Hambatan Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba Indomaret Antara PT

Hambatan lain yang dapat terjadi adalah mengenai penerima waralaba yang ingin memperpanjang perjanjian waralaba dan telah memenuhi syarat-syarat untuk perpanjangan, akan tetapi pihak pemberi waralaba tidak berkeinginan untuk itu dan jika terjadi pemutusan perjanjian secara sepihak oleh pemberi waralaba. Untuk menjawab hal tersebut tentunya dikembalikan lagi kepada itikad baik dari pemberi waralaba, sebab hal tersebut adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemberi waralaba tidak jujur untuk dalam hal menyingkirkan pesaingnya. Hal ini dapat dikategorikan sebagai persaingan intra brand. Bagaimanapun pihak penerima waralaba mengikuti persyaratan dari pemberi waralaba, tetap saja keputusan untuk memberikan perpanjangan tersebut ada pada pihak pemberi waralaba. Jadi untuk kondisi yang demikian penerima waralaba berada pada posisi yang lemah. Akan tetapi dalam praktek umumnya perjanjian waralaba itu dapat diperpanjang, karena hal ini tentu saja berkaitan dengan image dan sentimen masyarakat yang dapat saja muncul menjadi sentimen negatif terhadap usaha waralaba.

B. Hambatan Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba Indomaret Antara PT

Indomarco Prismatama Dengan CV. E Makmur Seperti penjelasan di atas yang menguraikan tentang hambatan para pihak di dalam perjanjian waralaba secara umum, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan hambatan yang dihadapi oleh para pihak secara khususnya di dalam perjanjian waralaba indomaret antara PT Indomarco Prismatama dengan CV. E Makmur, akan tetapi di dalam hambatan yang dihadapi oleh para pihak dalam pelaksanaan perjanjian waralaba indomaret antara PT Indomarco Prismatama dengan CV. E Makmur, yang Universitas Sumatera Utara mana di dalam menjalankan perjanjian waralaba ini kendala atau hambatan yang sering terjadi dapat ditekan atau diminimalisirkan dengan strategi bisnis dan format pemasaran yang sudah teruji namun di dalam menjalankan bisnis kendala yang timbul pasti ada yang mana di dalam menjalankan perjanjian waralaba indomaret ini pihak kedua tidak bebas dalam mengeluarkan idenya dalam pengembangan bisnis tersebut sehingga membatasi ruang gerak pihak kedua dalam menjalankan bisnis tersebut karena sudah terkonsep dengan format bisnis yang sudah ditetapkan oleh pihak pertama. Mengenai hal pengelolaan barang dagangan dimana penentuan barang dagangan, termasuk komposisi jenis, tingkat harga jual dan sumber barang dagangan toko merupakan hak dan wewenang pihak pertama dan juga menetapkan dan mengevaluasi tingkat persediaan toko yang wajib dipenuhi pihak kedua, seluruh barang dagangan toko harus dibeli dari pihak pertama dengan harga yang sudah ditentukan. Pihak kedua juga harus bersedia menyediakan tempat di dalam toko pihak kedua untuk pelaksanan program promosi yang sudah ditentukan oleh pihak pertama dan bekewajiban untuk melaksanakan seluruh program tersebut. Selama masa perjanjian ini, pihak kedua dengan ini wajib untuk menyediakan seluruh tempat pemajangan di dalam toko untuk disewakan kepada pihak pertama dan tidak dibenarkan menyewa kepada pihak ketiga dengan harga yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak, selain ketentuan mengenai sewa tempat pemajangan. Pihak pertama juga berhak menentukan seluruh program sewa tempat di toko pihak kedua termasuk pada sewa counter, sewa area ATM dan sewa teras dan dalam hal ini pihak Universitas Sumatera Utara kedua wajib menaati dan melaksanakan program sewa tempat yang sudah ditentukan oleh pihak pertama. Pihak kedua juga dilarang menerima, menyimpan, memajang dan menjual barang-barang lain selain barang dagangan toko yang sudah ditentukan sesuai ketentuan dari pihak pertama termasuk juga pemasangan materai promosi penjualan dalam bentuk apapun juga maupun mengadakan kegiatan-kegiatan atau aktivitas