HASIL DAN PEMBAHASAN Detoksifikasi Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dan Evaluasinya Secara in vitro dan in vivo terhadap Mencit (Mus musculus)

16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Proksimat

Hasil analisis proksimat contoh bungkil biji jarak pagar BBJP sebelum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 . Analisis proksimat BBJP parameter Kadar BB Kadar BK Air 8.75 - Lemak 22.63 24.80 Abu 4.16 4.56 Protein 23.07 25.28 Serat 35.70 39.12 Keterangan : BB = Bobot Basah, BK = Bahan Kering. Analisis proksimat merupakan analisis kandungan makro zat dalam suatu bahan makanan. Analisis proksimat adalah analisis yang dapat dikatakan berdasarkan perkiraan saja, tetapi sudah dapat menggambarkan komposisi bahan yang dimaksud Sumartini dan Kartasubrata 1992. Winarno 2008 menjelaskan bahwa bahan makan sekitar 96 terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur – unsur mineral. Unsur mineral dikenal sebagai kadar abu, yaitu zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. BBJP yang dianalisis memiliki kandungan abu sebesar 4.56, angka ini sesuai dengan literatur yang ditunjukkan oleh Makkar et al. 1997 yang menunjukkan angka 3.6-4.3 pada biji jarak pagar. Kadar lemak BBJP contoh menunjukkan angka 24.80 sedangkan Makkar et al. 1997 menyampaikan untuk bijinya nilai kadar lemak sebesar 56.8-58.4, kulit sebesar 0.5-1.4 dan bungkil sebesar 1.0-1.5. Begitu juga pada protein kasar contoh yang menunjukkan angka 25.28. Makkar et al. 1997 menganalisis kandungan protein pada tiap bagian biji jarak pagar yaitu bungkil sebesar 56.4-63.8, kulit sebesar 4.3-4.5 dan biji sebesar 22.2-27.2. Nilai protein kasar dan lemak pada BBJP contoh yang kecil ini disebabkan oleh kandungan bungkil sisa hasil pengepresan biji jarak pagar yang merupakan perpaduan antara nilai pada biji, kulit, dan bungkil biji jarak pagar. Kulit biji jarak pagar mengandung kadar serat yang tinggi sehingga mengakibatkan nilai protein kasar dan lemak yang kecil. Bungkil biji jarak pagar hasil pengepresan dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Bungkil Biji Jarak Pagar 17 4.2. Detoksifikasi dan Analisis Data 4.2.1. Analisis Proksimat Hasil Detoksifikasi Hasil proksimat setelah perlakuan detoksifikasi dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, detoksifikasi dapat mempengaruhi parameter analisis proksimat. Berdasarkan analisis statistika menggunakan uji keragaman anova satu arah, kadar air BBJP antara sebelum dan setelah detoksifikasi menunjukkan perbedaan yang nyata sig 0.05 Lampiran 4. Penurunan kadar air ini disebabkan adanya pemanasan yang dilakukan setelah detoksifikasi menggunakan oven. Kadar air yang berbeda nyata dengan kadar air awal ditunjukkan oleh kelompok perlakuan C transesterifikasi pencucian metanol, B transesterifikasi pencucian heksan, MB maserasi dan autoklaf, dan MD BBJP hanya di autoklaf. Tabel 4 . Kandungan kimia BBJP setelah detoksifikasi BK Sampel 1 Kadar air 2 Kadar lemak 2 Serat kasar 2 Protein 2 Bungkil awal K 8.75 c 24.80 c 39.12 ab 25.28 d Cuci air A 8.15 c 13.50 b 48.48 bc 20.97 b Cuci heksan B 3.29 a 2.74 a 45.11 abc 24.86 cd Cuci metanol C 2.47 a 14.17 b 34.93 a 21.07 bc Maserasi MA 6.93 b 3.93 a 45.19 ab 30.57 e Maserasi + autoklaf MB 3.46 a 2.55 a 40.67 ab 25.87 d Maserasi NaOH MC 6.70 b 4.79 a 56.96 c 4.02 a Otoklaf MD 3.73 a 24.19 c 38.38 ab 20.73 bc Keterangan : 1 K=Bungkil awal, A=Transesterifikasi dengan cuci air, B= Transesterifikasi dengan cuci heksan, C= Transesterifikasi dengan cuci metanol, MA=Maserasi tanpa autoklaf, MB= Maserasi dan autoklaf, MC=Maserasi dengan NaOH dan autoklaf, MD= BBPJ hanya di autoklaf. 2 Superskript yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan posisi pada subset yang sama Pada uji kadar lemak contoh setelah detoksifikasi menunjukkan nilai signifikasi sebesar 0.00 sig0.05. Hal ini menunjukkan bahwa detoksifikasi efektif dalam menurunkan kadar lemak contoh. Hasil analisis proksimat sebelum detoksifikasi pada uji kadar lemak menunjukkan nilai sebesar 24.80 sedangkan kelompok perlakuan yang memiliki nilai kadar lemak terkecil berbeda nyata adalah MB maserasi autoklaf sebesar 2.55, B transesterifikasi dengan pencucian heksan sebesar 2.74, MA maserasi tanpa autoklaf sebesar 3.93, dan MC maserasi dengan NaOH autoklaf sebesar 4.79. Penurunan kadar lemak contoh ini disebabkan karena lemak larut dalam pelarut organik. Girindra 1990 menyampaikan bahwa lemak adalah senyawa yang tidak larut dalam air tapi larut dalam pelarut organik nonpolar seperti kloroform, eter, dan benzena. Protein merupakan senyawa polimer yang tersusun dari satuan – satuan molekul yang saling berikatan. Satuan molekul itu disebut asam amino. Masing – masing asam amino saling dihubungkan oleh suatu ikatan kovalen yang disebut ikatan peptida Sumartini Kartasubrata, 1992. Detoksifikasi juga berpengaruh nyata terhadap kadar protein pada contoh. Kadar protein pada contoh sebelum detoksifikasi sebesar 25.28. Nilai kadar protein yang berbeda nyata dengan contoh sebelum detoksifikasi terjadi pada perlakuan MA maserasi tanpa autoklaf sebesar 30.57, MB maserasi dengan autoklaf sebesar 25.87, dan B transesterifikasi dengan pencucian heksan sebesar 24.86. Kenaikan kadar protein ini disebabkan adanya penurunan 18 kadar lemak dan kadar air, sehingga persentase kadar protein meningkat. Sedangkan penurunan kadar protein terjadi pada MC, A, MD dan C. Penurunan ini terjadi karena adanya pemanasan dan penggunaan NaOH pada perlakuan MC yang menyebabkan perubahan struktur protein denaturasi. Winarno 2008 menyebutkan bahwa perubahan struktur protein denaturasi protein dapat terjadi akibat beberapa faktor diantaranya adalah panas, pH, bahan kimia, mekanik, urea, garam guanidina, dan sebagainya. Putra 2009 menyebutkan bahwa terdapat dua tipe perubahan yang terjadi, yaitu 1 Interaksi antara rantai – rantai diantara rantai samping polipeptida yang menghasilkan ikatan, agregasi, flokulasi, koagulasi dan presipitasi, 2 Interaksi antara rantai dan pelarut antara molekul pelarut dan grup rantai samping yang menghasilkan solubilitas, disosiasi, pembengkakan dan denaturasi. Makanan dengan kadar serat tinggi cenderung meningkatkan bobos feses, menurunkan waktu transit di dalam saluran cerna, dan dapat mengontrol metabolisme glukosa dan lipid Almatsier 2002 dalam Endra 2006. Kalangan ahli gizi mengatakan bahwa serat biasa dibedakan menjadi serat larut dan serat tidak larut serat kasar. Serat larut, seperti pektin yang biasanya lekat pada tangan akan mengalami fermentasi di usus dan menghasilkan produk akhir yang biasanya memiliki efek yang baik bagi kesehatan. Serat tidak larut, misalnya selulosa dan lignin membantu penyerapan air pasif, membuat feses lebih menggumpal dan mempersingkat perjalanannya di usus besar. Serat kasar crude fiber tersusun atas selulosa, gum, hemiselulosa, pektin dan lignin. Pati merupakan polisakarida terpenting dalam tumbuh – tumbuhan karenanya merupakan zat paling penting dalam ransum ternak. Serat berfungsi sebagai sumber energi, sumber protein, sumber vitamin, dan mineral Putra 2009. Kadar serat kasar contoh sebelum perlakuan adalah 39.12. Kadar serat kasar contoh setelah perlakuan yaitu A transesterifikasi dengan pencucian air sebesar 48.48, B transesterifikasi dengan pencucian heksan sebesar 45.11, C transesterifikasi dengan pencucian metanol sebesar 34.93, MA maserasi tanpa autoklaf sebesar 45.19, MB maserasi dengan autoklaf sebesar 40.67, MC maserasi dengan NaOH autoklaf sebesar 56.96, MD BBJP kontrol di autoklaf sebesar 38.38. Berdasarkan hasil analisis statistika uji keseragaman ANOVA satu arah terhadap kadar serat menunjukkan bahwa sampel BBJP sebelum dan setelah perlakuan detoksifikasi baik dengan maserasi maupun transesterifikasi berbeda nyata P0.05 Lampiran 6. Kadar serat kasar tertinggi dimiliki oleh sampel bungkil terdetoksifikasi dengan metode peredaman NaOH MC. Tingginya kadar serat dalam sampel MC lebih disebabkan karena kandungan protein, minyak dan air dalam bahan yang rendah sehingga persentase serat meningkat. Selain itu proses perendaman dalam NaOH juga akan melarutkan lignin dalam bungkil sehingga fraksi serat dalam sampel cenderung tinggi. Sampel BBJP yang telah didetoksifikasi mengalami perubahan warna seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7 dan 8. Sampel BBJP hasil maserasi dengan penambahan NaOH mengalami perubahan warna menjadi hitam. Perubahan ini disebabkan adanya penambahan NaOH yang mengakibatkan terjadinya dekomposisi pada BBJP yang memiliki kandungan polisakarida tinggi. Menurut Soeharsono 1978, larutan basa encer pada suhu kamar akan mengubah sakarida. Perubahan ini terjadi pada atom C anomerik dan atom C tetangganya tanpa mempengaruhi atom- atom C lainnya. Jika D-glukosa dituangi larutan basa encer maka sakarida itu akan berubah menjadi campuran: D-glukosa, D-manosa, D-fruktosa. Perubahan menjadi senyawaan tersebut melalui bentuk-bentuk enediolnya. Bilamana basa yang digunakan berkadar tinggi maka akan terjadi fragmentasi atau polimerisasi sehingga monosakarida akan mudah mengalami dekomposisi Soeharsono 1978. 19 Sampel BBJP yang hanya autoklaf mengalami warna kecoklatan diduga disebabkan rusaknya struktur protein akibat pemanasan pada suhu tinggi suhu 121 C. Pengaruh penambahan pelarut organik baik pada proses maserasi maupun transesterifikasi tidak mengubah warna secara signifikan, namun setelah mengalami pengeringan pada oven suhu 60 C warna sampel berubah menjadi lebih terang Gambar 7 dan 8. Gambar 7. BBJP hasil detoksifikasi dengan maserasi pelarut Gambar 8. BBJP hasil detoksifikasi dengan transesterifikasi

