Adaptasi Saccharomyces cerevisiae terhadap hidrolisat asam ubi kayu untuk produksi bioetanol

(1)

ADAPTASI

Saccharomyces cerevisiae

TERHADAP

HIDROLISAT ASAM UBI KAYU UNTUK PRODUKSI

BIOETANOL

DESSY MAULIDYA MAHARANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Adaptasi Saccharomyces cerevisiae terhadap Hidrolisat Asam Ubi Kayu untuk Produksi Bioetanol” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Dessy Maulidya Maharani


(4)

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

(7)

ADAPTASI

Saccharomyces cerevisiae

TERHADAP

HIDROLISAT ASAM UBI KAYU UNTUK PRODUKSI

BIOETANOL

DESSY MAULIDYA MAHARANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

ABSTRACT

DESSY MAULIDYA MAHARANI. F351080101. Adaptation of Saccharomyces

cerevisiae to Cassava Acid Hydrolisates for Bioethanol Production. Under

direction of DWI SETYANINGSIH and GAYUH RAHAYU.

Acid hydrolisates of cassava contain toxic substances i.e. 3,55 g/l HMF and 0,72 g/l furfural to ethanol producing yeast, Saccharomyces cerevisiae. This study is aiming at screening four strains of S. cerevisiae for their tolerance capacity to that acid hydrolisates. Out of four strains, S. cerevisiae IPBCC 05.548 showed the highest tolerance on the bases of ethanol production. It produced 4,1% (b/v) ethanol. Prior to adaptation, optimum sugar concentration and starter dosage were determined in sequence. Out of 15%, 18%, 20% and 24% concentration. S. cerevisiae IPBCC 05.548 showed the highest ethanol production (4,10% b/v) at 15% of total sugar. Among starter dosage (1, 2 and 3 times of 0,23% of sugar concentration), that were tested on optimal sugar concentration indicated that the twice of dosage was the best for ethanol production. Adaptation was then performed for 72 hours for each cycle. Of the cycles, the 9th cycle (648 hours) showed the highest specific growth rate (0,14g.h-1) as well as ethnol yield (4,13% b/v). Comparison of the adapted strain to unadapted strain proved that the adapted strain produced 30,78% higher ethanol yield than those of unadapted strain.

Keywords: cassava, S. cerevisiae, acid hydrolisate, HMF, furfural, ethanol, selection, adaptation


(10)

(11)

RINGKASAN

DESSY MAULIDYA MAHARANI. F351080101. Adaptasi Saccharomyces

cerevisiae terhadap Hidrolisat Asam Ubi Kayu untuk Produksi Bioetanol.

Dibimbing oleh DWI SETYANINGSIH and GAYUH RAHAYU.

Bioetanol merupakan salah satu sumber energi hasil fermentasi yang dapat diperbaharui, ramah lingkungan dan paling cepat berkembang. Saccharomyces

cerevisiae adalah mikroorganisme paling umum digunakan dalam proses

fermentasi. Dua hal yang berperan dalam fermentasi adalah agen fermentasi dan substrat. Ada tiga kategori bahan baku yaitu bahan bergula, berpati dan berserat. Bahan berpati dan berserat dapat diolah dengan hidrolisis asam encer. Cara ini memiliki beberapa kelebihan antara lain harganya lebih murah, lebih cepat dalam menghidrolisis, mudah didapat dan rendemen gula lebih tinggi jika dibandingkan dengan hidrolisis enzim. Permasalahan timbul karena cara ini menghasilkan senyawa-senyawa penghambat. Senyawa tersebut bersifat toksik bagi mikroorganisme fermentasi. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan galur S. cerevisiae yang paling adaptif terhadap hidrolisat asam ubi kayu yang mengandung inhibitor, mendapatkan teknologi adaptasi S. cerevisiae hidrolisat asam ubi kayu yang mengandung inhibitor dan mendapatkan teknologi bioproses produksi etanol ubi kayu menggunakan S. cerevisiae yang adaptif terhadap hidrolisat asam sehingga mampu meningkatkan konversi gula menjadi etanol.

Tahap awal penelitian adalah persiapan bahan baku untuk dihidrolisis. Selanjutnya hidrolisis dilakukan satu tahap dengan total padatan ubi kayu 18%, H2SO4 1M, waktu 15 menit, suhu 121oC dan netralisasi menggunakan NH4OH

teknis 21% sehingga pH menjadi 4-5. Hidrolisat netral dengan kadar gula awal 15% digunakan pada tahapan berikutnya. Tahapan kedua didahului dengan persiapan isolat S. cerevisiae dan dilanjutkan dengan seleksi toleransi galur terhadap hidrolisat. empat sumber galur S. cerevisiae yaitu : ragi curah, ”F”, koleksi PAU ATCC 9763 dan koleksi IPBCC 05.548 diseleksi. Galur yang toleran adalah galur yang menunjukkan efisiensi pemanfaatan substrat, efisiensi fermentasi dan rendemen etanol tertinggi. Galur yang paling toleran digunakan untuk penelitian selanjutnya. Penelitian selanjutnya adalah optimasi jumlah gula dan dosis agen fermentasi yang paling optimal. Jumlah gula awal adalah 15%, 18%, 20% dan 24%, sedangkan dosis starter yang dimasukkan adalah 1, 2 dan 3x 0,23% gula awal. Kondisi yang menghasilkan etanol terbanyak akan digunakan pada proses adaptasi. Prosedur adaptasi menggunakan metode batch. Sejumlah dosis starter terpilih dimasukkan ke erlenmeyer 250 ml berisi hidrolisat 100% (kultur sel 1). Setelah 72 jam, kultur sel dari batch 1 dikeluarkan menggunakan pipet sebanyak dosis starter terpilih, dan dimasukkan kembali untuk fermentasi ke-2. Fermentasi terus-menerus dilakukan sampai 9 siklus atau 648 jam. Pengamatan dilakukan setiap 72 jam. Kondisi adaptasi dengan hasil biomassa dan etanol tertinggi dipilih untuk tahapa penelitian ke-4. Tahap ke-4 adalah produksi etanol dengan volume fermenasi tiga kali lipat dari proses adaptasi. Dalam proses ini kemampuan galur yang telah diadaptasi dibandingkan dengan galur yang tidak diadaptasi.


(12)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hidrolisat asam ubi kayu mengandung 3,55 g/l HMF dan 0,72 g/l furfural. Hidrolisat asam dengan kadar gula awal 15% mengandung HMF dan furfural berturut-turut adalah 2,84 g/l dan furfural 0,022 g/l. Fermentasi menggunakan hidrolisat asam tersebut mempengaruhi kinerja 4 galur yang diseleksi. Dari seleksi tersebut didapat bahwa galur IPBCC 05.548 memproduksi etanol terbanyak yaitu 4,1 % (b/v). Galur ini selanjutnya menghasilkan etanol tertinggi pada optimasi dengan gula awal 15% dan dosis S. cerevisiae 2x 0,23% konsentrasi total gula awal. Pada proses selajutnya IPBCC 05.548 dengan gula awal 15% dan dosis S. cerevisiae 2x 0,23% konsentrasi total gula menghasilkan laju pertumbuhan spesifik dan etanol tertinggi pada adaptasi ke-9. Kemampuan S. cerevisiae yang telah teradaptasi lebih baik dari yang tidak adaptif, yang ditunjukkan oleh rendemen etanol yang dari galur teradaptasi lebih tinggi 30,78 % dari yang tidak teradaptasi.

Kata kunci: ubi kayu, S. cerevisiae, hidrolisat asam, HMF, furfural, etanol, seleksi, adaptasi


(13)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Adaptasi Saccharomyces cerevisiae terhadap Hidrolisat Asam Ubi Kayu untuk Produksi Bioetanol

Nama : Dessy Maulidya Maharani

NRP : F351080101

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si. Dr. Ir. Gayuh Rahayu

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah M,Sc.Agr


(14)

(15)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan hanya pada ALLAH SWT, karena atas rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Penulisan tesis ini diajkan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis saimpaikan kepada semua pihak yang telah membantu diantaranya :

1. Ibu Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si. dan Ibu Dr. Ir. Gayuh Rahayu, selaku dosen pembimbing.

2. Bapak Dr. Ir. Machfud, MS., selaku Ketua Program Studi. 3. Ibu Dr. Ir. Liesbetini Haditjaroko, MS selaku penguji . 4. Ibu Dr. Ir Titi Candra, MSi selaku wakil Program Studi.

5. Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB, yang telah membantu sebagian dana penelitian .

6. Kedua orang tua, Ibu Hj Gusti Darnelia, SH, Ayah H Achmad Bunyamin, SH dan Adik Meirinda Ramadhani, SE yang selalu memberikan dukungAN materi, kasih sayang, do’a dan nasehat.

7. Suami Arief Hermawan ST dan Anak Nadhira Anindya yang selalu

memberikan semangat, dukungan dan do’a.

8. Keluarga besar H. Gusti Ibrahim Aman di Banjarmasin, Khususnya Om Gusti Perdana Kesuma yang telah memberikan support dana kuliah dan penelitian Om Gusti Suryanata SH, Tante Martha Kirana, S.kom, yang telah memberi semangat dan dukungannya agar cepat menyelesaikan studi di bogor.

9. Ibu Rini, ibu Ega, ibu Sri, bapak Edi, bapak Sugi, bapak Dicky, Saiful, Wiwin (LAB SBRC), ibu Ari (LAB Mikrobiologi PAU) dan laboran lain.

10.Teman-teman TIP, IPB angkatan 2008 serta semua pihak yang telah membantu dalam penelitian maupun penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis menerima saran, kritik serta masukan untuk menjadikan tulisan ini lebih baik lagi. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011


(16)

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tanggal 18 Desember 1982 dari ayah H Achmad Bunyamin, SH dan ibu Hj Gusti Darnelia, SH. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA) di Kota Banjarmasin pada tahun 2001. Penulis lulus dari SMUN 2 Banjarmasin dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Lambung Mangkurat pada program Agronomi. Pada tahun 2007 penulis menyelesaikan program S1 dan meraih gelar Sarjana Agronomi. Pada tahun 2002-2007 penulis bekerja sebagai pegawai honor di Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan di program studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN... vii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan ... 3

1.4 Hipotesa ... 3

1.5 Ruang Lingkup... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Ubi Kayu (Manihot utilissima) ... 5

2.2 Polisakarida dalam Ubi Kayu ... 6

2.3 Etanol ... 8

2.4 Proses Pembuatan Etanol... 9

2.5 Hidrolisis Asam ... 10

2.6 Fermentasi... 11

2.7 Saccharomyces cerevisiae... 14

2.8 Pengaruh Furfural dan HMF terhadap S. cerevisiae... 15

2.9 Seleksi Galur S. cerevisiae... 17

2.10 Adaptasi S. cerevisiae... 18

3. METODE PENELITIAN... 19

3.1 Waktu dan Tempat ... 19

3.2 Bahan dan Alat... 19

3.2.1 Bahan ... 19

3.2.2 Alat... 19

3.3 Tahap Penelitian... 19

3.3.1 Persiapan Bahan Baku ... 19

3.3.2 Karakterisasi Ubi Kayu... 19

3.3.3 Hidrolisis Asam dan Karakterisasi Hidrolisat ... 20

3.3.4 Seleksi S. cerevisiae... 20

3.3.4.1 Persiapan Inokulum... 20

3.3.4.2 Seleksi Toleransi Galur S. cerevisiae Terhadap Hidrolisat Asam ... 20

3.3.4.3 Seleksi Total Gula Awal dan Dosis Starter... 21


(19)

   

 

ii 

 

3.3.5 Produksi etanol ... 23

3.4 Teknik Analisis Data ... 23

3.4.1 Seleksi Toleransi Galur S. cerevisiae terhadap Hidrolisat Asam... 23

3.4.2 Seleksi Penentuan Total Gula Awal dan Dosis Starter ... 24

3.4.3 Adaptasi S. cerevisiae terhadap Hidrolisat Asam ... 24

3.4.4 Produksi Etanol ... 25

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Karakterisasi Ubi Kayu ... 27

