Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Gurame yang diberi Hormon Pertumbuhan Rekombinan dengan Lama Perendaman yang Berbeda.

(1)

ABSTRAK

PUSTIKA RATNAWATI.

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Gurame yang Diberi Hormon Pertumbuhan Rekombinan dengan Lama Perendaman yang Berbeda. Dibimbing oleh ALIMUDDIN dan AGUS OMAN SUDRAJAT.

Produksi ikan gurame ditargetkan meningkat sebesar 27% pada tahun 2014 (KKP, 2010). Pertumbuhan ikan gurame relatif lambat. Pemberian hormon pertumbuhan rekombinan (rGH) melalui perendaman dalam air salinitas 9 ppt selama 1 jam dapat meningkatkan pertumbuhan ikan gurame. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan gurame yang direndam dalam air tawar mengandung rGH dengan lama waktu berbeda (0,5; 1; 2; dan 3 jam). Benih ikan gurame umur 2 hari setelah mulai makan direndam dalam air tawar mengandung rGH dosis 120 mg/L. Sebagai kontrol ikan gurame direndam dalam air tawar tanpa rGH, dan dalam air salinitas 9 ppt yang mengandung rGH. Selanjutnya, ikan dipelihara selama 7 minggu dalam akuarium dan diberi pakan secara satiasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biomasa rata-rata (126,88 g), pertumbuhan spesifik (12,60%), dan kelangsungan hidup (100%) tertinggi diperoleh pada perlakuan perendaman benih gurame dalam rGH selama 30 menit. Biomasa ikan perlakuan perendaman rGH selama 30 menit lebih tinggi sekitar 32% dibandingkan dengan kontrol tanpa perendaman dengan rGH (96,29 g). Kelangsungan hidup ikan perlakuan perendaman rGH selama 30 menit adalah sama dengan kontrol tanpa perendaman rGH, dan kontrol perendaman dalam air salinitas 9 ppt mengandung rGH. Kelangsungan hidup ikan perlakuan lainnya adalah 95%. Dengan demikian, pertumbuhan benih ikan gurame dapat ditingkatkan dengan merendamnya dalam air tawar mengandung rGH selama 30 menit, dan aplikasi teknologi ini dapat berguna untuk meningkatkan produksi akuakultur, dan pendapatan pembudidaya.

Kata kunci: Hormon pertumbuhan, perendaman, ikan gurame, biomasa.

ABSTRACT

PUSTIKA RATNAWATI

. Growth and Survival of Giant Gourami Juvenile with Different Immersion Time of Recombinant Growth Hormone. Supervised by ALIMUDDIN and AGUS OMAN SUDRAJAT.

Production of giant gourami is targeted to be increased by 27% in 2014 (KKP, 2010). Growth of giant gourami is relatively slow. Administration of recombinant growth hormone (rGH) by immersion in saline water of 9 ppt for 1 hour could increase the growth of giant gourami juvenile. This study was aim to


(2)

compare the growth and survival of giant gourami juvenile that have been immersed in freshwater containing rGH by different duration time of immersion (0.5, 1, 2, and 3 hours). Juvenile of 2-day after first feeding was immersed in freshwater containing rGH of 120 mg/L. Fish were also immersed in freshwater without rGH, and 9 ppt saline water containing rGH as the controls. Fish were then reared for 7 weeks, and fed at satiation. The results showed that higher biomass (126.88 g), specific growth (12.60%), and survival (100%) was obtained in rGH immersion for 30 minutes. Biomass of the 30 minutes of rGH-immersed fish was about 32% higher than that of control without rGH immersion (96.29 g). Survival rate of the fish treated with rGH for 30 minutes immersion was similar with the controls. Survival rate of the fish in other treatments was 95%. Hence, growth of giant gourami could be improved by immersing in freshwater containing rGH for 30 minutes, and application of this technology may be useful to enhance aquaculture production, and income of the fish farmer.


(3)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) menargetkan produksi perikanan budidaya meningkat hingga 353% pada tahun 2014. Salah satu spesies yang menjadi unggulan dalam progam tersebut adalah ikan gurame. Pemerintah menargetkan peningkatan produksi untuk ikan gurame sebesar 48.900 ton pada tahun 2014 atau meningkat 27% dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya sebesar 46.452 ton (KKP, 2010).

Ikan gurame merupakan jenis ikan herbivora dan memiliki harga jual yang relatif tinggi, untuk benih ukuran 2-3 cm dijual seharga Rp 130/ekor, ukuran 4-5 cm Rp 700-1.200/ekor dan ukuran daging/konsumsi Rp 25.000-Rp 30.000/kg (Dinas Perikanan Jakarta, 1997). Harga ikan gurame relatif stabil serta permintaan yang masih tinggi di Pulau Jawa, seperti Jakarta yang mencapai 22,5 ton/hari pada tahun 2010 (KKP, 2010). Kendala dalam pengembangan kegiatan budidaya ikan gurame adalah ikan ini memiliki laju pertumbuhan yang lambat sehingga dibutuhkan waktu cukup lama untuk mencapai ukuran konsumsi, dengan tebar awal benih ukuran panjang tubuh 2-3 cm dibutuhkan waktu sekitar 1,5 tahun untuk mencapai ukuran konsumsi sebesar 500 g.

Peningkatan laju pertumbuhan merupakan salah satu solusi peningkatan produksi ikan gurame. Pertumbuhan yang lambat dapat memakan biaya produksi yang cukup tinggi, ditambah dengan risiko selama pemeliharaan yang dapat menurunkan omset petani. Hal ini dapat menjadi hambatan utama dalam pengembangan budidaya, sehingga dibutuhkan metode yang cepat untuk meningkatkan pertumbuhan. Perbaikan pertumbuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti rekayasa individu/populasi (misal: seleksi individu dan famili), rekayasa molekular (yaitu: rekayasa DNA/gen) dan rekayasa hormonal (rekombinan hormon). Tingkat perbaikan dengan metode seleksi pada ikan gurame membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun setiap generasinya dan hanya mengalami perbaikan rata-rata 10% per generasi sehingga diperlukan waktu relatif lama untuk mencapai tingkat perbaikan yang signifikan. Sebagai contoh, aplikasi metode seleksi pada ikan nila membutuhkan waktu 10 tahun untuk 12


(4)

generasi dengan kecepatan tumbuh 12,4% per generasi (Bolivar et al., 2002). Perbaikan dari segi molekular juga dapat dilakukan dengan metode transfer gen, dengan perbaikan kecepatan tumbuh sekitar 100-3.000% bisa diperoleh lebih cepat pada generasi ketiga. Namun demikian, seperti disebutkan sebelumnya bahwa ikan gurame lambat untuk mencapai matang gonad pertama kali, sehingga diperlukan lebih dari 6 tahun untuk memperoleh ikan gurame transgenik yang tumbuh cepat, selain itu penerapan transgenik juga memiliki kesulitan karena pemijahan buatan ikan gurame sebagai persyaratan belum dikuasai dengan baik. (Alimuddinet al.,2010).

Penerapan rekayasa hormonal pada ikan sudah digunakan pada tingkat reproduksi seperti penggunaan “Ovaprim” untuk menstimulasi pemijahan pada ikan, yang merupakan campuran antara analog dari salmon gonadotropin releasing hormon(sGnRH)-LHRH dandomperidone(Nandeeshaet al.,1990) dan penggunaan metiltestosteron untuk pengarahan jenis kelamin pada ikan. Pada rekayasa pertumbuhan, aplikasi penggunaan rekombinan hormon pertumbuhan (growth hormone/rGH) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan laju pertumbuhan ikan. GH merupakan polipeptida rantai tunggal dengan ukuran sekitar 22 kDa yang dihasilkan di kelenjar pituitari dengan fungsi pleiotropik pada setiap hewan vertebrata (Rousseau & Dufour, 2007 dalam Acosta et al., 2009). Beberapa penelitian sudah menerapkan teknologi rekombinan GH (rGH) untuk mempercepat pertumbuhan ikan, seperti pemberian rGH pada ikan rainbow trout

dapat meningkatkan pertumbuhan hingga 50% dibandingkan dengan yang tidak diberi rGH (Sekine et al., 1985). Pemberian rGH ikan nila (rtiGH) pada benih ikan mas koki dapat meningkatkan bobot tubuh hingga 3,5 kali dibandingkan kontrol (Acosta et al., 2009). Sebagai tahap awal, telah dilakukan pembuatan vektor ekspresi dan pengujian bioaktivitas rGH berbeda di Indonesia. Selanjutnya diaplikasi melalui metode penyuntikan rGH dengan konstuksi dari ikan kerapu kertang, ikan mas dan ikan gurame masing-masing meningkatkan bobot ikan nila sebesar 20,94%, 18,09%, dan 16,99% (Alimuddinet al.,2010).

Pemberian rekombinan GH dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti dengan penyuntikan, pemberian langsung melalui oral, perendaman, dan melalui pakan. Penggunaan teknik penyuntikan dirasa kurang aplikatif karena


(5)

ikan harus diinjeksi satu per satu. Perendaman merupakan metode yang lebih efisien dan efektif dalam penerapan pemberian rGH pada fase benih, karena dapat dilakukan dalam jumlah ikan yang banyak. Selain itu, penggunaan protein rGH ikan untuk meningkatkan produktivitas atau pertumbuhan ikan budidaya merupakan prosedur yang aman (Willard, 2006 dalam Acostaet al.,2007).

Aplikasi rGH pada ikan gurame telah diawali dengan penelitian untuk menentukan dosis perendaman yang menghasilkan pertumbuhan tertinggi. Dosis rGH 30 mg/L dengan lama perendaman 1 jam dan frekuensi perendaman sekali seminggu selama 3 minggu menghasilkan peningkatan pertumbuhan benih ikan gurame sebesar 75% dibandingkan dengan dosis 10 mg/L, 20 mg/L, dan kontrol (Putra, 2011). Selanjutnya, Syazili et al. (2011a) meneliti untuk menentukan frekuensi perendaman yang menghasilkan pertumbuhan tertinggi, yaitu perendaman rGH 4 kali lebih baik daripada 2, 3 dan 5 kali perendaman. Total dosis dari 4 kali perendaman tersebut sebesar 120 mg/L juga dapat diberikan dalam sekali perendaman (Syaziliet al.,2011b).

Lama waktu perendaman rGH yang digunakan dalam penelitian Putra (2011) dan Syazili et al., (2011a,b) adalah selama 1 jam. Lama waktu perendaman tersebut didasarkan pada referensi yang bukan menggunakan ikan gurame dan belum diverifikasi lanjut, sehingga masih diperlukan informasi mengenai waktu yang efektif untuk perendaman rGH. Pada penelitian ini dilakukan pengujian lama waktu perendaman rGH yang optimum bagi benih ikan gurame. Pemberian rGH pada benih ikan dengan perendaman biasa dilakukan pada air mengandung NaCl 0,9% (Putra, 2011). Pada penelitian ini juga diuji perendaman benih ikan gurame dalam air tawar (tidak diberi NaCl 0,9%) yang bertujuan untuk meminimalkan biaya serta membandingkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan gurame yang direndam dengan air mengandung NaCl.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas rGH dengan dosis 120 mg/L pada benih ikan gurame dengan lama waktu perendaman yang berbeda, serta perendaman dalam larutan rGH tanpa NaCl 0,9% (air tawar), kemudian membandingkan pertumbuhan bobot dan kelangsungan hidup benih ikan gurame.


(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Gurame (Osphronemus goramy)

Ikan gurame (Osphronemus goramy) merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, bentuk badan pipih lebar, bagian punggung berwarna merah sawo dan bagian perut berwarna kekuningan/keperak-perakan (Gambar 1). Jenis ikan gurame yang biasa dikenal ada dua jenis, yaitu soang dan Jepang, tapi saat ini ada beberapa strain baru, seperti gurame porsalin, gurame blusafir, dan gurame paris.