4.2.2. Analisis Phorbol Ester Setelah Detoksifikasi

Hasil uji analisis phorbol ester dilakukan terhadap sampel yang telah didetoksifikasi. Hasil pengujian analisis phorbol ester dengan menggunakan HPLC dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Berdasarkan analisis data statistika menggunakan uji keragaman satu arah ANOVA terhadap sampel yang didetoksifikasi menunjukkan nilai sig 0.00 P0.05 sehingga dapat disimpulkan Cuci Metanol Cuci Heksan Cuci Air 20 bahwa usaha detoksifikasi efektif dalam menurunkan kadar phorbol ester dalam sampel Lampiran 8. Tabel 5. Rataan hasil analisis phorbol ester bungkil jarak pagar terdetoksifikasi Sampel 1 Phorbol ester dalam sampel mgg 2 Bungkil awal K 795.78±0.00 d Cuci air A 18.98±13.03 b Cuci heksan B 1.04±0.26 a Cuci metanol C ND a 3 Maserasi MA 18.91±12.54 b Maserasi + autoklaf MB 0.78±0.23 a Maserasi NaOH MC 1.14±0.70 a Autoklaf MD 73.92±8.12 c Keterangan : 1 K=Bungkil awal, A=Transesterifikasi dengan cuci air, B= Transesterifikasi dengan cuci heksan, C= Transesterifikasi dengan cuci metanol, MA=Maserasi tanpa autoklaf, MB= Maserasi dan autoklaf, MC=Maserasi dengan NaOH dan autoklaf, MD = BBPJ hanya di autoklaf. 2 Superskript yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan posisi pada subset yang sama. 3 ND = Not Detected Nilai kadar phorbol ester terkecil didapat oleh perlakuan transesterifikasi dengan pencucian metanol C. Nilai phorbol ester dalam sampel C tidak terbaca oleh HPLC karena nilainya sangat kecil, yaitu hampir mencapai 0.00. Selain perlakuan C, perlakuan MB berada pada subset yang sama dan memiliki nilai kadar phorbol ester yang kecil juga yaitu 0.78. Penurunan kadar phorbol ester yang tinggi dalam proses transesterifikasi dengan pencucian metanol disebabkan karena metanol yang bersifat polar mampu mengekstraksi phorbol ester yang juga bersifat polar sehingga menjadi terlarut dalam metanol. Penggunaan KOH sebagai katalis basa juga berpengaruh terhadap kadar phorbol ester. Senyawa kimia tersebut KOH mampu merusak struktur phorbol ester. Proses maserasi yang dilakukan sampel menyebabkan terjadinya pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Dengan adanya prinsip maserasi ini, sampel yang telah dimaserasi mengalami penurunan kadar lemak. Phorbol ester dapat larut dengan pelarut organik saat perendaman menggunakan pelarut. Senyawa Phorbol ester merupakan metabolit sekunder yang terdapat pada bungkil biji jarak pagar yang terlarut dalam pelarut organik karena adanya perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga menyebabkan terjadinya pemecahan dinding dan membran sel. Berdasarkan hasil perhitungan, kadar phorbol ester bungkil jarak pagar terdetoksifikasi berkisar dari tidak terdeteksi ND hingga 73.92 mgg bungkil jarak. Nilai ini jauh dibawah kadar phorbol ester dalam bungkil awal yang mencapai 795.78 mgg bungkil. Untuk sampel C transesterifikasi dengan pencucian methanol kadar phorbol ester dalam sampel menunjukkan nilai yang paling kecil karena bentuk peak phorbol ester tidak jelas hanya berupa noise dalam kromatogram. Kadar phorbol ester tertinggi dimiliki oleh BBJP dengan perlakuan autoklaf saja MD. Hasil kromatogram HPLC menunjukkan keberadaan phorbol ester dalam sampel dapat dilihat pada Lampiran 9. Phorbol ester merupakan senyawa organik dari tumbuhan yang merupakan anggota diterpene ester. Phorbol ester merupakan komponen toksik utama dalam Jatropha curcas Makkar 21 et al. 1998 yang dapat diperoleh dengan ekstraksi menggunakan pelarut metanol Rug et al. 2006. Phorbol ester dapat larut dalam larutan organik yang bersifat polar dan dalam air Ahmed dan Salimon 2009. Hal inilah yang menyebabkan kadar phorbol ester dalam sampel yang dimaserasi ataupun dicuci dengan metanol cukup rendah. Kelarutan phorbol ester dalam metanol jauh lebih tinggi dibandingkan kelarutan dalam air. Hal ini terlihat dari kadar phorbol ester bungkil jarak pagar perlakuan transesterifikasi yang dicuci dengan metanol 0.00 mgg bungkil jauh lebih rendah dibandingkan kadar phorbol ester dalam bungkil yang dicuci dengan air 18.98 mgg bungkil. Penurunan kadar phorbol ester yang besar dalam proses transesterifikasi disebabkan karena metanol yang bersifat polar mampu mengekstraksi phorbol ester yang juga bersifat polar sehingga menjadi terlarut dalam metanol. Penggunaan KOH sebagai katalis basa juga berpengaruh terhadap kadar phorbol ester. Senyawa kimia tersebut mampu merusak struktur phorbol ester. Perlakuan pencucian setelah proses transesterifikasi menggunakan heksan mampu membuat kadar phorbol ester menjadi 1.04 mgg. Hal ini dikarenakan heksan mampu melarutkan minyak yang masih mengandung phorbol ester dalam bungkil sehingga kadar phorbol ester semakin berkurang. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji duncan Lampiran 5 terhadap kadar phorbol ester pada usaha detoksifikasi yang memiliki nilai signifikasi sebesar 0.00P0.05. menunjukkan bahwa sampel C transesterifikasi dengan pencucian metanol memiliki kadar phorbol ester terendah dan tidak berbeda nyata dengan MB, B dan MC akan tetapi berbeda nyata dengan sampel MA, A, MD dan K. Ekstraksi pelarut merupakan cara yang banyak digunakan untuk menghilangkan phorbol ester pada jarak pagar. Perlakukan panas yang diikuti dengan ekstraksi pelarut untuk menghilangkan senyawa phorbol ester dapat mengeliminasi banyak senyawa racun dan antinutrisi dari varietas jarak yang beracun Makkar dan Becker 1997. Perlakukan panas yang dikombinasikan dengan perlakukan kimia dengan NaOH dan sodium hypochlorite dapat menurunkan kandungan phorbol ester hingga 75. Kajian deasidifikasi minyak jarak dengan NaOH dan KOH dan proses bleaching dengan beberapa bahan dapat mengurangi phorbol ester hingga 55, dan proses degumming dan deodorisasi dapat menurunkan kadar phorbol ester menjadi lebih rendah Hass et al. 2002. Phorbol ester alami tidak stabil dan rentan terhadap oksidasi, hidrolisis transesterifikasi dan epimerization selama prosedur isolasi Hass et al. 2002. Kandungan phorbol ester pada biji dan kernel jarak pagar sangat dipengaruhi oleh varietas. Makkar et al. 1998 melaporkan kandungan phorbol ester untuk empat varietas jarak pagar yang berbeda. Varietas toksik Cape Verde yang diperoleh dari Nicaragua mengandung phorbol ester paling tinggi yaitu 2.7 mgg kernel, sedangkan varietas non toksik Mexico paling rendah yaitu 0.11 mgg kernel. Makkar juga menemukan bahwa biji dari buah muda belum matang mengandung senyawa phorbol ester yang lebih tinggi.

4.3. Analisis In vitro dengan Cairan Rumen

4.3.1. Konsentrasi NH

3 Amonia dalam cairan rumen merupakan produk antara dalam degradasi protein oleh mikroba dan sintesis protein. Apabila pakan defisien akan protein atau protein sulit didegradasi, maka konsentrasi amonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikroba akan lambat. Produksi amonia dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan tergantung pula pada sumber protein yang digunakan serta mudah tidaknya protein tersebut di degradasi McDonald et al. 2002. 22 Tabel 6. Hasil analisis NH 3 dan VFA pada uji in vitro pencernaan fermentatif Keterangan : 1 K=Bungkil awal, A=Transesterifikasi dengan cuci air, B= Transesterifikasi dengan cuci heksan, C= Transesterifikasi dengan cuci metanol, MA=Maserasi tanpa autoklaf, MB= Maserasi dan autoklaf, MC=Maserasi dengan NaOH dan autoklaf, MD= BBPJ hanya di autoklaf. 2 Beberapa jenis asam lemak terbang atau volatile fatty acid VFA asam asetat, propionat, butirat, gas metan, gas C0 2 Hasil analisis menunjukkan bahwa konsentrasi NH 3 tertinggi dimiliki oleh bungkil biji jarak pagar dengan perlakuan maserasi heksan dan metanol yaitu sebesar 29.37 mM, sedangkan konsentrasi terendah dimiliki oleh bungkil jarak dengan perlakuan perendaman dalam NaOH 4 yaitu sebesar 17.25 mM. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji duncan terhadap konsentrasi NH 3 pada tingkat kepercayaan 95 α=0.05 Lampiran 10 menunjukkan bahwa kelompok perlakuan yang berada pada subset tertinggi dalam perolehan konsentrasi NH 3 adalah sampel MA maserasi, C transesterifikasi pencucian metanol, B transesterifikasi pencucian heksan, MB maserasi dengan autoklaf. Arora 1989 menjelaskan bahwa makanan dengan kandungan serat kasar rendah mudah dicerna dan memerlukan waktu yang pendek per satuan berat. BBJP dengan kandungan serat kasar yang tinggi akan sulit didegradasi karena mikroba rumen memerlukan yang lama untuk mendegradasinya, namun cukup untuk memenuhi kadar amonia normal untuk mendukung pertumbuhan mikroba rumen yaitu 5-17.65 mM McDonald et al. 2002. Ammonia merupakan sumber nitrogen utama bagi mikroba rumen karena ammonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk sintesis protein mikroba Arora 1995. Konsentrasi NH 3 mencerminkan jumlah protein ransum yang banyak dominan di dalam rumen dan nilainya sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba rumen dalam mendegradasi protein ransum. Tanpa mempertimbangkan kandungan senyawa toksik ataupun antinutrisi, maka semakin tinggi kandungan protein dalam bahan maka konsentrasi NH 3 akan meningkat. Hal ini terlihat dari sampel MC perendaman NaOH yang memiliki kadar protein terendah 3.75 memiliki konsentrasi NH 3 yang paling rendah juga 17.25 mM. Dengan mempertimbangkan kadar senyawa toksik dalam bungkil, maka terlihat bahwa semakin rendah kandungan phorbol ester maka konsentrasi NH 3 akan meningkat, sebagaimana terlihat pada sampel C transesterifikasi pencucian metanol. Efek senyawa antinutrisi dalam bungkil biji jarak pagar terhadap konsentrasi NH 3 telah diteliti oleh Juniastica 2008 dan Afriyanti 2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi amonia pada cairan rumen sapi dan kerbau tidak dipengaruhi oleh penambahan antinutrisi kurcin BBJP sampai taraf 3 dalam ransum. Sampel Bungkil 1 mM NH3 VFA mM C2 C3 1C4 nC4 iC5 nC5 Total VFA K 34.94 71.02 23.44 3.56 9.41 5.72 3.2 116.36 A 23.19 21.93 9.33 3.24 2.34 2.18 39.01 B 28.75 47.81 21.88 4.8 5.23 5.16 1.91 86.79 C 29.13 37.51 15.74 4.01 4.14 3.97 3.25 68.61 MA 29.37 34.15 14.41 3.19 3.06 3.41 58.22 MB 26.09 40.93 15.03 5.00 3.38 2.96 67.28 MC 17.25 30.07 12.25 2.35 3.58 2.48 50.74 MD 20.62 42.33 17.22 3.39 2.59 4.06 1.36 49.78 23

