Pengertian Pemidanaan Tinjauan Kepustakaan

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Eksistensi Pidana Denda Dalam Pemidanaan Berdasarkan Konteks Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” adalah merupakan hasil pemikiran sendiri. Pada sekarang ini banyak terjadi kasus tindak pidana korupsi sehingga merasa tertarik untuk membahas eksistensi pidana denda dan penerapannya di dalam tindak pidana korupsi ini lebih lanjut menjadi sebuah skripsi. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas judul-judul skripsi yang ada dalam Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara maka tidak ada ditemukan skripsi yang sama dengan skripsi “Eksistensi Pidana Denda Dalam Pemidanaan Berdasarkan Konteks Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Atas dasar yang dikemukakan di atas maka keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bila di kemudian hari terdapat permasalahan mengenai keaslian skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pemidanaan

Pengertian pemidanaan sering juga digunakan dengan istilah hukuman, penghukuman, penjatuhan pemidanaan, dan hukuman pidana. Moeljatno mengatakan istilah hukuman yang berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “woedt gestrqft” merupakan istilah-istilah yang Universitas Sumatera Utara konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah non konvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan “diancam dengan pidana” untuk menggantikan kata “wordt gestraf”. 16 Perkataan pemidanaan menurut Sudarto adalah sinonim dari perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa: “Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukuman atau menetapkan sebagai hukumannya berechten. Menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. 17 Perkataan penghukuman mempunyai pengertian lain yaitu suatu rangkaian pembalasan atas perbuatan si pelanggar hukum. 18 Penghukuman merupakan tindakan untuk memberikan tindakan penderitaan terhadap pelaku kejahatan sebanding atau lebih berat dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kejahatan tersebut, apakah penghukuman berupa hukuman penjara atau yang bersifat penderaan. Menurut Jan Remmelink, pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan hukum. 19 Ted Honderich dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah berpendapat, pemidanaan harus memuat tiga unsur, yaitu: 20 16 Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama: Bandung, 2011, hlm. 12. 17 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armiko: Bandung, 1984, hlm. 36. 18 Abdulsyani, Sosiologi Kriminal, Remadja Karya: Bandung, 1987, hlm. 36. 19 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 7. 20 Marlina, op.cit., hlm. 34. Universitas Sumatera Utara a. Pemidanaan harus mengandung kehilangan deprivation atau kesengsaraan distress, yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur ini merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subjek yang menjadi korban akibat tindakan subjek lain. Tindakan subjek lain tersebut dianggap telah mengakibatkan penderitaan bagi orang lain dan melawan hukum yang berlaku secara sah. b. Pemidanaan datang dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa. Oleh karena itu pemidanaan bukan tindakan balas dendam terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan. c. Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pidana hanya kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Unsur yang ketiga mengundang pertanyaan tentang “hukuman kolektif” Kehidupan masyarakat Pancasila, baik kepentingan individu dan masyarakat menduduki posisi yang seimbang. Keduanya saling melengkapi dan membatasi. Keserasian antara kedua kepentingan tersebut menjamin terwujudnya keadilan, ketentraman dan keselarasan dalam masyarakat. Idealisme berakar pada kenyataan sosial sosial, budaya, dan struktur Negara dan bangsa Indonesia. Menurut Mohammad Noor Syam dalam disertasinya, bahwa sosial budaya struktur bangsa Indonesia itu berpuncak pada asas kerohanian yang dimulai dari kepercayaan kepada Tuham Yang Maha Esa, kekeluargaan, musyawarah mufakat dan gotong Universitas Sumatera Utara royong. Kesemuanya secara mendasar tersirat dalam sila-sila Pancasila seutuhnya. Inti sari ajarannya meliputi asas normatif yang mengajarkan antar hubungan manusia sebagai pribadi dan subjek moral sekaligus subjek budaya adalah anugerah dan amanat sebagaimana adanya keseimbangan antara hak asasi manusia dengan kewajiban asasi. 