Tinjauan fikih terhadap bentuk pemaksaan hubungan seksual suami kepada istri

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.)

Oleh :

Veratih Iskadi Putri NIM : 107043101798

PROGRAM STUDY PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H/2011 M


(2)

Skripsi

Oleh:

Veratih Iskadi Putri NIM : 107043101798

Dibawah Bimbingan Dosen Pembimbing:

Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF NIP. 150050917

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H/2011 M


(3)

PEMAKSAAN HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI KEPADA ISTRI,” telah

diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu

Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum

dengan Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqh.

Jakarta, 27 September 2011

Dekan, Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP : 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : DR. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., NIP : 196511191998031002

Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si NIP : 197412132003121002

Pembimbing : Prof. Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF NIP. 150050917

Penguji I : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. NIP : 195703121985031003

Penguji II : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si NIP : 197412132003121002


(4)

Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan, penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:

TINJAUAN FIKIH TERHADAP BENTUK PEMAKSAAN HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI KEPADA ISTRI

Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya otomatis batal demi hukum.

Jakarta, 06 September 2011 Penulis

Veratih Iskadi Putri NIM. 107043101798


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta : 06 September 2011


(6)

i

Puji Syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, kesehatan serta telah melimpahkan Hidayah serta Inayah-Nya sehingga penulis mampu melangkah kepada hal yang lebih positif serta mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Tinjauan Fikih Terhadap Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual

Suami Kepada Istri” sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Madzhab Fikih (PMF) Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawatullah Wasalamuhu, semoga senantiasa terlimpahkan kepada revolusioner penggagas kedamainan dan kebenaran serta kebajikan yaitu baginda Rasulullah SAW.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari beberapa pihak terkait yang telah banyak memberikan motivasi serta kritikan yang kostruktif. Untuk itu penulis mempersembahkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembantu Dekan I, II, III yang telah membimbing dan memberikan ilmu kepada penulis.


(7)

ii

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengarahan serta waktu kepada penulis disela-sela kesibukan beliau.

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga membimbing, meluangkan waktu dan mengarahkan segenap aktifitas yang berkenaan dengan jurusan.

4. Bapak Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF. MA., selaku pembimbing, atas segala nasehat, petunjuk serta jerih payah yang dengan sabar dan telaten membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. Seluruh dosen-dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta kepada karyawan dan staf perpustakaan yang telah memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

6. Yang sangat penulis cintai dan hormati Ibu (Diah Utami) dan Ayah (H. Muhammad Ishak), adik (Dwi Elda, Yus Rizal, Muhammad Ali Ridho) yang

selalu memberikan motivasi serta do’a yang tiada henti kepada Allah SWT. Terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada keluarga yang selalu memberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir perkuliahan (skripsi) dengan baik.


(8)

iii

Semoga atas bantuan dan dorongan yang dicurahkan kepada penulis akan menjadi amal ibadah yang diterima di sisi Allah SWT. Dan semoga mendapatkan balasan yang setimpal dari-Nya. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini jauh dari kesempurnaan, semua itu karena keterbatasan pengetahuan serta ketajaman analisis yang penulis miliki. Harapan penulis mudah-mudahan karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan para pembaca pada umumnya. Amin.

Jakarta, 16 Agustus 2011


(9)

iv

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Pembahasan ... 9

BAB II : TINJAUAN UMUM A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT ... 11

B. Pengertian KDRT Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 ... 16

C. Pasal-Pasal Kekerasan Seksual Dalam Undang-Undang P-KDRT ... 28

D. Relasi Suami Istri Menurut Islam ... 31

BAB III : PENYAJIAN BAHAN HUKUM PENELITIAN A. Bentuk-Bentuk Pemaksaan Seksual Suami Terhadap Isteri Dalam Rumah Tangga Perspektif Fikih ... 43

B. Bentuk-Bentuk Pemaksaan Seksual Suami Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Perspektif Undang-undang No. 23 Tahun 2004 ... 51


(10)

v

BAB IV: PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP SALINAN

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN TENTANG KEKERASAN SEKSUAL

A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Undang-Undang NO.23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT Mengenai Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Kepada Istri ... 74 B. Relevansi Hukum Islam Dengan Hukum Positif Mengenai Masalah Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Kepada Istri ... 78 C. Analisis Hukum Islam Dalam Pemaksaan Hubungan Seksual Antara Suami Kepada Istri ... 82

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 85 B. Saran-Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88 LAMPIRAN


(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri serta hidup damai dalam rumah tangga ialah sesuatu yang pasti sangat diidamkan oleh setiap pasangan suami istri. Akan tetapi semua impian itu akan berubah menjadi kenyataan yang menyakitkan apabila didalamnya ternyata dinodai dengan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Di dalam bukunya, Zainuddin Ali menyebutkan bahwa perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dengan seorang wanita (suami-istri) yang mengandung nilai ibadah kepada Allah di satu pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri.1 Perkawinan merupakan suatu jalan utama untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan. Keeratan dan keharmonisan hubungan keduanya itu akan terwujud jika keduanya saling menjalankan kewajiban sebagai suami istri.2

Sesuai dengan hadits nabi Muhammad Saw yang berbunyi:

1

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h.51.

2

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar), Cet kelima, 2006, h.159-160.


(12)

Artinya: “Rasulullah SAW bersabda : Orang mukmin yang paling sempurna

imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya”. (HR. Tirmidzi)3

Pada prinsipnya, dalam hubungan seksual suami dan istri memiliki hak yang sama (keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri). Idealnya adalah persetubuhan yang yang bisa dinikmati oleh kedua belah pihak dengan kepuasan nafsu “birahi” sebagai manusia yang adil dan merata. Bukan persetubuhan yang dipaksakan oleh salah satu pasangannya baik dalam hal ini seorang suami, sementara sang istri dalam keadaan capek, sakit, tidak berselera, bahkan bisa jadi ketika datang bulan.

Selama ini kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istri (marital rape) sangat jarang mendapatkan perhatian dikalangan masyarakat. Suami yang memaksakan sebuah aktifitas senggama, jarang dimunculkan ke permukaan oleh istrinya. Lemahnya kedudukan istri dalam keluarga dan masyarakat menjadi salah satu penyebab. Lebih-lebih peran serta publik, yang berasumsi laki-laki mempunyai hak otonom di dalam keluarga. Pasalnya membuat laki-laki merasa berhak melakukan apa saja terhadap perempuan. Parahnya, kebanyakan dari kaum laki-laki menganggap perkawinan adalah legitimasi resmi atas kekuasaannya terhadap kaum perempuan.

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 sudah dijelaskan aturanya secara jelas, terkait dengan marital rape sebagai pemerkosaan terhadap

3Abu ‟Isa Muhammad Ibn ‟Isa, Ibn Saurah,

Sunnah at-Turmudzi, (Beirut : Dar al Fikr, 1994), h.387.


