Pengasuhan Cucu Dan Kesejahteraan Lansia

i

PENGASUHAN CUCU DAN KESEJAHTERAAN LANSIA
(Kasus Desa Banjarsari, Kecamatan Glagah,
Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur)

DINDA SARASWATI
I34120109

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pengasuhan Cucu
dan Kesejahteraan Lansia” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

Dinda Saraswati
NIM I34120109

iii

ABSTRAK
DINDA SARASWATI. Pengasuhan Cucu dan Kesejahteraan Lansia. Di bawah
bimbingan EKAWATI SRI WAHYUNI dan DINA NURDINAWATI.
Pengasuhan anak merupakan tanggung jawab pertama dari keluarga dan jika fungsi
pengasuhan anak tidak bisa dipenuhi oleh keluarga inti maka anggota keluarga luas
akan membantu dalam merawat anak-anak. Nenek dan kakek atau saudara kandung

ibu biasanya merupakan pengganti utama dalam peran pengasuhan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengasuhan cucu terhadap
kesejahteraan lanjut usia, terutama di desa di Indonesia. Penelitian ini
menggunakan teknik sampling non-probabilitas, dan menggunakan analisis
deskriptif dengan tabulasi silang dan uji Rank-Spearman sebagai dasar untuk
menganalisis data penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lansia yang
melakukan kegiatan pengasuhan cucu memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih
baik dibandingkan dengan lansia yang tidak melakukan kegiatan pengasuhan cucu.
Dampak lain yaitu lansia yang melakukan kegiatan pengasuhan cucu memiliki
kondisi psikologis, hubungan sosial dan sistem dukungan yang lebih baik
dibandingkan dengan lansia yang tidak melakukan kegiatan pengasuhan cucu dan
lansia yang mengasuh cucu memiliki tingkat kesehatan fisik yang lebih rendah
dibandingkan dengan lansia yang tidak melakukan kegiatan pengasuhan cucu.
Kata kunci: Kesejahteraan, Lansia, Pengasuhan Cucu, Pembangunan Desa

ABSTRACT
DINDA SARASWATI. Grandparenting and Elderly Welfare. Supervised by
EKAWATI SRI WAHYUNI and DINA NURDINAWATI.
Childcare is the first responsibility of the family. In Indonesian culture, if childcare
function cannot be carried out by the nuclear family, other family members will

assist in taking care of the children. Grandparent or mother’s sibling usually
performed as main substitutes in role. This study aims to determine the impact of
grand parenting towards elderly welfare, especially in Indonesia’s village. This
study used a non-probability sampling techniques, and using descriptive analysis
with cross tabulation and Rank-Spearman test as a basis to analyze the research
data. Result of this study indicate that elderly who did grandparenting activities had
better welfare level than thosewho did not. In addition, elderly who did
grandparenting has better psychological, social relationships and supporting
system. The negative impact of grand parenting was that the elderly with grand
parenting activities showed worse physical health than those without.
Keywords: Elderly, Grandparenting, Rural Development, Welfare

i

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan pihak IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbannyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun

iii

PENGASUHAN CUCU DAN KESEJAHTERAAN LANSIA
(Kasus Desa Banjarsari, Kecamatan Glagah,
Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur)

DINDA SARASWATI
I34120109

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

v

vii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Pengasuhan Cucu dan Kesejahteraan Lansia”. Penulis menyadari
bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kontribusi dan dukungan
semua pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih sebesarbesarnya kepada pihak yang terlibat, sebagai berikut:
1. Ibu Dr Ir Ekawati S Wahyuni, MA dan Ibu Dina Nurdinawati, MSi selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan serta inspirasi selama
proses penulisan skripsi.
2. Ibu Dr Nurmala K Panjaitan, MS DEA selaku dosen penguji utama dan Bapak
Ir Hadiyanto MSi selaku dosen penguji anggota serta selaku dosen uji petik yang
telah memberikan pengarahan dalam penulisan skripsi.

3. Responden rumah tangga lansia dan beberapa informan di Desa Banjarsari,
Kecamatan Glagah yang sudah bersedia merelakan waktu untuk memberikan
informasi yang bermanfaat untuk penulisan skripsi.
4. Ibu Murwati, nenek penulis terkasih yang telah memberikan dukungan dan
menjadi enumerator dalam penelitian dalam menyelesaikan skripsi.
5. Orang tua tercinta Bapak Noldi Tobogu dan Ibu Agustin Ratna Mariyana serta
adik penulis, Ajeng Prameswari yang senantiasa memberikan dukungan dan doa
kepada penulis.
6. Teman-teman seperjuangan Wika, Andrie, Irvan, Radita, Soraya, Faikar, Fidelia,
keluarga lamboy, teman-teman SKPM 49 serta teman-teman IAAS LC IPB,
kabinet IAAS 2014/2015, dan multicet yang telah memberi semangat dan
menemani penulis dalam proses penulisan skripsi ini.
7. Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi, dukungan,
dan doa kepada penulis selama ini.
Penulis berharap kajian mengenai Pengasuhan Cucu dan Kesejahteraan Lansia
mampu memberikan manfaat dan sumbangsih terhadap khazanah ilmu pengetahuan

Bogor, Oktober 2016

Dinda Saraswati

NIM I34120109

ix

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Lanjut Usia
Kesejahteraan Lansia
Kualitas Hidup
Pengasuhan Cucu

Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan Dan Analisis Data
Definisi Operasional
Karakteristik Responden
Status Pengasuhan Cucu
Kondisi Pengasuhan Cucu
Kesejahteraan Lansia
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Wilayah dan Geografis
Kondisi Demografis dan Sosial Budaya
Kependudukan dan Ketenagakerjaan
Tingkat Pendidikan
Sosial dan Budaya
Lansia Desa Banjarsari
KARAKTERISTIK RESPONDEN

Usia Responden
Jenis Kelamin Responden
Jenis Pekerjaan Responden
Jumlah Anggota Rumah Tangga
Status Perkawinan Responden
KONDISI PENGASUHAN CUCU DAN KESEJAHTERAAN LANSIA
Alasan Pengasuhan Cucu
Jumlah Cucu yang Diasuh
Usia Cucu Tertua yang Diasuh

ix
xi
xii
xii
1
1
3
4
4
5

5
5
7
8
10
12
13
15
15
15
15
16
18
18
19
20
20
25
25
26

26
27
28
28
30
31
31
32
33
34
37
37
41
45
50

STATUS PENGASUHAN DAN KESEJAHTERAAN LANSIA
Hubungan Antara Status Pengasuhan dan Kesejahteraan Lansia
Kesehatan Fisik
Kondisi Psikologis
Hubungan Sosial
Sistem Dukungan
PENUTUP
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