Gambar 1. Ikan gurame (Osphronemus goramy)

Ikan gurame banyak dijual dengan berbagai ukuran mulai dari telur yang biasa disebut telur muter, ukuran kwaci, kuku, jempol, silet, korek, dan rokok, hingga ukuran daging/konsumsi (Dinas Perikanan Jakarta, 1997). Ikan gurame ukuran konsumsi banyak dipasarkan ke beberapa daerah di Pulau Jawa, seperti Jakarta dengan permintaan mencapai 22,5 ton/hari pada tahun 2010 dengan tujuan restoran dan pasar swalayan (KKP, 2010). Pada tahun 2009 produksi ikan gurame mencapai 46.452 ton dan ditargetkan akan meningkat 48.900 ton pada tahun 2014. Harga ikan gurame yang relatif tinggi mencapai Rp 25.000-Rp 30.000/kg disebabkan oleh permintaan pasar tinggi, sedangkan produksi masih rendah. Setiap bulannya, petani ikan gurame mampu memasok ikan gurame ukuran konsumsi untuk daerah Jakarta dan sekitarnya serta Banten sebanyak 2-3 ton (Dinas Perikanan Jakarta, 1997).

Tingginya harga ikan gurame disebabkan karena ikan gurame merupakan ikan yang memiliki tingkat pertumbuhan yang lambat, untuk membesarkannya hingga ukuran konsumsi 500 g dibutuhkan waktu sekitar 1,5 tahun dari ukuran benih 2-3 cm (Dinas Perikanan Jakarta, 1997). Selain itu jumlah petani ikan


(7)

gurame masih terbatas, hal ini disebabkan karena petani masih merasa kesulitan dalam hal waktu dan biaya produksi yang harus dihabiskan selama pemeliharaan benih dengan risiko yang cukup tinggi.

2.2 Rekombinan Hormon Pertumbuhan

Hormon pertumbuhan merupakan polipeptida yang terdiri dari rangkaian asam amino rantai tunggal dengan ukuran sekitar 22 kDa yang dihasilkan di kelenjar pituitari dengan fungsi pleiotropik pada setiap hewan vertebrata (Rousseau & Dufour, 2007 dalam Acosta et al.,2009). GH berfungsi mengatur pertumbuhan, reproduksi, sistem imun, dan mengatur tekanan osmosis pada ikan teleostei, serta mengatur metabolisme. Menurut Forsyth (2002) bahwa hormon pertumbuhan merupakan suatu polipeptida yang penting dan diperlukan agar pertumbuhan normal. Selain itu efek dari hormon pertumbuhan pada pertumbuhan somatik pada hewan vertebrata memiliki peranan dalam sistem reproduksi, metabolisme (Gomez et al., 1998), dan osmoregulasi pada ikaneuryhaline (ikan yang mampu beradaptasi pada kisaran salinitas yang luas) (Manceraet al.,2002).

Rekombinan hormon pertumbuhan (rGH) merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengkombinasi gen-gen yang diinginkan secara buatan (klon) di luar tubuh dengan bantuan sel tranforman, dalam hal ini gen pertumbuhan dari ikan target diisolasi dan ditransformasikan dengan bantuan mikroba, seperti

Escherichia coli, Bacillus, Streptomyces, dan Saccharomyces (Brown, 2006). Pembuatan rGH di Indonesia sudah dilakukan dengan membuat konstruksi dari ikan mas (Cc-GH), ikan gurame (Og-GH), dan ikan kerapu kertang (El-GH), yang selanjutnya diujikan pada beberapa jenis ikan seperti ikan nila, ikan gurame, dan ikan mas (Alimuddin et al., 2010). Beberapa penelitian aplikasi rekombinan hormon pertumbuhan, seperti pemberian rGH ikan mas sebesar 0,1 µg/g pada benih ikan nila dapat meningkatkan bobot tubuh sebesar 53,1% dibandingkan dengan kontrol (Li et al., 2003). Perlakuan rGH pada ikan rainbow trout juga dapat meningkatkan pertumbuhan 50% lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol (Sekine et al.,1985). Peningkatan pertumbuhan sebesar 20% dari kontrol juga dilaporkan pada ikan beronang dengan pemberian rGH sebanyak 0,5 µg/g selama 1 kali per minggu hingga 4 minggu.


(8)

Pemberian rGH dapat meningkatkan kelangsungan hidup ikan melalui peningkatan sistem kekebalan terhadap penyakit dan stres (McCormick, 2001). Selain itu, penggunaan protein rGH ikan juga merupakan prosedur yang aman dalam meningkatkan produktivitas atau pertumbuhan ikan budidaya, selain itu organisme hasil perlakuan rekombinan hormon pertumbuhan bukan merupakan

genetically modified organism (GMO) (Acostaet al.,2007). GMO adalah produk yang diturunkan dari tanaman atau hewan yang dihasilkan melalui proses rekayasa genetika, di mana sifat-sifat dari suatu makhluk hidup diubah dengan cara memindahkan gen dari satu spesies mahluk hidup ke spesies yang lain, ataupun memodifikasi gen dalam satu spesies (Koswara, 2007).

Pemberian rekombinan hormon pertumbuhan dapat dilakukan melalui beberapa metode seperti dengan penyuntikan, melalui pakan, pemberian langsung melalui oral dan perendaman. Pemberian rGH pada ikan nila melalui teknik penyuntikan dilaporkan meningkatkan bobot hingga 20,94% dengan rGH ikan kerapu kertang (El-GH), 18,09% dengan rGH ikan mas (Cc-GH), dan 16,99% dengan rGH ikan gurame (Og-GH) (Alimuddin et al., 2010). Selain dengan penyuntikan, pemberian rGH melalui pakan alami telah dilaporkan Rahmawati (2011) mampu meningkatkan pertumbuhan ikan gurame sebesar 13% dari kontrol. Penggunaan metode perendaman juga telah diterapkan oleh Acosta et al.,

(2009) dengan frekuensi perendaman rGH sebanyak 3 kali dalam seminggu dapat meningkatkan bobot tubuh ikan nila sebesar 3,5 kali lipat dari kontrol setelah 15 hari pemeliharaan. Penerapan metode perendaman rGH pada ikan gurame mampu meningkatkan bobot hingga 75% dari kontrol pada dosis rGH 30 mg/L (Putra, 2011). Selanjutnya, Syazili et al., (2011b) menyatakan bahwa pada frekuensi pemberian yang berbeda membuktikan perendaman rGH 4 kali lipat dari dosis optimum (30 mg/L) sebesar 120 mg/L lebih baik daripada 3 kali pemberian pada satu kali perendaman dan juga memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan perendaman setiap minggu selama 4 minggu pada ikan gurame, dan dapat meningkatkan bobot hingga 70% dari kontrol. Penggunaan metode perendaman juga dianggap lebih efisien diterapkan pada fase benih karena dapat menurunkan tingkat stres pada ikan perlakuan (Moriyama dan Kawauchi, 1990), sehingga diharapkan dapat meningkatkan laju penyerapan rGH ke dalam tubuh ikan.


(9)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Produksi Protein rGH

3.1.1 Kultur BakteriE.coliBL21 Konstruksi pCold-I/OgGH

Produksi protein rGH dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetik Organisme Akuatik, BDP-FPIK, IPB. Pada penelitian ini digunakan bakteri

Escherichia coli BL21 (DE3) yang mengandung konstruksi pCold-I/OgGH (Lesmana, 2010). Konstruksi tersebut mengandung gen GH ikan gurame (OgGH). Bakteri dikultur awal dalam 6 ml media 2xYT cair yang mengandung ampisilin, dan diinkubasi menggunakan shaker dengan kecepatan 200 rpm selama 18 jam pada suhu 37 oC. Setelah itu, dilakukan subkultur dengan mengambil sebanyak 1% dari kultur awal dan dimasukkan ke dalam 100 ml media 2xYT cair baru dan diinkubasi lagi pada suhu 37 oC, kecepatan 250 rpm selama 2 jam. Induksi produksi rGH dilakukan dengan memberikan kejutan suhu 15 oC selama 30 menit, kemudian ditambahkan isopropyl-b-D-thiogalac-Topyranoside (IPTG) sebanyak 750 µl dan diinkubasi menggunakan shakerdengan kecepatan 250 rpm selama 24 jam pada suhu 15 oC. Bakteri hasil kultur dikumpulkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 2 menit. Pelet bakteri dicuci dengan buffer fosfat salin (PBS) sebanyak 2 kali untuk menghilangkan kotoran ataupun sisa media kultur dan selanjutnya pelet bakteri disimpan di deep-freezer (-80oC). Proses kultur bakteri E. coli BL21 dengan konstruksi pCold-I/OgGH dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.1.2 Lisis Dinding Sel Bakteri

Lisis dinding sel bakteri dilakukan menggunakan lisozim. Pelet bakteri hasil sentrifugasi dicuci menggunakan 1 mL bufer 1xTE, dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 menit, selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit, dan kemudian supernatan dalamtubedibuang. Pelet bakteri dalam tube ditambahkan 500 µL larutan lisozim (10 mg dalam 1 mL buffer 1xTE), kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 menit, lalu disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dan pelet yang


(10)

terbentuk merupakan protein rGH dalam bentuk badan inklusi (inclusion body). Pelet rGH dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali dan disimpan pada suhu -80oC.

3.2 Rancangan Perlakuan

Penelitian ini terdiri dari 6 perlakuan dengan 3 ulangan yang diolah dengan rancangan acak lengkap, dengan jumlah ikan uji sebanyak 50 ekor tiap ulangan perlakuan. Perlakuan adalah lama perendaman rGH yang berbeda pada ikan gurame, dengan membedakan perlakuan dengan dan tanpa menggunakan NaCl 0,9%. Ikan perlakuan yang diuji adalah :

Perlakuan A : Ikan gurame direndam rGH+BSA (Tanpa NaCl) selama 3 jam Perlakuan B : Ikan gurame direndam rGH+BSA (Tanpa NaCl) selama 2 jam Perlakuan C : Ikan gurame direndam rGH+BSA (Tanpa NaCl) selama 1 jam Perlakuan D : Ikan gurame direndam rGH+BSA (Tanpa NaCl) selama 30 menit Perlakuan E : Ikan gurame direndam BSA+NaCl 0,9% (Tanpa rGH) selama 1 jam Perlakuan F : Ikan gurame direndam rGH+BSA+NaCl 0,9% selama 1 jam

Pemeliharaan benih ikan gurame dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetik Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB. Benih ikan gurame yang berumur 7 hari setelah habis kuning telur dan sudah memakan naupli Artemia dipuasakan selama 1 hari sebelum diberi perlakuan. Perendaman (Lampiran 3) dilakukan dengan menggunakan shock salinitydengan NaCl sebesar 2,5% selama 2 menit dengan volume 200 mL untuk merendam ikan sebanyak 50 ekor. Ikan direndam didalam larutan rGH dan BSA (Bovine Serum Albumin) 0,1% sebagai pelarut protein selama waktu perlakuan. Dosis rGH yang digunakan sebesar 24 mg/200mL untuk satu kali perendaman, nilai ini diperoleh dari penggunaan dosis optimum sebesar 120 mg/L (Syazili et al., 2011a) yang diperoleh dari pemberian rGH sebanyak 4 kali lipat dari dosis 30 mg/L (Putra, 2011) untuk satu kali perendaman. Ikan gurame yang telah direndam dimasukkan kedalam akuarium dengan volume air sekitar 20 L dan dipeliharan hingga minggu ke-3, selanjutnya ikan dipindahkan kedalam akuarium dengan volume air sekitar 50 L hingga akhir pemeliharaan diminggu ke-7.

Pemberian pakan naupli Artemia dilakukan saat benih ikan gurame berumur 3 hari hingga 2 minggu, dan selanjutnya diberikan cacing sutera sekitar


(11)

10-30 g hingga akhir pemeliharaan. Pengaturan kualitas air dilakukan dengan cara pengecekan suhu air (29-30 0C), selanjutnya akuarium dibersihkan setiap hari dengan penyifonan untuk membuang semua kotoran dan sisa pakan, serta pergantian air akuarium sebanyak 50-60% dengan air baru yang sebelumnya sudah diaerasi dan diberi biru metilena. Pengamatan pertumbuhan ikan dilakukan dengan cara sampling setiap minggunya, kemudian ikan ditimbang dengan timbangan digital untuk melihat bobot ikan, dan selanjutnya ikan ditangkap dengan saringan dan dihitung jumlah ikan tiap akuarium menggunakan sendok makan. Pengamatan gejala penyakit dan nafsu makan ikan diamati secara visual.

