ANALISIS KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI LAHAN KERING DI KABUPATEN BOYOLALI

ANALISIS KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI LAHAN KERING DI KABUPATEN BOYOLALI

Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Oleh: SYARIFAH TAUFIKA RINI

H 0306032

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

ANALISIS KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI LAHAN KERING DI KABUPATEN BOYOLALI

yang dipersiapkan dan disusun oleh Syarifah Taufika Rini

H 0306032

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal : 28 April 2011 Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Tim Penguji

Surakarta, April 2011 Mengetahui, Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian Dekan

Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, M.S. NIP. 19551217 198203 1 003

Ketua

Dr.Ir. Sri Marwanti, MS NIP. 19590709 198303 2 001

Anggota II

Erlyna Wida Riptanti, SP. MP NIP : 19780708 200312 2 002

Anggota I

Wiwit Rahayu, SP.MP NIP. 19711109 199703 2 004

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Rabb semesta alam atas segala karunia, rahmat dan hidayah Nya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Analisis Hubungan Proporsi Pengeluaran dan Konsumsi Pangan dengan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Lahan Kering Di Kabupaten Boyolali” dengan baik. Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pelaksanaan penelitian serta penyusunan skripsi ini dapat terlaksana dengan lancar berkat dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS., selaku Dekan Fakultas Pertanian Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Ir. Agustono, MP., selaku Ketua Jurusan/ Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/ Agrobisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Ibu Ir. Sugiharti Mulya Handayani, MP selaku Ketua Komisi Sarjana Jurusan/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis Fakultas Pertanian UNS Surakarta. 4. Ibu Dr. Ir. Minar Ferichani, MP selaku Pembimbing Akademik selama proses belajar di Fakultas Pertanian UNS Surakarta. 5. Ibu Dr. Sri Marwanti, MS. selaku Pembimbing Utama dan Ibu Wiwit Rahayu, SP.MP. selaku Pembimbing Pendamping serta Ibu Erlyna Wida Riptanti, SP.MP. selaku Dosen Penguji Tamu yang selalu memberikan pengarahan, nasehat, dan petunjuk selama proses belajar dan penyusunan skripsi di Fakultas Petanian. 6. Kantor Dinas Pertanian, Kantor Ketahanan Pangan, Kantor BPS, beserta staff, terima kasih atas kerjasama dan data-data pendukung dan Kepala Desa Ngagrong

yang memberi kesempatan untuk melakukan penelitian di Desa Ngangrong.

7. Kedua orang tua yang rela berpeluh dan penat demi melihat senyum putra- putrinya. Terima kasih atas do’a, cinta serta kasih sayang yang tanpa batas serta dukungan yang luar biasa sehingga penulis sampai pada tahap ini. 8. Adik – adikku tercinta, Aziz dan Salis atas, dukungan dan kesediaan untuk membantu serta sebagai tempat untuk sejenak melepas penat. 9. Mas cip atas do’a, dukungan, dan pengertiannya selama proses penyusunan skripsi ini. 10. Sahabat-sahabatku Club on Laler: Mbak Tia, Baba, Ani, Devi, Kutik, Desy, Jeng, yulis, Dulce Mari, Diana atas dukungan, bantuan dan kebersamaannya di Alamanda Putri. All of kwaci Dinar, Maryani, Gebriyan, Rahmalia, Rifqi, Bedul, Antok, Keci, Bayu Chocochip terima kasih telah menjadi teman, sahabat kebersamaan kita yang sebentar namun memberikan bekas yang tak terlupakan. 11. Sita, Amel, Agnes, Dina, Reny, Terima kasih atas segala bantuan, saran dan masukan yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Untuk vina terima kasih telah menjadi juru ketikku. 12. HIMASETA FP UNS, seluruh pengurus dan anggota periode 2007-2008, 2008- 2009, 2009-2010, khususnya bidang Kebendaharan dan bidang Profesi, yang telah memberikan kesempatan untuk berkembang dan mendapat pengalaman yang luar biasa. 13. Zerosix, terima kasih telah memberi ruang untukku selama ini yang akan menjadi salah satu kenangan terindah dalam hidup. 14. Semua pihak yang tidak dapat Penyusun sebutkan satu persatu, terimakasih atas semua bantuannya.

Penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan karya ilmiah ini. Akhir kata semoga Skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, April 2011 Penulis

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ketersediaan Pangan Kabupaten Boyolali Tahun 2010 ................... 3 Tabel 2. Luas lahan kering untuk Tegal/Kebun di Kabupaten Boyolali di

Berbagai Kecamatan Tahun 2007 ...................................................... 23 Tabel 3. Luas Lahan Kering untuk Tegal/Kebun di Kecamatan Ampel pada

Tiap Desa Tahun 2008 ....................................................................... 24 Tabel 4. Jumlah Rumah Tangga Petani Sampel .............................................. 25 Tabel 5. Daftar AKE dan AKP berdasarkan umur dan jenis kelamin Tahun

2004 menurut SK Menteri Kesehatan RI ........................................ 30 Tabel 6. Komposisi Penduduk Kabupaten Boyolali Menurut Jenis Kelamin

dan Sex Rationya Tahun 2003-2008.................................................. 35 Tabel 7. Penduduk Kabupaten Boyolali Menurut Kelompok Umur dan Jenis

Kelamin Tahun 2008 .......................................................................... 36 Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten

Boyolali Tahun 2008 .......................................................................... 37 Tabel 9. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kabupaten

Boyolali Tahun 2008 .......................................................................... 38 Tabel 10. Luas Wilayah dan Penggunaan Lahan (Ha) di Kabupaten Boyolali