komersial di lingkungan toko tanpa ijin tertulis dari pihak pertama. Dalam hal kemasan kardus bekas barang dagangan tetap menjadi milik pihak pertama sehingga pihak kedua harus mengumpulkan dan mengembalikan seluruh kemasan kardus tersebut kepada pihak pertama pada saat penerimaan atau pemasukan barang dagangan berikutnya. Tingginya kontrol dari pihak pertama terhadap pihak kedua membuat pihak kedua hilang kemandirian di dalam menjalankan bisnis tersebut karena harus selalu mengikuti semua arahan dan petunjuk dari pihak pertama dan juga kebijakan-kebijakan pihak pertama juga tidak selalu berkenan di hati pihak kedua, apabila kehilangan barang dan kurangnya fasilitas dalam pengamanan aktifitas toko pihak kedua dalam menjalankan bisnis tersebut. Hal ini sering terjadi karena keadaan atau lingkungan tempat toko pihak kedua tersebut yang kurang menunjang keamanan terhadap barang-barang tersebut. Kendala ini sering terjadi karena ketidaksadaran pegawai toko dari pihak kedua dalam mengawasi aktifitas toko dalam penjualan barang-barang tersebut, yang mana di dalam aktifitas tersebut sering bergantinya konsumen yang datang silih berganti. Kehilangan barang ini banyak menimbulkan kerugian bagi pihak kedua Universitas Sumatera Utara begitu pula dengan biaya listrik dan kebutuhan toko semua ditanggung oleh pihak kedua, disinilah letak kendala dan hambatan yang dirasakan oleh pihak kedua sebagai penerima waralaba namun di dalam menjalankan perjanjian waralaba resiko seperti ini tidak terlampau membebani pihak kedua dan tidak dapat dihindarkan karena inilah resiko yang harus dihadapi di dalam berbisnis waralaba tersebut semua itu dirasakan dalam 1 satu atau 2 dua tahun pertama. Bagi pihak pertama kendala yang di dapat adalah apabila mendapatkan pihak kedua yang tidak dapat diajak bekerja sama dengan baik yang mana tidak dapat diarahkan dan dalam hal ini pihak pertama harus dapat memotivasi pihak kedua tersebut agar bisa menerima semua saran dan masukan yang diberikan karena di dalam hal ini pihak pertama memang harus sabar dalam memotivasi pihak kedua, terkendala dengan harapan pihak kedua yang terlalu tinggi mengharapkan cepat mendapatkan keuntungan yang besar sehingga pihak pertama harus bisa menurunkan harapan yang tinggi tersebut dan juga harus bisa memilih pihak kedua yang baik karena kalau tidak tepat dapat menjatuhkan dan menghancurkan repurtasi dari pihak pertama. Setiap hubungan bisnis selalu ada faktor kerugian dan keuntungan, demikian juga dengan bisnis waralaba ini. Keuntungan dari bisnis waralaba ini adalah diantaranya diberikannya pelatihan dan pengarahan oleh pemberi waralaba, diberikannya bantuan finansial dari pemberi waralaba dan diberikannya penggunaan nama perdagangan, produk atau merek yang telah dikenal. Sedangkan kerugiannya adalah adanya program latihan yang dijanjikan oleh pemberi waralaba kadangkala Universitas Sumatera Utara jauh dari apa yang diinginkan oleh penerima waralaba, perincian setiap hari tentang penyelenggaraan perusahaan sering diabaikan, hanya sedikit sekali kebebasan yang diberikan kepada penerima waralaba untuk menjalankan akal budi mereka sendiri, pada bisnis waralaba jarang mempunyai hak untuk menjual perusahaan kepada pihak ketiga tanpa terlebih dahulu menawarkannya kepada pemberi waralaba dengan harga yang sama. Berdasarkan uraian di atas tentang hambatan yang sering terjadi di dalam menjalankan waralaba tersebut secara umum menjabarkan adanya kerjasama diantara kedua belah pihak yang tidak memperhatikan hubungan antara keduanya yang menyangkut hak dan kewajiban. Untuk itu dalam hal pemilihan penerima waralaba sebagai mitra adalah juga menjadi titik penentu berhasil tidaknya bisnis ini karena penerima waralaba sendirilah yang akan menjalankan usaha pemberi waralaba, sebab salah memilih penerima waralaba bisa berbahaya karena penerima waralaba yang tidak tepat bisa menjadi faktor