Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

15 Barat. Asumsi petani memijahkan sendiri sehingga harga benih 50 dari harga pasar. Laba per perlakuan yang diperoleh pada perlakuan 3, 6, dan 9 ekorℓ berturut turut adalah Rp. 2.307.445; Rp. 14.812.662; dan Rp. 19.294.320. RC ratio yang didapat dari perlakuan 9 ekorℓ sebesar 1,93 yang artinya setiap Rp.1,00 yang dikeluarkan sebagai biaya akan memberikan Rp. 1,93 sebagai pendapatan. RC ratio pada perlakuan 3 ekorℓ sebesar 1,18 dan perlakuan 6 ekorℓ sebesar 1,87. Tabel 3. Efesiensi ekonomi pada tiap perlakuan dalam 1 tahun. Parameter Perlakuan 3 ekorℓ 6 ekorℓ 9 ekorℓ Penerimaan Penerimaan Ukuran 1,5 inch 7.840.000 12.320.000 36.288.000 Penerimaan Ukuran 2 inch 7.360.000 19.520.000 3.840.000 Total Penerimaan 15.200.000 31.840.000 40.128.000 Biaya Biaya Variabel Biaya Benih 1.920.000 3.840.000 5.760.000 Biaya Pakan 2.614.755 4.829.538 6.715.880 Biaya Tetap Penyusutan 557.800 557.800 557.800 Listrik 600.000 600.000 600.000 Upah pegawai 7.200.000 7.200.000 7.200.000 Total Biaya 12.892.555 17.027.338 20.833.680 Laba Rp 2.307.445 14.812.662 19.294.320 Biaya Produksi per Unit Rp 695 459 374 RC ratio 1,18 1,87 1,93