4.2 Karakterisasi Hidrolisis Asam... 29

4.3 Seleksi S. cerevisiae... 31

4.3.1 Persiapan Starter... 31

4.3.1 Seleksi Toleransi Galur S. cerevisiae terhadap Hidrolisat Asam... 32

4.3.1 Seleksi Total Gula Awal dan Dosis Starter ... 36

4.4 Adaptasi S. cerevisiae Terhadap Hidrolisat Asam ... 40

4.5 Produksi Etanol ... 45

5. SIMPULAN DAN SARAN ... 49

5.1 Simpulan... 49

5.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA... 51


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi kimia ubi kayu segar dan tepung ubi kayu ... 5

2. Sifat fisika etanol ... 8

3. Perbandingan produksi dan produktivitas S. cerevisiae adaptasi dengan non-adaptasi ... ... 18

4. Komposisi kimia ubi kayu segar ... 25

5. Komposisi kimia hidrolisat asam ... 29

6. Jumlah sel S. cerevisiae pada masing-masing galur ... 31

7. Laju pertumbuhan spesifik S. cerevisiae, penurunan gula total, penurunan gula reduksi, penurunan HMF, penurunan furfural dan kadar etanol proses adaptasi.. ... ... 44

8. Perbandingan bobot kering sel, jumlah sel dan kadar etanol adaptasi dan non-adaptasi ... 46


(21)

(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Komposisi serat dalam batang barley dan senyawa inhibitor turunannya ... 11 2. Kurva pertumbuhan S.cerevisiae... 14 3. Perubahan HMF menjadi HMF alkohol... 16 4. Skema jalur metabolisme S. cerevisiae dan kemungkinannya berinteraksi

dengan furfural . ... 16 5. Perubahan total gula dan pH selama fermentasi s1, s2, s3, dan s4 ... 33 6. Kadar etanol masing-masing galur ... 35 7. Pengaruh masing-masing galur terhadap efisiensi substrat, efisiensi

fermentasi dan rendemen ... 36 8. Hubungan antara total gula awal dengan dosis starter terhadap konsumsi gula total ... 37 9. Hubungan antara total gula awal dengan dosis starter terhadap kadar

etanol ... 37 10. Hubungan antara total gula awal dengan dosis starter terhadap efisiensi

substrat ... 39 11. Hubungan antara total gula awal dengan dosis starter terhadap efisiensi

fermentasi... ... 39 12. Hubungan antara total gula awal dengan dosis starter terhadap rendemen

etanol ... ... ... 40 13. Konsumsi gula total dan gula reduksi selama proses adaptsi ... 41 14. Laju pertumbuhan spesifik S. cerevisiae dan etanol adaptasi ... 41 15. Perubahan HMF dan furfural adaptasi ... 42 16. Perubahan efisiensi substrat, efisiensi fermentasi, rendemen etanol dan

rendemen biomassa adaptasi ... 43 17. Konsumsi total gula, konsumsi gula reduksi, dan etanol pada tahapan

produksi dengan perlakuan adaptasi dan non-adaptasi ... 45 18. Efisiensi fermentasi, efisiensi substrat, rendemn etanol dan rendemen


(23)

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Pohon industri ubi kayu ... 60 2. Diagram alir tahapan penelitian ... 61 3. Prosedur analisa parameter-parameter percobaan... 62 4. Contoh perhitungan hidrolisis ... 68 5. Contoh perhitungan dosis starter S. cerevisiae... 69 6. Perhitungan efisiensi pemanfaatan substrat, efisiensi fermentasi

rendemen etanol dan rendemen biomassa... 70 7. Konsumsi total gula seleksi toleransi galur terhadap hidrolisat... 71 8. Konsumsi gula reduksi seleksi toleransi galur terhadap hidrolisat ... 72 9. Perubahan pH seleksi toleransi galur terhadap hidrolisat ... 73 10. Produksi etanol seleksi toleransi galur terhadap hidrolisat ... 74 11.Efisiensi penggunaan substrat seleksi toleransi galur terhadap hidrolisat ... 75 12.Efisiensi fermentasi toleransi galur terhadap hidrolisat ... 76 13.Rendemen etanol toleransi galur terhadap hidrolisat ... 77 14.Perubahan total gula optimasi gula dan dosis starter ... 78 15.Produksi etanol optimasi gula dan dosis starter S. cerevisiae... 79 16.Efisiensi penggunaan substrat optimasi gula dan dosis starter S. cerevisiae.. 80 17.Efisiensi fermentasi optimasi gula dan dosis starter S. cerevisiae... 81 18.Rendemen etanol optimasi gula dan dosis starter S. cerevisiae... 82 19. Konsumsi total gula adaptasi ... 83 20. Konsumsi gula reduksi adaptasi ... 84 21. Biomassa Adaptasi ... 85 22. Reduksi HMF adaptasi... 86 23. Reduksi furfural adaptasi ... 87 24. Produksi etanol adaptasi ... 88 25. Efisiensi penggunaan substrat adaptasi... 88 26. Efisiensi fermentasi adaptasi... 89 27. Rendemen etanol adaptasi... 89 28. Rendemen bobot biomassa adaptasi... 89 29. Total gula proses produksi etanol ... .90


(25)

   

 

viii 

 

30. Etanol proses produksi etanol...90 31. Bobot biomassa proses produksi etanol ...90 32. Jumlah sel S. cerevisiae proses produksi etanol ...91 33. Efisiensi substrat proses produksi etanol...91 34. Efisiensi fermentasi proses produksi etanol ...92 35. Rendemen etanol proses produksi ...92 36. Rendemen bobot biomassa proses produksi...93

           


(26)

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bioetanol mulai dikembangkan pada tahun 1950 dan merupakan salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan (Thomas 2005). Berdasarkan peraturan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral No 32 tahun 2008, pada tahun 2008 sampai 2010 etanol harus mensubstitusi premium sebanyak 3% untuk transportasi dan akan meningkat menjadi 5% di tahun 2015, 10% pada tahun 2020 dan 15% pada tahun 2025 (Sutarto 2009). Industri bioetanol terdiri dari tiga skala industri yaitu skala besar, skala menengah dan skala kecil. Produsen skala besar adalah produsen yang memproduksi etanol lebih dari 60 kilo liter (kL) perhari, sedangkan produsen skala kecil adalah produsen dengan skala etanol kurang dari 1 kL/hari (Rama et al. 2007).

Bioetanol dapat berasal dari berbagai macam bahan baku. Ada tiga kategori bahan baku bioetanol yaitu bahan bergula, bahan berpati dan bahan berserat. Bahan baku berpati dan berserat dapat diolah dengan hirolisis asam encer, hidrolisis enzimatis atau menggabungkan keduanya. Hidrolisis asam encer biasanya

menggunakan asam seperti H2SO4 dan HCl untuk menghasilkan gula, sedangkan

hidrolisis enzim dapat menggunakan enzim α-amilase dan amiloglukosidase.

Hidrolisis enzim memiliki kelebihan yaitu lebih ramah lingkungan dan tidak menghasilkan senyawa penghambat untuk proses fermentasi, namun enzim juga memiliki kelemahan yaitu tidak bisa disimpan dalam waktu yang lama, harganya mahal, merupakan produk impor dan memerlukan waktu lebih lama dalam menghidrolisis. Kerugian tersebut membuat metode hidrolisis enzim kurang cocok digunakan dalam pembuatan bioetanol skala kecil.

Hidrolisis asam encer memiliki beberapa kelebihan, yaitu harganya lebih murah, lebih cepat dalam menghidrolisis, mudah didapat dan rendemen gula lebih tinggi jika dibandingkan dengan hidrolisis enzim. Dari keuntungan tersebut maka para produsen bioetanol skala kecil sangat cocok untuk menerapkan hidrolisis asam encer dalam sistem produksi bioetanol, namun cara ini memiliki kekurangan


(27)

2

yaitu cenderung korosif terhadap alat, toksik terhadap lingkungan dan dapat menghasilkan senyawa-senyawa penghambat. Senyawa tersebut bersifat toksik bagi mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi (Taherzadeh dan Karimi 2007).

Efek inhibitor dalam hidrolisat dapat dikurangi dengan empat cara yaitu : menggunakan asam konsentrasi rendah 0,4 M sampai 1 M untuk menghidrolisis ubi kayu, detoksifikasi hidrolisat sebelum fermentasi, mengubah komponen yang toksik menjadi produk yang tidak mengganggu metabolisme dan mengembangkan mikroorganisme fermentasi yang tahan terhadap inhibitor (Solanges 2004; Taherzadeh et al. 2000; Schneider 1996; Gong et al. 1993).

Pada penelitian ini dilakukan strategi pengembangan mikroorganisme

yang tahan terhadap inhibitor. Mikroorganisme yang paling umum digunakan

dalam proses fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae (Jeffries dan Shi 1999). Selain umum digunakan, pemilihan khamir tersebut didasarkan pada Generally

Recognized as Safe (GRAS). GRAS adalah bagian dari undang-undang yang

dibuat oleh Food, Drug, and Cosmetic Act (FDA) Amerika pada tahun 1958. Undang-undang ini dibuat untuk melindungi konsumen terhadap zat berbahaya yang ditambahkan ke dalam bahan makanan. (FDA 2011). Pemilihan berdasarkan GRAS akan membuat khamir ini lebih mudah diaplikasikan pada masyarakat sebagai produsen etanol.

Adanya inhibitor seperti furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF) yang terbentuk dalam hidrolisis asam menghambat metabolisme S. cerevisiae sehingga mengakibatkan penurunan biomassa dan produksi etanol. S. cerevisiae yang tahan terhadap inhibitor bisa didapatkan dengan proses penapisan dan adaptasi. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa dengan proses adaptasi S. cerevisiae

pada media hidrolisat asam akan meningkatkan kemampuan S. cerevisiae dalam memfermentasi substrat yang mengandung inhibitor (Felipe et al. 1996; Parajό et al. 1998; Sene et al. 2001). Di Indonesia terdapat beberapa galur S. cerevisiae

yang tersedia di pasaran atau yang menjadi koleksi di laboratorium. Galur-galur ini belum diketahui kemampuannya dalam menggunakan hidrolisat asam ubi kayu menjadi bioetanol.


(28)

3

1.2 Rumusan Masalah

Hidrolisis menggunakan asam encer dapat menghasilkan gula total cukup tinggi setara dengan hidrolisis enzim. Saat fermentasi menggunakan hidrolisat asam, kandungan gula dalam sisa fermentasi masih tinggi dan kadar etanol lebih rendah dibandingkan menggunakan hidrolisat enzim. Hal tersebut mungkin disebabkan adanya hambatan oleh inhibitor terhadap agen fermentasi. Untuk itu, sebelum fermentasi, S. cerevisiae perlu diadaptasikan pada lingkungan yang mengandung komponen inhibitor berupa HMF dan furfural. Pengaruh adaptasi S. cerevisiae terhadap hidrolisat asam ubi kayu belum diketahui, sehingga perlu dipelajari lebih lanjut mengenai hal tersebut.

1.3 Tujuan

1. Mendapatkan galur S. cerevisiae yang paling adaptif terhadap hidrolisat asam ubi kayu yang mengandung inhibitor.

2. Mendapatkan teknologi adaptasi S. cerevisiae pada hidrolisat asam ubi kayu yang mengandung inhibitor.

3. Mendapatkan teknologi bioproses produksi etanol ubi kayu

menggunakan S. cerevisiae yang adaptif terhadap hidrolisat asam

sehingga mampu meningkatkan konversi gula menjadi etanol.

1.4 Hipotesa

1. S. cerevisiae dari galur yang berbeda memiliki kemampuan yang

berbeda pula dalam mentoleransi hidrolisat asam ubi kayu.

2. Proses adaptasi bertahap dapat meningkatkan kemampuan S. cerevisiae

mentoleransi senyawa toksik hasil hidrolisis asam (HMF dan furfural). 3. S. cerevisiae yang telah diadaptasi terhadap hidrolisat asam akan

menghasilkan etanol lebih tinggi dari yang tidak teradaptasi.

