinggi tingkat pendapatan, maka akan semakin tahan pangan tingkat
ketahanan pangannya. Taridala et al. (2010) juga mengungkapkan hasil
yang sama bahwa pendapatan rumah tangga petani sebagian besar
diperoleh dari usaha tani keluarga, untuk itu usaha tani keluarga menjadi
sangat penting sebagai penopang ketahanan pangan.
Pendapatan yang tinggi akan membuat akses terhadap pangan
menjadi lebih mudah. Sumber terbesar kedua adalah pendapatan di luar
usaha tani yang sebagian besar disumbangkan dari pendapatan suami.
Pendapatan juga diperoleh dari usaha bersama dan hasil pemberian
keluarga walaupun persentasenya kecil. Tingkat pendapatan rumah tangga
dilihat dari akumulasi pendapatan seluruh anggota rumah tangga, terutama
yang berusia produktif dan memiliki pekerjaan dengan jumlah penghasilan
tertentu yang tetap dalam jangka waktu tertentu pula.
Kabupaten Sukabumi memiliki gaji Upah Minimum Regional
(UMR) senilai Rp1.201.000 per 2013. Upah minimum ini dijadikan
sebagai standar upah bagi perusahaan untuk memberikan gaji pada
karyawannya dan menjadi ukuran nilai pendapatan yang cukup bagi suatu
rumah tangga.

8
3) Ukuran rumah tangga
Taridala et al. (2010) menyebutkan variabel sosial ekonomi yang
paling berpengaruh terhadap pencapaian ketahanan pangan rumah tangga
adalah ukuran rumah tangga. Jika jumlah anggota rumah tangga bertambah,
maka peluang untuk mencapai ketahanan pangan berkurang. Sebagaimana
diketahui bahwa jumlah anggota keluarga seperti dua sisi mata uang yang
berbeda. Salah satu sisinya sebagai salah satu sumber pendapatan jika
berada dalam usia produktif dan bekerja, sehingga dapat membantu
keuangan keluarga dan akan berdampak terhadap ketahanan pangan rumah
tangga petani. Sementara pada sisi yang lain sebagai beban bagi keluarga
petani jika dalam usia yang tidak produktif (Husaini 2012).
Fazrina et al. (2013) mengutip BKKBN dalam mengelompokkan
ukuran rumahtangga ke dalam tiga kelompok, yaitu rumahtangga kecil bila
jumlah anggota rumah tangga sama dengan 4 orang, rumah tangga sedang
bila jumlah anggota rumahtangga antara 5 dan 6 orang, dan rumahtangga
besar bila anggotanya 7 orang atau lebih.
4) Tingkat penguasaan lahan
Suhardianto (2007) menyebutkan bahwa ada banyak faktor
determinan yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan, beberapa di
antaranya adalah tingkat penguasaan lahan, tingkat pendapatan,
pengetahuan petani, dan lain-lain. Lahan merupakan media tanam yang
paling penting bagi petani dalam kegiatan produksi. Penguasaan lahan
petani tidak hanya dilihat dari kepemilikan tetapi pada luasan yang
digarapnya baik pada lahan milik pribadi, lahan sewa, lahan paro-an,
maupun jenis kepemilikan lainnya. Jumlah lahan yang dikuasai akan
menentukan jumlah hasil produksi petani dalam jangka waktu tertentu.
Hutan Rakyat
UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dalam penjelasan pasal 5 ayat 1
menyebutkan bahwa hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik
lazim disebut hutan rakyat. Keputusan Menteri Kehutanan No. 101/kpts-V/1996
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penyaluran Dana Reboisasi dalam Rangka
Pinjaman untuk Usaha Perhutanan Rakyat kepada Mitra Usaha disebutkan bahwa
hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik
maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha dan penutupan tajuk
tanaman kayu-kayuan lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama
sebanyak minimal 500 tanaman.
Menurut Toha dalam kutipan Hardjanto (2001) dinyatakan bahwa hutan
rakyat adalah salah satu bentuk hutan kemasyarakatan yang dimiliki dan
diusahakan oleh masyarakat (rakyat), baik secara perorangan, individu maupun
oleh swasta maupun badan usaha masyarakat yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, memenuhi kebutuhan masyarakat akan hasil hutan,
serta untuk pelestarian lingkungan hidup.
Hutan rakyat dapat berupa pekarangan, kebun besar, maupun kebun
campuran. Ciri-ciri hutan rakyat antara lain adalah umumnya luas lahan sempit,
letak terpencar-pencar, sistem penanaman belum teratur, teknologi sederhana, dan
pemasaran masih dikuasai perantara. Lembaga Penelitian IPB (1983) dikutip oleh
Hardjanto (2001) membagi hutan rakyat menjadi tiga jenis yaitu monokultur (satu