3.3 Parameter yang Diamati

3.3.1 Pertumbuhan Mutlak/Growth Rate (GR)

Pertumbuhan mutlak (growth rate/GR) merupakan pertumbuhan bobot rata-rata ikan setiap hari. Perhitungan bobot dilakukan setiap satu minggu sekali dengan menimbang semua ikan gurame pada setiap akuarium kemudian dihitung dengan rumus:

GR =

t

Wo

Wt

Keterangan :

t = Periode pengamatan (hari)

Wt = Bobot rata-rata individu ikan waktu ke-t(gram/ekor)

Wo = Bobot rata-rata individu ikan waktu ke-0(gram/ekor)

GR = Pertumbuhan mutlak

3.3.2 Laju Pertumbuhan Spesifik/Specific Growth Rate (SGR)

Laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate/SGR) adalah laju pertumbuhan harian atau persentase pertambahan bobot ikan setiap harinya. Perhitungan SGR dilakukan dengan menimbang bobot semua ikan pada setiap perlakukan setiap satu minggu sekali kemudian dihitung dengan rumus:

SGR = t

1

100

%

Wo

Wt


(12)

Keterangan :

t = Periode pengamatan (hari)

Wt = Bobot rata-rata individu ikan waktu ke-t(gram/ekor)

Wo = Bobot rata-rata individu ikan waktu ke-0(gram/ekor) SGR = Laju pertumbuhan individu harian (%)

3.3.3 Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup/Survival Rate (SR) adalah persentase jumlah ikan yang hidup setelah dipelihara dibandingkan dengan jumlah pada awal pemeliharaan. Pada penelitian ini perhitungan jumlah ikan pada setiap perlakuan dan ulangan dilakukan setiap seminggu sekali, hingga akhir pemeliharaan. Nilai SR dihitung dengan rumus:

SR = 100%

No Nt

Keterangan :

Nt : Jumlah ikan yang dihasilkan pada waktut No : Jumlah ikan awal pada saat ditebar

SR : Tingkat kelangsungan hidup (%)

3.3.4 Biomasa

Biomasa merupakan jumlah keseluruhan bobot ikan pada suatu populasi. Perhitungan biomasa dilakukan dengan menimbang semua ikan pada setiap akuarium perlakuan setiap minggu hingga akhir pemeliharaan. Nilai biomasa dihitung dengan rumus:

Biomasa = Bobot rata-rata ikan x Jumlah ikan

3.4 Analisis Data

Efektivitas perlakuan rGH ditentukan berdasarkan nilai pertumbuhan bobot mutlak, pertumbuhan spesifik, kelangsungan hidup, dan biomasa rata-rata. Pertumbuhan bobot mutlak, pertumbuhan spesifk, dan kelangsungan hidup ikan dianalisis menggunakan metode sidik ragam (ANOVA), uji lanjut Duncan’s (SPSS 16.0), dan Microsoft Excel, sedangkan bobot dan biomasa ikan pada akhir penelitian dianalisis secara deskriptif.


(13)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Pertumbuhan Bobot dan Biomasa Benih Ikan Gurame

Data pengamatan pada Tabel 1 menunjukkan nilai pertumbuhan bobot mutlak (GR) tertinggi (P<0,05) pada perlakuan perendaman dengan larutan BSA+rGH selama 30 menit jika dibandingkan dengan lama waktu perendaman lainnya dengan nilai 0,060 g/hari. Nilai pertumbuhan spesifik (SGR) juga menunjukkan perendaman 30 menit dengan rGH+BSA memiliki nilai tertinggi (P<0,05) sebesar 12,60%, dan nilai SGR terendah pada perlakuan kontrol E (tanpa rGH) dengan nilai 11,86%. Nilai kelangsungan hidup menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) antara perlakuan D (perendaman rGH+BSA selama 30 menit), perlakuan F (NaCl 0,9%+ rGH+BSA) selama 1 jam, perlakuan E (tanpa rGH) dengan nilai 100%, sedangkan perlakuan perendaman rGH+BSA selama 3 jam dan 2 jam memberikan nilai SR terendah (95%). Bobot rataan pada tiap ekor ikan menunjukkan perlakuan perendaman rGH+BSA selama 30 menit memiliki nilai bobot tertinggi hingga 2,54 g, sedangkan nilai terendah sebesar 1,93 g pada perlakuan kontrol E (tanpa rGH). Nilai biomasa rataan tertinggi pada perlakuan perendaman rGH+BSA selama 30 menit sebesar 126,88 g dan untuk biomasa rataan terendah senilai 96,29 g pada kontrol tanpa rGH.

4.1.2 Grafik Biomasa Rata-Rata dan SR

Pemeliharaan selama 7 minggu pada benih ikan gurame yang diberi perlakuan rGH menunjukkan (Gambar 2) terjadinya peningkatan pada semua perlakuan setiap minggu. Peningkatan biomasa rata-rata tertinggi pada perendaman rGH+BSA (Tanpa NaCl 0,9%) selama 30 menit yang menunjukkan pertambahan biomasa hingga 126,88 g, sedangkan untuk perendaman dalam larutan rGH+BSA selama 3 jam, 2 jam, 1 jam, dan perlakuan F (NaCl 0,9%+rGH+BSA) memiliki nilai pertambahan biomasa yang relatif sama sekitar 106-112,00 g. Perlakuan perendaman yang tidak menggunakan rGH (BSA dan NaCl 0,9%) memiliki nilai akhir biomasa terkecil (96,29g). .


(14)

Tabel 1. Pertumbuhan bobot mutlak (growth rate/GR), laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate/SGR), kelangsungan hidup (survival rate/SR), bobot dan biomasa rataan benih ikan yang direndam dengan menggunakan rekombinan hormon pertumbuhan (rGH) dengan lama perendaman yang berbeda dan kontrol tanpa menggunakan rGH.

Parameter

Perlakuan

A B C D E (Kontrol) F

GR (g/hari) 0,050±0,0004a 0,050±0,0005a 0,053±0,001a 0,060±0,0005b 0,050±0,0001a 0,050±0,0004a

SGR (%) 12,34±0,020a 12,24±0,028c 12,33±0,052a 12,60±0,022b 11,86±0,009d 12,27±0,020c

SR (%) 95±1,60a 95±1,90a 98±0,80b 100±0,00b 100±0,00b 100±0,00b

Bobot (g/ekor) 2,30±0,018c 2,22±0,023b 2,30±0,045c 2,54±0,021d 1,93±0,007a 2,25±0,017b

Biomasa (g) 109,78±2,08bc 106,04±3,68b 112,96±4,48c 126,88±1,06d 96,29±0,33a 112,35±0,85c

Keterangan: GR, SGR, SR, bobot dan biomasa ikan pada akhir penelitian merupakan nilai rataan dari 3 ulangan, untuk 50 ekor setiap ulangan. Perlakuan A: benih ikan gurame direndamn dalam larutan BSA+rGH (Tanpa NaCl 0,9%) selama 3 jam; Perlakuan B: benih ikan gurame direndam dalam larutan BSA+rGH (Tanpa NaCl 0,9%) selama 2 jam; Perlakuan C: benih ikan gurame direndam dalam larutan BSA+rGH (Tanpa NaCl 0,9%) selama 1 jam; Perlakuan D: benih ikan gurame direndam dalam larutan BSA+rGH (Tanpa NaCl 0,9%) selama 30 menit; Perlakuan E: benih ikan gurame direndam dalam larutan BSA+NaCl 0,9% (Tanpa rGH) selama 1 jam; Perlakuan F: benih ikan gurame direndam dalam larutan BSA+rGH+NaCl 0,9% selama 1 jam. Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05). Huruf superskrip yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05).


(15)

Gambar 2. Perubahan biomasa rata-rata benih ikan gurame yang dipelihara selama 7 minggu antara perlakuan yang diberi rGH dan kontrol (tanpa rGH). 3 jam: benih ikan gurame direndam dalam larutan BSA+rGH selama 3 jam; 2 jam: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH selama 2 jam; 1 jam: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH selama 1 jam; 30 menit: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH selama 30 menit; tanpa rGH (BSA+NaCl): benih ikan gurame direndam dengan BSA+NaCl 0,9% (tanpa rGH) selama 1 jam; NaCl+rGH+BSA: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH+NaCl 0,9% selama 1 jam.

Gambar 3. Kelangsungan hidup benih ikan gurame setelah 7 minggu pemeliharaan pada setiap perlakuan rGH dan kontrol. 3 jam: benih ikan gurame direndam dalam larutan BSA+rGH selama 3 jam; 2 jam: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH selama 2 jam; 1 jam: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH selama 1 jam; 30 menit: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH selama 30 menit; tanpa rGH (NaCl+BSA): benih ikan gurame direndam dengan BSA+NaCl 0,9% (tanpa rGH) selama 1 jam; NaCl+rGH: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH+NaCl 0,9% selama 1 jam

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00

1 2 3 4 5 6 7

B io m a sa r a ta -ra ta ( g ) Minggu ke-3 jam 2 jam 1 jam 30 menit tanpa rGH (BSA+NaCl) NaCl+rGH+BSA 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101

1 2 3 4 5 6 7

Minggu ke-3 jam 2 jam 1 jam 30 menit tanpa rGH (NaCl+BSA) NaCl+rGH+BSA K e la ng su ng a n H id up (% )


(16)

Tingkat kelangsungan hidup dari setiap perlakuan menurun di minggu ke-2 hingga pemeliharaan terakhir pada minggu ke-7 pada perlakuan perendaman rGH+BSA selama 3 jam, 2 jam, dan 1 jam dengan SR mencapai 95-98% (Gambar 3). Pada perendaman rGH+BSA selama 30 menit, kontrol (tanpa rGH), dan perlakuan dengan rGH+NaCl 0,9%+BSA tidak terjadi penurunan kelangsungan hidup dengan persentase sebesar 100% hingga akhir pemeliharaan.

4.2 Pembahasan

Pertumbuhan merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan suatu organisme akuatik yang dapat dilihat berdasarkan pertumbuhan bobot dan pertambahan panjang. Pertumbuhan merupakan hasil regulasi yang kuat antara faktor yang terdapat dalam lingkungannya, seperti ketersediaan pakan, suhu, fotoperiode yang akan memperngaruhi pengaturan ataupun metabolisme dalam tubuh ikan. Selain faktor eksternal, faktor internal juga sangat berperan dalam pertumbuhan ikan yang diatur oleh hormon yang sebagian besar dikendalikan oleh otak untuk sekresi hormon, seperti hormon pertumbuhan. Hormon pertumbuhan disekresikan oleh kelenjar pituitari bagian anterior yang sekresinya dirangsang oleh growth hormone releasing hormone (GHRH) dan somatostatin (Wongthai, 2010).

Hormon pertumbuhan memberikan efek pertumbuhan somatik dan berperan dalam reproduksi pada ikan bertulang belakang (Mecera et al., 2002). Penggunaan rGH pada ikan gurame terbukti dapat meningkat pertumbuhan ikan gurame (Tabel 1). Terdapat perbedaan nilai GR, SGR, bobot, dan biomasa rataan antara ikan yang direndam dalam larutan dengan rGH dan tanpa rGH. Ikan yang diberi perlakuan perendaman rGH+BSA selama 3 jam, 2 jam, 1 jam, dan 30 menit memiliki nilai GR, SGR, bobot, dan biomasa rataan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol yang tanpa pemberian rGH.

Pada perlakuan perendaman dengan rGH+BSA selama 30 menit menunjukkan (Tabel 1) pertambahan nilai GR tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya yang mencapai 0,06 g/hari. Hasil SGR tertinggi dicapai pada perendaman ikan dalam rGH+BSA selama 30 menit dengan nilai 12,60%, dimana hasil ini berbeda nyata (P<0,05) dari perlakuan lainnya yang memiliki SGR


(17)

rata-rata sekitar 12,34-12,27%. Penggunaan rGH dengan metode perendaman ini diduga dapat memacu pertumbuhan benih ikan gurame. Menurut Forsyth (2002) bahwa hormon pertumbuhan merupakan suatu polipeptida yang penting dan diperlukan untuk mencapai pertumbuhan normal. Selain itu efek dari hormon pertumbuhan pada pertumbuhan somatik hewan vertebrata (bertulang belakang) memiliki peranan dalam sistem reproduksi, metabolisme (Gomez et al., 1999), dan osmoregulasi pada ikaneuryhaline(Manceraet al.,2002).

