Fed-batch umpan TG 16 Fed-batch umpan TG 16

yang ditandai dengan penambahan umpan pada kultivasi fed-batch berpengaruh terhadap pembentukan etanol dan peningkatan sel atau biomassa. Penurunan konsentrasi total gula selama proses kultivasi batch aerasi penuh 1 vvm terjadi dari konsentrasi 239,34 ± 1,19 gL menjadi 13,48 ± 3,74 gL dan peningkatan jumlah sel kering biomassa terjadi dari 3,71 ± 0,12 gL menjadi 37,34 ± 0,23 gL. Konsentrasi etanol yang dihasilkan dari proses kultivasi ini 10,12 ± 0,11 bv dengan rendemen 53,44 vb. Efisiensi kultivasi dan pemanfaatan substrat masing-masing 87,68 dan 94,37 . Sedangkan pada kultivasi fed-batch aerasi penuh 1 vvm, penurunan konsentrasi total gula terjadi secara cepat mulai jam ke-0 sampai jam ke-6 dan jam ke-12 sampai jam ke 18. Sedangkan pada jam ke-6 sampai jam ke 12 dan jam ke 24 sampai jam ke-72 mengalami peningkatan dan penurunan yang lambat. Selama proses kultivasi penurunan konsentrasi total gula 239,69,88 ± 2,27 gL menjadi 6,85 ± 0,53 gL dan peningkatan jumlah sel kering biomassa terjadi dari 3,88 ± 0,14 gL menjadi 45,68 ± 0,59 gL. Konsentrasi etanol yang dihasilkan 10,49 ± 0,13 bv dan rendemen 58,63 vb. Efisiensi kultivasi dan pemanfaatan substrat 88,12 dan 97,14 . Kultivasi Fed-batch Aerasi penuh 1 vvm dan Terekayasa Terpilih Gambar 17. Perbandingan biomassa X, Konsentrasi gula sisa S dan kadar etanol EtOH hasil kultivasi fed-batch Aerasi penuh 1 vvm dan terekayasa terpilih. 50 100 150 200 250 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Ko n sen tr asi g u la sis a g L B io m ass a g L ; E tOH b v Waktu jam

A. Fed-batch aerasi penuh 1

vvm umpan TG 16 X gL EtOH bv S gL Um pan 50 100 150 200 250 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 6 1218243036424854606672 Ko n sen tr asi g u la sis a g L B io m ass a g L ; E tOH b v Waktu jam

B. Fed-batch umpan TG 16

X gL EtOH bv S gL Umpan Pada Gambar 17 menunjukkan selama proses kultivasi pada kedua perlakuan terjadi penurunan konsentrasi total gula walaupun setelah jam ke – 30 diberi umpan konsentrasi yang tadinya menurun meningkat namun dengan bertambahnya waktu kultivasi konsentrasi total gula menurun dan terjadinya peningkatan jumlah sel untuk perlakuan I fed-batch aerasi penuh 1 vvm, sedangkan pada terekayasa terpilih mengalami penurunan. Kadar etanol yang dihasilkan menunjukkan peningkatan selama kultivasi. Penurunan konsentrasi total gula terjadi secara cepat pada kultivasi fed- batch aerasi penuh 1 vvm mulai jam ke-0 sampai jam ke-6 dan jam ke-12 sampai jam ke 18. Sedangkan pada jam ke-6 sampai jam ke 12 dan jam ke 24 sampai jam ke-72 mengalami peningkatan dan penurunan yang lambat. Selama proses kultivasi diperoleh etanol dengan konsentrasi 10,49 ± 0,13 bv dan rendemen 58,63 vb. Kultivasi fed-batch terekayasa terpilih konsentrasi total gula mengalami penurunan secara cepat mulai jam ke-0 sampai jam ke-24. Selanjutnya pada jam ke-24 sampai akhir kultivasi peningkatan dan penurunan yang lambat. Selama proses kultivasi diperoleh etanol dengan konsentrasi 12,05 ± 0,00 bv dan rendemen 67,38 vb. Kultivasi Batch dan Fed-batch Terekayasa Terpilih Gambar 18. Perbandingan biomassa X, konsentrasi gula sisa S dan kadar etanol EtOH hasil kultivasi batch dan fed-batch terekayasa terpilih. 50 100 150 200 250 300 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Ko n sen tr asi g u la sis a g L B io m ass a g L ; E tOH b v waktu jam A Kultivasi batch terekayasa II X gL EtOH S gL 50 100 150 200 250 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 6 1218243036424854606672 Ko n sen tr asi g u la sis a g L B io m ass a g L ; E tOH b v Waktu jam

B. Fed-batch umpan TG 16