Tahun 2008 .......................................................................................... 39 Tabel 11. Luas Panen, Rata-rata Produksi dan Total Produksi Tanaman

Pangan di Kabupaten Boyolali Tahun 2008 ..................................... 40 Tabel 12. Jenis dan Jumlah Sarana Perekonomian di Kabupaten Boyolali

Tahun 2008 .......................................................................................... 42 Tabel 13. Ketersediaan Pangan Kabupaten Boyolali Tahun 2010 ................... 43 Tabel 14. Karakteristik Rumah Tangga Responden di Desa Ngagrong

Kecamatan Ampe Kabupaten Boyolali ............................................. 44 Tabel 15. Tingkat Pendidikan Ibu Rumah Tangga Responden ........................ 45 Tabel 16. Besarnya Rata-rata Pendapatan Responden di Desa Ngagrong

Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali Per Bulan........................... 46 Tabel 17. Rata-Rata Pengeluaran Per Bulan Rumah Tangga Responden di

Desa Ngangrong Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali ............... 48

Tabel 18. Rata-rata Pendapatan, Pengeluaran Pangan, Non Pangan Dan Tabungan Rumah Tangga Responden ............................................... 54

Tabel 19. Proporsi Pengeluaran Rumah Tangga Responden............................ 55 Tabel 20. Rata-rata Konsumsi Energi dan Protein Serta Tingkat Konsumsi

Gizi Rumah Tangga Petani ................................................................ 56 Tabel 21. Sebaran Kategori Tingkat Konsumsi Energi Dan Protein Rumah

Tangga Responden .............................................................................. 58 Tabel 22. Sebaran Ketahanan Pangan Rumah Tangga Responden .................. 60

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Kerangka Teori Pendekatan Masalah ................................... 19

DAFTAR LAMPIRAN

No.

Judul

Lampiran 1. Nama Responden, Umur, Status Petani, Anggota Rumah Tangga, dan Istri

Lampiran 2. Pekerjaan Sampingan Responden dan Anggota Rumah Tangga Lainnya Lampiran 3. Pendapatan Rumah Tangga Petani Lampiran 4. Pengeluaran Responden Untuk Pangan Lampiran 5. Pengeluaran Responden Untuk Non Pangan Lampiran 6. Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan, Konsumsi Gizi, dan Tingkat

Konsumsi Gizi Rumah Tangga Responden

Lampiran 7. Tingkat Konsumsi Gizi Lampiran 8. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Lampiran 9. Kuisioner Lampiran 10. Peta Kabupaten Boyolali Lampiran 11. Peta Kecamatan Ampel Lampiran 12. Surat ijin Penelitian

RINGKASAN

Syarifah Taufika Rini H 0306032. 2011. “Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Lahan Kering Di Kabupaten Boyolali”. Fakultas Pertanian.

Universitas Sebelas Maret Surakarta. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sri Marwanti, MS. dan Wiwit Rahayu, S.P., M.P.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis besarnya proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap pengeluaran rumah tangga petani lahan kering di Kabupaten Boyolali, menganalisis konsumsi energi dan protein rumah tangga petani lahan kering di Kabupaten Boyolali, dan menganalisis kondisi ketahanan pangan rumah tangga petani lahan kering di Kabupaten Boyolali.

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Boyolali. Metode pengambilan lokasi penelitiannya secara purpossive sampling, yaitu di Desa Ngagrong Kecamatan Ampel. Jenis dan sumber data yang digunakan terdiri atas data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan pencatatan. Metode analisis data secara deskriptif dengan analisis rata-rata dan presentase.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya rata-rata pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumah tangga petani lahan kering di Kabupaten Boyolali sebesar 56,69%, sedangkan proporsi pengeluaran non pangan terhadap pengeluaran total rumah tangga sebesar 43,31%, artinya pengeluaran konsumsi pangan masih mengambil sebagian besar bagian dari pengeluaran rumah tangga petani. Rata-rata konsumsi energi dan protein rumah tangga petani lahan kering di Kabupaten Boyolali adalah 1.480,43 kkal/orang/hari dan sebesar 52,23 gram/orang/hari, sehingga tingkat konsumsi energinya sebesar 72,85% termasuk dalam kategori kurang dan tingkat konsumsi protein sebesar 99,04% termasuk kategori sedang. Kondisi ketahanan pangan rumah tangga petani lahan kering berdasarkan tingkatannya adalah: tahan pangan sebesar 10%, rentan pangan 10%, rumah tangga kurang pangan 30%, dan 50% termasuk dalam kondisi rawan pangan.

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan untuk meningkatkan pengetahuan tentang gizi pada rumah tangga dan meningkatkan pendapatan rumah tangga, sehingga proporsi pengeluaran pangan berkurang serta ketahanan pangan rumah tangga tercapai.

SUMMARY

Syarifah Taufika Rini H 0306032. 2011. “An Analysis The Food Security In Dry land Farmer Household In Boyolali Regency”. Faculty Of Agriculture. Sebelas Maret University Surakarta. Advisor : Dr.Ir. Sri Marwanti, MS. And Wiwit Rahayu, S. P., M. P.

This research aims are to analyse the proportion of food expendeture and consumption on the income of dry land farmer household in Boyolali regency, to analyse the energy and protein consumption of dry land farmer household in Boyolali regency, and to analyse food security of dry land farmer household in Boyolali regency.

This research used are descriptive analysis method and executed survey technique. This research was done in Boyolali Regency. Ngagrong Village of Ampel Subdistrict had chosen as research area purposively sampling. The data used are primary and secondary data. The data are collected through an observation, interview and recording. The data are analised though an descriptive, everage and percentage analysis.

