jenis-jenis pionir yang berbeda dengan jenis alami hutan rawa sebelumnya. Adapun hutan gambut terdegradasi yang dimaksud adalah hutan rawa gambut sekunder yang telah
mengalami tekanan lebih lanjut pembalakan, tebas bakar, perambahan, dan lain-lain sehingga potensi vegetasinya sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Secara skematis,
definisi operasional hutan rawa gambut pada 3 kondisi ini diilustrasikan pada gambar 5.
3.3. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dikerjakan dalam 2 tahap, yaitu tahap perhitungan karbon tersimpan dan tahap penilaian ekonomi. Nilai C tersimpan yang digambarkan adalah perubahan C
tersimpan pada perubahan penutupan lahan menurut waktu dengan pendekatan pengumpulan data C tersimpan pada berbagai umur tanaman yang mampu mewakili
perubahan antar waktu. Situasi perubahan C tersimpan ini diperoleh melalui keragaan sampel tegakan pada berbagai kelas umur yang memiliki kesamaan karakteristik seperti
jenis tanah, kedalaman gambut dan kondisi agroklimat. Populasi penelitian ini adalah hutan rawa gambut dengan kondisi yang berbeda,
yaitu hutan primer, sekunder, terdegradasi dan hutan tanaman industri. Secara spasial, populasi penelitian ini adalah seluruh hutan rawa gambut yang berada di sektor Pelalawan
PT RAPP Kabupaten Pelalawan, Riau. Adapun sampel penelitian merupakan areal terpilih yang mewakili populasi, ditentukan secara sistematik dengan awal acak pada berbagai
kondisi hutan rawa gambut. Keterwakilan sampel penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan kesamaan karakteristik biofisik areal jenis tanah, kedalaman gambut,
agroklimat, sehingga hasil penelitian ini dapat mencerminkan seluruh populasi atau di lokasi lain yang memiliki karakteristik biofisik yang relatif sama dengan penelitian ini.
3.3.1. Perhitungan Kapasitas Serapan Karbon
Prosedur perhitungan karbon tersimpan mengacu kepada metode pengukuran menurut protokol pengambilan sampel bagi biomasa pohon hidup Hairiyah, Noordwijk
Palm 1999; Murdiyarso et al. 2004; IPCC 2006; Hairiyah Rahayu 2007.
3.3.1.1. Pengukuran Biomasa Tanaman
1. Alat-alat yang digunakan untuk pengukuran biomasa tanaman a.
Meteran berukuran panjang 100 m b.
Tongkat kayu sepanjang 1.3 m untuk memberi tanda pada pohon yang akan diukur diameternya
c. Pita ukur meteran untuk mengukur lilitkeliling batang atau jangka sorong untuk
mengukur diameter pohon ukuran kecil. d.
Parang untuk membuat rintisan 2. Membuat plot contoh pengukuran
a. Membuat plot berukuran 20 m x 50 m = 1000 m disebut PLOT pada setiap jenis
penutupan lahan gambut. Jenis penutupan lahan tersebut terdiri dari : -
Hutan alam gambut dalam 3 kondisi : 1
hutan alam gambut terdegradasi 2
hutan alam gambut bekas tebangan logged over forest 3
hutan alam gambut sekunder -
HTI di lahan gambut pada kelas umur 1 sampai 5 tahun. b.
Jumlah plot yang dibuat untuk masing-masing jenis penutupan lahan adalah 3 plot dengan metode sistematik awal acak systematic with random start. Jarak antar plot
adalaah 50 m diukur dari batas luar plot. c.
Plot yang dipilih pada setiap kategori dipastikan terlebih dahulu memiliki sifat pedoagroklimat yang sama.
d. Pada setiap plot diambil data tentang sejarah lahan teknik pembersihan lahan yang
digunakan, kondisi tegakan sebelumnya, titik koordinat, penggunaan lahan saat ini, manajemen silvikultur serta data pendukung lain.
3. Pengumpulan data a.
Pengukuran diameter dbh dilakukan pada pohon dengan minimal diameter 5 cm. b.
Menulis semua data yang diperoleh dari pengukuran dbh pohon hidup ke dalam blanko pengamatan biomasa.
c. Membuat tabulasi data dalam program EXCELL untuk penghitungan lebih lanjut.
4. Pengolahan data Biomasa dihitung menggunakan persamaan alometrik yang telah dikembangkan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya, yaitu : a.
Perhitungan biomasa vegetasi hutan alam gambut bagian atas permukaan above- ground biomass menggunakan persamaan allometrik
menurut Murdiyarso et al. 2004, yaitu :
W = ρ 0,19D
2,37
Biomasa akar below-ground biomass dapat diestimasi menggunakan nilai terpasang default value nisbah tajuk : akar root to shoot ratio, RS ratio. Nilai
RS ratio yang digunakan untuk penelitian ini diambil dari hasil penelitian Istomo 2002 yaitu 0.25. Nilai tersebut sesuai dengan kisaran RS ratio untuk hutan tropis
menurut Brown 1994 dan IPCC 2006. Brown 1994 menyatakan RS ratio untuk hutan lembab dataran rendah sebesar 0.04 – 0.33, dan hutan musim sebesar 0.23 -.
0.85, sedangkan serta IPCC 2006 menyatakan RS ratio untuk hutan musim daerah tropis sebesar 0.23 – 0.33 jika vegetasi dengan biomasa bagian atas permukaan
125 tonha. b.
Persamaan allometrik untuk menduga biomasa tegakan Acacia crassicarpa bagian atas dan bawah permukaan menggunakan persamaan yang
dikembangkan oleh Rahmat, Sumadi dan Hidayat 2007b, hasil penelitiannya di areal HTI PT SBA Wood Industries, Sumatera Selatan, sebagai berikut.
W = 0,0267D
2,8912
Keterangan: W = bobot kering kg
D = diameter pohon cm ρ
= berat jenis kayu gcm
3
c. Menjumlahkan biomasa semua pohon yang ada pada suatu lahan sehingga diperoleh
total biomasa pohon per satuan lahan kgluasan lahan.
3.3.1.2. Penghitungan Serapan Karbon Per Satuan Lahan