Identifikasi Fungsi Dekomposer Jaringan Kayu Mati Yang Berasal Dari Tegakan Di Lahan Gambut

(1)

IDENTIFIKASI FUNGI DEKOMPOSER JARINGAN

KAYU MATI YANG BERASAL DARI TEGAKAN DI

LAHAN GAMBUT

Skripsi

Oleh: Ranap Samosir

041202023 Budidaya Hutan

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala berkat dan karunia-Nya sehinga skripsi yang berjudul ”Identifikasi Fungi Dekomposer Jaringan Kayu Mati Yang Berasal Dari tegakan di lahan gambut” berhasil selesai dengan baik dan tepat waktu. Hasil Penelitian ini disusun sebagai satu syarat untuk medapat gelar sarjana di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Budi Utomo SP, MP dan Bapak Dr. Ir. Yunasfi, MSi. selaku komisi pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada orang tua saya yang telah banyak membantu baik dari segi moril maupun materil.

Penulis berharap semoga hasil penelitian ini berguna sebagai dasar penelitian-penelitian selanjutnya dan dapat menyumbangkan pengetahuan bagi kemajuan dunia pendidikan.

Medan, Februari 2008 Penulis


(3)

ABSTRAK

Ranap Samosir. Identifikasi Fungi Dekomposer Jaringan Kayu Mati yang Berasal dari Tegakan di Lahan Gambut. Dibimbing oleh Dr Budi Utomo SP,MP dan Dr. Ir. Yunasfi, M.Si.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengindentifikasi fungi pada jaringan kayu mati yang terdapat di hutan gambut di desa Sei Siarti Labuhan Batu Sumatera Utara. Sampel Penelitian diperoleh dari pohon yang telah mengalami pelapukan. Fungi diisolasi dan diidentifikasi di laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari Oktober 2008 sampai dengan Januari 2009.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa jenis fungi yang ditemukan dari kayu yang telah mengalami pelapukan. Yaitu Trichoderma harzianum, Trichoderma sp, Gliocladium sp, Absidia sp, Penicillium sp, dan

Fusarium sp


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Identifikasi Fungi Dekomposer Jaringan Kayu Mati yang Berasal dari Tegakan di Lahan Gambut

Nama : Ranap Samosir

Nim : 041202023

Program Studi : Budidaya Hutan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr Budi Utomo SP, MP Dr. Ir. Yunasfi, M.Si.

Ketua Anggota

Mengetahui,

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S. Ketua Departemen Kehutanan


(5)

ABSTRACT

Ranap Samosir Identifying fungi Decomposed Wood Mouldy Dragneted.Source from Coppice in a Peat Land. Advisor by Dr Budi Utomo SP,MP and Dr. Ir. Yunasfi M. Si.

The objective of this research was to identifying fungi in wood mouldy dragneted at a peat land in Sei Siarti Vilage Labuhan Batu, North Sumatera. The sampels were taken from the tree had been mouldyed. The Isolation and identification of fungi were carried out at disease plant laboratory, Agriculture Faculty University of North Sumatera.

The result showed that some species fungi founded from wood had been mouldyed. Namely: Trichoderma harzianum, Trichoderma sp, Gliocladium sp,

Absidia sp, Penicillium sp, dan Fusarium sp


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR GAMBAR... iii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Kerangka Pemikiran... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 13

Bahan dan Alat Penelitian... 13

Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA) ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 15

Pembahasan... 24

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 30

Saran... 30


(7)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Lokasi Pengambilan Sampe ... 13

2. PDA yang telah Jadi... 14

3. Trichoderma Sp 1... 15

4. Trichoderma harzianum... 16

5. Trichoderma Sp3... 17

6. Gliocladium, Sp... 18

7. Absidia, Sp... 19

8. Penicillium Sp1... 20

9. Penicillium Sp2... 21

10. Fusarium Sp1... 21

11. Fusarium Sp2... 22


(8)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembentukan gambut di beberapa daerah pantai Indonesia diperkirakan dimulai sejak zaman glasial akhir, sekitar 3.000 - 5.000 tahun yang lalu. Untuk gambut pedalaman bahkan lebih lama lagi, yaitu sekitar 10.000 tahun yang lalu. Jika dilakukan drainase atau reklamasi, gambut berangsur-angsur akan kempes dan mengalami subsidence atau ambelas yaitu penurunan permukaan tanah. Kondisi ini disebabkan oleh proses pematangan gambut dan berkurangnya kandungan air. Lama dan kecepatan penurunan tersebut tergantung pada kedalaman gambut. Semakin tebal gambut, penurunan tersebut semakin cepat dan berlangsungnya semakin lama. Rata-rata kecepatan penurunan adalah 0,3-0,8 cm/bulan, dan terjadi setelah 3-7 tahun setelah drainase atau pengolahan tanah (Admin, 2008).

Hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon global dalam tanah) dan moderasi iklim sekaligus memberikan manfaat keanekaragaman hayati, pengatur tata air, dan pendukung kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki 20 juta ha lahan gambut yang terutama terletak di Sumatera (Riau memiliki 4 juta ha) dan Kalimantan (Heriri, 2008).

Jamur (Mushroom) merupakan tumbuhan yang banyak dijumpai di alam. Tempat tumbuhnya di tanah ataupun kayuyang tlah lapuk. Jamur biasanya banyak ditemukan pada awal musim hujan (Redaksi Trubus, 2001). Dibawah kondisi yang menguntungkan jamur berkembang sangat cepat di dalam contoh kayu dengan pertumbuhan hifa. Jalur paling mudah untuk pengembangan hifa adalah lumina parenkim dan sel-sel pembunuh.


(9)

Pondasi utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi pembukaan hutan gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya. Dengan sifat gambut yang seperti spons (menyerap air), maka pada saat pohon ditebang dan lahannya dibuka, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini, terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut (Heriri, 2008).

Sejalan dengan pertambahan penduduk dan keterbatasan lahan pertanian menyebabkan pilihan diarahkan pada lahan gambut baik untuk kepentingan pertanian maupun untuk pemukiman penduduk. Penggunaan lahan gambut untuk pertanian dengan semestinya dan efisien akan memberikan sumbangan bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan kata lain, pemanfaatan lahan gambut yang dengan tidak semestinya akan menyebabkan kehilangan salah satu sumber daya yang berharga, dikarenakan lahan gambut merupakan lahan marginal dan merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui.


(10)

B. Gambaran Kerangka Pemikiran

Gambut

Kondisi Anaerob

Laju dekomposisi lambat

Dekomposer

Fungi Bakteri

Pada tegakan di lahan gambut

Laju dekomposisi meningkat

Laboratorium


(11)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi fungi pada kayu yang telah mengalami pelapukan pada hutan gambut.

