Kekuatan alat bukti elektronik dalam pandangan hukum islam dan hukum positif

(1)

KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK

DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

DAN HUKUM POSITIF

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh :

Muhamad Hilmi Farid NIM 104045101557

Di bawah bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

H. Zubir Laini, SH. Sri Hidayati. M.Ag

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAM HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2. semua sumber yang saya gunakan dalam penulisa ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (Uin) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 02 Desember 2008


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur milik Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan taufiq-Nya yang tak terhingga. Salam sejahtera semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, kepada keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, karya tulis ini dapat penulis rampungkan, bahagia bercampur haru mengiringi atas karunia ini, yang tidak dapat penulis sembunyikan dari lubuk hati nan dalam. Pertama penulis haturkan terimakasih dan sayang yang dalam buat abi H. OOM ZAENAL ABIDIN. Alm. walaupun keras mendidik tapi penuh kasih sayang untuk terus maju, seiring doaku akan selalu datang pada mu dan semoga Allah SWT menerima amal ibadah abi. Amin

ucapan terima kasih kepada keluarga. Umi Hj. ACIH, kakak-kakaku: Teh Mumuf & suami, Teh Ulfah & suami, A Emi, adik-adik: Idan dan Apid. Yang telah mendukung moril dan imoril kepada penulis yang hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Rasa terima kasih bercampur haru penulis kepada mereka tak bisa diwakili dengan untaian kata-kata. Merekalah yang mengantar penulis hingga sampai pada suatu tahapan ini.

Selanjutnya, penulis sampaikan terima kasih kepada rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Dr. H. Komarudin hidayat, M.A., Dekan fakultas Syar’iah dan Hukum, prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M,A., M.M., beserta jajaranya yang telah memberikan bimbingan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis selama menjadi mahasiswa. Ucapan terima kasih penulis kepada Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Asmawi M.Ag., dan Sekretaris


(4)

Program Studi Sri Hidayati M.Ag., yang telah tulus ikhlas meluang kan waktunya untuk membantu penulis dalam berbagai hal yang berhubungan dengan akademis.

Ungkapan terima kasih disampaikan pula kepada H. Zoebir Laini SH dan Sri Hidayati M.Ag., yang secara kritis dan sadar meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dari tahap awal hingga akhir penelitian dan penulisan skripsi ini. Melalui pena dan pikiran beliau, penulis banyak memperoleh pelajaran-pelajaran berharga.

Terima kasih kepada Pengurus Perpustakaan Syariah dan Hukum, Pengurus Perpustakaan Utama, yang telah meminjamkan buku-buku yang diperlukan penulis.

Ucapan terima kasih ku pun sampaikan kepada para dosen yang dengan ikhlas membekali penulis dengan ilmu pengetahuan. Dan tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman seangkatan yaitu PI-2004: Amin, Pay, Zaelani, Husni, Nandez, Evi, Haris, Zulfah, Novi, Irna, Puti, Reva, Aziz, Ozi, Ricko, Johan dan tiga bersaudara (Thomp, Vito dan Devison)

Terakhir penulis ucapkan, Semoga amal baik mereka semua diterima oleh Allah SWT. amin

Ciputat, 20 Oktober 2008 21 Syawal 1429 H

Penulis


(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara alamiah manusia tidak mungkin dilepaskan dari kemajuan teknologi yang tujuannya adalah untuk memudahkan kehidupannya, secara alamiah pula manusia tidak mungkin dilepaskan dari hukum yang tujuannya adalah menjaga eksistensi keberadaannya. Bagi manusia, teknologi tanpa disertai dengan hukum akan berakibat pada kekacauan (Chaos), yang pada giliranya akan merusak pada kehidupan manusia itu sendiri. Sebaliknya hukum yang semata-mata membatasi kemajuan teknologi akan memasung keberadaban manusia. Di sinilah perlunya keseimbangan antara hukum dan teknologi.1

Perkembangan teknologi informasi yang melanda dunia dewasa ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dipungkiri pula, bahwa perkembangan tersebut mempengaruhi tatanan aktifitas manusia. Kurang diimbangi dengan pemahaman yang baik dan memadai mengenai teknologi khususnya dalam perspektif hukum. Hal ini disebabkan, penekanan yang digunakan dewasa ini sangat Technologie Minded (mengandalkan teknologi),

padahal idealnya kita harus melihatnya secara holistik dengan berbagai sudut pandang tentunya, baik dari sudut teknologi, hukum, bisnis, maupun sosial. Sehingga transformasi teknologi dan industri yang kita harapkan dapat terlaksana.

Internet dengan berbagai kelebihannya ternyata banyak pula diperdebatkan. Perdebatan-perdebatan yang muncul ke permukaan, misalnya mengenai istilah-istilah hukum yang terkait dengan telematika itu sendiri, pendekatan apakah yang digunakan

1

Lihat Hikmahanto Juana (guru besar ilmu hukum Fakultas hukum Universitas Indonesia) kata pengantar ini dikutip dalam buku Kompilasi Hukum Telematika karya Edmon Makarim, Th 2005


(6)

untuk menjawab perdebatan-perdebatan semacam ini apakah pendekatan formulatif atau aplikatif. Kemudian masalah pembuktian data elektronik, yang baru dikenal dalam sistem hukum kita yaitu Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, masalah yuridiksi tentang pembajakan hak intelektual di internet dan permasalahan-permasalahan lainnya.

Eksistensi internet sebagai salah satu institusi dalam arus utama budaya dunia lebih ditegaskan lagi dengan maraknya perniagaan elektronik (e-commerce)2 yang diprediksikan sebagai “bisnis besar masa depan”(the next big thing). E-commerce ini bukan saja telah menjadi mainstream budaya negara-negara maju, tetapi juga telah

menjadi model transaksi termasuk Indonesia.3

Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan yang bersifat tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik yang pada awalnya sulit dikategorikan sebagai delik pencurian, tetapi akhirnya dapat diterima sebagai perbuatan pidana. Kenyataan saat ini yang berkaitan dengan kegiatan cyber tidak lagi sesederhana itu, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh teritorial suatu negara. Aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik bagi pelaku internet maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Di samping itu masalah pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat data elektronik baru saja terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia. Dalam kenyataannya data yang dimaksud juga

2

E-commerce adalah perniagaan secara elektronik

3

Depkominfo. RI ”.Undang-Undang RI No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”.


(7)

ternyata sangat rentan untuk diubah, di sadap, di palsukan dan di kirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian cepat. Teknologi informasi telah menjadi instrument efektif dalam perdagangan global.

Persoalan yang lebih luas juga terjadi untuk masalah-masalah keperdataan, karena saat ini transaksi e-commerce (perniagaan secara elektronik) telah menjadi bagian dari

perniagaan nasional dan internasional.4 Contoh kongkrit adalah untuk membayar zakat, atau berkorban pada saat Idhul Adha, atau memesan obat-obatan yang bersifat sangat pribadi, orang cukup melakukannya melalui internet. Bahkan untuk membeli majalah orang juga dapat membayar tidak dengan uang, tapi cukup dengan mendebit pulsa telepon seluler melalui fasilitas SMS. Pernyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang telematika berkembang terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukan hak cipta dan paten baru di bidang teknologi informasi.

Kondisi yang demikian pada satu pihak membawa manfaat bagi masyarakat, karena memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan berbagai aktifitasnya, terutama dalam pemanfaatan informasi. Akan tetapi, fenomena tersebut dapat memicu lahirnya berbagai bentuk konflik di masyarakat sebagai akibat dari penggunaan yang tidak bertanggung jawab.

Kegiatan cyber meskipun bersifat virtual dapat dikatagorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang cyber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkatagorikan sesuatu dengan ukuran kualifikasi hukum

4

Saat ini PBB melalui komisi khususnya, UNCITRAL, telah mengeluarkan 2 Guide Lines, yang terkait dengan transaksi elektronik, yaitu UNCRITRAL Model Law On Lectronic Commerce With Guide To Enactmen. 1996, United Nation Publication, NEW YORK, 1999, dan UNCITRAL Model Law on Electronic Signature With Guide to Enactment 2001, United Nation Pubication. New York, 2002(di kutip dari buku CYBER LAW Dan HAKI dalam sistem hukum Indonesia.karya Ahmad M Ramli)


(8)

konvensional untuk dapat dijadikan dan objek perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan cyber sangat berdampak nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus diklasifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum yang nyata.

Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace,

pertama adalah pendekatan teknologi, kedua adalah pendekatan sosial budaya-etika, dan

ketiga pendekatan hukum.5

Kecanggihan teknologi komputer telah memberikan kemudahan-kemudahan, terutama dalam membantu pekerjaan manusia. Selain itu, perkembangan teknologi komputer menyebabkan munculnya juga jenis kegiatan-kegiatan baru, yaitu dengan memanfaatkan komputer sebagai modus operandi.6 Penyalahgunaan komputer dalam perkembangannya menimbulkan permasalahan yang sangat rumit, terutama kaitannya dengan proses pembuktian tindak pidana (factor yuridis). Apalagi penggunaan komputer untuk tindak kejahatan itu memiliki karakteristik tersendiri atau berbeda dengan kejahatan yang dilakukan tanpa menggunakan komputer (konvensional). Perbuatan atau tindakan, pelaku, alat bukti ataupun barang bukti dalam tindak pidana biasa dapat dengan mudah diidentifikasi, tidak demikian halnya untuk kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan komputer.

