The utilization of sea snail gonggong (Strombus canarium) from Bintan Island of Riau-Archipelago as natural seasoning.

(1)

SEASONING

ALAMI

LILY VIRULY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pemanfaatan Siput Laut Gonggong (Strombus canarium) Asal Pulau Bintan-Kepulauan Riau Menjadi Seasoning Alami” adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2011

Lily Viruly NIM C351090021


(3)

LILY VIRULY. The utilization of sea snail gonggong (Strombus canarium)

from Bintan Island of Riau-Archipelago as natural seasoning. Supervised by JOKO SANTOSO and WINARTI

Gonggong is one of the sea snails, endemic species living on coastal waters of Bintan Island and surrounding islands of the Province of Riau-Archipelago. Traditionally, it is used to boost the appetite and vitality. The aim of the study is to utilize gonggong as natural seasoning through fermentation process (biological/semi-biological) to hydrolyze protein from the snail. It was made by using gonggong and pineapple concentrate with the ratio 1:4 (w/v), 2% (w/v) of sugar and 15% (w/v) of salt. Then, the products were fermented in an airproofed container at 25 oC for 10 days. The fermentation proceses were stopped using sterilization (121 oC, 15 min) and pasteurization (70 oC, 30 min). The final product of seasoning was stored for 14 days. At each week, pH, total lactic acid, TPC and hedonic test of the products seasoning were analyzed. The best product of the seasoning was compared to commercial product of oyster sauce (“Saori”) using description, paired comparison and chemistry tests. Results of the research indicated that fresh gonggong contains 19,77% of protein and 4,1 mg/g of free amino acid glutamate. It is more preferred than “Saori” which had been sample pasteurized and stored for 7 days at 25 oC. Levels of pH, total lactic acid, TPC, and free amino acid content of this seasoning were 4,75, 0,53%, 1,48 x 103 cfu/g, and 8,0 mg/g, respectively. It had 7 value of based on hedonic test, furthermore description and paired comparison tests was better than commercial original seasoning (“Saori”). The results suggest that it can be used as an alternative seasoning to replace the synthetic seasoning (MSG).


(4)

LILY VIRULY. Pemanfaatan Siput Laut Gonggong (Strombus canarium) Asal Pulau Bintan Kepulauan Riau Menjadi Seasoning Alami. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan WINARTI

Gonggong (Strombus canarium) termasuk sejenis siput laut, biota endemik yang banyak hidup di pantai Pulau Bintan dan sekitarnya, Provinsi Kepulauan Riau. Pengalaman empiris masyarakat Kepulauan Riau membuktikan bahwa gonggong mengandung zat-zat yang berkhasiat untuk penambah nafsu makan dan meningkatkan vitalitas, tetapi tidak semua orang dapat mengkonsumsi gonggong rebus dalam bentuk aslinya, sehingga perlu dicarikan alternatif pengolahan. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan siput laut gonggong menjadi seasoning alami dari biota laut melalui proses fermentasi (biologis/semibiologis) untuk menghidrolisis protein gonggong, sehingga menghasilkan senyawa yang dapat membangkitkan cita rasa.

Penelitian pendahuluan meliputi karakterisasi bahan baku (uji proksimat, asam amino bebas), penentuan bahan penghidrolisis (air tajin, jus nenas dan sari nenas) dan lama hidrolisis (10, 20 dan 30 hari) menggunakan RAL faktorial. Tahap ini dilakukan penambahan garam 15% dan gula 2% seta komposisi antara gonggong dan bahan penghidrolisis adalah tetap yaitu 1:1. Kemudian penentuan komposisi menggunakan RAL 1 faktor yaitu komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis terdiri dari 5 perlakuan 1:1, 1:2, 1:3, 1:4 dan 1:5 (b/v). Tahap ini penambahan garam dan gula tetap sama seperti perlakuan sebelumnya. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan. Penelitian lanjutan merupakan pembuatan seasoning alami dari gonggong mencakup perlakuan pemutusan fermentasi yaitu pasteurisasi (70 oC, selama 30 menit) dan sterilisasi komersial (121 oC selama 15 menit) dan seasoning yang dihasilkan disimpan selama 14 hari pada suhu kamar, setiap 7 hari dilakukan pengamatan terhadap nilai pH, total asam, TPC, serta uji sensori (hedonik dan skoring). Seasoning terbaik dibandingkan dengan produk komersial di pasaran (saos tiram “Saori”) melalui uji sensori (uji deskripsi, perbandingan pasangan) dan uji kimiawi (asam amino bebas dan proksimat). Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan. Data non-parametrik (uji sensori) dianalisis dengan menggunakan SNI-01-2346-2006 dan Mann Whitney.

Karakteristik bahan baku menunjukkan bahwa gonggong segar memiliki kandungan protein sebesar 19,77%, dan kandungan asam glutamat bebas sebesar 4,1 mg/g. Bahan penghidrolisis terbaik adalah sari nenas dan lama hidrolisis 10 hari. Komposisi antara gonggong dengan bahan penghidrolisis terbaik dicapai pada 1:4 (b/v). Seasoning terbaik yang dihasilkan adalah sampel pasteurisasi dengan lama penyimpanan selama 7 hari. Seasoningterbaik ini memiliki nilai pH 4,73, total asam laktat 0,53% dan TPC 1,48 x 103 koloni/g, asam glutamat bebas 8,0 mg/g, nilai hedonik 7 (suka), dan nilai mutu dengan skor 7 (bagus). Hasil uji deskripsi dan uji perbandingan pasangan membuktikan bahwa seasoning alami lebih baik daripada saus tiram “Saori”. Informasi ini menunjukkan bahwa seasoning alami dari gonggong dapat digunakan sebagai alternatif pengganti penyedap rasa komersial yang ada di pasaran.


(5)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

SEASONING

ALAMI

LILY VIRULY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

(8)

NIM : C351090021

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Ir. Winarti, M.S

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Teknologi Hasil Perairan

Dr.Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(9)

telah diberikan Allah kepadamu; dan syu

jika kamu hanya menyembah kepada

“ Semua yang ada di la

pencari ilmu, daun-daun

semuanya memintakan am

Kupersembahkan

kucintai dan mencintaiku :

Papaku

ketiga buah

Falah

telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah,

jika kamu hanya menyembah kepada-Nya”

(QS. An

langit dan di bumi memohonkan ampun

aun di ranting hingga ikan-ikan yang a

ampun baginya

(HR.Ahmad)

Kupersembahkan tulisanku ini kepada

kucintai dan mencintaiku :

Papaku Munzier, Mamaku Maznah, Suamiku

ketiga buah hatiku (Faqih M.Arif, Fathimah

Falah M.Taqiyuddin)

kurilah nikmat Allah,

QS. An-Nahl : 114)

punan bagi para

g ada di lautan

kepada orang yang

Suamiku Muzahar dan

Fathimah Q.Nadaa dan


(10)

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. Penguasa alam semesta yang hanya dengan pertolongan dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini berjudul Pemanfaatan Siput Laut Gonggong (Strombus canarium) Asal Pulau

Bintan-Kepulauan Riau MenjadiSeasoning Alami. Penelitian ini merupakan tugas akhir

akademik dalam pendidikan di program studi Teknologi Hasil Perairan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas akhir ini.

1. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ibu Ir. Winarti, M.S sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

2. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc sebagai dosen penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini.

3. Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan beserta seluruh staf pengajar atas dorongan semangat dan kemudahan yang diberikan selama studi.

4. Bapak Ian Subastiar dan Bu Ani di Laboratorium Kimia Terpadu-IPB, Ibu Sri dan tim organoleptik Laboratorium Organoleptik PAU Pangan dan Gizi IPB, Ibu Ema Masruroh di Laboratorium Mikrobiologi, THP-FPIK-IPB, yang telah memberikan kemudahan dan semangat selama penelitian.

5. Ayahanda A.V. Munzier dan ibunda Hj. Maznah yang senantiasa memberikan doa dan semangat.

6. Suamiku tercinta Muzahar, S.Pi, M.Si yang senantiasa memberikan doa, semangat, dan bantuan penelitian baik tenaga maupun dana untuk kesuksesan penulis.

7. Rekan-rekanku di Pascasarjana Teknologi Hasil Perairan 2009 : Untung, Vivin, Mutia, Deni dan Yoyo atas kebersamaannya selama belajar.

8. Teman-teman seperjuangan untuk menuju kehidupan mulia (Ir.Nurlisa A. Butet, M.Sc; Desniar, M.Si; Dr. Sri Nuryati, Ir. Hanum S, M.Si; Nindira, M.Si; Emilda, M.Si dan lain-lain) yang senatiasa mendoakan dan memberikan dorongan kepada penulis.


(11)

kritik demi penyempurnaan tulisan/tesis ini sangat diharapkan penulis. Akhirnya semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

Bogor, April 2011


(12)

Penulis dilahirkan di Baturaja, Sumatera Selatan pada tanggal 30 Juli 1972 dari ayah A.V. Munzier, B.Sc dan ibu Hj. Maznah. Penulis merupakan puteri kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 1997 penulis menikah dengan Muzahar, S.Pi, M.Si dan dikaruniai tiga orang anak (Faqih, Fathimah dan Falah)

Tahun 1991 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Baturaja dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis diterima pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian dan menamatkannya pada tahun 1995. Pada tahun 1995-1997 penulis menjadi tutor pada bimbingan belajar TEKNOS Bogor, pada tahun 1999-2006 penulis menjadi dosen tidak tetap pada Akademi Perikanan Wachyuni Mandira, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan yang kegiatan operasionalnya dibiayai oleh Gajah Tunggal Grup, pada tahun 2006-2007 penulis menjadi tutor pada bimbingan belajar PRIMAGAMA Tanjungpinang - KEPRI dan pada tahun 2007 - sekarang penulis menjadi Dosen Tetap pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan - Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Kepulauan Riau.

Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan kemahasiswaan baik yang bersifat keislaman, ilmiah dan manajerial. Diantaranya pada tahun 1992 - 1994 penulis menjadi ketua Rohis TPG Angkatan-28 dan pengurus mushola al-Fath Fateta-IPB, dan pada tahun 1993-1994 penulis menjadi Dewan Penasehat pada Senat Mahasiswa Fateta-IPB, dan pada tahun 1992-1995 penulis juga aktif sebagai anggota PATPI dan HIMITEPA-FATETA-IPB.