penghambat dalam mengembangkan usaha tersebut yang merusak citra merek pemberi waralaba, mencuri sistem bisnis pemberi waralaba yang kemudian menerapkan dalam usaha sejenis sehingga menjadi saingan bagi pemberi waralaba. Hal-hal lain yang dapat merugikan dan menimbulkan hambatansengketa adalah jika penerima waralaba menjadi pesaing dan berkompetisi dengan usaha pemberi waralaba dengan cara membuka usaha baru dengan merek baru namun jenis usaha yang sama. Hal ini seringkali tidak disadari oleh pemberi waralaba. Universitas Sumatera Utara Dalam penjabaran hambatan secara umum ini ada tiga tahap dalam proses hambatanbersengketa yaitu pertama tahap pra konflik atau tahap keluhan mengacu kepada keadaan atau kondisi yang oleh seseorang dipersepsikandiartikan sebagai hal yang tidak adil dari adanya perasaan itu yang mana pelanggaran terhadap rasa keadilan itu dapat bersifat nyata atau imajinasi saja tergantung pada persepsi dari pihak yang merasakan; kedua tahap konflik yang ditandai dengan keadaan dimana pihak yang merasa haknya dilanggar memilih jalan konfrontasi, atau melempar tuduhan kepada pihak pelanggar haknya atau memberitahukan kepada pihak lawannya tentang keluhannya. Dalam hal ini kedua belah pihak berhadapan; ketiga tahap sengketa ditandai dengan konflik yang dikemukakan secara umum, dimana perselisihan pendapat ini yang semula dari pendekatan dua pihak menjadi bidang hal yang memasuki bidang publik. Ini dilakukan dengan sengaja dan aktif agar ada suatu tindakan mengenai tuntutan yang diinginkan. Hambatan lain yang dapat terjadi adalah mengenai penerima waralaba dalam hal memperpanjang perjanjian waralaba dan juga telah memenuhi semua syarat-syarat untuk melakukan perpanjangan perjanjian tersebut namun di satu sisi pihak pemberi waralaba tidak berkeinginan untuk itu dan terjadi pemutusan sepihak oleh pemberi waralaba. Sebab hal tersebut adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh pemberi waralaba yang tidak jujur untuk dalam hal menyingkirkan pesaingnya. Bagaimana pun pihak penerima waralaba mengikuti persyaratan dari pemberi waralaba namun tetap saja keputusan untuk memberikan perpanjangan tersebut ada pada pihak pemberi waralaba. Oleh karena itu untuk kondisi yang seperti ini penerima waralaba Universitas Sumatera Utara berada pada posisi yang lemah akan tetapi dalam praktek umumnya perjanjian waralaba itu dapat diperpanjang karena hal ini berkaitan dengan image dan sentimen masyarakat yang dapat saja muncul menjadi sentimen negatif terhadap usaha waralaba. Hambatan yang terjadi dalam perjanjian Indomaret lebih terasa kepada terhambatnya improvisasi pihak penerima waralaba dalam menjalankan perjanjian waralaba tersebut. Hal ini dikarenakan sistem yang digunakan adalah sistem kontrak baku dimana pihak penerima waralaba harus mengikuti semua sistem manajemen dan pemasaran yang telah ditetapkan oleh pihak pemberi waralaba. Seperti dalam hal pengoperasian toko, distribusi barang, harga jual barang, improvisasi interior dan eksterior toko, penentuan atau pengaturan pemilihan karyawan toko yang sudah ditetapkan oleh pihak pemberi waralaba, sewa tempat baik itu di luar teras toko maupun di dalam sesuai dengan ketentuan perjanjian yang disepakati. Selain itu hal lain yang menjadi hambatan yang dirasakan oleh penerima waralaba tentang aktifitas toko dalam kesehariannya yaitu dalam hal penjualan barang, maksudnya terjadi kehilangan barang dikarenakan aktifitas toko tersebut dengan sering bergantinya konsumen yang datang silih berganti yang hal ini dapat menimbulkan kerugian bagi penerima waralaba. Begitu pula dengan biaya listrik dan kebutuhan toko ditanggung oleh pihak penerima waralaba. Sedangkan bagi pihak pemberi waralaba hambatan yang sering terjadi tidak jauh berbeda dengan uraian umum di atas di mana pihak pemberi waralaba harus selektif dalam memilih mitra kerja, karena apabila salah memilih mitra