3.2. Pembahasan

Pada penelitian ini, peningkatan kepadatan telah disertai dengan lingkungan yang optimum dan pakan yang mencukupi. Menurut Hepher dan Pruginin 1981, lingkungan yang optimum dan pakan yang mencukupi, peningkatan kepadatan akan disertai dengan peningkatan hasil. Tingkat kelangsungan hidup merupakan salah satu parameter utama yang menunjukkan keberhasilan dalam pemeliharaan suatu organisme akuatik. Peningkatan kepadatan tidak mengakibatkan penurunan tingkat kelangsungan hidup karena kualitas air relatif tidak menurun secara signifikan selama penelitian dan masih pada kisaran yang layak bagi ikan. Menurut Wedemeyer 1996, peningkatan padat penebaran akan mengganggu tingkah laku ikan terhadap 16 ruang gerak yang pada akhirnya dapat menurunkan kelangsungan hidup. Nilai kelangsungan hidup pada kepadatan 9 ekorℓ menunjukkan bahwa proses fisiologis ikan belum terganggu. Pertumbuhan ikan bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis ikan, sifat genetis, kemampuan memanfaatkan makanan, ketahanan terhadap penyakit serta di dukung oleh faktor lingkungan seperti kualitas air, pakan, dan ruang gerak atau padat penebaran Hepher dan Pruginin, 1981. Menurut Wedemeyer 1996, pertumbuhan ikan menurun diduga disebabkan oleh terganggunya proses fisiologis dan tingkah laku ikan akibat kepadatan yang melewati batas tertentu. Peningkatan padat penebaran dari 3 ekorℓ hingga 9 ekorℓ tidak memberikan perbedaan nyata dalam hal laju pertumbuhan bobot harian dan efisiensi pakan. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan dan pemberian pakan sudah cukup baik sehingga ikan bisa memanfaatkan pakan dengan efisien pada tiap perlakuan. Begitu juga dengan perrtumbuhan panjang mutlak tidak memberikan perbedaan nyata terhadap peningkatan padat penebaran. Dengan demikian kepadatan 9 ekorℓ belum menjadi pembatas bagi kinerja pertumbuhan panjang dan bobot ikan. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan masih cukup optimal bagi pertumbuhan ikan. Koefisien keragaman panjang menunjukkan seberapa besar variasi ukuran panjang ikan dalam pemeliharaan. Semakin besar nilai koefisien keragaman panjang maka dalam populasi tersebut ukuran antar individu akan semakin beragam. Keseragaman ukuran ikan dalam suatu populasi sangat penting karena apabila terjadi keragaman yang tinggi maka kompetisi akan semakin tinggi pula. Dalam hal ini kompetisi perebutan ruang gerak. Sebagai produk, keseragaman dapat mempengaruhi harga jual ikan karena ikan yang ukurannya seragam harganya akan lebih tinggi daripada ikan yang ukurannya tidak seragam. Koefisien keragaman panjang menunjukkan variasi ukuran pada setiap perlakuan. Semakin kecil nilai koefisien keragaman maka akan semakin seragam ukuran ikan yang dihasilkan. Secara umum yang digunakan saat ini di kalangan para pembudidaya, suatu populasi dianggap seragam jika nilai koefisien keragaman berada dibawah 20. Pada penelitian ini, perbedaan padat penebaran tidak memberikan pengaruh nyata terhadap koefisien keragaman panjang. Hal ini menunjukkan bahwa ikan yang dipelihara seragam karena koefisien ragam berada dibawah 20. Hal ini sesuai dengan Mattjik dan 17 Sumertajaya 2002 yang menyatakan bahwa nilai koefisien keragaman yang nilainya di bawah kisaran 20-25 dianggap homogen atau seragam. Kualitas air dapat mempengaruhi produksi budidaya. Dari penelitian ini terjadi penurunan kualitas air seiring bertambahnya waktu pemeliharaan. Nilai pH dalam penelitian ini berkisar antara 5,65 sampai 7,43. Terjadi penurunan pH pada hari ke sepuluh hingga akhir pemeliharaan ikan. Penurunan pH disebabkan oleh peningkatan CO 2 akibat respirasi sedangkan O 2 berkurang akibat respirasi dan perombakan zat organik melalui proses oksidasi yang memerlukan oksigen. Menurut Boyd 1982 pH yang optimal perairan untuk mendukung pertumbuhan ikan yaitu antara 6,5-9. Menurut Swingle dalam Boyd 1990 bahwa kisaran pH 5-6 dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan menjadi lambat. Kisaran nilai oksigen terlarut pada penelitian ini bekisar antara 3,34-5,17 mgℓ. Nilai oksigen terendah pada kepadatan 9 ekorℓ sebesar 3,34 mgℓ. Meningkatnya padat penebaran ikan seiring dengan peningkatan konsumsi oksigen menyebabkan kelarutan oksigen dalam media pemeliharaan mengalami penurunan. Untuk mengatasi masalah tersebut, dilakukan pergantian air yang dilakukan setiap hari serta pemberian aerasi pada setiap akuarium. Dengan demikian oksigen terlarut masih berada dalam kisaran yang layak untuk kebutuhan pertumbuhan ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Goddard 1996, kepadatan yang tinggi dalam pemeliharaan ikan budidaya haruslah didukung dengan pergantian air yang tinggi. Hepher 1978 dalam Nurhamidah 2007 menyatakan bahwa dalam budidaya intensif, oksigen terlarut dan akumulasi hasil metabolisme menjadi faktor pembatas karena pada kepadatan yang tinggi menyebabkan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut dan meningkatnya akumulasi hasil metabolisme. Nilai konsentrasi amonia pada akhir pemeliharaan perlakuan 3, 6 dan 9 ekorℓ berturut-turut adalah sebesar 0,0005 mgℓ; 0,0017 mgℓ; 0,0009 mgℓ. Nilai amonia yang didapat pada akhir penelitian cukup rendah