51
51
53
55
56
58
63
63
63
65
69
89

xi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

15
16
17
18
19
20
21

22

Rata-rata pengeluaran masyarakat per kapita sebulan di
Indonesia tahun 2016
Jumlah rukun warga dan rukun tetangga di Desa Banjarsari
tahun 2015
Jumlah dan persentase luas pemanfaatan lahan di Desa
Banjarsari tahun 2015
Jumlah dan persentase golongan usia penduduk Desa
Banjarsari tahun 2015
Jumlah dan persentase golongan pekerjaan penduduk Desa
Banjarsari tahun 2015
Jumlah dan persentase tingkat pendidikan penduduk Desa
Banjarsari tahun 2015
Jumlah dan persentase sebaran usia responden di Desa
Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase jenis kelamin responden di Desa
Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase jenis pekerjaan responden di Desa
Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase anggota rumah tangga anak dan remaja
responden di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase anggota rumah tangga dewasa
responden di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase status perkawinan responden di Desa
Banjarsari 2016
Jumlah dan persentase alasan pengasuhan cucu responden di
Desa Banjarsari tahun 2016
Hasil uji statistik antara alasan pengasuhan cucu dengan
kondisi kesehatan, psikologis, sosial, sistem dukungan, dan
kesejahteraan lansia di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase alasan pengasuhan dan kesehatan fisik
lansia di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase antara alasan pengasuhan dan psikologi
lansia di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase alasan pengasuhan dan hubungan sosial
lansia di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase alasan pengasuhan dan sistem dukungan
lansia di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase alasan pengasuhan dan kesejahteraan
lansia di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase jumlah cucu responden di Desa
Banjarsari tahun 2016
Hasil uji statistik antara jumlah cucu dengan kondisi kesehatan,
psikologis, sosial, sistem dukungan dan kesejahteraan lansia di
Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase jumlah cucu dan kesehatan fisik lansia
di Desa Banjarsari tahun 2016

10
25
25
26
27
28
29
32
33
33
34
35
38
38

39
39
40
40
41
42
42

43

23
24
25
26
27
28

29
30
31
32
33
34

35
36
37
38
39

Jumlah dan persentase jumlah cucu dan kondisi psikologis
lansia di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase jumlah cucu dan hubungan sosial lansia
di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase jumlah cucu dan sistem dukungan lansia
di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase jumlah cucu dan kesejahteraan lansia di
Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase usia cucu tertua di Desa Banjarsari tahun
2016
Hasil uji statistik antara jumlah cucu dengan kondisi kesehatan,
psikologis, sosial dan sistem dukungan di Desa Banjarsari
tahun 2016
Jumlah dan persentase usia cucu dan kesehatan fisik lansia di
Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase usia cucu dan kondisi psikologis lansia
di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase usia cucu dan hubungan sosial lansia di
Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase usia cucu dan sistem dukungan lansia di
Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase usia cucu dan kesejahteraan lansia di
Desa Banjarsari tahun 2016
Hasil uji statistik antara status pengasuhan lansia dengan
kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, sistem dukungan
dan kesejahteraan lansia di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase status pengasuhan lansia dan
kesejahteraan lansia di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase status pengasuhan lansia dan kondisi
kesehatan fisik di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase status pengasuhan lansia dan kondisi
psikologis di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase status pengasuhan lansia dan hubungan
sosial di Desa Banjarsari tahun 2016
Jumlah dan persentase status pengasuhan lansia dan sistem
dukungan di Desa Banjarsari tahun 2016

43
44
44
45
45
46

46
47
47
48
48
52

52
53
54
57
59

DAFTAR GAMBAR
1

Kerangka pemikiran

14

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Peta lokasi penelitian
Pelaksanaan penelitian tahun 2016

71
73

xiii

3
4
5
5

Hasil uji statistik
Daftar responden di Desa Banjarsari
Daftar kerangka sampling di Desa Banjarsari
Dokumentasi

75
79
81
87

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan pendidikan wanita di Indonesia menyebabkan tingkat
partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat. BPS (2012) menyebutkan,
persentase perempuan yang bekerja sebesar 47,91% dari total seluruh penduduk
perempuan. Persentase perempuan yang bekerja di perkotaan sebesar 44,74%,
sedangkan di perdesaan sebesar 51,10%. Wanita di Indonesia bekerja pada sektor
pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan, perdagangan besar, eceran, rumah
makan dan hotel. Berdasarkan data tersebut sebagian wanita bekerja merupakan
wanita yang bekerja di luar rumah. Wanita yang bekerja di luar rumah apalagi di
luar desa akan berdampak kepada pelaksanaan peran domestik wanita, khususnya
mengasuh anak. Pilihan ibu untuk mencari nafkah dan melakukan kegiatan mencari
nafkah seringkali tidak dapat dilakukan bersamaan menyebabkan peran pengasuhan
anak di pedesaan pada keluarga dengan ibu sibuk bekerja akan dibantu oleh peran
lain salah satunya oleh ayah (Riyani 2016). Beberapa kegiatan pengasuhan, ayah
tidak mampu memenuhi peran secara maksimal. Kondisi tersebut menyebabkan
peran pengasuhan akan dibantu oleh keluarga luas.
Ketidakmampuan ayah untuk melakukan peran pengasuhan dapat
disebabkan oleh ayah sibuk bekerja atau karena disebabkan oleh perceraian atau
kematian ayah. Peran pengasuhan biasanya dilakukan oleh garis keturunan
maternal yaitu oleh kakek dan nenek atau saudara perempuan ibu. Kasus-kasus
demikian banyak ditemui pada keluarga dengan ibu yang bekerja dalam waktu lama
atau melakukan migrasi sehingga harus meninggalkan keluarga di desa contohnya
pada keluarga buruh wanita yang bekerja di kota atau pada keluarga TKW. Menurut
Riyani (2016) mayoritas anak akan diasuh oleh kakek atau neneknya ketika ibu
pergi menjadi buruh migran perempuan sedangkan ayah sibuk bekerja. Akan tetapi
kondisi tersebut dapat berbeda pada keluarga dengan ayah dan ibu yang bekerja
pada waktu-waktu tertentu dan tetap pulang ke rumah. Kondisi tersebut
menyebabkan tidak terdapatnya perubahan struktur keluarga sementara.
Hubungan keluarga secara hirarkis di Asia masih dipertahankan untuk
mewariskan nilai-nilai dalam keluarga khususnya kakek-nenek kepada cucu
sehingga pengasuhan oleh kakek-nenek menjadi umum dilakukan. Menurut
Perayani (2013) keterlibatan kakek dan nenek dalam kegiatan pengasuhan cucu
akan memberikan kebermaknaan hidup bagi lansia. Alasan tersebut juga menjadi
dasar bagi lansia untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengasuhan walaupun lansia
telah mengalami banyak perubahan, terlebih lagi perubahan tersebut berupa
kemunduran-kemunduran.
Bertambahnya usia lansia menyebabkan perubahan-perubahan baik secara
fisik maupun mental yang dialami oleh lansia. Adapun ciri-ciri lansia ditandai
dengan adanya perubahan yang nampak seperti gejala-gejala kemunduran fisik dan
kemunduran mental. Perubahan fisik lansia ciri-cirinya adalah rambut menipis dan
memutih, kulit kasar dan keriput, otot-otot mengendor, gerakan badan kurang
lincah, gigi keropos, dan tanggal, kurang penglihatan, kurang pendengaran, berat
badan meningkat, lemak bertambah (Salamah 2005). Salamah (2005) juga
menuliskan ciri-ciri perubahan psikologis lansia emosional atau mudah