The result of research showed that the average expendeture on non food is 43,31%, it means that the proportion of food takes a great pieces of the household’s expendeture. The average of energy and protein adequacy level are 1.480,43 kkal/cap/day and 52,23 gram/cap/day. Therefore, the nutritional edaquency level 72,85% for energy, so included in the less level, and 99,04% for protein, and included in medium category. Food security’s condition of dry land farmer household is 10% are adequate foods, 10% are vulnerable foods, 30% are less food and 50% are prone foods.

From the results of this research can be suggested to improve the knowledge about nutrition at the household and Increasing household incomes, thereby reducing the proportion of food expenditure and household food security is achieved.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumber daya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu (Saliem, dkk; 2002).

Di Indonesia sesuai dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1996, yang dimaksud dengan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dalam hal ini terdapat aspek pasokan (supply), yang mencakup produksi dan distribusi pangan. Disamping itu terdapat aspek daya beli, yang mencakup pula tingkat pendapatan individu dan rumah tangga. Juga terdapat aspek aksesibilitas setiap orang terhadap pangan, yang berarti mencakup hal yang berkaitan dengan kemampuan individu dan rumah tangga mendapatkan pangan.

Ketahanan pangan rumah tangga dicerminkan oleh beberapa indikator, antara lain: besarnya produksi pangan, tingkat ketersediaan pangan di rumah

tangga, proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total, fluktuasi harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga, perubahan kehidupan sosial, seperti migrasi, menjual/menggadaikan asset, keadaan konsumsi pangan berupa kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas pangan, dan status gizi (Suhardjo, 1996 dalam Rachman 2002). Konsumsi merupakan salah satu indikator tercapainya ketahanan pangan. Kinerja konsumsi tercermin dalam pola konsumsi masyarakat di tingkat rumah tangga dengan terpenuhinya tingkat konsumsi energi dan protein masyarakat sesuai AKG menurut WNPG VIII tahun 2004 minimal 2.000 kkal/kap/hari untuk energi dan 52 gram/kap/hari untuk protein.

pemberdayaan masyarakat agar mampu mendorong dirinya sendiri dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga. Oleh karena itu masing-masing

rumah tangga harus mempunyai sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk membeli kebutuhan pangan. Pendapatan yang meningkat memungkinkan rumah tangga untuk membeli bahan makanan dengan jumlah yang lebih banyak dan mutu gizi yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan konsumsi gizi (Nainggolan 2005).

Persyaratan kecukupan untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Aksesibilitas ini tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dengan demikian data konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan (Bappenas, 2006)

Tingginya ketersediaan pangan tingkat nasional belum menjamin ketersediaan pangan tingkat rumah tangga. Banyaknya kasus gizi buruk yang bermunculan merupakan salah satu bukti adanya kesenjangan antara akses pangan dan ketersediaan pangan. Hal tersebut terkait dengan faktor-faktor di dalam rumah tangga, antara lain kurangnya daya beli, ketidaktahuan pengelolaan pangan dan gizi sebagai akibat kurangnya pengetahuan tentang gizi, serta budaya atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang kurang mendukung.

Potensi wilayah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan masyarakat (Tinjung, 2010). Kabupaten boyolali memiliki kondisi alam dan potensi pendukung lainnya yang memberi peluang bagi pengembangan pertanian. Potensi pertanian Boyolali meliputi tanaman pangan, palawija, dan hortikultura. Dengan potensi yang dimilki tersebut menjadikan Kabupaten Boyolali mampu memproduksi kebutuhan pangan dan Potensi wilayah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan masyarakat (Tinjung, 2010). Kabupaten boyolali memiliki kondisi alam dan potensi pendukung lainnya yang memberi peluang bagi pengembangan pertanian. Potensi pertanian Boyolali meliputi tanaman pangan, palawija, dan hortikultura. Dengan potensi yang dimilki tersebut menjadikan Kabupaten Boyolali mampu memproduksi kebutuhan pangan dan

Komoditas

Luas Panen (Ha)

Kebutuhan Pangan (Ton)

Surplus/ Minus (Ton)

87,23 -409,65 Kacang Tanah

265,42 121,25 Ubi Jalar

505,50 -405,17 Ubi Kayu

4.446,82 9.614,10 Kacang Hijau

86,88 -86,46 Sumber : Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Boyolali Tahun 2011

Berdasar Tabel 1 dapat diketahui ketersediaan pangan Kabupaten Boyolali tahun 2010, beras yang merupakan makanan pokok telah berhasil mencapai angka surplus sebesar 5.114,84 ton, untuk komoditas andalan lain yang juga surplus yaitu, jagung surplus 9.866,97 ton, kacang surplus 121,25 ton, dan ubi kayu surplus 9.614,10 ton. Sedangkan untuk komoditas kedelai, ubi jalar, kacang hijau masih minus. Dengan angka yang diraih tersebut, Boyolali memiliki tingkat ketersediaan pangan yang cukup tinggi. Akan tetapi, tingginya tingkat ketersediaan di Kabupaten Boyolali belum menjamin setiap rumah tangga mampu mengakses pangan. Ketersediaan pangan Kabupaten Boyolali dipengaruhi oleh produksi, jumlah penduduk, penyusutan, konversi dan konsumsi per kapita. Besarnya ketersediaan pangan di Kabupaten Boyolali di peroleh dari besarnya produksi dikurangi dengan penyusutan dan konversi. Penyusutan merupakan bagian dari hasil produksi yang digunakan untuk benih, pakan ternak maupun kehilangan hasil. Untuk beras besarnya produksi tersebut adalah produksi dalam bentuk gabah sedangkan bersarnya nilai untuk ketersediaannya sudah berupa beras sehingga terdapat perbedaan nilai yang cukup besar antara produksi dan ketersediaan beras.