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai pengetahuan untuk mengetahui fungi-fungi yang terdapat pada pohon yang telah mengalami pelapukan di lahan gambut

2. Sebagai informasi bagi pihak yang membutuhkan dalam pengolahan lahan gambut

E. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Adanya fungi perombak bahan organik yang terdapat pada kayu yang telah mengalami pelapukan

2. Tidak adanya jenis-jenis fungi perombak bahan organik pada kayu yang telah mengalami pelapukan


(12)

TINJAUAN PUSTAKA

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh adanya penimbunan/akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organic di lantai hutan yang basah/tergenang tersebut. Seperti gambut tropis lainnya, gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya akan kandungan lignin dan nitrogen. Karena lambatnya proses dekomposisi, di ekosistem rawa gambut masih dapat dijumpai batang, cabang dan akar besar. Secara ekologis, hutan rawa gambut merupakan habitat bagi spesies langka orangutan (Pongo pygmaeus) baik di Sumatera maupun Kalimantan, pemijahan ikan, reservoir air, yang ditumbuhi oleh vegetasi hutan hujan selalu hijau (evergreen), serta sumber pencaharian penduduk sekitar (Admin, 2008).

Gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang berasal dari sisa-sisa jaringan tumbuhan/vegetasi alami pada masa lampau. Tanah gambut biasanya terbentuk di daerah cekungan atau depresi di belakang tanggul sungai yang selalu jenuh air karena drainasenya terhambat, sehingga proses dekomposisi terjadi sangat lambat. Lahan gambut mempunyai fungsi yang sangat penting dalam tata air kawasan sebab gambut bersifat seperti busa yang dapat menyerap kelebihan air dimusim hujan sehingga mencegah banjir dan melepaskan kandungan airnya secara perlahan dimusim kemarau. Rawa gambut juga menjadi tempat berlindung berbagai spesies langka, seperti Harimau Sumatera, Orang utan, ikan Arowana, dan Buaya Sinyulong. Berbagai jenis kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi


(13)

juga dapat ditemukan di rawa gambut, antara lain Ramin ( Gonystylus sp.), Kayu putih (Melaleuca sp.), Jelutung (Dyera costulata) dan Meranti rawa (Shorea sp.). Fungsi-fungsi tersebut menyebabkan lahan gambut merupakan asset yang sangat penting bagi pembangunan nasional (Departemen Dalam Negeri, 2004).

Pemanfaatan lahan gambut untuk tetap dipertahankan sebagai habitat ratusan spesies tanaman hutan, merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat. Disamping kawasan gambut tetap mampu menyumbangkan fungsi ekonomi bagi manusia di sekitarnya (produk kayu dan non kayu) secara berkelanjutan, fungsi ekologi hutan rawa gambut sebagai pengendali suhu, kelembaban udara dan hidrologi kawasan akan tetap berlangsung sebagai konsekuensi dari ekosistemnya tidak berubah. Mempertahankan lahan gambut untuk tetap menjadi habitat jenis pohon adalah beralasan. Hutan rawa gambut memiliki jenis pohon bernilai ekonomis tinggi, demikian pula satwa. Berdasarkan data pada salah satu HPH yang berlokasi di lahan gambut, diketahui bahwa populasi 10 jenis pohon bernilai ekonomis tinggi dan jenis yang dilindungi dengan diameter ≥ 20 cm rata-rata 21 pohon/ha dengan volume rata-rata 30,94 m3/ha. Diantarake-10 jenis pohon tersebut terdapat 67,83% adalah ramin (Gonystylus bancanus Kurz). Berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan alami pohon-pohon bernilai ekonomis tersebut, maka “Wise Use of Tropical Peatland” hendaknya tidak lagi harus dipaksa untuk melakukan perubahan yang justru mengakibatkan munculnya permasalahan baru yang berdampak negatif bagi manusia dan lingkungan (Limin, 2006).

Dari segi keragaman hayati (biodiversity) hutan-hutan rawa gambut sangat penting. Dibandingkan dengan hutan-hutan dataran rendah pada tanah bermineral, jenis-jenis pohon yang bermutu dan tinggi di hutan rawa gambut lebih sedikit.


(14)

Tetapi bagaimanapun hutan-hutan rawa gambut lebih mempunyai keragaman ekosistem dibanding yang lain di bumi ini. Jenis-jenis pohon endemik dalam jumlah yang banyak ditemukan di kawasan hutan-hutan rawa gambut, selain juga terdapat habitat penting bagi banyak pohon dan binatang yang terancam punah dan hanya dapat ditemukan di hutan-hutan dataran rendah. Beberapa jenis tanaman yang sudah semakin berkurang dan terancam punah seperti meranti (Shorea spp.), ramin (Gonystylus spp.) dan jelutung (Dyera spp.) biasa ditemukan di area konsesi. Dan juga beberapa binatang yang saat ini nyaris punah seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan buaya muara (Crocodylus porosus) (Miettinen,2004).

Jenis-jenis Pohon di Lahan Gambut

Adapun jenis pohon yang terdapat dalam hutan gambut adalah tumih (Combretocarpus ratundus), mahang (Macaranga spp.), pulai (Alstonia pneumatophora), milas (Parastemon urophyllum), alam-suntai (Palaquium spp.), terentang (Camnosperma coreaceum), geronggang (Cratoxylon arborencens), simpur (Dillenia excelsa), jelutung (Dyera lowii), gelam (Melaleuca cajuputi), ramin (Gonystylus bancanus), meranti batu (Shorea uliginosa).

Pengenalan Fungi

Jamur (fungi) adalah organisme yang sel-selnya berinti sejati (eucariotic), biasanya berbentuk benang, bercabang-cabang, tidak berklorofil,dinding selnya mengandung kitin, selulosa atau keduanya. Jamur adalah organism heterotrof absobtif, dan membentuk beberapa macam spora. Diantara sekitar seratus ribu jenis jamur, sebagian besar meluluh hidup sebagai saprobe yang berjasa karena


(15)

melakukan dekomposisi bahan-bahan organic mati. Lebih kurang 50 jenis menyebabkan penyakit pada manusia, dan sekitar 50 jenis menyebabkan penyakit pada hewan, kebanyakan menimbulkan penyakit kulit. Diperkirakan bahwa lebih dari 8000 jenis jamur dapat menyebabkan dapat menyebabkan penyakit pada tumbuhan (Semangun,1996)

Hifa dapat dibedakan atas dua tipe hifa yang fungsinya berbeda, yaitu yang menyerap unsur hara dari substrat dan yang menyangga alat-alat reproduksi. Hifa umumnya rebah pada permukaan substrat atau tumbuh pada ke dalam substrat dan fungsinya untuk mengabsorbsi unsur hara yang diperlukan bagi kehidupan fungi disebut hifa vegetatif. Hifa yang umumnya tegak pada miselium yang terdapat di permukaan substrat disebut hifa fertil, karena berperan untuk reproduksi. Hifa-hifa yang telah menjalin suatu jaringan miselium makin lama makin tebal dan membentuk suatu koloni yang dapat dilihat dengan mata telanjang (Semangun, 1996).