2

tersinggung, mengalami regresi (tingkah laku mundur ke belakang), manja,
cengeng, mudah lupa, pikun, ilusi (salah tangkap), delusi (menganggap disekitarnya
jelek) dan neurasthenia (lelah, letih, sensitif terhadap suara, cahaya). Ciri fisik
maupun psikologis saling berkaitan erat, menurunnya kondisi fisik lansia akan
berpengaruh pada kondisi psikisnya. Penurunan kondisi fisik dan mental tersebut
akan memengaruhi kegiatan pengasuhan karena ketidakmampuan lansia untuk
melaksanakan beberapa aktivitas terkait pengasuhan atau kegiatan produktif dan
reproduktif bagi lansia itu sendiri.
Perubahan yang dialami lansia dari segi sosial adalah lansia mengalami
penurunan interaksi antara diri lansia dengan kelompok. Interaksi yang terjadi
adalah kelompok yang lebih mempunyai kuasa akan mendapatkan keuntungan yang
besar, yang pada umumnya adalah kelompok yang lebih muda. Hal tersebut bisa
terjadi karena lansia mulai menarik diri dari kehidupan sosial, status kesehatannya
menurun, penghasilan berkurang, dan terbatasnya program untuk memberi
kesempatan lansia tetap berinteraksi maupun dalam melakukan kegiatan ekonomi
(Komnaslansia 2006). Menurut Nugroho (2006) dalam Sutikno (2011) perubahan
psikososial yang terjadi pada diri lansia antara lain lansia akan mengalami masa
pensiun sehingga akan kehilangan finansial, status, teman atau kenalan, pekerjaan
atau kegiatan, lansia merasakan sadar akan kematian, perubahan dalam cara hidup
lansia, perubahan ekonomi (economic deprivation), penyakit kronis dan
ketidakmampuan dan kehilangan teman, famili, serta relasi, selain itu hilangnya
kekuatan dan ketegapan fisik: penggambaran diri, perubahan konsep diri.
Perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam kondisi fisik, psikologi, sosial dan
ekonomi tersebut secara langsung dan tidak langsung akan menimbulkan dampak
bagi pemenuhan kesejahteraan lansia
Salah satu daerah yang memiliki jumlah lansia cukup tinggi di Indonesia,
yaitu mencapai 198.921 jiwa atau 12,63% dari total populasi penduduk adalah
Kabupaten Banyuwangi yang berada di Provinsi Jawa Timur. Jawa timur sendiri
menempati posisi ketiga sebagai provinsi dengan jumlah lansia terbanyak di
Indonesia. Selain itu, tingginya jumlah tenaga kerja wanita (TKW) dan tenaga kerja
Indonesia (TKI) juga tingginya jumlah tenaga kerja di daerah migran yang berasal
dari Banyuwangi menyebabkan banyaknya jumlah kegiatan pengasuhan cucu oleh
kakek nenek terlebih lagi lansia. Berangkat dari hal tersebut menjadi menarik untuk
meneliti bagaimana kondisi kesejahteraan lansia di Kabupaten Banyuwangi.
Kondisi kesejahteraan lansia dapat diukur dengan menggunakan instrumen yang
dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO).
Penelitian ini menggunakan instrumen WHOQOL-BREF (World Health
Organization Quality of Life). WHOQOL-BREF merupakan instrumen pengukuran
kualitas hidup yang merupakan bentuk singkat dari WHOQOL-100. WHOQOL100 sebelumnya telah diaplikasikan dalam 15 negara dan 15 bahasa sehingga WHO
telah berhasil mengatasi masalah yang paling kontroversial tentang emics dan etics
dengan mengaplikasikan kuesioner yang sama pada berbagai budaya yang berbeda
(Salim et al. 2007). Penelitian yang dilakukan Salim et al. (2007) juga menemukan
bahwa instrumen WHOQOL-BREF memiliki nilai validitas diskriminan, validitas
konstruk dan konsistensi internal baik sehingga dapat digunakan sebagai instrumen
untuk melakukan penelitian mengenai kualitas hidup lansia dengan perbaikan pada
pertanyaan mengenai seks dan perasaan negatif. Menurut Hwang et al.. (2003)
WHOQOL-BREF merupakan instrumen yang sesuai untuk mengukur kualitas