(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ……… xii

DAFTAR GAMBAR ………... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xiv

1 PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Tujuan Penelitian ……… 4

1.3 Hipotesis ……….. 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ……… 6

2.1 Siput Laut Gonggong (Strombus canarium) ………... 6

2.2 Fermentasi ………... 8

2.2.1 Bahan penghidrolisis ……..………. 11

(1) Air tajin ………. 11

(2) Nenas ………. 13

2.2.2 Teknik pemutusan fermentasi ………. 14

(1) Pasteurisasi ……… 14

(2) Sterilisasi ………... 15

2.3 Pembangkit Cita Rasa (Seasoning) ………. 16

3 METODOLOGI PENELITIAN ……… 21

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ………. 21

3.2 Bahan dan Alat ……… 21

3.3 Tahapan Penelitian ……….. 22

3.3.1 Penelitian pendahuluan ………... 22

3.3.2 Penelitian lanjutan ………... 27

3.4 Prosedur Analisis ……… 27

3.4.1 Uji sensori ………... 29

(1) Uji hedonik ……… 29

(2) Uji skoring ………. 29

(3) Uji deskripsi ……….. 30

(4) Uji perbandingan pasangan ………... 31

3.4.2 Analisis kimiawi ..………... 31

(1) Kadar air ……… 31

(2) Kadar abu ……….. 32

(3) Kadar protein ………. 32

(4) Kadar lemak ……….. 33

(5) Nilai pH ………. 33

(6) Nilai asam laktat tertitrasi ………. 34


(14)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 40

4.1 Penelitian Pendahuluan ………... 40

4.1.1 Karakteristik bahan baku ……… 40

4.1.2 Hasil penentuan bahan penghidrolisis serta lama hidrolisis ... 43

4.1.3 Hasil penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis 47 4.2 Penelitian Lanjutan ……….. 48

4.2.1 Hasil uji sensori ……….. 49

(1) Hasil uji hedonik ………... 49

(2) Hasil uji skoring ……… 51

4.2.2 Karakteristik kimiawi ………. 52

(1) Nilai pH ………. 52

(2) Nilai total asam laktat tertitrasi ………. 54

4.2.3 Nilai total uji mikrobiologi (total plate count/TPC) …………... 55

4.2.4 Seasoningalami terbaik dari siput laut gonggong ……….. 57

(1) Karakteristik sensori ………. 58

(a) Hasil uji deskripsi ……… 58

(b) Hasil uji perbandingan pasangan ……… 61

(2) Karakteristik kimiawi ……… 62

(a) Komposisi asam amino bebas ………. 63

(b) Komposisi proksimat ……….. 65

5 SIMPULAN DAN SARAN ……….. 68

5.1 Simpulan ………. 68

5.2 Saran ……….... 68

DAFTAR PUSTAKA ……….. 69


(15)

Halaman

1 Perbandingan nilai gizi gonggong dengan kerang-kerangan ………….. 8

2 Komposisi kimia beras ………... 12

3 Komposisi zat gizi dalam 100 gram buah nenas masak ………. 13

4 Hubungan antara waktu elusi dengan gradien buffer B ……….. 35

5 Komposisi proksimat siput laut gonggong ………. 41

6 Komposisi asam amino bebas siput laut gonggong ……… 42

7 Komposisi asam amino bebas pada gonggong (segar,seasoningalami) dan seasoningkomersial (saus tiram “ Saori”, Protextrait-Lyraz)... 63

8 Komposisi proksimat seasoningalami dari gonggong dengan saus tiram “ Saori”………...……… 65


(16)

Halaman

1 Gonggong di Kepulauan Riau ……….. 7

2 Struktur molekul monosodium glutamat (MSG) ………. 17

3 Peta penyebaran gonggong di Kepulauan Riau ………... 23

4 Diagram alir penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis …….. 25 5 Diagram alir penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis 26 6 Diagram alir penelitian lanjutan pembuatan seasoning………... 28 7 Siput laut gonggong yang masih hidup sebelum dilepas dari

cangkangnya ... 40 8 Nilai hidrolisat protein pada penentuan bahan penghidrolisis dan lama

hidrolisis ………... 43

9 Nilai hidrolisat protein pada penentuan komposisi gonggong dan bahan

penghidrolisis ………..………. 47

10 Nilai hedonik terhadap rasa, aroma dan warna pada perlakuan

pembuatan seasoningalami dari gonggong………... 50

11 Skor hedonik terhadap rasa, aroma dan warna pada perlakuan

pembuatan seasoningalami dari gonggong…...……… 51 12 Nilai pH pada perlakuan pembuatan seasoningalami dari

gonggong………... 53

13 Nilai total asam laktat tertitrasi pada perlakuan pembuatan seasoning

alami dari gonggong………... 54

14 Nilai toal mikroba (TPC) pada perlakuan pembuatan seasoningalami

dari gonggong………... 56

15 Seasoningalami terbaik dari siput laut gonggong ………... 57 16 Spider web atribut mutu seasoningalami terbaik dari siput laut

gonggong ... 59 17 Bagian lidah manusia yang sensitif terhadap rasa umami ………... 62


(17)

Halaman

1 Proses pembuatan jus nenas dan sari nenas ………. 75

2 Metode seleksi panelis terlatih...………. 76

3 Lembar penilaian pada uji hedonik ……….. 77

4 Lembar penilaian pada uji skoring ………... 78

5 Lembar penilaian pada uji deskripsi ……….... 79

6 Lembar penilaian pada uji perbandingan pasangan……….. 80

7 Rekapitulasi hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis ………... 81

8 Rekapitulasi hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis ………... 83

9 Rekapitulasi hasil uji hedonik ………... 84

10 Rekapitulasi hasil uji skoring ………... 85

11 Rekapitulasi data dan hasil ANOVA dan uji Duncan pada nilai pH …. 86 12 Rekapitulasi data dan hasil ANOVA dan uji Duncan pada total asam laktat tertitrasi ……….. 87

13 Rekapitulasi data dan hasil ANOVA dan uji Duncan pada nilai TPC ... 88

14 Rekapitulasi data dan analisis non-parametrik uji perbandingan pasangan ………... 89

15 Kromatogram asam amino bebas pada seasoningalami dan saus tiram “Saori” serta gonggong segar... ……… 91


(18)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia yang dikenal sebagai negara mega-biodiversity memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia termasuk kawasan pesisir dan laut. Tingginya keanekaragaman jenis biota laut di Indonesia tersebut terdiri dari 833 jenis tumbuh-tumbuhan laut (alga, lamun, mangrove), 910 jenis karang (Coelenterata), 850 jenis sponge (Porifera), 2500 jenis kerang dan keong (Mollusca), 1502 jenis udang dan kepiting (Crustacea), 745 jenis hewan berkulit duri (Echinodermata), 2000 jenis ikan (Pisces), 148 jenis burung laut (Aves), dan 30 jenis hewan menyusui (Mamalia) (Romimohtarto dan Juwana 2009).

Salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi tetapi belum banyak dikenal adalah siput laut gonggong (Strombus canarium). Siput laut gonggong merupakan biota endemik yang banyak hidup di pantai Pulau Bintan dan sekitarnya, seperti Pulau Dompak, Pulau Lobam, Pulau Mantang, Senggarang, dan Tanjung Uban. Produksi gonggong di Kepulauan Riau tidak pernah tercatat secara resmi di Dinas Kelautan dan Perikanan, karena panen gonggong tidak dijual melalui pelabuhan penangkapan ikan. Menurut informasi

nelayan, produksi gonggong di Pulau Bintan cukup banyak, sekitar 500-600 ekor/nelayan/hari bahkan pada bulan Mei sampai Oktober diperkirakan

dapat mencapai 3000–4000 ekor/nelayan/hari1). Hal ini mengindikasikan bahwa gonggong tersedia sepanjang tahun di Kepulauan Riau, sehingga gonggong menjadi “Icon” Provinsi Kepulauan Riau. Kajian ilmiah mengenai gonggong masih sangat terbatas. Studi pendahuluan gonggong di perairan Pulau Bintan yang difokuskan pada komposisi proksimat pernah dilakukan Amini pada tahun 1984. Setelah itu belum ada lagi kajian ilmiah, oleh karena itu perlu adanya kajian lanjutan tentang gonggong dalam rangka memperkenalkan Kepulauan Riau sebagai pulau penghasil gonggong terbesar di Indonesia dan menjadikan gonggong sebagai hasil laut yang potensial untuk dimanfaatkan. Sampai saat ini gonggong belum banyak diketahui atau dikenal oleh masyarakat di luar Kepulauan Riau.

1)


(19)

Masyarakat Kepulauan Riau memanfaatkan gonggong sebagai makanan pembuka pada hidangan asal laut (sea food). Pengolahan yang dilakukan masih sangat sederhana berupa gonggong rebus dan dimakan bersama saus sambel atau saus kacang. Masyarakat Kepulauan Riau menawarkan gonggong rebus sebagai wisata kuliner kepada para turis domestik maupun mancanegara. Pengalaman empiris masyarakat Kepulauan Riau membuktikan bahwa gonggong mengandung zat-zat yang berkhasiat untuk penambah nafsu makan dan meningkatkan vitalitas. Masyarakat meyakini bahwa gonggong rebus mengandung protein tinggi, rendah lemak dengan rasa daging yang enak dan lezat. Daging gonggong memiliki cita rasa yang khas yaitu bagian ujung yang rasanya kenyal seperti daging cumi-cumi tetapi di bagian ujung lainnya berupa daging yang lembut dan gurih. Gonggong juga dimanfaatkan sebagai obat kuat (meningkatkan vitalitas) karena kandungan proteinnya tinggi. Sejak tahun 1970-an para ibu-ibu selalu mencari gonggong untuk direbus dan dimakan bersama-sama dengan nasi tatkala ada anggota keluarga yang kurang nafsu makan dan kekurangan gizi, tetapi tidak semua orang dapat mengkonsumsi gonggong rebus dalam bentuk aslinya, sehingga perlu dicarikan alternatif pengolahan. Pada penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa persentase kandungan protein daging gonggong rebus lebih tinggi dari tiram. Penelitian yang dilakukan Amini (1984) menunjukkan bahwa kadar protein gonggong rebus sebesar 15,38%, sedangkan tiram hanya 9,47%.

Proses pengolahan dengan cara fermentasi (biologis/semibiologis) menjadi salah satu alternatif pengolahan yang dapat dilakukan untuk mengawetkan gonggong dan sebagai salah satu bentuk diversifikasi produk berbahan baku gonggong berupa produk seasoning. Dalam beberapa hal, fermentasi dapat memperbaiki nilai gizi atau tingkat kecernaan produk dan memberikan cita rasa produk yang lebih disukai oleh konsumen (Irianto dan Giyatmi 2009). Proses fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses penguraian secara biologis atau semibiologis terhadap senyawa-senyawa kompleks terutama protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan terkontrol. Selama proses fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptida yang sangat berperan dalam pembentukan cita rasa produk (Winarno et al. 1993; Jay et al. 2005; Whitehurst dan Oort 2010).


(20)

Siput laut gonggong memiliki struktur daging yang kenyal dengan kandungan protein yang tinggi. Kandungan asam glutamat bebas pada makluk hidup banyak ditemukan di organ otot, otak, dan hati (Kondoh et al. 2009). Oleh karena itu gonggong dapat diolah menjadi pembangkit cita rasa (seasoning) alami melalui proses fermentasi (biologis/semibiologis). Dewasa ini banyak sekali berkembang pembangkit cita rasa (seasoning) atau dikenal dengan istilah flavor potentiatoryang berfungsi untuk meningkatkan rasa enak atau menekan rasa yang tidak diinginkan dari suatu bahan makanan. Produk ini menimbulkan aroma yang

bisa membangkitkan selera makan. Sebagai contoh, penambahan asam L-glutamat (monosodium glutamat) pada sop akan menimbulkan cita rasa enak.