1.5 Ruang Lingkup

1. Penapisan galur-galur S. cerevisiae dari berbagai sumber berdasarkan kemampuan memproduksi etanol tertinggi menggunakan hidrolisat asam ubi kayu.

2. Menentukan konsentrasi gula total awal dan dosis starter.

3. Mengadaptasinya galur S. cerevisiae terpilih di dalam hidrolisat asam ubi kayudalam fermentasi sistem batch bertahap.


(29)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Kayu (Manihot utilissima)

Ubi kayu berasal dari Brazil. Tanaman ini menyebar ke Asia pada awal abad ketujuh belas dibawa oleh pedagang Spanyol dari Meksiko ke Fhilipina. Kemudian

ubi kayu menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Ekanayake et al. 1997).

Sebagai komoditi perdagangan, ubi kayu dapat dibuat menjadi berbagai olahan antara lain gaplek, pakan ternak, etanol, gula cair, sorbitol, tepung aromatik dan beberapa produk (Lampiran 1).

Akar ubi kayu berfungsi menjadi tempat penyimpanan makanan atau lebih dikenal dengan umbi. Pati dan serat diakumulasi di akarnya. Umbinya merupakan sumber karbohidrat yang mengandung air sekitar 60%, pati, protein, mineral, serat, selulosa, hemiselulosa dan lignin (Tabel 1) (Pandanou et al. 2005; Wargiono et al. 2006; Arnata 2009).

Tabel 1. Komposisi kimia ubi kayu segar dan tepung ubi kayu Jumlah (%)

Komponen

Ubi kayua Tepung ubi kayub

Air 62-65 11,5

Abu 0,3-1,3 0,7

Karbohidrat 32-35 83,8

Protein 0,7-2,6 1,0

Lemak 0,2-0,5 0,9

Serat kasar 0,8-1,3 2,1

Selulosa - 0,36c

Hemiselulosa - 1,88c

Lignin - 0,02c

Sumber : a. Kay (1973), b. Depperin (1989), c. Arnata (2009)

Selama ini untuk membuat bioetanol para produsen hanya memanfaatkan patinya saja, sedangkan seratnya tidak diperhitungkan. Rendemen yang dihasilkan dengan mengolah pati dan seratnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan mengolah patinya saja (Susmiati 2009; Nurdyastuti 2005). Sebagai bahan baku bioetanol, ubi kayu memiliki dua keuntungan. Pertama, ubi kayu dapat tumbuh dengan baik pada lahan-lahan marginal, sedangkan tanaman lain seperti jagung dan beras tidak dapat


(30)

6

tumbuh dengan baik. Kedua, ubi kayu bukan makanan pokok penduduk Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku bioetanol (Dai et al. 2006). Ubi kayu yang tidak layak digunakan sebagai bahan pangan seperti ubi kayu yang mengandung HCN tinggi (50-80 mg/kg) (Ciptadi dan Nasution, 1974), serat tinggi, ukurannya kecil dan tidak segar (Syarief 1974) dapat digunakan sebagai bahan baku etanol. Penggunaan ubi kayu tidak layak konsumsi menjadi bahan baku etanol dapat mengurangi limbah pertanian dan dapat memberikan nilai tambah bagi petani.

Ubi kayu jika ditinjau dari segi teknis, finansial dan industri layak dikembangkan sebagai bahan baku bioetanol (Anonim 2007). Kelayakan teknis dapat dilihat dari peningkatan produktivitas ubi kayu dengan laju produksi 1,3 sampai 37% pertahun, tersedianya varietas unggul untuk industri bioetanol, dan masih banyak terdapat lahan tidur serta lahan sawah tadah hujan yang sebagian besar hanya ditanami padi satu kali setahun. Kelayakan finansial ditandai oleh rasio B/C 1,49 dan 1,98 pada tingkat hasil 15 ton dan 20 ton/hektar dengan harga ubi segar di tingkat petani Rp 250/kg (Anonim 2007).

2.2 Polisakarida Dalam Ubi Kayu

Polisakarida merupakan molekul-molekul monosakarida yang dapat berantai lurus atau bercabang serta dapat dihidrolisis dengan enzim-enzim yang kerjanya spesifik. Sebagian polisakarida akan dihidrolisis menjadi oligosakarida. Susunan oligosakarida dapat digunakan utuk menentukan struktur molekul polisakarida. Polisakarida dalam bahan makanan berfungsi sebagai penguat tekstur (selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin) dan sebagai sumber energi (pati, dekstrin, glikogen, dan fruktan) (Winarno 1997).

Komposisi utama polisakarida ubi kayu adalah pati, selulosa, dan hemiselulosa. Pati disimpan sebagai cadangan makanan di akar. Pati merupakan salah satu sumber karbohidrat dari tumbuhan. Semua pati yang berasal dari tumbuhan berbentuk granula dengan ukuran dan karakteristik fisik yang spesifik (Prasad et al. 2007). Di negara-negara tropis seperti Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Brazil, kebanyakan pati diproduksi dari ubi kayu. Pati ubi kayu memiliki beberapa


(31)

7

keunggulan jika dibandingkan dengan pati jagung atau kentang. Keunggulan tersebut antara lain kandungan pati lebih tinggi (± 90 % basis kering), kandungan protein dan mineral lebih rendah, temperatur gelatinisasi lebih rendah, dan kelarutan amilosa lebih tinggi. Sifat-sifat tersebut sangat penting untuk hidrolisis pati secara enzimatis (Widiasa 2005).

Pati pada dasarnya terdiri dari dua polimer yang terkait di berbagai proporsi

menurut sumbernya yaitu amilosa (16%-30%) dan amilopektin (65%-85%) (Prasad et

al. 2007). Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glikosidik,

sedangkan amilopektin mempunyai struktur bercabang dengan ikatan α

-(1,6)-D-glikosidik sebanyak 4%-6% dari bobot total.

Selulosa merupakan komponen terbesar (33-51%) dalam lignoselulosa yang berfungsi sebagai struktur dasar dinding sel tanaman (Holtzapple 1993). Komponen

ini terdiri dari unit monomer D-glukosa yang terikat melaui ikatan β-1,

4-D-glukopiranosa. Struktur kimia selulosa berupa polisakarida linear yang tersusun dari pengulangan unit β-1, 4-D-glukopiranosa dan berasosiasi dengan hemiselulosa (Hayn

et al. 1993.). Rumus molekul polisakarida adalah (C6H10O5)n dan n menyatakan

jumlah unit glukosa pembentuk rantai polimer atau derajat polimerisasi.

Selulosa dapat larut dalam asam pekat seperti H2SO4 72%. Asam tersebut

akan menghidrolisis selulosa menjadi glukosa. Peningkatan temperatur dan tekanan akan meningkatkan laju hidrolisis. Hidrolisis selulosa dapat dihambat oleh lignin dan hemiselulosa (Sjostrom 1994).

Hemiselulosa adalah polimer dari lignoselulosa. Di dalam lignocelulosa terdapat 19%-34% hemiselulosa (Ingram 1975). Polimer ini termasuk dalam kelompok polisakarida heterogen yang terbentuk melalui biosintetis yang berbeda dari selulosa. Komponen ini mudah terhidrolisis dengan asam menjadi komponen-komponen monomernya yang terdiri dari glukosa, manosa, galaktosa, xilosa, L-arabinosa, dan sejumlah kecil L-ramnosa disamping menjadi asam D-glukuronat, asam 4-0-metil-glukuronat dan asam D-galakturonat (Saha et al. 2005).

Lignin merupakan polimer alkohol aromatik yang terdapat di dalam lignoselulosa (20%-30%). Dalam beberapa penelitian lignin tidak memberikan


(32)

8

kontribusi dalam proses fermentasi, bahkan lebih berpotensi menjadi penghambat dalam proses tersebut (Antonius et al. 2006; Ingram 1975).

Pektin adalah komponen terkecil di dalam lignoselulosa (2%-20%). Pektin

tersusun atas α-(1,6)-D-glikosidik yang terhubung pada asam galakturonat. Asam

galakturonat sendiri bisa teresterifikasi dengan senyawa metil dan kelompok asetil. Pektin mengandung polisakarida bercabang seperti rhamnogalakturonan I, rhamnogalakturonan II dan xylogalakturonan (Antonius et al. 2006; Ingram 1975).

2.3 Etanol

Etanol merupakan senyawa yang sering digunakan dalam industri kimia antara lain sebagai pelarut (40%), untuk membuat asetaldehid (36%), eter, glikol eter,

etilasetat dan membuat kloral (CL3CCHO) (9%) (Lily et al. 2008). Etanol adalah

cairan yang bening, tidak berwarna dan memiliki bau yang khas. Etanol mengeluarkan bau yang agak manis ada pengenceran menjadi cairan encer, tetapi

mengeluarkan bau terbakar saat konsentrasinya ditambahkan. Etanol (CH3CH2OH)

termasuk dalam kelompok alkohol dengan gugus hidroxil (–OH ) yang berikatan dengan atom karbon dengan karakteristik tertentu (Tabel 3).

Tabel 2. Sifat fisika dan etanol

Besaran Nilai

Titik beku, oC -114,1

Titik didih normal, oC +78,32

Temperatur kritis, oC 243,1

Tekanan kritis, kPa 6383,48

Volume kritis, L/mol 0,167

Faktor kompresibilitas kritis, z 0,248

Densitas, pada 20 oC , g/ml 0,7893

Viskositas, pada 20 oC, mPa.s (=cP) 1,17

Kelarutan dalam air, pada 20 oC Larut

Panas penguapan, pada t.d normal, J/g 839,31

Panas pembakaran, pada 25 oC, J/g 29676,69

Panas pembentukan 104,6

Panas spesifik, pada 20oC, J/g.C.s Berat molekul

2,42 0,79 Sumber : Othmer (1969).

Etanol untuk minuman telah dibuat sejak zaman dahulu menggunakan fermentasi gula dan terus berlanjut sampai sekarang. Fermentasi menghasilkan


(33)

9

maksimal sekitar 14% etanol. Etanol dengan kadar lebih tinggi dapat dihasilkan dengan distilasi larutan. Komposisi larutan distilasi adalah 96% etanol dan 4% air. Etanol komersial mengandung 95% etanol dan 5% air. Etanol murni tidak dapat diperoleh dengan penyulingan, tetapi diperoleh dengan penambahan agen dehidrasi untuk menghilangkan sisa air. Etanol dapat bercampur dengan sebagian besar pelarut organik. Hal ini berguna sebagai dalam pembuatan parfum, cat, pernis, dan bahan peledak (Anshory 2004).

Bioetanol dapat dijadikan bahan bakar pengganti bensin, namun sampai saat ini penggunaannya di Indonesia masih sangat terbatas. Di Indonesia penggunaan bioetanol sebagai bahan bakarkendaraan bermotor masih dicampur dengan bensin. Pencampuran bioetanol absolut sebanyak 10 % dengan bensin (90%), sering disebut Gasohol E-10. Gasohol singkatan dari gasoline (bensin) dan alkohol (bioetanol). Etanol absolut memiliki angka oktan (ON) 117, sedangkan Premium hanya 87-88. Gasohol E-10 secara proporsional memiliki ON 92 atau setara Pertamax. Pada komposisi ini bioetanol dikenal sebagai octan enhancer (aditif) yang paling ramah

lingkungan dan di negara- negara maju telah menggeser penggunaan Tetra Ethyl

Lead (TEL) maupun Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE) (BPPT, 2005). Produksi

bioetanol dari tanaman dan penggunaannya pada mesin mobil akan menciptakan keseimbangan siklus karbondioksida, yang berarti akan mengurangi laju pemanasan global.