(13)

perempuan. Akan tetapi, sangat ironis pelaku kekerasan seksual terhadap istri yang terjadi di masyarakat hanya dijerat dengan Pasal 351, 353, dan 356 tentang penganiayaan. Hukuman yang jauh lebih ringan jika digolongkan ke dalam delik pemerkosaan. Pemerkosaan adalah bentuk kekerasan terberat yang dirasakan oleh perempuan. Akibatnya tidak hanya berdampak pada rusaknya organ fisik tapi juga psikis. Pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga jelas telah melanggar hak istri, karena seks adalah juga haknya. Aktivitas seksual yang didasari oleh pemaksaan menyebabkan hanya pihak suami saja yang dapat menikmati, sedang istri tidak sama sekali, bahkan tersakiti. Tanpa kehendak dan komunikasi yang baik antara suami dan istri, mustahil terjadi keselarasan akses kepuasaan. Hubungan seks yang dilakukan di bawah tekanan atau pemaksaan sama halnya dengan penindasan.

Dalam undang-undang KDRT pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psilokogis, dan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Perempuan yang secara berulang dan berkelanjutan menjadi korban pemerkosaan suaminya akan terjangkiti beberapa karakter, antara lain: Pertama, inferior (merasa rendah diri) dan tidak percaya diri. Kedua, kerap dan selalu merasa bersalah sebab ia membuat suami „kalap”. Ketiga, menderita gangguan reproduksi akibat perasaan tertekan atau stress, seperti infertilitas (kurang mampu menghasilkan keturunan) dan kacaunya siklus haid.


(14)

Berangkat dari problematika sosial inilah di mana seringkali terjadi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang suami terhadap isteri yang semestinya masuk dalam koridor tindakan kriminal, namun selalu berlindung dalam konsep agama dan adat, peneliti mencoba mengkaji ulang hal ini dari perspektif UU No. 23 Tahun 2004 dan fiqh Islam agar tidak lagi terdapat penyimpangan paham masyarakat tentang hukum Islam yang kesannya kurang memperhatikan bentuk-bentuk kekerasan seksual suami terhadap istri. Sebagaimana di dalam Hukum Islam, KDRT sama halnya dengan penganiayaan, dimana hal ini merupakan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan cedera atau cacat pada seseorang,4 sehingga pelaku KDRT dapat dikenakan sanksi tanpa melihat apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat apakah pelakunya laki-laki atau perempuan, tapi yang dilihat apakah dia melanggar hukum Allah SWT atau tidak.

Dalam Hukum Islam, orang yang melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan seperti lebam akibat pemukulan dengan benda keras, tidak dapat diganti dengan diyat karena sulit menetapkan ukuran diyatnya. Dalam hal ini hukuman penggantinya adalah ta‟zir yang ditetapkan oleh imam atau Negara melalui badan legislatifnya.5Tapi hukuman ta‟zir bisa menjadi hukuman qishas, apabila dengan menyebabkan hilangnya nyawa seseorang dengan sengaja. Allah

4

Madjloes, Pengantar Hukum Pidana Islam, (Jakarta : CV. Amalia), 1986, h.35

5

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor : Prenada Media Kencana), Cet.1, 2003, h.273


(15)

memerintahkan kepada hamba-hambanya. Apabila terjadi pertengkaran antara suami dengan istri, maka diselesaikan dengan cara damai. Istri memaafkan suami dengan tidak meminta imbalan atau istri memaafkan suami dengan menuntut diyat yaitu denda ganti rugi yang dibayar suami kepada istri dengan proses pengadilan karena perbuatan yg membuat istri cedera.6

Upaya penggalian bentuk kekerasan tersebut, penulis ingin mengetahui lebih dalam dengan mengangkat judul penelitian yaitu: “TINJAUAN FIKIH TERHADAP BENTUK PEMAKSAAN HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI KEPADA ISTRI

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada problematika sosial di atas, maka mendapatkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap istri dalam rumah tangga perspektif Fikih?

2. Bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap istri dalam rumah tangga perspektif Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT?

3. Bagaimana hukum melakukan pemaksaan hubungan seksual antara suami terhadap istri menurut fikih?

6

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, (Jakarta : Darul Haq), 2001, h.126-127.


(16)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menggambarkan bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap isteri dalam rumah tangga perspektif Fikih.

2. Untuk menggambarkan bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap isteri dalam rumah tangga perspektif Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT.

3. Untuk mengetahui hukum melakukan pemaksaan hubungan seksual antara suami terhadap istri menurut fikih.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian adalah deskripsi tentang pentingnya penelitian terutama bagi pengembangan ilmu atau pembangunan dalam arti luas, dengan arti lain, uraian dalam sub bab kegunaan penelitian berisi tentang kelayakan atas masalah yang diteliti. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Teoritis: sebagai bentuk usaha dalam mengembangkan khazanah keilmuan, baik penulis maupun mahasiswa fakultas syariah.

2. Praktis: dapat menghindari pola pikir sempit dan menyimpang tentang hukum islam yang mengindahkan bentuk kekerasan seksual suami terhadap istri.


(17)

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif, dikatakan penelitian deskriptif karena akan memberikan penjelasan atau pemaparan. Hasil penelitian ini bermaksud memberikan gambaran yang menyeluruh dan sistematis serta memberikan data yang seteliti mungkin.7 Dikatakan penelitian deskriptif karena di dalam penjelasan menggunakan metode yuridis normatif. Dikatakan penelitian yuridis normatif, karena bertujuan untuk menjelaskan dan menerangkan suatu produk hukum. Penelitian ini juga dapat dikatakan sebagai penelitian hukum positif, karena penelitian ini akan membahas norma hukum yang akan diterapkan di dalam masyarakat.

Adapun secara spesifik, maka penelitian ini akan membahas tentang Pemaksaan hubungan seksual suami terhadap isteri perspektif UU No. 23 tahun 2004 dan beberapa kitab fiqh.

2. Bahan Hukum Penelitian

Adapun bahan hukum di dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kategori

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum primer adalah bahan hukum yang isinya mengikat. Dikatakan mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah. Adapun yang

7

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press), 2008, Cet ke 3, h.10.