3

hidup lansia dengan jumlah responden yang kecil, mendekati distribusi normal dan
mudah menggunakannya. Berdasarkan pemaparan mengenai peran pengganti
pengasuhan dan perubahan-perubahan yang terjadi pada fisik, psikologis,
sosial, dan ekonomi lansia tersebut pertanyaan penelitian umum yang
diajukan adalah bagaimana hubungan pengasuhan cucu dan kesejahteraan
lansia?
Masalah Penelitian
Lansia merupakan tahapan penutup dalam rentang hidup seseorang yang mana
pada tahapan ini seseorang akan mengalami penurunan fungsi fisik dan juga
dibutuhkannya dukungan sosial yang lebih dari tahapan sebelumnya. Tahapan ini
lansia membutuhkan perhatian serta dukungan lebih khususnya dukungan sosial
dan juga ekonomi, namun kenyataannya banyak lansia yang masih melakukan
berbagai kegiatan pengasuhan cucu dan menjalankan fungsinya sebagai keluarga
luas. Peran keluarga luas tersebut dilakukan lansia dengan melakukan kegiatan
pengasuhan baik separuh waktu (pagi atau siang hari saja) dan juga melakukan
kegiatan pengasuhan selama 24 jam, artinya rumah tangga lansia menjadi orang
dewasa yang bertanggung jawab atas pengasuhan sehari-hari. Berdasarkan
penelitian sebelumnya ditemukan bahwa alasan lansia melakukan kegiatan
pengasuhan selama 24 jam atau satu hari penuh dapat dibedakan menjadi tiga hal,
pertama karena orang tua sibuk bekerja, kedua karena orangtua bercerai dan ketiga,
karena orangtua meninggal (Mulyati 2012). Dengan ditemukan fakta tersebut dapat
dibuat perumusan masalah, bagaimana hubungan kondisi pengasuhan cucu yang
meliputi alasan pengasuhan, jumlah cucu dan usia cucu dengan kesehatan fisik,
kondisi psikologis, hubungan sosial, sistem dukungan dan kesejahteraan lansia?
Kualitas hidup merupakan persepsi individu dari posisi laki-laki atau
perempuan dalam hidup ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai dimana lakilaki atau perempuan itu tinggal, dan berhubungan dengan standar hidup, harapan,
kesenangan, dan perhatian. Hal ini merupakan konsep tingkatan, terangkum secara
kompleks mencakup kesehatan fisik seseorang, status psikologis, tingkat
kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan dengan karakteristik lingkungan (WHO
1994 dalam Mulyati 2012). WHOQOL-BREF mengungkapkan terdapat empat
aspek yang mempengaruhi kualitas hidup yaitu kesehatan fisik, kesehatan
psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. Berbagai aspek tersebut dapat
dipengaruhi oleh kegiatan keseharian yang dilakukan individu termasuk
didalamnya kegiatan pengasuhan yang dilakukan oleh lansia. Chercye, et al..
(2008) dalam Mulyati (2012) menyebutkan bahwa permasalahan kemiskinan juga
disebabkan oleh ketidakmapuan lansia untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Hal
ini disebabkan oleh minimnya kesempatan lansia untuk memasuki pasaran tenaga
kerja. Dengan ditemukan fakta tersebut dapat dibuat perumusan masalah,
bagaimana hubungan status pengasuhan cucu dengan kesehatan fisik, kondisi
psikologis, hubungan sosial, sistem dukungan dan kesejahteraan lansia?

4

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Menganalisis hubungan kondisi pengasuhan cucu yang meliputi alasan
pengasuhan, jumlah cucu yang diasuh dan usia cucu dengan kondisi
kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, sistem dukungan dan
kesejahteraan lansia
2. Menganalisis hubungan status pengasuhan cucu dan kondisi kesehatan fisik,
psikologis, hubungan sosial, sistem dukungan dan kesejahteraan lansia
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi akademisi, dapat memperkaya ilmu dan wawasan yang telah
didapatkan serta dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah didapatkan
2. Bagi pemerintah, dapat memberikan sumbangan informasi mengenai
pengaruh pengasuhan cucu terhadap kesejahteraan lansia sehingga dapat
lebih memperhatikan kesejahteraan lansia
3. Bagi swasta, dapat memberikan referensi mengenai pengaruh pengasuhan
cucu terhadap kesejahteraan lansia
4. Bagi masyarakat, dapat memberikan wawasan mengenai pengaruh
pengasuhan cucu terhadap kesejahteraan lansia

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Lanjut Usia
Pengertian Lansia
Lanjut usia selanjutnya disebut lansia sebagai tahap akhir siklus kehidupan
merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu
yang mencapai usia lanjut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari
(Depkes RI 1999). Menurut Undang-Undang RI No. 13 Tahun 1998 tentang
kesejahteraan lansia, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke
atas. BKKBN untuk mendefinisikan batasan lanjut usia terdapat tiga aspek yang
perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara
biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan
terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin
rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian (Mulyati
2012).
WHO (1998) menunjukkan lansia didefinisikan kedalam beberapa konteks,
secara biologis penuaan dimulai setidaknya saat masa puber dan merupakan proses
yang berkesinambungan di sepanjang kehidupan masa dewasa. Secara sosial lansia
merupakan karakteristik anggota atau kelompok penduduk yang dianggap tua baik
dari konteks budaya maupun dari kondisi antar generasi, secara ekonomi lansia
dapat diartikan sebagai pensiunan dari angkatan kerja, namun dalam beberapa
negara yang berlandaskn hukum lansia terkadang masih melanjutkan pekerjaan atau
kegiatan ekonomi sebagai kontribusi terhadap masyarakat melalui kegiatankegiatan.
Lansia pada penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah lansia
dengan status mengasuh cucu dan lansia dengan status tidak mengasuh cucu. Lansia
mengasuh cucu merupakan rumahtangga lansia yang melakukan kegiatan
pengasuhan cucu dan tinggal bersama lansia dalam rumahtangga lansia. Lansia
tidak mengasuh cucu merupakan rumahtangga lansia yang tidak melakukan
kegiatan pengasuhan cucu.
Batasan Lansia
Lanjut usia dimulai sejak usia 60 tahun sesuai dengan yang tertera pada
Undang-Undang no. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia (pasal 1 ayat 2).
Menurut PP nomor 43 tahun 2004 Pasal 1 ayat 4 dan 5, kondisi lansia di Indonesia
dapat dibedakan menjadi lansia potensial dan lansia tidak potensial. Lansia
potensial adalah lansia yang masih mempunyai kemampuan untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri seperti dengan bekerja dan biasanya tidak bergantung kepada
orang lain. Sedangkan lansia tidak potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya
mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada orang lain.
Lansia berdasarkan usianya dibedakan menjadi beberapa kategori. Menurut
WHO lanjut usia meliputi usia pertengahan (middle age) dengan kelompok usia 4559 tahun, usia lanjut (elderly) dengan kelompok usia 60-70 tahun, usia lanjut tua