2.4 Proses Pembuatan Bioetanol

Produksi bioetanol dengan bahan baku pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air (Lily et al. 2008). Teknologi proses produksi bioetanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu hidrolisis, fermentasi, dan distilasi. Proses hidrolisis bergantung pada bahan baku yang digunakan, misalnya dari bahan bergula, bahan berpati atau bahan berserat. Sebelum dihidrolisis bahan baku harus dipersiapkan terlebih dahulu mulai dari pengupasan, pencucian sampai pengecilan ukuran. Adapun tujuan setiap teknologi persiapan atau pretreatment adalah untuk mengubah atau menghapus faktor struktural dan komposisi dalam biomassa tanaman yang menghambat hidrolisis


(34)

10

dinding sel polisakarida untuk menjadi monomer gula(Mosier et al. 2005). Hidrolisis asam digunakan untuk menghidrolisis hemiselulosa menjadi pentosa (xilosa dan arabinosa) dan heksosa (galaktosa, mannosa dan glukosa). Hidrolisis selulosa dan hemiselulosa (terutama xylan) menjadi gula dapat dikatalis oleh bermacam-macam asam termasuk asam sulfat, asam hidroksida, sam hidrokloroda, dan nitrat.

Tahap fermentasi merupakan tahap kedua dalam proses produksi bioetanol. Pada tahap ini, monomer gula seperti glukosa dan xilosa diubah menjadi etanol dengan bantuan mikroorganisme. Proses fermentasi menggunakan dua jenis khamir

yang berbeda untuk mengubah secara bersamaan xilosa dan glukosa disebut

co-fermentation antara lain dengan menggunakan S. cerevisiae dan Pichia stipitis

(Merida dan Figueroa 2009).

2.5 Hidrolisis Asam

Hidrolisis menggunakan asam telah dikembangkan di Jerman sejak awal abad 19. Asam yang paling banyak digunakan adalah jenis asam sulfat encer. Bahan ini digunakan karena murah. Selain asam sulfat sering juga digunakan asam oksalat dan asam asetat. Perlakuan asam sulfat encer dapat digunakan dengan baik untuk bahan-bahan hasil pertanian, seperti tongkol jagung dan jerami padi atau gandum. Asam dapat memecah hemiselulosa yang merupakan bahan yang bersifat rekalsitran (sulit

terurai) dalam hidrolisis. Hidrolisat asam dapat digunakan sebagai substrat utama

produksi bioetanol. Hal ini disebabkan karena hidrolisat asam mengandung glukosa. Glukosa dapat digunakan sebagai sumber energi dan sumber karbon untuk membentuk material penyusun sel baru (Voet dan Voet 2004). Hidrolisis asam dapat menggunakan berbagai macam katalis asam pada berbagai macam konsentrasinya.

Umumnya asam yang digunakan adalah H2SO4 atau HCl (Mussatto dan Roberto,

2004) dengan konsentrasi berkisar antara 2-5% (Iranmahboob et al. 2002; Sun dan

Cheng 2002) dan suhu reaksi ± 160oC. Asam sulfat encer (1% atau pH 1,5) dan suhu

180-190oC digunakan untuk menghidrolisis tongkol jagung skala pilot. Waktu


(35)

11

xylosa dihidrolisis menjadi monomernya, 15% xilan menjadi furfural dan 15% sisanya hilang selama hidrolisis (Zhu et al. 2004).

Gambar 1. Komposisi serat dalam batang barley dan senyawa inhibitor turunannya Sumber: Almeida et al.(2007)

Hidrolisis asam digunakan pada bahan-bahan yang berlignoselulosa karena lebih dapat memecah hemiselulosa dan selulosa menjadi bahan bergula. Metode ini memiliki kelemahan yaitu membentuk furfural dan senyawa inhibitor lainnya yang dapat menghambat porses fermentasi (Taherzadeh dan Karimi 2007). Komponen toksik yang teridentifikasi berjumlah lebih dari tiga puluh lima senyawa. Komponen ini terbagi atas tiga kelompok utama (Gambar 1) yaitu kelompok asam-asam organik (asam asetat, format dan levulinat), turunan furan (furfural dan 5-hidroksimetilfurfural), dan komponen-komponen fenolik (Luo et al. 2002).

2.6 Fermentasi

Proses fermentasi adalah proses pembebasan energi tanpa adanya oksigen, nama lainnya adalah respirasi anaerob. Dari hasil akhirnya, fermentasi dibedakan menjadi

fermentasi asam laktatdan fermentasi alkohol. Pada beberapa mikroba pembebasan

energi dapat terjadi karena asam piruvat diubah menjadi asam asetat dan CO2

mannosa abu

(0-2%)

selulosa (33-51%)

hemiselulosa (19-341%)

lignin (21-32%) zat extraktif

lain (1-5%)

glukosa

HMF asam levulinat

asam format

furan asam lemah

galaktosa rhamnosa

xilosa arabinosa furfural

asam asetat fenol


(36)

12

selanjutanya asam asetat diubah menjadi alkohol. Dalam fermentasi alkohol, 1 molekul glukosa hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP. Jumlah ATP yang dihasilkan lebih kecil dari respirasi aerob. Pada respirasi aerob 1 molekul glukosa mampu menghasilkan 38 molekul ATP. Reaksi biokimia fermentasi bervariasi tergantung jenis gula yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Tahap akhir dari

fermentasi adalah konversi piruvat ke produk fermentasi akhir. Tahap ini tidak

menghasilkan energi tetapi sangat penting bagi sel anaerobik karena tahap ini

meregenerasi nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+), yang diperlukan untuk

glikolisis.

Reaksinya :

1. Gula (C6H12O6) ————> asam piruvat (glikolisis) + ATP

2. Dekarboksilasi asam piruvat.

Asam piruvat————————————————————>asetaldehid + CO2.

piruvat dekarboksilase (CH3CHO)

3. Asetaldehid oleh alkohol dihidrogenase diubah menjadi etanol. 2 CH3CHO + 2 NADH2 ————————> 2 C2H5OH + 2 NAD. alcohol dehidrogenase enzim

Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula paling sederhana,

melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini

dilakukan oleh khamir seperti S. cerevisiae, yang bersifat fakultatif anaerobik. Pada kondisi aerobik oksigen digunakan sebagai akseptor elektron terakhir pada jalur reaksi bioenergetik. Pemanfaatan oksigen pada keadaan ini menghasilkan penambahan biomassa sel dengan persamaan reaksi sebagai berikut:

Biomassa sel + C6H12O6 Æ CO2 + H2O + biomassa sel

Pada kondisi anaerobik di jalur reaksi bioenergetik, S cerevisiae menggunakan senyawa organik sebagai akseptor elektron terakhir. Glukosa digunakan sebagai substrat dengan hasil akhir berupa alkohol, CO2, aldehid dan asam organik. Reaksi

yang berlangsung dalam keadaan anaerobik tersebut adalah sebagai berikut: C6H12O6 Æ 2 C2H5OH + 2 CO2 + produk samping


(37)

13

Proses pertumbuhan mikroba sangat dinamik dan kinetikanya dapat digunakan untuk meramal produksi biomassa dalam suatu proses fermentasi. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan perilaku mikroba dapat digolongan dalam faktor intraseluler dan faktor ekstraselular. Faktor intraselular meliputi struktur, mekanisme, metabolisme, dan genetika. Sedangkan faktor ekstraselular meliputi kondisi lingkungan seperti pH, suhu, tekanan (Hidayat et al .2006).

Proses pertumbuhan mikroba merupakan proses yang memiliki batas tertentu. Pada saat tertentu, setelah melewati tahap minimum, mikroba akan mengalami fase kematian. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan berhentinya pertumbuhan mikroba antara lain:

1. Penyusutan konsentrasi nutrisi yang dibutuhkan dalam pertumbuhan

mikroba karena habis terkonsumsi.

2. Produk akhir metabolisme yang menghambat pertumbuhan mikroba karena terjadinya inhibisi dan represi.

Pertumbuhan kultur mikroba umumnya dapat digambarkan dalam suatu kurva pertumbuhan. Pertumbuhan mikroba dapat terbagi dalam beberapa tahap yaitu:

1. Fase adaptasi atau fase lag. Pada fase ini mikroba menyesuaikan diri dengan lingkungan dan medium baru. Mikroba berusaha merombak materi-materi dalam medium agar dapat digunakan sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya. Bila dalam medium ada komponen yang tidak dikenal, mikroba akan memproduksi enzim ekstraselular untuk merombak komponen tersebut. Pada fase ini juga berlangsung seleksi. Hanya mikroba yang dapat mencerna nutrisi yang dapat bertahan hidup. Fase lag bisa berlangsung lebih lama pada media yang mengandung inhibitor.

2. Fase log atau pertumbuhan dipercepat adalah fase pertumbuh dan

perkembangbiakkan mikroba dimana jumlahnya meningkat dengan cepat. Pada fase ini mikroba sudah dapat menggunakan nutrisi dalam medium fermentasinya. 3. Fase stationer adalah fase dimana laju pertumbuhan tetap yaitu pada laju

pertumbuhan maksimum (µmaks), Namun jumlah mikroba yang mati juga bertambah. Kematian ini diakibatkan oleh berkurangnya nutrien dan akumulasi senyawa toksik.


(38)

14

4. Fase kematian atau fase menurun adalah fase terhentinya pertumbuhan disertai meningkat jumlah mikroba yang. Pada proses fermentasi secara komersil etanol

dipanen sebelum memasuki fase ini. (Crueger dan Crueger 1984; Hidayat et al.

2006).

Gambar 2. Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae

2.7 Saccharomyces cerevisiae

S. cerevisiae (Saccharomycetes) adalah salah satu jenis khamir yang termasuk

dalam kingdom fungi dengan karakteristik dinding sel banyak mengandung kitin dan manan (Moore 2001). Khamir bereproduksi dengan membentuk sel baru secara serial. Pertumbuhannya disetarakan dengan pertumbuhan tunas yang mencapai ukuran sel dewasa pada saat memisahkan diri dari sel induk. Siklus selnya biasanya terdiri dari tahapan berikut G1, S, G2 dan M yang merupakan tahap mitosis (Moore 2001). Waktu generasinya pendek yaitu 1,5-2 jam dan dapat dengan mudah dikulturkan. Khamir hidup di alam dalam keadaan terbatas pada habitat yang dapat ditempatinya (Moore 2001). Hidup optimum pada pH 4,0-4,5, pada suhu 30°C dan akan mati jika terkena radiasi ultraviolet sebesar 3 sampai 4 mW detik x 103 (Hidayat et al. 2006).

S. cerevisiae merupakan khamir yang paling banyak digunakan dalam

fermentasi, dan merupakan mikroorganisme yang sangat dikenal oleh masyarakat

luas sebagai khamir roti (baker’s yeast). Khamir roti ini digunakan dalam pembuatan


(39)

15

makanan, minuman dan juga dalam industri etanol (Russel et al. 1991). Khamir ini

digunakan dalam proses fermentasi alkohol karena mampu memproduksi etanol dalam jumlah yang besar, toleran terhadap etanol yang cukup tinggi 12-18% (v/v), toleran terhadap kadar gula tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-23oC (Harrisson dan Graham 1970).

Bahan baku dan perlakuan yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan produksi etanol yang dihasilkan. Fermentasi Jerusalem artichoke menggunakan kultur tunggal S. cerevisiae menghasilkan etanol sebanyak 0,45 g/g, rendemen sebesar 88,1 g/l, hasil dan produktivitas etanol sebanyak 1,84 g/l (Pakhvirun et al. 2007).

Semua galur S. cerevisiae dapat tumbuh aerobik pada glukosa, maltosa, dan

trehalosa namun tidak dapat tumbuh pada laktosa dan selobiosa. Pertumbuhannya pada gula lain dapat berubah-ubah. Dua jenis gula yang paling baik untuk difermentasikan adalah glukosa dan fruktosa (Martini dan Martini 2001).

Fermentasi substrat terhambat apabila di dalam substrat tersebut terdapat inhibitor berupa furfural, 5-hidroksimetil furfural (HMF) dan asam asetat (Nevoight

2008). Jika dibandingkan dengan mikroorganisme yang lain seperti Zymomonas,

Pichia stipitis dan Escherichia coli, species ini lebih toleran terhadap inhibitor (asam

asetat, furfural dan HMF) (Olsson dan Hahn-hagerdal 1996).