Hanya saja di Indonesia belum ada seasoning alami yang berasal dari biota laut tanpa MSG. Asam glutamat pada MSG diperoleh secara sintetik dari hidrolisis asam menggunakan HCl terhadap bahan-bahan seperti gandum, jagung atau molase. Kemudian dilakukan netralisasi dengan NaOH dan dikristalkan. Hasil penelitian membuktikan bahwa bila MSG dikonsumsi dalam dosis tinggi (0,5 g/kg berat badan/hari) akan sangat berbahaya bagi manusia, karena dapat mengakibatkan kerusakan sel-sel syaraf otak khususnya di bagian hipotalamus, kelumpuhan, penurunan kecerdasan, kerusakan retina mata, pertumbuhan terganggu dan kegemukan (Olney 1969; Terranishi et al. 1998; Kondoh et al. 2009).

Molekul protein 5’nukleotida seperti inosin monopospat (IMP) dan guaniosin 5’monopospat (GMP) jika berkombinasi dengan asam amino bebas (asam glutamat) merupakan pembangkit cita rasa alami dari ikan dan kerang-kerangan yang difermentasi (Ueda dan Fuke 1996; Yamaguchi dan Ninomiya 2000). Chen at al. (1983) menjelaskan bahwa fermentasi kepala udang menggunakan Bacillus sp. selama 5 hari menghasilkan rendemen sebanyak 55% dari hasil hidrolisis protein kepala udang yang dapat menimbulkan cita rasa alami (seasoning) dari kepala udang. Fermentasi kepala udang untuk menjadi seasoning juga dapat dilakukan dengan menambahkan enzim corolase N dan koji (Chang dan Li 1984). Bahan penghidrolisis yang dapat berfungsi sebagai substrat dalam proses fermentasi ikan berasal dari bahan baku yang banyak mengandung karbohidrat (Suliantari dan Rahayu 1990). Selain itu, enzim bromelin yang


(21)

mampu memecah protein juga dapat digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi ikan (Whitehurst dan Oort 2010).

Berpijak pada hal tersebut, seasoningalami dapat diekstrak dari biota laut sebagai pembangkit cita rasa alami. Secara umum hampir setiap makanan olahan di Indonesia menggunakan pembangkit cita rasa sintetik (utamanya MSG) sekalipun berefek buruk bagi kesehatan manusia. Untuk itu perlu dilakukan upaya mencari sumber pembangkit cita rasa alami yang aman bagi kesehatan manusia. Salah satunya adalah dengan pembuatan seasoningalami dari biota laut yang diekstrak dari daging siput laut gonggong (Strombus canarium).

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah pemanfaatan siput laut gonggong (Strombus canarium) menjadi seasoningalami melalui proses fermentasi (biologis/semibiologis) untuk menghidrolisis protein gonggong, sehingga dihasilkan senyawa yang dapat membangkitkan cita rasa, dan menjadi alternatif pengganti pembangkit cita rasa komersial yang ada di pasaran. Tujuan khusus yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

(1) Menentukan bahan penghidrolisis, lama hidrolisis serta komposisi terbaik yang digunakan dalam pembuatan seasoningdari gonggong.

(2) Menghasilkan seasoning alami dari gonggong melalui dua teknik pemutusan proses fermentasi (pasteurisasi dan sterilisasi) dan mengetahui lama penyimpanannya pada suhu kamar.

(3) Mengevaluasi seasoning alami yang dihasilkan, untuk menentukan seasoningalami terbaik melalui evaluasi karakteristik sensori, kimiawi dan mikrobiologi.

(4) Membandingkan karakteristik sensori dan kimiawi seasoningalami terbaik dari gonggong dengan seasoning yang sudah dikomersialkan di pasaran (saus tiram ”Saori”).


(22)

1.3 Hipotesis

Hipotesis yang diuji melalui penelitian ini yaitu :

(1) Bahan penghidrolisis, lama hidrolisis, dan komposisi mempengaruhi

hidrolisat protein daging gonggong selama fermentasi

(biologis/semibiologis).

(2) Teknik pemutusan proses fermentasi dalam pembuatan seasoning alami dari gonggong dan lama penyimpanan pada suhu kamar mempengaruhi kualitas seasoningalami dari gonggong yang dihasilkan.


(23)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Siput Laut Gonggong (Strombus canarium)

Gonggong termasuk sejenis siput laut (Strombus canarium L.1758), merupakan salah satu hewan lunak (Mollusca), banyak hidup di pantai Pulau Bintan dan sekitarnya, seperti Pulau Dompak, Pulau Lobam, Pulau Mantang, Senggarang, dan Tanjung Uban (Amini 1984). Gonggong merupakan Mollusca yang termasuk kelas Gastropoda dengan spesies Strombus sp. Klasifikasi gonggong menurut Zaidi et al. (2009) adalah sebagai berikut :

Filum : Mollusca

Kelas : Gastropoda

Ordo : Mesogastropoda

Famili : Strombiadae

Genus : Strombus

Spesies : Strombus canarium Linn.1758

Seperti halnya dengan kelas Gastropoda lainnya, ciri-ciri gonggong ialah memiliki cangkang berbentuk asimetri seperti kerucut, terdiri dari tiga lapisan periostraktum, lapisan prismatik yang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan lapisan nakre (lapisan mutiara). Gonggong berjalan dengan perut dan biasanya menggulung seperti ulir memutar ke kanan, menggendong cangkang yang berwarna coklat kekuningan, kakinya besar dan lebar untuk merayap dan mengeruk pasir atau lumpur. Sewaktu bergerak hewan ini menghasilkan lendir, sehingga pada tempat yang dilalui meninggalkan bekas lendir. Cangkang digunakan untuk melindungi diri dari serangan musuh atau kondisi lingkungan yang tidak baik (Zaidi et al. 2009).

Saluran pencernaan lengkap, berbentuk U atau melingkar. Mulut dengan radula yang mempunyai deretan-deretan gigi kitin kecil melintang untuk menggerus makanannya. Anus membuka ke rongga mantel, kelenjar pencernaan besar dengan kelenjar ludah. Gonggong termasuk hewan hermaprodit, artinya gonggong memiliki sel kelamin jantan dan betina tetapi dalam proses perkawinannya tidak bisa membuahi dirinya sendiri, sehingga harus didahului


(24)

dengan proses perkawinan semu antara dua gonggong. Tidak lama setelah melakukan perkawinan semu gonggong akan bertelur dan telur menetas bergantung pada kondisi lingkungannya (Zaidi et al. 2008). Pernapasan dilakukan dengan sebuah paru-paru di dalam rongga mantel. Sistem syaraf tipikal terdiri dari tiga pasang ganglia(serebraldi atas mulut, pedal di kaki, visceraldi tubuh), digabungkan oleh penghubung membujur dan melintang dari syaraf-syaraf, dengan alat inilah hewan tersebut menyentuh, membau dan merasa. Hewan ini memiliki bintik mata atau mata majemuk dan statosista untuk keseimbangan (Romimohtarto dan Juwana 2009).

Menurut Amini (1984) gonggong hidup tersebar di sepanjang pantai dengan dasar perairan pasir lumpur atau pasir campur lumpur yang banyak ditumbuhi tanaman laut seperti rumput setu, samo-samo (Enhalus accoroides), Thalassia spp. dan lain-lain. Kondisi perairan dimana banyak ditemukan gonggong, salinitasnya berkisar antara 26-32%, pH antara 7,1–8,0, oksigen terlarut 4,5–6,5 ppt, kecerahan air 0,5–3,0 m dan suhu antara 26-30 oC. Bentuk gonggong yang berasal dari Kepulauan Riau dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Gonggong (Strombus canarium) di Kepulauan Riau. A. Pergerakan Gonggong dari cangkangnya. B. Habitat gonggong bersama samo-samo (Enhalus sp).

(Amini 1984)

Hasil pengamatan dan penuturan para nelayan bahwa musim gonggong untuk perairan Bintan terjadi pada bulan Mei sampai dengan bulan Oktober. Musim gonggong dipengaruhi oleh lama tidaknya surut terendah pada bulan-bulan tertentu. Saat air laut surut banyak dilakukan penangkapan gonggong yang bermunculan di permukaan pasir ataupun lumpur. Gonggong ditangkap apabila


(25)

keadaan air laut surut/kering dan terjadi pada siang atau sore hari. Apabila surut terendah terjadi pada malam hari tidak dilakukan penangkapan. Penangkapan gonggong hanya diambil dengan tangan (Amini 1984). Tetapi dewasa ini penangkapan gonggong tidak perlu menunggu waktu air laut surut karena nelayan sudah membuat alat tangkap khusus gonggong berupa pukat/jaring yang diberi pemberat dari besi, sehingga panen gonggong menjadi lebih mudah dan memberikan hasil lebih banyak.

Gonggong mengandung kadar protein yang tinggi jika dibandingkan dengan kadar protein dari jenis kerang-kerangan lainnya. Adapun nilai gizi gonggong dan jenis kerang-kerangan lain dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan nilai gizi gonggong dengan kerang-kerangan (%)

Jenis Kadar air Protein Lemak Kadar abu

Gonggong 80,79 15,38 1,10 1,45

Tiram 80,80 9,47 1,54

-Kerang darah 76,20 12,30 6,50 1,93

Sumber : Amini (1984)

2.2 Fermentasi

Proses fermentasi sering didefinisikan sebagai proses pemecahan karbohidrat dan protein secara anarobik, yaitu tanpa memerlukan oksigen (Fardiaz 1993). Umumnya proses fermentasi hanya terjadi pada kondisi anaerobik untuk mendegradasi senyawa organik yang mengandung karbohidrat, asam amino, purin, dan pirimidin (Munn 2004). Fermentasi adalah proses pemecahan karbohidrat menjadi alkohol dan karbondioksida (CO2), tetapi banyak proses yang disebut fermentasi tidak selalu menggunakan substrat karbohidrat sebagai media fermentasi. Selain karbohidrat, media fermentasi dapat berasal dari protein dan lemak yang dipecah oleh mikroba dan enzim tertentu untuk menghasilkan asam amino, asam lemak dan zat-zat lainnya (Rahayu et al. 1992). Proses fermentasi mikroba dalam bioreaktor merupakan unit untuk memproduksi enzim, dan dapat bekerjasama dengan mikroba untuk mendegradasi substrat sehingga menghasilkan produk akhir yang memiliki rasa dan aroma yang khas (Whitehurst dan Oort 2010).


(26)

Fukami et al. (2000) menjelaskan bahwa pada prinsipnya fermentasi adalah proses perubahan substrat organik yang kompleks menjadi komponen yang lebih sederhana dengan adanya aktivitas enzim atau mikroba dalam keadaan terkontrol, dan komponen yang dihasilkan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan serta perubahan yang terjadi dapat memperbaiki nilai gizi produk. Menurut Ichimura et al. (2003) fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut. Hasil fermentasi tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), jenis mikroba dan kondisi di sekeliling yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut.