4.3.2. Konsentrasi VFA

VFA Volatile Fatty Acid merupakan hasil pencernaan karbohidrat dalam rumen yang merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia. VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat berupa asetat, propionat, dan butirat serta gas CH 4 dan CO 2 sebagai hasil samping Arora 1989. Bersama – sama amonia NH 3 , VFA merupakan bahan utama pembentukan protein mikroba Sutardi 1980. Hasil pengukuran produksi VFA total Tabel 6 menunjukkan bahwa produksi VFA tertinggi dimiliki oleh BBJP kontrol yaitu sebesar 116.36mM. Tingginya nilai VFA yang dimiliki BBJP kontrol disebabkan adanya kandungan asam asetat yang sangat tinggi sehingga mempengaruhi kadar VFA total. Tingginya konsentrasi asetat dalam cairan rumen berhubungan dengan tingginya proporsi hijauan atau pakan berserat yang dikonsumsi McDonald et al. 2002. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan ANOVA Lampiran 11 diketahui bahwa perlakuan detoksifikasi berpengaruh nyata terhadap produksi VFA total. Berdasarkan pada Tabel 6, usaha detoksifikasi terbaik berdasarkan kandungan VFA tertinggi dimiliki oleh perlakuan transesterifikasi disertai pencucian dengan heksan B sebesar 86.79 mM, sedangkan produksi VFA total terendah dimiliki oleh BBJP dengan perlakuan transesterifikasi disertai pencucian dengan air A yaitu sebesar 39.01 mM. Kadar VFA optimal normal untuk pertumbuhan mikroba rumen adalah sebesar 80-160 mM Sutardi 1979. Dari uji fermentabilitas in vitro pada cairan rumen, menunjukkan bahwa usaha detoksifikasi tidak mempengaruhi kandungan VFA total. Pengujian pemanfaatan BBJP secara in vitro menggunakan inokulum cairan rumen yang mengandung mikroba tidak dapat menggambarkan efek dari racun phorbol ester karena senyawa ini tidak memiliki antimikroba. Sehingga diperlukan pengujian secara biologis untuk melihat dampak dari pengolahan yang dilakukan dan pemanfaatan langsung pada ternak secara in vivo Suparjo 2008.

4.3.3. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Persentase KCBK dan KCBO merupakan salah satu ukuran dalam menentukan kualitas pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka zat – zat makanan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak juga semakin tinggi Sutardi 1979. Kecernaan bahan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : 1 adanya enzim yang mempengaruhi lingkungan fisiologis rumen, 2 komposisi nutrien bahan pakan dan antinutrisi yang terkandung dalam pakan dan 3 kapasitas saluran pencernaan ternak Church 1979. Nilai rata-rata KCBK BBJP terdetoksifikasi berkisar dari 17.31 – 45 g100 g sedangkan rata-rata nilai KCBO BBJP adalah 21.08 – 46.42 g100 g. Perlakuan yang menunjukkan nilai KCBK dan KCBO tertinggi dimiliki oleh sampel MD Autoklaf, sedangkan nilai terendah dimiliki oleh sampel MC Perendaman NaOH dan autoklaf. Hasil analisis kecernaan bahan kering dan organik bungkil biji jarak terdetoksifikasi disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji duncan Lampiran 12 terhadap nilai KCBK dengan signifikansi 0.00 P0.05 menunjukkan bahwa sampel MC perendaman NaOH memiliki nilai KCBK terendah, tidak berbeda nyata dengan sampel A dan MB, akan tetapi berbeda nyata dengan sampel B, MA, C dan MD. Analisis statistik dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji duncan terhadap nilai KCBO pada tingkat dengan signifikansi 0.00 P0.05 menunjukkan bahwa sampel MC perendaman NaOH memiliki nilai KCBO terendah, tidak berbeda nyata dengan sampel A akan tetapi berbeda nyata dengan sampel lainnya. 24 Tabel 7 . Hasil Analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Sampel Bungkil g 100 g KCBK g 100 g KCBO Bungkil awal K 45.36 47.47 Cuci air A 29.61 31.58 Cuci heksan B 39.48 39.70 Cuci metanol C 42.79 45.53 Maserasi MA 39.65 38.65 Maserasi + autoklaf MB 35.44 36.57 Maserasi NaOH MC 17.31 21.08 Autoklaf MD 45.00 46.42 Keterangan : K=Bungkil awal, A=Transesterifikasi dengan cuci air, B= Transesterifikasi dengan cuci heksan, C= Transesterifikasi dengan cuci metanol, MA=Maserasi tanpa autoklaf, MB= Maserasi dan autoklaf, MC=Maserasi dengan NaOH dan autoklaf, MD= BBPJ hanya di autoklaf. Komposisi bahan pakan berpengaruh tingkat kecernaan bahan. Tingginya nilai KCBK dan KCBO dari sampel bungkil awal dan sampel MD dapat disebabkan oleh tingginya kadar bahan organik dalam bahan seperti kadar minyak dan kadar protein yang bisa tercerna. Kandungan serat kasar sangat berpengaruh terhadap nilai kecernaan, semakin tinggi kandungan serat, maka kecernaan akan semakin rendah karena pencernaan serat sangat tergantung pada kemampuan mikroba rumen. Rendahnya nilai KCBK dan KCBO disebabkan karena kandungan lignin dari cangkang BBJP yang cukup tinggi. Menurut Tillman et al. 1989, lignin sangat tahan terhadap setiap degradasi kimia termasuk juga degradasi enzimatik. Nilai kecernaan bahan organik dari bungkil terdetoksifikasi berkisar 21.08 – 46.42 g100 g. Nilai ini lebih rendah dibanding bungkil kernel biji jarak pagar yang mencapai 77.3-78 Makkar dan Becker 2009. Sedangkan kecernaan bahan organik untuk bungkil kedelai adalah sebesar 87.9. Berdasarkan analisis terhadap serangkaian uji seperti analisis proksimat, uji phorbol ester, dan uji fermentabilitas in vitro pada sampel BBJP dipilih satu perlakuan untuk diujikan secara in vivo terhadap mencit Mus musculus yaitu sampel C transesterifikasi dengan pencucian metanol. Pemilihan sampel C didasarkan atas rendahnya kandungan phorbol ester menunjukkan nilai terrendah ditunjang dengan kadar protein yang tinggi dan kadar serat yang cukup rendah dibandingkan sampel lainnya. Selain itu, kadar VFA, NH3 dan nilai kecernaan KCBK dan KCBO menunjukkan nilai yang cukup baik dibandingkan sampel perlakuan lainnya. Waktu proses yang lebih singkat dan kebutuhan energi proses yang dianggap lebih rendah pemanasan selama 2 jam, suhu 60 o C pada perlakuan transesterifikasi dengan pencucian metanol menjadi pertimbangan tersendiri. Kadar proksimat contoh hasil transesterifikasi dengan cuci metanol menunjukkan bahwa contoh tersebut berada pada kisaran standar pakan untuk sapi potong induk dan sapi perah dara. Kadar serat contoh lebih tinggi daripada kadar serat standar pakan sapi perah dara. Namun dengan kadar serat tersebut, ampas bungkil jarak pagar masih cocok digunakan untuk pakan ruminansia seperti kambing, sapi dan kerbau Makkar dan Becker 1999. Hal ini dikarenakan ruminansia memiliki bakteri rumen yang menghasilkan enzim selulase sehingga serat termasuk selulosa dapat dicerna Putra 2009. Kadar proksimat pakan ternak ayam petelur, ayam ras pedaging, sapi perah dara dan sapi potong induk dapat dilihat pada Lampiran 14. 25