Kemudahan yang diperoleh melalui internet tentunya tidak menjamin jaminan bahwa aktifitas yang dilakukan di media tersebut adalah aman dan tidak melanggar

5

Ahmad M Ramli, “Cyber Law Dan Haki Dalam Sistem Hukum Indonesia”.(Bandung, 2004 ; Refika aditama).hal 3

6

Modus operandi menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah suatu hal yang melatar belakangi tindakan, dimana adanya keterhubungan antara kejiwaan dengan perbuatan yang dilakukan dikaitkan dengan keadaan sekeliling.


(9)

norma. Di situlah kita harus jeli dalam melihat permasalahan yang berkembang di dalam masyarakat. Pengaturan cyberlaw Indonesia jauh tertinggal jika dibandingkan dengan

negara-negara lain. Seperti di Asia Tenggara, Indoensia merupakan Negara yang baru memiliki perundang-undangan yang khusus mengenai cyberlaw. Salah satu isu dari

cyberlaw yang semakin marak akhir-akhir ini adalah cybercrime atau kejahatan yang

memiliki keterkaitan erat dengan teknologi informasi. Kejahatan yang terjadi melalui jaringan publik (internet) merupakan salah satu konsekuensi negatif dari suatu dunia yang tidak mengenal batas yurisdiksi. Kejahatan yang dikenal sebagai cybercrime ataupun

computer cryme Indonesia sebenarnya masih dapat ditangani dengan

perundang-undangan pidana Indonesia yang masih berlaku (KUHP). Namun seringkali timbul pertanyaan mengenai relevansi pengaturan tersebut dengan jenis tindak pidana yang berkembang sekarang. Salah satu kasus lama di Indonesia yang masuk dalam ruang lingkup kejahatan komputer yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor 363 K/PID/1984 Tanggal 25 Juni 1984 mengenai penggelapan uang di bank melalui komputer. Perbuatan pidana itu merupakan kerjasama antara orang luar dengan oknum pegawai BRI cabang Brigjen Katamso Yogyakarta dari tanggal 15 September-12 Desember 1982, yaitu dengan cara mentransfer uang melalui kliring, kemudian warkat kliring yang diterima dari keliring tersebut oleh oknum pegawai BRI secara melawan hukum dan tanpa sepengetahuan bagian kartu dibebankan pada rekening orang lain yang bukan ke rekening yang tertulis pada warkat keliring dengan cara membukukan melalui komputer tanpa kartu atau strook mesin. Perbuatan ini berlangsung 44 kali mencapai jumlah Rp.

815.000.000.00,- serta Rp. 10.000.000.00,- melalui validasi tunai tanpa dilakukan mutasi atas kartu nasabah Nyonya Karlina. atas perbuatan tersebut Pengadilan Negeri


(10)

Yogyakarta dengan keputusannya Nomor. 33/1983/PID/PN tanggal 20 September 1983 menjatuhkan hukuman atas terdakwa bersalah melakukan perbuatan korupsi dan menghukum penjara 10 tahun dipotong masa tahanan, harus membayar biaya perkara Rp. 100.000.00,- Keputusan ini diperkuat oleh keputusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 41/1983/Pid/PTy, Tanggal 6 Maret 1984 dan Mahkamah Agung dengan keputusan Nomor. 363/K/PID/1984 tanggal 25 Juli 1984 menolak permohonan kasasi yang diajukan jaksa karena hak permohonan kasasi telah gugur, disebabkan tidak ada memori kasasi. Adapun landasan hukum penuntutan adalah Pasal 55 (1) jo. Pasal 64 (1) KUHP Pidana jo Pasal 1 (1a) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang pada intinya perbuatan tersebut dilakukan bersama-sama antara terdakwa dan oknum pegawai BRI dan merugikan Negara.7

Perbuatan melawan hukum di dunia cyber sangat tidak mudah diatasi dengan mengandalkan hukum positif konvensional, Indoensia saat ini baru mereflesikan diri dengan Negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, India, atau Negara maju seperti Amerika Serikat dan Negara Uni Eropa yang telah secara serius mengintegrasikan regulasi hukum cyber ke dalam hukum fositif nasionalnya.8

Salah saru implikasi teknologi informasi yang saat ini menjadi perhatian adalah pengaruhnya terhadap eksistensi hak atas kekayaan intelektual (HAKI) disamping terhadap bidang-bidang lain seperti transaksi bisnis (elektronik) kegiatan

e-government(sistem informasi pemerintah), dan lain-lain, Kasus-kasus terkait dengan

7

Dikutip dari buku Edmon Makarim. Pengantar Hukum Telematika.(Jakarta; PT Raja Grapindo Persada, 2005). hal. 418

8

Lihat Leonardo, Edmon,Ahmad M Ramli,Kimberley, Paul. “government of indonesia information infrastructure development project (IIDP).,hal 170


(11)

pelanggaran hak cipta dan merek melalui sarana internet dan media komunikasi lainya adalah contoh yang marak terjadi saat ini.9

Pembuktian tentang benar tidaknya melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting secara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan, bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakawakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar, untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil.

Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan, sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat.

Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara Eropa Kontinental yang lain, menganut bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang di ajukan dengan keyakinan nya sendiri dan bukan dari juri seperti Amerika Serikat dan Negara-negara Anglo Saxon, Di Negara-negara tersebut, belakangan juri yang umum nya terdiri dari orang awam itulah yang menentukan salah tidak nya seorang terdakwa. Sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana.10

Hukum pembuktian, yang tercantum dalam buku IV (keempat) dari Burgelijk

Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengandung segala aturan

pokok pembuktian dalam perdata, pembuktian dalam BW semata-mata hanya berhubungan dengan perkara saja, ada beberapa definisi yang di kemukakan oleh para

9

Ibid.,h. 4

10


(12)

sarjana hukum yang dapat dijadikan acuan, menurut Pitlo pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya, menurut Subekti yang dimaksud dengan membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakakn oleh para pihak dalam dalam suatu persengketaan.

Berkenaan dengan bukti surat, sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1867 KUHPer dikenal dengan pembagian katagori “tertulis” yakni : a) Akta otentik dan b) Akta di bawah tangan.11 Kekuatan pembuktian dengan akta otentik lebih kuat dibanding dengan akta di bawah tangan karena mempunyai kakuatan, pembuktian formil, pembuktian mengikat, dan pembuktian keluar. Hal ini mengingat bahwa dalam pasal 1868 KUHPer dinyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat menurut bentuk undang-undang, oleh dan di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang di tempat itu.(contoh akta jual beli tanah). dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik No 11 Tahun 2008, menyatakan akan keabsahan alat bukti yang bersifat elektronik yaitu terangkum dalam Bab III pasal 5 ayat 1 : “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah ”. dan

pasal 5 ayat 2 :” informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagamana dimaksud

pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di

indonesia”. Dalam pada pasal itu ada yang membahas tentang “informasi elektronik

merupakan alat bukti yang sah” di sini dapat digarisbawahi bahwa yang merupakan alat

bukti yang sah dan mempunyai kekuatan seperti apa yang dimaksudkan dengan pasal 1868 tersebut yaitu sama dengan akta otentik, hal ini diperinci oleh pasal 16 ayat 1 point

11

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undnag Hukum Perdata.(Jakarta : Sinar Grafika. 2007) cet ke-7


(13)

(b) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik12 yaitu “Dapat melindungi ketersediaan keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam

penyelenggaraan sistem elektronik tersbut“.

Pembuktian dalam hukum acara pidana agak berbeda dengan pembuktian dalam acara perdata, di mana dalam acara pidana pembuktian bersifat materil sedangkan untuk acara perdata bersifat formil. Oleh karena itu, sekiranya dicurigai terhadap alat bukti telah dipalsukan. Persidangan acara perdata akan menunggu diputuskanya dulu kasus pidana tersebut, Dalam hukum acara perdata pembuktian formil yang dimaksud pada pokok nya adalah cukup membuktikan adanya suatu peristiwa hukum yang memperlihatkan hubungan hukum dari para pihak.

Alat bukti dahulu diatur dalam pasal 295 HIR yang macam nya sebagai berikut : a. Keterangan saksi/kesaksian-kesaksian

b. Surat-surat c. Pengakuan

d. Petunkuk/isyarat-isyarat13

Lebih lanjut sebagaimana tercantum dalam pasal 184 KUHAP, Alat-alat bukti14 yang dikenal hukum acara pidana adalah :

a. Surat

b. Keterangan saksi

12

Depkominfo. RI. UU NO 11 TAHUN 2008.h.11

13

Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Perdata, Dan Korupsi Di Indoenesia, (jakarta : Fadya Indah Mandiri, 2008).h.16

14

Alat bukti berbeda dengan barang bukti, dimana menurut acara pidana ada tiga katagori barang bukti , yaitu : (a) barang yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana; (b) barang yang digunakan untuk membantu terjadinya perbuatan pidana; dan (c) barang yang menjadi hasil perbuatan pidana.