6

(old) dengan kelompok usia antara 75-90 tahun dan usia sangat tua (very old)
dengan kelompok usia di atas 90 tahun. Ukuran lain dari batasan usia lansia
dikemukakan oleh BPS dalam Statistik Penduduk Lansia (2013) menyebutkan
terdapat empat batasan usia lansia, pertama pra lansia yaitu usia 45-59 tahun, lansia
muda yaitu 60-69 tahun, lansia madya adalah 70-79 tahun dan terakhir lansia tua
yaitu lansia usia 80 tahun ke atas.
Ciri – Ciri Lansia
Lansia memiliki beberapa karakteristik, Salamah (2005) menyebutkan ciri –
ciri lansia antara lain dengan adanya perubahan yang nampak seperti gejala-gejala
kemunduran fisik dan kemunduran mental. Pada perubahan fisik lansia ciri-cirinya
adalah rambut menipis dan memutih, kulit kasar dan keriput, otot-otot mengendor,
gerakan badan kurang lincah, gigi keropos, dan tanggal, kurang pengelihatan,
kurang pendengaran, berat badan mcningkat, lemak bertambah. Sedangkan pada
perubahan psikologis lansia ciri-cirinya emosional atau mudah tersinggung,
mengalami regresi (tingkah laku mundur ke belakang seperti anak kecil), manja,
cengeng, mudah lupa, pikun, ilusi (salah tangkap) delusi (menganggap disekitarnya
jelek) dan Neurasthenia (lelah, letih, sensitif terhadap suara, cahaya). Pada dasarnya
ciri fisik maupun psikologis saling berkaitan erat, menurunnya kondisi fisik lansia
akan berpengaruh pada kondisi psikologisnya.
Selain ciri perubahan fisik dan psikologis, lansia juga memiliki beberapa
kelebihan dalam kehidupan sosial di masyarakat, menurut (Partini 2000) dalam
(Salamah 2005) lansia adalah orang yang terhormat, diharapkan tutur, wuwur dan
sumbemya, serta sumber daya manusia yang memiliki pengalaman dan kearifan,
tempat bertanya guna meningkatkan mutu kehidupan masyarakat.
Perubahan yang dialami lansia dari segi sosial adalah lansia mengalami
penurunan interaksi antara diri lansia dengan kelompok. Interaksi yang terjadi
adalah kelompok yang lebih mempunyai kuasa akan mendapatkan keuntungan yang
besar, yang pada umumnya adalah kelompok yang lebih muda. Hal tersebut bisa
terjadi karena lansia mulai menarik diri dari kehidupan sosial, status kesehatannya
menurun, penghasilan berkurang, dan terbatasnya program untuk memberi
kesempatan lansia tetap berinteraksi maupun dalam melakukan kegiatan ekonomi
(Komnaslansia 2006). Menurut Nugroho (2006) dalam Sutikno (2011) perubahan
psikososial yang terjadi pada diri lansia antara lain lansia akan mengalami masa
pensiun sehingga akan kehilangan finansial, status, teman atau kenalan, pekerjaan
atau kegiatan, lansia merasakan sadar akan kematian, perubahan dalam cara hidup
lansia, perubahan ekonomi (economic deprivation), penyakit kronis dan
ketidakmampuan dan kehilangan teman, famili, serta relasi, selain itu hilangnya
kekuatan dan ketegapan fisik: penggambaran diri, perubahan konsep diri.
Perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam kondisi fisik, psikologi, sosial dan
ekonomi tersebut secara langsung dan tidak langsung akan menimbulkan dampak
bagi pemenuhan kesejahteraan lansia
Empty-Nest
Empty-Nest syndrome merupakan rasa kesepian dan kehilangan yang
dialami oleh orangtua pada masa postparental dimana anak telah meninggalkan
rumah dan orangtua tidak lagi melakukan kegiatan pengasuhan. Dahulu di Amerika

7

empty-nest syndrome identik dengan menurunnya pendapatan rumah tangga karena
anak tidak lagi membantu orangtua dalam mengerjakan kegiatan di ladang atau
pekerjaan lainnya sehingga orangtua harus bekerja keras untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya (Newman dan Grauerholz 2002).
Saat ini fenomena empty-nest syndrome di Amerika berubah, orangtua akan
merasa bahagia dan terdapat perasaan lega saat anak telah meninggalkan rumah.
Hal tersebut karena orangtua merasa beban untuk mengurus keluarga berkurang dan
orangtua memiliki waktu lebih untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang disenangi
seperti melakukan hobi atau menghabiskan waktu dengan pasangan sehingga
orangtua atau lansia akan menolak jika anak meminta bantuan untuk melakukan
kegiatan pengasuhan cucu. Fenomena ini dapat berbeda berdasarkan etnis.
Keluarga imigran Rusia adalah salah satu kelompok masyarakat yang melakukan
kegiatan pengasuhan cucu dan tinggal bersama sebagai suatu hal yang bernilai bagi
lansia untuk mengatasi empty-nest syndrome. Empty-nest syndrome pada penduduk
di Indonesia akan cenderung lebih dirasakan oleh wanita. Baik wanita bekerja
maupun tidak bekerja keduanya akan mengalami empty-nest syndrome setelah anak
keluar dari rumah, namun tingkatan stres yang terjadi karena empty-nest syndrome
akan berbeda antara wanita bekerja dan tidak bekerja. Wanita tidak bekerja akan
cenderung mendapatkan tingkat stres yang lebih tinggi dibandingan dengan wanita
yang tidak bekerja (Utami dan Puspitadewi 2013).
Kesejahteraan Lansia
Kesejahteraan lansia menurut UU No. 13 tahun 1998 pasal 1 adalah suatu tata
kehidupan dan penghidupan sosial baik material maupun spiritual yang diliputi oleh
rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi
setiap warga negara untuk mengadakan pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan
sosial yang sebaik baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia sesuai dengan Pancasila.
Secara umum kesejahteraan lansia dilihat dari segi sosial dan ekonomi.
Kesejahteraan sosial diukur dengan menggunakan ukuran kesejahteraan
subjektif. Simanjuntak (2010) menyebutkan kesejahteraan subjektif yaitu
pengukuran kesejahteraan dengan menggunakan pengukuran kepuasan terhadap
kebahagiaan, kondisi emosi yang gembira, kepuasan hidup dan relatif tidak adanya
semangat dan emosi yang tidak menyenangkan. Berdasarkan penjelasan tersebut
instrumen yang digunakan dalam mengukur kesejahteraan sosial adalah kualitas
hidup oleh WHO pada tahun 2004. Kesejahteraan ekonomi tidak diukur dengan
menggunakan ukuran objektif dengan ukuran dari pendapatan. Kesejahteraan
ekonomi lansia diketahui dengan menggunakan indikator kesejahteraan BPS pada
tahun 2014 yaitu taraf dan pola konsumsi yang mengukur kesejahteraan
berdasarkan pengeluaran baik makanan dan bukan makanan. Pengeluaran lebih
tepat digunakan sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi karena lansia cenderung
tidak mendapatkan penghasilan tetap. Data Statistik Penduduk Lansia (BPS 2013)
menyebutkan dari keseluruhan lansia hanya 46,63 % yang masih aktif bekerja. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa hanya kurang dari sebagian lansia di Indonesia
yang memiliki pendapatan tetap.

