1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia yang dikenal sebagai negara mega-biodiversity memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia termasuk kawasan pesisir dan laut.
Tingginya keanekaragaman jenis biota laut di Indonesia tersebut terdiri dari 833 jenis tumbuh-tumbuhan laut alga, lamun, mangrove, 910 jenis karang
Coelenterata, 850 jenis sponge Porifera, 2500 jenis kerang dan keong Mollusca, 1502 jenis udang dan kepiting Crustacea, 745 jenis hewan berkulit
duri Echinodermata, 2000 jenis ikan Pisces, 148 jenis burung laut Aves, dan 30 jenis hewan menyusui Mamalia Romimohtarto dan Juwana 2009.
Salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi tetapi belum banyak dikenal adalah siput laut gonggong Strombus canarium. Siput laut
gonggong merupakan biota endemik yang banyak hidup di pantai Pulau Bintan dan sekitarnya, seperti Pulau Dompak, Pulau Lobam, Pulau Mantang,
Senggarang, dan Tanjung Uban. Produksi gonggong di Kepulauan Riau tidak pernah tercatat secara resmi di Dinas Kelautan dan Perikanan, karena panen
gonggong tidak dijual melalui pelabuhan penangkapan ikan. Menurut informasi nelayan, produksi gonggong di Pulau Bintan cukup banyak, sekitar
500-600 ekornelayanhari bahkan pada bulan Mei sampai Oktober diperkirakan dapat mencapai 3000–4000 ekornelayanhari
1
. Hal ini mengindikasikan bahwa gonggong tersedia sepanjang tahun di Kepulauan Riau, sehingga gonggong
menjadi “Icon” Provinsi Kepulauan Riau. Kajian ilmiah mengenai gonggong masih sangat terbatas. Studi pendahuluan gonggong di perairan Pulau Bintan
yang difokuskan pada komposisi proksimat pernah dilakukan Amini pada tahun 1984. Setelah itu belum ada lagi kajian ilmiah, oleh karena itu perlu adanya
kajian lanjutan tentang gonggong dalam rangka memperkenalkan Kepulauan Riau sebagai pulau penghasil gonggong terbesar di Indonesia dan menjadikan
gonggong sebagai hasil laut yang potensial untuk dimanfaatkan. Sampai saat ini gonggong belum banyak diketahui atau dikenal oleh masyarakat di luar
Kepulauan Riau.
1
Hasil wawancara dengan para nelayan di Pulau Dompak, Pulau Mantang, Senggarang dan Tanjung Uban, Agustus 2010
Masyarakat Kepulauan Riau memanfaatkan gonggong sebagai makanan pembuka pada hidangan asal laut sea food. Pengolahan yang dilakukan masih
sangat sederhana berupa gonggong rebus dan dimakan bersama saus sambel atau saus kacang. Masyarakat Kepulauan Riau menawarkan gonggong rebus sebagai
wisata kuliner kepada para turis domestik maupun mancanegara. Pengalaman empiris masyarakat Kepulauan Riau membuktikan bahwa gonggong mengandung
zat-zat yang berkhasiat untuk penambah nafsu makan dan meningkatkan vitalitas. Masyarakat meyakini bahwa gonggong rebus mengandung protein tinggi, rendah
lemak dengan rasa daging yang enak dan lezat. Daging gonggong memiliki cita rasa yang khas yaitu bagian ujung yang rasanya kenyal seperti daging cumi-cumi
tetapi di bagian ujung lainnya berupa daging yang lembut dan gurih. Gonggong juga dimanfaatkan sebagai obat kuat meningkatkan vitalitas karena kandungan
proteinnya tinggi. Sejak tahun 1970-an para ibu-ibu selalu mencari gonggong untuk direbus dan dimakan bersama-sama dengan nasi tatkala ada anggota
keluarga yang kurang nafsu makan dan kekurangan gizi, tetapi tidak semua orang dapat mengkonsumsi gonggong rebus dalam bentuk aslinya, sehingga perlu
dicarikan alternatif pengolahan. Pada penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa persentase kandungan protein daging gonggong rebus lebih tinggi dari
tiram. Penelitian yang dilakukan Amini 1984 menunjukkan bahwa kadar protein gonggong rebus sebesar 15,38, sedangkan tiram hanya 9,47.