Berdasarkan sumber mikroba yang berpengaruh dalam fermentasi, maka fermentasi makanan dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu fermentasi spontan dan fermentasi tidak spontan. Fermentasi spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter, tetapi mikroba yang berperan aktif dalam proses fermentasi berkembangbiak secara spontan karena lingkungan hidupnya yang dibuat sesuai untuk pertumbuhannya. Fermentasi tidak spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya ditambahkan mikroba dalam bentuk kultur atau starter, mikroba inilah yang akan berkembangbiak dan aktif dalam mengubah bahan yang difermentasi menjadi produk yang diinginkan (Fardiaz 1993).

Fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses penguraian secara biologis atau semibiologis terhadap senyawa-senyawa kompleks terutama protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan terkontrol. Selama fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asan amino dan peptida yang berperan dalam pembentukan cita-rasa produk. Jika dalam bahan mentahnya ditambahkan sumber karbohidrat, misalnya pati atau nasi, maka selama fermentasi akan terjadi pemecahan pati menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana yaitu asam laktat dan alkohol (Rahayu et al.1992; Jayet al. 2005).


(27)

Apabila selama proses fermentasi ikan digunakan beras sebagai substrat maka akan terjadi perubahan pada pH, kadar air dan proteinnya. Semakin lama fermentasi maka nilai pH dari suatu produk akan semakin turun. Penurunan pH ini disebabkan terbentuknya asam laktat yang akan berpengaruh terhadap nilai pH dari produk, sedangkan untuk kandungan proteinnya tergantung dari jenis dan perbandingan bahan yang digunakan. Produk yang berkualitas baik dapat diperoleh jika keberadaan khamir dan kapang dapat dihindarkan, karena akan menyebabkan terbentuknya alkohol, sehingga dapat menurunkan mutu produk (Rahayu dan Suliantari 1990).

Fermentasi yang dilakukan pada wadah tertutup dapat menghasilkan produk solubilisasi berupa cairan atau semi cair yang mempunyai bau, rasa dan penampakan khas. Setelah itu, cairan dikeluarkan dari wadah dan diproses lebih lanjut dengan penyaringan sebelum dikemas. Proses yang lain menghasilkan produk yang masih menampakkan bentuk ikan sehingga jenis ikan yang digunakan masih dapat dikenali. Secara garis besar produk perikanan yang dihasilkan dari berbagai proses fermentasi dapat digolongkan ke dalam tiga tipe produk, yaitu : (1) produk yang sebagian besar bentuk asli ikan atau potongan ikan dipertahankan, (2) produk yang bentuk asli ikannya direduksi ke dalam bentuk pasta, (3) produk yang bentuk asli ikannya direduksi ke dalam bentuk cairan (Irianto dan Giyatmi 2009).

Peranan garam dalam fermentasi adalah sebagai penyeleksi mikroorganisme yang diperlukan. Banyaknya jumlah garam yang ditambahkan berpengaruh pada populasi mikroorganisme dan jenis mikroorganisme yang tumbuh. Oleh karena itu kadar garam dapat digunakan untuk mengendalikan aktivitas fermentasi apabila faktor-faktor lainnya sama (Winarno et al. 1993). Penambahan garam dalam fermentasi ikan mempunyai beberapa fungsi yaitu meningkatkan rasa ikan, membentuk tekstur yang diinginkan, mengontrol pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan dalam fermentasi dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen (Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993; Ijong dan Ohta 1995; Jay et al. 2005). Garam dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen karena garam mempunyai sifat-sifat antimikroba yaitu garam akan


(28)

meningkatkan tekanan osmotik substrat, menyebabkan terjadinya penarikan air dalam bahan pangan, sehingga aw (water activity) bahan pangan akan menurun dan mikroorganisme tidak akan tumbuh. Selain itu, garam dapat menyebabkan terjadinya penarikan air dari sel mikroorganisme sehingga sel akan kehilangan air dan mengalami pengerutan, ionisasi garam akan menghasilkan ion klor yang beracun terhadap mikroorganisme dan dapat mengganggu kerja enzim proteolitik karena dapat menyebabkan denaturasi protein (Rahayu et al.1992).

Beberapa keuntungan lain produk fermentasi selain memiliki rasa dan aroma yang lebih diterima oleh konsumen adalah dapat meningkatkan kandungan vitaminnya sehingga lebih mudah dicerna dan dapat menghilangkan racun pada beberapa bahan makanan, misalnya peyem, dan tempe bongkrek (Jay et al. 2005). 1.2.1 Bahan penghidrolisis

Banyak produk makanan yang diproduksi melalui proses fermentasi seperti keju, sosis, asinan, anggur, dan kecap ikan. Semua produk fermentasi tersebut sangat dipengaruhi oleh bahan penghidrolisis yang dapat berfungsi sebagai substrat bagi mikroorganisme atau media yang dapat menghasilkan enzim selama proses fermentasi. Produk-produk fermentasi selalu memiliki karakteristik aroma dan rasa yang khas. Bahan penghidrolisis yang digunakan umumnya mengandung karbohidrat tinggi misalnya beras, kedelei, dan gandum atau bahan-bahan yang mengandung enzim yang dapat memecah protein (Jay et al.2005).

Bahan penghidrolisis yang dapat berfungsi sebagai substrat dalam proses fermentasi ikan berasal dari bahan baku yang banyak mengandung karbohidrat (Suliantari dan Rahayu 1990; Murtini et al.1997). Selain itu, enzim bromelin dari buah nenas juga mampu memecah protein, sehingga dapat digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi ikan (Whitehurst dan Oort 2010).

(1) Air tajin (air didihan beras)

Air tajin adalah air didihan beras yang diambil pada saat menanak nasi. Biasanya air tajin digunakan sebagai pengganti susu formula untuk bayi-bayi yang tidak mampu mencerna susu sapi, susu bagi anak-anak autis dan umumnya di Indonesia air tajin menjadi minuman favorit untuk bayi-bayi dari kalangan keluarga yang kurang mampu. Air tajin mempunyai banyak khasiat karena


(29)

didalamnya terkandung berbagai vitamin B dan berbagai zat gizi dari beras. Beras adalah hasil pengupasan dari gabah yang merupakan biji padi. Padi (Oryza sativa) merupakan tanaman yang banyak dijumpai di daerah Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Beras merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di Indonesia, sehingga konsumsi beras dalam bentuk olahan sangat sedikit dibandingkan dengan yang dikonsumsi secara langsung dengan ditanak (Suliantari dan Rahayu 1990). Sebagai sumber karbohidrat, beras mempunyai nilai gizi yang cukup baik jika dibandingkan dengan sumber karbohidrat lainnya. Komposisi kimia beras dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi kimia beras

Komponen Jumlah

Kalori (Kal/100 g) 360

Karbohidrat (%) 77,7

Protein (%) 7,5

Lemak (%) 1,9

Serat kasar (%) 0,9

Abu (%) 1,2

Tiamin (mg/100 g) 0,34

Riboflavin (mg/100 g) 0,05

Niacin (mg/100 g) Kadar air (%)

4,7 12

Sumber : Suliantari dan Rahayu (1990)

Beras mengandung pati yang terdapat dalam bentuk granula-granula pati. Pati adalah polimer molekul-molekul glukosa dengan ikatan alfa 1-4 glukosida. Polimer yang lurus dikenal dengan nama amilosa sedangkan polimer yang bercabang adalah amilopektin. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin pada beras bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis berasnya. Beras dengan kandungan amilosa 17–22% akan terasa pulen, sedangkan yang kadar amilosanya 25% atau lebih akan terasa pera dan bila dimasak kemudian didinginkan akan terasa keras. Dengan demikian kandungan amilosa dan amilopektin pada air tajin juga ditentukan oleh jenis beras yang ditanak (Suliantari dan Rahayu 1990).

Beras sebagai bahan baku fermentasi digunakan sebagai substrat dalam pembuatan minuman berakohol seperti sake, sonte, tape ketan dan berbagai produk lainnya. Beras dapat juga digunakan sebagai bahan tambahan atau bahan


(30)

pembantu dalam proses fermentasi seperti pada pembuatan bekasam, tauco atau kecap (Suliantari dan Rahayu 1990; Murtini et al.1997).

(2) Nenas (Ananas comosus)

Tanaman nenas termasuk famili Bromeliceae dari kelas

Monokotyledoneae. Nenas merupakan tanaman hortikultura yang mulai berproduksi pada umur 12 bulan. Nenas adalah salah satu buah tropis dengan daging buah berwarna kuning dan memiliki kandungan air 90%, kaya vitamin dan mineral. Buah nenas juga terdapat enzim yang dikenal dengan nama enzim bromelin. Enzim bromelin merupakan suatu enzim protease yang mampu memecah protein menjadi asam amino dan peptidanya. Enzim bromelin dalam kehidupan sehari-hari digunakan untuk membantu melunakkan daging yang akan diolah seperti halnya enzim papain yang dihasilkan dari tanaman papaya. Enzim bromelin tidak rusak karena pembekuan, akan tetapi akan inaktif bilamana buah nenas dipanaskan dengan cara pasteurisasi maupun sterilisasi (Muljohardjo 1990).

Daging buah nenas juga banyak mengandung karbohidrat dalam bentuk gula sederhana (sukrosa, fruktosa dan glukosa). Buah nenas yang masak mengandung zat gizi yang cukup tinggi. Tabel 3 menunjukan kandungan zat gizi dalam 100 gram buah nenas.

Tabel 3 Komposisi zat gizi dalam 100 gram buah nenas masak

Komponen Jumlah

Kalori (Kal/ 100 g) 52

Kadar air (g) 85,3

Karbohidrat (g) 13,7

Protein (g) 0,4

Lemak (g) 0,2

Vitamin A (SI) 130

Vitamin B1 (mg) 0,08

Vitamin C (mg) 24,00

Besi (mg) 0,3

Kalsium (mg) 16,0

Posfor (mg) 11,0


(31)

1.2.2 Teknik pemutusan proses fermentasi

Mikrooganisme banyak terdapat di udara, air dan tanah. Proses fermentasi merupakan salah satu cara pengolahan makanan secara tradisional yang melibatkan aktivitas mikroorganisme (bakteri, kapang dan khamir) pada suhu kamar. Proses pemutusan fermentasi diperlukan untuk mengeliminasi mikroba sehingga fermentasi tidak berlanjut. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga kualitas produk yang diinginkan, membunuh mikroorganisme pembusuk dan patogen. Umumnya untuk membunuh jasad renik pada proses fermentasi dilakukan dengan dua cara yaitu pasteurisasi dan sterilisasi (Fardiaz 1989; Jay et al.2005; Irianto dan Giyatmi 2009; Whitehurst dan Oort 2010).