8

Kualitas Hidup
Hidup lansia yang berkualitas merupakan kondisi fungsional lansia pada
kondisi optimal, sehingga mereka bisa menikmati masa tuanya dengan penuh
makna, membahagiakan dan berguna (Sutikno 2011). Ada beberapa faktor yang
menyebabkan seorang lansia untuk tetap bisa berguna dimasa tuanya, yakni;
kemampuan menyesuaikan diri dan menerima segala perubahan dan kemunduran
yang dialami, adanya penghargaan dan perlakuan yang wajar dari lingkungan lansia
tersebut, lingkungan yang menghargai hak-hak lansia serta memahami kebutuhan
dan kondisi psikologis lansia dan tersedianya media atau sarana bagi lansia untuk
mengaktualisasikan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Kesempatan yang
diberikan akan memiliki fungsi memelihara dan mengembangkan fungsi-fungsi
yang dimiliki oleh lansia.
Pada tahun 1991 bagian kesehatan jiwa WHO memulai proyek organisasi
kualitas kehidupan dunia (WHOQOL). Tujuan dari proyek ini adalah untuk
mengembangkan suatu instrumen penilaian kualitas hidup yang dapat dipakai
secara nasional dan secara antar budaya. Instrumen WHOQOL-BREF ini telah
dikembangkan secara kolaborasi dalam sejumlah pusat dunia dan telah dilakukan
uji validitas dan reabilitas. WHOQOL-BREF merupakan instrumen pengukuran
kualitas hidup yang merupakan bentuk singkat dari WHOQOL-100. WHOQOL100 sebelumnya telah diaplikasikan dalam 15 negara dan 15 bahasa sehingga WHO
telah berhasil mengatasi masalah yang paling kontroversial tentang emics dan etics
dengan mengaplikasikan kuesioner yang sama pada berbagai budaya yang berbeda
(Salim et al.. 2007). Penelitian yang dilakukan Salim et al.. (2007) juga menemukan
bahwa instrumen WHOQOL-BREF memiliki nilai validitas diskriminan, validitas
konstruk dan konsistensi internal baik sehingga dapat digunakan sebagai instrumen
untuk melakukan penelitian mengenai kualitas hidup lansia dengan perbaikan pada
pertanyaan mengenai seks dan perasaan negatif. Menurut Hwang et al.. (2003)
WHOQOL-BREF merupakan instrumen yang sesuai untuk mengukur kualitas
hidup lansia dengan jumlah responden yang kecil, mendekati distribusi normal dan
mudah menggunakannya.
Instrumen WHOQOL-BREF terdiri atas 4 domain dan 26 item (WHO 2004):
1. Kesehatan Fisik
Penyakit, kegelisahan tidur dan beristirahat, energi dan kelelahan,
mobilitas, aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada obat dan bantuan
medis, kapasitas pekerjaan.
2. Psikologis
Perasaan positif, berfikir, belajar, mengingat dan konsentrasi, self esteem,
penampilan dan gambaran jasmani, perasaan negatif, kepercayaan individu
3. Hubungan sosial
Hubungan pribadi, dukungan sosial, aktivitas seksual
4. Sistem Dukungan
Kebebasan, keselamatan fisik dan keamanan, lingkungan rumah, sumber
keuangan, kesehatan dan kepedulian sosial, peluang untuk memperoleh
ketrampilan dan informasi baru, keikutsertaan dan peluang untuk
berekreasi, aktivitas dilingkungan, transportasi.

9

Instrumen WHOQOL-BREF merupakan suatu instrumen yang sesuai untuk
mengukur kualitas hidup dari segi kesehatan terhadap lansia dengan jumlah
responden yang kecil, mendekati distribusi normal, dan mudah untuk
penggunaannya (Sutikno 2011). Selain itu dalam Sutikno (2011) disebutkan bahwa
kualitas hidup lansia merupakan suatu komponen yang kompleks, mencakup usia
harapan hidup, kepuasan dalam kehidupan, kesehatan psikis dan mental, fungsi
kognitif, kesehatan dan fungsi fisik, pendapatan, kondisi tempat tinggal, dukungan
sosial dan jaringan sosial.
Kualitas hidup lansia tidak hanya dapat diukur dengan menggunakan instrumen
WHOQOL saja tetapi juga dapat dihitung berdasarkan index keamanan ekonomi
dari Lansia. Publikasi yang diterbitkan oleh The Gerontology Institute
menyebutkan bahwa dalam usia 65 tahun atau lebih Lansia akan menemui kesulitan
dalam memenuhi kebutuhannya dan juga untuk menyamakan posisi dalam
masyarakat. Hal ini dapat terjadi akibat penyakit yang diderita, kehilangan partner
hidup (suami atau istri) atau ketidakmampuan dalam melaksanakan tugas seharihari. Hal ini menyebabkan tingkat ekonomi lansia akan cenderung menurun karena
pemasukan yang mungkin tidak mencukupi kebutuhan hidupnya.
Sistem Dukungan (Ekonomi)
Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan
ekonomi rumah tangga/keluarga (BPS 2014). Pengeluaran rumah tangga dibedakan
menurut kelompok makanan dan bukan makanan. Selama ini berkembang
pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan
terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran
kesejahteraan rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran
yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga tersebut
berpenghasilan rendah. Makin tinggi penghasilan rumah tangga, maka makin kecil
proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga.
Dengan kata lain rumah tangga atau keluarga cenderung semakin sejahtera bila
persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase
pengeluaran untuk non makanan.
Perubahan pendapatan seseorang akan berpengaruh pada pergeseran pola
pengeluaran. Semakin tinggi pendapatan, cenderung akan semakin tinggi
pengeluaran untuk bukan makanan. Pergerseran pola pengeluaran terjadi karena
elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya rendah, sebaliknya
elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya tinggi.
Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi
makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan bukan makanan atau ditabung. Dengan
demikian, pola pengeluaran dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk
mengukur tingkat kesejahteraan penduduk, dimana perubahan komposisinya
digunakan sebagai petunjuk perubahan tingkat kesejahteraan.
Pengeluaran bukan makanan memiliki lima indikator yaitu perumahan,
barang dan jasa, pakaian, barang tahan lama dan lainnya. Kelima indikator tersebut
akan menentukan kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan primer,
sekunder dan juga tersier. Pengeluaran baik makanan dan bukan makanan rata-rata
perkapita masyarakat Indonesia disajikan dalam Tabel berikut,

10

Tabel 1 Jumlah dan persentase rata-rata pengeluaran masyarakat per kapita
sebulan Indonesia tahun 2014

Makanan
Bukan Makanan
Perumahan
Barang dan Jasa
Pakaian
Barang Tahan Lama
Lainnya

Pengeluaran Rata-Rata per Kapita Sebulan
Nominal (Rp)
Persentase (%)
2012
2013
2012
2013
323.478
356.435
51,08
50,66
309.791
347.126
48,92
49,34
133.331
142.088
21,05
20,20
112.980
130.263
17,84
18,51
11.044
14.527
1,74
2,06
32.597
37.863
5,15
5,38
19.839
22.385
3,13
3,18