Laju fermentasi pada hidrolisat asam oleh S. cerevisiae lebih lambat daripada laju fermentasi pada hidrolisat enzim. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh adanya senyawa inhibitor. Sanches dan Baustista (1988) menyatakan bahwa waktu atau fase lag bisa berlangsung lebih lama dengan adanya konsentrasi HMF sebesar 2 g/L. Selain HMF, furfural dengan konsentrasi 4 g/l dapat menurunkan laju pembentukan

CO2 sekitar 35% pada. HMF dan furfural dapat menghambat laju pertumbuhan

spesifik dan laju produksi etanol baik pada kondisi aerob maupun anerob pada sistem

kultivasi dan fermentasi S. cerevisiae secara curah (Taherzadeh et al. 1999).

Beberapa penelitian mencoba mengatasi hal tersebut antara lain dengan cara seleksi dan adaptasi galur yang tahan terhadap senyawa inhibitor.

2.8Pengaruh Furfural dan HMF Terhadap S. cerevisiae

Furfural dan HMF dalam konsentrasi tinggi dapat menghambat pertumbuhan sel, produksi etanol, dan aktivitas biokimia enzim (Palmqvist et al. 1999). Furfural


(40)

16

dapat menghambat aktivitas enzim glikolitik seperti piruvat dehidrogenase (PDH), fosfat dehidrogenase, alkohol dehidrogenase (ADH), dan aldehid dehidrogenase (AlDH) (Modig et al. 2002). Pada keadaan anaerobik S. cerevisiae dapat mereduksi furan menjadi kelompok alkohol fungsional seperti mereduksi furfural menjadi furfuril alkohol dan HMF menjadi HMF alkohol (Gambar 3).

Gambar 3. Perubahan HMF menjadi HMF alkohol

Gambar 4. Skema jalur metabolisme S. cerevisiae dan kemungkinannya berinteraksi

dengan furfural (Modig et al.2002)

S. cerevisiae menggunakan nicotinamida adenin dinukleotida

(NADH)-dependent sebagai kofaktor dalam mereduksi furfural dan nikotinamida adenin denukleoitida fosfat (NADPH) sebagai kofaktor dalam mereduksi HMF (Diaz de Villegas et al. 1992; Palmqvist et al. 1999; Wahlbom dan Hann-Hageral 2002). ADH memiliki fungsi ganda yaitu mereduksi furfural dan mereduksi asetaldehide menjadi etanol. Begitu juga dengan AlDH, enzim ini dapat mereduksi furfural menjadi asam


(41)

17

furoat namun juga berfungsi mereduksi asetaldehid menjadi asam asetat. Adanya fungsi ganda ADH dan AlDH menyebabkan kompetisi penggunaan enzim antara dua substrat (Gambar 4) (Modig et al. 2002).

Kompetisi tidak hanya pada penggunaan enzim saja tetapi juga penggunaan kofaktor (Palmqvist et al. 1999). Konsekuensi dari kompetisi tersebut adalah kofaktor NADH dan NADPH bebas harus tersedia untuk mendetoksifikasi inhibitor tersebut. Oleh karena itu, keteraturan jalur oksidasi dan reduksi menjadi sangat penting untuk toleransi furfural (Gorsich et al. 2006). Reaksi-reaksi tersebut dapat dijelaskan dalam persamaan berikut :

asetaldehid + NADH +H+ ⎯⎯ →ADH⎯ etanol + NAD+ (1)

furfural + NADH +H+ ⎯⎯ →ADH⎯ furfuril alkohol + NAD+ (2) asetaldehid + NAD+ ⎯⎯ →AlDH⎯ asam asetat + NADH + H+ (3)

furfural + NAD+ ⎯⎯ →AlDH⎯ asam furoat + NADH +H+ (4)

2.9SeleksiGalurS. cerevisiae

Inhibitor menyebabkan berkurangnya produktivitas S. cerevisiae. Seleksi

galur adalah cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, selain detoksifikasi terhadap hidrolisat asam (Martin dan Jonsson 2003). Seleksi galur berdasarkan perbedaan toleransi tiap galur terhadap inhibitor sehingga berpotensi menghasilkan konsentrasi etanol yang tinggi. Seleksi ini sangat penting untuk optimalisasi proses produksi (Brandberg et al. 2004).

Beberapa galur S. cerevisiae dianggap memiliki kemampuan toleransi

terhadap inhibitor sehingga Martin dan Johnsson (2003) menyeleksi sepuluh galur S.

cerevisiae yang salah satunya adalah ragi roti dan dua strain Zygosaccharomyces.

Fermentasi dilakukan pada medium sintetik dengan menambahkan campuran inhibitor yang mengandung 3,5g/l asam format, 4,5g/l asam asetat 2,9g/l furfural, 3,8g/l HMF, 0,15 g/l asam sinamat dan 0,18 g/l koniferyl aldehid. Pada fermentasi didapat bahwa ragi roti pada keadaan tanpa inhibitor sampai level inhibitor 50% menghasilkan etanol yang paling tinggi baik setelah 12 jam dan 24 jam fermentasi. Etanol yang dihasilkan sebesar 0,42 g/g dan 0,106 g/g. Artinya bahwa kemampuan ragi roti dalam menghasilkan etanol dapat diandalkan bila dibandingkan dengan galur lain yang telah direkayasa. Penelitian lain juga dilakukan oleh Brandberg et al (2004)


(42)

18

dengan menyeleksi sembilan galur S. cerevisiae. Seleksi dilakukan melalui proses

fermentasi hidrolisat asam potongan kayu yang mengandung senyawa inhibitor berupa furfural sebanyak 0,61 g/l, HMF sebanyak 2,3 g/l, dan asetat 2,8 g/l. Proses fermentasi lakukan secara curah dan semi curah. Dari penelitian tersebut didapat satu strain yang paling tolerant yaitu S. cerevisiae ATCC 96581.

2.10AdaptasiS. cerevisiae

Metode adaptasi merupakan metode yang paling murah dan mudah untuk meningkatkan kinerja S. cerevisiae pada saat fermentasi dibandingkan metode fisika, kimia dan biologis yang lain (Silva dan Roberto, 2001). Peningkatan toleransi

dikaitkan dengan peningkatan kemampuan NADH- dan NADPH menkonversi

furfural dan HMF ke masing-masing bentuk alkoholnya. Studi-studi terdahulu telah meningkatan potensi detoksifikasi in situ dan menunjukkan bahwa aktivitas reduktase tinggi dapat menjadi dasar bagi toleransi (Tabel 3).

Tabel 3. Perbandingan hasil dan produktivitas dari galur S. cerevisiae yang terdaptasi terhadap galur tidak teradatasi

No Parameter Non adaptasi Teradaptasi

1 Hasil (g/g) 0,18 0,38

2 Produktivitas (g/g.h-1) 1,15 2,55

Sumber : Martin et al. 2007

Galur yang adaptif biasanya mengkonsumsi glukosa sebanyak 2,0 g per gram biomassa pada 8 jam pertama. Etanol yang terbentuk adalah 0,1 g/g per jam selama periode fermentasi (Brandberg et al. 2004). Martin et al. (2007) mengadaptasi S.

cerevisiae yang telah direkayasa dengan penambahan gen dari Pichia stipitis pada

media yang mengandung inhibitor konsentrasi tinggi secara bertahap selama 353 jam menggunakan bahan baku bagas. Hasilnya menunjukkan 74% furfural dan 40% HMF dapat dikonversi menjadi furfuril alkohol dan HMF alkohol oleh galur yang teradaptasi. Galur yang tidak teradaptasi hanya mengkonversi furfural sebanyak 22% dan HMF sebanyak 20%. Etanol yang didapat dari galur teradaptasi lebih tinggi dari non adaptasi sebesar 47,37% (Tabel 3). Hal tersebut diduga karena adaptasi telah

meningkatkan kemampuan S. cerevisiae dalam mentoleransi dan mengubah seyawa


(43)

3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei 2010 sampai Februari 2011, bertempat di laboratorium Bioindustri Teknologi Industri Pertanian IPB dan laboratorium SBRC IPB Bogor.

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi kayu, S.

cerevisiae berupa ragi curah dari pasar bogor, ragi kering Fermipan™, kultur koleksi

PAU (ATCC 9763) dan IPB Culture Colection (IPBCC 05.548), pupuk NPK, H2SO4

pekat teknis, NH4OH 21%, media Yeast Malt Glukose Pepton (YMGP)

3.2.2 Alat

Peralatan utama yang digunakan di dalam penelitian ini antara lain peralatan gelas, neraca analitik, shaker, hemasitometer, autoklaf, pH universal, brix meter, HPLC, Spektrofotometer UV-Vis, GC, Densitometer, seperangkat alat inokulasi khamir dan seperangkat alat produksi bioetanol skala laboratorium.

3.3 Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian adalah: 1) persiapan bahan baku, 2) karakterisasi ubi kayu dan hidrolisat, 3) seleksi, 4) adaptasi S. cerevisiae dan 4) produksi etanol (Lampiran 2).

3.3.1 Persiapan Bahan Baku

Bahan baku yang masih segar dipisahkan kulit ari dengan daging umbinya. Setelah kulit ari bersih daging umbi dicuci untuk membuang kotoran yang masih menempel. Selanjutnya ubi kayu diparut sehingga menjadi bubur ubi kayu.

3.3.2 Karakterisasi Ubi Kayu

Sifat kimia bubur ubi kyu selanjutnya dianalisa dengan analisa proximat (Lampiran 3). Parameter yang diukur antara lain komponen air, abu, lemak protein,


(44)

20

(1995), sedangkan pati dan komponen serat diukur menurut metode Van Soetst (1963).

3.3.3 Hidrolisis Asam dan Karakterisasi Hidrolisat

Hidrolisis dalam penelitian ini dilakukan satu tahap menggunakan autoklaf sederhana. Padatan yang digunakan pada saat hidrolisis adalah 18% dengan konsentasi H2SO4 1M (Lampiran 4). Campuran ubi kayu, H2SO4 dan air dihidrolisis

selama 15 menit dengan suhu 121oC. Setelah dihidrolisis, hidrolisat ditambahkan

NH4OH teknis 21% untuk menaikkan pH hidrolisat menjadi 4-5. Karakterisasi

hidrolisat dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik hidrolisat dengan

analisis gula total dengan metode fenol H2SO4, analisis gula pereduksi dengan

metode DNS, furfural dan HMF dengan metode HPLC (Lampiran 3).

1.3.4Seleksi

1.3.4.1Persiapan Inokulum

Perlakuan pendahuluan untuk kelompok ragi kering seperti ragi curah dan

Merk ”F” berbeda dengan S. cerevisiae yang berbentuk biakan segar. Adapun

perlakuan untuk biakan segar adalah sebagai berikut :

Sebanyak 1 ose biakan segar dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer yang berisi 5 ml media YMGP yang telah disterilisasi pada suhu 121oC dan tekanan 1 atm selama 15 menit. yang terdiri dari 5g/l ekstrak khamir, 5g/l malt, 40g/l glukosa, 5g/l

pepton dan 1L aquadest, Inkubasi dilakukan pada suhu 30oC selama 48 jam dan di

shaker (Arnata 2009). Setelah dibiakkan jumlah populasi akan dihitung dengan metode hitung langsung menggunakan hemasitometer. Isolat ragi kering dihitung

tanpa proses penyegaran, namun hanya dilakukan pengenceran serial saja sampai 10

-3

. Kuantitas S. cerevisiae (Lampiran 5) yang dimasukkan ke dalam hidrolisat harus seragam untuk menciptakan lingkungan yang homogen.

1.3.4.2Seleksi Toleransi Galur S. cerevisiae terhadap Hidrolisat Asam

Tujuan penelitian ini adalah untuk menyeleksi beberapa galur S. cerevisiae, yang paling toleran terhadap hidrolisat asam ubi kayu. Sebelum digunakan, hidrolisat disaring dengan kertas saring dan pompa vakum sehingga terpisah padatan dan cairannya. Cairan tersebut digunakan untuk media fermentasi (Martin et al. 2007).