4.4. Analisis in vivo menggunakan mencit

Analisis in vivo dilakukan dengan menggunakan 65 ekor mencit jantan Mus musculus yang masih berumur 2 minggu dengan rataan bobot badan ± 10 gram. Ransum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari ransum mencit komersial yang telah disubsitusi dengan BBJP pada taraf yang berbeda 0, 5, 10, 15, 10+2.5 zeolit. BBJP yang digunakan adalah BBJP yang telah mendapat perlakuan detoksifikasi dengan metode transesterifikasi dengan pencucian metanol. Analisis ransum komersial dan ransum yang telah disubstitusi dengan BBJP terdetoksifikasi disajikan pada Tabel 7. Pengamatan yang dilakukan meliputi tingkat mortalitas, pertambahan bobot badan, konsumsi dan kecernaan bahan makanan. Dalam mengamati tingkat mortalitas mencit, jumlah mencit yang diamati adalah 65 ekor mencit sedangkan pengamatan terhadap Pertambahan Bobot Badan sebanyak 50 ekor mencit 10 ekor x 5 ransum, Konsumsi dan Kecernaan Bahan dilakukan teknik sampling yang hanya melibatkan 25 ekor mencit sebagai sampelnya 5 ekor x 5 ransum. Tabel 8. Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian Kode BK Abu PK SK LK BETA-N EB R0 80.13 10.52 26.33 12.08 4.80 26.39 5.080.49 R1 85.75 9.92 25.70 15.15 3.22 31.76 4.665.89 R2 85.03 10.21 26.04 11.74 4.40 32.65 4.661.88 R3 86.11 9.22 24.63 14.41 3.93 33.92 4.498.90 R4 85.74 9.33 23.29 15.22 2.48 35.41 4.617.45 Keterangan : R0=Ransum Kontrol tanpa diberi BBJP, R1=95 R0 + 5 BBJP, R2 = 90 R0 + 10 BBJP, R3 = 85 R0 + 15 BBJP, R4 = 85 R0 + 10 BBJP yang mengandung 2.5 Zeolit. BK=Bahan Kering, PK= Protein Kasar, SK= Serat Kasar, LK= Lemak Kasar, BETA-N = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen, EB= Energi Bruto Analisis proksimat menggolongkan komponen yang ada pada bahan pakan berdasarkan komposisi kimia dan fungsinya, yaitu air, abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, dan bahan ekstrak tanpa nitrogen Suparjo 2008. Hasil analisis proksimat digunakan sebagai acuan dalam menentukan kualitas nutrisi bahan makanan dan dalam menghitung komponen zat makanan. Kualitas nutrisi bahan makanan merupakan faktor utama dalam pemilihan dan penggunaan bahan makanan tersebut sebagai sumber zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksinya Herman 2003. Pada Tabel 8 terlihat bahwa pencampuran BBJP ke dalam ransum dapat mengubah komposisi zat makanan ransum kontrol. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa semakin tinggi BBJP terdetoksifikasi akan menaikkan kandungan bahan keringBK, serat kasar SK dan bahan ekstrak tanpa nitrogenBETA-N kecuali pada R2. Kenaikan SK pada ransum yang disubstitusi BBJP disebabkan oleh tingginya kandungan SK pada BBJP yaitu sebesar 43.78. Penurunan kadar bahan kering dan SK pada R2 diduga disebabkan oleh ketidakhomogenan saat proses pembuatan pakan dan membuat kandungan nutrien tidak tersebar rata pada seluruh bagian pakan. Zat nutrisi lain seperti kandungan abu dan protein kasar PK cenderung mengalami penurunan. Penurunan kandungan nutrien tersebut disebabkan tingginya kandungan serat kasar yang dimiliki bungkil biji jarak pagar BBJP. Ransum yang sempurna harus memiliki kandungan protein yang cukup agar asam amino yang diperlukan dapat dipenuhi, cukup zat organik yang dapat dicerna untuk mendapatkan energi 26 yang dibutuhkan, asam amino harus seimbang, cukup zat vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh ternak Anggorodi 1984. Selanjutnya, Anggorodi 1984 menyatakan bahwa ransum yang seimbang adalah ransum yang mengandung semua zat makanan dalam jumlah yang cukup dan dalam perbandingan yang tepat untuk keperluan proses tubuh. Ransum juga harus bebas dari faktor toksik atau faktor – faktor lain yang merugikan. Pada ransum R4 ditambahkan zeolit sebesar 2.5 dari 10 BBJP ke dalam ransum. Penambahan zeolit ini bertujuan untuk meningkatkan daya cerna terhadap makanan. Panda 2007 menyebutkan bahwa penambahan zeolit dalam ransum dapat menurunkan kandungan serat kasar dalam ransum. Serat kasar yang semakin rendah di dalam ransum menyebabkan ransum atau bahan makanan semakin mudah untuk dicerna oleh tubuh sehingga penyerapan bahan makanan dalam saluran semakin tinggi dan pembuangan atau pengeluaran zat – zat nutrisi yang penting bagi tubuh semakin sedikit. Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa penambahan zeolit pada ransum R4 menyebabkan peningkatan pada bahan kering ransum, kadar serat ransum dan BETA-N serta penurunan pada protein kasar dan lemak kasar. Hal ini diduga disebabkan kemampuan zeolit yang dapat menyerap senyawa protein dan lemak dari ransum.