Proses pengolahan dengan cara fermentasi biologissemibiologis menjadi salah satu alternatif pengolahan yang dapat dilakukan untuk mengawetkan
gonggong dan sebagai salah satu bentuk diversifikasi produk berbahan baku gonggong berupa produk seasoning. Dalam beberapa hal, fermentasi dapat
memperbaiki nilai gizi atau tingkat kecernaan produk dan memberikan cita rasa produk yang lebih disukai oleh konsumen Irianto dan Giyatmi 2009. Proses
fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses penguraian secara biologis atau semibiologis terhadap senyawa-senyawa kompleks terutama protein menjadi
senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan terkontrol. Selama proses fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptida
yang sangat berperan dalam pembentukan cita rasa produk Winarno et al. 1993; Jay et al. 2005; Whitehurst dan Oort 2010.
Siput laut gonggong memiliki struktur daging yang kenyal dengan kandungan protein yang tinggi. Kandungan asam glutamat bebas pada makluk
hidup banyak ditemukan di organ otot, otak, dan hati Kondoh et al. 2009. Oleh karena itu gonggong dapat diolah menjadi pembangkit cita rasa seasoning alami
melalui proses fermentasi biologissemibiologis. Dewasa ini banyak sekali berkembang pembangkit cita rasa seasoning atau dikenal dengan istilah flavor
potentiator yang berfungsi untuk meningkatkan rasa enak atau menekan rasa yang tidak diinginkan dari suatu bahan makanan. Produk ini menimbulkan aroma yang
bisa membangkitkan selera makan. Sebagai contoh, penambahan asam L-glutamat monosodium glutamat pada sop akan menimbulkan cita rasa enak.
Hanya saja di Indonesia belum ada seasoning alami yang berasal dari biota laut tanpa MSG. Asam glutamat pada MSG diperoleh secara sintetik dari hidrolisis
asam menggunakan HCl terhadap bahan-bahan seperti gandum, jagung atau molase. Kemudian dilakukan netralisasi dengan NaOH dan dikristalkan. Hasil
penelitian membuktikan bahwa bila MSG dikonsumsi dalam dosis tinggi 0,5 gkg berat badanhari akan sangat berbahaya bagi manusia, karena dapat
mengakibatkan kerusakan sel-sel syaraf otak khususnya di bagian hipotalamus, kelumpuhan, penurunan kecerdasan, kerusakan retina mata, pertumbuhan
terganggu dan kegemukan Olney 1969; Terranishi et al. 1998; Kondoh et al. 2009.
Molekul protein 5’nukleotida seperti inosin monopospat IMP dan guaniosin 5’monopospat GMP jika berkombinasi dengan asam amino bebas
asam glutamat merupakan pembangkit cita rasa alami dari ikan dan kerang- kerangan yang difermentasi Ueda dan Fuke 1996; Yamaguchi dan Ninomiya
2000. Chen at al. 1983 menjelaskan bahwa fermentasi kepala udang menggunakan Bacillus sp. selama 5 hari menghasilkan rendemen sebanyak 55
dari hasil hidrolisis protein kepala udang yang dapat menimbulkan cita rasa alami seasoning dari kepala udang. Fermentasi kepala udang untuk menjadi seasoning
juga dapat dilakukan dengan menambahkan enzim corolase N dan koji Chang dan Li 1984. Bahan penghidrolisis yang dapat berfungsi sebagai substrat dalam
proses fermentasi ikan berasal dari bahan baku yang banyak mengandung karbohidrat Suliantari dan Rahayu 1990. Selain itu, enzim bromelin yang
mampu memecah protein juga dapat digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi ikan Whitehurst dan Oort 2010.
Berpijak pada hal tersebut, seasoning alami dapat diekstrak dari biota laut sebagai pembangkit cita rasa alami. Secara umum hampir setiap makanan olahan
di Indonesia menggunakan pembangkit cita rasa sintetik utamanya MSG sekalipun berefek buruk bagi kesehatan manusia. Untuk itu perlu dilakukan
upaya mencari sumber pembangkit cita rasa alami yang aman bagi kesehatan manusia. Salah satunya adalah dengan pembuatan seasoning alami dari biota laut
yang diekstrak dari daging siput laut gonggong Strombus canarium.
1.2 Tujuan Penelitian