(14)

c. Petunjuk

d. Keterangan ahli, dan e. Sumpah 15

Sementara itu, untuk acara perdata pasal 164 HIR (Herizein Inlands Reglement), atau RIB (Reglement Indonesia yang Diperbarui) staatsblaad 1941 No. 44 dan 1866 KUHPer adalah (a) Surat, (b) Pengakuan, (c) Persangkaan, (d) Bukti saksi, dan (e) Sumpah.16 Berdasarkan hal tersebut, Jika kita cermati keberadaan suatu informasi yang dihasilkan oleh suatu sistem informasi elektronik bersifat netral, yakni sepanjang sistem tersebut berjalan baik tanpa gangguan, input dan output yang dihasilkan terlahir

sebagaimana mestinya.

Sehubungan dengan standar penyelenggaraan sistem informasi yang baik, maka secara tidak langsung akan dibedakan dengan dua jenis kekuatan pembuktian, valid dan tidak valid, atau layak atau tidak untuk di percaya. Hal ini akan mengarah kepada aspek akuntabilitas dari penyelenggaraan sistem itu sendiri, jika ia memenuhi kriteria standar, sepanjang tidak dapat dibuktikan lain oleh para pihak, Sistem telah dapat dijamin sebagaimana mestinya dan output informasi dapat dinyatakan valid dan outentik secara substansial sehingga informasi tekstual tersebut dapat diakui di persidangan dan layaknya diterima paling tidak sebagai alat bukti surat atau bukti tulisan.17

Dalam literatur bahwa ada kajian konsepsi berkaitan alat bukti pada zaman sahabat Nabi dan yang dianut oleh para imam Mazhab yaitu yang berkaitan dengan

15KUHAP dan KUHP.

Jakarta : Sinar Grafika. 2006 cet, ke-6

16

R. Soesilo. HIR dan RIB dengan penjelasan.Bogor : Politea. Hal 121

17

Edmon makarim. Pengantar Hukum Telematika.(Jakarta, : Raja Grafindo Persada. 2005) hal 241


(15)

sumpah. Ada beberapa pendapat para ulama berkaitan akan sumpah yang di ucapkan oleh tergugat yaitu :

Pertama.menetapkan, Bahwasanya sumpah itu adalah keterangan yang lemah,

tidak dapat menyelesaikan sengketa secara memuaskan kedua belah pihak. Karena itu hakim boleh menerima saksi yang dapat di ajukan oleh si penggugat, sesudah sitergugat bersumpah, Umar Ibn Al Khatab berpegang pada pandapat ini juga segolongan hakim salaf.

Kedua. Pendapat Imam Malik, beliau membolehkan si penggugat mengajukan

saksinya untuk membenarkan gugatannya. Sesudah si tergugat bersumpah. Akan tetapi dengan syarat, si penggugat tidak mengetahui ada saksinya sebelum dilakukan sumpah. Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama Syafi’iyah, seperti Al Ghazali.

Ketiga.Sumpah di anggap alat menyelesaikan perkara, maka tidak boleh

mendengar keterangan saksi sipenggugat sesudah si tergugat bersumpah, Karena sumpah si tergugat telah membatalkan hak si penggugat, Karenanya tidak lagi diterima kesaksianya. Pendapat ini dipegang oleh Ahluzh Zhahir, Ibnu Laila, dan Abu Ubaid.18

Kebanyakan perundang-undangan barat yang membolehkan sumpah mengambil jalan tengah. Sesuai dengan mazhab Hanafi, yaitu dapat memenangkan si penggugat apabila si tergugat tidak mau bersumpah. Tetapi pihak tergugat boleh meminta supaya pihak penggugat bersumpah. Apabila terjadi hal yang demikian, maka si penggugat dihukum benar. Tetapi apabila dia juga enggan bersumpah, maka gugatannya ditolak19

18

Ibid.hal 152-153

19


(16)

Ternyata pemerintah Indonesia dengan serius akan menindaklanjuti kesetiap wibesite (situs informasi) untuk selalu menjaga norma-norma dan etika dalam

penggunaan fasilitas dunia maya (cyber space) ini terlihat dari berbagai situs-situs yang oleh pemerintah Indonesia di blockir, dengan hal tersebut, banyak pengguna Internet mengganggap situs resmi pemilik saham.

Salah satu konsep pembuktian dalam hukum islam adalah adanya alat bukti petunjuk (karinah) dan keterangan saksi (syahadah). Dari teori tersebut akan terlihat jelas bagaimana hukum pidana islam ternyata sudah mempunyai alur sistem pembuktian hingga zaman kemajuan dalam teknologi.

Dalam berbagai kasus cybercrime di Indonesia seperti sejumlah pemuda dari

Medan yang memasang iklan di web yang sangat terkenal “yahoo” yaitu dengan menjual mobil mewah Ferrari dan Lamborghini dengan harga murah sehingga menarik minat seorang pembeli dari Kuwait. Steven Haryanto seorang hacker dari Bandung ini sengaja dengan membuat situs asli tapi palsu layanan internet banking Bank Central Asia (BCA). Dani Hermansyah tahun 2004 melakukan deface (perubahan pada tampilan ataupun

penambahan materi pada suatu website yang dilakukan oleh hacker) dengan mengubah

nama-nama partai yang ada dengan nama-nama buah dalam website www.kpu.go.id.

Yang mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang sedang berlangsung pada saat itu.20 Dan terakhir adalah kasus Erick Jazier Adriansjah yang menyebarkan berita bohong mengenai lima Bank yang mengalami krisis likuiditas

20

Petrus Reinhard Golose, perkembangan cybercrime dan upaya penanganannya di Indonesia oleh Polri. Buletin hukum perbankan, Vol, 4. Nomor 2, Agustus 2006.


(17)

dengan menyebarkan lewat e-mail, faks dan pesan pendek kepada sejumlah kantor dan nasabah.21 Semua pelaku tersebut diatas ditangkap oleh kepolisian dengan petunjuk.

Dari berbagai permasalahan diatas maka penulis sangat tertarik untuk membahas akan permasalahan tersebut dengan membuat sekripsi dengan judul. “KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berawal dari banyaknya permasalahan yang ada dalam pembahasan tentang perkara Informasi dan Transaksi Elektronik, maka penulis membatasi ruang lingkup skripsi ini hanya pada beberapa pokok masalah terpenting saja baik dari segi Normatif yaitu : hanya membahas tentang kekuatan bukti-bukti elektronik yang tertuang dalam Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan hukum Islam, Serta peraturan lain yang di anggap relevan, Maupun dari segi aplikasinya atau penerapan pasal-pasal tersebut dalam tatanan hukum pidana Indonesia saat ini.

Untuk mencapai hasil yang maksimal, perlu adanya rumusan-rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan Pembuktian elektronik ?

2. Bagaimanakah kekuatan alat bukti elektronik tersebut dalam hukum positif ? 3. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap alat bukti elektronik tersebut ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

21


(18)

1. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan alat-alat bukti elektronik dalam hukum positif dan hukum Islam

2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan alat-alat bukti elektronik dalam proses peradilan serta dampaknya bagi kehidupan manusia

3. Memperoleh gambaran relevansi Normatif dari Perundang-undangan yang mengatur masalah alat-alat bukti elektronik.

Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : a. Segi Teoritis

Untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai pandangan hukum positif dan hukum Islam tentang alat-alat bukti Elektronik yang terus berkembang di Indonesia.

b. Segi Praktis

Mengetahui bagaimana korelasi pasal-pasal dalam hukum positif dan hukum Islam mengenai implementasi penerapan alat bukti elektronik diperadilan

D. MetodePenelitian

Jenis penelitian ini berbentuk penelitian kualitatif yang memakai deskriftif analisis

1. Sumber Data

Penulisan skripsi ini merupakan penelitian kepustkaan (library research) yaitu penelitian yang mengacu pada literatur-literatur dan referensi yang berkenaan dan berhubungan dengan judul skripsi ini.


(19)

a. Sumber data bahan hukum primer yaitu berupa kitab Al-Qur’an, Hadist, kitab undang-undang hukum acara pidana.(KUHAP),Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik. .

b. Sumber data bahan hukum sekunder berupa makalah-makalah, artikel, jurnal, dokumen-dokumen, dan referensi lainya yang berhubungan dengan masalah alat-alat bukti Elektronik.

2. Tehnik Pengumpulan Data

Penulisan ini sepenuhnya merupakan penelitian kepustakaan (library reseach) yaitu penelitian yang mengacu pada literatrue-literatur dan referensi yang ada lalu dibaca dan ditelaah secara akurat untuk memperoleh sumber-sumber yang berkaitan dengan skripsi ini.

3. Metode Analisis Data

Setelah data-data yang diperlukan telah terpenuhi maka langkah berikutnya adalah mengadakan identifikasi yang mengkaji secara analisis dengan menggunakan pendekatan yang akurat yaitu :

a Metode induktif yaitu metode berfikir yang bertitik tolak pada data-data yang bersifat khusus, yang mempunyai kesamaan, kemudian diimplikasikan menjadi kesimpulan yang bersifat umum.

b. Metode deduktif yaitu logika bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat umum kemudian dijadikan titik tolak dalam menilai suatu fakta yang bersifat khusus dan konkrit.