4.4.1. Konsumsi Bahan Segar konsumsi ransum, Bahan Kering dan Zat Makanan

Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh mencit bila ransum tersebut diberikan secara ad libitum dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidup pokoknya dan berproduksi. Tabel 9 memperlihatkan bahwa konsumsi bahan segar konsumsi ransum mencit berkisar antara 60.21-74.00 gekorminggu. Berdasarkan uji keragaman ANOVA dengan selang kepercayaan 99 α=0.01 menunjukkan bahwa perlakuan R0, R1, R2, R3, dan R4 memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi segar, bahan kering, bahan organik, dan protein kasar ransum perlakuan Lampiran 15-22. Gambar 9 . Mencit Penelitian Konsumsi bahan segar merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi mencit selama penelitian. Konsumsi bahan segar biasanya dihitung berdasarkan as fed. Berdasarkan data dalam Tabel 9 konsumsi bahan segar mencit berkisar antara 59.47-74.00 gekorminggu. Rataan konsumsi ransum mencit yang diperoleh selama penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi mencit selama penelitian sangat tinggi karena berdasarkan pernyataan Smith dan Mangkoewidjaja 1988, seekor mencit dapat mengkonsumsi ransum sekitar 3-5 gekorhari atau 21-35 gekorminggu. 27 Tabel 9 . Rataan Konsumsi Bahan Segar, Bahan Kering dan Zat Makanan Ransum KONSUMSI gekorminggu Konsumsi Energi kalekorminggu Bahan segar Bahan Kering Bahan organik Protein Kasar RO 74.00 ± 26.69 a 59.29 ± 21.39 a 53.05 ± 19.14 a 15.69 ± 5.68 a 301.234.31 ± 62469.87 R1 60.21 ± 29.53 c 51.63 ± 25.32 c 46.50 ± 22.81 c 13.11 ± 6.46 c 240.890.93 ± 44916.49 R2 67.57 ± 31.16 b 57.46 ± 26.50 b 51.59 ± 23.79 b 13.95 ± 6.15 b 267.864.51 ± 39168.77 R3 72.93 ± 21.00 a 62.80 ± 18.08 a 57.01 ± 16.41 a 15.47 ± 4.45 a 282.543.44 ± 38279.53 R4 59.47 ± 24.36 c 52.87 ± 21.38 c 44.33 ± 18.93 c 10.70 ± 4.71 d 235.430.94 ± 70702.22 Keterangan : R0=Ransum Kontrol tanpa diberi BBJP, R1=95 R0 + 5 BBJP, R2 = 90 R0 + 10 BBJP, R3 = 85 R0 + 15 BBJP, R4 = 85 R0 + 10 BBJP yang mengandung 2.5 Zeolit. Pada Tabel di atas nilai konsumsi ransum mencit selama penelitian dari terbesar hingga terkecil secara berturut – turut yaitu R0, R3, R2, R1, R4. Hasil uji lanjut kontras ortogonal konsumsi ransum mencit selama penelitian menunjukkan bahwa ransum kontrol R0 dan penambahan BBJP sebanyak 15 R3 memberikan dampak yang sama terhadap konsumsi bahan segar ransum R0=R3 sedangkan ransum pada perlakuan R1, R2, dan R4 memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan ransum kontrol karena memiliki nilai yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan ransum kontrol Lampiran 16. Tingginya konsumsi bahan segar ransum pada perlakuan R3 diduga disebabkan oleh tingginya kadar BETA-N. Sesuai yang disampaikan Anggorodi 1979 bahwa bahan ekstrak tanpa nitrogen BETA-N dalam butiran – butiran dan dalam sebagian besar bahan makanan penguat lebih dapat dicerna daripada serat kasar. Pada perlakuan R4 memiliki nilai konsumsi ransum terendah karena penggunaan zeolit 2.5 sangat berpengaruh terhadap penurunan konsumsi ransum selama penelitian. Penurunan tersebut terjadi karena penambahan zeolit dalam ransum dapat berperan sebagai penyerap nutrisi bahan makanan sehingga dapat mengakibatkan laju pencernaan lebih lambat dalam saluran pencernaan. Laju bahan pakan yang lambat dalam saluran pencernaan dapat membuat hewan tersebut merasa kenyang lebih lama sehingga tingkat konsumsi hewan tersebut akan menurun. Konsumsi bahan kering mencit selama penelitian berkisar antara 51.63-62.80 gekorminggu. Rataan konsumsi BK pada Tabel 9 menunjukkan bahwa konsumsi BK tertinggi berada pada mencit yang diberi ransum perlakuan R3. Hasil uji lanjut kontras ortogonal menunjukkan bahwa R3 dan R0 memiliki superskript yang sama. Hal ini berarti perlakuan penambahan BBJP 15 ke dalam ransum R3 dan ransum kontrol R0 tidak berbeda nyata. Ransum pada perlakuan R1, R2, dan R4 memiliki superskript yang berbeda dengan R0 dan R1sehingga dapat dikatakan bahwa R1, R2, dan R4 berbeda nyata dengan R0 dan R1 Lampiran 18. Dari Tabel 9 diketahui bahwa perlakuan R1, R2, dan R4 memiliki tingkat konsumsi BK yang rendah. Data tersebut mengindikasikan bahwa penambahan BBJP sebesar 15 ke dalam ransum R3 lebih baik dibandingkan dengan perlakuan R1, R2, R4 dan memiliki kesetaraan dengan ransum kontrol. Konsumsi bahan organik mencit selama penelitian berkisar antara 44.33-57.01 gekorminggu. Rataan konsumsi BO pada Tabel 9 menunjukkan bahwa konsumsi BO tertinggi berada pada mencit yang diberi ransum perlakuan R3. Dari Tabel 9 diketahui bahwa perlakuan R1, R2, dan R4 memiliki tingkat konsumsi BO yang rendah. Hasil uji lanjut kontras ortogonal terhadap konsumsi bahan organik menunjukkan adanya kesamaan denga uji pada konsumsi bahan kering Lampiran 20. Chotimah 2002 menyatakan bahwa konsumsi BO pada ternak berbanding lurus dengan konsumsi BK dari ternak tersebut. Jika konsumsi BK tinggi, maka akan tinggi pula konsumsi BO nya. 28 Rataan konsumsi protein kasar PK selama penelitian berada dalam kisaran 10.70-15.69 gekorminggu. Berdasarkan Tabel 9 konsumsi protein kasar pada perlakuan penambahan BBJP dan zeolit R1, R2, R3, R4 menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan ransum kontrol. Namun, hasil uji lanjut kontras ortogonal menunjukkan bahwa perlakuan R3 dan R0 tidak berbeda nyata dalam konsumsi protein kasar Lampiran 22. Rendahnya konsumsi protein kasar pada R1,R2,R4 dibandingkan ransum R0 dan R3 disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya yaitu rendahnya konsumsi bahan segar ransum dan rendahnya kandungan protein pada ransum. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan ANOVA menunjukkan bahwa penambahan BBJP pada ransum kontrol dengan taraf tertentu tidak memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi energi ransum perlakuan Lampiran 23. Data konsumsi energi pada Tabel 9 menunjukkan bahwa kisaran konsumsi energi selama penelitian adalah 235,430.94-301,234.31 kalekorminggu. Tingkat konsumsi energi tertinggi dimiliki oleh ransum perlakuan R0 ransum kontrol. Rendahnya tingkat konsumsi energi pada ransum perlakuan diduga karena rendahnya konsumsi bahan kering. Tingkat energi hanya dapat mempengaruhi tingkat pertambahan bobot badan Parakkasi 1999. Sumber energi adalah karbohidrat, protein dan lemak; mineral dan vitamin bersama dengan zat – zat lainnya sebenarnya tidak dapat dipisahkan dalam metabolisme energi. Dari hasil pengamatan terhadap konsumsi, perlakuan R3 penambahan BBJP sebesar 15 memberikan nilai terbaik jika dibandingkan dengan perlakuan R1, R2, dan R4. Namun, nilai konsumsi pada perlakuan R3 tidak berbeda jauh dengan ransum kontrol. Perbandingan kelima perlakuan terhadap tingkat konsumsi dapat dilihat pada lampiran 27.