dan masih bisa ditoleransi oleh ikan. Rendahnya nilai amonia disebabkan karena jumlah kandungan bahan organik dalam media pemeliharaan sedikit. Pergantian air setiap hari dapat menurunkan nilai kandungan bahan organik dalam media pemeliharaan sehingga nilai amonia menjadi kecil. Selain itu pH dan suhu yang stabil mengakibatkan amonia tidak banyak terbentuk. Toksisitas amonia sangat terkait erat dengan pH, suhu, dan kelarutan oksigen. Pada pH tinggi amonia berubah menjadi bentuk tak terionisasi yang 18 berbahaya toxic unionized form . Pada pH 7 kurang dari 1 total amonia menjadi toxic unionized form ; pH 8, 5-9 ; pH 9, 30-50 ; dan pH 10, 80-90 Popma dan Loushin, 1996. Amonia merupakan produk akhir dari katabolisme protein. Dikeluarkan sebagai amonia tak terionisasi melalui insang organisme akuatik. Amonia, nitrit dan nitrat mudah terlarut dalam air. Diperairan amonia muncul dalam dua bentuk: 1 amonia NH 3 dan; 2 amonium NH 4 + . Konsentrasi relatif dari kedua bentuk amonia tersebut merupakan fungsi dari pH, suhu dan salinitas Ebeling et al ., 2006. Nilai alkalinitas pada awal pemeliharaan sebesar 136 mgℓ CaCO 3 . Sedangkan nilai akhir pemeliharaan pada tingkat kepadatan 3, 6, dan 9 ekorℓ berturut-turut sebesar 240 mgℓ CaCO 3 ; 272 mgℓ CaCO 3 ; dan 304 mgℓ CaCO 3. Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau basa juga diartikan sebagai kapasitas penyangga buffer capacity terhadap perubahan pH. Perairan mengandung alkalinitas ≥20 ppm menunjukkan bahwa perairan tersebut relatif stabil terhadap perubahan asambasa sehingga kapasitas buffer atau basa lebih stabil Effendi, 2003 . Menurut Boyd 1988 dalam Effendi 2003, alkalinitas yang baik berkisar antara 30-500 mgℓ CaCO 3 . Selain oksigen terlarut, suhu juga merupakan faktor yang dapat mendukung pertumbuhan ikan. Tingkat nafsu makan ikan tergantung oleh suhu. Suhu berpengaruh terhadap laju metabolisme ikan NRC, 1977 dalam Nurhamidah, 2007. Selama penelitian berlangsung, suhu air berkisar antara 28-30 °C. Faktor yang mempengaruhi stres adalah kondisi kualitas air, khususnya oksigen dan amonia. Kandungan oksigen yang rendah dapat menurunkan tingkat konsumsi pakan ikan nafsu makan, karena oksigen sangat dibutuhkan untuk respirasi, proses metabolisme di dalam tubuh, aktivitas pergerakan dan aktivitas pengelolaan makanan. Menurunnya nafsu makan ikan dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan. Selain itu, konsentrasi amonia hasil metabolisme yang meningkat pada media pemeliharaan juga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan karena menurunkan konsumsi oksigen akibat kerusakan pada insang, penggunaan energi yang lebih akibat stres yang ditimbulkan, dan mengganggu proses pengikatan oksigen dalam darah yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian Boyd, 1990. Peningkatan padat penebaran dari 3 ekorℓ hingga 9 ekorℓ menghasilkan pencapaian kelompok ukuran yang bervariasi. Ikan yang dikategorikan 1,5 inch 19 adalah ikan berukuran antara 3,78 cm sampai 5,02 cm. Sedangkan ukuran Ikan yang dikategorikan 2 inch adalah ikan berukuran antara 5,02 cm sampai 6,27 cm. Pada kepadatan 3 ekorℓ dan 6 ekorℓ diperoleh ukuran kurang dari 2 inch sebesar 60,70 dan 55, 50, ukuran yang melebihi 2 inch sebesar 39,30 dan 44,50. Sedangkan pada kepadatan 9 ekorℓ diperoleh jumlah ikan yang kurang dari 2 inch sebesar 93,26, ukuran yang melebihi 2 inch sebesar 6,74. Ukuran ikan berkontribusi terhadap harga jual. Semakin besar ukuran ikan maka semakin tinggi pula harga jualnya. Harga benih ikan sinodontis pada ukuran 1,5–2 inch dipasaran sebesar Rp.700,00ekor dan harga benih ikan sinodontis pada ukuran 2 inch dipasaran sebesar Rp.1.000,00ekor harga di “Taufan Fish Farm”, Cibinong, Bogor tahun 2010. Penerimaan paling besar diperoleh pada perlakuan 9 ekorℓ dibanding dengan perlakuan 3 ekorℓ dan 6 ekorℓ. Adapun biaya produksi yang dikeluarkan tiap perlakuan relatif sama sehingga keuntungan terbesar dicapai pada perlakuan 9 ekorℓ yang dapat dilihat dari biaya produksi per unit terkecil dan RC ratio yang terbesar dibandingkan perlakuan lainnya. Biaya produksi per unit menunjukan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk produksi satu benih ikan. RC ratio memberikan pedoman bahwa bisnis layak untuk dijalankan apabila RC ratio lebih besar dari 1 dan bisnis tidak layak untuk dijalankan bila RC ratio lebih kecil dari 1 Nurmalina et al , 2009. Dengan demikian, perlakuan padat penebaran 9 ekorℓ menghasilkan efisiensi usaha yang paling tinggi diantara perlakuan lainnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Peningkatan padat penebaran ikan sinodontis dari 3 ekorℓ menjadi 9 ekorℓ tidak mempengaruhi derajat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, efisiensi pakan, pertambahan panjang mutlak dan koefisien keragaman panjang. Namun bila dilihat dari analisis ekonomi, peningkatan padat tebar ikan menunjukkan peningkatan dalam perolehan besaran laba, peningkatan efisiensi biaya produksi per unit, dan peningkatan rasio penerimaan terhadap biaya.

4.2. Saran

Sebaiknya dalam budidaya intensif ikan sinodontis ukuran 2,5 cm, padat tebar yang digunakan adalah 9 ekorℓ dengan pergantian air sebanyak 2x30hari.