Berdasarkan data pemerataan pendapatan dan pola konsumsi penduduk Berdasarkan data pemerataan pendapatan dan pola konsumsi penduduk

maka dapat diketahui bahwa proporsi pengeluaran rumah tangga penduduk Kabupaten Boyolali untuk konsumsi pangan lebih besar dari non pangan. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga penduduk di Kabupaten Boyolali masih rendah.

Berdasarkan data Jawa Tengah dalam Angka Tahun 2005, Kabupaten Boyolali merupakan kabupaten yang memiliki luas lahan kering terluas kedua setelah Kabupaten Wonogiri di Karisidenan Surakarta. Luas lahan kering di Kabupaten Boyolali sebesar 56.186,0830 Ha (55,3%). Luas lahan kering yang digunakan untuk usahatani keluarga berupa tegal/kebun sebesar 30.681,35 Ha atau sebesar 54,61% dari luas lahan kering. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar lahan pertanian di Kabupten Boyolali adalah lahan kering.

Lahan kering memiliki kondisi agroekosistem yang beragam, umumnya berlereng dengan kondisi kemantapan lahan yang peka terhadap erosi terutama bila pengelolaannya tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah. Untuk usaha pertanian lahan kering dapat dibagi dalam tiga jenis penggunaan lahan, yaitu lahan kering berbasis palawija, lahan kering berbasis sayuran dan lahan kering berbasis tanaman perkebunan. Lahan kering di Kabupaten Boyolali berdasarkan ekologinya terbagi menjadi dua yaitu lahan kering di Boyolali bagian utara berupa lahan kering berbasis komoditas tanaman perkebunan, sedangkan di Boyolali bagian selatan berupa lahan kering berbasis tanaman palawija dan sayuran.

Pertanian lahan kering mempunyai kondisi fisik dan potensi lahan sangat beragam dengan kondisi sosial ekonomi petani umumnya kurang mampu dengan sumberdaya lahan pertanian terbatas. Lahan kering merupakan sumberdaya pertanian terbesar ditinjau dari segi luasnya, namun usahatani pada agroekosistem lahan kering memiliki tingkat produksi yang rendah Pertanian lahan kering mempunyai kondisi fisik dan potensi lahan sangat beragam dengan kondisi sosial ekonomi petani umumnya kurang mampu dengan sumberdaya lahan pertanian terbatas. Lahan kering merupakan sumberdaya pertanian terbesar ditinjau dari segi luasnya, namun usahatani pada agroekosistem lahan kering memiliki tingkat produksi yang rendah

berdampak pada kemampuan rumah tangga untuk mendapatkan pangan dan akan mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga petani.

Mulyani (2006), menyatakan bahwa kondisi ketahanan pangan di lahan kering pada umumnya memilki ketahanan pangan yang rendah hal itu disebabkan tingkat pendapatan petani rendah sehingga kemampuan petani dalam mengakses pangan rendah. Selain itu, tingkat konsumsi pangan rumah tangga lahan kering yang berkaitan dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada umumnya juga rendah.

Berdasarkan uraian di atas, mendorong peneliti untuk mengetahui lebih lanjut mengenai ketahanan pangan rumah tangga petani lahan kering di Kabupaten Boyolali dilihat dari proporsi pengeluaran untuk pangan dan konsumsi pangan.

B. Perumusan Masalah

Sawit dan Ariani (1997) dalam Purwantini (2005), mengemukakan bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat nasional, regional maupun lokal dapat dilihat dari produksi, permintaan, persediaan, dan perdagangan pangan. Sementara itu, penentu utama ditingkat rumah tangga adalah akses (fisik/ekonomi) terhadap pangan, ketersediaan pangan, dan resiko yang terkait dengan akses terhadap pangan dan ketersediaan pangan tersebut. Indikator ketahanan pangan juga dapat dilihat dari proporsi pengeluaran pangan rumah

tangga. Semakin besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga, semakin rendah ketahanan pangannya.

Salah satu lokasi spesifik yang menarik untuk diteliti adalah daerah lahan kering, sebab daerah ini pada umumnya tandus dan kritis dengan tanaman utama jagung, padi gogo, ubi-ubian dan sedikit buah-buahan. Kebutuhan karbohidrat, protein, lemak dan nutrisi lainnya di datangkan dari luar daerah. Ketidakmampuan menyediakan kecukupan pangan berpotensi Salah satu lokasi spesifik yang menarik untuk diteliti adalah daerah lahan kering, sebab daerah ini pada umumnya tandus dan kritis dengan tanaman utama jagung, padi gogo, ubi-ubian dan sedikit buah-buahan. Kebutuhan karbohidrat, protein, lemak dan nutrisi lainnya di datangkan dari luar daerah. Ketidakmampuan menyediakan kecukupan pangan berpotensi

kebun/tegal. Pengelolaan usahatani pada lahan kering di Kabupaten Boyolali masih rendah, hal ini dikarenakan rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan usahatani pada lahan kering dan belum adanya sistem pengairan yang baik, sehingga akan berpengaruh pada hasil produksi dari usahatani petani.

Berdasarkan pemikiran tersebut maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Berapa besarnya proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap pengeluaran rumah tangga petani lahan kering di Kabupaten Boyolali?

2. Bagaimana konsumsi energi dan protein rumah tangga petani lahan kering di Kabupaten Boyolali?

3. Bagaimana kondisi ketahanan pangan rumah tangga petani lahan kering di Kabupaten Boyolali dilihat dari proporsi pengeluaran konsumsi pangan dan konsumsi energi?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini, yaitu:

1. Menganalisis besarnya proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap pengeluaran rumah tangga petani lahan kering di Kabupaten Boyolali.