9
jenis pohon), polikultur (berbagai jenis pohon) dan agroforestry (kombinasi usaha
kehutanan dengan usaha tani lainnya: tanaman pangan, perkebunan, peternakan,
dan lain-lain). Hutan rakyat dengan sistem agroforestry yang berkombinasi
dengan tanaman pangan akan mempengaruhi ketersediaan pangan, akses pangan,
dan pemanfaatan pangan masyarakat.
Hutan rakyat memiliki dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi dalam
pengelolaan sumber daya hutan. Manfaat sosial hutan rakyat adalah sebagai
sumber natura bagi masyarakat sekitar, konsumsi non komersial untuk tetangga,
sumber kehidupan untuk adat tertentu, dan lain-lain. Manfaat ekonominya
didapatkan dari hasil hutan berupa kayu dan non kayu yang akan menjadi sumber
pendapatan dan sumber pangan. Di samping itu manfaat ekologinya adalah untuk
pengawetan tanah dan air, perlindungan tanaman-tanaman pertanian, sumber
simpanan karbon, meningkatkan kualitas lingkungan, dan sebagainya.
Kegiatan pengelolaan hutan rakyat terdiri atas: pengadaan benih atau bibit
tanaman, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.
Pengadaan benih atau bibit dapat diperoleh dari anakan alami, membeli, atau
pemberian dari pemerintah. Kegiatan persiapan lahan adalah pembersihan lahan
(tebas bakar, tebas, atau pembenaman), pembuatan lubang tanam, dan pemberian
pupuk yang dilakukan sebelum musim hujan tiba. Penanaman dilakukan dengan
mengunakan pola monokultur maupun campuran. Pada tahap pemeliharaan,
kegiatan yang dilakukan adalah pemupukan, pendangiran, dan pemberantasan
hama penyakit. Sementara itu sistem yang digunakan dalam pemanenan adalah
tebang habis, tebang pilih, dan tebang butuh. Kegiatannya adalah penebangan,
pemotongan sortimen, penyaradan, dan pengangkutan. Petani hutan rakyat dapat
memasarkan produknya secara langsung ke konsumen maupun melewati
tengkulak. Tenaga kerja yang digunakan adalah keluarga, upahan, maupun
gotong royong. Perempuan biasanya terlibat dalam semua kegiatan kecuali
penebangan dan pengangkutan karena adanya stereotip kegiatan tersebut
merupakan pekerjaan laki-laki yang memiliki tenaga lebih besar.
Pemangku kepentingan di hutan rakyat adalah masyarakat yang terdiri atas
petani dan buruh tani, swasta (perusahaan atau individu) yang biasanya
menanamkan modal untuk usaha hutan rakyat, koperasi, instansi pemerintah dari
desa, daerah, hingga pusat, industri saw mill, dan perantara (tengkulak). Selain
tanaman kayu seperti sengon, albasiah, jati, dan jenis kayu lainnya, hutan rakyat
juga menghasilkan tanaman pangan dan pangan hewani. Tanaman pangan yang
biasa ditanam terdiri atas padi-padian, umbi-umbian dan pangan berpati, buah/biji
berminyak, kacang-kacangan, gula aren, sayur dan buah. Tanaman-tanaman
tersebut bisanya ditanam bercampur dengan tanaman berkayu maupun berada di
bawahnya dengan sistem tumpangsari. Pangan hewani diperoleh dari sistem
agroforestry yang mengombinasikan hutan dengan peternakan. Namun pada
beberapa kasus, hutan rakyat tidak ditanami tanaman pangan karena tidak adanya
modal serta kurangnya pengetahuan petani terhadap sistem tumpangsari dan
tanaman pangan yang cocok ditanam di bawah tegakan. Akibatnya fungsi hutan
rakyat sebagai penyedia pangan pun tidak terpenuhi.
Gender dan Analisis Gender
Fakih (1996) mengemukakan bahwa gender merupakan suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara

10
sosial maupun kultural. Gender tidak mengacu pada perbedaan biologis tetapi
perbedaan sifat perempuan dan laki-laki yang mengacu pada nilai-nilai sosial
budaya yang menentukan peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan
pribadinya dan kehidupan masyarakat. Hubeis (2010) menyebutkan nilai-nilai
gender yang ditanamkan mencakup sifat, cara bertingkah laku, dan berperan.
Kasus yang terjadi di Indonesia misalnya, perempuan dicitrakan sebagai sosok
manusia yang lemah dan emosional sehingga perlu dilindungi, sedangkan lelaki
digambarkan sebagai sosok manusia gagah-perkasa dan pelindung. Akibatnya
muncul stereotip nilai gender yang lebih banyak menempatkan perempuan pada
titik subordinat baik di bidang ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, maupun
lainnya.
Hubeis (2010) menambahkan kesenjangan gender tersebut menggambarkan
adanya gap dalam pencapaian manfaat hasil pembangunan antara perempuan dan
laki-laki terkait dengan kebutuhan dasar manusia. Hal ini dibuktikan dengan
adanya selisih nilai Human Development Index (HDI) dan Gender related
Development Index (GDI) yang menggambarkan adanya kesenjangan kualitas
hidup antara perempuan dan laki-laki. Alat ukur lainnya adalah Gender
Empowerment Measurement (GEM) yang mengukur berdasarkan aspek
pemberdayaan. Indeks pemberdayaan gender selalu meningkat tiap tahun, artinya
posisi Indonesia semakin kuat untuk mencapai kesetaraan gender. Data
Pembangunan Manusia Berbasis Gender tahun 2012 2 menunjukkan nilai GEM
tahun 2011 adalah 69,14, meningkat jauh dari tahun 2005 yang hanya bernilai
59,7. Sementara tahun sebelumnya yaitu tahun 2010, angkanya mencapai 68,15.
Hal ini didukung oleh terbitnya Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender (PUG) dan beragam perundang-undangan lainnya serta komitmen
terhadap kesepakatan internasional. Akibatnya terjadi perubahan paradigma
pemberdayaan perempuan dari Women in Development (WID) menjadi Gender
and Development (GAD) yang tidak hanya berorientasi pada perempuan, tetapi
pada pencapaian kesetaraan dan kesederajatan atau kesederajatan dan keadilan,
dalam tatanan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara (Hubeis
2010).
Handayani dan Sugiarti (2008) menjelaskan kesadaran dan pengakuan
meningkat
terhadap
lemahnya
perencanaan
pembangunan
dalam
memperhitungkan sumbangan perempuan dan dampak pembangunan terhadap
aspirasi dan kepentingan perempuan. Pengakuan tersebut didasarkan pada faktorfaktor empiris pembangunan maupun pelaksanaannya yang telah mengakibatkan
kerugian bagi perempuan. Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan baru untuk
meningkatkan peran dan partisipasi laki-laki dan perempuan dalam proses
pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan strategi perencanaan
pembangunan yang dapat mengintegrasikan aspirasi, kepentingan, serta peranan
perempuan dan laki-laki dalam pembangunan. Salah satu teknik yang dapat
diterapkan adalah analisis gender untuk mengungkapkan hubungan sosial laki-laki
dan perempuan.
Salah satu alat analisis gender adalah kerangka Harvard yang dapat
digunakan untuk keperluan menganalisis situasi hubungan gender dalam keluarga
dan masyarakat. Kerangka Harvard terdiri atas tiga komponen, Overholt et al.
2

Data ini diperoleh dari hasil kerja sama BPS dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak

11
(1986) dikutip oleh ILO (tanpa tahun) menyatakan komponen tersebut adalah
profil aktivitas, profil akses dan kontrol, dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pembagian kerja, akses, dan kontrol.
1) Profil Aktivitas
Profil aktivitas didasarkan pada pembagian kerja gender yang dapat
dilihat dari profil kegiatan. Profil ini mencakup informasi mengenai siapa
yang melakukan kegiatan, kapan dan di mana kegiatan dilaksanakan,
berapa frekuensi dan waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut, dan
berapa pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Analisis
pembagian kerja dimaksudkan untuk mengidentifikasi kegiatan potensial
pembangunan, kapasitas waktu laki-laki dan perempuan untuk ikut dalam
pembangunan, ketidakseimbangan beban kerja antara laki-laki dan
perempuan, serta ketidakseimbangan pendapatan antara laki-laki dan
perempuan.
Kegiatan dalam profil aktivitas terdiri atas kegiatan produktif,
kegiatan reproduktif, dan kegiatan sosial.Kegiatan produktif adalah
kegiatan yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga dalam
bentuk uang maupun barang. Salah satu laporan penelitian di bidang
gender dan kehutanan, Engelhardt dan Rahmina (2011) menyatakan bahwa
pembukaan lahan dilakukan utamanya oleh laki-laki tua dan muda.
Menebang pohon, membakar semak, dan menyiapkan lahan pertanian
didominasi oleh laki-laki. Menyemai benih, menanam, dan menyiang
rumput dilakukan oleh kedua gender, namun perempuan mengambil
bagian yang lebih besar dan lebih memakan waktu. Pemanfaatan Hasil
Hutan Non-Kayu (HHNK) dari rotan dan bambu didominasi oleh kaum
perempuan yang menghasilkan kerajinan tangan dan memiliki
keterampilan menenun.
Kegiatan reproduktif dan tugas rumah tangga adalah kegiatan yang
menjamin kelangsungan hidup manusia dan keluarga, seperti
mengumpulkan kayu bakar, membersihkan rumah, mencuci pakaian,
memasak, merawat anak-anak, dan merawat orang tua dan orang sakit
didominasi oleh perempuan. Laki-laki kurang begitu terlibat.
Selanjutnya kegiatan sosial adalah kegiatan yang menyangkut
masyarakat meliputi pertemuan keagamaan, pembangunan masyarakat,
dan lainnya. Pertemuan keagamaan sama-sama dihadiri oleh perempuan
dan laki-laki. Perempuan lebih terlibat dalam koperasi simpan-pinjam,
PKK, dan kelompok penenun. Rapat-rapat yang terkait dengan
pengelolaan sumber daya alam, misalnya, Rapat Perencanaan Tata Guna
Lahan, didominasi laki-laki. Perempuan dapat menghadiri rapat, namun
tidak berperan serta secara aktif. Secara umum, perempuan bertanggung
jawab atas penyediaan makanan setiap hari untuk keluarga. Laki-laki
diharapkan untuk memperoleh uang tunai guna membiayai pengeluaran
untuk sekolah, perawatan kesehatan, angkutan, pakaian dan aset rumah
tangga. Perempuan tinggal di rumah untuk memberi keluarga makan
dengan hasil dari pertanian pangan, sementara laki-laki merantau ke kota
(Engelhardt dan Rahmina 2011).