Hasil bobot rata-rata pada benih ikan gurame (Tabel 1) menunjukkan nilai tertinggi (P<0.05) dihasilkan dari perlakuan dengan perendaman rGH+BSA selama 30 menit sebesar 2,54 g dan nilai terendah dari kontrol tanpa penggunaan rGH (1,93 g). Peningkatan ini juga diimbangi dengan nilai biomasa rata-rata yang lebih tinggi (Gambar 2) pada akhir pemeliharaan selama 7 minggu yang memperlihatkan kenaikan nilai biomasa rata-rata perendaman rGH+BSA selama 30 menit yang mencapai 126,88 g dan hasil terendah dari ikan tanpa direndam dengan rGH mencapai 96,29 g. Terjadi kenaikan sebesar 32% pada ikan gurame yang direndam dengan rGH dan tanpa perendaman rGH (kontrol) selama 7 minggu pemeliharaan. Penggunaan rGH telah banyak diuji untuk meningkatkan pertumbuhan beberapa jenis ikan, seperti dapat meningkatkan bobot ikan nila sebesar 53,1% dibandingkan dengan kontrol (Li et al., 2003) dan peningkatan bobot ikan nila yang diberi Pichia pastoris mengandung rGH hingga 171% (Acostaet al.,2007).

(A) (B)

Gambar 4. Ukuran benih ikan gurame pada akhir pemeliharaan selama 7 minggu pada ikan yang direndam dengan rGH+BSA selama 30 menit (A), dan ikan yang tidak direndam dengan rGH (NaCl 0,9%+BSA) (B).


(18)

Peningkatan biomasa bisa terlihat dari ukuran tubuh ikan perlakuan (gambar 5), dimana ikan yang direndam dengan rGH memiliki tubuh yang lebih lebar dan panjang jika dibanding dengan ikan tanpa direndam rGH (kontrol). Ukuran ikan yang direndam dengan rGH mencapai panjang tubuh sekitar 5-6 cm, dan ikan kontrol (tanpa rGH) memiliki panjang tubuh 4-5 cm. Menurut Haghighi

et al., (2010) bahwa terjadi penambahan total panjang ikan sebesar 3,46% pada ikan rainbow trout yang diberi recombinant bovine somatotropin (RBS), dan penambahan total panjang sebesar 5,7% dibandingkan kontrol pada ikan rainbow trout dengan dosis 20 µg/g BW RBS (Garber et al.,1995 dalam Haghighi et al.,

2010). Selain itu terjadi peningkatan panjang pada dua jenis ikan catfish yang diinjeksi denganrecombinant bovine somatotropin (Posilac) (Petersonet al., 2004 dalam Haghighi et al.,2010). Penggunaan rGH untuk memacu pertumbuhan juga dilaporkan pada ikan rainbow troutdapat meningkatkan pertumbuhan 50% lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol (Sekine et al., 1985), peningkatan pada ikan mas sebesar 120% (Mahmous et al., 1998), peningkatan bobot dengan pemberian rGH juga dilaporkan Promdonkoy et al., (2004) pada ikan mas koki sebesar 43% dan pada ikan nila sebesar 171% (Acostaet al., 2007).

Pada penelitian ini, terjadi kenaikan bobot ikan gurame sebesar 32% dari kontrol (tanpa rGH). Dimana hasil peningkatan bobot terbaik diperoleh dari perendaman benih ikan gurame dalam larutan rGH+BSA selama 30 menit. Nilai akhir bobot rata-rata pada perlakuan D (perendaman rGH+BSA selama 30 menit) yang diperoleh lebih baik daripada nilai perlakuan F (rGH+BSA+NaCl 0,9% selama 1 jam) yang menjadi perlakuan dan memberikan hasil terbaik pada Syazili

et al. (2011a). Dengan demikian, perendaman benih ikan gurame dalam air tawar (tanpa NaCl 0,9%) yang mengandung rGH lebih baik daripada dalam air yang mengandung NaCl 0,9%.

Peningkatan bobot, SGR, dan biomasa rataan ikan gurame dipicu dari penambahan hormon pertumbuhan rekombinan yang dapat memacu percepatan pertumbuhan. Penggunaan metode perendaman pada penelitian ini dianggap lebih efisien dan efektif dalam pemberian rGH pada fase benih, sehingga diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penyerapan rGH untuk meningkatkan laju pertumbuhan. Menurut Acosta et al., (2009) pemberian tiGH dengan metode


(19)

perendaman pada benih ikan mas koki dengan frekuensi perendaman sebanyak 3 kali dalam seminggu meningkatkan bobot tubuh sebesar 3,5 kali lipat dari kontrol setelah pemeliharaan 15 hari. Perendaman rGH pada ikan lebih efisien dan aman dalam aplikasinya, sehingga dapat mengurangi stres pada ikan selama perlakuan (Acosta et al., 2007). Masuknya hormon pertumbuhan belum diketahui secara pasti, tetapi diduga melalui insang, yang berkaitan dengan sistem osmoregulasi pada ikan. Menurut Smith (1982) dalam Moriyama (1990) bahwa ditemukan

radiolabeled-BSA pada insang dan epidermis ikan rainbow trout setelah perendaman dalam larutan, sehingga diduga masuknya larutan tersebut melalui insang. Pemberian gonadotropin releasing hormone cepat terlihat pada plasma ikan mas setelah pemberian melalui insang (Sherwood & Harvey, 1986 dalam Moriyama, 1990).

Sistem osmoregulasi pada ikan memiliki peranan penting dalam mengatur tekanan osmotik dan mekanisme keluar masuknya cairan dari luar ke dalam tubuh. Pada ikan gurame yang merupakan ikan air tawar dengan kondisi lingkungan hipotonik maka air dari media eksternal cenderung menembus masuk kedalam bagian-bagian tubuh yang berlapis tipis seperti insang dan kulit. Menurut Affandi (2002) menyatakan bahwa pada ikan teleostei mekanisme pertukaran ion terjadi pada sel klorida yang terdapat pada epithelium insang. Sistem adaptasi yang dilakukan ikan air tawar dengan sedikit minum dan banyak mengeluarkan cairan (urin). Cairan tubuh ikan air tawar mempunyai tekanan osmotik yang lebih besar daripada lingkungannya sehingga garam-garam tubuh cenderung keluar dan air cenderung masuk kedalam tubuhnya secara osmotik melalui permukaan yang permiabel (Gilles dan Jeaniaux, 1979 dalam Nugahaningsih, 2008).

Aplikasi metode perendaman dengan menggunakan shock salinitysebesar 2,5% selama 2 menit dan kemudian memindahkan ikan ke dalam larutan berisi rGH (Putra, 2011) dapat mempengaruhi sistem osmoregulasi ikan. Fungsi pemberian shock salinity pada ikan adalah untuk membuka jalur masuknya rGH melalui insang, dengan memanfaatkan mekanisme pertukaran cairan tubuh. Insang merupakan organ yang berperan penting dalam mengatur tekanan osmotik, hal ini dikarenakan insang memiliki permukaan yang lebih luas/besar dan


(20)

didukung dengan permeabilitasnya yang tinggi (Affandi, 2002). Kondisi lingkungan hipertonik untuk ikan air tawar akan menyebabkan air dari cairan tubuh cenderung untuk bergerak keluar, sehingga filamen-filamen insang akan terbuka karena harus mengatur pengeluaran ion-ion monovalen Na dan Cl. Ikan gurame yang telah direndam pada media shock salinity (NaCl 2,5%) kemudian dipindahkan ke media larutan perlakuan yang memiliki kadar garam 0 ppt, sehingga ikan akan beradaptasi dengan menyerap air media karena tubuh ikan bersifat hiperosmotik daripada media. Dari sistem osmoregulasi ini diduga rGH masuk melalui insang dan disebarkan melaui pembuluh darah (Gambat 5).

Gambar 5. Mekanisme masuknya rGH pada ikan dengan metode perendaman.

Hormon yang masuk pada ikan akan dialirkan oleh peredaran darah dan akan diserap oleh organ target seperti hati, paru-paru, ginjal, dan berbagai organ lainnya (Affandi, 2002). Hormon akan menuju sasarannya melalui pembuluh darah, karena dalam sirkulasi darah hormon dapat tersebar ke semua bagian tubuh, sehingga sel-sel target yang memiliki reseptor dapat menunjukkan respon (Gambar 5). Reseptor hormon terdiri dari beberapa rangkaian molekul protein yang bersifat sangat khusus, sehingga protein reseptor hanya dapat mengenal satu macam hormon saja (Partodihardjo, 1980 dalam Affandi, 2002). Hormon pertumbuhan memiliki beberapa reseptor pada hati, jaringan adipose,lympocyles,

rGH

rGH

Organ Target (Hati)

Pembuluh darah rGH


(21)

thymocytes, ovary, corpus luteum(Bauliue dan Kelly, 1985 dalam Affandi, 2002). Rekombinan hormon pertumbuhan yang masuk ke dalam tubuh ikan akan langsung ditransportasikan oleh pembuluh darah menuju organ target (hati) untuk memacu produksi insulin-like-growth factor(IGF-1). Hormon pertumbuhan akan terikat pada reseptornya yang berada di hati, kemudian akan menstimulasi sintesis dan pelepasan IGF-1. IGF-1 berperan dalam regulasi metabolisme protein, lipid, karbohidrat, mineral di dalam sel, diferensiasi, dan perkembangan sel yang akhirnya akan menghasilkan pertumbuhan (Moriyama, 2000).

Ikan gurame memiliki laju pertumbuhan yang lambat, dibutuhkan waktu pemeliharaan sekitar 1,5 tahun dari benih ukuran 2-3 cm hingga ukuran konsumsi.

Penambahan rekombinan hormon pertumbuhan (rGH) diharapkan dapat

meningkatkan laju pertumbuhan, karena regulasi pertumbuhan pada ikan sebagian besar diatur oleh hormon pertumbuhan dan IGF-1, keduanya bekerja sama dalam mengikat membran reseptor dan mengatur pengikatan serum protein (Duanexu, 2005). Hasil perendaman rGH pada ikan gurame menunjukkan (gambar 2) peningkatan pertumbuhan pada perendaman rGH+BSA selama 30 menit menunjukkan peningkatan biomasa rata-rata hingga 32% lebih tinggi daripada ikan tanpa direndam rGH (kontrol). Penggunaan rGH juga dilaporkan oleh Lesmana (2010) dapat meningkatkan bobot hingga 20,94% dengan mengunakan rGH ikan kerapu kertang (El-GH). Peningkatan bobot terjadi setelah pemberian rGH, hal ini dikarenakan penambahan hormon pertumbuhan dengan melepas IGF-1 memiliki efek metabolik dan somatotropik (Mulleret al.,2003).

Pemberian rekombinan hormon pertumbuhan pada ikan gurame juga memperlihatkan terjadinya peningkatan nafsu makan. Pengamatan pola makan hanya dilakukan secara visual (kualitatif) pada setiap harinya. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa ikan yang direndam dengan rGH memiliki nafsu makan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan yang tidak direndam dengan rGH, dimana pada saat pemberian pakan cacing setiap harinya terdapat sisa cacing yang tidak termakan pada akuarium kontrol (tanpa rGH). Peningkatan nafsu makan ini diduga disebabkan terjadinya peningkatan kerja enzim yang berpengaruh terhadap perubahan aktivitas makan sebagai adaptasi metabolik. Hal ini diduga karena rGH yang masuk kedalam hati akan dipecah oleh enzim yang


(22)

bertanggung jawab untuk memprakarsai sintesis protein yaitu amino acyl tRNA

synthetase yang sebagian besar terkonsentrasi di hati (Affandi, 2002), sehingga perubahan aktivitas enzim ini mempengaruhi kebutuhan energi untuk mensintesis

amino acyl tRNA synthetase dengan cara adaptasi perubahan nafsu makan. Promdonkoy (2004) juga melaporkan bahwa pemberian Gc-GH pada ikan mas koki (Carassius auratus) dapat meningkatkan nafsu makan dan tingkah laku makan yang lebih agesif dan lebih energik terhadap pakan yang diberikan. Terjadi kenaikan konsumsi pakan sebesar 6,95% pada ikan rainbow trout yang diinjeksi

recombinan bovine somatotrop(RBS) (Haghighiet al., 2010).