(45)

21

Selanjutnya kedalam hidrolisat ditambahkan masing-masing satu galur S. cerevisiae

dengan populasi yang sama. S. cerevisiae kering galur ”F” dijadikan acuan jumlah

galur yang lainnya. Starter 0,23% gula awal dan NPK 0,06% gula awal (Arnata 2009) ditambahkan ke dalam hidrolisat. Campuran hidrolisat diinkubasi di dalam labu

erlenmeyer 250 ml menggunakan orbital shaker 128 rpm selama 24 jam pertama.

Labu erlenmeyer ditutup dengan sumbat karet dan labu leher angsa secara aseptis. Total waktu inkubasi selama 72 jam. Pengamatan dilakukan setiap 12 jam terhadap total gula, gula pereduksi, dan etanol yang terbentuk pada akhir fermentasi (Lampiran 6).

Parameter yang diukur dan dihitung sebagai indikator kinerja proses seleksi toleransi galur S. cerevisiae terhadap hidrolisat asam adalah :

1. Substrat awal berupa gula total (So) 2. Sisa substrat setiap 12 jam

3. Kadar etanol sebagai produk (P)

4. % Efisiensi pemakaian substrat ((S0-S)/S0) 5. % Efisiensi fermentasi (P/P teoritis)

6. % Rendemen etanol (Yp/s)

Galur yang toleran adalah galur yang menunjukkan efisiensi pemanfaatan substrat, efisiensi fermentasi dan rendemen etanol (Lampiran 6) tertinggi. Galur yang paling toleran digunakan untuk penelitian selanjutnya.

1.3.4.3Seleksi Total Gula Awal dan Dosis Starter Terbaik

Pada penetuan ini fermentasi hidrolisat asam ditetapkan kadar gula dan dosis starter minimum yang paling efektif bagi galur terpilih. Keadaan fermentasi sama seperti seleksi toleransi galur, namun jumlah gula yang dimasukkan adalah 15%, 18%, 20% dan 24%. Dosis starter yang dimasukkan adalah 1x, 2x dan 3x (0,23% gula awal). Pengamatan yang dilakukan adalah jumlah total gula pada awal dan akhir fermentasi, serta etanol yang terbentuk pada akhir fermentasi.

Parameter yang diukur dan dihitung sebagai indikator kinerja proses seleksi total gula awal dan dosis starter terbaik adalah :


(46)

22

2. Sisa substrat pada akhir fermentasi 3. Kadar etanol sebagai produk (P)

4. % Efisiensi pemakaian substrat ((S0-S)/S0) 5. % Efisiensi permentasi (P/P teoritis)

6. % Rendemen etanol terhadap total gula (Yp/s)

Kadar gula dan dosis starter yang menghasilkan etanol terbanyak akan digunakan pada proses selanjutnya.

1.3.5Adaptasi S. cerevisiae terhadap Hidrolisat Asam

Prosedur adaptasi menggunakan metode batch. Dosis starter terpilih

dimasukkan ke dalam 250 ml labu erlenmeyer yang berisi 100% hidrolisat (kultur sel 1). Setaah 72 jam, starter sejumlah dosis terpilih dikeluarkan dengan pipet kemudian dimasukkan kembali ke kultur sel 2. Penambahan starter ke dalam hidrolisat baru diulang 9x. Pengamatan jumlah biomassa, kadar etanol, total gula, gula pereduksi, HMF dan furfural (Lampiran 3). Pengamatan dilakukan setiap 72 jam.

Parameter yang diukur dan dihitung sebagai indikator kinerja proses adaptasi

S. cerevisiae terhadap hidrolisat asam adalah :

1. Konsumsi gula total (S0-S)

2. Kadar etanol sebagai produk (P)

3. Laju pertumbuhan spesifif (µ= bobot biomassa/72 jam) 4. % Penurunan HMF ((H0-H)/H0)

5. % Penurunan Furfural ((F0-F)/F0)

6. % Efisiensi pemakaian substrat ((S0-S)/S0)

7. % Efisiensi fermentasi (P/P teoritis)

8. % Rendemen etanol terhadap total gula(Yp/s)

10 % Rendemen bobot biomassa terhadap total gula (Yx/s)

Kondisi adaptasi dengan µ dan etanol tertinggi akan digunakan untuk proses selanjutnya.


(47)

23

3.3.5 Produksi Bioetanol

Proses ini merupakan proses verifikasi terhadap galur yang adaptif. Proses ini dilakukan dengan membandingkan kemampuan galur yang telah adaptif dengan kontrol yaitu strain yang tidak adaptif dalam menghasilkan etanol. Isolat yang adaptif dan kontrol di masukkan ke dalam 300 ml hidrolisat asam untuk proses fermentasi selama 96 jam pada suhu ruang dan agitasi 128 rpm untuk 24 jam pertama.

Parameter yang diukur dan dihitung sebagai indikator kinerja proses produksi etanol adalah :

1. Konsumsi gula total (S0-S)

2. Kadar etanol sebagai produk (P) 3. ∆ biomassa (x0-x)

4. % Efisiensi pemakaian substrat ((S0-S)/S0)

5. % Efisiensi fermentasi (P/P teoritis)

6. % Rendemen etanol terhadap total gula(Yp/s)

7. % Rendemen bobot biomassa terhadap total gula (Yx/s)

3.4. Teknik Analisis Data

3.4.1 Seleksi Toleransi Galur S. cerevisiae terhadap Hidrolisat

Untuk mengetahui pengaruh hidrolisat asam terhadap kinerja S. cerevisiae

dilakukan uji F dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal. Faktor yang mempengaruhi adalah 4 sumber galur yaitu ragi curah (s1), merk ”F” (s2), koleksi PAU (s3) dan koleksi IPBCC(s4). Percobaan diulang 2x. Apabila ada salah satu perlakukan berpengaruh nyata maka analisis dilanjutkan dengan uji Duncan (Gomez dan Gomez 1995). Parameter yang diuji adalah jumlal gula total yang digunakan, gula reduksi yang digunakan, etanol yang terbentuk, efisiensi fermentasi, efisiensi substrat dan rendemen etanol.

Persamaan model rancangannya sebagai berikut : Yij = µ+ si + ε(ij)

Yij = variabel respon karena pengaruh taraf ke i faktor S,

pengamatan/unit perlakuan ke n

µ = pengaruh rata-rata yang sebenarnya (nilai konstan)


(48)

24

ε(ij) = pengaruh sebenarnya unit eksperimen ke i disebabkan oleh

kombinasi perlakuan (ij).

i = taraf galur (1, 2, 3 dan 4)

j = taraf ulangan (1dan 2)

3.4.1 Seleksi Total Gula Awal dan Dosis Starter Terbaik

Untuk mengetahui pengaruh Jumlah gula dan dosis starter terhadap proses fermentasi dilakukan uji F dengan RAL dua faktor. Faktor yang mempengaruhi adalah gula awal sebanyak empat taraf yaitu 15% (g1), 18% (g2), 20%(g3) dan 24%(g4). Percobaan diulang sebanyak 2x. Faktor kedua adalah dosis agen fermentasi sebanyak tiga taraf yaitu 1kali (d1), 2 kali (d2) dan 3 kali (d3). Apabila ada salah satu perlakukan atau interaksinya berpengaruh nyata maka analisis dilanjutkan dengan uji Duncan (Gomez dan Gomez 1995). Parameter yang diuji adalah adalah jumlal gula total yang digunakan etanol yang terbentuk, efisiensi fermentasi, efisiensi substrat, dan rendemen etanol.

Persamaan model rancangannya sebagai berikut : Yikj = µ+ gi + di + (gd) ij + ε(ijk)

Yijk = variabel respon karena pengaruh taraf ke-i faktor g dan taraf ke-J

faktor d

µ = pengaruh rata-rata yang sebenarnya (nilai konstan) gi = pengaruh sebenarnya dari taraf ke i faktor g

dj = pengaruh sebenarnya dari taraf ke J faktor d

ε(ijk) = pengaruh sebenarnya unit eksperimen ke-ki disebabkan oleh

kombinasi perlakuan (ij). i = taraf jumlah gula (1, 2, 3 dan 4) j = taraf dosis agen fermentasi (1, 2 dan3) k = taraf ulangan (1 dan 2)

3.4.2 Adaptasi S. cerevisiae terhadap Hidrolisat Asam

Untuk mengetahui pengaruh hidrolisat asam terhadap kinerja S. cerevisiae

dilakukan uji F dengan RAL faktor tunggal. Faktor yang mempengaruhi adalah siklus adaptasi yaitu 1x – 9x (t1-t9). Percobaan diulang sebanyak 2x. Apabila ada salah satu perlakukan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Gomez dan Gomez 1995). Parameter yang diuji adalah perubahan total gula, perubahan gula


(49)

25

reduksi, etanol yang terbentuk, jumlah biomassa, efisiensi fermentasi, efisiensi penggunaan substrat, rendemen etanol dan rendemen bobot biomassa (Lampiran 6).

Persamaan model rancangannya sebagai berikut : Yij = µ+ ti + ε(ij)

Yij = variabel respon karena pengaruh taraf ke i faktor t,

pengamatan/unit perlakuan ke n

µ = pengaruh rata-rata yang sebenarnya (nilai konstan)

ti = pengaruh sebenarnya dari taraf ke i faktor t

ε(ij) = pengaruh sebenarnya unit eksperimen ke i disebabkan oleh

kombinasi perlakuan (ijkl).

i = taraf waktu (1, 2, dan 3)

j = taraf ulangan (1 dan 2)

3.4.3 Produksi Etanol

Untuk mengetahui pengaruh kondisi S. cerevisiae yang telah diadaptasi

terhadap proses fermentasi, maka dilakukan uji F dengan RAL faktor tunggal. Faktor

yang mempengaruhi adalah kondisi S. cerevisiae sebanyak 2 taraf yaitu Kondisi

teradaptasi (A) dan tanpa Adapatasi (NA). Diulang sebanyak 2x. Apabila ada salah satu perlakukan berpengaruh nyata maka analisis dilanjutkan dengan uji Duncan (Gomez dan Gomez 1995). Parameter yang diuji adalah perubahan gula total, etanol yang terbentuk, biomassa, jumlah sel, efisiensi fermentasi, efisiensi substrat, rendemen etanol dan rendemen bobot biomassa (Lampiran 6).

Persamaan model rancangannya sebagai berikut : Yij = µ+ ai + ε(ij)

Yij = variabel respon karena pengaruh taraf ke i faktor a,

pengamatan/unit perlakuan ke n

µ = pengaruh rata-rata yang sebenarnya (nilai konstan)

ai = pengaruh sebenarnya dari taraf ke i faktor a

ε(ij) = pengaruh sebenarnya unit eksperimen ke i disebabkan oleh

kombinasi perlakuan (ij). i = taraf kondisi S. cerevisiae (1,2)


(50)

(51)

(52)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Ubi Kayu

Ubi kayu yang dipergunakan dalam penelitian ini mempunyai ciri-ciri fisik antara lain umbinya berbentuk silinder memanjang, kulit berwarna coklat tua dengan daging umbi berwarna putih. Bubur ubi kayu mengandung banyak air dan pati dengan sedikit lemak, protein dan serat (Tabel 4).

Tabel. 4 Komposisi kimia ubi kayu segar Komposisi Parameter (%bb) (%bk) Air Abu Lemak Protein

Pati (karbohidrat by difference) Serat Kasar Selulosa Hemiselulosa Lignin 66,74 0,67 0,36 1,05 30,42 0,77 0,94 3,11 0,18 2,52 1,33 3,94 89,35 2,87 3,51 11,67 0,67 Keterangan : bb = berat basah, bk = berat kering

Hasil analisis menunjukkan kadar air ubi kayu segar adalah 66,74%. Hasil tersebut lebih tinggi dari yang didapatkan Susmiati (2010) yaitu sebesar 57% dan dari

Pandanou et al. (2005) sebesar 60,30%. Menurut Priadi (2009), beberapa jenis ubi

kayu di Indonesia memiliki kandungan air sebesar 58% sampai 66%. Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi perbedaan jenis ubi kayu, daerah penanaman dan waktu panen (Hartadi et al.1986).