Morfologi Fungi

Bagian vegetatif pada jamur umumnya berupa benang-benang halus memanjang, bersekat (septa) atau tidak, dinamakan dengan hifa. Kumpulan benang-benang hifa tersebut dinamakan dengan miselium. Miselium dapat dibedakan menjadi dua tipe pokok. Yang pertama mempunyai hifa senositik (coenocytic), yaitu hifa yang mempunyai banyak inti dan tidak mempunyai sekat melintang, jadi hifa ini berbentuk tabung halus yang mengandung protoplas dengan banyak inti. Pembelahan intinya tidak diikuti oleh pembelahan sel. Yang kedua mempunyai hifa seluler (celluler), hifa terdiri dari sel-sel, yang masing-masing mempunyai satu atau dua inti. (Semangun,1996)


(16)

Fungi Kayu

Sejumlah besar fungi dapat ditemukan pada kayu dan menyebabkan kerusakan berupa pelapukan kayu. Fungi tersebut mempunyai aktifitas selulolitik yang sangat kuat. Hidupnya bisa pada kayu dari pohon yang masih hidup, maupun pada kayu yang sudah mati. Sebagian besar diantaranya tergolong ke dalam Basidiomycota, antara lain, Volvariella volvaceae, Pleurotus flabelatus, Pleurotus sajor-caju, Lentinus edodus, Agaricus sp., dan Auricularia sp. Disamping itu banyak pula Hyphomycetes yang bersifat selulolitik, seperti Trichaoderma sp.,

Alternaria sp., Chaetomium sp., Cladosporium sp., Fusarium sp., Paecilonyces

sp. yang tumbuh baik pada bahan kayu. Ada Ascomycetes yang hanya bisa tumbuh pada kayu untuk mendapatkan nutrient. Fungi kayu terutama mendegradasi lignin dan selulosa. Kayu terbentuk oleh lignin, selulossa, dan hemiselulosa (Gandjar dkk., 2006).

Pada kayu yang sudah mati dapat ditemukan Helotium citrinum yang membentuk apothecia kecil berwarna jingga, juga Chlorosplemium aeruginascens yang menghasilkan guratan-guratan berwarna hijau pada kayu dan pohon “Oak” di Eropa. Kayu demikian diminati oleh kalangan tertentu terutama untuk benda- benda seni.

Menurut Hunt dan Garra (1996), kondisi yang diperlukan untuk pertumbuhan fungi pembusuk kayu ada empat macam, yaitu (a), sumber-sumber energi dan bahan makan yang cocok; (b) kadar air kayu di atas titik jenuh serat kayu; (c) persediaan oksigen yang cukup; dan (d) suhu yang cocok. Kekurangan dalam


(17)

salah satu persyaratan ini, akan menghalangi pertumbuhan suatu fungi, meskipun fungi tersebut telah berada dalam kayu.

Banyak diantara jamur pelapuk kayu seperti Polyporus dan jamur mikoriza ektotrofik (misalnya Boletus) yang menghuni perakaran pohon-pohon dalam hutan termasuk dalam basidiomycetes tanah. Jamur-jamur tersebut membutuhkan vitamin-B dan faktor pertumbuhan khusus yang terkandung dalam cairan yang dikeluarkan akar untuk pertumbuhannya di dalam medium laboratorium. Walaupun demikian, Basidiomycetes biasanya dijumpai dalam tanah dalam tahap miselium dan dapat dikenali dari pembentuk n buah atau badan buah yang dihasilkannya pada permukaan tanah atau kayu yang melapuk (Rao,1994).

Satmoko 1995 menyatakan bahwa pelapukan kayu dapat terjadi pada pohon yang masih berdiri ataupunpada pohon yang telah ditebang. Semua kayu secara alamiahterbuka terhadap serangan fungi pelapuk kayu. Apabila pebusukan kayu telah dimulai dalam sepotong kayu maka kecepatan serta luasan kerusakan selanjutnya tergantung pada kondisi yang cocok bagi pertumbuhan fungi pelapuk tersebut.

Pertumbuhan fungi pelapuk kayu membutuhkan makan yang terambil dari bahan organik, sedangkan dalam kayu ini mengandung sejumlah bahan karbohidrat, yang terdiri dari molekul kecil(gula) dan polisakarida seperti pati sebagai zat ekstraktif. Ini merupakan sebagai sumber makanan untuk pertumbuhan mikroorganisme dalam mempertahankan hidupnya. Fungi penyebab lapuk atau pewarna pada kayu hanya merupakan jasad renik sederhana yang tidak berklorofil. Benang-benang hifa akan mengeluarkan enzim yang mampu


(18)

memecahkan karbohidrat dan lignin menjadi molekul gula yang lebih sederhana sehingga dapat dimanfaatkan sebagai energi oleh fungi (Satmoko, 1995).

Fungi Tanah

Actinomycetes adalah organisme tanah yang memiliki sifat-sifat yang umum dimiliki bakteri dan jamur tetapi juga mempunyai cirri khas yang cukup berbeda yang membatasinya menjadi satu kelompok yang jelas berbeda. Jumlah actinomycetes meningkat dengan adanya bahan organik yang mengalami dekomposisi. Lazimnya, actinomycetes tidak toleran terhadap asam dan jumlahnya menurun pada pH 5,0. Rentang pH yang paling cocok antara 5,0 dan 8,0. Tanah yang penuh berisi air tidak cocok untuk pertumbuhan actinomycetes sedangkan tanah gurun di daerah kering dan setengah kering mempertahankan populsai yang cukup besar, mungkin karena adanya ketahanan spora terhadap kekeringan. Kualitas dan kuantitas bahan organic yang ada dalam tanah tidak mempunyai pengaruh langsung dalam tanah karena kebanyakan jamur itu nutrisinya heterotrofik(Rao,1994).

Salah satu fungsi utama dari jamur berbenang dalam tanah adalah untuk menguraikan bahan organik dan membantu bongkah tanah. Disamping kemampuan ini, beberapa spesies tertentu dari Alternaria, Aspergillus, Cladosvorium, Dematium, Gliocladium, Helminthosporium, Humicola dan

Metarhizium mengahasilkan bahan yang mirip dengan bahan humus dalam tanah dan karenanya mungkin penting dalam memelihara bahan organik tanah. Beberapa jamur yang mampu membentuk asosiasi ektotrifik dalam sistem perakaran pohon-pohon hutan seperti pinus, yang termasuk genus Boletus dan


(19)

Lactarius dapat membantu memindahkan fosfor dan nitrogen dalam tanah ke dalam tubuh tanaman. Dalam banyak hal, pembentukan hutan baru itu sulit dilaksanakan kecuali jamur mikoriza secara buatan ditambahkan ke dalam tanah dengan cara inokulasi (Rao,1994).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Fungi

Menurut Gandjar dkk., (2006), secara umum pertumbuhan fungi dipengaruhi oleh substrat, kelembaban, suhu, derajat keasaman substrat (pH), dan senyawa kimia di lingkungannya.


(20)

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dan akan dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Selesai. Pengambilan sampel di lakukan dilahan gambut desa Sei Siarti

Gambar 1. Lokasi Pengambilan sampel

B. Bahan dan Alat Bahan

Bahan yang digunakan adalah PDA (Potato Dextro Agar), air steril, Dekstrosa alkohol 70%, kloroks 1%, metil blue, alumunium foil, tissue, kertas label.