Jumlah

633.269

Jenis Pengeluaran

703.561

100

100

Sumber: BPS 2014
Tabel 1 menunjukkan jika indikator pengukuran dukungan ekonomi di atas
dapat juga diterapkan dalam rumah tangga lansia. Hal ini karena rumah lansia juga
merupakan unit sistem sosial yang melakukan konsumsi terhadap baik kebutuhan
makanan dan bukan makanan. Selain itu indikator tersebut lebih tepat karena lansia
cenderung akan memiliki ragam pemasukan yang cukup besar sehingga
perhitungan dengan menggunakan ukuran pengeluaran akan lebih tepat.
Pengasuhan Cucu
Keluarga merupakan lembaga sosial dasar dalam masyarakat. Keluarga inti
merupakan keluarga yang didasarkan pada pertalian perkawinan atau kehidupan
suami istri. Selain itu terdapat pula keluarga meluas yang merupakan keluarga inti
berikut kerabat lain dengan siapa hubungan baik dipelihara dan dipertahankan
(Yulion 2013). Keluarga meluas biasanya adalah keluarga yang dari ibu yang
merasa harus turut bertanggungjawab dalam pengasuhan. Penelitian oleh
CHAMPSEA tahun 2013 di Asia Tenggara pengasuhan anak akan cenderung
diberikan kepada saudara ibu atau kakek-nenek. Meluasnya definisi keluarga atau
keluarga luas biasanya terjadi karena ketidakmampuan orangtua untuk mengurus
anak akibat sibuk bekerja, cerai atau mati (Perayani 2013).
Menurut penelitian Hayslip dan Kaminski (2005) grandparenting adalah
fenomena pengasuhan cucu oleh kakek dan nenek. Kegiatan pengasuhan tersebut
dihubungkan dengan ketidakmampuan orangtua untuk melakukan kegiatan
pengasuhan dimana ketidakmapuan tersebut juga dapat dihubungkan dengan
ketidakmampuan ekonomi orangtua. Mengasuh cucu merupakan kegiatan
pengasuhan cucu meliputi kegiatan merawat, menjaga, mendidik, membimbing,
memimpin dan memenuhi kebutuhan cucu.
Kegiatan pengasuhan oleh kakek dan nenek dapat memenuhi kebutuhan
akan cinta, perlindungan, penyemangat dan struktur keluarga bagi cucu yang
memiliki masalah dalam keluarga intinya. Waktu maksimal untuk melakukan
pengasuhan yang ideal bagi lansia adalah sembilan jam per minggu. Menurut

11

penelitian Hayslip dan Keminski (2005) dukungan sosial merupakan komponen
penting yang dapat mendukung kondisi kesehatan fisik dan mental lansia yang
melakukan kegiatan pengasuhan cucu juga mendukung lansia untuk dapat
memenuhi kebutuhan kegiatan pengasuhan.
Hayslip dan Kaminski (2005) juga menyebutkan bahwa pengasuhan anak
oleh kakek dan nenek tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangan dari
sistem pengasuhan ini antara lain kakek dan nenek akan cenderung mendapat
dampak negatif bagi personal, interpersonal dan konsekuensi ekonomi termasuk di
dalamnya akan semakin miskinnya keadaan fisik dan kesehatan mental. Selain itu
kakek dan nenek akan mengalami peran yang berlebihan dan membingungkan serta
kakek dan nenek akan terisolasi dari kelompok sebaya dan cucu yang tidak diasuh.
Kegiatan grandparenting juga memiliki kelebihan, pertama, kakek dan
nenek akan merasa lebih dekat dengan keluarga serta lebih merasa bertanggung
jawab terhadap keluarga. Dampak postif kedua, kakek dan nenek akan memiliki
semangat hidup dan tujuan hidup kembali dan juga kakek dan nenek akan memiliki
perasaan turut andil dalam menjaga keberlanjutan identitas dan kesejahteraan
keluarga. Kelebihan lain dari kegiatan pengasuhan cucu oleh kakek dan nenek
adalah kegiatan pengasuhan tersebut merupakan kegiatan pengasuhan kedua yang
lansia lakukan setelah mengasuh anak mereka sehingga lansia dapat belajar dari
pengalaman sebelumnya dan meningkatkan kemampuan pengasuhan. Dampak
positif ini juga diterima oleh cucu karena cucu akan merasa lebih aman selain itu
kakek dan nenek akan menjadi peran pengganti yang lebih baik dibandingkan
dengan orangtua tunggal. Pengalaman pengasuhan sebelumnya yang dialami kakek
dan nenek banyak berperan dalam hal tersebut.
Selain itu dampak positif lain dari kegiatan pengasuhan cucu bagi kakek dan
nenek menurut penelitian yang dilakukan oleh Pujiatni (2013) adalah keberadaan
waktu bersama-sama keluarga pada masa luang yang dimilikinya merupakan wadah
bagi kakek-nenek untuk mempertahankan kedekatan dengan anggota keluarga dan
menjaga ikatan antar generasi. Usaha mendekatkan diri pada cucu merupakan suatu
cara untuk memberikan bimbingan nilai – nilai keluarga dalam kondisi pemahaman
yang lebih mendalam sebagai hasil refleksi mereka atas perjalanan hidupnya. Hal
yang menarik dalam penelitian ini ditemukan bahwa nilai diturunkan secara
hirarkis, dari orang tua kepada anak dan kakek-nenek memiliki peran sebagai
pengawas. Tidak nampak adanya transmisi langsung dari kakek-nenek pada
cucunya, selain pendampingan terhadap perilaku-perilaku dasar seperti
mengingatkan untuk makan atau mandi teratur. Berdasarkan pengamatan tersebut,
nampak bahwa budaya memberikan peran yang cukup kuat dalam pola interaksi
yang terbentuk. Perilaku altruis dan sopan santun merupakan luaran yang muncul
secara umum dalam pengasuhan yang melibatkan kakek dan nenek.
Hal menarik lain dalam pengasuhan cucu yaitu pengasuhan cucu memiliki
berbagai macam jenis. Perbedaan ini dapat diakibatkan oleh etnis pelaku
grandparenting itu sendiri. Selain itu grandparenting juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan hubungan antara kakek nenek dengan cucu. Keberhasilan dalam
program grandparenting juga sangat berhubungan dengan dukungan sosial dan
keluarga dan juga karakteristik cucu yang diasuh oleh lansia. Berbagai
permasalahan yang dialami oleh cucu atau juga disebut left-behind children
menjadikan kegiatan pengasuhan cucu oleh lansia memiliki karakteristik yang
cukup beragam (Guanchen dan Shijie 2014).