2. Menganalisis konsumsi energi dan protein rumah tangga petani lahan kering di Kabupaten Boyolali.

3. Mengetahui kondisi ketahanan pangan rumah tangga petani lahan kering di Kabupaten Boyolali dilihat dari proporsi pengeluaran konsumsi pangan dan konsumsi energi.

D. Kegunaan Penelitian

1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan serta sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pemikiran dan bahan pertimbangan dalam menyusun suatu kebijakan yang menyangkut peningkatan produksi pertanian terutama tanaman pangan dan ketahanan pangan.

3. Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan referensi dalam penyusunan penelitian selanjutnya atau penelitian-penelitian sejenis.

II. LANDASAN TEORI

A. Penelitian terdahulu

Djiwandi, (2002) dalam penelitiannya tentang Sumber Pendapatan dan Proporsi Pengeluaran Keluarga Petani untuk Konsumsi, Tabungan dan Investasi Studi Kasus Petani di Kecamatan Pedan Kabupaten Klaten, menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh keluarga petani baik dari usahatani maupun luar sektor pertanian akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Adapun proporsi pengeluaran keluarga petani untuk konsumsi, ditabung, maupun yang diinvestasikan menghabiskan 59,89% atau hampir 60% dari pendapatannya. Untuk tabungan rata-rata keluarga petani mengalokasikan 23,97% atau hampir 24% dari pendapatan dan 16,14% untuk diinvestasikan.

Wisnu, (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Kelembagaan Ketahanan Pangan di Lahan Kering (Kasus Ketahanan Pangan Desa-Desa Lahan Kering di Kabupaten Lombok Timur) menyatakan bahwa, Pengeluaran rumah tangga untuk pangan mencapai lebih dari 50%, menunjukkan bahwa tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani di wilayah lahan kering relatif rendah. Hasil kajian Sri Hastuti et al (2005) tentang pola pendapatan dan pengeluaran terhadap ketahanan pangan rumah tangga di desa Sambelia yang merupakan desa lahan kering dataran rendah menjelaskan bahwa pengeluaran petani miskin untuk pangan mencapai 54,27% artinya ketahanan pangan rumah tangga relatif rendah.

Mulyani, (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam menyatakan bahwa kondisi ketahanan pangan di lahan kering pada umumnya memilki ketahanan pangan yang rendah hal itu disebabkan tingkat pendapatan petani rendah sehingga kemampuan petani dalam mengakses pangan rendah. Selain itu, tingkat konsumsi pangan rumah tangga lahan kering yang berkaitan dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada umumnya juga rendah.

Proporsi Pengeluaran dan Konsumsi Pangan Dengan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di Kabupaten Sukoharjo, menyebutkan proporsi

pangan rumah tangga untuk pangan mencapai 42, 93%. Pengeluaran untuk pangan terdiri dari pengeluaran untuk padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayur, kacang, buah, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu, konsumsi lainnya, makanan dan minuman jadi, minuman alkhohol serta tembakau dan sirih. Pengeluaran umtuk padi-padian menempati urutan pertama dari seluruh pengeluaran untuk pangan. Beras menjadi kebutuhan paling utama diantara kelompok padi-padian, sebab semua rumah tangga responden menggunakan beras sebagai pangan pokok. Pengeluaran pangan terbesar kedua adalah untuk telur dan susu. Pengeluaran untuk non pangan sebesar 41,04% dari seluruh pengeluaran rumah tangga dan untuk tabungan sebesar 16,03%. Rata-rata konsumsi energi dan protein kabupaten sukoharjo sebesar 2758,90 kkal/orang/hari (137,95% AKG) dan 95,01 gram/orang/hari (182,71% AKG). Rumah tangga petani kabupaten sukoharjo yang termasuk tahan pangan adalah 63,64 %, rentan 29,55%, kurang pangan 2,27%, dan rawan pangan 4,54%.

Mary, (2010) dalam penelitian berjudul Kerawanan Pangan Wilayah dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Tembakau dan Jagung menyatakan bahwa sebagian besar responden baik dari petani tembakau maupun petani jagung, tingkat ketahanan pangan rumah tangganya berada pada kondisi rawan pangan yaitu sebesar 83,33% responden petani tembakau dan 93,33% petani jagung. Cukup banyak rumah tangga rawan pangan disebabkan rendahnya tingkat pendapatan. Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga karena pertanian sebagai sumber matapencaharian utama masyarakat masih diusahakan secara tradisional dengan produktivitas yang rendah. Berdasarkan data indiktor kerawanan pangan di Kecamatan Selo dalam keadaan yang rawan pangan bila dinilai dari ketersediaan pangan dimana konsumsi normatif serealia sebesar 300 gr per orang per hari tidak

Wilayah Kecamatan Selo dinilai sebagai daerah yang rawan pangan bila dinilai dari indikator akses pangan dan penghasilan, hal itu ditunjukkan dari

masih banyaknya penduduk miskin yaitu sebesar 26,28% dari jumlah total penduduk. Kemiskinan merupakan fakor terbesar dari tidak tercapianya ketahanan pangan karena pada umumnya penduduk miskin dengan kualitas sumber daya manusia dan tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah tidak mampu bersaing untuk menguasai sumber daya dalam kulitas dan kuantitas yang memadai guna mencapai ketahanan pangan. Masih banyaknya rumah tangga yang tidak memilliki akses listrik yaitu sebesar 47,28% serta masih banyakknya wilayah desa yang tidak memiliki akses jalan yaitu sebesar 90% dapat menganggu kelancaran proses pembangunan sehingga memicu semakin parahnya kerawanan pangan yang terjadi di Kecamatan Selo.