(20)

Sedangkan tehnik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis Dan Disertasi yang disusun oleh. Tim Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.2007”

E. SistematikaPenulisan

Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut :

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II Menguraikan beberapa masalah yang berkaitan dengan tinjauan umum tentang alat-alat bukti elektronik,sistem pembuktian, dan alat-alat bukti dalam kaedah hukum positif dan hukum islam .

BAB III Dalam bab ini penulis membahas tentang pembuktian alat bukti elektronik dalam perkara pidana, sekilas tentang elektronik, alat bukti elektronik, modus operandi kejhatan dunia maya (cyber crime), penyidikan tindak pidana, dan berbagai kebijakan/ peraturan alat bukti elektronik.

BAB IV Dalam bab ini penulis meguraikan kajian hukum yang berkaitan tentang, Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Positif. Kekuatan alat bukti elektronik dalam hukum islam, Pendapat para imam mazhab berkaitan dengan alat bukti elektronik. Dan pendapat penulis berkaitan dengan kekuatan alat bukti elektronik.

BAB V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran


(21)

BAB II

TEORI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. TEORI PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM POSITIF 1. Pengertian Pembuktian

Dalam rambu-rambu hukum, pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting hukum acara, sebab pengadilan dalam penegakan hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian yang ada, dalam hal ini hak asasi manusia di pertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hakim harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hukum pembuktian.

Pembuktian berasal dari kata bukti, bukti menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, sedang pembuktian itu sendiri adalah prosesnya, artinya guna membuktikan atau usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.22

Beberapa ahli hukum memberikan komentar berbeda-beda tentang arti pembuktian, sesuai dengan pandangan mereka, di antaranya :

22

Tim Penyusun Kamus Pustaka dan Pengembangan Bahasa, kamus besar bahasa Indonesia,(Jakarta: balai pustaka, 1988), cet. Ke-1, h.133


(22)

a. Menurut R, Subekti, bahwa yang dimaksud dengan membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.23

b. Menurut TM, Hasbi Ash-Shiddieqy, bahwa pembuktian adalah segala yang dapat menampakkan kebenaran, baik dia merupakan saksi atau yang lain. 24 c. Menurut A, Mukti Arto, bahwa yang dimaksud dengan membuktikan artinya

mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.25

2. Beban Pembuktian

Dalam hukum acara, pembagian pembuktian merupakan bagian dari dasar hukum, pembuktian yang diatur oleh undang-undang, akan tetapi dalam pengaturan undang-undang tidak banyak memberikan penjelasan secara mendetail, Namun persoalan ini sangatlah penting untuk dipahami, karena menyangkut soal hukum di pengadilan yang mengakibatkan batalnya putusan pengadilan, pembuktian dilakukan para pihak dan bukan oleh hakim, hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Hakimlah yang membebani para pihak dengan pembuktian (bewijslast, burden of proof) 26

23

Subekti, Hukum Pembuktian. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), cet, ke-VIII,h.7

24

Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,(Jakarta: bulan bintang, 1975), h.139

25

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 1998), Cet. Ke-II, h. 135

26

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2006, Cet,Pertama, h.141


(23)

Beban pembuktian dalam hukum perdata, seperti dalam pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg, 1865 KUHPer) dapat disingkat sebagai berikut: ”Siapa yang mengemukakan sesuatu, mesti membuktikan”. Dengan dasar ini saja, tidak berbuat apa-apa. Pasal ini mengatakan siapa yang mengatakan mempunyai hak, mesti membuktikan haknya itu. dan siapa yang mengemukakan suatu peristiwa untuk menguatkan haknya atau untuk membantah hak orang lain, mesti membuktikan adanya peristiwa itu..

Nampaknya. Penjelasan yang terdapat pada pasal 1865 tidak berbeda dengan pasal 163 HIR yang mengatakan bahwa: “Barang siapa yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”.27

Atau pasal 1865 bahwa ”Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang di kemukakan itu”.28

Dari pasal-pasal di atas adanya suatu variable yang terkait yang menggaris bawahi “Apabila ada suatu hak, atau apabila ada suatu peristiwa. Maka para pihak harus membuktikan akan adanya semua itu di persidangan”.

Berbeda dengan beban pembuktian yang terdapat dalam hukum acara pidana positif, yang harus diingat adalah adanya azas presumption innocence dalam hukum acara pidana positif, yang secara tegas azas tersebut tercantum dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No 4 Tahun 2004, pasal 8 :”Setiap orang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap

27

R.Tresna, komentarHIR.(Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), cet. Ke-XV,h.139

28

Soedharyo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika. 2007),cet. Ke- VI.h.463


(24)

tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.29

Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pasal 66: ”Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.30 Hanyalah merupakan penjelmaan azas “Praduga tak bersalah”.

Dengan demikian berarti bahwa beban pembuktian ini diletakkan di pundak jaksa penuntut umum selaku pihak yang mendakwa. Jadi, pihak penuntut umumlah yang mempunyai beban pembuktian, artinya ia harus membuktikan kebenaran tentang apa yang tersusun dalam surat dakwaannya. Adapun yang harus dibuktikan adalah semua unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepada terdakwa.31

3. Macam-Macam Teori Pembuktian

Dari peristiwa yang harus dibuktikan adalah kebenaranya. Sering dikatakan, bahwa dalam acara perdata, kebenaran yang harus dicari oleh hakim adalah kebenaran formil, berlainan dengan dalam acara pidana, di mana hakim mencari

kebenaran materil, ini tidak berarti bahwa dalam perdata hakim mencari kebenaran

yang setengah-setengah atau palsu. Mencari kebenaran formil berarti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara. Jadi tidak melihat bobot isi, akan tetapi kepada luas dari pada pemerikasaan oleh hakim32. Pasal

29

Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.(Jakarta : CV. Eko Jaya, 2004), cet ke-1, h.5

30KUHP dan KUHAP

,(Jakarta : Sinar Grafika. 2006), cet ke-VI.h.226

31

Ansori Sabuan,Hukum Acara Pidana,(Bandung : Angkasa, 1990),Edisi ke-1,h.191

32

Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia.(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. 1998),cet.ke-1.edisi ke-5.h.138


(25)

178 ayat 3 HIR atau pasal 183 ayat 3 Rbg. Adapun pasal 178 ayat 3, HIR33 adalah : “Ia (hakim) tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat”. Sedang bagi hakim pidana dalam mencari kebenaran materil peristiwanya harus terbukti.

Dalam sistem pembuktian yang ada di Indonesia dalam setiap peradilanya, setidaknya mempunyai teori-teori tersendiri dalam penamaannya. Atas berbagai teori tersebut hingga para pakar sarjana hukum menyepakati bahwa ada beberapa sistem dalam peradilan yang ada di Indonesia dan menjadi acuan prakteknya. Di antara dari teori-teori tersebut adalah :

a. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim

Keberadaan dari sistem atau teori ini berasal dari pemikiran bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakawakan. Oleh Karen aitu, bagaimanapun juga diperlukan keyakinan hakim sendiri. Maka teori ini disebut juga conviction intime,

yaitu pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.34

b Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “Keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem ini faktor keyakinan hakim dibatasi, yaitu keyakinan hakim harus didukung

33

R.Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasannya,(Bogor: politie),h.131.

34


(26)

dengan “Alasan-alasan yang jelas”. Maka sistem ini disebut juga sebagai sistem conviction raisonee, hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa

yang mendasari keyakinan nya atas kesalahan terdakwa.35

c Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif

Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang di sebut undang-undang, disebut juga sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan oleh Undang-undang, maka keyakinan hakim dalam sistem ini tidak diperlukan lagi. Dalam sistem ini disebut juga teori pembuktian formal.36

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Negatif

Teori ini merupakan keseimbangan antara dua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstream. Dari keseimbangan tersebut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif “Menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem itu, terwujudlah suatu “Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Rumusan berbunyi : salah tidaknya seseorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang”.37

35

M. Yahya Harahap, Pembaharuan Permasalahan Dan Penerapan KUHP,(Jakarta : sinar grafika, 2000), cet. Ke-I, h.256

36

Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,h.247

37


(27)

4. Sistem Pembuktian

Berbicara masalah sistem pembuktian dalam hukum acara postif, tidak terlepas dari pembicaraan pembuktian, macam-macam bukti, dan kekuatan masing-masing alat bukti itu. Begitu pula tidak terlepas dari teori sistem pembuktian yang ada. Oleh karena itu, dalam uraian selanjutnya sedikit banyak akan dibicarakan kembali mengenai sistem-sistem pembuktian yang telah dikemukakan di atas.