X gL EtOH bv S gL Umpan Pada kultivasi batch dan fed-batch terekayasa terpilih terlihat bahwa pada kultivasi batch terekayasa II penurunan konsentrasi total gula menurun secara drastiscepat diawali jam ke-0 sampai jam ke-30 dan selanjutnya mengalami penurunan yang lambatstasioner sampai proses kultivasi berakhir. Sedangkan pada kultivasi fed-batch terekayasa dengan umpan TG 16 penurunan total gula terjadi secara cepat dari jam ke-0 sampai jam ke-24 dan selanjutnya mengalami perubahan naik turun yang tidak terlalu jauh dengan ditandai pemberian umpan pada jam ke-30. Perbedaan untuk selbiomassa pada kultivasi batch mengalami peningkatan yang drastis pada jam ke-0 sampai jam ke-18, selanjutnya mengalami peningkatan yang tidak terlalu hingga biomassa maksimum pada jam ke-30 dan mengalami penurunan sampai proses kultivasi berakhir. Sedangkan pada kultivasi fed-batch terjadinya peningkatan jumlah selbiomassa secara cepat dari jam ke-0 sampai ke-30 dan mengalami penurunan sampai akhir kultivasi. Selama proses kultivasi batch terpilih diperoleh etanol 10,77 ± 0,00 bv dengan rendemennya sebesar 56,88 vb. Sedangkan proses kultivasi fed- batch terpilih diperoleh etanol sebesar 12,05 ± 0,00 bv dan rendemen 67,38 vb. Perhitungan Kinetika Kultivasi Proses pertumbuhan sel sangat kompleks mencakup pemasukan nutrien dasar dari lingkungan ke dalam sel, konversi bahan-bahan nutrien menjadi energi dan berbagai konstituen yang penting serta perkembangbiakannya Stanbury Whitaker 1993. Koefisien hasil sel hidup terdapat sumber karbon dinyatakan dengan Yxs, koefisien konversi nutrien dalam substrat menjadi produk pada periodewaktu tertentu dinyatakan dengan Yps. Sedangkan koefisien produk terhadap jumlah sel hidup dinyatakan sebagai Ypx. Tabel 4 merupakan data serta hasil perhitungan kinetika kultivasi pada sistem batch aerasi penuh 1 vvm dan terekayasa masing-masing dengan perlakuan yang berbeda. Pada sistem batch aerasi penuh 1 vvm, nilai rendemen pemakaian substrat untuk pembentukan sel Yxs, rendemen pemakaian substrat terhadap pembentukan produk Yps pada perlakuan aerasi penuh 1 vvm tanpa penghentian aerasi pada saat biomassa maksimum dan eksponensial menunjukkan nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya. Sedangkan untuk rendemen pembentukan produk terhadap sel Ypx tertinggi adalah pada batch terekayasa. Hal ini diakibatkan karena pada waktu penghentian aerasi, maka kondisi kultivasi berubah dari aerobik ke anaerobik. Saccharomyces cer. var. Ellipsoides merupakan khamir yang bersifat unik atau dia mampu hidup pada kedua kondisi dan biasa juga disebut anaerobik fakultatif. Pada awal kondisi berlangsung secara aerobik, khamir memanfaatkan substrat untuk pembentukan sel proses respirasi, sedangkan pada saat terjadi perubahan kondisi switching condition menjadi anaerobik, maka khamir memanfaatkan substrat yang tersisa untuk pembentukan etanol. Tabel 4. Perhitungan peningkatan kinetika fermentasi Batch Aerasi penuh 1 vvm dan terekayasa Perlakuan Jam ke X gL EtOH S gL Yxs Yps Ypx Effisiensi bv Aerasi penuh 1 vvm 3,71 0,00 239,34 30 36,72 5,50 30,50 72 37,34 10,12 13,48 0,15 0,448 3,01 94,37 Terekayasa I 3,71 0,00 239,38 18 35,33 4,13 45,81 72 27,25 10,69 10,88 0,10 0,468 4,54 95,46 Terekayasa II 3,78 0,00 239,38 30 36,20 5,78 27,84 72 26,01 10,77 10,25 0,10 0,47 4,48 95,72 Tabel 5 merupakan perbandingan antara batch dan fed-batch aerasi penuh 1 vvm menunjukkan bahwa pada kultivasi fed-batch pada peningkatan rendemen pemakaian substrat untuk pembentukan sel Yxs, dan rendemen pemakaian substrat terhadap pembentukan etanol Yps lebih tinggi bila dibandingkan dengan kultivasi batch aerasi penuh 1 vvm. Hal ini diakibatkan pada saat penambahan substrat, maka asupan sumber makanan untuk khamir peningkat sehingga khamir akan memproduksi atau melakukan proses respirasi untuk pembentukan sel dan sebagian kecil untuk pembentukan etanol. Efisiensi pemakaian substrat dari kedua system kultivasi yang dilakukan menunjukkan bahwa pada kultivasi fed-batch nilai efisiensinya lebih tinggi dibandingkan dengan kultivasi batch. Hal ini menunjukkan bahwa pada kultivasi fed-batch, substrat yang ada dimanfaatkan secara maksimal oleh khamir. Baik untuk pembentukan sel maupun pembentukan etanol. Tabel 5. Perbandingan batch dengan fed-batch aerasi penuh 1 vvm Perlakuan Jam ke X gL EtOH bv S gL Yx s Yps