Hasil pemeliharaan selama 7 minggu memperlihatkan terjadi penurunan tingkat kelangsungan hidup (SR) pada perlakuan perendaman rGH+BSA selama 3 jam, 2 jam dan 1 jam dengan rata-rata SR mencapai 95%, sedangkan SR 100% dicapai pada perendaman rGH+BSA selama 30 menit, kontrol (tanpa rGH), dan perlakuan dengan rGH+NaCl 0,9%+BSA selama 1 jam. Hal ini menunjukkan bahwa ada efek negatif pemberian rGH dengan perendaman yang lebih dari 30 menit. Penurunan nilai SR (Gambar 3) terjadi pada ikan yang direndam rGH+BSA selama 3 jam, 2 jam, dan 1 jam (95%). Hal ini diduga karena ikan mengalami sedikit kerusakan pada bagian insang yang diindikasikan dari terlalu lamanya perendaman ikan dalam larutan rGH. Kerusakan ini berakibat pada menurunnya kemampuan ikan untuk mengambil oksigen di air, karena insang ikan memiliki lembaran-lembaran yang terdiri dari filamen insang yang berfungsi untuk osmoregulasi, mengeluarkan sisa metabolisme dan penyerapan oksigen (Affandi, 2002). Hal tersebut yang diduga dapat menurunkan tingkat kelangsungan hidup ikan karena kurangnya asupan oksigen yang juga akan mempengaruhi proses metabolisme pada tubuh ikan. Menurut Fauconneau (1985) dalam Affandi (2002) bahwa laju sintesis protein didalam jaringan-jaringan aktif seperti hati, insang, dan usus dipengaruhi oleh faktor abiotik seperti temperatur, oksigen, dan salinitas.

Pada penelitian ini digunakan metode perendaman pada benih ikan gurame dengan menggabungkan 4 kali lipat dari dosis optimum 30 mg/L (Putra, 2011) untuk sekali perendaman (Syazili et al., 2011a) sebesar 120 mg/L, dengan perbandingan perendaman menggunakan NaCl 0,9% (Putra, 2011) dan tanpa


(23)

NaCl 0,9% dengan lama waktu perendaman rGH yang efektif. Hasil akhir menunjukkan perendaman ikan gurame tanpa menggunakan NaCl 0,9% (BSA+rGH) selama 30 menit memiliki nilai biomasa rata-rata lebih tinggi (P<0,05) sebesar 126,88 g jika dibandingkan dengan perendaman menggunakan NaCl 0,9%+rGH+BSA yang mencapai 112,35 g (Gambar 3). Perendaman tanpa menggunakan NaCl 0,9% relatif lebih murah jika dibandingkan dengan menggunakan NaCl 0,9%. Rincian biaya perlakuan ikan gurame dengan dan tanpa NaCl 0,9% (Lampiran 5), didapatkan dari keseluruhan biaya produksi perendaman dan pemeliharaan ikan gurame selama 7 minggu dengan keuntungan tanpa menggunakan NaCl 0,9% yang mencapai Rp 13.239,5 sedangkan perendaman menggunakan NaCl 0,9% mendapat keuntungan akhir sebesar Rp 4.717,5. Hasil kedua ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan gurame yang tidak direndam dalam rGH (NaCl 0,9% dan BSA) dengan total keuntungan yang paling rendah sebesar Rp 2.500

Dari hasil penelitian ini metode perendaman ikan gurame tanpa NaCl

0,9% hanya BSA+rGH bisa digunakan dan lebih menguntungkan jika

dibandingkan dengan menggunakan NaCl 0,9% dan tanpa perendaman rGH dimana dari beberapa parameter seperti SG, GR, biomasa rata, bobot rata-rata, dan SR menunjukkan perlakuan tanpa NaCl 0,9% memiliki nilai yang lebih tinggi daripada perlakuan dengan NaCl 0,9% dan kontrol (tanpa rGH). Selain itu dari analisa biaya lebih murah jika tidak menggunakan NaCl 0,9% dengan keuntungan yang lebih besar serta biomasa rata-rata akhir yang mencapai 32% dari kontrol.

Pada penelitian ini, ikan gurame dipelihara hingga minggu-7, sehingga berbagai penelitian lanjut perlu dilakukan, seperti pemeliharaan ikan hingga mencapai ukuran konsumsi, sehingga akan memberikan informasi mengenai tingkat keuntungan yang diperoleh pembudidaya dengan menggunakan rGH. Pengamatan kuantitas pakan yang dimakan ikan juga akan memberikan informasi efisiensi biaya pemeliharaan ikan yang diberi perlakuan rGH.


(24)

V. KESIMPULAN

Lama perendaman rGH selama 30 menit menghasilkan pertumbuhan tertinggi sebesar 32% dengan kelangsungan hidup ikan 100%. Perendaman ikan dalam air tawar lebih baik daripada dalam air yang mengandung NaCl 0,9%.


(25)

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP

BENIH IKAN GURAME YANG DIBERI HORMON

PERTUMBUHAN REKOMBINAN DENGAN

LAMA PERENDAMAN YANG BERBEDA

PUSTIKA RATNAWATI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(26)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH IKAN GURAME YANG DIBERI HORMON PERTUMBUHAN REKOMBINAN DENGAN LAMA PERENDAMAN YANG BERBEDA

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

PUSTIKA RATNAWATI NIM. C14070025


(27)

ABSTRAK

PUSTIKA RATNAWATI.

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Gurame yang Diberi Hormon Pertumbuhan Rekombinan dengan Lama Perendaman yang Berbeda. Dibimbing oleh ALIMUDDIN dan AGUS OMAN SUDRAJAT.

Produksi ikan gurame ditargetkan meningkat sebesar 27% pada tahun 2014 (KKP, 2010). Pertumbuhan ikan gurame relatif lambat. Pemberian hormon pertumbuhan rekombinan (rGH) melalui perendaman dalam air salinitas 9 ppt selama 1 jam dapat meningkatkan pertumbuhan ikan gurame. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan gurame yang direndam dalam air tawar mengandung rGH dengan lama waktu berbeda (0,5; 1; 2; dan 3 jam). Benih ikan gurame umur 2 hari setelah mulai makan direndam dalam air tawar mengandung rGH dosis 120 mg/L. Sebagai kontrol ikan gurame direndam dalam air tawar tanpa rGH, dan dalam air salinitas 9 ppt yang mengandung rGH. Selanjutnya, ikan dipelihara selama 7 minggu dalam akuarium dan diberi pakan secara satiasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biomasa rata-rata (126,88 g), pertumbuhan spesifik (12,60%), dan kelangsungan hidup (100%) tertinggi diperoleh pada perlakuan perendaman benih gurame dalam rGH selama 30 menit. Biomasa ikan perlakuan perendaman rGH selama 30 menit lebih tinggi sekitar 32% dibandingkan dengan kontrol tanpa perendaman dengan rGH (96,29 g). Kelangsungan hidup ikan perlakuan perendaman rGH selama 30 menit adalah sama dengan kontrol tanpa perendaman rGH, dan kontrol perendaman dalam air salinitas 9 ppt mengandung rGH. Kelangsungan hidup ikan perlakuan lainnya adalah 95%. Dengan demikian, pertumbuhan benih ikan gurame dapat ditingkatkan dengan merendamnya dalam air tawar mengandung rGH selama 30 menit, dan aplikasi teknologi ini dapat berguna untuk meningkatkan produksi akuakultur, dan pendapatan pembudidaya.

Kata kunci: Hormon pertumbuhan, perendaman, ikan gurame, biomasa.

ABSTRACT

PUSTIKA RATNAWATI

. Growth and Survival of Giant Gourami Juvenile with Different Immersion Time of Recombinant Growth Hormone. Supervised by ALIMUDDIN and AGUS OMAN SUDRAJAT.

Production of giant gourami is targeted to be increased by 27% in 2014 (KKP, 2010). Growth of giant gourami is relatively slow. Administration of recombinant growth hormone (rGH) by immersion in saline water of 9 ppt for 1 hour could increase the growth of giant gourami juvenile. This study was aim to


(28)

compare the growth and survival of giant gourami juvenile that have been immersed in freshwater containing rGH by different duration time of immersion (0.5, 1, 2, and 3 hours). Juvenile of 2-day after first feeding was immersed in freshwater containing rGH of 120 mg/L. Fish were also immersed in freshwater without rGH, and 9 ppt saline water containing rGH as the controls. Fish were then reared for 7 weeks, and fed at satiation. The results showed that higher biomass (126.88 g), specific growth (12.60%), and survival (100%) was obtained in rGH immersion for 30 minutes. Biomass of the 30 minutes of rGH-immersed fish was about 32% higher than that of control without rGH immersion (96.29 g). Survival rate of the fish treated with rGH for 30 minutes immersion was similar with the controls. Survival rate of the fish in other treatments was 95%. Hence, growth of giant gourami could be improved by immersing in freshwater containing rGH for 30 minutes, and application of this technology may be useful to enhance aquaculture production, and income of the fish farmer.


(29)

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP

BENIH IKAN GURAME YANG DIBERI HORMON

PERTUMBUHAN REKOMBINAN DENGAN

LAMA PERENDAMAN YANG BERBEDA

PUSTIKA RATNAWATI

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(30)

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Gurame yang diberi Hormon Pertumbuhan Rekombinan dengan Lama Perendaman yang Berbeda.

PENGESAHAN

Judul :

Nama : Pustika Ratnawati

NIM : C14070025

Departemen : Budidaya Perairan

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Alimuddin Dr. Agus Oman Sudrajat

NIP. 19700103 199512 1001 NIP. 19640813 199103 1001

Diketahui,

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr. Odang Carman NIP. 19591222 198601 1 001


(31)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan segenap rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Gurame yang diberi Hormon Pertumbuhan Rekombinan dengan Lama Perendaman yang Berbeda” pada bulan Juni-Agustus 2011, bertempat di Laboratorium Reproduksi dan Genetik Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak dalam penyelesaian skripsi ini, di antaranya : 1. Dr. Alimuddin, selaku Pembimbing 1 yang selalu memberikan banyak arahan

dan bimbingan dalam penelitian dan penulisan.

2. Dr. Agus Oman Sudrajat, selaku Pembimbing 2 yang memberikan banyak arahan dan bimbingan selama penelitian dan penulisan.

3. Dr. Eddy Supriyono selaku penguji dan Dadang Shafrudin, M.Si sebagai komisi pendidikan serta pembinbing akademik atas arahan dan saran penulisan. 3. Anna Octavera, S.Pi, yang telah banyak mamberikan bantuan, dukungan,

motivasi, dan arahan dari awal penelitian hingga penyusunan.

3. Kedua orang tua Suparman dan Endah Pancawarni yang selalu setia memberi dukungan moril dan finansial yang tiada hentinya, dan adikku Galih Saputro. 4. Ibu Irmawati, Kak Handika Gilang, Ika, Bang Acha, Ba Yuni, dan semua rekan

dalam tim rekombinan yang telah banyak membantu dan memberikan arahan. 5. Keluarga besar Fisheries Diving Club (FDC) semua anggota biasa dan ALB

terutama buat DIKLAT 25 yang selalu ada dan setia memberikan dukungan. 6. Keluarga besar COMBAT (BDP 44), teman-teman Laboratorium Reproduksi

dan Genetik Organisme Akuatik, serta semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama berada di kampus.

Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2012 Pustika Ratnawati


(32)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarnegara pada tanggal 16 April 1989, yang merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis adalah SDN Mangun Jaya pada tahun 1995 hingga 2001, melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Tambun Selatan pada tahun 2001-2004 dan melanjutkan di SMAN 1 Tambun Selatan pada tahun 2004-2007. Pada tahun yang sama penulis berhasil masuk Institut Pertanian Bogor pada program studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI) IPB.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di organisasi Fisheries Diving Club (FDC) pada tahun 2007-2011, kemudian menjabat pada divisi Penelitian dan Pengembangan FDC (2009-2010),dan menjadi sekretaris FDC pada kepengurusan 2010. Penulis menjadi peserta Ekspedisi Zooxanthellae 10 di Biak, Papua, dan Ekspedisi Zooxanthellae 11 di Kayoa-Guraichi, Maluku Utara. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan pemecahan rekor MURI upacara bendera bawah laut pada Sail Bunaken tahun 2009 dan permainan catur bawah laut pada Sail Wakatobi-Belitong tahun 2011. Penulis juga pernah memaparkan tulisannya yang berjudul “Biodiversitas Ikan Karang di Kepulauan Padaido, Biak-Papua” tahun 2010 dalam Simposium Nasional Pengelolaan Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil serta tulisan berjudul “Kondisi dan Potensi Ikan Karang di Kepulauan Kayoa-Guraichi, Maluku Utara” pada Seminar Nasional Simposium Pengembangan Pulau-Pulau Kecil dari Aspek Perikanan Kelautan dan Pertanian tahun 2011.

Penulis pernah mengikuti praktik lapang di PT. Kelola Benih Unggul (KBU) dan Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo dengan komoditas ikan kerapu. Pada tahun 2010 pernah menjadi asisten Fisologi Reproduksi Organisme Akuatik, Metode Observasi Bawah Air dan Dasar-dasar Genetika Ikan di tahun 2011. Penulis adalah penerima beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) dan PPA 2009-2010. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul “Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Gurame yang diberi Hormon Pertumbuhan Rekombinan dengan Lama Perendaman yang Berbeda ”.


(33)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR GAMBAR... ii

DAFTAR LAMPIRAN... iii

I. PENDAHULUAN

. ...

1 1.1 Latar Belakang. ... 1 1.2 Tujuan Penelitian. ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA

... 4 2.1 Ikan Gurame (Osphronemus goramy)... 4 2.2 Rekombinan Hormon Pertumbuhan... 5

III. BAHAN DAN METODE

. ... 7 3.1 Produksi Protein rGH. ... 7 3.1.1 Kultur BakteriE.coli BL21Konstruksi pCold-I/OgGH. ... 7 3.1.2 Lisis Dinding Sel Bakteri... 7 3.2 Rancangan Penelitian ... 8 3.3 Parameter yang Diamati. ... 9 3.3.1 Pertumbuhan Mutlak. ... 9 3.3.2 Laju Pertumbuhan Spesifik... 9 3.3.3 Tingkat Kelangsungan Hidup ... 10 3.3.4 Biomasa ... 10 3.4 Analisis Data... 10

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

...

11 4.1 Hasil. ... 11 4.1.1 Pertumbuhan Bobot dan Biomassa Benih Ikan Gurame. ... 11 4.1.2 Grafik Biomassa Rata-Rata dan SR. ... 12 4.2 Pembahasan ... 14

IV. KESIMPULAN

. ...

22

DAFTAR PUSTAKA

. ...

23


(34)

DAFTAR GAMBAR

1. Ikan Gurame (Osphronemus goramy). ... 4 2. Perubahan biomasa rata-rata benih ikan gurame yang dipelihara selama

7 minggu antara perlakuan yang diberi rGH dan kontrol (tanpa rGH) ... 13 3. Kelangsungan hidup benih ikan gurame setelah 7 minggu pemeliharaan

pada setiap perlakuan rGH dan kontrol (tanpa rGH). ... 13 4. Ukuran benih ikan gurame pada akhir pemeliharaan selama 7 minggu

pada ikan yang direndam dengan rGH selama 30 menit dan dan kontrol (tanpa rGH)... 15 5. Mekanisme masuknya rGH pada ikan dengan metode perendaman. ... 17


(35)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Skema kultur protein rekombinan hormon pertumbuhan-Osphronemus goramy(0g-rGH) dari bakteriE.coli BL2... 26 2. Proses kultur bakteriE.coliBL 21 dengan konstruksi hormon

pertumbuhan-Osphronemus goramy(0g-rGH). ... 27 3. Alur perlakuan perendaman dan pemeliharaan benih ikan gurame

yang telah diremdam dengan dan tanpa protein rekombinan hormon

pertumbuhan (rGH) ... 28 4. Biaya pembuatan rekombinan hormon pertumbuhan (rGH)... 29 5. Biaya produksi perendaman dengan rGH dan pemeliharaan ikan

gurame dengan dan tanpa penambahan NaCl pada satu perlakuan... 30 6. Perbandingan ukuran tubuh benih ikan gurame pada setiap perlakuan... 31 7. Analisa sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan GR... 32 8. Analisa sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan SGR ... 33 9. Analisa sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan bobot rata-rata ... 34 10. Analisa sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan biomasa ... 35 11. Analisa sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan SR ... 36


(36)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) menargetkan produksi perikanan budidaya meningkat hingga 353% pada tahun 2014. Salah satu spesies yang menjadi unggulan dalam progam tersebut adalah ikan gurame. Pemerintah menargetkan peningkatan produksi untuk ikan gurame sebesar 48.900 ton pada tahun 2014 atau meningkat 27% dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya sebesar 46.452 ton (KKP, 2010).

Ikan gurame merupakan jenis ikan herbivora dan memiliki harga jual yang relatif tinggi, untuk benih ukuran 2-3 cm dijual seharga Rp 130/ekor, ukuran 4-5 cm Rp 700-1.200/ekor dan ukuran daging/konsumsi Rp 25.000-Rp 30.000/kg (Dinas Perikanan Jakarta, 1997). Harga ikan gurame relatif stabil serta permintaan yang masih tinggi di Pulau Jawa, seperti Jakarta yang mencapai 22,5 ton/hari pada tahun 2010 (KKP, 2010). Kendala dalam pengembangan kegiatan budidaya ikan gurame adalah ikan ini memiliki laju pertumbuhan yang lambat sehingga dibutuhkan waktu cukup lama untuk mencapai ukuran konsumsi, dengan tebar awal benih ukuran panjang tubuh 2-3 cm dibutuhkan waktu sekitar 1,5 tahun untuk mencapai ukuran konsumsi sebesar 500 g.

Peningkatan laju pertumbuhan merupakan salah satu solusi peningkatan produksi ikan gurame. Pertumbuhan yang lambat dapat memakan biaya produksi yang cukup tinggi, ditambah dengan risiko selama pemeliharaan yang dapat menurunkan omset petani. Hal ini dapat menjadi hambatan utama dalam pengembangan budidaya, sehingga dibutuhkan metode yang cepat untuk meningkatkan pertumbuhan. Perbaikan pertumbuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti rekayasa individu/populasi (misal: seleksi individu dan famili), rekayasa molekular (yaitu: rekayasa DNA/gen) dan rekayasa hormonal (rekombinan hormon). Tingkat perbaikan dengan metode seleksi pada ikan gurame membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun setiap generasinya dan hanya mengalami perbaikan rata-rata 10% per generasi sehingga diperlukan waktu relatif lama untuk mencapai tingkat perbaikan yang signifikan. Sebagai contoh, aplikasi metode seleksi pada ikan nila membutuhkan waktu 10 tahun untuk 12


(37)

generasi dengan kecepatan tumbuh 12,4% per generasi (Bolivar et al., 2002). Perbaikan dari segi molekular juga dapat dilakukan dengan metode transfer gen, dengan perbaikan kecepatan tumbuh sekitar 100-3.000% bisa diperoleh lebih cepat pada generasi ketiga. Namun demikian, seperti disebutkan sebelumnya bahwa ikan gurame lambat untuk mencapai matang gonad pertama kali, sehingga diperlukan lebih dari 6 tahun untuk memperoleh ikan gurame transgenik yang tumbuh cepat, selain itu penerapan transgenik juga memiliki kesulitan karena pemijahan buatan ikan gurame sebagai persyaratan belum dikuasai dengan baik. (Alimuddinet al.,2010).

Penerapan rekayasa hormonal pada ikan sudah digunakan pada tingkat reproduksi seperti penggunaan “Ovaprim” untuk menstimulasi pemijahan pada ikan, yang merupakan campuran antara analog dari salmon gonadotropin releasing hormon(sGnRH)-LHRH dandomperidone(Nandeeshaet al.,1990) dan penggunaan metiltestosteron untuk pengarahan jenis kelamin pada ikan. Pada rekayasa pertumbuhan, aplikasi penggunaan rekombinan hormon pertumbuhan (growth hormone/rGH) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan laju pertumbuhan ikan. GH merupakan polipeptida rantai tunggal dengan ukuran sekitar 22 kDa yang dihasilkan di kelenjar pituitari dengan fungsi pleiotropik pada setiap hewan vertebrata (Rousseau & Dufour, 2007 dalam Acosta et al., 2009). Beberapa penelitian sudah menerapkan teknologi rekombinan GH (rGH) untuk mempercepat pertumbuhan ikan, seperti pemberian rGH pada ikan rainbow trout

dapat meningkatkan pertumbuhan hingga 50% dibandingkan dengan yang tidak diberi rGH (Sekine et al., 1985). Pemberian rGH ikan nila (rtiGH) pada benih ikan mas koki dapat meningkatkan bobot tubuh hingga 3,5 kali dibandingkan kontrol (Acosta et al., 2009). Sebagai tahap awal, telah dilakukan pembuatan vektor ekspresi dan pengujian bioaktivitas rGH berbeda di Indonesia. Selanjutnya diaplikasi melalui metode penyuntikan rGH dengan konstuksi dari ikan kerapu kertang, ikan mas dan ikan gurame masing-masing meningkatkan bobot ikan nila sebesar 20,94%, 18,09%, dan 16,99% (Alimuddinet al.,2010).

Pemberian rekombinan GH dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti dengan penyuntikan, pemberian langsung melalui oral, perendaman, dan melalui pakan. Penggunaan teknik penyuntikan dirasa kurang aplikatif karena


(38)

ikan harus diinjeksi satu per satu. Perendaman merupakan metode yang lebih efisien dan efektif dalam penerapan pemberian rGH pada fase benih, karena dapat dilakukan dalam jumlah ikan yang banyak. Selain itu, penggunaan protein rGH ikan untuk meningkatkan produktivitas atau pertumbuhan ikan budidaya merupakan prosedur yang aman (Willard, 2006 dalam Acostaet al.,2007).

Aplikasi rGH pada ikan gurame telah diawali dengan penelitian untuk menentukan dosis perendaman yang menghasilkan pertumbuhan tertinggi. Dosis rGH 30 mg/L dengan lama perendaman 1 jam dan frekuensi perendaman sekali seminggu selama 3 minggu menghasilkan peningkatan pertumbuhan benih ikan gurame sebesar 75% dibandingkan dengan dosis 10 mg/L, 20 mg/L, dan kontrol (Putra, 2011). Selanjutnya, Syazili et al. (2011a) meneliti untuk menentukan frekuensi perendaman yang menghasilkan pertumbuhan tertinggi, yaitu perendaman rGH 4 kali lebih baik daripada 2, 3 dan 5 kali perendaman. Total dosis dari 4 kali perendaman tersebut sebesar 120 mg/L juga dapat diberikan dalam sekali perendaman (Syaziliet al.,2011b).

Lama waktu perendaman rGH yang digunakan dalam penelitian Putra (2011) dan Syazili et al., (2011a,b) adalah selama 1 jam. Lama waktu perendaman tersebut didasarkan pada referensi yang bukan menggunakan ikan gurame dan belum diverifikasi lanjut, sehingga masih diperlukan informasi mengenai waktu yang efektif untuk perendaman rGH. Pada penelitian ini dilakukan pengujian lama waktu perendaman rGH yang optimum bagi benih ikan gurame. Pemberian rGH pada benih ikan dengan perendaman biasa dilakukan pada air mengandung NaCl 0,9% (Putra, 2011). Pada penelitian ini juga diuji perendaman benih ikan gurame dalam air tawar (tidak diberi NaCl 0,9%) yang bertujuan untuk meminimalkan biaya serta membandingkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan gurame yang direndam dengan air mengandung NaCl.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas rGH dengan dosis 120 mg/L pada benih ikan gurame dengan lama waktu perendaman yang berbeda, serta perendaman dalam larutan rGH tanpa NaCl 0,9% (air tawar), kemudian membandingkan pertumbuhan bobot dan kelangsungan hidup benih ikan gurame.