kerja maka akan merugikan image pemberi waralaba. Seperti dalam Universitas Sumatera Utara hal masukan kepada penerima waralaba dalam memilih lokasi bisnis terkadang ada penerima waralaba yang lebih merasa mengerti dan tidak memperdulikan masukan dari pemberi waralaba, dan juga mendapatkan penerima waralaba yang memiliki hasrat atau keinginan yang besar dalam menjalankan waralaba ini dengan mendapatkan untung yang sebsar-besarnya dalam waktu yang cepat. Universitas Sumatera Utara BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA A. Penyelesaian Sengketa Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak yang bersengketa dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni jalur litigasipengadilan dan jalur non litigasialternatif penyelesaian di luar pengadilan. 1. Jalur LitigasiPengadilan Lembaga peradilan di Indonesia adalah penyelenggara kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. 40 Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kebebasan kekuasaan kehakiman yang penyelenggaraannya diserahkan pada badan-badan peradilan merupakan salah satu ciri khas negara hukum. Pada hakekatnya kebebasan ini merupakan sifat pembawaan dari pada setiap peradilan, hanya batas dan isi kebebasannya dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. 40 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 83 Universitas Sumatera Utara Tuntutan akan perlunya kekuasaan kehakiman yang bebas dan terlepas dari pengaruh kekuasaan yang lainnya adalah tuntutan yang selalu bergema dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia dari waktu ke waktu, betapa pentingnya kekuasaan kehakiman yang bebas ini tidak dapat dipisahkan dari ketentuan konstitusional yang mengharuskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan. Berdasarkan konsepsi negara hukum sebagaimana dikemukakan, maka dalam praktek ketatanegaraan Indonesia harus secara tegas meniadakan dan melarang kekuasaan pemerintah untuk membatasi atau mengurangi wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka yang telah dijamin dalam konstitusi tersebut. 41 Hingga sekarang masyarakat masih memandang keberadaan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tetap dibutuhkan. Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi masih dapat diandalkan, antara lain peranannya adalah: 42 a. Sebagai katup penekan pressure valve atas segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat dan pelanggaran ketertiban umum. b. Peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai the last resort atau tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan sehingga peradilan masih tetap diandalkan sebagai badan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan to enforce the truth and enforce justice. 41 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1998, halaman 19. 42 Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum , Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000, halaman 64-65. Universitas Sumatera Utara Selain menjamin perlakuan yang adil kepada para pihak, kesempatan untuk di dengar, menyelesaikan sengketa dan menjaga ketertiban umum, peradilan juga memiliki kebaikan atau keuntungan dalam membawa nilai-nilai masyarakat yang terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa. Jadi peradilan tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum yang tertuang dalam undang-undang, baik secara eksplisit maupun implisit. 43 Terlepas dari fungsi lembaga peradilan seperti yang dicita-citakan oleh masyarakat sebagai tonggak untuk mencapai keadilan dan juga seiring dengan perkembangan zaman yang semakin pesat sehingga munculnya sebuah konflik membutuhkan penanganan yang cepat dan baik, lembaga peradilan kadang-kadang tidak mampu menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya. Banyak masukan dan kritikan yang dilontarkan kepada lembaga peradilan yang berkaitan dengan kinerjanya. Kritik yang muncul terhadap peradilan bukan hanya gejala yang tumbuh di Indonesia, melainkan terjadi di seluruh dunia. Pada negara-negara industri maju, kritik yang dilontarkan masyarakat pencari keadilan juga senada dengan yang terjadi di Indonesia. Suyud Margono menguraikan beberapa kritikan penting terhadap lembaga peradilan secara umum sebagai berikut: 44 43 Ibid., halaman 24. 