12
2) Profil Akses dan Kontrol
Akses adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya maupun
hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap
cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Selanjutnya kontrol
adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil keputusan
atas penggunaan dan hasil sumber daya. Profil akses dan kontrol (peluang
dan penguasaan) terhadap sumber daya mencakup informasi mengenai
siapa yang mempunyai peluang dan penguasaan terhadap sumber daya
fisik atau material, pasar komoditas dan pasar kerja, dan sumber daya
sosial-budaya. Berikutnya, profil peluang dan penguasaan terhadap
manfaat mencakup informasi mengenai siapa yang mempunyai peluang
dan penguasaan atas hasil pendapatan, kekayaaan bersama, kebutuhan
dasar, pendidikan, prestise, dan seterusnya. Analisis ini berguna untuk
mengidentifikasi kekurangan sumber daya yang nantinya dapat di atasi
oleh program pembangunan, ketidakseimbangan peluang dan penguasaan
antara perempuan dan laki-laki, siapa yang memperoleh manfaat dari
penggunaan sumber daya dan potensi apa yang dapat digunakan atau
ditingkatkan dalam program pembangunan.
Akses dan kontrol juga dapat dilihat dari tinggi rendahnya
partisipasi. Aksesibilitas dapat diukur dengan partisipasi kuantitatif, yaitu
berapa jumlah laki-laki dan perempuan yang berperanserta dalam lembaga
tertentu dengan kedudukan dan tugas apa. Selanjutnya kontrol diukur
dengan partisipasi kualitatif yaitu bagaimana peranan laki-laki dan
perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan di lembaga tersebut.
Analisis ini dilakukan pada lembaga formal maupun informal yang ada di
desa. Kegunaan analisis ini adalah untuk memperlihatkan hierarki
wewenang, ketidak seimbangan dalam pengambilan keputusan, peran
serta, dan alasan keterbatasan perempuan. Selain itu pola pengambilan
keputusan dalam keluarga juga dapat digunakan untuk melihat siapa
bertanggungjawab untuk apa, siapa memperoleh manfaat apa, dan siapa
yang bisa dijadikan mitra untuk program pembangunan.
3) Faktor-faktor pengaruh
Untuk memecahkan permasalahan yang menyangkut hubungan
gender perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian kerja,
akses dan kontrol terhadap sumber daya dan manfaat, partisipasi dalam
lembaga, dan pengambilan keputusan dalam keluarga. Faktor-faktor
tersebut bisa berupa struktur kependudukan, kondisi ekonomi, kondisi
politik, pola-pola sosial budaya, sistem norma, perundang-undangan,
sistem pendidikan, lingkungan, religi, dan lain-lain. Analisis ini berguna
untuk mengaji dampak, kesempatan, dan kendala faktor-faktor tersebut
dalam mengupayakan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Kerangka Pemikiran
Ketahanan pangan rumah tangga ditentukan oleh tiga indikator yaitu
ketersediaan pangan, aksesibilitas pangan, dan pemanfaatan pangan. Tiga
indikator tersebut tidak lepas dari pengaruh karakteristik sosial ekonomi rumah

13
tangga, kontribusi hutan rakyat, serta pembagian kerja, akses dan kontrol gender.
Selain itu terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembagian kerja,
akses dan kontrol gender. Berikut adalah gambar kerangka pemikiran yang
diusulkan oleh peneliti:

Variabel Pengaruh
Faktorfaktor
Pengaruh
Gender

Variabel Terpengaruh

Analisis gender
(Kerangka Harvard)
1. Tingkat Beban Kerja
2. Tingkat Akses
3. Tingkat Kontrol

Tingkat
Ketahanan Pangan
Rumah Tangga
1. Tingkat ketersediaan
pangan
2. Tingkat aksesibilitas
pangan
3. Tingkat pemanfaatan
pangan

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga
1. Tingkat pendidikan anggota rumah tangga
2. Tingkat pendapatan rumah tangga
3. Tingkat penguasaan lahan
4. Ukuran rumah tangga
Kontribusi Hutan Rakyat
1. Tingkat kontribusi sebagai sumber pangan
2. Tingkat kontribusi sebagai sumber pendapatan
Keterangan:
Hubungan yang akan diuji

Hubungan yang tidak

Gambar 2 Kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tingkat kontribusi hutan rakyat sebagai sumber pangan dan sumber
pendapatan berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga
petani hutan rakyat.
2. Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga yaitu: tingkat pendidikan anggota
rumah tangga, tingkat pendapatan rumah tangga, ukuran rumah tangga dan
tingkat penguasaan lahan berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan
rumah tangga petani hutan rakyat.
3. Tingkat beban kerja, akses, dan kontrol dalam rumah tangga berpengaruh
terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat.