Ypx So-SSo Batch aerasi penuh 1 vvm 3,71 0,00 239,34 30 36,72 5,50 30,50 0,16 0,26 1,67 0,87 72 37,34 10,12 13,48 0,15 0,448 3,01 0,94 Peningkatan 1,83 2,84 0,16 0,94 1,72 1,80 1,08 Fed-batch aerasi penuh 1 vvm 3,88 0,00 239,69 30 38,97 5,05 34,19 0,17 0,26 1,44 0,85 72 45,68 10,49 6,85 0,18 0,451 2,51 0,97 Peningkatan 1,56 2,86 0,14 1,06 1,73 1,74 1,14 Tabel 6 menunjukan kultivasi fed-batch terekayasa terjadinya perbedaan yang diakibatkan dari konsentrasi total gula yang diumpankan berbedabervariasi. Pada perlakuan FB 16 memiliki peningkatan nilai pada Ypx tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, serta nilai Ypx nya sendiri yang tertinggi adalah pada perlakuan FB 16 . Untuk Yxs nilai tertinggi pada FB 8 dan Yps pada FB 16 . Namun untuk peningkatan Yxs tertinggi dan Yps pada perlakuan FB 8 . Nilai dari peningkatan pemanfaat substrat tertinggi pada perlakuan FB 12 dan 20 . Sedangkan efisiensi pemanfaatan substrat sendiri tertinggi pada perlakuan FB 16 . Hal ini menunjukkan bahwa substrat yang tersedia dimanfaatkan dengan baik oleh khamir untuk pembentukan sel dan etanol. Tabel 7 menunjukkan perbandingan antara kultivasi fed-batch aerasi penuh 1 vvm dan terekayasa terpilih, terlihat nilai dan peningkatan Yxs tertinggi diperoleh pada kultivasi fed-batch aerasi penuh 1 vvm 0,18 dengan peningkatan 1,06. Sedangkan nilai Ypx dan Yps tertinggi pada kultivasi fed- batch terekayasa yang masing-masing 0,51 dan 5,05. Efisiensi pemanfaatan substrat hampir sama yaitu 98,12 untuk yang terekayasa dan aerasi penuh 1 vvm 97,14 . Tabel 6. Perhitungan peningkatan kinetika fermentasi fed-batch terekayasa Perlakuan Jam ke X gL EtOH bv S gL Yxs Yps Ypx So-SSo FB 4 3,84 0,00 240,31 30 40,06 4,61 33,53 0,18 0,22 1,27 0,86 72 33,92 11,62 5,60 0,13 0,50 3,86 0,98 Peningkatan 1,69 3,52 0,14 0,72 2,27 3,04 1,14 FB 8 3,68 0,00 240,00 30 41,69 4,63 34,25 0,18 0,23 1,22 0,85 72 38,98 11,74 5,58 0,15 0,50 3,33 0,98 Peningkatan 1,78 3,53 0,15 0,83 2,17 2,73 1,15 FB 12 3,54 0,00 239,69 30 42,45 5,99 35,94 0,19 0,29 1,54 0,84 72 32,92 11,81 5,41 0,13 0,50 4,02 0,98 Peningkatan 1,64 2,97 0,15 0,68 1,72 2,61 1,17 FB 16 3,87 0,00 240,94 30 39,76 5,31 34,25 0,17 0,26 1,48 0,85 72 27,71 12,05 4,53 0,10 0,51 5,05 0,98 Peningkatan 1,55 3,27 0,14 0,59 1,96 3,41 1,15 FB 20 3,57 0,00 239,06 30 40,02 4,73 37,94 0,18 0,24 1,30 0,83 72 34,45 11,69 7,53 0,13 0,50 3,79 0,96 Peningkatan 1,71 3,47 0,16 0,72 2,08 2,92 1,16 Tabel 7. Perbandingan kultivasi fed-batch aerasi penuh 1 vvm dan dari terekayasa terpilih Perlakuan Jam ke X gL EtOH bv S gL Yxs Yps Ypx So-SSo Fed-batch aerasi penuh 1 vvm 3,88 0,00 239,69 30 38,97 5,05 34,19 0,17 0,25 1,44 0,85 72 45,68 10,49 6,85 0,18 0,45 2,51 0,97 Peningkatan 1,98 3,08 0,15 1,06 1,80 1,74 1,14 Fed-batch terekayasa 3,87 0,00 240,94 30 39,76 5,31 34,25 0,17 0,26 1,48 0,85 72 27,71 12,05 4,53 0,10 0,51 5,05 0,98 Peningkatan 1,55 3,27 0,14 0,59 1,96 3,41 1,15 Tabel 8 merupakan perbandingan antara batch dan fed-batch terekayasa terpilih. Pada perlakuan batch terekayasa peningkatan pemanfaatan substrat lebih rendah 95,72 dibandingkan pada kultivasi fed-batch 98,12 . Untuk Ypx pada perlakuan batch terekayasa terpilih lebih tinggi dibandingkan dengan fed- batch terekayasa terpilih yaitu 5,05. Sedang Yps tertinggi pada kultivasi fed- batch terekayasa terpilih sebesar 0,51 dan untuk Yxs pada kedua perlakuan nilainya sama yaitu 0,10. Tabel 8. Perbandingan kultivasi batch dan fed-batch terekayasa terpilih Perlakuan Jam ke X gL EtOH bv S gL Yxs Yps Ypx So-SSo Batch terekayasa 3,78 0,00 239,38 30 36,20 5,78 27,84 0,15 0,27 1,78 0,93 72 26,01 10,77 10,25 0,10 0,47 4,84 0,96 Peningkatan 1,56 2,86 0,14 0,67 1,74 2,72 1,03 Fed-batch terekayasa 3,87 0,00 240,94 30 39,76 5,31 34,25 0,17 0,26 1,48 0,85 72 27,71 12,05 4,53 0,10 0,51 5,05 0,98 Peningkatan 1,55 3,27 0,14 0,59 1,96 3,41 1,15 Efisiensi pemanfaatan substrat dari kedua sistem kultivasi yang dilakukan menunjukkan bahwa sistem batch nilai efisiensinya lebih rendah dibandingkan pada