44 Ibid., halaman 65-67. Universitas Sumatera Utara a. Lambatnya penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa melalui proses litigasi pada umumnya lambat dan membuang banyak waktu. Hal ini dikarenakan proses pemeriksaan sangat formal dan sangat teknis. b. Mahalnya biaya perkara. Makin lama penyelesaian mengakibatkan makin tinggi biaya yang harus dikeluarkan, seperti biaya resmi dan upah pengacara yang harus ditanggung. Hal ini berakibat orang yang berperkara di pengadilan menjadi lumpuh dan terkuras sumber daya, waktu dan pikiran litigation paralyze people. c. Peradilan tidak tanggap dan tidak responsif. Pengadilan kurang tanggap membela dan melindungi kepentingan umum serta sering mengabaikan perlindungan umum dan kebutuhan masyarakat, dan pengadilan dianggap sering berlaku tidak adil. Ini didasarkan atas alasan pengadilan dalam memberikan kesempatan serta keleluasaan pelayanan hanya kepada lembaga besar dan orang kaya. d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah. Putusan pengadilan dianggap tidak mampu memberikan penyelesaian yang memuaskan kepada para pihak, putusan pengadilan tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada pihak-pihak yang berperkara, hal ini disebabkan salah satu pihak menang dan pihak lain pasti kalah, dan keadaan kalah menang dalam berperkara tidak pernah membawa kedamaian, tetapi menumbuhkan bibit dendam dan permusuhan serta kebencian. Selain itu putusan pengadilan juga kadang membingungkan dan tidak bisa diprediksi. e. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis. Para hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas. Ilmu pengetahuan yang mereka Universitas Sumatera Utara miliki hanya dibidang hukum, di luar itu pengetahuan mereka hanya bersifat umum. Sangat susah bagi mereka untuk menyelesaikan sengketa yang mengandung kompleksitas dalam berbagai bidang. Masih banyak kritik yang dapat dideskripsikan akan tetapi dari deskripsi yang diutarakan di atas sudah dapat memberikan gambaran mengenai kegoyahan keberadaan peradilan sebagai kekuasaan kehakiman. Meskipun kedudukan dan keberadaannya adalah sebagai kepastian dalam mencari kebenaran dan keadilan, namun kepercayaan masyarakat terhadapnya telah berkurang, tak perlu gusar dan responsif terkait isu-isu dan kritik-kritik di atas karena dibalik itu semua adalah keinginan untuk memiliki suatu lembaga peradilan yang dihormati, kokoh dan mandiri. Akibatnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan untuk menyelesaikan sengketanya. Padahal kepercayaan masyarakat terhadap hukum merupakan faktor yang sangat penting untuk dapat tegaknya hukum. Jika di suatu negara terjadi tingkat kepercayaan publik terhadap hukum rendah dengan segala perangkatnya akan berakibat buruk bagi berbagai aspek kehidupan masyarakat negara itu. 45 Tingkat kepercayaan publik yang rendah terhadap hukum di Indonesia ini disebabkan beberapa faktor, yaitu: 46 45 Amzulian Rifa’I, Permasalahan Hukum Di Indonesia, Mimbar Hukum No. 61 Tahun 2003, halaman 38. 46 Abdul Halim, Lembaga Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Alternatif , http:www.badilag.net, diakses tanggal 19 Juni 2010, jam 09.45 WIB. Universitas Sumatera Utara 1. Terjadinya penyelewengan hukum hampir di setiap tingkatan dan proses hukum. Ketidakpercayaan publik tersebut baik terhadap pengadilan tingkat pertama sampai ke tingkat kasasi. Selain dari hal tersebut sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah special leave sebagaimana yang diterapkan oleh sistem peradilan Australia. 