14
Definisi Operasional
Penelitian ini mengukur 10 variabel, 6 variabel diukur dengan menggunakan
skor yang sudah ditentukan sebelumnya dalam kuesioner [lihat lampiran 4].
Variabel-variabel tersebut adalah tingkat kontribusi hutan rakyat sebagai sumber
pendapatan, tingkat pendidikan, ukuran rumah tangga, tingkat beban kerja, tingkat
akses, dan tingkat kontrol. Empat variabel dan bagian dari variabel yang belum
diberi skor sebelumnya, diukur atau digolongkan berdasarkan standar deviasi (sd)
data dari 30 responden. Variabel-variabel atau bagian variabel tersebut adalah
jumlah pengeluaran pangan, tingkat ketahanan pangan rumah tangga, tingkat
kontribusi hutan rakyat sebagai sumber pangan, tingkat pendapatan, dan tingkat
penguasaan lahan. Definisi operasional dari variabel-variabel penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Tingkat ketahanan pangan rumah tangga
Indikator ketahanan pangan rumah tangga yang digunakan adalah tingkat
ketersediaan pangan, tingkat aksesibilitas pangan, dan tingkat pemanfaatan
pangan.
a. Tingkat ketersediaan pangan adalah jumlah ragam pangan secara fisik
dalam rumah tangga selama satu tahun terakhir yang berasal dari segala
sumber, baik diproduksi sendiri maupun tidak, termasuk cadangan pangan
beserta faktor-faktor yang mempengaruhi produksinya. Data akan diukur
dari jumlah pangan, jumlah cadangan pangan, dan skor kondisi faktor
pengaruh ketersediaan pangan yang diperoleh dari Tabel Kuesioner 3 dan
sebagian Tabel Kuesioner 4.
b. Tingkat aksesibilitas pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk
memperoleh pangan yang cukup secara kuantitas maupun keragaman
pangan dan kemudahan memperoleh pangan tersebut. Data akan diukur
dari cara memperoleh pangan, cara mencapai tempat pembelian, dan
jumlah pengeluaran pangan yang diperoleh dari pertanyaan (1) dan
sebagian Tabel Kuesioner 4. Sebelum dijumlahkan, data pengeluaran
pangan akan digolongkan sebagai berikut:
skor 3 jika x > x + 1/2 sd, yaitu x > Rp148.600,54
skor 2 jika x -1/2 sd ≤ x ≥ x + 1/2 sd, yaitu Rp44.732,804 ≤ x ≥
Rp148.600,54
skor 1 jika x < x -1/2 sd, yaitu x < Rp44.732,804
c. Tingkat pemanfaatan pangan adalah jumlah frekuensi makan dan nilai dari
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap manfaat yang diperoleh tubuh dari
pangan tersebut. Data akan diukur dengan menjumlahkan skor dari jawaban
pertanyaan (2)-(10) pada bagian pemanfaatan pangan.
Skor dari tiga indikator tersebut diakumulasikan dan menjadi skor
ketahanan pangan yang digolongkan sebagai berikut:
Tinggi jika x > x + 1/2 sd, yaitu x > 82,47
Sedang jika x -1/2 sd ≤ x ≥ x + 1/2 sd, yaitu 63,87 ≤ x ≥ 82,47
Rendah jika x < x -1/2 sd, yaitu x < 63,87
2. Tingkat kontribusi hutan rakyat
Tingkat kontribusi hutan rakyat adalah pengaruh yang diberikan oleh
hutan rakyat terhadap ketahanan pangan rumah tangga yang dalam penelitian
ini terdiri atas dua hal, yaitu:

15
a. Kontribusi hutan rakyat sebagai sumber pangan adalah jumlah produk hutan
rakyat berupa hasil hutan non kayu: tanaman pangan, tanaman hortikultura,
tanaman perkebunan dan ternak yang dimanfaatkan sebagai pangan oleh
rumah tangga dalam satu tahun terakhir. Data diukur dari hasil hutan yang
dikonsumsi oleh rumah tangga responden dan digolongkan sebagai berikut:
Tinggi jika x >x + 1/2 sd, yaitu x > 7,7075
Sedang jika x -1/2 sd ≤ x ≥ x + 1/2 sd, yaitu 3,4925 ≤ x ≥ 7,7075
Rendah jika x < x -1/2 sd, yaitu x < 3,4925
b. Sumber pendapatan adalah saldo yang diperoleh dari keseluruhan penjualan
hasil hutan dikurangi biaya produksi selama satu tahun terakhir untuk non
kayu dan selama periode terakhir penjualan untuk tanaman kayu dalam
satuan rupiah. Data diukur berdasarkan persentase pendapatan hasil hutan
dari keseluruhan pendapatan, dengan penggolonggan sebagai berikut:
Tinggi jika x > 66,8% dari pendapatan total rumah tangga per tahun
Sedang jika 33.4% ≤ x ≥ 66,7% dari pendapatan total rumah tangga per
tahun
Rendah jika x x + 1/2 sd, yaitu x > Rp4.051.192
Sedang jika x -1/2 sd ≤ x ≥ x + 1/2 sd, yaitu Rp301.274 ≤ x ≥
RP4.051.192
Rendah jika x < x -1/2 sd, yaitu x < Rp301.274
c. Tingkat penguasaan lahan adalah jumlah lahan yang digarap oleh petani,
baik milik sendiri, sewa, maupun jenis kepemilikan lainnya, digolongkan
sebagai berikut:
Tinggi jika x >x + 1/2 sd, yaitu x > 1,424
Sedang jika x -1/2 sd ≤ x ≥ x + 1/2 sd, yaitu -0.044≤ x ≥ 1,424
Rendah jika x < x -1/2 sd, yaitu x < -0,044
d. Ukuran rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga yang tinggal
dalam satu dapur, digolongkan sebagai berikut:
Tinggi jika x ≥ 7 orang
Sedang jika 5 ≤ x ≥ 6 orang
Kecil jika x ≤ 4 orang