Alat

Alat yang digunakan adalah kotak tray, selotip, kawat persegi, cawan petri, beaker glass, pisau, pinset, spatula, ose, timbangan analisis, api Bunsen, oven, oktalaf, inkubator, gelas ukur, mikroskop cahaya, kaca objek, gelas penutup, dan kamera digital.


(21)

Pembuatan PDA

Isolasi fungi menggunakan medium PDA (Potato Dextrose Agar) yang dibuat sendiri. Sebanyak 200 g kentang yang telah dikupas dan dibersihkan kemudian diiris tipis-tipis. Kentang direbus selama 15-20 menit dengan aquades secukupnya, kemudian disaring dengan kain. Filtrat yang dihasilkan kemudian ditambahkan 20 g dekstrosa dan volumenya dijadikan satu liter. Medium padat dibuat dengan menambahkan 20 g agar. Medium disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 C dan tekanan 2 atm selama 15 menit. Media yang telah disterilisasi selanjutnya dituang ke dalam cawan petri.


(22)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh jamur sebagai berikut:

1. Trichoderma, sp 1

Trichoderma sp, bentuk koloni jenis fungi ini dapat dilihat dari gambar 1A. Sedangkan bentuk mikroskopiknya dapat dilihat dalam gambar 1B. Ciri-ciri makroskopik Trichoderma sp yang diisolasi adalah koloni berwarna hijau tua. Dan penyebarannya yang tidak merata. Dimana, diameter yang diperoleh adalah 4,25 cm pada hari ke 5. Dan diameternya yang terbesar mencapai 9,2 cm yang terdapat pada hari ke 6. Ciri- ciri microskopik yang diperoleh adalah konidiofornya membentuk sudut sekitar 450, dan percabangannya yang tidak teratur. Dari keseluruhan bentuk gambar diperoleh bentuk seperti pohon cemara. Diameter hifa diperoleh 6,25 μm, diameter konidia sebanyak 50 sampel yang dipilih diperoleh rata-rata diameter konidia 4,37μm.

b

A B a

Gambar3.Trichoderma sp1. Kolononi berumur 14 hari pada media PDA (A) Pengamatan microskopik (B) Konidiofor (a), konidia (b).


(23)

Dari pengamatan koloni yang diperoleh, pengamatan pertama diperoleh warna putih keabu-abuan yang pada bagian tengahnya terdapat warna hijau. Sementara diameter pertama yang diperoleh sekitar 3,9 cm. Dan dihari- hari berikutnya perubahan warna koloni terjadi dimana warna hijau terbentuk dan terdapat warna seperti tepung-tepung putih. Dan diameter koloni diperoleh 7,15 cm. Dan pengamatan pada hari ke-10 keseluruhan cawan tertutupi oleh warna hijau. Pada pengamatan mikroskopiknya dilihat dudukan konidiofornya berada pada 900. Konidiofor Memiliki percabangan menyerupai piramida, yaitu pada bagian bawah cabang lateral yang berulang-ulang. Sedangkan ke arah ujung akan bertambah pendek . Fialid tampak langsing, panjang fialid 6 μm – 7 μm dengan warna hijau dan memiliki konidia yang terbentuk semi bulat hingga oval pendek dan berdinding halus. dengan diameter 2,50 μm - 3,75 μm.

c

b a

A B

Gambar 4. Trichderma harzianum. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A), Bentuk mikroskop (B) konidiofor (a), fialid (b), konidia (c)

3. Trichoderma sp3.

Koloni yang terdapat pada Trichoderma sp3 memiliki warna putih dan pada bagian tengahnya menguning. Ini adalah pengamatan I untuk species ini. Dimana


(24)

diameter pada pengamatan untuk hari I diperoleh 2,7 cm. dan pada hari kelima hifa mengelilingi cawan petri dan bagian tengahnya menguning. Diameter yang diperoleh sebesar 7,85 cm. untuk hari berikutnya hari ke-7 warna cawan putih dan pada bagian tengah terbentuk warna hijau tua.Dan pada pengamatan hari ke 12 warna hijau menggumpal- gumpal seperti terlihat pada gambar 3A. Pada pengamatan mikroskopinya di peroleh bahwa diameter hifa sekitar 4,25, konidia dari 25 sampel konidia yang diperoleh rata-rata diameternya 2 μm - 4,5 μm. Ukuran fialid yang diperoleh sekitar 5-7 μm.

a b

c

A B

Gambar 5. Trichderma sp3. Koloni berumur 14 hari pada media PDA (A), Bentuk mikroskop (B) konidiofor (a), fialid (b), konidia (c)

4. Gliocladium sp.

Pertumbuhan koloni Gliocladium Sp sangat cepat Seperti gambar 8A. Tekstur nya berwarna putih pertama, kadang-kadang pink dan akan berubah menjadi hijau gelap. Seperti yang dikatakan pertumbuhannya cepat diameter pada


(25)

hari I pengamatan diperoleh sebesar 4,05 cm. dan pada hari kedua diperoleh 8,2 cm dengan warna putih dan bagian tengahnya putih kontras. Perubahan warna selebihnya tidak ada dijumpai sampai hari ke empatbelas. Namun yang terjadi adanya penebalan warna yang dilakukan oleh hifi-hifa gloiocladium sp sehingga membentuk koloni seperti kapas. Pada pengamatan mikroskopiknya diperoleh adanya konidia-konidia yang mengumpul dan menempel pada cabang konidiosphora. Banyaknya konidia yang mengumpul pada cabang konidiosphora tidak menentu, ada yang terdiri dari 4 buah ada yang 5 buah dan adapula sampai pulahan buah konidia. Dimana ukuran konidianya rata-rata memiliki 4- 6 μm. Dan ukuran konidiofor yang diperoleh adalah adalah 56 μm.

c

a

b

B A

Gambar 6. Gliocladium sp. Koloni berumur 14 hari (A) Bentuk microskopik (B) konidia (a), fialid(b), Konidiofor (c)

5. Absidia sp.

Koloni tumbuh cepat pada pengamatan I. Diperoleh diameter dengan 2,75 cm. Pada pengamatan hari II diperoleh diameter 5,45 cm dan telah membentuk warna putih, dan bagian tengah mengarah kecoklatan. Dan pada hari III diameter


(26)

tidak dapat dihitung karena bagian cawan Petri telah penuh. Diddapat warna putih yang tidak jernih. Pada hari VIII warna telah mengalami perubahan menjadi warna hijau. Pada hari XII diperoleh perbedaan warna yang berbeda dalam 1 cawan Petri. Adapun warna tersebut adalah pada bagian tengahnya warna hijau, pinggir berwarna putih yang tidak menonjol putihnya. (Gambar 5A). Pada pengamatan mikroskopiknya Rhizoid memiliki ukuran 12,5μm, Sporangia berbentuk bulaat dengan diameter 45μm.

a

b

Gambar 7Absidia sp. Koloni berumur 14 hari (A) Bentuk mikroskop (B) rhizoid (a) , sporangia(b)