Dari berbagai penelitian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumah tangga lebih besar daripada pengeluaran non pangan. Tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani di wilayah lahan kering relatif rendah. Selain itu, tingkat konsumsi pangan rumah tangga lahan kering yang berkaitan dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada umumnya juga rendah. Banyaknya rumah tangga rawan pangan di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolai disebabkan rendahnya tingkat pendapatan. Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga karena pertanian sebagai sumber matapencaharian utama masyarakat masih diusahakan secara tradisional dengan produktivitas yang rendah. Alasan penelitian di atas dijadikan referensi dalam penelitian ini adalah adanya kesamaan obyek yang diteliti yaitu mengetahui besarnya proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap pengeluaran rumah tangga, menganalisis konsumsi energi dan protein serta menganalisis ketahanan pangan rumah tangga petani lahan kering dan adanya kesamaan geografis yaitu sama-sama dilakukan di Kabupaten Boyolali, selain itu, dan adanya kesamaan metode analisis data yang digunakan untuk menganalisis ketahanan pangan rumah tangga yaitu

B. Tinjauan Pustaka

1. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah

pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa telaah terhadap konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi berdasarkan kriteria tertentu disebut pola konsumsi pangan. Pada umumnya satuan akhir dari penyajian data konsumsi pangan adalah rata-rata gram per kapita per hari atau rata-rata per kilogram per kapita per tahun. Ada beberapa cara pengumpulan data konsumsi pangan yaitu penimbangan langsung, inventarisasi, recall (mengingat-ingat), dan pendaftaran atau pencatatan (Hardiansyah, 1992).

Persyaratan kecukupan untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Aksesibilitas ini tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dengan demikian data konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan (Bapenas, 2006)

Survey konsumsi pangan dapat menggambarkan pola konsumsi penduduk menurut golongan sosial ekonomi dan sosial budaya dari Negara atau wilayah yang bersangkutan. Data survey konsumsi pangan dapat dipakai sebagai alat penting untuk meramalkan perubahan pendapatan terhadap permintaan pangan (Suhardjo, 2003).

Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup serta seimbang merupakan salah satu faktor penting yang merupakan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia. Tingkat konsumsi pangan dan gizi seseorang Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup serta seimbang merupakan salah satu faktor penting yang merupakan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia. Tingkat konsumsi pangan dan gizi seseorang

2. Pengeluaran untuk pangan Secara garis besar kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan kedalam dua kategori besar yaitu, kebutuhan akan pangan dan bukan pangan. Dengan demikian pada pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Besaran pendapatan (yang diproksi dari pengeluaran total) yang dibelanjakan untuk pangan suatu rumah tangga dapat dipakai sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut. Semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan berarti bahwa semakin kurang sejahtera rumah tangga tersebut. Sebaliknya semakin kecil pangsa pengeluaran pangan maka rumah tangga tersebut semakin sejahtera (Purwantini, 2008)

Peningkatan proporsi pengeluaran untuk kelompok makanan dapat menjadi indikator menurunnya kesejahteraan penduduk dan meluasnya kemiskinan karena dalam kondisi pendapatan yang terbatas, seseorang akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan makanan sehingga pendapatan yang terbatas sebagian besar dibelanjakan untuk konsumsi makanan. Posisi beras dalam pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga masih menonjol karena proporsi pengeluaran bahan pangan pada padi-padian terhadap pengeluaran total masih relatif besar terutama pada penduduk berpendapatan rendah (Marwanti, 2002).

Tingkat konsumsi seseorang dipengaruhi oleh banyak hal yang berkaitan. Seseorang membelanjakan uang yang dimiliki sebelumnya dipengaruhi oleh banyak pertimbangan. Berikut ini dipaparkan penyebab perubahan tingkat pengeluaran atau konsumsi dalam rumah tangga :

1) Pendapatan Pendapatan yang meningkat tentu saja biasanya otomatis diikuti dengan peningkatan pengeluaran konsumsi.

Orang kaya yang punya banya aset riil biasanya memiliki pengeluaran konsumsi yang besar.

3) Tingkat Bunga Bunga bank yang tinggi akan mengurangi tingkat konsumsi yang tinggi karena orang lebih tertarik menabung di bank dengan bunga tetap tabungan atau deposito yang tinggi dibanding dengan membelanjakan banyak uang.

4) Perkiraan Masa Depan Orang yang was-was tentang nasibnya di masa yang akan datang akan menekan konsumsi.

5) Komposisi Penduduk Dalam suatu wilayah jika jumlah orang yang usia kerja produktif banyak maka konsumsinya akan tinggi. Bila tingkat pendidikan sumber daya manusia di wilayah itu tinggi-tinggi maka biasanya pengeluaran wilayah tersebut menjadi tinggi.

6) Jumlah Penduduk Jika suatu daerah jumlah orangnya sedikit sekali maka biasanya konsumsinya sedikit. Jika orangnya ada sangat banyak maka konsumsinya sangat banyak pula.

7) Kebiasaan Adat Sosial Budaya Suatu kebiasaan di suatu wilayah dapat mempengaruhi tingkat konsumsi seseorang. Di daerah yang memegang teguh adat istiadat untuk hidup sederhana biasanya akan memiliki tingkat konsumsi yang kecil. Sedangkan daerah yang memiliki kebiasaan gemar pesta adat biasanya memiliki pengeluaran yang besar.