(18)

menjadi data primer di dalam penelitian ini adalah Pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri perspektif UU No. 23 tahun 2004 dan beberapa kitab fiqh.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang isinya membahas bahan hukum primer. Adapun yang menjadi bahan hukum sekunder di dalam penelitian ini adalah buku-buku, atau rujukan semisalnya yang secara langsung maupun tidak membahas permasalahan yang menjadi rumusan masalah di dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian

Dalam rangka pengumpulan bahan hukum untuk penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan metode studi kepustakaan sistematis. Studi kepustakaan sistematis khusus untuk undang-undang yang dilacak berdasarkan sumber yang berupa himpunan peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan demikian, tehnik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah:

a. Penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan yang berkaitan dengan kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. b. Penelusuran bahan kepustakaan yang membahas masalah kekerasan suami


(19)

4. Teknik Analisis Bahan Hukum Penelitian

Analisis terhadap bahan hukum dalam penelitian ini ditujukan untuk menghasilkan gambaran atau keadaan yang sebenarnya mengenai dasar hukum tentang kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami atas istri dalam perundang-undangan dan peraturan hukum yang sedang berlaku. Kemudian bahan yang didapat atau yang sudah terkumpul tersebut dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif-kualitatif, yaitu dengan cara mengumpulkan bahan yang diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan teori atau ketentuan hukum yang diperoleh dalam studi kepustakaan.8

F. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan merupakan rangkaian urutan dari beberapa uraian suatu sistem pembahasan dalam suatu karangan ilmiah. Dalam kaitannya dengan penulisan ini secara keseluruhan terdiri empat bab, yang disusun secara sistematis sebagai berikut :

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang didalamnya memuat tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II : Merupakan tinjauan umum tentang KDRT. Dalam bab ini akan dijelaskan beberapa hal yang ada kaitannya dengan sejarah lahirnya

8

Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, (Surabaya : Usaha Nasional), 1992, cet pertama, h.112.


(20)

Undang No.23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT, Pengertian KDRT menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004, Pasal-Pasal kekerasan seksual dalam Undang-Undang P-KDRT, Relasi suami istri menurut Fikih.

BAB III : Merupakan penyajian data yang memuat (1) bentuk-bentuk tindakan kekerasan seksual seorang suami terhadap isteri dalam rumah tangga perspektif fikih. (2) bentuk-bentuk tindakan kekerasan seksual suami terhadap isteri dalam rumah tangga perspektif Undang-Undang No.23 Tahun 2004 (3) Hukum melakukan pemaksaan hubungan seksual antara suami terhadap istri menurut fikih.

BAB IV : Merupakan pandangan hukum islam terhadap salinan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang kekerasaan seksual yang memuat (1) Pandangan Hukum Islam terhadap Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang P-KDRT mengenai bentuk pemaksaan hubungan seksual suami kepada istri (2) Relevansi Hukum Islam dengan Hukum Positif (3) Analisis Hukum Islam dalam pemaksaan hubungan seksual antara suami kepada istri.

BAB V : Penutup, penulis akan mengakhiri seluruh penelitian ini dengan suatu kesimpulan dan tidak lupa untuk menyertakan saran.


(21)

11

A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT Pada tahun 2001, Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Kekerasaan Terhadap Perempuan (RAN-PKTP) dicanangkan oleh kementrian Pemberdayaan Perempuan. Dan pada tahun 2002, ditandatangani sebuah Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara Mentri Pemberdayaan Perempuan RI, Mentri Kesehatan RI, Mentri Sosial RI, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kesepakatan ini menyangkut pelayanan terpadu bagi korban kekerasaan terhadap perempuan dan anak-anak yang dilaksanakan bersama dalam bentuk pengobatan dan perawatan fisik, psikis, pelayanan sosial dan hukum.1

Di tingkat daerah, Gubenur Provinsi Bengkulu mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No.751 Tahun 2003 tentang pembentukan tim penanganan terpadu bagi Perempuan dan Anak korban kekerasan. SK yang ditandatangani pada tanggal 10 Desember 2003 ini pada intinya membentuk Tim Penanganan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang mempunyai cakupan kerja di bidang pencegahan, penanganan dan pemulihan, serta pendidikan dan

1

Komnas Perempuan, Lokus Kekerasaan Terhadap Perempuan 2004 : rumah, pekarangan dan kebun, Catatan Tahunan Tentang Kekerasaan Terhadap Perempuan 2005. h.17.


(22)

advokasi. Tim ini beranggotakan wakil-wakil dari lingkungan pemerintah, LSM dan Lembaga profesional lainnya.2

Di tingkat Regional, Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN menandatangani Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, di Jakarta pada tanggal 13 juni 2004. Deklarasi ini berisi dorongan kerjasama regional dalam mengumpulkan dan mendeseminasikan data untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan, promosi pendekar holistik dan terintegrasi dalam mengeliminasi kekerasan terhadap perempuan, dorongan untuk melakukan pengarusutamaan gender, dan membuat serta mengubah undang-undang domestik untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan.3

Adapun yang menjadi gagasan dan latar belakang pentingnya pembentukkan sebuah UU PKDRT didasarkan atas pengalaman para perempuan korban kekerasan terjadi di ranah domestik rumah tangga ataupun keluarga. Di mana kekerasan rumah tangga makin menunjukkan peningkatan yang signifikan dari hari ke-hari, baik kekerasan dalam bentuk fisik, psikologis, maupun kekerasan seksual dalam kekerasan ekonomi. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut sudah menjurus dalam bentuk tindakan pidana penganiyaan dan ancaman kepada korban yang dapat menimbulkan rasa tidak aman, rasa ketakutan, atau penderitaan psikis berat bahkan kegilaan pada seseorang.

2

Komnas Perempuan, Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004 : rumah pekarangan dan kebun, h.17.

3

Komnas Perempuan, Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004 : rumah pekarangan dan kebun, h.17.


(23)

Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak lima kali lipat. Sebelum UU PKDRT lahir yaitu dalam rentang 2001 – 2004 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT 2005 – 2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan. Data kekerasan 3.169 tahun 2001, 5.163 tahun 2002, 7.787 tahun 2003, 14.020 tahun 2004, 20.391 tahun 2005, 22.512 tahun 2006, dan 25.522 tahun 2007. Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) mulai meningkat dengan cukup tajam sejak tahun 2004 (lebih dari 44% dari tahun 2003) dan tahun-tahun berikut kenaikan angka KtP berkisar antara 9% – 30% (tahun 2005, 30% tahun 2006), 9% dan tahun 2007 11%.

KTP ini mayoritas ditempati menurut ranah kekerasan. Maka KDRT cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan lonjakan tajam antara tahun 2004 (4.310 kasus) ke tahun 2005 (16.615 kasus). Dari data 25.522 kasus KtP pada tahun 2007, KDRT terdapat 20.380 kasus, KtP di komunitas 4.977 kasus, dan KtP dengan pelaku negara 165 kasus. Dari 215 lembaga dan tersebar dari 111 pulau yang memberikan datanya kepada Komnas Perempuan, data terbanyak berasal dari Pulau Jawa (2 di Banten, 7 di Yogyakarta, 22 di Jawa Barat, 29 di Jawa Tengah, dan 31 di Jawa Timur).