12

Kerangka Pemikiran
Lansia merupakan tahapan terakhir dalam kehidupan manusia. Saat
memasuki tahapan lansia, manusia banyak mengalami perubahan pada fisik dan
juga psikologis. Perubahan-perubahan berupa kemunduran kondisi fisik berupa
tidak berfungsi dengan baiknya beberapa anggota tubuh, berkurangnya energi dan
kemunduran fungsi organ juga kemunduran psikologis seperti emosional atau
mudah tersinggung, mengalami regresi (tingkah laku mundur ke belakang seperti
(anak kecil), manja, cengeng, mudah lupa, pikun, ilusi (salah tangkap), delusi
(menganggap disekitarnya jelek) dan neurasthenia (lelah, letih, sensitif terhadap
suara, cahaya) sangat mempengaruhi aktivitas lansia. Namun di Indonesia,
kemunduran kondisi lansia tersebut tetap menjadikan lansia memenuhi kewajiban
sebagai anggota keluarga luas. Keluarga luas di Indonesia biasanya merupakan
garis keturunan maternal dimana salah satu tugasnya adalah membantu kegiatan
pengasuhan anak atau cucu. Kegiatan pengasuhan cucu tersebut tentu akan menyita
waktu dan juga tenaga lansia. Hal tersebut akan mempengaruhi kualitas hidup
Lansia.
Berdasarkan WHOQOL terdapat 4 domain dan 26 item penilaian yang
dijadikan tolak ukur kualitas hidup lansia meliputi, kesehatan fisik (penyakit,
kegelisahan tidur dan beristirahat, energi dan kelelahan, mobilitas, aktivitas seharihari, ketergantungan pada obat dan bantuan medis, kapasitas pekerjaan), psikologis
(perasaan positif, berfikir, belajar, mengingat dan konsentrasi, self esteem,
penampilan dan gambaran jasmani, perasaan negatif, kepercayaan individu),
hubungan sosial (hubungan pribadi, dukungan sosial, aktivitas seksual),
Lingkungan (kebebasan, keselamatan fisik dan keamanan, lingkungan rumah,
sumber keuangan, kesehatan dan kepedulian sosial, peluang untuk memperoleh
ketrampilan dan informasi baru, keikutsertaan dan peluang untuk berekreasi,
transportasi) (WHO 2004).
Status Pengasuhan Cucu Rumah Tangga Lansia

Kondisi Pengasuhan Cucu

Rumah Tangga
Lansia Mengasuh
Cucu

Rumah Tangga
Lansia Tidak
Mengasuh Cucu

1. Alasan pengasuhan cucu
2. Usia cucu tertua yang
diasuh
3. Jumlah cucu yang diasuh
Kesejahteraan Lansia
Kualitas Hidup Lansia (WHOQOL 2004)
1. Kesehatan Fisik
2. Psikologis
3. Hubungan Sosial
4. Sistem Dukungan
Berhubungan

13

Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut:
1. Diduga terdapat hubungan antara kondisi pengasuhan cucu yang
meliputi alasan pengasuhan, jumlah cucu yang diasuh dan usia cucu
dengan tingkat kesehatan fisik, tingkat kondisi psikologis, tingkat
hubungan sosial, tingkat sistem dukungan dan, tingkat kesejahteraan
lansia.
2. Diduga terdapat hubungan antara status pengasuhan cucu dengan
tingkat kesehatan fisik, tingkat kondisi psikologis, tingkat hubungan
sosial, tingkat sistem dukungan dan, tingkat kesejahteraan lansia.

14

PENDEKATAN LAPANG
Pendekatan lapang menggambarkan mengenai pendekatan penelitian yang
digunakan di lapangan. Pendekatan lapang meliputi pendekatan penelitian, lokasi
dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik pengolahan dan
analisis data baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Lokasi dan waktu penelitian
menggambarkan mengenai pemilihan lokasi dan waktu yang diperlukan untuk
penelitian mulai dari penyusunan proposal hingga laporan penelitian. Teknik
pengumpulan data merupakan pendekatan yang digunakan dalam menggali data
dan informasi baik melalui kuesioner ataupun wawancara terstruktur kepada
responden dan informan. Teknik pengolahan analisis data merupakan pendekatan
untuk menggambarkan cara pengolahan data yang diperoleh dari hasil penelitian
yang kemudian di analisis sesuai dengan tujuan dan hipotesis yang diajukan.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang didukung dengan data
kualitatif. Metode kuantitatif yang didukung data kualitatif digunakan untuk
mencari hubungan antar variabel yang diuji, yaitu hubungan kondisi pengasuhan
cucu oleh lansia dengan kesejahteraan lansia dan status pengasuhan cucu terhadap
kesejahteraan lansia di Desa Banjarsari, Kecamatan Glagah, Kabupaten
Banyuwangi. Hasil penelitian akan dijelaskan secara deskriptif namun tetap fokus
pada hubungan antar variabel yang menguji hipotesa.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Banjarsari, Kecamatan Glagah, Kabupaten
Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur (Lampiran 1). Alasan memilih lokasi tersebut
adalah Jawa Timur merupakan lokasi ketiga dengan jumlah lansia paling tinggi di
Indonesia (Statistik Lansia 2013) dan 12% dari total penduduk Desa Banjarsari
merupakan lansia. Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan, yaitu
terhitung sejak pertengahan bulan Januari 2016 sampai bulan Oktober 2016.
Kegiatan pengambilan data lapang dilaksanakan pada bulan April 2016.
Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium,
perbaikan proposal skripsi, pengambilan data lapang, pengolahan dan analisis data,
penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi.
Selama penelitian berlangsung, pengumpulan data dan informasi dilakukan oleh
peneliti melalui interaksi langsung dengan lansia yang menjadi responden dan
berberapa pihak yang menjadi informan dalam penelitian ini.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi:
1. Data sekunder, meliputi berbagai sumber rujukan/literatur berupa dokumendokumen yang berhubungan dengan topik penelitian, profil dan data
monografi lokasi penelitian, serta data dari beberapa badan atau pihak.
2. Data primer, yang diperoleh dari wawancara dengan responden dan
informan.

16

Populasi dalam penelitian adalah rumah tangga lansia di Desa Banjarsari,
Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Responden penelitian ditentukan
dengan menggunakan teknik sampling probability dengan menggunakan metode
pengambilan sampel acak sederhana.
Kriteria responden yang pertama adalah rumah tangga lansia yang memiliki
kepala keluarga lansia yang berusia 60 tahun ke atas dan tinggal bersama cucu.
Kriteria grup kont