8) Gaya Hidup Seseorang Seseorang yang berpenghasilan rendah dapat memiliki tingkat pengeluaran yang tinggi jika orang itu menyukai gaya hidup yang mewah dan gemar berhutang baik kepada orang lain maupun dengan 8) Gaya Hidup Seseorang Seseorang yang berpenghasilan rendah dapat memiliki tingkat pengeluaran yang tinggi jika orang itu menyukai gaya hidup yang mewah dan gemar berhutang baik kepada orang lain maupun dengan

dan jumlah anggotanya kecil akan lebih leluasa menyusun anggaran belanja keluarga, dan mungkin masih dapat menabung atau kelebihannya diinvestasikan untuk usaha tertentu. Namun bagi petani yang pendapatannya kecil dan jumlah anggota keluarganya relatif besar akan terbatas dalam penyusunan anggaran belanja rumah tangganya. Bagi keluarga tersebut mungkin pendapatannya hanya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga (Djiwandi, 2002)

Tingkat konsumsi pangan kaitanya dengan pendapatan dapat dibagi menjadi 3 yaitu:

a. Initial stage, pada tingkat ini makanan yang dibeli semata-mata hanya untuk mengatasi rasa lapar. Makanan yang dikonsumsi hanya kalori, dan biasanya hanya berupa bahan-bahan karbohidrat saja. Dalam hal ini kualitas pangan hampir tidak terpikirkan. Karakteristik tingkat ini, ada korelasi erat antara pendapatan dan tingkat konsumsi pangan. Jika pendapatan naik, maka tingkat konsumsi pangan akan naik.

b. Marginal stage, pada tingkat ini korelasi antara tingkat pendapatan dan tingkat konsumsi pangan tidak linear, artinya kenaikan pendapatan tidak memberi reaksi yang proporsional terhadap tingkat konsumsi pangan.

c. Stable stage, pada tingkat ini kenaikan pendapatan tidak memberikan respon terhadap kenaikan konsumsi pangan. Pada tingkat ini ada kecenderungan mengkonsumsi pangan secara berlebihan, tanpa mempertimbangkan gizi (Handajani, 1994).

Pengeluaran untuk konsumsi makanan bagi penduduk Indonesia masih mengambil bagian terbesar dari seluruh pengeluaran rumah tangga. Hukum Engel menyatakan bahwa proporsi pendapatan yang dialokasikan untuk membeli makanan akan semakin menurun apabila pendapatan

Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi

manusia sehingga pangan sangat berperan dalam ekonomi nasional, ketahanan pangan diartikann sebagai tersedianya pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu. Dengan demikian ketahanan pangan mencakup tingkat rumah tanggga dan tingkat nasional (Ariani,M. 2002).

Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:

1. kecukupan ketersediaan pangan;

2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun.

3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta

4. kualitas/keamanan pangan Keempat indikator ini merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks ketahanan pangan. Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara menggambungkan keempat komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan satu indeks ketahanan pangan (Anonim, 2007).

Pada hakekatnya ketahanan pangan menekankan adanya jaminan pada kesejahteraan keluarga bukan hanya pada pangan saja. Pangan hanya merupakan alat bukan tujuan. Artinya semua kebijakan pemerintah mengenai pangan di tujukan untuk meningkatkan status gizi keluarga dan anggotanya dengan menjamin ketersediaan pangan yang cukup atau stabil dan terjangkau. Ketersediaan pangan yang cukup berarti rata-rata jumlah dan mutu gizi pangan yang tersedia di masyarakat dan pasar

(Soekirman, 2000). Ketahanan pangan menurut Departemen Pertanian mensyaratkan

terpenuhinya dua sisi secara simultan, yaitu (a) sisi ketersediaan, yaitu tersedianya pangan yang cukup bagi seluruh penduduk dalam jumlah, mutu, keamanan dan keterjangkauannya, yang diutamakan dari produk dalam negeri, dan (b) sisi konsumsi, yaitu adanya kemampuan setiap rumah tangga mengakses pangan yang cukup bagi masing-masing anggotanya untuk tumbuh sehat dan produktif dari waktu ke waktu. Kedua sisi tersebut memerlukan sistem distribusi yang efisien, yang dapat menjangkau ke seluruh golongan masyarakat (Nainggolan, 2005).

4. Lahan Kering Lahan kering adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air selama periode sebagian waktu dalam setahun, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl) (Anonim, 2008).

Lahan kering merupakan lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya hanya mengharapkan dari curah hujan. Lahan ini memiliki kondisi agroekosistem yang beragam, umumnya berlereng dengan kondisi kemantapan lahan yang labil (peka terhadap erosi) terutama bila pengelolaannya tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah. Untuk usaha pertanian lahan kering dapat dibagi dalam tiga jenis penggunaan lahan, yaitu lahan kering berbasis palawija (tegalan), lahan kering berbasis sayuran (dataran tinggi) dan pekarangan. terdapat tiga permasalahan utama usahatani lahan kering, yaitu: erosi (terutama bila lahan miring dan tidak tertutup vegetasi secara rapat), kesuburan tanah (umumnya rendah sebagai akibat dari proses erosi yang berlanjut), dan ketersediaan air (sangat terbatas karena tergantung dari curah hujan). Ciri Lahan kering merupakan lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya hanya mengharapkan dari curah hujan. Lahan ini memiliki kondisi agroekosistem yang beragam, umumnya berlereng dengan kondisi kemantapan lahan yang labil (peka terhadap erosi) terutama bila pengelolaannya tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah. Untuk usaha pertanian lahan kering dapat dibagi dalam tiga jenis penggunaan lahan, yaitu lahan kering berbasis palawija (tegalan), lahan kering berbasis sayuran (dataran tinggi) dan pekarangan. terdapat tiga permasalahan utama usahatani lahan kering, yaitu: erosi (terutama bila lahan miring dan tidak tertutup vegetasi secara rapat), kesuburan tanah (umumnya rendah sebagai akibat dari proses erosi yang berlanjut), dan ketersediaan air (sangat terbatas karena tergantung dari curah hujan). Ciri