Tahun 2002, RUU diajukan ke Komisi VII DPR RI dan diseminarkan di DPR. Perkembangan penting itu muncul setelah Rapat Paripurna DPR. Lalu memutuskan membahas RUU KDRT. Puncaknya pada tanggal 13 Mei 2003,


(24)

melalui sidang Paripurna di DPR, RUU anti KDRT yang diusulkan kelompok perempuan secara resmi menjadi RUU inisiatif DPR.4 Pembahasan RUU anti KDRT di DPR (Pansus Komisi VII) yang dimulai pada tanggal 22 Agustus 2004 berlangsung cepat, namun cukup alot. Khususnya karena penolakan beberapa anggota dewan terhadap terobosan hukum yang menjadi dasar munculnya RUU, seperti ruang lingkup, bentuk/jenis KDRT yang mencakup marital rape, hukum acara tentang pembuktian dan peran-peran aparat. Selesai sidang pleno, kemudian RUU tersebut segera dibawa ke sidang paripurna melalui pandangan umum fraksi-fraksi dalam rangka keputusan akhir DPR apakah menolak atau mensahkan RUU menjadi Undang-Undang.

Tahun 2004 adalah tahun yang bersejarah bagi perempuan Indonesia, dan khususnya bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), karena pada tahun inilah lahir Undang-Undang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga, setelah diperjuangkan selama 8 tahun oleh berbagai organisasi perempuan.5 Pada tanggal 14 September 2004 dinyatakan sah dalam sidang paripurna DPR, UU yang semula dinamai UU KDRT ini kemudian pada tanggal pada 22 September 2004, Presiden Megawati menandatangani Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga. Pada hari yang sama, pihak Sekretariat Negara mengundangkannya ke dalam

4

Ratna Batara Munti, Suara Apik : Lahirnya UU Penghapusan dalam Rumah Tangga

“sebuah bentuk terobosan hukum dan implikasinya terhadap hukum nasional”. (LBH-APIK Jakarta, 2005) Edisi ke-2. h.5

5

Komnas Perempuan, Lokus Kekerasaan Terhadap Perempuan 2004 : rumah, pekarangan dan kebun, Catatan Tahunan Tentang Kekerasaan Terhadap Perempuan 2005. h.17


(25)

Lembaran Negara Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau lebih dikenal dengan UU P-KDRT.6

Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan ini menunjukkan adanya bangunan kesadaran masyarakat tentang kekerasan khususnya kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga pada umumnya dan kesadaran serta keberanian perempuan korban untuk melaporkan kasus KDRT yang dialaminya, pada khususnya. Banyaknya kasus yang dalam perjalannnya dicabut oleh pelapor yang sekaligus juga korban, lebih karena banyaknya beban gender perempuan korban yang seringkali harus ditanggung sendiri, kuatnya budaya patriarkhi, doktrin agama, dan adat menempatkan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam situasi yang sulit untuk keluar dari lingkar kekerasan yang dialaminya, cenderung ragu untuk mengungkap fakta kekerasannya, bahkan korban sulit mendapat dukungan dari keluarga maupun komunitas. Keyakinan ‟berdosa‟ jika menceritakan ‟kejelekan, keburukan, atau aib‟ suami membuat banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menyimpan dalam-dalam berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya.

Dalam UU. No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT aturan marital rape diatur dalam pasal yang diistilahkan dengan pemaksaan hubungan seksual, yang secara tegas diatur pada pasal 8 ayat 1. Dalam penelitian tersebut yang menjadi pembahasanya yaitu bagaimana tanggapan hukum dalam UU. No. 23

6

Beberapa Pakar hukum Ikatan Alumni Universitas Airlangga Fakultas Hukum, R. Dyatmiko Soemodihardjo, Kapita Selekta Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Perpustakaan Nasional), Cet 1, Mei, 2006, h.19.


(26)

tahun 2004 dan hukum islam tentang pemaksaan hubungan seksual seorang suami terhadap istri (Marital rape), sedangkan dalam penelitian yang akan saya tulis, lebih fokus pada bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan suami terhadap istri dalam perspektif UU. No. 23 tahun 2004 dan fiqh Islam.

B. Pengertian KDRT Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004

KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri.

Dalam Undang-Undang No.23 tahun 2004, yang dimaksud dengan KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.7

Dijelaskan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004, yang dimaksud dengan kekerasn seksual dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak

7


(27)

wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. Berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan masih sering kita jumpai dimana-mana, di dalam rumah tangga, di lingkungan kerja, dalam lingkungan sosial, dan dalam kehidupan bernegara.8 Kekerasan dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan :9

1. Perihal yang bersifat, berciri khas

2. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain 3. Paksaan

Kekerasan adalah perilaku yang bersifat menyerang atau bertahan yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, baik yang bersifat terbuka atau tertutup.10 Sedangkan kekerasan dalam konteks perempuan adalah tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam

8

Abdul Muqsit Ghozali, dkk, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan (Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda), Jakarta : Rahima, 2002, Cet.1, h.105.

9

Tim Penyusun Kamus Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka), 2005, Cet.3, h.550.

10

Siti Musdah Mulia, dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal manusia : Modul Pelatihan Untuk Pelatih Hak-Hak Reproduksi Dalam Perspektif Pluralisme, (Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Jender), 2003, Cet.1, h.104.


(28)

kehidupan pribadi.11 Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap istri tanpa memperdulikan keadaan istri yang mungkin dalam kondisi lemah, baik fisik maupun non-fisik. Melakukan hubungan seksual berkali-kali dalam waktu yang sama sementara istri tidak menyanggupi melakukan hubungan seksual dengan ancaman paksaan.

Hubungan seksual yang dilakukan suami dan istri, yang lebih banyak menikmati hubungan tersebut adalah suami. Sementara itu, istri hanya bersikap pasif, hanya melayani. Tidak pernah mengungkapkan perasaan puas atau tidaknya dalam hubungan seksual itu.12 Hal seperti ini terjadi disebabkan oleh salah satu pihak melaksanakan kehendak seksual sendiri terhadap pasangannya. Dan menganggap bahwa hal itu kewajiban perempuan, sehingga para suami mengabaikan hak istri untuk menikmati hubungan seks.

Banyak pihak berpendapat bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) perlu diatur tersendiri di luar KUHP, bahkan RUU KUHP yang baru dan merupakan revisi KUHP yang lama dianggap tidak cukup untuk dapat mengakomodir keseluruhan masalah KDRT. Karena masalah KDRT mencangkup beberapa aspek, kepentingan perempuan, sudut pandang yang berbeda khususnya dalam hal penyidikan dan pembuktiannya. Hingga akhirnya pada tanggal 14 september 2004, DPR akhirnya menyetujui RUU penghapusan kekerasan dalam

11

Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformasi : Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung : Penerbit Mizan), 2005, Cet.1, h.154.

12

Sri Suhandjati Sukri, dkk, Bias Jender Dalam Pemahaman Islam, (Yogyakarta : Gama Media), 2002, h.158.