sistem fed-batch. Hal ini menunjukkan bahwa pada sistem fed-batch, substrat yang ditambahkan pada saat kondisi biomassa maksimum, pembentukkan produk yang terjadi sudah maksimum, sedangkan pada sistem batch substrat yang ada dimanfaatkan belum maksimal. Untuk skala industri, pembuatan bioetanol berbahan baku pati sagu sangat potensial. Tanaman sagu selain melimpah persebarannyaproduktivitasnya juga dapat hidup di daerah margin. Melalui penelitian ini diperoleh kadar etanol tertinggi 12,05 bv pada kultivasi fed-batch dengan konsentrasi awal substrat terpilih 24 dengan konsentrasi umpan total gula 16 pada kondisi stop aerasi pada saat pengumpanan di jam ke-30. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hidrolisat pati sagu dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon bagi Saccharomyces cerevisiae var.ellipsoides untuk tumbuh dan memproduksi etanol, baik pada kultivasi batch maupun fed-batch. Pada rentang konsentrasi gula awal 18 – 36 , Saccharomyces cerevisiae var.ellipsoides tumbuh paling baik pada konsentrasi total gula awal 24 dengan laju pertumbuhan spesifik 0,33jam dan kadar etanol 10,2 bv. Rekayasa bioproses dapat meningkatkan kadar etanol bila dibandingkan tanpa dilakukan rekayasa bioproses. Pada kultivasi batch konsentrasi etanol tertinggi diperoleh pada terekayasa II dengan perlakuan aerasi dihentikan pada jam ke-30 dengan kandungan etanol yang diperoleh sebesar 10,77±0,00 bv dengan efisiensi substrat 95,72 . Sedangkan pada sistem fed-batch konsentrasi etanol tertinggi diperoleh pada perlakuan aerasi dihentikan pada jam ke-30 sekaligus dilakukan pengumpanan dengan konsentrasi umpan 16 . Kandungan etanol yang diperoleh pada perlakuan tersebut sebesar 12,05 ± 0,00 bv dengan efisiensi substrat 98 . Saran Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bioreaktor skala laboratorium, sehingga perlu dilakukan penggandaan skala atau dilakukan dengan menggunakan bioreaktor dengan skala lebih besar. DAFTARPUSTAKA Abdullah K., A. K. Irwanto., Nirwan S., Endah A., Armansyah H. T., M. Yamin., Edy H., Aris P., Dyah W., dan Leopold O. N. 1998. Energi dan Listrik Pertanian. IPB Bogor. Abner, L. dan Miftahrahman. 2002. Keragaan Industri Sagu Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Vol 8 No 1 Juni 2002. AOAC. 1984. Official Methode of Analysis of Association of Official Analytical Chemistry, Washington DC. AOAC. 1995. Official Methode of Analysis of Association of Official Analitycal Chemistry, Washington DC. Akyuni, D. 2004. Pemanfaatan Pati Sagu Metroxylon sp. Untuk Pembuatan Sirup Glukosa Menggunakan α-amilase dan Amiloglukosidase. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Amerine. dan Cruess. 1960. The Technology of Wine Making. The Avi Publ, co. Inc., West Port, Connecticut. Amerine. dan Ough. 1979. Methode of Analysis of Must and Wines. A Wiley- Interscience Publication, New York. Atifah, N. 2006. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu Sebagai Sumber Karbon Pada Produksi Bioplastik Polihidroksialkanoat Secara Fed-Batch. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, IPB, Bogor. Bailey, J.E. dan D.F. Ollis. 1991. Dasar – Dasar Biokimia. Terjemahan. PAU IPB, Bogor. Barnett, J.A., R. W. Payne dan D. Yarrow. 2000. Yeast Characteristic and Identification. Cambridge University Press, London. Budiyanto, A, P. Martosuyono, N. Richana. 2006. Optimasi Proses Produksi Tepung Gula Kasava dari Pati Ubi Kayu Skala Laboratorium. Bogor : Buletin Balai Besar Pasca Panen. Casida, J.R. 1968. Industrial Microbiology. John Wiley and Sons Inc., New York. Chaplin, M.F, dan Buckle. 1990. Enzym Technology. Cambridge University Press, New York. Clark, T. dan K. L. Mackie. 1984. Fermentation Inhibition in Wood Hydrolisates Derived from the Softwood Pinus radiate. J. Chem. Biotechnol. Vol.34B:101- 110. Cot, M., O.L. Marie., F. Jean., dan B.Laurent. 