A B

6. Penicillium sp1.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah Penicillium sp 1. Penicillium sp1 tumbuh pada cawan Petri dengan diameter 3,2 Cm. Dan pada pengamatan hari ke 2 diperoleh diameter 7,2 cm. Yang mana warna kolonia walnya adalah putih dan bagian tengahnya berwarna hijau. Puncak perubahan warna cawan adalah adanya adanya serbuk-serbuk hijau yang menyebar keseluruh cawan petri. (gambar 6A). Untuk pengamatan mikroskopiknya diperoleh knidiofor dengan ukuran 400-500


(27)

μm. Bentuk fialidnya agak silindris dengan ukuran 4,7μm. Konidia yang diperoleh berbentuk semi bulat berwarna hijau dengan ukuran 2,5 μm.

c b

a

A

Gambar 8 Penicillium sp 1. Koloni Berumur 14 Hari pada PDA (A) Bentuk Mikroskop (B) fialid (a), konidiofor (b), konidia (a)

B

7. Penicilium sp2

Penicilium sp2 tumbuh dengan diameter awal 2,8cm. Pada hari pertam. Pada hari ke dua diameternya menjadi 6,1 cm, dengan warna kolonia putih dan bagian tengahnya mengarah kecoklat. Pada hari ke empat warna koloni berubah bintik-bintik putih dan sebagian warna hijau. Penyebaran warna koloni dalam cawan Petri ini tidak merata. Sebagian masih kelihatan warna putih pada bagian pinggir cawan petri. Sebagian warna hijau yang terdapat menebal dan sebagian lagi menipis. (Gambar 7A). Pada pengamatan mikroskopiknya (Gambar B) diperoleh bahwa ukuran konidianya 2,8 μm dengan bentuk lingkaran yang tidak sempurna. Dan ukuran konidiofornya 53μm dan fialidnya seperti bulat silendris.


(28)

a

b c

Gambar 9. Penicillium sp 2. Koloni berumur 14 hari pada media PDA. Bentuk mikroskop (B) konidia(a), konidiofor(b), fialid(c).

A B

8. Fusarium sp1

Koloni pada media PDA mencapai diameter 3,25 cm. Pada hari ke tiga pertubuhan hifanya cepat sehingga diperoleh diameter dengan ukuran 9,75 cm. Hifa pertama yang muncul dalam cawan Petri adalah berwarna kuning ke abu-abuan. Pada hari ke 12 warna koloni berubah dimana pada bagian tengahnnya berwarna coklat keputih-putihan. Pada pengamtan mikroskopinya diperoleh makrokonidia dengan 3 sekat membentuk seperti sabit, ada yang lurus, dan ada yang agak lurus. Diamana rata-rata ukuran makrokonidianya (27-54) μm.

A B

Gambar 10. Fusarium sp1. Koloni yang berumur 14 hari pada media PDA (A). Bentuk mikroskop makrokonidia (B)


(29)

Koloni pada media PDA mencapai diameter 2,5 cm pada hari kedua. Dan pada hari ketiga diperoleh diameter 9,25 cm. Adapun warna yang terbentuk adalah pada hari ke 5 warna hifa kuning keabu-abuan, dan pada bagian pinggirnya terdapat warna putih yang menggumpal-gumpal. Pengamatan mikroskopiknya diperoleh makrokonidia yang sebagian panjang dan sebagian lagi pendek. Sekat yang terdapat pada makrokonidianya sebanyak 3 buah, dengan ukuran 35 μm.

Gambar 11. Fusarium Sp2. Koloni yang berumur 14 hari pada media PDA (A). Bentuk mikroskop makrokonidia (B)

10.Jamur Tidak diketahui

Koloni ini tumbuh pada PDA yang perkembangannya cukup lambat. Koloni ini membentuk warna putih seperti tepung yang melingkar. Tapi putih yang ada tidak banyak. Diameter fungi ini mencapai 7,25 cm pada umur 8 hari. Dan pada hari X diametr koloni 8,5 cm (Gambar 10 A). Dari penampakan mikroskopiknya didapat konidia yang memiliki sekat. Konidia yang ada tidak jelas apak konidia itu mikrokonidia atu makrokonidia. Sekat yang ada sebanyak 4 buah. Konidia yang ada terpisah-pisah bukan menyatu (Gambar 10 B).


(30)

A B

C

Gambar 12. Koloni berumur 14 hari (A). Bentuk mikroskop Konidia dan hifanya(B). Konidia yang berekor (C)


(31)

B. Pembahasan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya bahwa fungi yang tumbuh dipengaruhi oleh substrat, kelembaban, derajat keasaman, (pH), dan senyawa-senyawa kimia di lingkungannya. Pada lahan gambut fungi dapat tumbuh karena adanya substrat yang dihasilkan oleh kayu-kayu yang memiliki lignin dan selulosa. Dimana kayu tersebut terbentuk oleh lignin dan selulosa. Suhu yang terdapat di lahan gambut tersebut berkisar 280C yang memungkinkan tumbuhnya fungi termofil. Beberapa fungi termorfil yang ada ialah

trichoderma, sp, peniciilium sp, dan fusarium sp.

Lahan gambut merupakan lahan yang memilki ketebalan gambutnya diatas 50 cm. Lahan yang ketebalannya kurang dari 50 cm disebut lahan bergambut. Gambut terbentuk dari hasil dekomposisi bahan-bahan organik seperti daun, ranting, semak belukar dll, yang berlangsung dalam kecepatan lambat dan dalam suasana anaerob. Berdasarkan ketebalannya, gambut dibagi menjadi:

1. Gambut dangkal dengan ketebalan 0,5 – 1m, 2. Gambut sedang dengan ketebalan 1 – 2m, 3. Gambut dengan ketebalan 2 – 3m,

4. Gambut sangat dalam dengan ketebalan > 3m.

Berdasarkan kematangannya, gambut dibedakan menjadi 3, yaitu fibrik , apalagi bahan vegetatifnya masih dapat diidentifikasikan atau sedikit mengalami dekomposisi, hemik apabila tingkat dekomposisinya sedang dan saprik apabila tingkat dekomposisinya telah lama. Tanah Gambut secara umumnya memiliki kadar pH yang rendah, memiliki kapasitas tukar kation yang tinggi, kejenuhan basa rendah, memiliki kandungan unsur K, Ca, Mg, P yang rendah dan juga


(32)

memiliki kandungan unsur mikro (seperti Cu, Zn, Mn serta B) yang rendah pula (Pusat informasi gambut tropika, 2008). Sehinga menurut (Gandjar,et al 2006) mengatakan Derajat keasaman lingkungan (pH) sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan menguraikan suatu substrat sesuai dengan aktifitas tertentu. Umumnya fungi dapat hidup pada pH dibawah 7.