(29)

rumah tangga (KDRT) untuk disahkan menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna DPR setelah tertunda kurang lebih enam tahun. Dibandingkan Malaysia, Indonesia terkesan lamban merespon permintaan kaum perempuan mengenai perlunya payung hukum bagi perempuan agar terhindar dari pelaku tindak kekerasan.13 Meskipun pada dasarnya UU ini ditujukan untuk melindungi siapapun, baik laki-laki maupun perempuan khususnya mereka yang berada dalam posisi subordinat, dan rentan terhadap KDRT akibat adanya relasi sosial yang timpang di masyarakat, apakah karena jender, jenis kelaminnya, usianya, status social atau kelas sosial. Nilai strategis UU ini adalah menggeser isu KDRT dari isu privat menjadi isu public. Karena dulunya masalah kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai masalah hubungan suami istri atau masalah pribadi yang tidak bisa diintervensi orang lain. Bahkan KUHP tidak menganggap masalah kekerasan dalam rumah tangga sebagai sebuah kejahatan. UU penghapusan KDRT ini memberi ruang kepada Negara untuk melakukan intervensi terhadap kejahatan yang terjadi dalam rumah tangga. Adapun asas yang melandasi UU ini adalah penghormatan terhadap perempuan sebagai manusia merdeka, kesetaraan dan keadilan gender, diskriminasi dan juga perlindungan terhadap korban. Sedangkan kata kunci dalam UU KDRT adalah pergaulan yang baik antara suami dan istri (muasyarah bil ma‟ruf). Sedangkan tujuan UU KDRT yang terdapat dalam naskah akademik peraturan perundang-undangan tentang kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut :

13

Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformasi : Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung : Penerbit Mizan), 2005, Cet.1, h.177.


(30)

1. Mencegah kejahatan KDRT

2. Melindungi korban dan saksi kasus KDRT secara maksimal

3. Memberikan kemudahan bagi korban maupun saksi kasus KDRT untuk melaporkan ataupun memperoleh bantuan

4. Menciptakan upaya pemulihan terutama bagi korban, namun tidak menutup kemungkinan bagi pelaku kasus KDRT

5. Menciptakan sistem penegakkan hukum yang tepatguna oleh aparat hukum 6. Bahwa KDRT merupakan masalah publik, bukan masalah domestik

Dalam pembahasan mengenai UU ini terjadi perdebatan yang cukup panjang. Kelompok yang tidak setuju pada konsep RUU menghendaki agar UU nantinya tidak akan semakin menimbulkan perpecahan dalam rumah keluarga, tidak akan menambah tingginya angka perceraian dimasyarakat. Sebab, kebanyakan masyarakat beranggapan jika pihak istri diberikan wewenang atau kebebasan, dikhawatirkan akan menyalahgunakan hak kebebasannya tersebut. UU kekerasan dalam rumah tangga membagi bentuk kekerasan dalam kategori empat macam, yaitu : kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Kekerasan seksual dibagi menjadi dua yaitu kekerasan seksual berat yang terdiri :

1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.


(31)

2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.

3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.

4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.

5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.

6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka atau cedera.

Sedangkan yang termasuk dalam kategori kekerasan seksual ringan berupa pelecehan seksual secara verbal, gurauan porno, siulan, ejekan, dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh ataupun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. UU No 23 Tahun 2004 membagi criteria kekerasan sebagaimana terdapat pada bab III pasal 5 yang berisi : Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:

1. kekerasan fisik 2. kekerasan psikis 3. kekerasan seksual, atau 4. penelantaran rumah tangga


(32)

Sedangkan mengenai kekerasan seksual diatur dalam pasal 8 yang berbunyi : kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi:

1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.

2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.

Secara jelas UU tersebut tidak menyertakan kata-kata perkosaan, akan tetapi hanya menyertakan pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga diatur dalam pasal 2 yang meliputi :

1. Suami, istri, dan anak

2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga

3. Orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut

Selain mendefinisikan perkosaan dalam perkawinan UU No 23 tahun 2004 juga mengatur mengenai bukti dan saksi yang diatur dalam pasal 55. Pasal ini merupakan titik terang untuk para korban marital rape karena pasal ini meringankan korban dalam hal bukti dan saksi. Selain itu UU ini juga mengatur mengenai hak-hak korban yang diantaranya ialah :


(33)

1. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari individu, kelompok, atau lembaga baik pemerintah ataupun swasta.

2. Korban berhak mendapatkan pelayanan darurat dan pelayanan lainya. 3. Korban mendapatkan pelayanan secara rahasia.

4. Korban berhak atas informasi dan terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan berkaitan dengan pendampingan dan penanganan khusus lainnya. 5. Korban berhak mendapatkan jaminan atas haknya yang berkaitan dengan

statusnya sebagai istri, ibu, anak dan anggota rumah tangga lainnya.

6. Korban berhak mendapatkan pendampingan secara psikologis oleh pekerja sosial dan bantuan hukum yang dilakukan advokad pada setiap tingkat proses peradilan.

7. Korban berhak mendapatkan bimbingan rohani.

Pelayanan darurat yang dimaksud mencangkup pelayanan medis, konseling, informasi hukum, sarana transportasi ke rumah sakit atau ke tempat penampungan yang aman. Sehingga korban bisa menenangkan diri dan merasa aman untuk sementara waktu sebelum kasus tersebut ditangani lebih lanjut oleh pihak kepolisian. Perlindungan merupakan hal baru dalam hukum pidana Indonesia. Karena selama ini memang belum ada aturan tentang ha-hal tersebut, sehingga tidak heran kalau dalam UU ini masalah perlindungan diatur sangat terperinci. Alasannya ialah karena dalam kasus perkosaan dalam perkawinan, diperlukan untuk menghentikan berlanjutnya tindakan tersebut. Memisahkan pelaku dari korban sangat penting, karena tinggal bersama dalam satu tempat


(34)

tinggal atau paling tidak keduanya mempunyai kesempatan untuk dengan mudah dapat bertemu atau berhubungan. Dalam kerangka perlindungan ini, UU memuat sejumlah kewajiban pemerintah untuk menjamin terciptanya perlindungan yang dimaksud, diantaranya ialah memfasilitasi tersedianya pendampingan, pelayanan darurat, tersedianya pendamping, tersedianya ruang pemeriksaan khusus disetiap kantor polisi tingkat kabupaten dan kota, dan memberikan perlindungan terhadap pendamping, saksi-saksi keluarga, anggota komunitas, dan teman korban. Pemerintah juga memfasilitasi tersedianya aparat, termasuk konselor, pekerja medis dan pekerja social, dan kesehatan. Masyarakat juga diwajibkan untuk menyediakan perlindungan yang dimaksud, apabila menyaksikan atau mendengar terjadinya kasus pemaksaan hubungan seksual suami tehadap istri (marital rape).