2006. Physiological behaviour of Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides in Aerated Fed-batch Fermentation for High Level Production of Bioethanol. FEMS Yeast Res 7 2007 22-32. Daulay, A.M. 1999. Pengaruh Jenis Khamir dan Penambahan Serbuk Kulit Kayu Pada Onggok Tapioka Terhadap Hasil Kultivasi Etanol. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. De Garmo EP, Sullivan WG dan Canada JR. 1979. Engineering Economy, New York: Macmilan Publishing Company. Flach, M. 1983. The Sago Palm: Domestication, Exploitation and Product. FAO Plant Production and Protection Paper, Roma. Frazier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1978. Food Microbiology 4 th ed. McGraw-Hill Book. Publishing. Co.Ltd, New York. Gray, C.P. Simanjuntak, L.K. Sabur, P.F.L. Maspaitella dan R.O.G. Varley. 1992, Pengantar Evaluasi Proyek, PT, Gramedia, Jakarta. Hanafiah, K.A. 2003. Rancangan Percobaan Aplikatif. Fajar Grafindo Persada, Jakarta. Hartoto, L. 1992. Petunjuk Laboratorium Teknologi Kultivasi, Debdikbud. PAU- IPB, Bogor. Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta. Hidayat, N., M.C. Padaga dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Andi, Yogyakarta. Hill dan Kelley. 1942. Organic Chemistry. The Blakistan Co., Philadelphia, Toronto. Hodge, J.E. dan E.M. Osman. 1976. Carbohydrates. Di dalam Food Chemistry. D.R. Fennema, ed. Macel Dekker, Inc. New York dan Basel. H. Finck, G. Oelert: A Guide to the Financial Evaluation of Investment projects in energy supply. GTZ No63. Ishak, E., D.A. Sarina dan R. Bilang. 1985. Teknik Pengolahan Sagu. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Kearley, M.W. dan S.Z. Dzeidzic. 1995. Handbook of Starch Hydrolisis Product and Their Derivatives. Blackie Academic and Profesional, London. Klup, K. 1975. Carbohydrates. dalam G. Reed. Enzyme in Food Processing . Academic Perss. New York. Mangunwidjaja, D dan A. Suryani. 1994. Teknologi Bioproses. Penebar Swadaya, Jakarta. Meyer, H. L. 1978. Food Chemistry. Reinhold Publishing Corporation. New York. Moat, A.G. 1979. Microbiology Physiology. John Willey and Sons Inc, New York. Nikolov, Z.L., P.J Reilly. 1991. Enzymatic Depolimerization of Starch. Di dalam Dordick, J.S. eds Biocatalysts for Industry. Plenum Press., New York. Paturau, J.M. 1991. By Product of The Cane Sugar Industry: and Introduction to Their Utilization. Elsevier Publ, Co, Amsterdam. Peppler, H.J. dan D. Perlman. 1973. Microbiology Technology 2 nd editionVol I. Academic Press, New York. Prescot, S.C. dan C.G. Dunn. 1981. Industrial Microbiology. McGraw-Hill Book Co. Ltd, New York. Rachman A. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi-IPB. Radley, J. A. 1976. Starch Production Technology. Applied Science Pub. Ltd. London. Reed, G. dan H.J. Rehm. 1983. Biotechnology Vol III. Industrial Microbiology. AVI Publishing Company Inc. Westport, Conecticut. Reksowardoyo, I.K., Soerawidjaja, T.H. 2006. Proses Pembuatan Bioetanol. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Biofuel “Implementasi Biofuel Sebagai Energi Alternatif”. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Retledge, C. dan B. Kristiansen. 2001. Basic Biotechnology. Second Edition. Cambridge University Press, London. Riadi, L. 2007. Teknologi Kultivasi. Graha Ilmu. Yogyakarta Rinaldy, W. 1987. Pemanfaatan Onggok Singkong Manihot esculenta Crantz sebagai bahan Pembuatan Etanol. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Ruddle, K. D. Johnson., K. Patricia Townsend., J. D. Rees. 1978. Palm Sago A Tropical Starch from Marginal Lands. East-West Center, University Press of Hawaii, Honolulu. Sastrapradja, S., J. Palar M., H. Murni dan J. A. Johar. 1980. Palem Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. Soerjono. 1980. Potensi Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta. Sutojo, Siswanto. 2002. Studi Kelayakan Proyek : Konsep, Teknik Kasus. PT Damar Mulia Pustaka. Jakarta. Thomas, T.D. dan W.A. Atwell. 1999. Starches. Eagan Press Handbook Series. St. Paul, Minnesota. Tjokroadikoesomo, P. S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Gramedia, Jakarta. Underkofler, L.A., R.J. Hickey. 