Kayu yang diambil sampelnya adalah kayu yang telah mengalami pelapukan. Bagian kayu yang diambil dari lahan gambut tersebut adalah bagian batangnya. Adanya jenis fungi yang ditemukan sebagian adalah fungi yang dapat membunuh fungi patogen, karena kandungan enzim di dalamnya dan fungi yang bersifat patogen. Kemungkinan semua jenis fungi tersebut dapat bersifat patogen pada tanaman yang ada di lahan gambut. Seperti yang diutarakan Landecker (1990) menyatakan Trichoderma sp dapat menyebabkan penyakit akar merah pada pohon sengon, dan perusak biji pada Gmelina arborea. Fusarium sp

dapat menyebabkan penyakit layu pada pohon sonokeling dan rebah semai pada jenis konifer. Jika memang hal ini terjadi dapat diambil kesimpulan bahwa adanya asosiasi antara fungi dan faktor iklim dapat menimbulkan penyakit dan mempercepat penularan pada pohon inangnya. Pada suhu yang tinggi dapat menciptakan luka pada jaringan batang pohon karena permukaan pohon tersebut langsung dengan sinar matahari. Untuk suhu yang rendah akan menghambat metabolisme yang akan menyebabkan kerapuhan. Adanya pengaruh dari suhu tersebut akan mempengaruhi kelembaban. Dimana kelembaban ini sangat berpengaruh terhadap perkecambahan spora fungi. Karena dengan adanya kelembaban akan mengktivasi fungi untuk mudah menginfeksi inang. Dengan


(33)

tingginya kelembaban akan menciptakan jaringan muda pada batang pohon menjadi rentan terhadap patogen. Sedangkan kelembaban yang rendah pohon kekurangan oksigen dan cahaya yang sedikit.

Dari hasil yang diperoleh didapat fungi seperti Trichoderma sp, Fusharium sp,

Penicilium sp, Gliocladium sp, Dan Absidia sp. Dari beberapa jenis jamur tesebut ada yang bersifat sebagai patogen, dan adapula yang bersifat membunuh patogen.

Adanya fungi yang didapat seperti Trichoderma sp, dan Fusarium sp dari sampel kayu,kemungkinana hal inilah yang menyebabkan kayu yang terdapat di lahan gambut tersebut rusak. Karena fungi tersebut memiliki aktifitas selulotik yang sangat kuat. Hidup fungi tersebut ada pada pohon yang hidup dan adapula yang mati. Fungi-fungi tersebut akan mendegradasilignin dan selulosa,yang

menyebabkan kerusakan pada kayu. Pernyataan ini sesuai dengan (Gandjar, et al 2006) yang menyatakan sejumlah besar fungi dapat ditemukan

pada kayu yang menyebabkan kerusakan berupa pelapuk kayu. Fungi tersebut memiliki aktifitas selulotik yang sangat kuat seperti Trichoderma sp,Alternaria sp, Chaetonium sp, Cladosporium sp, Fusarium sp. Fungi tersebut dapat mendegrasi

lignin dan selulosa yang ada pada kayu.

Diperolehnya fungi seperti Trichoderma sp, dan Penicilium sp dari sampel yang diamati, hali ini menunjukkan bahwa fungi-fungi tersebut merupakan fungi yang dapat berkembang di dalam tanah-tanah asam, yang memiliki pH yang rendah. Hal ini akan menimbulkan lebih banyak fungi lagi. Fungi tersebut terdapat dalam tanah dimana jumlah yang terbanyak terdapat di lapisan prmukaan tempat bahan organik yang tersedia dan tercukupi aerasinya. Hal ini sesuai dengan pendapat (Buckman and Nyle,1982) yang mengutarakan Fungi benang akan


(34)

berkembang baik dalam tanah-tanah asam, netral dan alkali beberapa diantaranya akan menyukai pH yang rendah. Akibatnya di tanah asam jumlahya banyak. Fungi benang terdapat di seluruh horizon tanah dimana jumlah yang terbanyak terdapat di lapisan permukaan tempat bahan organik tersedia dan tercukupi aerasinya. Ada empat genus yang terkenal adalah : Penicilium sp, mukor sp, Trichoderma sp,dan Aspergillus sp

Trichoderma sp merupakan species yang kosmopolit, dan dapat diisolasi dari tanah, biji-bijian, kertas, tekstil, rhizosfer kentang, gandum, bit gula, rumput, jerami serta kayu. Species ini memiliki suhu pertumbuhan optimum 150-300 (350C) dan maksimum 30-360C (Gandjar, 1999). Berdasarkan (Titania 2003) enzim kitinase berperan penting dalam mengontrol fungi patogen pada tanaman secara micoparasitisme. Kemampuan beberapa species dari genus Trichoderma sp

sebagai mikroba biokontrol yang sangat efektif untuk menghambat pertumbuhan fungi patogen pada tanaman dikaitkan dengan kemampuan fungi Trichoderma sp

mengasilkan enzim kitinase. Enzim kitinase yang dihasilkan oleh fungi

Trichoderma lebih efektif dari enzim kitinase yang dihasilkan oleh organisme lain. Sama seperti Trichodrema sp fungi Giocladium sp juga menguntungkan bagi masyarakat. Fungi ini juga dapat menekan pertumbuhan fungi patogen yang terdapat pada tanaman. Gliocladium sp, termasuk dalam Deuteromycota, suddivisi

Deuteromycoyina, kelas Deuteromycetes, ordo Moniliales dan famili Moniliaceae. Fungi ini dapat

menegluarkan giovirin dan viridian yang merupakan antibiotik yang bersifat fungistatik. Dimana

dengan adanya senyawa tersebut akan menghambat pertumbuhan jamur lain. Fungi ini mudan di

temukan di lahan pertanian karena terdapat hampir semua jenis tanah, terutama yang bahan

organik. (Balai Penelitian Tanaman hias, ). Sehingga tidak mengherankan jika fungi ini bisa di


(35)

ada. Gliocladium sp, mudah ditemukan dalam tanah, namun jumlahnya sangat sedikit sehingga

tidak menimbulkan efek pengendalian yang diharapkan.

Penicillium sp, merupakan species yang kosmopolit dan umum yang terdapat pada daerah tropis. Spesies ini mudah diisolasi dari udara, serealia, rempah-rempah, serasah, sayuran,pulp kayu dan kertas, sarang burung dan bulu burung, bahan makanan dari tepung, dab jus buah-buahan. Pembentukan konidianya sangat cepat pada suhu 300C (Gandjar, 1999).

Penicilium sp mempunyai kemampuan dalam menghasilkan enzim urea reduktase dan fostase yang berperan dalam menghambat N bebas dari udara dan pelarut P dari senyawa yang sukar larut. Penicillium bersifat antagonis terhadap “soil borne” jamur seperti Trichoderma harzianum , dan Giocladium rosenum

(Setyowati, 2003).

Hampir seluruh jenis Fusarium sp merupakan kosmopolit. Dapat tumbuh di mana saja. Fusarium sp dapat diisolasi dari tanah, tumbuhan, biji serealia, buah sitrus, pisang, batang jagung yang membusuk, dan akar tanaman leguminosa.

Fusarium sp dapat menyebabkan pembusukan pada akar tanaman, selain menyerang tanaman jenis fusarium ada juga yang menyebabkan keratitis pada manusia, dan racun bagi hewan (Gandjar, 1999).