Untuk mencari dan menemukan kebenaran di sidang pengadilan, hakim harus berpedoman pada pasal 183 KUHAP jo pasal 6 ayat (2) Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No 4 Tahun 2004 jo pasal 294 ayat (1) HIR tentang pembuktian, yang masing-masing berbunyi:

Pasal 183 KUHAP berbunyi :“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya”. 38

Pasal 6 ayat (2) KUUKK (No 4 Tahun 2004) berbunyi :“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang di anggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.39

Pasal 294 ayat (1) HIR berbunyi :“Tiada seorang pun boleh dikenakan hukuman, selain jika mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar

38

KUHAP dan KUHP.(Jakarta : Sinar Grafika. 2006),cet.ke-6.h.271

39Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

.(Jakarta : CV. Eko Jaya, 2004), cet ke-1, h.5


(28)

telah menjadi perbuatan yang dapat dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu”.40

Dari bunyi pasal di atas, sama-sama menganut sistem “Pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Perbedaan antara ketiganya, hanya terletak pada penekanan saja. Pada pasal 183 KUHAP, syarat “Pembuktian menurut cara-cara yang sah”. Berbeda dengan pasal 6 ayat (2) KUUKK (No 4 Tahun 2004) yang hanya menyebutkan “Alat pembuktian” tanpa menyebutkan batas minimum alat bukti yang digunakan kemudian pada pasal 294 ayat (1) HIR yang selalu menekankan dasar “Keyakinan hakim“ untuk memutuskan salah tidaknya seseorang tertuduh, meskipun dengan pembuktian. Akan tetapi tanpa menyebutkan batas minimum alat bukti.

Dengan melihat ketentuan pasal 183 KUHAP dan pasal 294 ayat (1) HIR tersebut di atas, terkandung beberapa hal pokok, yaitu :

a. Sekurang-kurang nya harus ada dua alat bukti yang sah menurut undang-undang yang berlaku

b. Dan atas dasar alat bukti yang sah tersebut, hakim berkeyakinan bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwa telah bersalah.41

Pengertian dari kata sekurang-kurang nya tersebut, di atas kalau di hubungkan dengan alat bukti yang sah, seperti yang termaktub dalam psal 184 ayat (1) KUHAP maka perkataan sekurang-kurang nya itu berarti merupakan dua di antara lima alat bukti, yakni: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk,dan Keterangan terdakwa.

40

R.Tresna, komentarHIR.(Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), cet. Ke-XV,h.237

41

Andi Hamzah, Editor, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana,(Jakarta: Ghalia Indonesia,1986),cet.ke-1,h. 86


(29)

Dengan sekurang-kurang nya alat bukti menurut sistem pembuktian yang dianut KUHAP di negara Indonesia adalah negatief wettelijk. maka syarat tersebut

hanya memenuhi wettelijk saja. Sedangkan syarat negatifnya adalah keyakinan dari

hakim terhadap terdakwa, apakah tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa benar-benar dilakukan terdakwa atau tidak. Jadi sangat tepat untuk membuktikan tindak pidana di dalam sidang pengadilan, di samping memenuhi syarat sekurang-kurang nya dua alat bukti yang sah menurut undang-undang, harus ada keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah telah melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan. Serta tidak mengenal adanya alat bukti yang tersebut di luar undang-undang. Hal ini dimaksud untuk menjaga dan melindungi hak-hak si terdakwa.

5. Alat-Alat Bukti

Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungan nya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.42

Sebagaimana di uraikan terlebih dahulu, pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara “limitatif“ alat bukti yang sah menurut undang-undang, di luar alat bukti itu, tidak di benarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa, ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, terikat dan terbatas hanya di perbolehkan mempergunakan alat-alat bukti yang dikehendakinya

42

Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Perdata, Dan Korupsi Di Indonesia, jakarta : FIM Jakarta, 2008. h.11


(30)

di luar alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana dan dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian”, alat-alat bukti tersebut dalah :

a. Keterangan saksi

Pada pasal 1 butir (27) KUHAP, yang menyatakan: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuanya itu”.

Sedangkan pengertian keterangan saksi sebagai alat bukti, di jelaskan dalam pasal 185 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan;“keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”

Kemudian dari kesaksian itu sendiri ada dua macam, yaitu saksi yang kebetulan mengetahui dan saksi yang sengaja untuk menyaksikan suatu perbuatan. Kesaksian harus terbatas kepada peristiwa-peristiwa yang dialami sendiri, mengetahui sendiri dengan mata kepala sendiri (ratio sciandi). Pendapat atau persangkaan yang di peroleh secara berfikir (ratio concludendi), bukan merupakan kesaksian.

b. Keterangan Ahli

keterangan ahli terdapat dalam pasal 1 butir (28) KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan ahli, adalah: “Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang tentang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Pengertian keterangan ahli ini, diperjelas lagi oleh pasal 120 KUHAP yang berkesimpulan bahwa:“ keterangan ahli adalah orang yang memiliki keahlian


(31)

khusus”, yang akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya”

Sedangkan keterangan ahli dinilai sebagai alat bukti, dinyatakan dalam pasal 186 KUHAP, yaitu: “keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”.

Dari beberapa pemahaman tentang pengertian keterangan ahli dalam KUHAP tersebut, maka bantuan yang dapat diberikan oleh para ahli tersebut adalah untuk menjelaskan tentang bukti-bukti yang ada, setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli-ahli lainya. Wajib memberikan keterangan demi keadilan dengan mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang kehlianya. Hal tersebut terangkum dalam bunyi pasal 179 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

c. Surat

Alat bukti surat-surat atau tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, bukanlah termasuk pengertian alat bukti tertulis atau surat-surat.

Surat sebagaimana dalam 187 ayat (1) huruf c, ternyata dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : “Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang


(32)

didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.”

Potret atau gambar, peta, denah, meskipun ada tanda-tanda bacaan, tetapi tidak mengandung suatu buah pikiran atas isi hati seseorang. Itu semua hanya sekedar merupakan barang atau benda untuk meyakinkan.43

d. Petunjuk

Menurut pasal 188 KUHAP bahwa petunjuk adalah :“Perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.

Petunjuk bukanlah merupakan alat pembuktian yang langsung, tatapi pada dasarnya adalah hal-hal yang disimpulkan dari alat-alat pembuktian yang lain, yang menurut pasal 188 ayat (2) KUHAP hanya dapat diperoleh dari : Keterangan saksi, Surat dan Keterangan terdakwa

Selanjutnya dalam ayat (3) dari pasal yang sama menekankan bahwa penilaian atas kekuatan dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

e. Keterangan Terdakwa

Lain halnya dengan hukum acara pidana yang lama (HIR) yang mengenal pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang sah, maka dalam KUHAP dipakai istilah keterangan terdakwa, apakah perbedaanya?

43

H.Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet.ke-IX,h.148


(33)

Menurut Ansori Sabuan, bahwa pengakuan terdakwa (bekentenis) ialah pernyataan terdakwa bahwa ia melakukan tindak pidana dan menyatakan dialah yang bersalah. Sedangkan keterangan terdakwa (erkentenis) tidak usah merupakan pengakuan bersalah, pemungkiran pun dapat dijadikan bukti, sehingga pengertianya lebih luas dari pengakuan terdakwa.44

Hal ini serupa dijelaskan pula oleh Andi Hamzah, bahwa dalam pengakuan terdakwa sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat yaitu:

1). Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan. 2) Mengaku ia bersalah

Dari kedua syarat inilah yang membedakan bagi keterangan terdakwa yang memberikan arti lebih luas pengertiannya dari pada pengakuan terdakwa itu sendiri.45

Kemudian dalam KUHAP secara definitif dijelaskan pada pasal 189 ayat (1) yang menyatakan:“Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa menyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.

Jadi, keterangan terdakwa itu sebagai alat bukti harus dinyatakan di sidang. Sedangkan keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, dapat di pergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya dan keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

44

Ansori Sabuan,Hukum Acara Pidana, (Bandung : Angkasa, 1990),Edisi ke-1,h.196

45


(34)

Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat-alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang pasal 164 HIR, 284 Rbg, 1866 BW) ialah alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.

f. Alat bukti tertulis

Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR dan 1867-1894 BW. Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

g. Pembuktian dengan saksi

Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan peribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.

h. Persangkaan-persangkaan

Persangkaan-persangkaan diatur dalam pasal 164 HIR dan 1866 BW, dalam penejelasan HIR 173 menguraikan tentang persangkaan, namun tidak memberi perumususan apa yang dinamakan “persangkaan” itu, pasal itu hanya memberikan ketentuan, bahwa persangkaan-persangkaan saja, yang tidak didasarkan atas suatu undang-undang.hanya boleh diperhatikan oleh pada mempertimbangkan suatu


(35)

perkara, kalau persangkaan-persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan bersesuaian satu sama lain.46

Pada hakekatnya yang dimaksudkan dengan persangkaan tidak lain adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya saja pembuktian dari pada ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan membuktikan kehadiranya pada waktu yang sama di tempat lain. Dengan demikian, maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai persangkaan.47 i. Pengakuan

Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam Pasal 174, 175, 176 HIR dan 1923 -1928 BW. Pengakuan dapat diberikan di muka hakim di persidangan atau di luar persidangan.

Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke bekentenis)

merupakan keterangan sepihak. baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan. Yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi.

j. Sumpah

Alat bukti sumpah di atur dalam pasal 155-158, 177 HIR dan 1929-1945 BW. Yang pada umum nya diartikan sebagai suatau pernyataan yang khidmat

46

Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasannya, (Bogor: politie),h.127

47

Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. 1998),cet.ke-1.edisi ke-5.h.177


(36)

yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehnya. Jadi pada hekekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.