16
4. Analisis Gender
Kerangka Harvard digunakan untuk menganalisis pembagian kerja, akses,
kontrol, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
a. Tingkat Beban Kerja yaitu jumlah kegiatan yang dilakukan oleh individu
pada profil aktivitas (pembagian kerja) produktif, reproduktif, dan sosial.
Beban kerja yang akan diukur adalah tingkat beban kerja pada perempuan,
jika dikerjakan oleh perempuan akan mendapatkan skor 3, jika dikerjakan
bersama mendapatkan skor 2, dan skor 1 jika dikerjakan laki-laki. Setelah
dikalikan, hasilnya dibagi dengan jumlah kegiatan masing-masing
responden. Skor akhir yang didapat akan digolongkan sebagai berikut:
Tinggi jika 2,4 ≤ x ≥ 3
Sedang jika 1,7 ≤ x ≥ 2,3
Rendah jika 1 ≤ x ≥ 1,6
b. Tingkat Akses adalah jumlah kesempatan individu untuk menggunakan
sumber daya fisik/ material, pasar komoditas dan tenaga kerja, sumber daya
sosial-budaya dan berbagai aspek manfaat. Tingkat akses yang akan diuji
adalah tingkat akses pada perempuan. Jika dilakukan oleh perempuan akan
mendapatkan skor 3, jika dikerjakan bersama mendapatkan skor 2, dan skor
1 jika dikerjakan laki-laki. Setelah dikalikan, hasilnya dibagi dengan jumlah
kegiatan masing-masing responden. Skor akhir yang didapat akan
digolongkan sebagai berikut:
Tinggi jika 2,4 ≤ x ≥ 3
Sedang jika 1,7 ≤ x ≥ 2,3
Rendah jika 1 ≤ x ≥ 1,6
c. Tingkat kontrol adalah jumlah penguasaan atau kewenangan penuh individu
untuk mengambil keputusan atas penggunaan sumber daya fisik/ material,
pasar komoditas dan tenaga kerja, sumber daya sosial-budaya dan berbagai
aspek manfaat. Tingkat kontrol yang akan diuji adalah tingkat kontrol pada
perempuan. Jika dilakukan oleh perempuan akan mendapatkan skor 3, jika
dikerjakan bersama mendapatkan skor 2, dan skor 1 jika dikerjakan laki-laki.
Setelah dikalikan, hasilnya dibagi dengan jumlah kegiatan masing-masing
responden. Skor akhir yang didapat akan digolongkan sebagai berikut:
Tinggi jika 2,4 ≤ x ≥ 3
Sedang jika 1,7 ≤ x ≥ 2,3
Rendah jika 1 ≤ x ≥ 1,6

METODE
Penelitian mengenai analisis gender dalam ketahanan pangan rumah tangga
petani hutan rakyat ini termasuk penelitian explanatory (penjelasan) yang
dilakukan melalui pendekatan kuantitatif didukung pendekatan kualitatif. Tipe
penelitian explanatory merupakan analisis data dengan cara menjelaskan
hubungan kausal antar variabel-variabel melalui pengujian hipotesis. Pendekatan
kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode survei, yaitu penelitian yang
memperoleh data dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi
dengan menggunakan kuesioner (Singarimbun dan Ef