4.4.2. Kecernaan Bahan Kering dan Zat Makanan

Kecernaan pakan didefinisikan sebagai jumlah pakan yang dicerna oleh tubuh ternak yang tidak diekskresikan melalui feses dan diasumsikan dapat diserap oleh tubuh ternak McDonald et al ., 1995. Tingkat kecernaan bahan kering dan zat makanan disajikan dalam Tabel 10. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, perlakuan penambahan BBJP terhadap ransum kontrol tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering KCBK, kecernaan bahan organik KCBO dan kecernaan protein kasar KCPK Lampiran 24-26. Tabel 10 . Persentase Kecernaan Bahan Kering dan Zat Makanan Ransum Kecernaan Bahan Kering Bahan Organik Protein Kasar R0 87.24 ± 6.73 88.27 ± 6.07 87.01 ± 5.93 R1 89.61 ± 5.58 88.03 ± 4.54 85.65 ± 6.68 R2 87.64 ± 6.82 88.41 ± 6.17 85.37 ± 8.40 R3 88.58 ± 4.01 89.31 ± 3.62 87.29 ± 2.93 R4 86.83 ± 5.31 89.5 ± 2.15 84.32 ± 7.28 Keterangan : R0=Ransum Kontrol tanpa diberi BBJP, R1=95 R0 + 5 BBJP, R2 = 90 R0 + 10 BBJP, R3 = 85 R0 + 15 BBJP, R4 = 85 R0 + 10 BBJP yang mengandung 2.5 Zeolit. Pada Tabel 10 nilai KCBK kecernaan bahan kering dan KCBO kecernaan bahan organic secara berturut – turut berkisar antara 86.83-89.61 dan 88.03-89.5 sedangkan kisaran 29 nilai KCPK kecernaan protein kasar yaitu 84.32-87.29. Nilai KCBK tertinggi dimiliki oleh R1 yaitu sebesar 89.61 Menurut Aggorodi 1984 efektivitas suatu makanan dapat dilihat dari besarnya protein yang diserap oleh tubuh, semakin sedikit tingkat penyerapannya maka tingkat protein yang terbuang akan semakin tinggi. Kadar protein berhubungan erat dengan kadar air dalam tubuh. Semakin tinggi jumlah protein dalam ransum akan mempertinggi kebutuhan air bagi ternak sehingga dapat mengakibatkan sebagian protein akan terbuang melalui kotoran dan urin. Tabel 10 menunjukkan nilai KCPK tertinggi dimiliki oleh ransum R3 dan nilai terendah dimiliki oleh ransum R4. Tingginya nilai KCPK pada mencit yang mengkonsumsi R3 disebabkan karena tingginya konsumsi protein kasar mencit tersebut. Ransum perlakuan R4 yang memiliki nilai KCPK terendah berlawanan dengan pernyataan yang disampaikan. Panda 2007 bahwa zeolit dapat meningkatkan kecernaan protein. Rendahnya KCPK pada perlakuan R4 diduga karena zeolit yang ditambahkan masih memiliki zat – zat pencemar di dalamnya. Karakteristik dan mutu zeolit dari berbagai lokasi tidak sama. Zeolit memiliki unsur – unsur pencemar sehingga untuk meningkatkan mutunya diperlukan metode untuk menghilangkan pencemar – pencemar tersebut Panda 2007. Selain itu, konsumsi protein yang rendah juga dapat menyebabkan persentase kecernaan yang rendah. Sutarti dan Rachmawati 1994 dalam Panda 2007 menyatakan bahwa zeolit yang ditambahkan dalam ransum dapat membantu proses penyerapan bahan makanan dalam saluran pencernaan dan meningkatkan selera makan hewan. Zeolit memiliki kemampuan dalam mengikat amoniak sehingga dapat mengurangi kemungkinan ternak mengalami keracunan NH 4 + dan meningkatkan pH dalam saluran pencernaan sehingga ternak tersebut dapat merasakan kenyamanan dalam mencerna yang akan meningkatkan selera makan Mumpton dan Fishman 1977. Zeolit yang ditambahkan dalam ransum ternak memiliki peranan memperlambat laju makanan dalam saluran pencernaan sehingga penyerapan zat – zat makanan akan lebih banyak terjadi Soejono dan Santoso 1990. Penggunaan zeolit dalam ransum ternak juga berfungsi untuk menurunkan kadar protein kotoran ternak. Kadar protein kotoran dapat digunakan sebagai gambaran efisiensi penggunaan protein dalam ransum. Dengan demikian, hal tersebut menunjukkan bahwa zeolit mampu mengefisiensikan penggunaan protein oleh tubuh ternak.