Fusarium sp, mempunyai 3 alat reproduksi yaitu mikrokonidia (terdiri dari 1 sel), makrokonidia (2 - 6 septa) dan klamidospora (merupakan pembengkakan pada hifa). Stadium terakhir merupakan stadium yang tahan pada segala cuaca dan cendawan ini merupakan patogen tular tanah. Penyebaran dapat terjadi oleh angin berupa tanah terinfeksi dan dapat juga terbawa melalui pengairan. Layu total dapat terjadi antara 2 - 3 minggu setelah terinfeksi. Penyakit ini jarang terjadi pada tanah yang kering atau sistem perairan yang cukup baik.


(36)

Tanaman yang terserang menjadi layu, mulai dari daun bagian bawah dan anak tulang daun menguning. Bila infeksi berkembang, tanaman menjadi layu dalam 2 atau 3 hari setelah infeksi. Warna jaringan akar dan batang menjadi coklat. Tempat luka infeksi tertutup hifa yang berwarna putih seperti kapas. Apabila serangan terjadi pada saat pertumbuhan sudah maksimum maka tanaman masih dapat menghasilkan buah. Namun bila serangan sudah sampai pada batang, maka buah kecil akan gugur. Penyebaran penyakit (spora) melalui angin dan air pengairan. Penyakit ini jarang terjadi pada tanah yang kering atau yang pengairannya baik.

Dari penjelasan yang telah diutarakan, terdapat hal-hal yang bertentangan. Sebagai contoh Trichoderma sp yang didapat, di satu sisi sifat Trichoderma sp

merupakan penolong bagi tumbuhan lain karena memiliki enzim yang bersifat membunuh patogen lain. Di sisi lain Trichoderma sp dapat menyebabkan penyakit akar pohon pada sengon. Untuk itu diperlukannya penelitian yang lebih lanjut mengenai fungi-fungi yang terdapat baik pada lahan gambut maupun yang ada pada kayunya. Agar lebih diketahui kemana sebenarnya pengaruh fungi tersebut apakah bersifat patogen terhadap tanaman lain, atau sebaliknya.


(37)

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Diperoleh fungi seperti Trichoderma sp, Fusarium sp, Penicilium sp, Gliocladium sp, Dan Absidia sp.

2. Fungi Trichoderma sp, dan Fusarium sp dapat mendegradasi lignin dan selulosa yang ada pada kayu.

3. Ada kesamaan fungi yang terdapat pada kayu maupun yang terdapat dalam tanah.

4. Fungi –fungi yang ada kebanyakan hidup pada pH yang rendah.

B. Saran

Dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk mengetahui sifat-sifat fungi yang ada pada daerah gambut. Untuk mengetahui apakah fungi tersebut bersifat patogen, atau bersifat membantu tanaman yang ada di sekitarnya.


(38)

DAFTAR PUSTAKA

Admin, 2008. Lahan Gambut : Pemanasan Global dan Perdagangan Karbon.Yayasan Ekosistem Lestari http://www.google.co.id/lahan gambut [26 April 2008]

Bucman and Nyle, C. B. 1982. Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Soegiman. Penerbit Bhratara Karya Aksara. Jakarta

Departemen Dalam Negeri, 2004. Seminar "Pengelolaan Lahan Gambut

Berkelanjutan". Peat Portal. http://www.google.co.id/lahan gambut. [26 April 2008]

Gandjar, I; Wellyzar,S dan Ariyanti, O 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Heriri, D. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan. WWF Indonesia.

http://www.google.co.id/lahan gambut. [26 April 2008]

Hunt, G.M, dan Garrat. 1986. Pengawtwan Kayu. Terjemahan Yusuf, N. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Akademika Presindo. Jakarta.

Landlaker (1990). Fundamentals of The Fung. Dalam Skripsi Ermida (2008). Fungi pada Batang Eucalyptus urophylla. Di PT Pulp Toba Lestari. Universitas Sumatera Utara. Medan

Limin S,H.2006. Pemanfaatan Lahan Gambut dan Permasalahannya.

http://webdocs.alterra.wur.nl/internet/peatwise/docs/phase3/Reports/Pem anfaatan%20lahan%20gambut%20dan%20permasalahannya.pdf. [19 April 2008]

Miettinen, O. 2004. Perkebunan Baru Bahan Pulp Berskala Luas Mengancam Hutan-Hutan Rawa Riau. Diterjemahkan oleh Saleh Abdullah. Friends of the Earth Finland.

http://www.maanystavat.fi/april/expansion/rappNov2004ind.pdf.

Pusat Informasi Gambut (2008). Gambut Tropika di Kalimantan Tengah. Central Kalimantan Peatlands Project. Kalimantan.

Redaksi rubus 2001. Pengalaman Pakar dan Praktisi Budidaya Jamur. PT Penebar Swadaya. Dpok.

Satmoko E. 1995. Jenis-Jenis Jamur Pelapuk Kayu Koleksi Laboratorium Perlindungan Hutan. Skripsi Sarjana. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Tjandrawati Titania,dkk. 2003. Isolasi dan Karakteristik Sebagian Kitinasse

Trichoderma viride. TNJ 63. Jurnal Natur Indonesia.ISSN1410-9379 Setyowati (2003).Penurunan Penyakit Busuk dan Akar Pertumbuhan Gulma

Selada yang Dipupuk Mikroba. ISSN1411-0067.Jurnal-Jurnal Pertanian Indonesia.


(39)

(1)

berkembang baik dalam tanah-tanah asam, netral dan alkali beberapa diantaranya akan menyukai pH yang rendah. Akibatnya di tanah asam jumlahya banyak. Fungi benang terdapat di seluruh horizon tanah dimana jumlah yang terbanyak terdapat di lapisan permukaan tempat bahan organik tersedia dan tercukupi aerasinya. Ada empat genus yang terkenal adalah : Penicilium sp, mukor sp, Trichoderma sp,dan Aspergillus sp

Trichoderma sp merupakan species yang kosmopolit, dan dapat diisolasi dari tanah, biji-bijian, kertas, tekstil, rhizosfer kentang, gandum, bit gula, rumput, jerami serta kayu. Species ini memiliki suhu pertumbuhan optimum 150-300 (350C) dan maksimum 30-360C (Gandjar, 1999). Berdasarkan (Titania 2003) enzim kitinase berperan penting dalam mengontrol fungi patogen pada tanaman secara micoparasitisme. Kemampuan beberapa species dari genus Trichoderma sp

sebagai mikroba biokontrol yang sangat efektif untuk menghambat pertumbuhan fungi patogen pada tanaman dikaitkan dengan kemampuan fungi Trichoderma sp

mengasilkan enzim kitinase. Enzim kitinase yang dihasilkan oleh fungi

Trichoderma lebih efektif dari enzim kitinase yang dihasilkan oleh organisme lain. Sama seperti Trichodrema sp fungi Giocladium sp juga menguntungkan bagi masyarakat. Fungi ini juga dapat menekan pertumbuhan fungi patogen yang terdapat pada tanaman. Gliocladium sp, termasuk dalam Deuteromycota, suddivisi

Deuteromycoyina, kelas Deuteromycetes, ordo Moniliales dan famili Moniliaceae. Fungi ini dapat

menegluarkan giovirin dan viridian yang merupakan antibiotik yang bersifat fungistatik. Dimana dengan adanya senyawa tersebut akan menghambat pertumbuhan jamur lain. Fungi ini mudan di temukan di lahan pertanian karena terdapat hampir semua jenis tanah, terutama yang bahan organik. (Balai Penelitian Tanaman hias, ). Sehingga tidak mengherankan jika fungi ini bisa di temukan pada lahan gambut, dimana lahan gambut tersebut memiliki 30% bahan organik yang


(2)

ada. Gliocladium sp, mudah ditemukan dalam tanah, namun jumlahnya sangat sedikit sehingga tidak menimbulkan efek pengendalian yang diharapkan.