Dalam hal ini aparat kepolisian sangat berperan penting, karena kepolisian diwajibkan memberikan perlindungan sementara kepada korban tanpa diskriminasi. Kekerasan adalah sebuah fenomena lintas sektoral dan tidak berdiri sendiri atau terjadi begitu saja. Ada beberapa penyebab yang menjadi asumsi terjadinya kekerasan terhadap perempuan, yaitu:

1. Adanya persepsi tentang sesuatu dalam benak pelaku, bahkan sering kali yang mendasari tindak kekerasan ini bukan suatu yang dihadapi secara nyata. Hal ini dibuktikan dengan realitas dilapangan yang menunjukkan bahwa pelaku telah melakukan tindakan kekerasan tersebut tanpa suatu alasan yang mendasar. Alasan yang disampaikan pelaku hampir selalu hanya didasarkan pada asumsi dirinya atau permainan bayang-bayang pikirannya saja, bahkan


(35)

tidak jarang dia justru mengingkari telah berbuat jahat dan tidak terhormat. Lebih lagi jika pelaku menganggap tindakannya tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan mesum atau perkosaan. Sehingga ketika dihadapkan jasa dia menolak tuduhan bahwa dia telah melakukan perkosaan.

2. Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan bisa gender. Seringkali hukum tidak berpihak kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan. Ketidak berpihakan tersebut tidak saja berkaitan dengan subtansi hukum yang kurang memperhatikan kepentingan perempuan atau sikorban, bahkan justru belum adanya subtansi hukum yang mengatur nasib bagi korban kekerasan, yang umumnya dialami perempuan. Secara umum ada beberapa bentuk kekerasan gender terhadap kaum perempuan. Pertama, kekerasan terhadap pribadi (personal violence). Sering kali kaum perempuan secara personal menderita dan menjadi korban kekerasan fisik dan mental dalam kehidupan sehari-hari mereka. Akan tetapi, tidak terdokumentasi secara resmi dan baik. Hanya beberapa Negara saja yang memiliki angka resmi, seperti diamerika dan peru. Di amerika serikat misalnya tercatat, pemukulan terhadap istri adalah penyebab tertinggi kecelakaan perempuan. Di peru juga menyebutkan, 70 persen kejahatan yang dilaporkan polisi adalah pemukulan suami terhadap pasangan mereka. Sementara WHO memperkirakan lebih dari 90 juta perempuan afrika menjadi korban penyunatan (genital mutilation). Padahal, kekerasan terhadap perempuan tersebut mempengaruhi kesehatan mental, menghancurkan kepercayaan diri serta menyulitkan perkembangan


(36)

kepribadian perempuan. Kekerasan yang paling besar adalah dalam bentuk perkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam rumah tangga. Perkosaan terjadi jika seseorang memaksa untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidak relaan ini sering kali tidak bisa terekspresikan disebabkan oleh factor, misalnya ketakutan, malu, keterpaksaan baik ekonomi, social maupun cultural, atau karena tidak ada pilihan dan sebagainya.14

Salah satu segi dalam perjuangan keadilan, khususnya bagi perempuan, adalah mengungkap tindak kekerasan terhadap perempuan, adalah mengungkap tindak kekerasan terhadap perempuan. Pembicaraan tindak kekerasan terhadap perempuan secara eksplisit, berarti mengungkap sejumlah perilaku dan praktik-praktik terhadap perempuan yang selama ini telah menjadi kebiasaan dan dianggap biasa oleh masyarakat. Kekerasan ini berupa perilaku yang diwujudkan, seperti penyalahgunaan seks, pelecehan, ancaman, penindasan, intimidasi, pemerkosaan, dan sejenisnya. Kekerasan yang halus adalah menguasai, mengikat, mengontrol, dan tidak menghargai. Dalam situasi ini, hampir selalu pelakunya adalah laki-laki, dengan korbannya dipihak perempuan. Semua itu adalah bukti dari pranata-pranata yang mengkondisikan laki-laki dominant di masyarakat. Dalam budaya patriarkhi, dominasi laki-laki dianggap wajar atas perempuan, sehingga dianggap wajar pula segala perilaku laki-laki atas perempuan, sungguh pun perilaku tersebut mengakibatkan pihak perempuan teraniaya, terlukai.

14


(37)

Berangkat dari konsep ketidakadilan, tentu sulit diharap melahirkan keadilan. Konstruksi social yang bisa gender telah memberikan keleluasan pada laki-laki untuk memposisikan perempuan sedemikian rupa berada dalam penindasan. Berbagai bentuk praktik pelecehan terhadap perempuan, juga lebih dikarenakan praktik-praktik itu mendapatkan berbagai legalitas dari kebudayaan, peradaban, tradisi, kebiasaan, adat istiadat. Semuanya itu, seharusnya dikritisi dan dicermati karena tidak sedikit dari praktik-praktik dimasyarakat hanya merupakan kedok, mitos-mitos yang diciptakan sebagai benteng untuk pengesahan berlangsungnya kekuasaan laki-laki. Dalam kesadaran akan bentuk relasi baru yang menuntut kesetaraan, keadilan, dan saling menumbuhkan, maka harus dilakukan reposisioning mengenai berbagai bentuk kebiasaan itu, kemudian dinilai mana yang merugikan, menindas, menyakiti, dan merampas hak-hak perempuan dan laki-laki. Perempuan beriman akan merefleksikan keadaan hidupnya yang luka itu kepada kehendak sang pencipta. Kebebasan menggiring umat manusia untuk bisa maju dan berjejak pada kebahagiaan. Kebebasan dianggap sebagai salah satu hak manusia yang paling berharga oleh bangsa yang memahami rahasia kesuksesannya.15

Kekerasan dalam rumah tangga hingga saat ini tampak kurang mendapat perhatian serius di kalangan masyarakat. Beberapa alasan bisa dikemukakan.

Pertama, kekerasan dalam rumah tangga cenderung tak kentara dan ditutupi

15Amin, Qasim, Sejarah Penindasan Perempuan “Menggugat Islam Laki

-Laki, Menggurat Perempuan Baru”, (Yogyakarta : IRCiSoD), Cet.1, Mei 2003, h.49.


(38)

karena rumah tangga adalah area ”privat”. Kedua, kekerasan dalam rumah tangga sering dianggap wajar karena memperlakukan istri sekehendak suami masih saja dianggap bahkan diyakini sebagai hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi dalam sebuah lembaga yang sah (legal), yaitu perkawinan. Kenyataan ini selanjutnya membuat masyarakat abai dan tak sadar, bahkan muncul pandangan yang keliru bahwa suami sebisanya harus mengendalikan istri.16

C. Pasal-Pasal Kekerasan Seksual Dalam Undang-Undang P-KDRT

Ketentuan Pasal 5 UU-PKDRT menegaskan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a.kekerasan fisik; b.kekerasan psikis; c.kekerasan seksual; atau penelantaran rumah tangga.”