Jenis-jenis tanaman yang dapat dibudidayakan di lahan kering adalah jagung, ubi kayu, padi gogo, kacang-kacangan, kedelai hingga labu-labuan. Selain itu, tanaman perkebunan juga dapat ditanam dilahan kering seperti : kopi, coklat, jambu mete, asam, kemiri, lontar, kelapa, kapuk, vanili dan jarak. Lahan kering memiliki beranekaragam jenis tanaman yang dapat tumbuh dengan baik dan juga mempunyai nilai tambah bagi perekonomian keluarga. Akan tetapi, lahan kering memiliki tingkat produktivitas yang rendah. Rendahnya produktivitas lahan kering berpengaruh pada pendapatan petani (Nawastuti, 2008).

C. Kerangka Teori

Masalah kekurangan konsumsi pangan dan kondisi rawan pangan yang meluas di masyarakat suatu negara menjadi semakin penting untuk dicari penyelesaiannya sehingga peranan pangan menjadi sangat penting dalam proses kehidupan dan pembangunan bangsa. Masalah kekurangan konsumsi pangan dan rawan pangan merupakan masalah yang berulang kali dialami oleh masyarakat dunia sejak dahulu sampai sekarang dan dalam negara yang relatif majupun masih ada penduduk yang rawan pangan.

Pendapatan merupakan faktor utama yang menentukan konsumsi rumah tangga. Pada pendapatan yang rendah, konsumsi akan melebihi pendapatan dan konsumsi yang melebihi pendapatan ini akan dibiayai oleh tabungannya pada masa lalu sedangkan pada tingkat pendapatan yang tinggi, tidak semua pendapatan yang diterima digunakan untuk konsumsi, sebagian pendapatan tersebut akan ditabung (Keynes dalam Sukirno, 2007).

Pengeluaran yaitu nilai pembelanjaan yang dilakukan oleh rumahtangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhan (membeli barang dan jasa untuk memuaskan keinginan dan menggunakan barang tersebut), misalnya, untuk membeli makanan, pakaian, membayar sewa rumah dan membeli kendaraan.

pengeluaran non pangan. Proporsi antara pengeluaran pangan dan bukan pangan juga digunakan

sebagai indikator untuk menentukan tingkat kesejahteraan atau ketahanan pangan rumah tangga. Dari proporsi pengeluaran pangan dapat diungkapkan bahwa semakin tinggi proporsi pengeluaran pangan berarti tingkat kesejahteraan atau ketahanan pangan rumah tangga semakin rendah atau rentan (Ariani dan Purwantini, 2003).

Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992) konsumsi makanan pada tingkat individu atau rumah tangga dapat diterjemahkan ke dalam bentuk energi, protein, lemak, vitamin dan mineral per orang per hari. Ratio energi dan zat gizi terhadap kecukupan yang dianjurkan menggambarkan tingkat kecukupan individu. Tingkat kecukupan energi terhadap kebutuhan energi di hitung dengan membandingkan jumlah energi yang dikonsumsi dengan kebutuhan energi. Sementara tingkat kecukupan protein dibandingkan terhadap kecukupan protein.

Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan yang dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga untuk mencapai gizi baik. Untuk mengukur derajat ketahanan pangan tingkat rumah tangga, digunakan klasifikasi silang dua indikator ketahanan pangan, yaitu pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan konsumsi energi (Saliem, 2002).

Adapun skema kerangka teori dan pendekatan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Skema Kerangka Teori Pendekatan Masalah

D. Pembatasan Masalah

1. Pengeluaran untuk konsumsi pangan dihitung selama seminggu yang lalu, sedangkan untuk pengeluaran non pangan setahun yang lalu, selanjutnya masing-masing dikonversikan kedalam pengeluaran rata-rata perbulan.

2. Harga barang merupakan harga pada bulan Januari 2011.

3. Konsumsi pangan yang dihitung merupakan konsumsi yang dimakan anggota keluarga baik didalam maupun diluar rumah.

4. Penilaian konsumsi pangan dibatasi pada konsumsi energi dan protein.

5. Lahan kering dibatasi pada lahan kering yang penggunaanya untuk tegal/kebun.

Proporsi Pengeluaran Pangan Terhadap Pengeluaran

Pendapatan Rumah Tangga

Pangan

Konsumsi Energi

Konsumsi Pangan

Nonpangan

Ketahanan Pangan

Rumah Tangga

Tabungan

Pengeluaran

Konsumsi Protein

E. Asumsi

1. Distribusi pangan dianggap berjalan normal, tidak terdapat hambatan dalam penyaluran pangan.

F. Definisi Operasional

1. Rumah tangga petani adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan dan pada umumnya makan bersama dari satu dapur dengan pekerjaan utama kepala rumah tangga disektor pertanian. Dalam penelitian ini rumah tangga petani merupakan rumah tangga yang tergabung dalam kelompok tani di desa ngagrong.

2. Pendapatan rumah tangga merupakan sejumlah uang yang didapat oleh masing-masing anggota rumah tangga dari pekerjaan yang dilakukan dalam satu bulan yang dihitung dari pendapatan dari sektor pertanian dan non pertanian.

3. Pengeluaran rata-rata sebulan adalah biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga selama sebulan. Konsumsi rumah tangga dibedakan atas konsumsi pangan dan non pangan tanpa memperhatikan asal barang.