1954. Industrial Fermentation. Chemical Publishing Co, New York. Vogel, H.C. 1983. Fermentation and Biochemical Engineering Handbook . Noyes Publication. Mill Road Park Ride, New Jersey. Wahyuni, A. 2008. Rekayasa Bioproses Pembuatan Bioetanol dari Sirup Glukosa Ubi Jalar Ipomoea batatas dengan Menggunakan Saccharomycess cereviseae. Tesis. Fateta IPB, Bogor. Wang, D.I.C., C.L. Conney., A.L. Demain., P. Dunhil., A.E. Humprey., M.D. Lily. 1979. Fermentation and Enzyme Technology. John Wiley and Sons Inc, New York. Whistler, R. L., 1979. Carbohydrate Technology, In. N. M. Desrosier ed. Elements Of Food Technology The AVI Publishing Co. Inc. Westport. Connection. Whitaker, J.R. 1972. Principles of Enzymology for The Food Science. Marcel Dekker, Inc., New York. Wirakartakusumah, M.A., A. Apriyantono., M.S. Maarif., Suliantri., D. Muchtadi., K. Otawa. 1986. Isolation ang Characterization of Sago Starch and Its Utilization for Production of Liquid Sugar. Di dalam FAO eds The Development of The Sago Palm and Its Product. Reports of The FAOBPPT Consultation, Jakarta, Januari 16 – 21. Wyman, E. C. 2001. Handbook on Bioethanol Production and Utilization. Taylor and Francis, New York. www.deptan.go.id www.dprin.go.id www.traditionaltree.org Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Pati Sagu a. Analisa Kadar Air SNI 01-2891-1992 Cawan alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya, diisi sebanyak 2 ml sampel, lalu ditimbang W 1 kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu oven 105 o C selama 1-2 jam. Cawan aluminium dan sampel yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam desikator kemudian di timbang. Pengulangan pemanasan sampai diperoleh bobot konstan W 2 . Sisa contoh dihitung sebagai total padatan dan air yang hilang sebagai kadar air. 100 1 2 1 W W W Air Kadar b. Analisa Kadar Abu AOAC, 1995 Sebanyak 2 gram sampel ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya A, kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas Bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan persolin yang berisi sampel B yang telah diarangkan dimasukkan ke dalam tanur 600 o C untuk mengubah arang menjadi abu C. cawan porselin yang berisi abu kemudian dimasukkan ke dalam desikator lalu ditimbang sampai bobotnya konstan. Perhitungan untuk kadar abu: 100 B A C Abu Kadar c. Kadar Serat Kasar AOAC, 1995 Sebanyak 2-4 gram contoh dihilangkan lemaknya dengan cara ekstraksi menggunakan soxlet atau diaduk, mengenaptuangkan sampel dengan pelarut organic sebanyak 3 kali. Contoh dikeringkan dan ditambahkan 50 ml larutan H 2 SO 4 1,25 kemudian didihkan selama 30 menit dengan pendingin tegak. Selanjutnya ditambahkan 50 ml NaOH 3,25 dan dididihkan kembali selama 30 menit. Pada keadaan panas cairan disaring dengan corong Buchner yang berisi kertas saring tak berabu Whatman yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan pada kertas saring berturut-turut dicuci dengan H 2 SO 4 1,25 panas, air panas, dan etanol 96. Kertas saring dan isinya diangkat dan ditimbang, lalu dikeringkan pada suhu 105 o C sampai bobotnya konstan. Bila kadar serat kasar lebih dari 1 kertas saring beserta isinya diabukan dan ditimbang hingga bobotnya konstan. a. Kertas saring ≤ 1 100 ker sampel Bobot kosong saring tas ing r ke contoh saring Kertas b. Serat kasar 1 100 ker sampel Bobot abu bobot kosong saring tas ing r ke contoh saring Kertas d. Kadar Protein Metode Semi Mikro Kjeldahl AOAC,1995 Contoh sebanyak 0.5 gram dimasukkan dalam labu kjeldahl 100 ml, kemudian ditambahkan 2-3 gram katalis 1,2 gram Na 2 SO 4 dan 1 gram CuSO 4 dan 2-3 ml H 2 SO 4 pekat. Campuran tersebut didekstruksi di ruang asam hingga larutan menjadi jernih. Larutan yang sudah jernih didinginkan lalu dimasukkan ke dalam labu destilasi dan ditambahkan 15 ml NaOH 50 . Destilatnya ditampung dalam erlenmeyer, dimana erlenmeyer berisi 25 ml HCl 0.02 N dan 2 tetes MR dan MB mengsel sampai volumenya mencapai 50 ml. Larutan yang diperoleh dititrasi dengan