B. TEORI PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM ISLAM 1. Pengertian Pembuktian

Dalam hukum Islam, pembuktian disebut juga

(Al-Itsbat),48 yang artinya membuktikan atau menetapkan adanya suatu peristiwa, Muhamad Salam Madzkur mengartikan pembuktian dengan kata (Al-Bayyinah),49 yang artinya menjelaskan atau membuktikan, perbedaan tersebut adalah hanya karena perbedaan ruang lingkup arti kata itu sendiri, di mana di satu pihak berarti umum dan di pihak lain bersifat khusus, yang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama. Di dalam buku Ensiklopedi hukum Islam, kata bayyinah diartikan secara etimologis berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar), sedangkan dalam istilah teknis, berarti alat-alat bukti dalam sidang pengadilan.50

Selanjutnya Ibnu Al-Qayyim memberi definisi tentang al-bayyinah (

)

atau pembuktian sebagai berikut:

48

Subhi Mahmassany, Filsafat Tasyri’ fi Al-Islami, (Beirut: Darul Ilmi Lil Malayin, 1380 H), h. 291

49

Muhamad Salam Madzkur, Al-Qadha’u Fi Al-Islam, (Kairo: Dar an-Nahdah Al-Arabiyah, tanpa tahun), h.83

50


(37)

ی

!"ی#

Artinya :“Pembuktian adalah suatu nama bagi segala sesuatu yang dapat menjelaskan perkara yang benar dan menampakkan nya”

Definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim pun pada dasarnya tidak menitikberatkan kepada alat-alat bukti, akan tetapi meliputi segala sesuatu apapun wujudnya, maka dapat dianggap sebagai katagori alat bukti.

Sedangkan menurut Subhy Mahmassany bayyinah adalah sebagai berikut:

!ی # $

Artinya:“Pembuktian adalah mengemukakan alasan dan memberikan dalil suatu perkara sehingga kepada meyakinkan”.

Pendapat Subhy Mahmassany tersebut sama dengan pendapat para ahli hukum lainya bahwa pembuktian tidak terbatas pada alat-alat bukti tertentu, hanya saja ia menambahkan harus dengan keyakinan hakim, keyakinan menurutnya adalah “apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atau dasar penelitian dari dalil-dalil itu”. 51

Dari uraian di atas dapatlah dikompromikan karena mempunyai tujuan yang sama, sehingga antara definisi yang satu dengan yang lainya saling kuat menguatkan, dan akan menghasilkan pengertian yang lebih sempurna, yang berarti pembuktian adalah usaha menghadirkan keterangan mengajukan alasan untuk menjelaskan yang benar dari suatu peristiwa hingga mencapai keyakinan hakim tentang dalil-dalil yang diajukan ke persidangan. Sehingga masing-masing pihak mempunyai hak yang sama dalam melakukan pertarungan hukum di muka hakim.

2. Sistem Pembuktian

51


(38)

Terlintas dalam pikiran kita bahwa dari berbagai teori pada bab-bab sebelumnya yaitu tentang konsep teori pembuktian menurut hukum positif, begitu lengkapnya hingga pada akhirnya yaitu tentang sistem pembuktian. Lalu bagaimanakah dengan konsep hukum acara Islam ? Kalau kita amati bersama, dalam hukum acara Islampun menganut sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi pada masa Rasulullah, sahabat dan para ulama, indikasi-indikasi tersebut adalah:

a. bahwa ternyata seluruh alat bukti yang dianggap sah oleh fuqaha berorientasi kepada memperkuat keyakinan hakim, untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan alat-alat bukti yang mengarah kepada keyakinan hakim yaitu:

1) Kesaksian (

%& !'

$

pengertian persaksian, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah Zahaili adalah sebagai berikut:

%& '( ﺏ *+ $

*,- . */ 0 1

2 3 4 5

6-“Persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran dengan lafadz syahadat di depan pengadilan”.52

Penggunaan saksi sebagai alat pembuktian untuk suatu jarimah merupakan cara yang lazim dan umum. Karena nya persaksian merupakan cara pembuktian yang sangat penting dalam mengungkapkan suatu jarimah.

Dasar hukum untuk persaksian sebagai bukti terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Dalam Al-Qur’an antara lain tercantum dalam:

52


(39)

1. Surah Al-Baqarah ayat 282

!

"

#

$%&

'

()*+ ,

./02 "

342 5%&

#

% 789 :

;<

# )=> 5%

8

*?

@

AB

# 7

C4DE%

<

FG

/ H

5DIJK L %&

<

FG

/ H

+M 58NO

P

$

% (

)

*

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu, jika tidak ada dua orang lelaki maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa, seorang lagi mengingatkannya”.(QS. Al-Baqarah: 282)

2. Surah At-Thalaq ayat 2:

7

M

%Q

RS

T*+U

V

) <W

! 7

/X

Y

FZ

[?

)

+,-* )

“….Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena allah..”(QS. Ath-Thalaq: 2)

Sebagaimana diketahui kesaksian *

$

merupakan alat bukti yang bersifat personal *

./0'

$, oleh karenanya benar atau salahnya keterangan yang dikemukakan para saksi, sepenuhnya diserahkan kepada keyakian hakim. Dalam hubungan ini ada satu kaidah fiqhiyah yang menyatakan:

“Pada dasarnya tidak dapat ditetapkan sesuatu yang disaksikan atau diceritakan (oleh saksi), kecuali berdasarkan keyakinan atau dugaan yang dipegang teguh oleh syara’ sesuai dengan dasar tersebut”.53

2) Petunjuk * ی ( $

Pengertian Qarinah menurut Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut:

53

Jalal Al-Din Al-Sayuti, Al-Sybah Wa Alnadzair Fi Al-Furu’,( Mesir: musthafa muhamad,t.p.,), h.39


(40)

1 23 4567 8 9:ﺥ 9< ﺵ >? (@ A B C A%?

D EB ی (

“Qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas yang menyertai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjukkan kepadanya”.54

Qarinah merupakan alat bukti yang diperselisihkan oleh para ulama untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. Untuk jarimah-jarimah yang lain, seperti hudud, qarinah banyak digunakan. Dalam jarimah zina, misalnya qarinah sudah dibicarakan, baik kegunaanya maupun dasar hukum nya. Salah satu contoh qarinah dalam jarimah zina adalah adanya kehamilan dari seorang perempuan yang tidak bersuami. Dalam jarimah syarbul khamr (meminum minuman keras), yang dapat dianggap sebagai qarinah, misalnya bau minuman keras dari mulut tersangka. Dalam tindak pidana pencurian, ditemukanya barang curian di rumah tersangka merupakan suatu qarinah yang menunjukkan bahwa tersangkalah yang mencuri barang tersebut.55

Petunjuk yang diketahui oleh hakim selam dalam sidang atau luar sidang merupakan indikasi yang menguatkan keyakinan hakim.56 Karena hanya berdasarkan indikasai tersebut hakim tidak dapat mengambil keputusan kecuali apabila ia telah yakin bahwa peristiwa itu telah terjadi. Hal ini sesuai dengan definisi qarinah itu sendiri berupa “tanda-tanda untuk memperoleh keyakinan”.

3) Pengakuan Terdakwa */ 78 $

54

Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillahu.h 391

55

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet. Ke-I.h.244

56Teori Pembuktian Menurut Fiqh Jinayat Islam

, Penerjemah: Drs. Usman Hasyim, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), Cet. Ke-1, h.96


(41)

Menurut arti bahasa adalah penetapan, sedangkan menurut syara’, pengakuan didefinisikan sebagai berikut:

? F

GGG

1ﺏ I 63 #9 ﺡ 3? ﺥ KB 93 ﺵ

57

“Pengakuan menurut syara adalah sesuatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut”.

Dasar hukum tentang iqrar (pengakuan) ini terdapat dalam Al-Qur’an, Sunah, dan Ijma’.adapun sumber dari Al-Qur’an

1. Surah An-Nisa’ ayat 135

@

\

]^Y ,

!'?

)_

*

)L()*`

.

ab)%!

DcdeH

f

*?

@

[?

)%

A/ 

*+Dd

g( 7

7

a )

.

f 5 ! O

P

$GGGG L M * )

“ Wahai orang-orang beriman, jadilah kami oprang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu….”(QS.An-Nisaa’:135)

Penyaksian seseorang atas dirinya sendiri ditafsirkan sebagai suatu pengakuan atas perbuatan yang dilakukannya.58

2. Surah Ali Imran

Q

H

K %O 7

h?

iY%N

8 j

W

kC_

?

<%

Llm%

*

V

R0Y lDJ

n@

<+

p

qTrT

J *?!

3S)

"

3s t =uv

<

w

*+

r

; _

%Ll%

x

p

f

yLp^(5cu_ l%

P

S

%!

Tr " 5 ! 7 *

zr %O 7

PA/ 

*+

a%Q

M{5 

H

})*

%!

( " 5 ! 7

P

S

%!

@

%&

T

( 7

*+

r

8

V

FYZ

57

Abd al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy,Beirut: Dar Al-Kitab Al-A’rabi, t,tp.h.303

58


(42)

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah Kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya",Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".