Pengukuran kadar air penting dilakukan karena hasil pengukuran akan digunakan dalam perhitungan pengenceran asam dan kadar padatan dalam proses hidrolisis. Kadar air pada ubi kayu diharapkan dapat mengurangi penggunaan air. Selain menghemat air juga menghemat biaya untuk proses pengeringan, namun ubi kayu segar memiliki keterbatasan yaitu tidak dapat disimpan terlalu lama.

Kadar abu dalam bahan menggambarkan kandungan mineral-mineral

anorganik sisa pembakaran bahan organik pada suhu 550oC (Apriyantono et al.


(53)

2,52% pada bobot kering. Hasil yang didapat tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan Arnata (2009) yaitu sebesar 2,55% pada bobot keringnya.

Kadar lemak dan protein bahan berturut-turut 1,33% (bk) dan 3,94% (bk) Kadar Lemak lebih rendah dari yang dilaporkan Arnata (2009) yaitu sebesar 6,54% (bk) sedangkan kadar proteinnya lebih tinggi dari yang dilaporkan Arnata (2009) yaitu sebesar 1,81% (bk)

Polisakarida yang penting dalam ubi kayu adalah pati dan serat. Monomer keduanya digunakan oleh agen fermentasi sebagai sumber energi untuk mensintesis ATP dalam proses fermentasi. Pati merupakan bagian terpenting yang dapat digunakan menjadi bahan dasar pembuatan etanol. Pati akan terhidrolisis menjadi monomer glukosa dan manosa. Pada hidrolisis asam, glukosa dapat terdegradasi lebih lanjut manjadi HMF yang dapat mengambat pembentukan etanol pada proses fermentasi (Gambar 1). Kadar pati yang didapat pada penelitian ini adalah sebesar 30,42% (bb) dan 89,35% (bk) (Tabel 2). Hasil tersebut lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Tokuari (2004) sebesar 24% (bb) dan Arnata (2009) sebesar 62,54% (bk).

Kadar serat kasar yang didapat dalam penelitian ini adalah sebesar 0,77%. Kadar serat yang kecil berpengaruh terhadap proses hidrolisis. Serat lebih sulit terdegradasi dibanding pati karena mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin. Subagio (2006) melaporkan serat ubi kayu adalah sebesar 0,60% sedangkan pada keadaan kering serat yang didapat adalah sebesar 2,87%. Keadaan ini lebih besar dari yang dilaporkan Arnata (2009) yaitu sebesar 2,69%

Kadar selulosa, hemiselulosa dan lignin dianalisa dengan menentukan nilai

Acid Detergent Fiber (ADF) dan Neutral Detergen Fiber (NDF) (Van Soetst 1963).

Pada penelitian ini komponen yang terbesar dari ubi kayu adalah hemiselulosa sebesar 11,67% diikuti selulosa sebesar 3,15% dan lignin 0,67%. Kadar hemiselulosa yang tinggi berpotensi menjadi monomer gula yang tinggi pula. Namun, hemiselulosa juga berpotensi terdegradasi menjadi menjadi senyawa penghambat berupa furfural dan HMF (Almeida 2007).


(54)

4.2 Karakterisasi Hidrolisat Asam

Hidrolisat asam yang dihasilkan dari proses hidrolisis ubi kayu dalam penelitian ini berwarna merah kecoklatan dengan nilai pH 1-2. Hidrolisis dilakukan dengan tujuan untuk memecah pati, selulosa dan hemiselulosa menjadi gula-gula sederhana yang dapat digunakan oleh S. cerevisiae dalam proses fermentasi.

Tabel 5. Komposisi kimia hidrolisat asam ubi kayu setelah netralisasi

Parameter Komposisi HA Komposisi HA yang

diinginkan (g/l) Total Gula

Gula Pereduksi Dextose equivalen Glukosa

HMF Furfural

235,15 (g/l) 215,91 (g/l)

91,85 128,51 (g/l)

3,55 (g/l) 0,72 (g/l)

100 – 180 a < 300 b

< 1,00 c < 1,5d

Keterangan : Frazier dan Weshoff (1978)a, Mangunwidjaja dan Suryani (1994) b, Alves et al. (1998) c, Nigam (2001) d

Susmiati (2009) telah menghidrolisis tepung ubi kayu dengan H2SO4 dan

melaporkan bahwa hidrolisis satu tahap dengan kadar padatan 30% dan konsentrasi

H2SO41 M selama 10 menit pada suhu 121oC. menghasilkan gula tertinggi. Pada

proses hidrolisis konsentrasi asam dan suhu reaksi merupakan variabel penting yang

dapat mempengaruhi terbentuknya senyawa-senyawa ini. Suhu moderat (<160oC)

diperlukan untuk dapat menghidrolisis hemiselulosa dan menekan dekomposisi gula sedehana. Suhu yang lebih tinggi akan mempermudah dekomposisi gula sederhana dan senyawa lignin (Mussatto dan Roberto 2004). Pada penelitian ubi kayu segar digunakan sebagai substrat. Adanya kandungan air yang lebih banyak menyebabkan kadar padatan dan konsentrasi H2SO4 yang digunakan juga berbeda. Penggunaan ubi

kayu segar sebagai substrat telah dilaporkan oleh Rusdianto (2010). Rusdianto (2010) melaporkan bahwa hidrolisis menggunakan H2SO4 1 M selama 15 menit, suhu 121oC

dengan kadar padatan 18% mendekati hasil hidrolisis tepung ubi kayu yang dilaporkan Susmiati (2010), sehingga cara hidrolisis tersebut dipergunakan dalam penelitian ini. Setelah semua kondisi hidrolisis terpenuhi maka didapat hidrolisat dengan komposisi tertentu seperti pada Tabel 5.

Kadar gula total yang didapat pada hidrolisat asam setelah dilakukan netralisasi adalah sebesar 235,15 g/l, sedangkan kadar gula pereduksi adalah sebesar


(55)

215,91 g/l (Tabel 5). Kadar gula total menunjukkan jumlah keseluruhan komponen gula dalam bahan terhidrolisis sedangkan gula reduksi menunjukkan jumlah komponen gula yang ujung rantainya mengandung gugus aldehida atau keton bebas. Semua monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa) dan disakarida (laktosa, maltosa), kecuali sukrosa dan pati (polisakarida), termasuk sebagai gula pereduksi . Rasio gula pereduksi terhadap gula total adalah nilai DE (dextrose equivalent). Semakin tinggi nilai DE maka proses hidrolisis menjadi lebih sempurna. Nilai DE dalam penelitian ini adalah 91,85. Besarnya kadar gula pereduksi menunjukkan hidrolisat berpotensi besar menghasilkan etanol yang tinggi dalam proses fermentasi sebab gula reduksi

yang terukur sebagai glukosa bisa dimanfaatkan oleh S. cerevisiae dalam proses

metabolisme menghasilkan etanol, terlepas dari ada atau tidaknya inhibitor. S.

cerevisiae mempunyai batas toleransi terhadap jumlah gula dalam hidrolisat. Gula

optimum bagi S. cerevisiae adalah 15-18% (Osho 2005; Moneke et al 2005). Untuk

itu, perlu dilakukan pengenceran hidrolisat dari kadar gula 24% menjadi 15%.

Pada suhu dan tekanan tinggi, glukosa dan xylosa akan terdegradasi menjadi furfural dan HMF. Dekomposisi lanjut akan menjadi asam levulinat dan asam formiat (Mussatto dan Roberto 2004; Palmqvist dan Hahn-Hägerdal 2000). Furfural dan HMF yang terkandung dalam hidrolisat asam adalah berturut-turut sebanyak 0,72 g/l dan 3,55 g/l (Tabel 5). Hidrolisat dengan kadar gula 15% mengandung HMF sebanyak 2,84 g/l dan furfural sebanyak 0,022g/l. HMF yang dihasilkan lebih banyak dari furfural. Hal tersebut disebabkan karena ubi kayu lebih banyak mengandung pati dari pada serat. Pati akan terdegradasi menjadi HMF, sedangkan serat khususnya hemiselulosa akan terdegradasi menjadi furfural. Jumlah furfural di dalam hidrolisat tidak terlalu banyak, namun apabila dikombinasikan dengan HMF dapat menghambat kinerja S. cerevisiae dalam memproduksi etanol.

Fermentasi hidrolisat bagas selama 24 jam oleh S. cerevisiae tidak dapat

menghasilkan etanol pada media yang mengandung HMF dan furfural sebanyak 4,3 g/l namun masih dapat menghasilkan etanol sebanyak 0,03g/l setelah 24 jam (Martin

et al 2007). S. cerevisiae bisa mengalami kematian pada media yang mengandung

furfural saja sebanyak 5 g/l atau HMF saja sebanyak 10 g/l (Palqvist et al. 1999,


(56)

merubah bentuk mitokondria sel dari tubular menjadi agregat, memfragmentasi vakuola sel dari satu ukuran besar menjadi beberapa yang berukuran kecil, mengubah kromatin inti sel dari saling terkumpul menjadi tersebar tidak merata dan mengubah bentuk permukaan sitoskeleton aktin menjadi tidak halus (Allen et al. 2010). Martin dan Jonnson (2002) melaporkan bahwa HMF 1,4 g/l di dalam media fermentasi akan menurunkan etanol yang dihasilkan sebanyak 41%.

Degradasi senyawa lignin akan menghasilkan senyawa-senyawa fenol yang sangat berbahaya bagi mikroorganisme khususnya bagi membran dan matrik enzim dalam sel (Palmqvist dan Hahn-Hägerdal 2000). Oleh karena itu, hidrolisat asam harus dinetralisasi terlebih untuk mengurangi resiko dalam proses fermentasi.

1.3 Seleksi

4.3.1 Persiapan Starter

Kultivasi bertujuan untuk mempersiapkan jumlah sel S. cerevisiae yang akan digunakan dalam proses fermentasi. Populasi sel dihitung dengan dengan metode hitung langsung. Perhitungan isolat segar dilakukan dengan terlebih dahulu membiakan satu ose kultur ke dalam media YMGP. Setelah dibiakkan selama 48 jam

didapat jumlah sel untuk galur PAU sebanyak 1,4 x 109 sel/ml dan galur IPBCC

05.548 sebanyak 1,5 x 109 sel/ml. Khamir kering tidak dibiakkan, tetapi hanya

disuspensikan secara serial sebanyak 10-3. Jumlah sel untuk khamir merk ’F’

sebanyak 1,8 x 1011 sel/g dan khamir curah sebanyak 1,6 x 1011 sel/g (Tabel 6). Populasi khamir dalam uji toleransi galur terhadap hidrolisat adalah 1,8 x 1011 sel/g Populasi tersebut merupakan populasi standar untuk gula total awal 15%. Populasi

standar dan populasi setiap galur digunakan sebagai dasar perhitungan starter S.

cerevisiae. Semua sel hasil perhitungan dianggap viabel. Contoh perhitungan jumlah

starter masing-masing galur dapat dilihat pada Lampiran 5.

Tabel 6. Jumlah sel S. cerevisiae pada masing-masing galur

galur Sumber S. cerevisiae Jumlah

s1 s2 s3 s4

Ragi curah Ragi ”F” ATCC 9763 IPBCC 05. 548

1,6 x 1011 (sel/g) 1,8 x 1011 (sel/g) 1,4 x 109* (sel/ml) 1,5 x 109* (sel/ml) * dibiakkan setelah 48 jam pada media (YMGP),


(57)

4.3.2 Seleksi Toleransi Galur terhadap Hidrolisat

Secara umum keempat galur S. cerevisiae mengkonsumsi gula dan hasil

etanol yang berbeda dapat tumbuh pada media hidrolisat asam yang telah dinetralisir. Berdasarkan analisis statistik, jenis galur tidak berpengaruh terhadap konsumsi gula. Konsumsi gula total s1, s2, s3 dan s4 berturut-turut adalah 141,61g/l, 142,04 g/l, 140,24 g/l dan 144,90 g/l (Lampiran 7). Konsumsi gula reduksi s1, s2, s3 dan s4 berturut-turut adalah 110,64g/l, 110,55g/l, 110,28g/l, dan 110,89g/l (Lampiran 8). Konsumsi total gula, gula reduksi dan pada semua perlakuan terjadi sejak jam ke-0 sampai ke-72. Penurunan mulai melambat pada jam ke-24 sampai jam ke-72 (Gambar 5). Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Arnata (2009). Arnata menyatakan penurunan konsentrasi gula total terjadi sampai jam ke-96 dan yang paling cepat pada jam 24 kemudian melambat sampai akhir fermentasi (jam ke-96).