21 Asas keseimbangan ini mengandung arti bahwa pemidanaan harus mengakomodasi kepentingan masyarakat, pelaku dan korban. Pemidanaan tidak boleh hanya menekankan pada salah satu kepentingan. Hanya menekankan kepentingan masyarakat akan memberi sebuah sosok pemidanaan yang menempatkan pelaku hanya sebagai objek belaka. Pada sisi lain hanya memperdulikan kepentingan pelakunya, akan memperoleh gambaran pemidanaan yang sangat individualistis, yang hanya memperhatikan hak pelaku dan mengabaikan kewajibannya, sedangkan terlalu menekankan kepentingan korban saja, akan memunculkan sosok pemidanaan yang hanya menjangkau kepentingan yang sangat terbatas, tanpa dapat mengakomodasi kepentingan pelaku dan masyarakat secara umum. Hukuman-hukuman yang diberikan tersebut merupakan suatu proses penjatuhan hukumanpidana yang meliputi seluruh rangkaian peristiwa dan tahapan-tahapan dalam penjatuhan suatu pidana sedangkan arti pidana merupakan hukuman yang dijatuhkan yang berupa nestapa atau penderitaan. Setiap pelaksanaan pemidanaan pada pelaku tindak pidana mempunyai tujuan yang ingin dicapai atau diperoleh. Pencapaian tujuan dari suatu 21 Ibid, hlm. 36. Universitas Sumatera Utara pemidanaan dari sejak zaman klasik sampai pada perkembangan hukum pidana saat ini dapat diuraikan dari beberapa teori yaitu: a. Teori Retributif Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan. Menurut teori ini yang menjadi dasar hukum dijatuhkannya pidana adalah kejahatan itu sendiri. Teori ini berfokus pada hukumanpemidanaan sebagai suatu tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan vergelding terhadap orang- orang yang telah melakukan perbuatan jahat. Teori retributif dalam tujuan pemidanaan didasarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan morally justified pembenaran secara moral, karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerima hukuman atas kejahatan yang dilakukan. Asumsi pembenaran untuk menghukum pelaku tindak pidana sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap moral tertentu. Pelanggaran moral yang mendasari aturan hukum yang dilakukan secara sengaja dan sadar dalam hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dari kesalahan hukum si pelaku. 22 22 Ibid, hlm. 41. Universitas Sumatera Utara Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif menurut Romli Atmasasamita mempunyai sandaran pembenaran yaitu: 23 1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijatuhi alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. 2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya, bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar maka akan menerima ganjarannya. 3. Pidana yang dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tindakan pembalasan setimpal ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional dalam mengambil keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik disandarkan bahwa setiap individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang sama. Seorang pelaku kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan haknya atas penghukuman tersebut dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara tidak proporsional terhadap kejahatan yang dilakukannya. Proporsional merupakan kunci dari konsep teori pembalasan setimpal. Ukuran yang utama dari 23 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 83-84. Universitas Sumatera Utara proporsionalitas ini adalah semua ukuran dari tingkatan pemidanaan ini tidak boleh melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan suatu perbuatan. 24 b. Teori Deterrence Zimring dan Hawkins 25 berpendapat bahwa dalam teori deterrence ancaman pemidanaan dilakukan adalah untuk membuat rasa takut pada masyarakat dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Nigel Walker 26 menyebut aliran ini sebagai paham reduktif reductivism karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Nigel Walker menyebut aliran ini sebagai paham reduktif. Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini: 1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan. 2. Pencegahan terhadap si pelaku yang potensial dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kegiatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada pelaku, sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya. 24 Marlina, op.cit., hlm.43 25 Ibid., hlm. 50 26 Ibid. Universitas Sumatera Utara 3. Perbaikan si pelaku, yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana. 4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan. 5. Melindungi masyarakat melalui pidana penjara yang cukup lama. c. Teori Treatment Teori treatment sebagai tujuan dari pemidanaan adalah bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan bukan kepada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan adaah untuk memberikan tindakan perawatan dan perbaikan kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. 27 d. Teori Sosial Defense Menurut Marc Ancel 28 , tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan inspirasi masyarakat pada umumnya. Seiring dengan perkembangan zaman dari waktu ke waktu maka seiring dengan itu juga pemidanaan mengalami perkembangan yang mana terdapat suatu konsep baru tentang pemidanaan yang dikenal dengan Restorative Justice . Konsep tersebut merupakan konsep pemidanaan yang bermaksud untuk menemukan jalan 27 Ibid., hlm. 59. 28 Jam Remmelik, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting KUHP dan Padanannya dalam KUHP Indonesia , PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2003, hlm. 35. Universitas Sumatera Utara utnuk menegakkan sistem pemidanaan yang lebih adil dan berimbang, misalnya antara kepentingan si pelaku dengan korban. Konsep Restorative Justice ini proses penyelesaian pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara. Pertemuan yang dilakukan antara pelaku dan korban maka mediator akan memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukan. Praktek Restorative Justice ini di Indonesia juga telah dilakukan yang dikenal dengan penyelesaian secara kekeluargaan. Praktek Restorative Justice telah diakui banyak Negara yang mana dalam pelaksanaannya saat sekarang ini telah diimplementasikan dalam sejumlah aturan dan pola atau cara. Tujuan dari Restorative Justice adalah: 1. Untuk mengembalikan korban, pelaku, dan masyarakat pada kondisi semula sebelum terjadi kejahatan. 2. Sebagai suatu kerangka berpikir untuk mencari tentang adanya suatu alternatif penyelesaian yang menciptakan keadilan yang berprikemanusiaan. 3. Untuk mencari jalan keluar dari keadilan model tradisional yang berpusat pada penghukuman menuju kepada keadilan masyarakat. 4. Memberi kesempatan yang lebih besar kepada korban untuk menyampaikan kerugian yang dideritanya baik kerugian materi atau harta benda maupun moral sebagai akibat tindak pidana yang telah dilakukan kepadanya. 5. Memberikan kesempatan yang lebih besar pada kepada pelaku untuk menyampaikan sebab-sebab dan alasan kenapa dirinya melakukan tindak Universitas Sumatera Utara pidanaperbuatan terlarang yang menyebabkan kerugian pada korban dan masyarakat. Menurut Muladi 29 untuk mencapai tujuan dari pemidanaan itu maka dalam perangkat tujuan pemidanaan itu ada dua hal yang harus tercakup: a Perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan, sekalipun dalam hal ini vargelen harus diartikan bukanlah membalas dendam tetapi pengimbalan atau pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku. b Bahwa di dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus mencakup pula tujuan berupa pemeliharaan solidaritas masyarakat. Pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan masyarakat.

2. Pengertian Pidana Denda

Dokumen yang terkait

GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 3 18

PENEGAKAN...HUKUM....PIDANA…TERHADAP ..TINDAK.. .PIDANA GRATIFIKASI. MENURUT. UNDANG.UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG .UNDANG .NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 21

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

1 34 229

PENDAHULUAN PENEGAKAN HUKUM UNDANG-UNDANG No. 31 TAHUN 1999 Jo. UNDANG-UNDANG No. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KONVENSI PBB MENGENAI KORUPSI, 2003 TERHADAP PENGEMBALIAN ASET NEGARA.

1 4 16

PENUTUP PENEGAKAN HUKUM UNDANG-UNDANG No. 31 TAHUN 1999 Jo. UNDANG-UNDANG No. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KONVENSI PBB MENGENAI KORUPSI, 2003 TERHADAP PENGEMBALIAN ASET NEGARA.

0 2 9

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 8

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 1

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 36

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 3

Pembuktian Terbalik Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 14