Pengakuan yang dapat diterima sebagai alat bukti adalah pengakuan yang jelas, terperinci, dan pasti. Sehingga tidak bisa ditafsirkan lebih kecuali perbuatan pidana yang dilakukanya. Kejelasan dan rincian dari pengakuan tersebut didasarkan kepada sunah Rasulullah saw, ketika beliau mengintrogasi Ma’iz yang mengaku berzina dan mengulangi pengakuan nya itu sebanyak empat kali, dalam introgasinya nabi menyatakan:

4 F8 "ﻥ#

OPQ# R2 F S02T

)

U 4K ? ی 8V

$

W? /

#?

*

Barangkali engkau hanya menciumnya, atau meremas-remasnya, atau hanya memandangnya? Ma’iz menjawab: Tidak, ya Rasulullah”. (Hadist Riwayat Bukhari)59

Selain persyaratan pengakuan di atas, selain itu untuk syarat sah nya pengakuan adalah bahwa pengakuan harus benar dan tidak dipaksa (terpaksa), pengakuan yang demikian harus timbul dari orang yang berakal dan mempunyai kebebasan (pilihan).dengan demikian, pengakuan yang datang dari orang gila, atau hilang akal nya, dan orang yang dipaksa hukum nya tidak sah dan tidak dapat diterima.60

b. Bahwa dalam hukum Islam, terdapat prinsip yang tidak dapat diabaikan dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana, prinsip ini menyatakan

59

Muhamad Ibn Ismail Al-Kahlani, Subul As-Salim, (Mesir: Maktabah Mustafa al-baby al-halaby. 1960), Juz IV.h.8

60


(43)

bahwa hukuman had harus dihindari manakala terdapat “keragu-raguan”. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah.

#L?&

#5

&

' ﺏ

!

G

Artinya :“Hukuman had harus dihindari berdasarkan keragu-raguan” . Pengakuan syubhat di sini adalah seluruh keadaan yang menyebabkan keraguan-raguan bagi hakim untuk memutuskan perkara, baik ditinjau dari segi maksud dilakukan tindak pidana

(

Xﻥ Y 5.F

$

,

ataupun karena syarat-syarat yang ditentukan tidak dipenuhi. Seperti mendakwakan seorang berbuat zina, berdasarkan bukti dua orang saksi saja. Sedangkan trdakwa tidak mengakui dakwaan itu. Atau melakukan pencurian dalam keadaan kelaparan merajalela atau melakukan pencurian harta milik orang hanya sendiri. Dalam keadaan seperti ini, hakim tidak dapat menjatuhkan had melainkan mengalihkan kepada hukuman ta’zir yang merupakan pendidikan bagi mayarakat

3. Alat-Alat Bukti

Para ulama berbeda pendapat tentang alat-alat bukti yang harus ada dalam setiap jarimah.yaitu perbedaan jumlah dan macam-macam alat buktinya, sebagai berikut:

Menurut jumhur ulama untuk pembuktian jarimah qishash dan diat dapat

dipergunakan tiga cara (alat bukti) pembuktian yaitu: pengakuan *

? F

$, persaksian

(

%& !'

$

, dan sumpah *

M(

$

61

Jalal Al-Din As-Sayuti, Al-Asybah Wa Al-Nadzair fi al-Furu’,(Mesir: musthafa Muhammad. t.th),h.39


(44)

Menurut sebagian fuqaha seperti ibn Al-Qayyim dari mazhab Hanbali, untuk pembuktian jarimah qishash dan diat digunakan empat cara (alat)

pembuktian, yaitu: pengakuan, persaksian, sumpah dan petunjuk62

Menurut TM Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan bahwa “alat-alat bukti yang berpokok dalam hujjah yang diperlukan dalam soal gugat menggugat ada tiga yaitu: iqrar’(pengakuan), saksi, dan sumpah.63

Menurut mazhab Hanafi menyatakan bahwa: “alat-alat bukti ada lima, yaitu: sumpah, pengakuan, penolakan sumpah, qasamah, bayyinah”, 64

Menurut ahmad ad-da’ur dalam kitabnya “Ahkam Al-Bayyinat” menyatakan bahwa “alat-alat bukti yang diakui oleh nash Qur’an dan Al-Hadist yaitu: pengakuan, sumpah, kesaksian, dan document-dokument tertulis yang meyakinkan”.65

Menurut Sayyid Sabiq menyatakan bahwa “alat-alat bukti adalah: iqrar, syahadah, surat-surat resmi yang mempunyai kekuatan hukum tetap”.66

Menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya “Bidayatul Mujtahid” menyatakan bahwa “alat-alat bukti itu ialah : saksi, sumpah, nukul, pengakuan, atau sesuatu yang tersusun dari salah satu bukti lain”.

62

Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy .h.,303

63

Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan Dalam Hukum Acara Islam, (semarang: PT Pustaka Rizki putra, 1997), Cet. Ke-I.h.136

64

Madzkur. Al-Qadha’u Fi Al-Islam,.h.74

65

Ahmad ad-da’ur, hukum pembuktian dalam islam, penerjemah syamsudin ramadlan, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah. 2007), h.7

66


(45)

Demikian para ulama sengat variatif dalam mengungkapkan alat-alat bukti tersebut, akan tetapi setelah membaca uraian beliau diatas dalam kitabnya masing-masing, maka dapatlah disimpulkan bahwa dalam hukum acara islam mengenal enam alat bukti. Sebagai berikut:

a. Sumpah *

M(

$

Menurut bahasa arab arti qasamah sama dengan *

4 PY # M

$ yang artinya bagus dan indah67, dan *

P

$ yang artinya sumpah.68 . namun dalam arti secara istilah didefinisikan sebagai berikut.

69

6(

ZK3& [7 %?0 P > Pی\ !B M( ﺏ & P #

Adapun yang dimaksud dengan qasamah disini adalah sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan.

Hanafiyah mendefinisikan qasamah dengan menyatakan bahwa

“Dalam istilah syara’, qasamah digunakan untuk arti sumpah dengan nama Allah SWT karena adanya sebab tertentu, untuk orang tertentu yaitu terdakwa dan menurut cara tertentu”.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa qasamah adalah sumpah diulang-ulang. Hanya saja siapa yang bersumpah masih di perselisihkan oleh para fuqaha, Menurut Hanafiyah, sumpah dilakukan oleh penduduk tempat di temukannya korban. Sedangkan menurut jumhur ulama menyatakan bahwa sumpah dilakukan oleh keluarga korban.

67

Munawir Ahmad Wason, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta : Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984. h.1119

68

Muslich,hukum pidana islam .h.234

69


(46)

Abdul Qadir Al-Audah dan Wahbah Zuhaili membuat dafinisi yang merangkum kedua pendapat tersebut. mengatakan : “Arti qasamah menurut istilah para fuqaha adalah sumpah yang diulang-ulang di dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan, yang dilakukan oleh wali (keluarga si terbunuh) untuk membuktikan pembunuhan atas tersangka, atau dilakukan oleh tersangka untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan pembunuhan”.

Menurut Ar’rafi dan Imam Nawawi : “Sumpah itu adalah memastikan sesuatu perkara atau menguatkan dengan menyebut nama Allah atau salah satu sifatnya”.70

Menurut TM. Hasbi Ash Shiddieqy :“Sumpah ialah memperteguh kebenaran sesuatu yang dimaksud dengan menyebut nama Allah atau sesuatu sifat-sifatnya”.71

Adapun mengenai penyebutan nama Allah dalam sumpah yaitu dengan menggunakan lafadz “102 ﺏ (demi Allah)dan bukan lainya, hal ini mengingat sabda Rasulullah Saw yang berbunyi:

B Xﺏ 3 W M0 #&# & Xﺏ\A ی # <7#

93K7 163 U X]? % ی

)

K:2 @V

Artinya:“Dan pada riwayat abu daud dan nasa’I dari abu hurairah r,a. marfu’: janganlah kalian bersumpah dengan nama ayah-ayah kelian atau ibu-ibu kalian dan jangan pula dengan nama dewa-dewa, dan janganlah kamu bersumpah dengan nama Allah kecuali kalau kalian sungguh-sungguh”.

b. Iqrar (pengakuan),

Iqrar menurut bahasa adalah yang berarti penetapan atau penemuan72, sedang iqrar menurut istilah:

70

Taqiuddin ad-Damsyki, Kifayah al-AhyarII,(bandung: Al-Ma’rif, tanpa tahun), h.247

71


(47)

? ﺥ\

(6MP E7K # 1P ﺡ E7 # ^:2 ﺏ (P A_:ﻥ X23 `2 ﺡ a bﺏ

Artinya:

“Mengakui adanya hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu sendiri dengan ucapan atau yang berstatus sebagai ucapan, meskipun untuk masa yang akan datang”

Sedangkan menurut Abdul Qadir Al-Audah, iqrar adalah:

c ﺡ 3? ﺥV

Artinya:“Pemberitahuan tentang sesuatu yang hak”

Adapun mengenai istilah iqrar dalam Al-Qur’an tercantum dalam surat Ali Imran ayat 81.

S

%! Tr " 5 ! 7

*

zr %O 7

PA/ 

*+

a%Q M{5 

H

})*

%!