Konsumsi total gula akhir fermentasi tertinggi terdapat pada perlakuan s4 sedangkan yang terendah didapat pada s3. Pengamatan jam ke-12 dan ke-24 perlakuan s1 mengalami penurunan kadar gula total paling tinggi (Gambar 5). Konsumsi gula total ini tidak diikuti dengan peningkatan pembentukan etanol. Kadar etanol yang dihasilkan s1 pada akhir fermentasi justru kurang dari yang dihasilkan s3 dan s4. Adanya perbedaan jumlah gula yang dikonsumsi berhubungan dengan pembentukan etanol. Gula pada proses fermentasi ini tidak hanya diubah menjadi etanol saja, tetapi juga untuk pembentukan sel. Selain untuk pembentukan sel, gula digunakan untuk pembentukan metabolit sekunder seperti asam piruvat dan detoksifikasi senyawa inhibitor (Sunatmo 2009; Pienkos dan Zhang 2009). Apabila dilihat dari sisa gula total, maka sisa gula total tertinggi didapat pada s3 yaitu sebesar 6,59% dan terendah pada perlakuan s4 yang hanya 3,51%. Sisa gula total yang kecil pada s4 mungkin disebabkan tingginya efisiensi konversi gula menjadi etanol. Sisa gula total yang didapat dari penelitian ini lebih kecil dari yang dilaporkan Susmiati (2010) yaitu sebanyak 30,49%. Hal tersebut mungkin disebabkan perbedaan keadaan bahan baku yang digunakan. Dalam penelitian ini ubi kayu yang digunakan dalam keadaan segar, sedangkan Susmiati (2010) menggunakan tepung.


(58)

(a) 0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 12 24 36 48 60 72

Lama fermentasi (jam)

G u la t o ta l.. g/ l. 2 2 3 3 4 4 5 5 pH .. (b) 0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 12 24 36 48 60 72

Lama fermentasi (jam)

G u la t o ta l.. g /l.. 2 2 3 3 4 4 5 5 pH . (c) 0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 12 24 36 48 60 72

Lama fermentasi (jam)

G u la t o ta l. . g/ l. . 2 2 3 3 4 4 5 5 pH . (d) 0 20 40 60 80 100 120 140 160

0 12 24 36 48 60 72

Lama fermentasi (jam)

G u la t o ta l.. g /l. . 2 2 3 3 4 4 5 5 pH .

Gambar 5. Grafik perubahan total gula dan pH selama fermentasi galur


(59)

Pada semua perlakuan, pH mengalami penurunan. pH awal pada substrat adalah 4,71 sedangkan pH akhir pada perlakuan s1, s2, s3 dan s4 berturut-turut adalah 4,05, 4,01, 4,05 dan 4,18 (Lampiran 9). Nilai pH awal media akan mempengaruhi kenerja S. cerevisiae. Laju fermentasi gula cenderung intensif pada pH 3,5 sampai pH 6,0 (Goebol 1987). Khamir dapat tumbuh pada pH 2,0 sampai pH 8,0, sedangkan pH optimum pertumbuhannya adalah antara pH 4 sampai pH 6, tergantung pada temperatur, ketersediaan oksigen dan galurnya (Neelakantam et al. 2005). Nilai pH optimum berhubungan dengan aktifitas membran plasma dalam mengangkut protein dan kinerja enzim. Penting bagi khamir untuk mempertahankan pH instraselular tetap konstan selama pertumbuhnya. Enzim berperan sangat penting selama pertumbuhan dan metabolisme. Enzim bekerja optimal dalam keadaan asam. Hal tersebut dipengaruhi oleh sifat alami khamir sebagai organisme asidofilik. Ketika pH extraselular melebihi atau kurang dari pH optimum maka sel khamir perlu mengambil energi untuk memompa ion hidrogen ke dalam atau ke luar sel dalam usaha

mempertahanan pH intraselular tetap optimal (Narendranath et al. 2001, Thomas

2002).

Nilai pH s2 ada jam ke-12 dan ke-24 mengalami penurunan yang paling besar diantara perlakuan yang lain (Gambar 5). Penurunan pH diikuti dengan penurunan

gula. Pada jam ke 0 sampai 24 tersebut diduga bahwa gula digunakan oleh S.

cerevisiae untuk pembentukan asam bukan pembentukan etanol. Hal tersebut

didukung oleh pembentukan etanol yang relatif kecil pada akhir proses fermentasi. Semakin besar penurunan pH maka etanol yang terbentuk akan semakin sedikit. Penurunan pH terbesar terjadi pada perlakuan s2 yaitu sebesar 0,7 diikuti perlakuan s1 dan s3 sebesar 0,66 dan yang paling kecil penurunannya adalah perlakuan s4 sebesar 0,56. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan kemampuan masing-masing galur dalam mengubah senyawa intermediat menjadi biomassa saat keadaan respirasi (aerob) dan etanol saat fermentasi (anaerob) di dalam sitoplasma. Pada keadaan aerob akan terbentuk senyawa intermediet berupa asam-asam organik seperti asam-asam furoik yang berasal dari furfural, asam-asam asetat yang berasal dari asetaldehid dan asam-asam di dalam siklus asam trikarboksilat (TCA) (Shuler

dan Kargi. 1992). Pada penelitian ini S. cerevisiae melakukan respirasi dan


(1)

Lampiran 24. Produksi etanol adaptasi a. Analisis sidik ragam

F tabel Sumber

Keragama n

Derajat Bebas

Jumlah Kuadran

Kuadrat Tengah

F hitung

5% 1% Perlakuan 8 1,54 0,19 1,77ns 2,55 3,79

Galat 9 0,98 0,11

Total 17 2,53

Keterangan : ns = non signifikan, * = berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata

Lampiran 25. Efisiensi penggunaan substrat adaptasi a. Analisis sidik ragam

F tabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadran

Kuadrat

Tengah F hitung 5% 1% Perlakuan 8 338,93 42,37 21,62** 2,55 3,79

Galat 9 17,64 1,956

Total 7 356,57

Keterangan : ns = non signifikan, * = berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata

c. Uji lanjut Duncan

Adaptasi ke Rata-rata notasi

2 92,59 a

5 92,31 ab

8 90,64 abc

7 89,15 bcd

9 88,78 cd

3 88,70 cd

6 88,25 cd

1 86,88 d

4 77,06 e

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %


(2)

Lampiran 26. Efisiensi fermentasi adaptasi a. Analisis sidik ragam

F tabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadran

Kuadrat

Tengah F hitung 5% 1% Perlakuan 8 978,67 122,33 6,47 ns 2,55 3,79

Galat 9 170,19 18,91

Total 7 1148,86

Keterangan : ns = non signifikan, * = berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata

Lampiran 27. Rendemen etanol adaptasi Analisis sidik ragam

F tabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadran

Kuadrat

Tengah F hitung 5% 1% Perlakuan 8 151,15 18,89 1,83ns 2,55 3,79

Galat 9 93,12 10,35

Total 17 244,27

Keterangan : ns = non signifikan, * = berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata

Lampiran 28. Rendemen Biomassa adaptasi a. Analisis sidik ragam

F tabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadran

Kuadrat

Tengah F hitung 5% 1% Perlakuan 8 6,52 0,82 3,28* 2,55 3,79

Galat 9 2,24 0,25

Total 17 8,76

Keterangan : ns = non signifikan, * = berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata

b. Uji lanjut Duncan

Adaptasi ke Rata-rata notasi

4 8,35 a

3 8,30 ab

9 7,90 abc

1 7,45 abcd

6 7,40 abcd

8 7,27 abcd

5 7,09 bcd

2 6,88 cd

7 6,43 d

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %


(3)

Lampiran 29. Total gula proses produksi

Analisis sidik ragam

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F tabel Keragaman Bebas Kuadran Tengah F hitung 5% 1%

Perlakuan 1 5,80 5,80 0,02ns 18,51 98,49 Galat 2 567,26 283,63

Total 3 573,05

Keterangan : ns = non signifikan, * = berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata

Lampiran 30. Etanol proses produksi a. Analisis sidik ragam

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F tabel Keragaman Bebas Kuadran Tengah F hitung 5% 1%

Perlakuan 1 3,21 3,21 22,85* 18,51 98,49

Galat 2 0,28 0,14

Total 3 3,49

Keterangan : ns = non signifikan, * = berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata

b. Uji lanjut Duncan

Perlakuan Rata-rata notasi

A 5,82 a

NA 4,02 b

Keterangan : A1= Adaptasi, NA= Tanpa adaptasi Lampiran 31. Biomassa proses produksi

a. Analisis sidik ragam

F tabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadran

Kuadrat

Tengah F hitung 5% 1% Perlakuan 1 107,37 107,37 504,12** 18,51 98,49

Galat 2 0,43 0,213

Total 3 107,80

Keterangan : ns = non signifikan, * = berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata

b Uji lanjut Duncan

Perlakuan Rata-rata notasi

A 18,98 a

NA 8,61 b


(4)

Lampiran 32. Jumlah sel S. cerevisiae proses produksi a. Analisis sidik ragam

F tabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadran

Kuadrat

Tengah F hitung 5% 1% Perlakuan 1 9091,62 9091,62 76,64* 18,51 98,49

Galat 2 237,25 118,63

Total 3 9328,87

Keterangan : ns = non signifikan, * = berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata

b. Uji lanjut Duncan

Perlakuan Rata-rata notasi

A 186,75 x 107 a

NA 90,15 x 107 b

Keterangan : A1= Adaptasi, NA= Tanpa adaptasi

Lampiran 33. Analisis keragaman efisiensi substrat proses produksi a. Analisis sidik ragam

F tabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadran

Kuadrat

Tengah F hitung 5% 1% Perlakuan 1 4,45 4,45 164,70** 18,51 98,49

Galat 2 0,05 0,027

Total 3 4,51

Keterangan : ns = non signifikan, * = berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata

b. Uji lanjut Duncan

Perlakuan Rata-rata notasi

A 132,92 b

NA 135,98 a

Keterangan : A1= Adaptasi, NA= Tanpa adaptasi

Lampiran 34. Analisis keragaman efisiensi fermentasi proses produksi a. Analisis sidik ragam

F tabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadran

Kuadrat

Tengah F hitung 5% 1% Perlakuan 1 767,85 767,85 35,10* 18,51 98,49

Galat 2 43,75 21,87

Total 3 811,60

Keterangan : ns = non signifikan, * = berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata


(5)

b Uji lanjut Duncan

Perlakuan Rata-rata notasi

A 85,74 a

NA 58,03 b

Keterangan : A1= Adaptasi, NA= Tanpa adaptasi

Lampiran 35. Analisis keragaman rendemen etanol proses produksi a. Analisis sidik ragam

Sumber Derajat Jumlah F tabel Keragaman Bebas Kuadran

F hitung

5% 1% Perlakuan 1 199,72 35,10* 18,51 98,49

Galat 2 11,38

Total 3 211,10

Keterangan : ns = non signifikan, * = berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata

b. Uji lanjut Duncan

Perlakuan Rata-rata notasi

A 43.73 a

NA 29.60 b


(6)

Lampiran 36. Analisis keragaman rendemen biomassa proses produksi b. Analisis sidik ragam

Sumber Derajat Jumlah F tabel Keragaman Bebas Kuadran

F hitung

5% 1% Perlakuan 1 63,08 63,08 18,51 98,49

Galat 2 0,06 0,03

Total 3 63,14

Keterangan : ns = non signifikan, * = berpengaruh nyata ** = berpengaruh sangat nyata

c. Uji lanjut Duncan

Perlakuan Rata-rata notasi

A 14,2 a

NA 6,33 b