(1) Pasteurisasi

Pasteurisasi adalah proses pemanasan pada suhu dan waktu tertentu dimana semua mikroba patogen yang berbahaya bagi manusia akan terbunuh, misalnya bakteri penyebab tuberculosis. Pasteurisasi biasanya dilakukan terhadap susu, karena proses ini dapat mencegah penyakit yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes. Pasteurisasi dapat dilakukan pada suhu yang relatif rendah dalam waktu yang relatif lama, yaitu 65 oC selama 30 menit. Proses pasteurisasi dapat dilakukan dengan menggunakan waterbath atau alat pasteurisasi (continuous pasteurizer). Beberapa bakteri vegetatif yang tahan panas (termofil) dan berspora, masih tahan terhadap proses pasteurisasi. Produk yang dipasteurisasi harus segera didinginkan dengan cepat untuk mencegah pertumbuhan bakteri yang masih hidup (Fardiaz 1993; Whitehurst dan Oort 2010).

Keuntungan teknik pemanasan dengan pasteurisasi yang sering digunakan pada proses pengolahan makanan fermentasi tradisional adalah dapat memberikan cita rasa produk yang lebih enak, tidak menimbulkan reaksi pencoklatan (reaksi Maillard) dan aman untuk dikonsumsi. Beberapa mikroba patogen yang tidak dapat dihilangkan selama proses pasteurisasi diantaranya Clostridium botulinum, C. tyrobutyricum, Clostridium sporogenes dan Bacillus cereus (Jay et al. 2005). Proses pasteurisasi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu pasteurisasi dengan suhu rendah dan waktu yang lama low temperature-long time(LTLT) dan pasteurisasi


(32)

dengan suhu lebih tinggi dalam waktu singkat high temperature-short time (HTST). Pasteurisasi dengan LTLT dilakukan pada suhu 63 oC selama 30 menit dan HTST pada suhu 72 oC selama 15 detik. Pasteurisasi dengan LTLT atau HTST hanya dapat membunuh Mycobacterium yang termasuk golongan psikotropik, misalnya Streptococcus, Enterococcus, Microbacterium, Lactobacillus, Mycobacterium dan Corynebacterium (Jay et al. 2005). Inaktifasi enzim protease dilakukan dengan pasteurisasi pada suhu 50-80 oCselama 30 menit untuk melindungi produk akhir dari terjadinya reaksi Maillard dan terbentuknya struktur asam amino lisin-alanin yang sangat berpengaruh pada cita rasa produk akhir dan menyebabkan kerusakan produk (Whitehurst dan Oort 2010).

(2) Sterilisasi

Sterilisasi adalah suatu proses untuk membunuh semua jasad renik yang ada, sehingga jika ditumbuhkan di dalam suatu medium tidak ada lagi jasad renik yang dapat berkembangbiak. Sterilisasi harus dapat membunuh jasad renik yang paling tahan terhadap panas yaitu spora bakteri. Sterilisasi yang digunakan dalam pengolahan pangan dikenal dengan nama sterilisasi komersial yaitu suatu proses untuk membunuh semua jasad renik yang dapat menyebabkan kebusukan makanan pada kondisi suhu penyimpanan yang ditetapkan. Proses sterilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan autoklaf untuk membunuh spora bakteri yang paling tahan panas yaitu pada suhu 121 oC selama 15 menit. Untuk sterilisasi bahan cair seperti susu juga dapat dilakukan pada suhu yang relatif tinggi dalam waktu yang sangat singkat, yaitu 135–150oC selama 2–6 detik, yang dikenal dengan proses Ultra High Temperature(UHT) (Fardiaz 1989).

Proses sterilisasi dengan UHT (sterilisasi komersial) pada suhu 135-140 oC selama 1 detik dapat juga dilakukan untuk membunuh tidak hanya bakteri patogen yang tidak berspora, tetapi mampu membunuh semua mikroorganisme berspora. Produk yang sudah disterilisasi dengan UHT dalam kemasan steril dapat bertahan pada suhu kamar selama 40–45 hari. Proses sterilisasi dapat menambah cita rasa baru karena terjadi reaksi pencoklatan (reaksi Maillard) (Jay et al. 2005). Sterilisasi berdasarkan suhu pemanasan yang digunakan untuk inaktivasi enzim atau membunuh mikroorganisme, dapat dibagi


(33)

2 yaitu continuous operation (sterilisasi pada suhu tinggi 150 oC dengan waktu kontak yang singkat 3–5 menit) dan batch operation(sterilisasi pada suhu rendah 121 oC dengan waktu kontak lebih lama 30–60 menit). Continuous operation umumnya digunakan untuk produk cair atau larutan sedangkan batch operation digunakan pada produk padat atau produk yang tidak dapat larut air (Whitehurst dan Oort 2010).

2.3 Pembangkit Cita Rasa (Seasoning)

Menurut Winarno (2008) seasoning atau dikenal dengan pembangkit cita rasa adalah suatu proses memberi flavor atau memperbaiki flavorpada makanan. Seasoning dikenal juga dengan istilah flavor potentiator yaitu suatu bahan yang dapat digunakan untuk meningkatkan rasa enak (flavor enhancer) atau menekan rasa yang tidak diinginkan dari suatu bahan makanan. Bahan itu sendiri tidak atau sedikit mempunyai cita rasa. Flavor potentiator (seasoning) merupakan senyawa yang mampu meningkatkan rasa dan mengurangi rasa yang tidak diinginkan seperti rasa bawang yang tajam, rasa sayuran mentah yang tidak menyenangkan, ataupun rasa pahit pada sayuran yang dikalengkan. Seasoning juga mampu meningkatkan rasa asin, atau memperbaiki keseimbangan cita rasa makanan olahan. Seperti contohnya, penambahan asam L-glutamat pada daging atau sop akan menimbulkan cita rasa yang lain dari cita rasa asam amino tersebut (Farrel 1985; Reineccius 1994; Winarno 2008).

Menurut Winarno (2008) dua jenis bahan pembangkit cita rasa yang umum adalah asam amino L atau garamnya, misalnya monosodium glutamat (MSG) dan jenis 5’-nukleotida seperti inosin 5’-monofosfat (5’-IMP), guanidin 5’monofosfat (5’-GMP). Flavor potentiator yang umum digunakan adalah monosodium glutamat (MSG). Senyawa monosodium glutamat (MSG) dikenal juga sebagai flavor enhancer karena mempunyai kemampuan meningkatkan cita rasa, seperti rasa gurih (umami). Di pasaran senyawa tersebut terdapat dalam bentuk kristal monohidrat dan dikenal sebagai Ajinomoto, Sasa, Miwon, Maggie atau berupa campuran pembangkit cita rasa seperti Masako, Royco dan Saori. Semua nama tersebut merupakan nama merk dagang untuk MSG, dengan struktur molekul seperti pada Gambar 2.


(34)

Gambar 2 Struktur molekul monosodium glutamat (MSG).

(Reineccius 1994)

Struktur MSG tersebut memiliki satu karbon asimetrik, yaitu karbon keempat dari kiri. Karbon tersebut terikat oleh empat gugus yang saling berbeda, sehingga asam glutamat maupun garamnya terdapat dalam tiga bentuk, yaitu isomer L dan D dan bentuk resemik DL. Bentuk L adalah bentuk yang terdapat di alam, dan juga merupakan bentuk isomer yang aktif. Bentuk L inilah yang memiliki kekuatan membangkitkan atau mempertegas cita rasa beberapa komoditi misalnya daging, ikan serta berbagai hidangan lain.

Asam glutamat diperoleh dari bahan yang mengandung protein dan dapat dibuat secara hidrolisis asam dari bahan-bahan seperti gandum, jagung atau molase. Asam glutamat terbentuk dengan cara melarutkan bahan-bahan tersebut ke dalam asam klorida (HCl) hingga pH 3,2 dan akan terbentuk kristal secara lambat. Kemudian dilakukan netralisasi dengan NaOH atau dekolorisasi dan dikristalkan. Zaman dahulu di negeri Cina, senyawa pembangkit cita rasa yang kini dikenal dengan nama MSG diproduksi dari rumput laut, tetapi sekarang MSG dibuat dan diproduksi secara besar-besaran dengan menggunakan bahan mentah gluten dari gandum, jagung, kedelei serta dari hasil samping pembuatan gula bit atau molase gula tebu. Selain itu, MSG juga dapat dibuat dari hasil fermentasi karbohidrat. Di Indonesia MSG lebih banyak diproduksi dari molase. Asam glutamat yang muncul dari proses pembuatan gula biasanya berbentuk glutamin. Glutamin diubah menjadi asam glutamat dalam bentuk L-glutamat dan pirolidin karboksilat (Bellanca dan Furia 2000; Winarno 2008).

Pembangkit cita rasa sintetik (MSG) murni memiliki ciri khas tidak berbau, tetapi memiliki rasa yang nyata yaitu campuran rasa manis dan asin yang enak terasa di mulut. Senyawa MSG dalam kehidupan sehari-hari digunakan


(35)

sebagai penyedap rasa pada masakan sup, sayuran, dan pengolahan makanan berbahan dasar ikan atau daging (sosis, bakso, burger, steak, kornet, sarden, ikan asap dan lain-lain). Mekanisme kerja MSG sehingga dapat menambah cita rasa adalah disebabkan oleh hidrolisis protein dalam mulut (Pikielna dan Kostyra 2007; Winarno 2008).

Senyawa MSG dapat menyebabkan sel reseptor rasa lebih peka sehingga dapat menikmati rasa dengan lebih baik (Brand 2000). Jika MSG dikonsumsi sewaktu perut masih kosong atau lapar dalam hidangan sup dengan kadar MSG yang biasanya relatif sangat tinggi, maka MSG dapat dengan cepat terserap ke dalam darah yang kemudian menyebabkan manusia menderita penyakit CRS (Chinese Restaurant Syndrome). Konsumsi MSG dengan dosis 0,8% dalam 300-400 ml sup pada saat perut kosong dapat menyebabkan CRS (Zautcke et al. 1986). Ciri-ciri penyakit CRS diantaranya: orang tersebut merasa kesemutan pada punggung leher, rahang bawah, serta leher bagian bawah yang kemudian terasa panas, wajah berkeringat, sesak dada bagian bawah, dan pusing kepala. Hasil penelitian terhadap serum darah pasien, ternyata glutamat bukan senyawa penyebab langsung munculnya CRS tetapi disebabkan oleh senyawa hasil metabolisme glutamat seperti GABA (gamma amino butyric acid), serotinin dan histamin (Zautcke et al. 1986; Reineccius 1994; Winarno 2008).

Analisis kimiawi terhadap bahan-bahan pembangkit cita rasa (seasoning) digunakan untuk menentukan struktur komponen kimia utama yang menyusun bahan cita rasa tersebut. Analisis yang sering digunakan dalam pengujian mutu suatu bahan pembangkit cita rasa seperti indeks refraksi, berat jenis, total asam dan indera manusia melalui uji sensori (uji hedonik dan uji perbedaan pasangan) (Winarno 2008). Evaluasi seasoning dengan menggunakan indera manusia dapat juga dilakukan dengan cara mencampurkan seasoning ke dalam sup panas 60 oC, lalu diaduk dan disajikan panas kepada para panelis (Mahony 1986; Lyraz 1990). Selain itu, evaluasi seasoning dapat dilakukan dengan menentukan kandungan asam amino bebasnya. Kandungan asam amino bebas dari suatu produk dapat menentukan karakteristik pembangkit cita rasa yang akan muncul dari berbagai jenis ikan dan kerang-kerangan (Konosu dan Yamaguchi 1987).