( " 5 ! 7~

~

Artinya

:

“….

Allah berfirman: apakah kamu mengakui dan menerima perjanjianku terhadap yang demikian itu? Maka mereka menjawab, kami mengakui…”(Q.S. Ali Imran. 3:81)

Jadi iqrar adalah memberitahukan akan adanya hak orang lain pada diri si pengaku, adapaun fungsi iqrar adalah menguatkan alasan qadhi untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang memberikan pengakuan itu sendiri, ini berarti bahwa akibat dari adanya pengakuan itu tidak dapat melibatkan orang lain yang tidak memberikan pengakuan.

c. Bukti tulisan (R 6 $

Di zaman sekarang ini, bukti tertulis tidak dapat diabaikan karena dalam perkembangan nya tulisan menjadi alat bukti yang paling utama untuk menjadikan adanya suatu perbuatan, dan untuk memberikan keyakinan kepada hakim, oleh karena itu pada saat sekarang ini, alat bukti yang menggunakan

72


(48)

tulisan itu lebih diyakini kebenaranya dibandingkan dengan bukti lisan. Di dalam Al-Qur’an telah disyaratkan urgensi dari bukti tulisan ini, firman allah:

d. Petunjuk ( ی F$73

Menurut Subhi Mahmashani, definisi qarinah adalah:

( d5ﺡ ` %? EB ی (

74

Artinya: “Qarinah adalah tanda-tanda yang sampai derajat keyakinan”

Menurut wahbah zuhaili, definisi qarinah adalah:

0:ﺥ < ﺵ >? (@ % B C A%? ed2D EB ی (

f

1 23 ed567

Artinya:“Qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas yang menyertai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjukkan kepadanya”

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa untuk terwujudnya suatu qarinah harus dipenuhi dua hal, yaitu:

1) Terdapat suatu keadaan yang jelas dan diketahui yang layak untuk dijadikan dasar dan pegangan

2) Terdapat hubungan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara keadaan yang jelas (zhahir) dan yang samar (khafi)

Al-qur’an telah mengakui keabsahan atau kekuatan pembuktian dari alat bukti berupa petunjuk ini, melalui firman :

S

%!

•"

t

€2 

W

a

"

€D€

t

K'

V

?

F

0t 7

#

H

\•!K`

yLpcuW

<%!

; r!

4L r!

z%!

=u%&

)rt

8

.

fe Y%+

‚ƒ

#

H

#!K`

yLpcuW

<%!

; r!

~5Lf W

73

Wason, Kamus Arab-Indonesia, h.,1114

74


(49)

z fK %+%&

)rt

8

Z g^(

P

FK'

.

!

Yqu

Artinya :

“Yusuf berkata: “dia menggodaku untuk menundukan diriku (kepadanya)”, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksianya: “jika baju gamisnya koyak dimuka, maka wanita itu benar dan yusuf termasuk orang-orang yang dusta,dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan yusuf termasuk orang-orang yang benar” (Q.S. Yusuf. 12:26-27)

Namun para ulama memperselisihkan akan kekuatan alar bukti petunjuk tersebut dalam tundak pidana pembunuhan dan penganiayaan, untuk jarimah-jarimah yang lain, seperti hudud, qarinah banyak digunakan. Dalam jarimah-jarimah zina. Misalnya adanya qarinah kehamilan dari seseorang yang tidak bersuami. Dan dalam tindak pidana syurbul khamr yaitu adanya bau dari mulut seseorang.


(1)

tentang aktifitas elektronik itu baru lahir otomatis harus banyak persidapan oleh para penegak hokum, apakah dari sumber daya manusia nya, ataukah dari sarana dan prasarananya.

2. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai image perkembangan peradaban pemikiran dalam hal teologi, hokum islam dan yang lainnya, dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu banyak nya perselisihan yang menggunakan media elektronik itu harus diselesaikan dengan hokum syara’. Terlebih bilakita lihat dalam system perkembangan muamalat dalam hal ini perdagangan dan perbankan, yang mau tidak mau, suka tidak suka, dalam aktifitas nya harus selau menggunakan media elektronik dengan mengandalkan kecepatan dan keakuratan. Maka dari itu semua penulis berharap kepada setiap elemen jajaran birokrasi Universitas, terelebih dalam system pengajaran yang ada di Fakultas Syariah dan Hukum untuk bisa mereflesikan hokum islam tersebut dalam rana mediasi elektronik yang tentunya dengan asas sumber hukum islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis.

3. Penulis mengingatkan “ Ilmu tidak dating dengan sendirinya, ilmu itu harus dikejar, Namun apabila ilmu sudah dipegang walaupun hanya dengan satu sentuhan, maka percayalah ilmu itu akan selalu ada dalam jiwamu. Tinggal bagaimana anda merawat ilmu itu selayaknya kamu merawat jiwamu”.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Tarjamah, Djambatan. 1978

Arif. Mansur. DKK. Cyberlaw Aspek Hukum Teknologi Informasi. Bandung : Refika Aditama. 2005

Asmawi. Fiagam Madinah, Dekalarasi Kairo Dan Maq sid Al-Syari’ah,( makalah yang ditulis tentang Hak Asasi Manusia.),

Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinayi Al-Islamiy,(Beirut: Dar Al-Kitab Al-A’rabi, tanpa tahun)

Ash-Shiddieqy Hasbi, TM. Al-Islam II,(Jakarta: Bulan Bintang, 1969),

Arto Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 1998), Cet. Ke-II

Dahlan, Aziz Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)

Djajuli. A. Fiqh Jinayat. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1997

Endshaw, Assafa, Internet And E-Commerce Law; With A Focus On Aisa Fasific.(Singapore : prentice hall. 2001)

Golose. Petrus Reinhard. kombes (pol) Drs. makalah, perkembangan cybercrime dan upaya penanganannya di indonesia oleh polri

Harahap, M. Yahya, Pembaharuan Permasalahan Dan Penerapan KUHP,(Jakarta : sinar grafika, 2000), cet. Ke-I

Hasby Teungku Muhammad. Peradilan dan hukum acara islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra.2001

Hamzah Andi. Hukum Acara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika. Cet, ke-5. 2006

Ibrwhim, Abu Ishwk Al-Sywtibi , Al-Muw faq t Fi Usul Al-Syari’ah, Bairut : Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah,t.th,


(3)

Ismail ibn Muhamad Al-Kahlani, Subul As-Salam, (Mesir: Maktabah Musthafa Al-Baby Al-Halaby. 1960)

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,1995).

Madzkur. Muhamad Salam, Qadha’u Fi Islam, (Kairo: Dar an-Nahdah Al-Arabiyah, tanpa tahun)

Muslich Wardi Ahmad. Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika. 2005

Malik. Abduh Muhamad. Perilaku Zina, Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Jakarta: Bulan Bintang. 2003

Makarim. Edmon Pengantar Hukum Telematika. Jakarta; PT Raja Grapindo Persada,

2005.

Muhamad Tahir Ibn ‘xsyur, Maq sid Al-Syari’ah al-islamiyyah,Kairo : Dar Al-salam, 1427 H/2006 M

Mahmassany, Subhi, Filsafat Tasyri’ fi Al-Islami, (Beirut: Darul Ilmi Lil Malayin, 1380 H)

Nawawi. Barda arif. Pembaharuan Hukum Pidana, Dalam Persfektif Kajian Perbandingan. Bandung : Citra Aditiya Bakti. 2005

Nawawi Barda Arief. Tindak Pidana Mayantara, Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2006

Rasyid. Roihan. Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada.cet krsembilan.2002

Ramli Ahmad M, “Cyber Law Dan Haki Dalam Sistem Hukum Indonesia”.(Bandung, 2004 ; Refika aditama)


(4)

Zuhali Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillahu, (Damaskus: Dar Al-Fikri, 1989), Juz VI

Sabiq Sayyid, Fiqh Al-Sunah,(Beirut: Dar al-Fiqr, 1983), Jilid ke-II

Sanusi, Arsyad. DKK. Analisi Evaluasi Hukum Tentang Pemanfaatan Media Elektronik (Teleconference) Untuk Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana.(Badan pembinaan hukum nasional departemen kehakiman dan HAM RI tahun 2003.

Subekti, Hukum Pembuktian. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), cet, ke-VIII

Sabuan, Ansori,Hukum Acara Pidana,(Bandung : Angkasa, 1990),Edisi ke-1

Soimin Soedaryo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : Sinar Grafika. Cet.ketujuh. 2007

Soesilo. R. RIB/HIR dengan penjelasan. Bogor : Politeia. Tanpa tahun

Sudikno. Metrokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : liberty Yogyakarta. Edisi kelima.1998

Sanusi, M arsyad . E-commerce: hukum dan solusinya, Bandung :PT. Mizan Grafindo Sarana, 2001

Tresna R., Komentar HIR.(Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), cet. Ke-XV KUHP dan KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika. Cetakan keenam. 2006 UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1997 Tentang Dokumen Perusahaan UNDANG-UNDANG NO 7 TAHUN 1971Tentang Kearsifan

UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi UNDANG-UNDANG NO 4 TAHUN 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman


(5)

UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik


(6)