(39)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Gurame (Osphronemus goramy)

Ikan gurame (Osphronemus goramy) merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, bentuk badan pipih lebar, bagian punggung berwarna merah sawo dan bagian perut berwarna kekuningan/keperak-perakan (Gambar 1). Jenis ikan gurame yang biasa dikenal ada dua jenis, yaitu soang dan Jepang, tapi saat ini ada beberapa strain baru, seperti gurame porsalin, gurame blusafir, dan gurame paris.

Gambar 1. Ikan gurame (Osphronemus goramy)

Ikan gurame banyak dijual dengan berbagai ukuran mulai dari telur yang biasa disebut telur muter, ukuran kwaci, kuku, jempol, silet, korek, dan rokok, hingga ukuran daging/konsumsi (Dinas Perikanan Jakarta, 1997). Ikan gurame ukuran konsumsi banyak dipasarkan ke beberapa daerah di Pulau Jawa, seperti Jakarta dengan permintaan mencapai 22,5 ton/hari pada tahun 2010 dengan tujuan restoran dan pasar swalayan (KKP, 2010). Pada tahun 2009 produksi ikan gurame mencapai 46.452 ton dan ditargetkan akan meningkat 48.900 ton pada tahun 2014. Harga ikan gurame yang relatif tinggi mencapai Rp 25.000-Rp 30.000/kg disebabkan oleh permintaan pasar tinggi, sedangkan produksi masih rendah. Setiap bulannya, petani ikan gurame mampu memasok ikan gurame ukuran konsumsi untuk daerah Jakarta dan sekitarnya serta Banten sebanyak 2-3 ton (Dinas Perikanan Jakarta, 1997).

Tingginya harga ikan gurame disebabkan karena ikan gurame merupakan ikan yang memiliki tingkat pertumbuhan yang lambat, untuk membesarkannya hingga ukuran konsumsi 500 g dibutuhkan waktu sekitar 1,5 tahun dari ukuran benih 2-3 cm (Dinas Perikanan Jakarta, 1997). Selain itu jumlah petani ikan


(40)

gurame masih terbatas, hal ini disebabkan karena petani masih merasa kesulitan dalam hal waktu dan biaya produksi yang harus dihabiskan selama pemeliharaan benih dengan risiko yang cukup tinggi.

2.2 Rekombinan Hormon Pertumbuhan

Hormon pertumbuhan merupakan polipeptida yang terdiri dari rangkaian asam amino rantai tunggal dengan ukuran sekitar 22 kDa yang dihasilkan di kelenjar pituitari dengan fungsi pleiotropik pada setiap hewan vertebrata (Rousseau & Dufour, 2007 dalam Acosta et al.,2009). GH berfungsi mengatur pertumbuhan, reproduksi, sistem imun, dan mengatur tekanan osmosis pada ikan teleostei, serta mengatur metabolisme. Menurut Forsyth (2002) bahwa hormon pertumbuhan merupakan suatu polipeptida yang penting dan diperlukan agar pertumbuhan normal. Selain itu efek dari hormon pertumbuhan pada pertumbuhan somatik pada hewan vertebrata memiliki peranan dalam sistem reproduksi, metabolisme (Gomez et al., 1998), dan osmoregulasi pada ikaneuryhaline (ikan yang mampu beradaptasi pada kisaran salinitas yang luas) (Manceraet al.,2002).

Rekombinan hormon pertumbuhan (rGH) merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengkombinasi gen-gen yang diinginkan secara buatan (klon) di luar tubuh dengan bantuan sel tranforman, dalam hal ini gen pertumbuhan dari ikan target diisolasi dan ditransformasikan dengan bantuan mikroba, seperti

Escherichia coli, Bacillus, Streptomyces, dan Saccharomyces (Brown, 2006). Pembuatan rGH di Indonesia sudah dilakukan dengan membuat konstruksi dari ikan mas (Cc-GH), ikan gurame (Og-GH), dan ikan kerapu kertang (El-GH), yang selanjutnya diujikan pada beberapa jenis ikan seperti ikan nila, ikan gurame, dan ikan mas (Alimuddin et al., 2010). Beberapa penelitian aplikasi rekombinan hormon pertumbuhan, seperti pemberian rGH ikan mas sebesar 0,1 µg/g pada benih ikan nila dapat meningkatkan bobot tubuh sebesar 53,1% dibandingkan dengan kontrol (Li et al., 2003). Perlakuan rGH pada ikan rainbow trout juga dapat meningkatkan pertumbuhan 50% lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol (Sekine et al.,1985). Peningkatan pertumbuhan sebesar 20% dari kontrol juga dilaporkan pada ikan beronang dengan pemberian rGH sebanyak 0,5 µg/g selama 1 kali per minggu hingga 4 minggu.


(41)

Pemberian rGH dapat meningkatkan kelangsungan hidup ikan melalui peningkatan sistem kekebalan terhadap penyakit dan stres (McCormick, 2001). Selain itu, penggunaan protein rGH ikan juga merupakan prosedur yang aman dalam meningkatkan produktivitas atau pertumbuhan ikan budidaya, selain itu organisme hasil perlakuan rekombinan hormon pertumbuhan bukan merupakan

genetically modified organism (GMO) (Acostaet al.,2007). GMO adalah produk yang diturunkan dari tanaman atau hewan yang dihasilkan melalui proses rekayasa genetika, di mana sifat-sifat dari suatu makhluk hidup diubah dengan cara memindahkan gen dari satu spesies mahluk hidup ke spesies yang lain, ataupun memodifikasi gen dalam satu spesies (Koswara, 2007).

Pemberian rekombinan hormon pertumbuhan dapat dilakukan melalui beberapa metode seperti dengan penyuntikan, melalui pakan, pemberian langsung melalui oral dan perendaman. Pemberian rGH pada ikan nila melalui teknik penyuntikan dilaporkan meningkatkan bobot hingga 20,94% dengan rGH ikan kerapu kertang (El-GH), 18,09% dengan rGH ikan mas (Cc-GH), dan 16,99% dengan rGH ikan gurame (Og-GH) (Alimuddin et al., 2010). Selain dengan penyuntikan, pemberian rGH melalui pakan alami telah dilaporkan Rahmawati (2011) mampu meningkatkan pertumbuhan ikan gurame sebesar 13% dari kontrol. Penggunaan metode perendaman juga telah diterapkan oleh Acosta et al.,

(2009) dengan frekuensi perendaman rGH sebanyak 3 kali dalam seminggu dapat meningkatkan bobot tubuh ikan nila sebesar 3,5 kali lipat dari kontrol setelah 15 hari pemeliharaan. Penerapan metode perendaman rGH pada ikan gurame mampu meningkatkan bobot hingga 75% dari kontrol pada dosis rGH 30 mg/L (Putra, 2011). Selanjutnya, Syazili et al., (2011b) menyatakan bahwa pada frekuensi pemberian yang berbeda membuktikan perendaman rGH 4 kali lipat dari dosis optimum (30 mg/L) sebesar 120 mg/L lebih baik daripada 3 kali pemberian pada satu kali perendaman dan juga memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan perendaman setiap minggu selama 4 minggu pada ikan gurame, dan dapat meningkatkan bobot hingga 70% dari kontrol. Penggunaan metode perendaman juga dianggap lebih efisien diterapkan pada fase benih karena dapat menurunkan tingkat stres pada ikan perlakuan (Moriyama dan Kawauchi, 1990), sehingga diharapkan dapat meningkatkan laju penyerapan rGH ke dalam tubuh ikan.


(42)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Produksi Protein rGH

3.1.1 Kultur BakteriE.coliBL21 Konstruksi pCold-I/OgGH

Produksi protein rGH dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetik Organisme Akuatik, BDP-FPIK, IPB. Pada penelitian ini digunakan bakteri

Escherichia coli BL21 (DE3) yang mengandung konstruksi pCold-I/OgGH (Lesmana, 2010). Konstruksi tersebut mengandung gen GH ikan gurame (OgGH). Bakteri dikultur awal dalam 6 ml media 2xYT cair yang mengandung ampisilin, dan diinkubasi menggunakan shaker dengan kecepatan 200 rpm selama 18 jam pada suhu 37 oC. Setelah itu, dilakukan subkultur dengan mengambil sebanyak 1% dari kultur awal dan dimasukkan ke dalam 100 ml media 2xYT cair baru dan diinkubasi lagi pada suhu 37 oC, kecepatan 250 rpm selama 2 jam. Induksi produksi rGH dilakukan dengan memberikan kejutan suhu 15 oC selama 30 menit, kemudian ditambahkan isopropyl-b-D-thiogalac-Topyranoside (IPTG) sebanyak 750 µl dan diinkubasi menggunakan shakerdengan kecepatan 250 rpm selama 24 jam pada suhu 15 oC. Bakteri hasil kultur dikumpulkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 2 menit. Pelet bakteri dicuci dengan buffer fosfat salin (PBS) sebanyak 2 kali untuk menghilangkan kotoran ataupun sisa media kultur dan selanjutnya pelet bakteri disimpan di deep-freezer (-80oC). Proses kultur bakteri E. coli BL21 dengan konstruksi pCold-I/OgGH dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.1.2 Lisis Dinding Sel Bakteri

Lisis dinding sel bakteri dilakukan menggunakan lisozim. Pelet bakteri hasil sentrifugasi dicuci menggunakan 1 mL bufer 1xTE, dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 menit, selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit, dan kemudian supernatan dalamtubedibuang. Pelet bakteri dalam tube ditambahkan 500 µL larutan lisozim (10 mg dalam 1 mL buffer 1xTE), kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 menit, lalu disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dan pelet yang


(43)

terbentuk merupakan protein rGH dalam bentuk badan inklusi (inclusion body). Pelet rGH dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali dan disimpan pada suhu -80oC.

3.2 Rancangan Perlakuan

Penelitian ini terdiri dari 6 perlakuan dengan 3 ulangan yang diolah dengan rancangan acak lengkap, dengan jumlah ikan uji sebanyak 50 ekor tiap ulangan perlakuan. Perlakuan adalah lama perendaman rGH yang berbeda pada ikan gurame, dengan membedakan perlakuan dengan dan tanpa menggunakan NaCl 0,9%. Ikan perlakuan yang diuji adalah :

Perlakuan A : Ikan gurame direndam rGH+BSA (Tanpa NaCl) selama 3 jam Perlakuan B : Ikan gurame direndam rGH+BSA (Tanpa NaCl) selama 2 jam Perlakuan C : Ikan gurame direndam rGH+BSA (Tanpa NaCl) selama 1 jam Perlakuan D : Ikan gurame direndam rGH+BSA (Tanpa NaCl) selama 30 menit Perlakuan E : Ikan gurame direndam BSA+NaCl 0,9% (Tanpa rGH) selama 1 jam Perlakuan F : Ikan gurame direndam rGH+BSA+NaCl 0,9% selama 1 jam

Pemeliharaan benih ikan gurame dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetik Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB. Benih ikan gurame yang berumur 7 hari setelah habis kuning telur dan sudah memakan naupli Artemia dipuasakan selama 1 hari sebelum diberi perlakuan. Perendaman (Lampiran 3) dilakukan dengan menggunakan shock salinitydengan NaCl sebesar 2,5% selama 2 menit dengan volume 200 mL untuk merendam ikan sebanyak 50 ekor. Ikan direndam didalam larutan rGH dan BSA (Bovine Serum Albumin) 0,1% sebagai pelarut protein selama waktu perlakuan. Dosis rGH yang digunakan sebesar 24 mg/200mL untuk satu kali perendaman, nilai ini diperoleh dari penggunaan dosis optimum sebesar 120 mg/L (Syazili et al., 2011a) yang diperoleh dari pemberian rGH sebanyak 4 kali lipat dari dosis 30 mg/L (Putra, 2011) untuk satu kali perendaman. Ikan gurame yang telah direndam dimasukkan kedalam akuarium dengan volume air sekitar 20 L dan dipeliharan hingga minggu ke-3, selanjutnya ikan dipindahkan kedalam akuarium dengan volume air sekitar 50 L hingga akhir pemeliharaan diminggu ke-7.