2. Belum terdapat mekanisme yang transparan untuk dapat meyakinkan publik bahwa masing-masing perangkat hukum menjalankan tugas secara proporsional dan profesional selain itu tidak adanya mekanisme yang transparan terhadap tindakan bagi aparat hukum yang melanggar profesinya. 3. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme KKN yang hampir menyeluruh. Masalah KKN telah menjadi persoalan banyak negara dalam upaya melakukan penegakan hukum, namun praktek KKN di Indonesia telah mencapai tahap yang sangat memprihatinkan. Berkaitan dengan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan lembaga peradilan, faktor kredibilitas aparat peradilan adalah permasalahan intern yang dihadapi penyelenggara kekuasaan kehakiman aparat peradilan dianggap tidak terpelajar dan ahli dalam hukum, oleh karena itu profesionalisme mutlak diperlukan untuk mengangkat kredibilitas seluruh aparat peradilan. Berdasarkan itulah kalangan dunia perdagangan selalu takut untuk berperkara dihadapan badan-badan peradilan. Ini berlaku untuk setiap sistem negara, baik negara yang maju maupun masih berstatus negara berkembang. Para pedagang pada umumnya takut untuk berperkara bertahun-tahun. Keadaan ini dirasakan semua Universitas Sumatera Utara negara. Tetapi lebih lagi dalam keadaan sistem peradilan di negara Indonesia, berperkara bisa berlarut-larut, artinya bisa bertahun-tahun lamanya. 47 2. Jalur Non LitigasiAlternatif Penyelesaian Di Luar Pengadilan Mengingat kegiatan bisnis semakin meningkat dari hari ke hari, maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa di antara para pihak yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan berbagai sebab dan alasan yang melatarbelakanginya, terutama karena adanya conflict of interest di antara para pihak. Sengketa yang timbul di antara pihak-pihak yang terlibat karena aktifitasnya dalam bidang bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis. Setiap jenis sengketa bisnis yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang tepat. Semakin luas dan banyak kegiatan dalam bidang bisnis dan perdagangan, frekuensi terjadinya sengketa juga semakin tinggi. Ini berarti semakin banyak sengketa yang harus diselesaikan dari waktu ke waktu. Membiarkan sengketa bisnis terlambat diselesaikan akan mengakibatkan perkembangan pembangunan ekonomi tidak efisien, produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami kemerosotan dan biaya produksi meningkat. Oleh karena itu, mekanisme penyelesaian sengketa bisnis juga mengalami berbagai dinamika perbaikan dan penyempurnaan, agar mekanisme penyelesaian sengketa tersebut dapat memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan khususnya dari kalangan dunia bisnis. Regulasi aturan bisnis pun banyak dibuat disesuaikan dengan karakteristik tuntutan dan kebutuhan bisnis. 47 Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999, halaman 2-4. Universitas Sumatera Utara Salah satu upaya yang dapat ditempuh guna menyelesaikan masalah-masalah di atas adalah dengan digunakannya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien, disertai biaya murah. Penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien serta biaya murah merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda lagi realisasinya guna terwujudnya kepercayaan para pihak produsen dan konsumen pada sistem usaha waralaba. Pentingnya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien dan berbiaya murah agar segera diterapkan, dilatarbelakangi kenyataan bahwa transaksi electronic commerce sangat rentan terhadap lahirnya berbagai sengketamasalah diantara para pihak, sebagai akibat dari saling berjauhannya domisili para pihak yang bertransaksi serta bahasa, budaya dan sistem hukum yang berbeda. Di samping itu, adanya keinginan untuk menyelesaikan setiap sengketa melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif alternative dispute