Kekerasan fisik, psikis, seksual, semakin menegaskan bahwa cakupan diskriminasi adalah berupa bentuk-bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ancaman-ancaman lain serupa. “Ancaman lain” yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 UU-PKDRT disebut dengan istilah “penelantaran rumah tangga”. Bahkan UU-PKDRT pun telah menegaskan dalam pengaturan normatifnya sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 5 mengenai larangan kekerasan dalam rumah tangga dengan cara kekerasan: fisik, psikis, seksual, atau penelantaran rumah

16

Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007, h.4.


(39)

tangga, yang dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 6 mengenai apa yang dimaksud kekerasan fisik, Pasal 7 tentang kekerasan psikis, Pasal 8 tentang kekerasan seksual, dan Pasal 9 tentang penelantaran dalam rumah tangga.

a. Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.

b. Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak. Rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

c. Kekerasan seksual yaitu

(1) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut

(2) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumahtangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Yang dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

d. Penelantaran rumah tangga yaitu

(1) tindakan/perbuatan seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau


(40)

karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud diatas juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Substansi pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 44-Pasal 49 UU-PKDRT menghambat penghapusan KDRT, karena terdakwa dengan ekonomi mapan cenderung memilih hukuman denda ketimbang hukuman penjara. Pada hemat penulis bahwa hal ini sebetulnya akan sangat ditentukan oleh peran hakim yang akan menentukan berat atau ringannya putusan pidana terhadap pelaku dalam perkara KDRT. Untuk hal itu sangat diperlukan adanya pelatihan untuk peningkatan sensitisasi gender di kalangan para hakim termasuk sensitisasi untuk keberpihakan pada keadilan korban, hal mana korban lebih sering pada perempuan dan/atau anak.

Bentuk-bentuk kekerasan tersebut secara tegas dilarang dan dikenai sanksi pidana, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 49. Hal yang lebih memperkuat bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu bentuk diskriminasi adalah sebagaimana dilandaskan pada ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 18H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender juga telah dijamin perlindungannya dalam Konstitusi Indonesia.


(41)

D. Relasi Suami Isteri Menurut Fikih

Salah satu fungsi keluarga adalah untuk mengembangkan keturunan dengan cara legal dan bertanggung jawab secara sosial maupun moral. Kebutuhan biologis merupakan kebutuhan dasar terdapat pada manusia laki-laki maupun perempuan. Merupakan hal yang alami atau sunnatullah jika suami istri satu sama lain saling membutuhkan, dan saling memenuhi kebutuhan ini. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologis merupakan karunia Allah yang diberikan kepada laki-laki maupun perempuan yang perlu disalurkan sesuai dengan petunjuknya. Seks bukanlah sesuatu yang tabu dalam islam, tetapi dianggap sebagai aktifitas yang sah dalam perkawinan. Tidak ada konsep dosa yang dilekatkan kepadanya. Seks dianggap kebutuhan prokreasi, dan penciptaan manusia adalah melalui aktifitas seksual. Karena prokreasi perlu bagi kelangsungan hidup manusia, maka perkawinan dalam islam menjadi penting sekalipun belum tentu wajib hukumnya. 17 Laki-laki dan perempuan memang berbeda struktur alat reproduksinya, tetapi secara psikologis. Allah memberikan perasaan yang sama dalam hal kebutuhan reproduksi ini. Oleh karena itu suami maupun istri tidak diperbolehkan bersifat egois, mengikuti kemauan sendiri dengan mengabaikan kebutuhan pasangannya. Sebab perkawinan memiliki tujuan yang agung, dan merupakan suatu hubungan cinta kasih dan saling menghormati. Al Qur‟an suratal Baqarah: 187 menegaskan:

17

Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya), 1994, h.139.


(42)





































)

رقبلا

/

187:2

)

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamu pun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah/2:187)

Suami istri digambarkan seperti baju. Baju berfungsi untuk menutup aurat, melindungi badan dari teriknya matahari dan dinginnya udara, dan juga untuk menghias diri. Dalam konteks suami istri memiliki hak untuk melakukan hubungan seksual pasangannya secara ma‟ruf dalam arti setara, adil dan demokratis. Aktifitas seksual suami istri diharapkan dapat menumbuhkan perasaan indah, mengokohkan rasa kasih sayang dan juga melahirkan rasa syukur


(43)

kepada dzat yang memberi keindahan dan kasih sayang pada manusia. Dalam Q.S al Baqarah: 223

























)

رقبلا

/

223:2

)

Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” )Q.S. Al-Baqarah/2:223)

Dalam ayat ini istri diibaratkan seperti ladang atau kebun, suami sebagai petani pemilik ladang yang bertugas untuk mengelola ladangnya. Secara tekstual suami seakan-akan memiliki hak dan kewajiban secara aktif dan pemegang peran dalam mengendalikan kebutuhan seksual untuk dirinya dan istrinya. Pemahaman tekstual ini berakibat pada cara pandang masyarakat muslim tentang seksualitas, bahwa laki-lakilah yang memiliki inisiatif, mengatur dan menentukan masalah hubungan seks, termasuk implikasi lainnya diseputar seksualitas dan hak-hak reproduksi istri. Lain halnya jika ayat tersebut dipahami dengan memperhatikan konteks masyarakat pada waktu ayat ini diturunkan. Ayat ini turun pada masyarakat mengambil latar kehidupan masyarakat arab dengan kondisi geografisnya yang sangat tandus. Kebun atau taman merupakan sesuatu yang


(44)

indah dan hanya berada dalam imajinasi mereka. Perempuan (istri) diibaratkan seperti ladang/ taman/ kebun yang menurut mereka merupakan barang mewah. Memiliki istri seperti halnya seseorang yang memiliki kekayaan barang berharga yang sangat diharapkan pada saat itu. Sebagai petani yang baik, ia akan memperlakukan ladangnya dengan baik, memilih benih yang unggul, menanami, membersihkan rumput dan memberantas hama, mengairi, dan memupuknya dengan rutin. Semua aktifitas pertanian ini dilakukan secara bertahap dan pada saat yang tepat. Demikian pula suami yang diibaratkan sebagai petani yang baik, dia akan memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang baik. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda :

Artinya: „’Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluarganya (istrinya), dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku”. (HR. Ibnu Majah).

