Politisi Indonesia Defisit Keinginan Luhur

Universitas Muhammadiyah Malang
Arsip Berita
www.umm.ac.id

Politisi Indonesia Defisit Keinginan Luhur
Tanggal: 2011-10-19

Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Prof. Dr. Ahmad Mubarok
menyoroti kinerja pemimpin di Indonesia.

Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Prof. Dr. Ahmad Mubarok, menyayangkan keengganan kaum muda
sekarang melihat sejarah. Menurutnya apa yang terjadi saat ini merupakan buah kerja kita dalam sejarah. Pengalaman
Indonesia dijajah memberi pelajaran tentang etos kepahlawanan.
“Jadi sebutan negarawan itu tidak muncul dari diri sendiri, melainkan pengakuan dari orang lain. Saya lihat anak muda
sekarang berdemo mengaku sebagai negarawan, kan aneh,” kata Mubarok pagi tadi (19/10) di kampus Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM).
Mubarok ke UMM terkait undangan sebagai pembicara seminar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UMM
tentang Demokrasi, Parpol dan Sistem Pemerintahan. Selain Mubarok, tampak juga Hakam Naja, politisi PAN, serta
seorang politisi asal Pimpinan Wilayah PKB Jatim dan dosen FISIP, Drs. Asep Nurjaman, MSi.
Dalam materinya, Mubarok menyoroti pemimpin yang cenderung kurang memiliki pandangan jauh ke depan. Yang
dilihatnya adalah saat ini dapat apa, bukan untuk 50 hingga 100 tahun mendatang. “Dalam hal ini, ada pemimpin negeri

ini yang datang tepat pada waktunya, ada yang datang lalu berkuasa hingga kedaluarsa, ada juga yang datang
mendahului masanya,” kata Mubarok. Kategori terakhir itu merujuk pada mantan presiden Abdurahman Wahid alias
Gus Dur.
Pada era reformasi, lanjut Mubarok, banyak nilai-nilai tercerabut dalam masyarakat. Reformasi politik dan ekonomi yang
berjalan bersamaan, juga berpotensi pada kekacauan. Hal itu telah terjadi di beberapa negara yang gagal
melakukannya secara bersamaan, seprti di Yugoslavia.
“Reformasi itu ongkosnya mahal,” kata Mubarok. Oleh karenanya, jangan sampai kita meninggalkan sejarah yang
pernah kita alami sebagai pelajaran. Indonesia merdeka dilandasi oleh keinginan yang luhur, sebagaimana reformasi.
“Saat ini keinginan luhur itu sudah defisit dalam kehidupan politik saat ini,” lanjutnya.
Namun demikian, Mubarok tetap optimis dari kalangan kampus dan pesantren akan muncul calon-calon politisi yang
memiliki hati nurani luhur. “Mereka masih sebagai mutiara yang terpendam. Potensinya sangat besar untuk menjadi
penggerak keluhuran bangsa ini,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Hakam Naja. Menurutnya, meski politik dipandang sebagai sesuatu yang kotor, masih banyak
anak negeri yang memiliki cita-cita. “Makanya jangan alergi dengan politik. Orang-orang kampus harus bias
mengalahkan pelaku politik-politik kotor di berbagai bidang,” tegas Hakim memberi semangat mahasiswa yang
memenuhi ruangan aula BAU UMM itu.
Dari pandangan akademis, Asep yang juga Kandidat Doktor UGM, ini menyoroti perilaku politisi yang tak lepas dari
sistem kepartaian di Indonesia. Menurutnya, bangunan ikatan pemilih tradisional telah bergeser. Demikian juga sistem
kepartaian di Indonesia terjadi tidak stabil.
Asep mengatakan, ketidak stabilan perolehan suara partai (electoral volatility) merupakan indikator utama untuk melihat

ada tidaknya stabilitas partai. “Semakin tinggi electoral volatility, maka system kepartaian akan semakin terfragmentasi,”
kata Asep.
Rektor UMM, Muhadjir Effendy, berharap seminar ini dapat memberi pencerahan bagi mahasiswa UMM. Dia mengaku
bahwa mahasiswa UMM sangat majemuk, sehingga lebih mirip sebagai miniature Indonesia. “Hampir semua daerah di
Indonesia terwakili di UMM ini. Demikian juga, agama dan suku mahasiswa UMM juga bervariasi,” kata rektor sambil
menegaskan slogan “UMM dari Muhammadiyah untuk Bangsa”. (bib/nas)

page 1 / 1