resolution, dilatarbelakangi masih banyaknya ditemukan berbagai kelemahan dari penyelesaian sengketa melalui sistem peradilan litigasi, seperti: 48 1. Litigasi memaksa para pihak berada pada posisi yang ekstrim dan memerlukan pembelaan; 2. Litigasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, sehingga mendorong para pihak untuk melakukan penyeledikan terhadap kelemahan-kelemahan pihak lainnya; 3. Proses litigasi memakan waktu yang lama dan memakan biaya yang mahal; 48 Imamulhadi, Penyelesaian Sengketa Dalam Perdagangan Secara Elektronik, Jakarta: Elips Project, 2001, halaman 80. Universitas Sumatera Utara 4. Hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian suatu masalah hukum baru. Berdasarkan berbagai kelemahan di atas jelas bahwa penyelesaian melalui jalur peradilanlitigasi sangat berlawanan dengan hakikat dari bisnis waralaba sebagai suatu sistem perdagangan yang membutuhkan sistem yang efektif dan efisien. Persepsi umum yang lahir dan masih berkembang dalam masyarakat adalah masih adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap badan pengadilan. 49 Pada awalnya bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dipergunakan selalu berorientasi pada bagaimana supaya memperoleh kemenangan. Oleh karena kemenangan yang menjadi tujuan utama, para pihak cenderung berupaya mempergunakan berbagai cara untuk mendapatkannya, sekalipun melalui cara-cara melawan hukum. Akibatnya apabila salah satu pihak memperoleh kemenangan tidak jarang hubungan diantara pihak-pihak yang bersengketa menjadi buruk bahkan berubah menjadi permusuhan. Dalam perkembangannya, bentuk-bentuk penyelesaian yang berorientasi pada kemenangan tidak lagi menjadi pilihan utama, bahkan sedapat mungkin dihindari. Pihak-pihak lebih mendahulukan kompromi dalam setiap penyelesaian sengketa yang muncul di antara mereka dengan harapan melalui kompromi tidak ada pihak yang merasa dikalahkandirugikan. Upaya manusia untuk menemukan cara-cara penyelesaian yang lebih mendahulukan kompromi, dimulai pada saat melihat bentuk-bentuk penyelesaian 49 Hendermin Djarab, Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase Di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, halaman 96. Universitas Sumatera Utara yang dipergunakan pada saat itu terutama lembaga peradilan menunjukkan berbagai kelemahankekurangan, seperti biaya tinggi, lamanya proses pemeriksaan dan sebagainya. Akibat semakin meningkatnya efek negatif dari lembaga pengadilan, maka mulailah muncul suatu pergerakan dikalangan pengamat hukum untuk mulai memperhatikan bentuk-bentuk penyelesaian hukum lain atau dikenal dengan alternatif lain dalam menyelesaikan sengketa. Pada bulan Agustus 1999, pemerintah megeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa selanjutnya disebut UU Arbitrase. UU Arbitrase ini membawa 2 dua angin segar. Pertama, diletakkannya dasar hukum yang mapan bagi arbitrase. Kedua, diletakkannya dasar hukum bagi alternatif penyelesaian sengketa. Undang-undang tersebut ditujukan untuk mengatur penyelesaian sengketa di luar forum pengadilan dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau perbedaan pendapat diantara para pihak dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para pihak. Suatu forum diharapkan mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa. 50 Prinsip kekuatan perjanjian arbitrase adalah kewenangan pengadilan, kebebasan para pihak dan pengaturan pelaksanaan putusan arbitrase sudah termuat di dalamnya. 50 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Rajawali Press, 2001, halaman 1. Universitas Sumatera Utara Alternative Dispute Resolution ADR atau penyelesaian sengketa alternatif adalah suatu proses penyelesaian sengketa non litigasi dimana para pihak yang bersengketa dapat membantu atau dilibatkan dalam penyelesaian persengketaan tersebut atau melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral. 51 Ada banyak bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal. Namun lazimnya penyelesaian sengketa alternatif yang dilaksanakan di Indonesia adalah seperti yang tertera dalam UU Arbitrase. Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase mendefinisikan alternatif penyelesaian sengketa yaitu lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Sayangnya Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase tidak menyertakan musyawarah. Hukum adat di Indonesia sudah biasa dilakukan oleh warga untuk menyelesaikan suatu perselisihan, hanya saja istilah yang digunakan berbeda. Istilah yang dikenal dalam hukum adat tersebut adalah musyawarah untuk mufakat yang pada hakekatnya sama dengan melakukan negosiasi, mediasi dan arbitrase. 52 Pancasila sebagai dasar filosofi kehidupan bermasyarakat Indonesia telah mengisyaratkan bahwa asas penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat telah diutamakan, seperti tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dari ketentuan Pasal 1 UU Arbitrase dan pendapat di atas maka dapat kita temui sekurang- kurangnya ada 7 tujuh macam tata cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan 51 Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, halaman 38. 52 Suyud Margono, Op.Cit., halaman 81. Universitas Sumatera Utara yaitu musyawarah, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, pemberian pendapat hukum dan arbitrase. Harus diakui penggunaan lembaga peradilan untuk menyelesaikan suatu sengketa menyisakan banyak kelemahankekurangan yang mana kelemahankekurangan ini apabila dilihat dari aspek ekonomibisnis secara umum merupakan salah satu komponen dengan biaya sangat tinggi. Kelemahan lembaga peradilan dalam menyelesaikan suatu sengketa sangat dirasakan oleh para pihak yang bersengketa, kondisi ini semakin meyakinkan perlunya ditemukan cara penyelesaian lain yang dapat memuaskan para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu untuk mengurangi sekaligus menghindari kemungkinan timbulnya masalah berkaitan dengan penggunaan lembaga peradilan, pelaku bisnis beralih pada penyelesaian sengketa alternatif untuk menyelesaikan setiap persoalan yang timbul dalam aktifitas bisnis mereka. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh para pihak apabila memilih penyelesaian sengketa alternatif sebagai lembaga yang akan membantu menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka, antara lain: 53 1. Waktu, melalui penyelesaian sengketa altenatif waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan suatu sengketa relatif singkat; 2. Biaya, karena waktu dan mekanismenya relatif sederhana sehingga membawa akibat biaya yang dikeluarkanpun lebih murah; 53 Ibid., halaman 25. Universitas Sumatera Utara 3. Keahlian, pihak yang turut serta dalam membantu proses penyelesaian sengketa berasal dari kalangan ahli di bidangnya, sehingga keputusan yang diambil relatif dapat dipertanggungjawabkan; 4. Kerahasiaan, karena mekanisme penyelesaian tidak dipublikasikan, sehingga kerahasiaan dari masing-masing pihak tetap terjaga. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas maka pada dasarnya kalangan dunia bisnis akan menggunakan jalur non litigasi alternatif penyelesaian di luar pengadilan dalam menyelesaikan sengketa antara para pihak. Demikian pula dalam bisnis waralaba, penyelesaian sengketa dalam bisnis waralaba menggunakan musyawarah dan apabila tidak terdapat mufakat maka dalam penyelesaian sengketa tersebut akan menyelesaikan sengketa dengan menggunakan cara arbitrase dengan jasa arbitrator. 54 Pilihan penyelesaian sengketa dengan menggunakan musyawarah dan dengan arbitrase di atas merupakan pilihan kedua belah pihak, karena dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan dengan cara bagaimana penyelesaian sengketa dilakukan.

B. Penyelesaian Sengketa Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba Menurut