NaOH 0.02 N sampai warnanya berubah menjadi hijau. Blanko dikerjakan dengan cara yang sama tanpa menggunakan contoh. Kadar protein yang terkandung dalam contoh dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: e. Kadar lemak dengan metode Soxlet AOAC,1995 Siapkan labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi. Soxlet yang akan digunakan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C selama 30 menit, dinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang A. Timbang 5 gram sample S tepat langsung dalam kertas saring yang sesuai dengan ukurannya., kemudian tutup dengan kapas wool yang bebas lemak. Masukkan pelarut lemak ke dalam labu lemak secukupnya. Masukkan kertas saring ke dalam alat ekstraksi, kemudian panaskan labu lemak dan lakukan ekstraksi selama 3-4 jam. Setelah selesai, pelarutnya disulingkan kembali dan labu lemak diangkat dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C sampai tidak ada penurunan berat lagi berat tetap. Dinginkan di dalam desikator dan timbang B. 100 S B A Lemak Kadar Keterangan : A = Berat labu lemak sebelum ekstraksi g B = Berat labu lemak setelah ekstraksi g S = Berat sampel g f. Analisa Pati AOAC, 1995 Sebanyak kurang lebih 2 gram contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 200 ml larutan HCl 3 dan dididihkan selama 3 jam dengan pendingin tegak. Selanjutnya didinginkan dan dinetralkan dengan larutan NaOH 30 indicator lakmus atau fenoftalein, dan ditambahkan sedikit CH 3 COOH 3 agar suasana larutan sedikit asam. Isi dipindahkan ke dalam labu ukur 500 ml dan diencerkan hingga tanda tera, kemudian disaring. Sebanyak 10 ml larutan dipipet ke dalam Erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 25 ml larutan Luff dengan pipet dan beberapa butir batu didih serta 15 ml air suling. Campuran dipanaskan dengan nyala tetap, diusahakan agar larutan dapat mendidih dalam waktu 3 menit digunakan stop watch. Campuran terus didihkan selama tepat 10 menit dihitung dari saat mulai mendidih kemudian dengan cepat didinginkan dalam bak berisi es. Setelah dingin ditambahkan 15 ml larutan KI 20 dan 25 ml H 2 SO 4 25 secara perlahan – lahan. Penitaran dilakukan secepatnya dengan larutan sodium tiosulfat 0.1 N dengan indicator larutan kanji 0.5 . Pekerjaan yang sama dilakukan juga terhadap blanko. 100 1 x w fp x w Glukosa Kadar Perhitungan : Blanko – Penitar x N sodium tiosulfat x 10 Setara dengan terusi yang tereduksi. Kemudian dengan daftar Luff Schoorl dilihat jumlah mg gula yang terkandung untuk ml sodium tiosulfat yang digunakan. Keterangan : w1 : Bobot contoh mg w : Glukosa yang terkandung untuk ml sodium tiosulfat yang dipergunakan mg fp : faktor pengenceran Tabel . Penetapan Gula Berdasarkan Luff Schoorl Na2S2O3 0.1 N ml Glukosa, Fruktosa, Gula Invert mg Laktosa mg Maltosa mg 1 2,4 3,6 3,9 2 4,8 7,3 7,8 3 7,2 11,0 11,7 4 9,7 14,7 15,6 5 12,2 18,4 19,6 6 14,7 22,1 23,5 7 17,2 25,8 27,5 8 19,8 29,5 31,5 9 22,4 33,2 35,5 10 25,0 37,0 39,5 11 27,6 40,8 43,5 12 30,3 44,6 47,5 13 33,0 48,4 51,6 14 35,7 52,2 55,7 15 38,5 56,0 59,8 16 41,3 59,9 63,9 17 44,2 63,8 68,0 18 47,1 67,7 72,2 19 50,0 71,1 76,5 20 53,0 75,1 80,9 21 56,0 79,8 85,4 22 59,1 83,9 90,0 23 62,2 88,0 94,6 Sumber : SNI 01 – 2891 – 1992 Lampiran 2. Diagram Alir Proses Pembuatan Sirup Glukosa disadur dari Akyuni., 2004; Budiyanto, et al., 2006; Nur Atifah., 2006; dan Wahyuni., 2008 Lampiran 3. Prosedur Analisa Sirup Glukosa Pati Sagu 1. Rendemen Modifikasi Ciptadi, 1981 Rendemen sirup dihitung sebagai perbandingan bahan kering ubi jalar dengan sirup glukosa dalam persen. Sirup glukosa yang diperoleh, ditempatkan dalam botol dan ditimbang. Bobot sirup glukosa diperoleh dengan mengurangi bobot botol kosong. 100 100 1 100 Re x Ka x Bu Bk x Bs ndemen Keterangan : Bs = Bobot sirup glukosa g Bk = Kadar bahan kering sirup Bu = Bobot contoh sagu g Ka = Kadar air contoh pati sagu 2. pH Pengukuran pH dilakukan sebelum dan sesudah fermentasi menggunakan pH meter. 