(36)

Menurut Hayashi et al. (1981) asam amino bebas seperti asam glutamat, alanin, glisin dan arginin dapat memberikan rasa enak dan lezat yang dikenal dengan nama umami (sebutan rasa enak atau deliciousness yang dikenal di Jepang). Secara umum senyawa pembangkit cita rasa umami pada makanan berupa nukleotida seperti disodium 5’inosinnat (IMP) dan disodium 5’guanilat (GMP) dan monosodium L-glutamat (MSG). Nukleotida ini dapat dibuat secara sintetik maupun secara alami dan dapat ditemukan juga pada bahan baku ikan, daging, hewan krustasea dan hewan moluska (Lee 1994). Selain glutamat bebas, asam amino glisin bebas juga dapat berkontribusi sebagai senyawa pembangkit cita rasa. Asam amino bebas glisin merupakan asam amino nonpolar dan banyak terdapat secara bebas di dalam jaringan kolagen (2/3 protein kolagen adalah glisin) dan dapat memberikan rasa manis pada makanan (Rousseaux 2008).

Berbagai penelitian tentang bahaya MSG bagi kesehatan manusia yang dilakukan sampai sekarang masih menimbulkan banyak polemik dan kontraversi. Beberapa penelitian ada yang bertentangan dengan penelitian John Olney (1969), misalnya yang dilakukan oleh Toyama et al. (2008) bahwa fortifikasi MSG dengan dosis 0,5% (w/w) yang diberikan pada makanan pokok pasien manula (85 tahun ke atas) dapat berfungsi untuk menahan infeksi dan meningkatkan imunitas manula. Penelitian lainnya telah melaporkan bahwa penggunaan MSG dapat menghambat produksi asam lambung bagi penderita kelainan pencernaan (dispepsia) (Kusano et al.2010) dan MSG aman dikonsumsi bagi penderita asma (Yoneda et al. 2011). Akan tetapi lebih banyak penelitian yang mendukung hasil penelitian Olney (1969), misalnya penelitian Terranishi et al.(1998), Nagata et al. (2006), Rausseaux (2008) dan Kondoh et al. (2009). Hasil penelitian tersebut kemudian direkomendasikan oleh organisasi international yaitu WHO/FAO berupa rumusan tentang bahaya mengkonsumsi MSG dalam dosis yang tinggi (120 mg/kg berat badan/hari) sebagai berikut: (1) Aspek toksikologi, bahwa MSG mengandung residu yang beracun yang dapat merusak organ tubuh seperti sel-sel syaraf otak di bagian hipotalamus, kerusakan hati, kematian sel dan mengganggu hormon pertumbuhan. (2) Aspek mikrobiologis, bahwa MSG dapat menstimulasi pertumbuhan mikroba yang mengganggu keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan sehingga menyebabkan gangguan dalam pencernaan dan metabolisme


(37)

makanan. (3) Aspek immunopatologis bahwa MSG mengandung residu yang dapat menurunkan tingkat kekebalan tubuh (WHO 1987).

Hingga sekarang bahaya dan gejala-gejala yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi MSG belum cukup lengkap untuk dapat diungkap secara gamblang dan memuaskan. Hal ini disebabkan karena pengembangan seasoning (utamanya MSG) yang dilakukan di beberapa negara di dunia tidak murni berasal dari hasil penelitian, tetapi lebih banyak untuk tujuan bisnis. Menurut Jyotaki et al. (2009), setiap individu mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap pengaruh penambahan MSG pada makanannya, tergantung pada kebiasaan pola makannya (dengan menggunakan MSG atau tanpa MSG) sejak balita.


(38)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Nopember 2009 sampai dengan Februari 2011. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium di lingkup Institut Pertanian Bogor, yaitu Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB; Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Organoleptik di Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Kimia Terpadu, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi bahan yang digunakan untuk pembuatan seasoning dan bahan untuk analisis. Bahan yang digunakan untuk pembuatan seasoning adalah siput laut gonggong (Strombus canarium) yang diperoleh dari Pulau Bintan (Pulau Dompak), Kepulauan Riau dengan sebaran gonggong dapat dilihat pada Gambar 3. Pengambilan gonggong dilakukan pada sore hari melalui penangkapan secara langsung di laut menggunakan alat tangkap gonggong. Gonggong yang masih hidup didiamkan semalaman di dalam laut sebelum dikemas dalam kardus, untuk kemudian dibawa ke Bogor sekitar 4-5 jam. Gonggong yang digunakan dalam pembuatan seasoning alami berukuran sebagai berikut : panjang 7,12±0,02 cm dan lebar 3,56±0,05 cm dan berat gonggong dengan cangkang 50±0,01 g. Jumlah gonggong yang digunakan dalam penelitian ini sekitar 300 ekor. Bahan lainnya yang digunakan adalah beras, buah nenas, garam dan gula. Jus nenas dan sari nenas yang digunakan sebagai bahan penghidrolisis dibuat berdasarkan modifikasi Raghavan (2006) (Lampiran 1). Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis adalah bahan kimia untuk analisisproksimat, total plate count (TPC), analisis pH, analisis total asam laktat tertitrasi, dan analisis asam amino bebas, diantaranya: K2SO4, CuSO4, H2SO4, H2O2, kloroform, methanol, etanol, H3BO3, indikator (bromchresol green, methyl red, bromthymol blue, fenolftalein), NaOH, HCl,


(39)

NaCl, buffer pH 4 dan 7, K2CO3, garam fisiologis, plate count agar (PCA), ortoftalaldehida(OPA) dan sulfosalycylic acid(SSA).

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian juga dapat dibagi menjadi peralatan yang digunakan untuk membuat seasoning dan peralatan untuk analisis. Peralatan yang digunakan untuk membuat seasoning antara lain : pisau, telenan, alat peniris, palu, pinset, baskom, thermometer, alumunium foil dan botol-botol gelas sebagai wadah penyimpanan. Peralatan yang digunakan untuk analisis antara lain : timbangan analitik, pH-meter digital, oven, tanur, cawan conway, desikator, Kjeltec system, Soxhlet system, stirrer, waterbath, autoklaf, kertas saring milipore, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), dan peralatan gelas lainnya.

3.3 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan meliputi : (1) Karakterisasi kimia gonggong segar (uji proksimat dan asam amino bebas), (2) Penentuan bahan penghidrolisis, lama hidrolisis dan komposisi terbaik yang akan digunakan dalam pembuatan seasoning pada penelitian lanjutan. Penelitian lanjutan adalah pengolahan gonggong menjadi seasoning alami melalui dua teknik pemutusan proses fermentasi yaitu pasteurisasi dan sterilisasi serta menentukan karakteristik produk tersebut pada suhu kamar.

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Kegiatan penelitian pendahuluan meliputi: (1) Karakterisasi kimia gonggong segar setelah dilepaskan dari cangkangnya (uji proksimat dan asam amino bebas). (2) Penentuan bahan penghidrolisis terhadap gonggong (1:1 b/v) dan lama hidrolisis dengan penambahan garam 15% dan gula 2%, masing-masing dilakukan tiga kali ulangan. Perlakuan pada penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis adalah sebagai berikut :


(40)

Gambar 3 Peta penyebaran gonggong di Kepulauan Riau.


(41)

A. Bahan penghidrolisis A1. Air tajin

A2. Jus nenas A3. Sari nenas B. Lama hidrolisis

B1. 10 hari B2. 20 hari B3. 30 hari

(3) Penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis. Penentuan ini menggunakan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis terpilih dari perlakuan sebelumnya dan masing-masing dilakukan tiga kali ulangan. Perlakuan pada penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis adalah sebagai berikut :

a. 1 : 1 b. 1 : 2 c. 1 : 3 d. 1 : 4 e. 1 : 5

Diagram alir penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis (Gambar 4) dan diagram alir penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis (Gambar 5).


(42)

Gambar 4 Diagram alir penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis (Modifikasi Lyraz 1990).

Pelepasan gonggong dari cangkangnya

Perendaman gonggong (garam 4% dalam 1 liter air) selama 48 jam pada 4oC Karakterisasi kimia

(uji proksimat, uji asam amino bebas)

Komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis (air tajin, juice nenas ,sari nenas) = 1:1 b/v, penambahan garam 15% dan gula 2%

Pemeraman dalam wadah tertutup (fermentasi) pada suhu kamar, dengan lama hidrolisisis (10, 20 dan 30 hari)

Penyaringan dan filtrat dipasteurisasi pada suhu 70oC selama 30 menit Gonggong segar

Seasoningalami terpilih Pencucian dan penirisan

Perhitungan rendemen hasil hidrolisis


(43)

Gambar 5 Diagram alir penentuan komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis (Modifikasi Lyraz 1990).

Pelepasan gonggong dari cangkangnya

Pencucian dan penirisan

Komposisi gonggong : bahan penghidrolisis (terpilih) = 1:1, 1:2, 1: 3, 1:4 dan 1:5 (b/v), penambahan garam 15% dan gula 2%

Pemeraman dalam wadah tertutup (fermentasi) pada suhu kamar dengan lama hidrolisis terpilih

Penyaringan dan filtrat dipasteurisasi pada suhu 70oC selama 30 menit Gonggong segar

Seasoningalami terpilih

Perendaman gonggong (garam 4% dalam 1 liter air) selama 48 jam pada 4oC

Pencucian, penirisan dan pemotongan sampai halus


(44)

3.3.2 Penelitian lanjutan

Kegiatan penelitian lanjutan yaitu pembuatan seasoning alami dari gonggong (Strombus canarium) dengan menggunakan bahan penghidrolisis, lama hidrolisis dan komposisi terpilih dari penelitian pendahuluan. Perlakuan pada penelitian lanjutan adalah sebagai berikut :

A. Teknik pemutusan fermentasi A1. Pasteurisasi

A2. Sterilisasi B. Lama penyimpanan

B1.0 hari B2.7 hari B3.14 hari

Masing-masing perlakuan dilakukan tiga kali ulangan. Pembuatan seasoning alami dari gonggong dilakukan dengan fermentasi (biologis/semibiologis) pada suhu kamar. Penambahan garam 15% dan gula 2% yang digunakan pada pembuatan seasoningalami dari gonggong didasarkan pada penelitian pembuatan bekasam (Murtini et al.1997). Setelah dihasilkan seasoning alami dengan perlakuan tersebut, selanjutnya dilakukan evaluasi karakteristik sensori (uji hedonik dan uji skoring), karakteristik kimiawi (pH, total asam laktat) dan uji mikrobiologis (uji TPC) untuk menentukan seasoning alami terbaik. Kemudian seasoning terbaik dilakukan evaluasi karakteristik sensori (uji perbandingan pasangan dan deskripsi) dan karakteristik kimiawi (uji proksimat dan asam amino bebas) terhadapseasoning yang sudah ada di pasaran yaitu saus tiram “Saori”. Secara ringkas diagram alir penelitian lanjutan disajikan pada Gambar 6.