Penicillium sp, merupakan species yang kosmopolit dan umum yang terdapat pada daerah tropis. Spesies ini mudah diisolasi dari udara, serealia, rempah-rempah, serasah, sayuran,pulp kayu dan kertas, sarang burung dan bulu burung, bahan makanan dari tepung, dab jus buah-buahan. Pembentukan konidianya sangat cepat pada suhu 300C (Gandjar, 1999).

Penicilium sp mempunyai kemampuan dalam menghasilkan enzim urea reduktase dan fostase yang berperan dalam menghambat N bebas dari udara dan pelarut P dari senyawa yang sukar larut. Penicillium bersifat antagonis terhadap “soil borne” jamur seperti Trichoderma harzianum , dan Giocladium rosenum

(Setyowati, 2003).

Hampir seluruh jenis Fusarium sp merupakan kosmopolit. Dapat tumbuh di mana saja. Fusarium sp dapat diisolasi dari tanah, tumbuhan, biji serealia, buah sitrus, pisang, batang jagung yang membusuk, dan akar tanaman leguminosa.

Fusarium sp dapat menyebabkan pembusukan pada akar tanaman, selain menyerang tanaman jenis fusarium ada juga yang menyebabkan keratitis pada manusia, dan racun bagi hewan (Gandjar, 1999).

Fusarium sp, mempunyai 3 alat reproduksi yaitu mikrokonidia (terdiri dari 1 sel), makrokonidia (2 - 6 septa) dan klamidospora (merupakan pembengkakan pada hifa). Stadium terakhir merupakan stadium yang tahan pada segala cuaca dan cendawan ini merupakan patogen tular tanah. Penyebaran dapat terjadi oleh angin berupa tanah terinfeksi dan dapat juga terbawa melalui pengairan. Layu total dapat terjadi antara 2 - 3 minggu setelah terinfeksi. Penyakit ini jarang terjadi pada tanah yang kering atau sistem perairan yang cukup baik.


(3)

Tanaman yang terserang menjadi layu, mulai dari daun bagian bawah dan anak tulang daun menguning. Bila infeksi berkembang, tanaman menjadi layu dalam 2 atau 3 hari setelah infeksi. Warna jaringan akar dan batang menjadi coklat. Tempat luka infeksi tertutup hifa yang berwarna putih seperti kapas. Apabila serangan terjadi pada saat pertumbuhan sudah maksimum maka tanaman masih dapat menghasilkan buah. Namun bila serangan sudah sampai pada batang, maka buah kecil akan gugur. Penyebaran penyakit (spora) melalui angin dan air pengairan. Penyakit ini jarang terjadi pada tanah yang kering atau yang pengairannya baik.

Dari penjelasan yang telah diutarakan, terdapat hal-hal yang bertentangan. Sebagai contoh Trichoderma sp yang didapat, di satu sisi sifat Trichoderma sp

merupakan penolong bagi tumbuhan lain karena memiliki enzim yang bersifat membunuh patogen lain. Di sisi lain Trichoderma sp dapat menyebabkan penyakit akar pohon pada sengon. Untuk itu diperlukannya penelitian yang lebih lanjut mengenai fungi-fungi yang terdapat baik pada lahan gambut maupun yang ada pada kayunya. Agar lebih diketahui kemana sebenarnya pengaruh fungi tersebut apakah bersifat patogen terhadap tanaman lain, atau sebaliknya.


(4)

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Diperoleh fungi seperti Trichoderma sp, Fusarium sp, Penicilium sp, Gliocladium sp, Dan Absidia sp.

2. Fungi Trichoderma sp, dan Fusarium sp dapat mendegradasi lignin dan selulosa yang ada pada kayu.

3. Ada kesamaan fungi yang terdapat pada kayu maupun yang terdapat dalam tanah.

4. Fungi –fungi yang ada kebanyakan hidup pada pH yang rendah.

B. Saran

Dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk mengetahui sifat-sifat fungi yang ada pada daerah gambut. Untuk mengetahui apakah fungi tersebut bersifat patogen, atau bersifat membantu tanaman yang ada di sekitarnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Admin, 2008. Lahan Gambut : Pemanasan Global dan Perdagangan Karbon.Yayasan Ekosistem Lestari http://www.google.co.id/lahan gambut [26 April 2008]

Bucman and Nyle, C. B. 1982. Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Soegiman. Penerbit Bhratara Karya Aksara. Jakarta

Departemen Dalam Negeri, 2004. Seminar "Pengelolaan Lahan Gambut

Berkelanjutan". Peat Portal. http://www.google.co.id/lahan gambut. [26 April 2008]

Gandjar, I; Wellyzar,S dan Ariyanti, O 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Heriri, D. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan. WWF Indonesia. http://www.google.co.id/lahan gambut. [26 April 2008]

Hunt, G.M, dan Garrat. 1986. Pengawtwan Kayu. Terjemahan Yusuf, N. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Akademika Presindo. Jakarta.

Landlaker (1990). Fundamentals of The Fung. Dalam Skripsi Ermida (2008). Fungi pada Batang Eucalyptus urophylla. Di PT Pulp Toba Lestari. Universitas Sumatera Utara. Medan

Limin S,H.2006. Pemanfaatan Lahan Gambut dan Permasalahannya. http://webdocs.alterra.wur.nl/internet/peatwise/docs/phase3/Reports/Pem anfaatan%20lahan%20gambut%20dan%20permasalahannya.pdf. [19 April 2008]

Miettinen, O. 2004. Perkebunan Baru Bahan Pulp Berskala Luas Mengancam Hutan-Hutan Rawa Riau. Diterjemahkan oleh Saleh Abdullah. Friends of the Earth Finland.

http://www.maanystavat.fi/april/expansion/rappNov2004ind.pdf.

Pusat Informasi Gambut (2008). Gambut Tropika di Kalimantan Tengah. Central Kalimantan Peatlands Project. Kalimantan.

Redaksi rubus 2001. Pengalaman Pakar dan Praktisi Budidaya Jamur. PT Penebar Swadaya. Dpok.

Satmoko E. 1995. Jenis-Jenis Jamur Pelapuk Kayu Koleksi Laboratorium Perlindungan Hutan. Skripsi Sarjana. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Tjandrawati Titania,dkk. 2003. Isolasi dan Karakteristik Sebagian Kitinasse

Trichoderma viride. TNJ 63. Jurnal Natur Indonesia.ISSN1410-9379 Setyowati (2003).Penurunan Penyakit Busuk dan Akar Pertumbuhan Gulma

Selada yang Dipupuk Mikroba. ISSN1411-0067.Jurnal-Jurnal Pertanian Indonesia.


(6)