3. Kadar Gula Pereduksai Metode DNS Miller, 1959 Sebanyak 10,6 g asam 3,5 dinitrosalisitat dan 19,8 g NaOH dilarutkan dalam 1.416 ml air, ke dalamnya ditambahkan 306 gram NaK-Tartat dan 7,6 ml fenol yang telah dicairkan pada suhu 105 o C serta 8,3 g Na-metabisulfit. Bahan-bahan tersebut dicampurkan hingga larut merata. Keasaman dari pelarut DNS yang dihasilkan ditentukan. Sebanyak 3 ml larutan DNS dititrasi dengan HCL 0,1 N menggunakan indikator fenoftalein. Banyaknya titran berkisar 5-6 ml. Untuk setiap kekurangan HCL 0,1 N pada titrasi ditambahkan 2 gram NaOH. 4. Total Gula Metode Fenol H 2 SO 4 Dubois et al., 1956 Sebanyak 2 ml larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 1 ml larutan fenol 5, kocok kedua larutan. Tambahkan 5 ml larutan asam sulfat pekat dengan cepat dengan tegak lurus ke atas permukaan larutan. Biarkan selama 10 menit, kemudian kocok dan tempatkan dalam penangas air selama 15 menit. Ukur total gula pada panjang gelombang 490 nm. Bila diperlukan, sampel diencerkan agar dapat terukur pada kisaran 20- 80 T Transmitan. Pembuatan kurva standar sama dengan prosedur pengukuran sampel, hanya sampel diganti dengan larutan glukosa standar sebesar 0, 10, 20, 30, 40,50, dan 60 µg glukosa. Lampiran 4. Prosedur Analisa Hasil Fermentasi 1. Prosedur Pengukuran Biomassaa Pons et al, 1990 Sebanyak 1,5 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf yang telah diketahui bobot awalnya, setelah itu sampel disentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit. Kemudian dilakukan pemisahan antara supernatan dengan biomasanya. Tabung eppendorf yang telah berisi biomassaa dimasukkan aquades steril sebanyak 5 ml kemudian dilakukan sentrifugasi kembali. Pemisahan antara aquades dan biomassaa dilakukan, selanjutnya tabung eppendorf yang berisi biomassaa dikeringkan pada suhu 50 o C selama 24 jam. Bobot kering biomassaa adalah bobot tabung yang berisi biomassaa yang telah dikeringkan dikurangi dengan bobot awal. sampel ml ing r ke biomassa Bobot l g ing r ke sel Bobot 2. OD Optical Density Penentuan konsentrasi sel khamir dilakukan dengan analisis spektrofotometri, prinsipnya dalah analisis turbidometri. Prinsip turbidometri adalah analisis konsentrasi suatu zat berdasarkan kekeruhannya dibandingkan sampel blanko yang dianggap nilai 0 absorbanfull scale transmitan, atau tidak mengandung konsentrasi zat yang dianalisis. Pada penentuan konsentrasi sel khamir, kekeruhan disebabkan oleh suspensi sel ragi blanko yang digunakan adalah larutan medium yang persis sama dengan medium fermentor, tetapi tidak dipakai sebagai medium pertumbuhan ragi. Analisis dilakukan dengan mengambil data absorbansi. Kurva pertumbuhan diperlukan dengan kurva baku untuk mengkorelasikan antara konsentrasi sel terhadap absorban. Panjang gelombang yang digunakan untuk menganalisa konsentrasi glukosa harus disentrifugasi terlebih dahulu. Sentrifugasi untuk mengendapkan semua sel ragi sedemikian sampai larutan medium terlihat jernih sehingga tidak mengganggu pancaran sinar saat diperiksa dengan spektrofotometri. 3. pH pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH-meter setiap 6 jam selama fermentasi berlangsung. 4. Kadar Etanol Mc Nail dan Bonelli, 1988 Pengukuran kadar etanol sample menggunakan GC Gas Chromatography. Kadar etanol ditentukan dengan membandingkan waktu retensi sampel dengan waktu retensi standard etanol. Kadar etanol yang terdapat pada sampel dihitung mengguinakan persamaan berikut: dar s x dar s area luas sampel area luas ol E Kadar tan tan tan Kadar etanol vv dari data GC Gas Chromatography dihitung dengan rumus: dar s x ar d s area sampel area v v ol E Hasil tan tan tan Kondisi analisis pengukuran etanol dengan menggunakan GC adalah sebagai berikut: Instrument : GC HP 6890 Series Kolom : HP-FFAP Crosslinked FFAP Gas Pembawa : Helium Detektor : FID, 250 C Suhu Oven : 60 C untuk 1 menit : 60 – 210 C untuk 5 menit : 210 Cuntuk 10 menit Suhu Injector : 250 C Volume injeksi : 1 µl Lampiran 5. Kurva standar DNS dan total gula

A. Kurva standar gula pereduksi