4.4.3. Pertambahan Bobot Badan PBB

Tabel 11 . Rataan Pertambahan Bobot Badan, PER dan TI Ransum PBB gminggu PER FTI RO 2.45 ± 1.20 0.18 8.50 R1 1.86 ± 1.17 0.13 23.98 R2 2.32 ± 1.22 0.15 6.59 R3 2.46 ± 1.65 0.31 17.34 R4 2.51 ± 2.20 0.21 15.56 Keterangan : R0=Ransum Kontrol tanpa diberi BBJP, R1=95 R0 + 5 BBJP, R2 = 90 R0 + 10 BBJP, R3 = 85 R0 + 15 BBJP, R4 = 85 R0 + 10 BBJP yang mengandung 2.5 Zeolit. PBB= Pertambahan Bobot Badan, PER= Protein Efisiensi Rasio, FTI= Food Transformation Index Pertambahan Bobot Badan badan PBB merupakan salah satu ukuran yang menggambarkan perubahan bobot badan pada setiap individu ternak. Dengan dilakukannya 30 pengukuran pertambahan bobot badan PBB ternak dalam kurun waktu tertentu maka dapat dilihat pertumbuhan dari ternak tersebut. Secara umum, dengan mengukur PBB dapat diketahui respon ternak terhadap ransum penelitian Pratiwi 2010. Rataan PBB mencit selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan Pengukuran terhadap PBB yang dilakukan selama penelitian diperoleh kisaran PBB mencit yaitu 1.86-2.51 gminggu. Nilai terendah diperoleh pada ransum R1 sebesar 1.86 g, sedangkan nilai tertinggi diperoleh pada ransum R4 sebesar 2.51 g. Hasil analisis keragaman ANOVA dengan selang kepercayaan 99 α=0.01 diketahui bahwa faktor lama pengamatan waktu berpengaruh sangat nyata terhadap PBB sedangkan jenis ransum dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap PBB Lampiran 29. Uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat apakah setiap taraf dari faktor lama pengamatan berbeda secara signifikan atau tidak. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa faktor minggu IV berbeda nyata dengan faktor minggu I, II dan III. Begitu juga dengan faktor minggu II berbeda nyata dengan faktor minggu I,III dan IV. Faktor minggu I berbeda nyata dengan minggu II dan IV, namun tidak berbeda nyata dengan minggu III Lampiran 30. Histogram hubungan antara lama pengamatan dengan jenis ransum terhadap Rataan Pertambahan Bobot Badan ditunjukkan pada Gambar 10. Gambar 10 . Pertambahan Bobot Badan per minggu Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat adanya kecenderungan yang sama antar masing – masing perlakuan jenis ransum terhadap lama pengamatan. Pada minggu kedua, semua ransum perlakuan menunjukkan penurunan PBB dari minggu sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya penyesuaian mencit terhadap ransum yang dikonsumsi. Pada minggu selanjutnya yaitu minggu ketiga terjadi kenaikan pada semua ransum penelitian. Kondisi ini menunjukkan adanya fase recovery yang dialami mencit akibat ransum yang dikonsumsi. Peningkatan PBB pada ransum penelitian kecuali ransum R0 juga terjadi pada minggu keempat. Peningkatan yang cukup signifikan pada minggu keempat terjadi pada ransum R1, R3 dan R4. Hal ini disebabkan tingginya penyerapan zat makanan bahan kering, bahan organik dan protein kasar oleh mencit yang ditunjukkan dengan kecernaan yang tinggi seperti disajikan pada tabel 10. Dasril 2006 menyatakan bahwa penggunaan zeolit dapat menurunkan konsumsi BK ransum, konsumsi PK, konversi pakan, kadar air feses dan sangat nyata P0.01 meningkatkan pertambahan bobot badan. Hal ini sesuai dengan mencit yang mengkonsumsi ransum R4, dengan konsumsi zat makanan yang rendah namun penyerapannya cukup tinggi akibat ditambahkan zeolit menyebabkan PBB yang tinggi pula. 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 RO R1 R2 R3 R4 PBB g Ransum I II III IV 31 4.4.4. Protein Eficiency Ratio PER Nilai Protein Eficiency Ratio PER diperoleh dari membagi pertambahan bobot badan dengan jumlah protein ransum yang dikonsumsi. Perhitungan PER ransum merupakan metode termudah dan sering digunakan dalam melihat kualitas protein ransum Wahju 1997. Kualitas protein ransum yang baik ditandai dengan nilai PER yang besar. Hal tersebut menggambarkan efisiennya protein ransum yang dimanfaatkan oleh tubuh untuk pertumbuhan Tanuwiria 1994. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa ransum kontrol yang disubstitusi dengan BBJP tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai PER ransum mencit selama penelitian Lampiran 30. Namun, kualitas ransum yang paling baik dapat dilihat pada ransum R3 yang memiliki nilai PER tertinggi yaitu 0.31 sedangkan nilai PER terkecil ditunjukkan oleh ransum R1 yaitu 0.13. Ransum R3 memiliki nilai PER lebih tinggi dari ransum kontrol 0.18. Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa semakin tinggi taraf penambahan BBJP cenderung dapat meningkatkan nilai PER ransum walaupun secara statistik tidak nyata. Hal ini memberikan petunjuk bahwa penambahan BBJP dapat memperbaiki kualitas ransum.

4.4.5. Food Transformation Index

FTI Nilai Food Transformation Index FTI diperoleh dari membagi konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan. FTI adalah satuan untuk melihat jumlah makanan yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu satuan bobot badan. Dalam ilmu nutrisi ternak, cara untuk menghitung FTI sama dengan cara untuk menghitung nilai konversi pakan ransum. Menurut Wahju 1997, konversi ransum adalah jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit pertambahan bobot badan, semakin besar dan tua ternak maka nilai konversi akan semakin tinggi, semakin tinggi nilai konversi maka akan memberikan indikasi bahwa ternak tersebut tidak efisien lagi. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa ransum kontrol yang disubstitusi dengan BBJP tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai FTI ransum mencit selama penelitian Lampiran 31. Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui nilai FTI ransum berkisar antara 6.59-23.98. ransum yang memiliki nilai FTI terrendah adalah ransum R2 yaitu sebesar 6.59 sedangkan ransum dengan nilai FTI tertinggi ditunjukkan oleh ransum R1 yaitu sebesar 23.98.

4.4.6. Mortalitas

Mortalitas merupakan jumlah atau persentase ternak yang mati dalam suatu populasi ternak tersebut berada. Menurut Blakely dan David 1991, mortalitas mencit dapat dipengaruhi oleh kualitas pakan, kepekaan terhadap penyakit, suhu dan kelembaban serta manajemen pemeliharaan mencit. Persentase mortalitas mencit berkisar antara 0-23.08. Angka mortalitas terkecil ditunjukkan oleh ransum perlakuan R0 dan R2 sedangkan angka mortalitas tertinggi ditunjukkan oleh ransum perlakuan R4 yaitu 23.08 atau sebanyak 3 ekor selama penelitian. Mencit yang mati pada perlakuan R1 dan R3 sebanyak 1 ekor selama penelitian berlangsung atau memiliki tingkat mortalitas sebesar 7.69. Mencit yang mati pada perlakuan R1 terjadi pada minggu ke 1 sedangkan mencit yang mati pada perlakuan R3 terjadi pada minggu ke 3. Hal ini menunjukkan bahwa kematian yang terjadi pada mencit R3 diduga bukan akibat mengkonsumsi ransum melainkan karena faktor lain seperti kondisi lingkungan yang kurang memungkinkan untuk mencit tersebut. 32 Tabel 12 . Persentase Mortalitas Mencit selama Penelitian Perlakuan Mortalitas Minggu ke- Jumlah mencit yang mati ekor R0 0 - - R1 7.69 1 1 R2 0 - - R3 7.69 3 1 R4 23.08 4 3 Keterangan : R0=Ransum Kontrol tanpa diberi BBJP, R1=95 R0 + 5 BBJP, R2 = 90 R0 + 10 BBJP, R3 = 85 R0 + 15 BBJP, R4 = 85 R0 + 10 BBJP yang mengandung 2.5 Zeolit. 33

V. SIMPULAN DAN SARAN