3.4 Prosedur Analisis

Prosedur analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi uji sensori, uji kimiawi dan uji mikrobiologi.


(45)

Gambar 6 Diagram alir penelitian lanjutan pembuatan seasoning alami dari gonggong (Modifikasi Lyraz 1990).

Pelepasan gonggong dari cangkangnya

Pencucian dan penirisan

Pembuatan seasoning alami dengan bahan penghidrolisis dan komposisi optimum yang terpilih dari penelitian pendahuluan , penambahan garam 15% dan gula 2%

Pemeraman dalam wadah tertutup (fermentasi) pada suhu kamar, dengan lama hidrolisis terpilih dari penelitian pendahuluan

Pasteurisasi pada suhu 70oC selama 30 menit atau sterilisasi 121 oC selama 15 menit

Uji sensori (uji hedonik, skoring), uji kimiawi (pH, total asam laktat), uji mikrobiologi (TPC) untuk mendapatkan seasoningterbaik

Seasoning alami terbaik dari gonggong

Seasoningterbaik dikarakterisasi sensori (uji deskripsi, uji perbandingan pasangan) dan karakterisasi kimiawi dengan produkseasoningkomersial (saus tiram “saori”)

Penyimpanan seasoningalami pada suhu kamar selama 0 hari, 7 hari dan 14 hari Perendaman gonggong (garam 4% dalam 1 liter air) selama 48 jam pada suhu 4oC

Pencucian, penirisan dan pemotongan sampai halus Gonggong segar


(46)

Sebelum dilakukan pengujian terhadap sampel, dilakukan pelatihan terlebih dahulu terhadap 20 orang panelis. Secara umum syarat seorang panelis terlatih adalah sehat, percaya diri, rasa ingin tahu yang tinggi, memahami analisis sensori, dapat berkonsentrasi dan bersedia meluangkan waktu untuk melakukan tes. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan panelis yang menyukai produk yang akan diujikan yaitu seasoning alami dari siput laut gonggong, tidak alergi dan dapat mengambil keputusan yang tepat dalam penilaian sampel (Setyaningsih et al. 2010). Pelatihan terhadap panelis dilakukan selama satu minggu. Materi pelatihan meliputi pengenalan bahan baku (siput laut gonggong yang direbus), metode seleksi panelis terlatih (Lampiran 2) dan uji coba terhadap semua sampel yang akan diujikan sampai akhirnya terpilih 10 orang panelis terlatih.

(1) Uji hedonik (hedonic test) (SNI 01-2346-2006)

Uji hedonik berfungsi untuk mengukur tingkat kesukaan panelis terhadap sampel dengan menggunakan lembar penilaian. Pada uji hedonik, tingkat kesukaan panelis bervariasi tergantung rentangan mutu yang ditentukan. Penilaian uji hedonik pada penelitian ini meliputi rasa, aroma dan warna, dengan skala penilaian berkisar dari 1–9 yaitu: amat sangat suka (9), sangat suka (8), suka (7), agak suka (6), netral (5), agak tidak suka (4), tidak suka (3), sangat tidak suka (2), amat sangat tidak suka (1). Lembar penilaian (scoresheet) untuk uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 3. Penilaian hasil uji hedonik ini selanjutnya dapat dianalisis secara statistik untuk penarikan kesimpulan.

(2) Uji skoring (SNI 01-2346-2006)

Uji skoring berfungsi untuk menentukan tingkat mutu suatu produk dengan menggunakan lembar penilaian. Pada uji skoring panelis memberikan skor dalam penilaian terhadap mutu produk. Pemberian skor adalah memberi angka nilai atau menempatkan nilai mutu sensorik terhadap bahan yang diuji pada jenjang mutu atau tingkat skala hedonik. Tingkat skala mutu ini dapat dinyatakan dalam ungkapan skala mutu yang sudah menjadi baku. Penilaian uji skoring pada penelitian ini meliputi rasa, aroma dan warna, dengan skala penilaian berkisar dari 3–10 yaitu : sempurna (10), luar biasa (9), sangat bagus (8), bagus (7), sedang (6),


(47)

kurang (5), sangat kurang (4) dan buruk (3). Lembar penilaian (scoresheet) untuk uji skoring dapat dilihat pada Lampiran 4. Penilaian hasil uji skoring ini selanjutnya dapat dianalisis secara statistik untuk penarikan kesimpulan.

(3) Uji deskripsi (Soekarto 1985)

Seasoning alami terbaik yang mempunyai skor tertinggi berdasarkan uji hedonik dan uji skoring dilakukan pengujian secara deskripsi dengan produk sejenis yang sudah dikomersialkan (penyedap rasa saus tiram “Saori”). Uji deskripsi digunakan untuk menilai produk baru dibandingkan terhadap produk lama, mutu produk terhadap produk saingannya, pengaruh penanganan terhadap suatu produk atau terhadap beberapa perubahan dalam pengolahan. Uji deskripsi digunakan untuk mengidentifikasi spesifikasi sensori suatu produk berdasarkan sifat-sifat sensori yang lebih kompleks pada lembar penilaian. Uji sensori pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui mutu seasoning alami dari gonggong yang dihasilkan dibandingkan dengan seasoning yang sudah ada dipasaran (penyedap rasa saus tiram “Saori”). Mutu suatu komoditas pada umumnya ditentukan oleh beberapa sifat sensori. Sifat-sifat sensori yang digunakan dalam uji deskipsi harus menyusun mutu sensori suatu produk yang diuji secara keseluruhan. Sifat-sifat sensori mutu itu termasuk atribut mutu yang dipilih karena paling relevan atau paling peka terhadap perubahan mutu produk yang diujikan. Atribut mutu dipilih untuk menyatakan deskripsi mutu sensori suatu komoditi. Diawal pengujian deskripsi, masing-masing atribut mutu diujikan secara rating. Uji deskripsi pada penelitian ini menggunakan atribut mutu meliputi : rasa umami (gurih), asam, asin, manis, pahit dan rasa alami seafood, menggunakan rating dari skala 0 sampai 60. Rating lemah dari 0 sampai 20, rating sedang dari 20 sampai 40 dan rating kuat dari 40 sampai 60. Hasil penilaian deskripsi secara rating tersebut ditransformasi ke dalam bentuk grafik majemuk (spider maps atau spider plot). Grafik disusun secara radial, masing-masing garis menggambarkan himpunan nilai mutu. Titik pusat menyatakan nilai mutu nol dan ujung garis menyatakan nilai mutu tertinggi. Sudut antara dua garis radial harus sama dan ditetapkan dengan cara membagi sudut keliling dengan jumlah atribut mutu. Penelitian ini menggunakan 6 atribut, sehingga 360o


(48)

dibagi 6, maka besar sudut antara dua garis atribut mutu sebesar 60o. Setelah hasil penilaian deskripsi ditransformasi ke dalam bentuk spider maps, dapat terlihat perbedaan mutu sensori dari produk yang diujikan dengan melihat jaring laba-laba (spider maps) yang terbentuk. Semakin besar jaring laba-laba yang terbentuk maka semakin tinggi nilai mutu sensori produk yang diujikan. Lembar penilaian (scoresheet) untuk uji deskripsi dapat dilihat pada Lampiran 5.

(4) Uji perbandingan pasangan (Soekarto 1984)

Seasoning dari gonggong yang terpilih (terbaik) yang mempunyai skor tertinggi berdasarkan uji hedonik, uji skoring dan uji deskripsi selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan untuk dibandingkan dengan produk sejenis yang sudah dikomersialkan (penyedap rasa saus tiram “Saori”). Panelis melakukan penilaian melalui formulir isian yang diberikan berdasarkan skala kelebihan, yaitu lebih baik/lebih buruk. Penilaian uji perbandingan pasangan ini berupa angka skala, yaitu -3 sampai +3, dimana -3 (sangat buruk), -2 ( lebih buruk),-1 (agak lebih buruk), 0 (tidak berbeda), 1 (agak lebih baik), 2 (lebih baik), 3 (sangat lebih baik). Lembar penilaian (scoresheet) untuk uji perbandingan pasangan dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil uji perbandingan pasangan ini selanjutnya dapat dianalisis secara statistik untuk penarikan kesimpulan.

3.4.2 Analisis kimiawi

Analisis kimiawi yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak), pengukuran nilai pH, analisa total asam laktat tertitrasi dan analisis asam amino bebas.

(1) Analisis kadar air (AOAC 2005)

Cawan porselin dikeringkan di dalam oven selama satu jam dengan suhu 105 oC, lalu didinginkan di dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang hingga mendapatkan berat konstan. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram, dimasukkan ke dalam cawan porselin kemudian dikeringkan di dalam oven 105 oC selama 5 jam atau hingga berat konstan. Setelah itu cawan berisi sampel didinginkan di dalam desikator selama 30 menit, lalu ditimbang. Apabila belum


(49)

didapatkan berat konstan, cawan porselin dipanaskan lagi ke dalam oven (105oC) selama 30 menit. Hal tersebut harus dilakukan berulang-ulang sampai didapatkan berat konstan. Penentuan kadar air menggunakan rumus :

Kadar air (%) = ሺ୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୱ ୟ ୫ ୮ ୣ ୪ ୟ ୵ ୟ ୪ሻି(୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୱ ୟ ୫ ୮ ୣ ୪ ୟ ୩ ୦ ୧ ୰) ୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୱ ୟ ୫ ୮ ୣ ୪ ୟ ୵ ୟ ୪(୥) x 100%

(2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Cawan porselin dikeringkan di dalam oven selama satu jam dengan suhu 105 oC, lalu didinginkan di dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang

hingga mendapatkan berat konstan. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram, dimasukkan ke dalam cawan porselin dan dipijarkan diatas nyala api pembakar Bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur listrik (furnace) dengan suhu ≤ 550 oC selama 2 jam. Selanjutnya cawan didinginkan selama 30 menit pada desikator, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat konstan. Penentuan kadar abu menggunakan rumus :

Kadar abu (%) = ୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୟ ୠ ୳(୥)

୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୱ ୟ ୫ ୮ ୣ ୪(୥)x 100%

(3) Analisis kadar protein (AOAC 2005)

Penentuan kadar protein ini menggunakan metode semi-mikro Kjeldahl. Sampel sebanyak 0,75 g dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Ke dalam labu tersebut ditambahkan 6,25 g K2SO4 dan 0,6225 g CuSO4 sebagai katalisator. Sebanyak 15 ml H2SO4 pekat dan 3 ml H2O2secara perlahan-lahan ditambahkan kedalam labu dan didiamkan selama 10 menit dalam ruang asam. Tahap selanjutkan adalah proses destruksi pada suhu 410oC selama + 2 jam atau hingga didapatkan larutan jernih. Hasil destruksi didiamkan hingga mencapai suhu kamar dan ditambahkan 50–75 ml akuades. Erlenmeyer disiapkan dan diiisi dengan 25 ml larutan H3BO34% yang mengandung indikator (Bromchresol green 0,1% dan methyl red 0,1% (2:1)) sebagai penampung destilat. Labu Kjeldahl dipasang pada rangkaian alat destilata uap dan ditambahkan 50 ml NaOH 40%


(50)

(alkali). Kemudian hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer tersebut hingga volume destilat mencapai 150 ml (hasil destilat berwarna hijau).

Destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N, dilakukan hingga warna berubah menjadi abu-abu natural. Blanko dilakukan seperti tahapan contoh tanpa menggunakan sampel. Pengujian contoh dilakukan duplo. Kadar protein dihitung dengan rumus:

Kadar protein (%) = ሺ୫ ୪ ୌ େ ୪ ି ୫ ୪ ୠ ୪ ୟ ୬ ୩ ୭ሻ୶ ୒ ୌ େ ୪ ୶ ଵ ସ,଴ ଴ ଻ ୶ ϐ ୩ ୠ ୣ ୰ ୟ ୲ ୱ ୟ ୫ ୮ ୣ ୪(୫ ୥) x 100%

(4) Analisis kadar lemak ( AOAC 2005)

Labu lemak yang telah dikeringkan di dalam oven (105 oC) ditimbang hingga mendapatkan berat konstan. Sebanyak 2 gram sampel dibungkus dengan kertas saring bebas lemak kemudian dimasukkan ke dalam selongsong lemak. Selongsong tersebut dimasukkan ke dalam tabung soxhlet. Sebanyak 150 ml kloroform dimasukkan ke dalam labu lemak. Sampel direfluks selama 8 jam, dimana pelarut sudah terlihat jernih yang menandakan lemak telah terekstrak semua. Selanjutnya pelarut yang ada pada labu lemak dievaporasi untuk memisahkan pelarut dan lemak, kemudian labu lemak dikeringkan dengan oven 105 oC selama 30 menit. Setelah itu ditimbang hingga didapatkan berat konstan. Penentuan kadar lemak menggunakan rumus :

Kadar lemak (%) = (୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୪ ୟ ୠ ୳ ୟ ୩ ୦ ୧ ୰ ି ୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୪ ୟ ୠ ୳ ୟ ୵ ୟ ୪) ୆ ୣ ୰ ୟ ୲ ୱ ୟ ୫ ୮ ୣ ୪ x 100%

(5) Pengukuran nilai pH (Hanna 1995)

Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat pH-meter digital yang dinyalakan terlebih dahulu selama 15–30 menit. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan tissue. Selanjutnya pH-meter dikalibrasi dengan mencelupkan batang probepada buffer pH 4 lalu dicelupkan kembali pada buffer pH 7 dibiarkan beberapa saat hingga stabil. Sampel sebanyak 5 ml ditambahkan akuades 45 ml, kemudian dihomogenkan dengan stirrer selama 2 menit.


(1)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

Hasil penelitian pendahuluan meliputi karakteristik bahan baku (siput laut gonggong segar), penentuan bahan penghidrolisis dan lama hidrolisis serta penentuan komposisi antara gonggong dengan bahan penghidrolisis.

4.1.1 Karakteristik bahan baku

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah siput laut gonggong yang masih hidup berasal dari Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau (Gambar 7). Berat satu ekor siput laut gonggong beserta cangkangnya lebih kurang 50 gram, tetapi setelah dilepas dari cangkangnya beratnya sekitar 10 gram. Proses pembuatan seasoning alami untuk mendapatkan 75 ml seasoning alami dari gonggong maka digunakan 5 ekor gonggong hidup, dengan berat total setelah dilepas dari cangkangnya, dan setelah proses perendaman dalam larutan garam serta pencucian hanya sekitar 20 gram.

Gambar 7 Siput laut gonggong yang masih hidup sebelum dilepas dari cangkangnya.

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilaporkan oleh Amini (1984) bahwa siput laut gonggong mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi (15,38%) dibandingkan dengan jenis kerang-kerangan lain (Tabel 1). Berdasarkan informasi ini, maka siput laut gonggong yang masih hidup dilepas


(2)

68

5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : (1) Bahan penghidrolisis yang terbaik dalam pembuatan seasoning alami dari gonggong adalah sari nenas dengan lama hidrolisis terbaik selama 10 hari. (2) Komposisi antara gonggong dengan bahan penghidrolisis terbaik adalah perbandingan 1: 4 (b/v). (3) Seasoningalami terbaik dari siput laut gonggong dengan proses hidrolisis enzimatis diperoleh melalui teknik proses pemutusan fermentasi dengan cara pasteurisasi, dan lama penyimpanan selama 7 hari. (4) Seasoning alami terbaik dari siput laut gonggong tersebut dapat dijadikan sebagai alternatif seasoning yang sudah dikomersialkan di pasaran dan dikembangkan sebagai produk pembangkit cita rasa alami tanpa bahan kimiawi.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat dirumuskan beberapa saran sebagai berikut : (1) Untuk mengoptimalkan hidrolisat protein gonggong hendaklah dilakukan penelitian lanjutan tentang perlakuan suhu selama proses pemeraman, dan penggunaan enzim protease lain (bromelin, papain, pepsin, khimoteripsin). (2) Untuk memperpanjang masa simpan produk seasoning alami dari gonggong disarankan untuk melakukan pengaturan aw (water activity). (3)

Disarankan penelitian lanjutan tentang karakterisasi hasil hidrolisis protein terhadap peptida yang mempunyai fungsi tertentu, misalnya ACE inhibitor.


(3)

SEASONING

ALAMI

LILY VIRULY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(4)

69

DAFTAR PUSTAKA

Aldsworth T, Dodd CER, Waites W. 2009. Food microbiology. Di dalam : Platt GC, editor. International Review of Food Science and Technology. Oxford: Blackwell Publ. hlm 115- 158.

Amini S. 1984. Studi pendahuluan gonggong (Strombus canarium) di perairan pantai Pulau Bintan-Riau. Jurnal of Marine Fisheries Research 38: 23- 29.

[AOAC] Association of Official Analytical and Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC International 16th edition. Arlington, Virginia: AOAC International.

Bellanca N, Furia TE. 2000. Handbook of Flavor Ingradients. University of Melano. Melano. Italy : CRC Press.Inc.

Benjakul S, Morrissey. 1997. Protein hydrolysates from Pacific whiting solid wastes. Journal of Agricultural and Food Chemistry45: 3423 – 3430. Brand JG. 2000. Receptor and transduction processes for umami taste. Journal

of American Society for Nutritional Sciences130: 942-945.

Carratu B, Ambruzzi AM, Fedele E, Sanzini E. 2005. Human milk banking: Influence of different pasteurization temperature on levels of protein sulfur, amino acids and some free amino acids. Journal of Food Science

70: 373-375.

Chang BK, Li CF. 1988. Studies of Fermentation of Shrimp Head for Shrimp Sauce. Taiwan : Institute of Food Science and Technology.

Chen HC, Hsueh YM, Lo HH. 1983. Study on liquefaction of shrimp head by

Bacillussp. L12 for shrimp sauce processing and its acceptability for food safety. Journal Fish Society 10 (2): 55-58.

[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Depkes.

Fardiaz S. 1989. Penuntun Praktikum mikrobiologi Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Farrell KT. 1985. Spice, Condiment and Seasoning. Florida: AVI Publishing Company, Inc.

Fukami K, Ishiyana S, Yaguramaki H, Masazawat Nabeta Y, Endo K, Shimoda M. 2002. Identification of distiactive volatile compounds in fish sauce.


(5)

(6)

RINGKASAN

LILY VIRULY. Pemanfaatan Siput Laut Gonggong (Strombus canarium) Asal

Pulau Bintan Kepulauan Riau Menjadi Seasoning Alami. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan WINARTI

Gonggong (Strombus canarium) termasuk sejenis siput laut, biota endemik

yang banyak hidup di pantai Pulau Bintan dan sekitarnya, Provinsi Kepulauan Riau. Pengalaman empiris masyarakat Kepulauan Riau membuktikan bahwa gonggong mengandung zat-zat yang berkhasiat untuk penambah nafsu makan dan meningkatkan vitalitas, tetapi tidak semua orang dapat mengkonsumsi gonggong rebus dalam bentuk aslinya, sehingga perlu dicarikan alternatif pengolahan. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan siput laut gonggong menjadi

seasoning alami dari biota laut melalui proses fermentasi (biologis/semibiologis) untuk menghidrolisis protein gonggong, sehingga menghasilkan senyawa yang dapat membangkitkan cita rasa.

Penelitian pendahuluan meliputi karakterisasi bahan baku (uji proksimat, asam amino bebas), penentuan bahan penghidrolisis (air tajin, jus nenas dan sari nenas) dan lama hidrolisis (10, 20 dan 30 hari) menggunakan RAL faktorial. Tahap ini dilakukan penambahan garam 15% dan gula 2% seta komposisi antara gonggong dan bahan penghidrolisis adalah tetap yaitu 1:1. Kemudian penentuan komposisi menggunakan RAL 1 faktor yaitu komposisi gonggong dan bahan penghidrolisis terdiri dari 5 perlakuan 1:1, 1:2, 1:3, 1:4 dan 1:5 (b/v). Tahap ini penambahan garam dan gula tetap sama seperti perlakuan sebelumnya. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan. Penelitian lanjutan

merupakan pembuatan seasoning alami dari gonggong mencakup perlakuan

pemutusan fermentasi yaitu pasteurisasi (70 oC, selama 30 menit) dan sterilisasi

komersial (121 oC selama 15 menit) dan seasoning yang dihasilkan disimpan

selama 14 hari pada suhu kamar, setiap 7 hari dilakukan pengamatan terhadap nilai pH, total asam, TPC, serta uji sensori (hedonik dan skoring). Seasoning

terbaik dibandingkan dengan produk komersial di pasaran (saos tiram “Saori”) melalui uji sensori (uji deskripsi, perbandingan pasangan) dan uji kimiawi (asam amino bebas dan proksimat). Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan. Data non-parametrik (uji sensori) dianalisis dengan menggunakan SNI-01-2346-2006 dan Mann Whitney.

Karakteristik bahan baku menunjukkan bahwa gonggong segar memiliki kandungan protein sebesar 19,77%, dan kandungan asam glutamat bebas sebesar 4,1 mg/g. Bahan penghidrolisis terbaik adalah sari nenas dan lama hidrolisis 10 hari. Komposisi antara gonggong dengan bahan penghidrolisis terbaik dicapai

pada 1:4 (b/v). Seasoning terbaik yang dihasilkan adalah sampel pasteurisasi

dengan lama penyimpanan selama 7 hari. Seasoningterbaik ini memiliki nilai pH

4,73, total asam laktat 0,53% dan TPC 1,48 x 103 koloni/g, asam glutamat bebas

8,0 mg/g, nilai hedonik 7 (suka), dan nilai mutu dengan skor 7 (bagus). Hasil uji

deskripsi dan uji perbandingan pasangan membuktikan bahwa seasoning alami

lebih baik daripada saus tiram “Saori”. Informasi ini menunjukkan bahwa

seasoning alami dari gonggong dapat digunakan sebagai alternatif pengganti penyedap rasa komersial yang ada di pasaran.