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa relasi seksual suami istri merupakan pahala jika dilakukan dengan cara-cara yang ma‟ruf, karena masing -masing suami atau istri mempunyai hak dan kewajiban terkait dengan relasi seksual ini diharapkan dapat memelihara komunikasi lahir batin dalam mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah. Hanya saja ditekankan bahwa semua itu harus dilakukan dengan memperhatikan etika, tanpa merugikan satu pihak atas pihak lainnya. Mengingat pentingya mengelola relasi seksual suami istri dalam rumah tangga, maka diharapkan suami atau istri berpenampilan yang menyenangkan bagi pasangannya. Mengenali selera pasangan merupakan


(45)

cara yang tepat. Hubungan seks bukan merupakan hal yang tabu dibicarakan diantara suami istri. Karena itu penting untuk mendiskusikan tema ini demi kemaslahatan bersama, seperti apa yang disukai dan yang tidak disukai. Apa yang kurang dari pasangannya yang dapat mengganggu hubungan baik dan sebagainya. Sebaliknya membicarakan masalah kekurangan atau ketidakpuasan dalam hubungan suami istri kepada orang lain merupakan tindakan yang tidak semestinya dilakukan, bahkan akan dapat membuka aib sendiri. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam membangun relasi seksual suami dan istri dalam islam menghindari adanya kekerasan seksual terhadap istri. Masalah ini menjadi persoalan serius tetapi banyak orang yang mengabaikannya. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa laki-laki (suami) lah yang memegang kendali kebutuhan seksual istrinya. Suami terhadap istri memiliki hak penuh untuk mengatur dan memperlakukan istri karena konsep nikah yang digunakan masih berparadigma lama, dimana nikah dipahami sebagai akan tamlik, sehingga istri berada dibawah kepemilikan suami. Masalah sekspun ditentukan oleh suami, salah satu bentuknya adalah pemaksaan hubungan seksual pada saat istri tidak siap untuk melayani. Relasi suami istri yang benar juga berdasar pada prinsip”muasyarah bi alma‟ruf” (pergaulan suami istri yang baik).

Kehidupan rumah tangga adalah dalam konteks menegakkan syariat islam, menuju ridho Allah SWT. Suami dan istri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis menuju derajat takwa. Allah SWT berfirman :


(46)





















)

بوتلا

/

9

:

71

)

Artinya: “Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Qs. at-Taubah/9:71).

Sejalan dengan itu dibutuhkan relasi yang jelas antara suami dan istri dan tidak bisa disamaratakan tugas dan wewenangnya. Suami berhak menuntut hak-haknya, seperti dilayani istri dengan baik. Sebaliknya, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, memberikan nafkah yang layak dan memperlakukan mereka dengan cara yang makruf. Allah berfirman :





























)

ءاسنلا

/

4

:

19

)

Artinya: „’Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.’’)Q.S. An Nisa/4:19(


(47)

Nash ini merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli istri-istri mereka secara ma‟ruf. Ayat ini juga memerintahkan menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri istrinya, selain zina dan nusyus, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan. Jika masing-masing, baik suami maupun istri menyadari perannya dan melaksanakan hak dan kewajiban sesuai syariat islam, niscaya tidak dibutuhkan kekerasan dalam menyelaraskan perjalanan biduk rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terhindarkan karena biduk rumah tangga dibangun dengan pondasi syariat islam, dikemudikan dengan kasih sayang dan diarahkan oleh peta iman.

Yang dimaksud dengan kepemimpinan laki-laki atas perempuan adalah kaum laki-laki memiliki tugas dan kewajiban untuk menjaga, mengayomi, berjuang sekaligus mencukupi segala kebutuhan kaum perempuan. Makna „‟kepemimpinan” disini merupakan sebuah tanggung jawab besar yang harus dipikul oleh kaum laki-laki.18

Ayat ini memberikan pengertian bahwa Allah menghendaki dalam sebuah perkawinan harus dibangun relasi suami istri dalam pola interaksi positif, harmonis, dengan suasana hati yang damai, yang ditandai pula oleh keseimbangan hak dan kewajiban keduanya. Keluarga sakinah mawadah warahmah akan terwujud jika keseimbangan hak dan kewajiban menjadi landasan etis yang mengatur relasi suami dan istri dalam pergaulan sehari-hari. Untuk itu diperlukan

18

Syaikh Mutawalli As-Sya‟rawi, Fikih Perempuan (Muslimah) Busana dan Perhiasan, Penghormatan Atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, (Jakarta : Sinar Grafika), Cet 1 Sep 2003, Cet 2 Jan 2005, h.35.


(48)

individu-individu sebagai anggota keluarga yang baik sebagai subyek pengelola kehidupan keluarga menuju keluarga ideal.

Maksud dari ayat di atas juga, adalah menggauli istri harus dilakukan dengan baik. Ini mencakup menjaga kata-kata, harta, dan perbuatan. Terkait dengan pergaulan suami kepada istri dan sebaliknya istri kepada suami, harus dilakukan dengan baik dalam perkataan, perbuatan, maupun materi. Hubungan badan termasuk mempergauli istri dengan baik, merupakan puncak dari kenikmatan. Banyak wanita yang tidak menikah kecuali untuk menikmati hal itu. Maka dari itu suami harus memberikannya kenikmatan berhubungan badan secukupnya selama dia masih kuat. Adapun jika membahayakan badannya, maka ini bukan sebagai kewajiban baginya.19

Seorang perempuan muslimah berhak untuk menikmati kebebasan dalam berfikir dan berakidah. Tugas utama perempuan adalah membuat kaum adam merasa tenang dan damai ketika berada disamping mereka. Keutamaan laki-laki adalah mampu untuk bekerja keras melawan rasa lelah dan mengadu nasib dengan kehidupan di dunia. Menuntut laki-laki untuk menjalankan tugasnya dan perempuan sesuai dengan tuntutan kehidupannya. Allah telah meletakan kemampuan memberikan kasih sayang yang luar biasa dalam diri perempuan. Tujuannya agar dapat mendidik anak. Sedangkan laki-laki memenuhi semua kebutuhan keluarga dan menjaganya.20

19

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-„Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qur’an dan

As-Sunnah, (Jakarta : Akbar Media), Cet.1, Januari 2009, Cet.2, Desember 2009, h.333.

20

Syaikh Mutawalli As-Sya‟rawi, Fikih Perempuan (Muslimah) Busana dan Perhiasan, Penghormatan Atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, h.167.


(1)

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup

jelas

Huruf c

Yang dimaksud dengan “rumah aman” dalam

ketentuan ini adalah tempat tinggal sementara yang

digunakan untuk memberikan perlindungan

terhadap korban sesuai dengan standar yang

ditentukan. Misalnya,

trauma center

di Departemen

Sosial.

Yang dimaksud dengan “tempat tinggal alternatif”

dalam ketentuan ini adalah tempat tinggal korban

yang terpaksa ditempatkan untuk dipisahkan

dan/ atau dijauhkan dari pelaku.

Huruf d

Cukup

jelas.

Ayat (2)

Cukup

jelas

Pasal 23

Cukup jelas


(2)

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup

jelas.

Pasal 28

Cukup

jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam

ketentuan ini, misalnya: pingsan, koma, dan sangat

terancam jiwanya.

Pasal 31

Ayat (1)


(3)

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.


(4)

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49


(5)

memberikan konseling bagi pelaku selama jangka waktu

tertentu.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan

kepada hakim menjatuhkan pidana percobaan dengan

maksud untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan

menjaga keutuhan rumah tangga

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Alat bukti yang sah lainnya dalam kekerasan seksual yang

dilakukan selain dari suami istri adalah pengakuan terdakwa.

Pasal 56

Cukup jelas


(6)