Pemberian pakan naupli Artemia dilakukan saat benih ikan gurame berumur 3 hari hingga 2 minggu, dan selanjutnya diberikan cacing sutera sekitar


(44)

10-30 g hingga akhir pemeliharaan. Pengaturan kualitas air dilakukan dengan cara pengecekan suhu air (29-30 0C), selanjutnya akuarium dibersihkan setiap hari dengan penyifonan untuk membuang semua kotoran dan sisa pakan, serta pergantian air akuarium sebanyak 50-60% dengan air baru yang sebelumnya sudah diaerasi dan diberi biru metilena. Pengamatan pertumbuhan ikan dilakukan dengan cara sampling setiap minggunya, kemudian ikan ditimbang dengan timbangan digital untuk melihat bobot ikan, dan selanjutnya ikan ditangkap dengan saringan dan dihitung jumlah ikan tiap akuarium menggunakan sendok makan. Pengamatan gejala penyakit dan nafsu makan ikan diamati secara visual.

3.3 Parameter yang Diamati

3.3.1 Pertumbuhan Mutlak/Growth Rate (GR)

Pertumbuhan mutlak (growth rate/GR) merupakan pertumbuhan bobot rata-rata ikan setiap hari. Perhitungan bobot dilakukan setiap satu minggu sekali dengan menimbang semua ikan gurame pada setiap akuarium kemudian dihitung dengan rumus:

GR =

t

Wo

Wt

Keterangan :

t = Periode pengamatan (hari)

Wt = Bobot rata-rata individu ikan waktu ke-t(gram/ekor)

Wo = Bobot rata-rata individu ikan waktu ke-0(gram/ekor)

GR = Pertumbuhan mutlak

3.3.2 Laju Pertumbuhan Spesifik/Specific Growth Rate (SGR)

Laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate/SGR) adalah laju pertumbuhan harian atau persentase pertambahan bobot ikan setiap harinya. Perhitungan SGR dilakukan dengan menimbang bobot semua ikan pada setiap perlakukan setiap satu minggu sekali kemudian dihitung dengan rumus:

SGR = t

1

100

%

Wo

Wt


(45)

Keterangan :

t = Periode pengamatan (hari)

Wt = Bobot rata-rata individu ikan waktu ke-t(gram/ekor)

Wo = Bobot rata-rata individu ikan waktu ke-0(gram/ekor) SGR = Laju pertumbuhan individu harian (%)

3.3.3 Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup/Survival Rate (SR) adalah persentase jumlah ikan yang hidup setelah dipelihara dibandingkan dengan jumlah pada awal pemeliharaan. Pada penelitian ini perhitungan jumlah ikan pada setiap perlakuan dan ulangan dilakukan setiap seminggu sekali, hingga akhir pemeliharaan. Nilai SR dihitung dengan rumus:

SR = 100%

No Nt

Keterangan :

Nt : Jumlah ikan yang dihasilkan pada waktut No : Jumlah ikan awal pada saat ditebar

SR : Tingkat kelangsungan hidup (%)

3.3.4 Biomasa

Biomasa merupakan jumlah keseluruhan bobot ikan pada suatu populasi. Perhitungan biomasa dilakukan dengan menimbang semua ikan pada setiap akuarium perlakuan setiap minggu hingga akhir pemeliharaan. Nilai biomasa dihitung dengan rumus:

Biomasa = Bobot rata-rata ikan x Jumlah ikan

3.4 Analisis Data

Efektivitas perlakuan rGH ditentukan berdasarkan nilai pertumbuhan bobot mutlak, pertumbuhan spesifik, kelangsungan hidup, dan biomasa rata-rata. Pertumbuhan bobot mutlak, pertumbuhan spesifk, dan kelangsungan hidup ikan dianalisis menggunakan metode sidik ragam (ANOVA), uji lanjut Duncan’s (SPSS 16.0), dan Microsoft Excel, sedangkan bobot dan biomasa ikan pada akhir penelitian dianalisis secara deskriptif.


(1)

Lampiran 6. Perbandingan ukuran tubuh benih ikan gurame pada setiap perlakuan

3 jam

2 jam

1 jam


(2)

Lampiran 7. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Duncan growth rate

(GR).

GR

Perlakuan

N

Subset untuk alpha a= 0.005

1 2

Duncan 3 jam

3 .0500 2 jam

3 .0500 Kontrol (Tanpa rGH)

3 .0500 Kontrol (rGH+NaCl 0,9%+BSA) 3 .0500

1 jam 3 .0533

30 menit 3 .0600

Sig 0.14 1.000

N Rataan Std. Dev

Std. Error

95 %Rata-rata Interval Keyakinan

Minimum Maksimum Komponen Antar Varian Batas

Terendah Batas Tertinggi

3 jam 3 .050 .000 .00000 .0500 .0500 .05 .05 2 jam 3 .050 .001 .00000 .0500 .0500 .05 .05 1 jam 3 .053 .001 .00333 .0390 .0677 .05 .06 30 menit 3 .060 .001 .00000 .0600 .0600 .06 .06 Kontrol (Tanpa

rGH)

3 .050 .000 .00000 .0500 .0500 .05 .05

Kontrol (rGH+NaCl)

3 .050 .000 .00000 .0500 .0500 .05 .05

Total 18 .052 .003 .00101 .0501 .0543 .05 .06 Model Efek

Tetap

.00236 .00056 .0510 .0534

Efek Acak

.00165 .0480 .0565 .00001

ANOVA GR

Jumlah Kuadrat df Rataan Kuadrat F Sig.

Antara Gup .000 5 .000 8.800 .001

Dalam Grup .000 12 .000


(3)

Lampiran 8. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Duncan spesifik

growth rate

(SGR).

SGR Perlakuan

N

Subset untuk alpha= 0.005

1 2 3 4

Duncan Kontrol (Tanpa rGH)

3 11.860

2 jam 3 12.240

Kontrol (rGH+NaCl+BSA) 3 12.270

1 jam 3 12.340

3 jam 3 12.340

30 menit 3 12.600

N Rataan Std. Dev

Std. Error

95% Rata-rata Interval keyakinan

Minimum Maksimum Komponen Antar Varian Batas

Terendah Batas Tertinggi

3 jam 3 12.34 .020 .01202 12.2850 12.3884 12.32 12.36 2 jam 3 12.24 .030 .01528 12.1743 12.3057 12.22 12.27 1 jam 3 12.34 .050 .02963 12.2059 12.4608 12.29 12.39 30 menit 3 12.60 .020 .01453 12.5342 12.6592 12.57 12.62 Kontrol (Tanpa

rGH)

3 11.86 .009 .00577 11.8352 11.8848 11.85 11.87

Kontrol (rGH+NaCl)

3 12.27 .020 .01000 12.2270 12.3130 12.26 12.29

Total 18 12.275 .0248 .05307 12.1608 12.3848 11.85 12.62 Model Efek

Tetap

.02828 .00667 12.2583 12.2873

Efek Acak

.09732 12.0226 12.5229 .05656

ANOVA SGR

Jumlah Kuadrat df Rataan Kuadrat F Sig. Antara Grup .852 5 .170 213.090 .000 Dalam Grup .010 12 .001


(4)

Lampiran 9. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Duncan bobot

rata-rata

N Rataan Std. Dev

Std. Error

95% Rata-rata interval keyakinan

Minimum Maksimum Komponen Antar varian Batas

terendah Batas tertinggi

3 jam 3 2,3029 ,01799 ,01039 2,2582 2,3476 2,29 2,32 2 jam 3 2,2241 ,02343 ,01353 2,1659 2,2823 2,21 2,25 1 jam 3 2,3048 ,04494 ,02594 2,1932 2,4164 2,27 2,35 30 menit 3 2,5376 ,02131 ,01230 2,4847 2,5905 2,52 2,56 Kontrol (Tanpa

rGH)

3 1,9257 ,00665 ,00384 1,9092 1,9423 1,92 1,93

Kontrol (rGH+NaCl)

3 2,2470 ,01693 ,00978 2,2049 2,2891 2,24 2,27

Total 18 2,2570 ,18621 ,04389 2,1644 2,3496 1,92 2,56 Model Efek

Tetap

,02475 ,00583 2,2443 2,2697

Efek Acak

,08042 2,0503 2,4638 ,03860

ANOVA Bobot

Jumlah kuadrat df Rataan kuadrat F Sig. Antar Grup .582 5 .116 189.998 .000 Dalam grup .007 12 .001

Total .589 17

Bobot Duncan

Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

Kontrol tanpa rGH 3 1.9257

2 jam 3 2.2241

Kontrol (rGH+BSA+NaCl 0,9%) 3 2.2470

3 jam 3 2.3029

1 jam 3 2.3048

30 menit 3 2.5376


(5)

Lampiran 10. Analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan Biomasa

N Rataan Std. Dev

Std. Error

95% Rata-rata interval keyakinan

Minimum Maksimum Komponen Antar varian Batas

terendah Batas tertinggi

3 jam 3 109,78E2 2,0828 1,2025 104,6015 114,9497 107,44 111,45 2 jam 3 106,03E2 3,6771 2,1229 96,9001 115,1690 103,65 110,27 1 jam 3 112,96E2 4,4867 2,5904 101,8187 124,1101 108,81 117,72 30 menit 3 1.2688E2 1,0653 .61506 124,2336 129,5264 125,80 127,93 Kontrol (Tanpa

rGH)

3 96,2867 .3324 .19195 95,4608 97,1126 95,98 96,64

Kontrol

(rGH+NaCl+BSA)

3 112,35E2 .8465 .48877 110,2470 114,4530 117,76 113,32

Total 18 110,72E2 9,6403 2.27226 105,9212 115,5092 95,98 127,93 Model Efek

Tetap

2,5804 .60822 109,3900 112,0404

Efek Acak

4,08251 100,2208 121,2096 97,78168

ANOVA Biomasa

Jumlah kuadrat df Rataan kudarat F Sig. Antar grup 1500,019 5 300,004 45,054 .000 Dalam grup 79,905 12 6,659

Total 1579,924 17

Biomasa Duncan

perlakuan

N

Subset untuk alpha = 0.05

1 2 3 4

Kontrol (tanpa rGH) 3 96.2867

2 jam 3 1.0603E2

3 jam 3 1.0978E2 1.0978E2

Kontrol (rGH+NaCl+BSA) 3 1.1235E2

1 jam 3 1.1296E2

30 menit 3 1.2688E2


(6)

Lampiran 11. Analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan

survival rate

(SR).

SR

Perlakuan

N

Subset untuk alpha a= 0.005

1 2

Duncan 3 jam

3 95.3333 2 jam

3 95.3333 1 jam

3 98.0000

30 menit 3 100.0000

Kontrol (Tanpa rGH) 3 100.0000 Kontrol (rGH+NaCl+BSA) 3 100.0000

Sig 1.000 .114

N Rataan Std. Dev

Std. Error

95% Rata-rata interval keyakinan

Minimum Maksimum Komponen Antar varian Batas

terendah Batas tertinggi

3 jam 3 95.333 1.155 .66667 92.4649 98.2018 94.00 96.00 2 jam 3 95.333 2.309 1.33333 89.5965 101.0702 94.00 98.00 1 jam 3 98.000 2.000 1.15470 93.0317 102.9683 96.00 100.00 30 menit 3 100.000 .0000 .00000 100.0000 100.0000 100.00 100.00 Kontrol (Tanpa

rGH)

3 100.000 .0000 .00000 100.0000 100.0000 100.00 100.00

Kontrol

(rGH+NaCl+BSA)

3 100.000 .0000 .00000 100.0000 100.0000 100.00 100.00

Total 18 98.1111 2.42266 .57103 96.9064 99.3159 94.00 100.00 Model Efek

Tetap

1.33333 .31427 97.4264 98.7958

Efek Acak

.93360 95.7112 100.5110 4.63704

ANOVA SR

Jumlah Kuadrat df Rataan Kuadrat F Sig. Antar grup 78.444 5 15.689 8.825 .001 Dalam grup 21.333 12 1.778