Internet yang Revolusioner

Internet yang Revolusioner

Sudah saatnya kita stop konservatifisme keilmuan. Ilmu-ilmu lama yang sudah kadaluarsa dan sudah tidak relevan dengan situasi abad 21 ini sudah semestinya dienyahkan dan dibuang dari sekolah-sekolah kita, lalu diganti dengan ilmu-ilmu baru yang lebih relevan dan lebih updated.

Jika sekolah adalah jalan utama untuk mencetak para profesor ilmu baru, maka sudah saatnyalah kita bangun sekolah yang memang bervisi-misi mencipta ilmu baru —suatu ‘Sekolah Cipta Ilmu’—di mana siswa-siswanya sedini mungkin diajari berkreasi dan berkreasi, diberitahu bagaimana meningkatkan kreatifitas, termasuk kreatifitas mencipta ilmu baru. ‘Sekolah Cipta Ilmu’ ini, jika berhasil, sungguh akan mampu mencetak 1001 profesor baru yang mumpuni dalam masing-masing bidang kepakarannya.

Sudah saatnya kita berhenti jadi konsumen ilmu-ilmu negeri lain. Sudah saatnya pula kita berhenti jadi ‘jajahan keilmuan’ negeri lain. Sudah saatnya kita memproduksi ilmu-ilmu sendiri, yang kelak kita impor ke negeri-negeri lainnya.

Sudah saatnya kita menghentikan kebiasaan meniru, mengekor, dan menjiplak ilmu- ilmu Barat, dengan tanpa memperhatikan dan mengindahkan budaya setempat dan kearifan lokal kita sendiri.

Sudah saatnya kita mencipta ilmu-ilmu baru demi menjawab tantangan dan soal- soal kontemporer yang riel terjadi di depan mata kita, karena kehidupan kian lama kian kompleks, sehingga membutuhkan ilmuwan-ilmuwan baru, profesor-profesor baru, pakar-pakar baru, untuk memberikan solusi atas segala masalah-masalah baru yang timbul.

Sudah saatnya umat beragama di Indonesia (baik Muslim, Kristiani, Buddhist, Hindu, dan Konghucu) menghentikan konsumsi mereka akan ilmu-ilmu imporan Barat yang sudah nyata-nyatanya bertolak belakang dengan ajaran-ajaran relijius mereka, karena rupa-rupanya ilmu-ilmu dari Barat itu tidak value-free tapi value-laden, mengandung ajaran atheistik dan sekuler. Sudah saatnya mereka membuat ilmu- ilmu baru berlandaskan ajaran-ajaran relijius yang menjawab soal-soal keumatan yang kontemporer; bukannya islamisasi ilmu, kristenisasi ilmu, budhisasi ilmu, hinduisasi ilmu, bahkan konghucuisasi ilmu yang dilakukan setengah-hati dan malas-malasan. Soal-soal keumatan kontemporer kian hari kian kompleks, yang membutuhkan solusi dari ilmu-ilmu baru hasil kreatifitas umat itu sendiri.

Kalau birokrasi keilmuan konvensional kita tidak bisa mendukung program ‘mencipta ilmu- ilmu baru’ yang kita anjurkan ini. Maka, kita pun mesti membuat satu birokrasi keilmuan revolusioner baru yang memungkinkan proses penciptaan ilmu-ilmu baru sukses dibuat. Dengan bantuan teknologi informasi/komunikasi mutakhir, maka birokrasi baru tersebut mungkin dibuat. Dulu, penulis artikel Encyclopaedia Britannica mestilah seorang profesor tua kawakan dan berpengalaman dan berjabatan akademis yang harus wow. Dia harus rajin ke perpustakaan, berkutat dengan buku-buku tebal berdebu dan ber-rayap, demi pengakuan akan ke-guru- Kalau birokrasi keilmuan konvensional kita tidak bisa mendukung program ‘mencipta ilmu- ilmu baru’ yang kita anjurkan ini. Maka, kita pun mesti membuat satu birokrasi keilmuan revolusioner baru yang memungkinkan proses penciptaan ilmu-ilmu baru sukses dibuat. Dengan bantuan teknologi informasi/komunikasi mutakhir, maka birokrasi baru tersebut mungkin dibuat. Dulu, penulis artikel Encyclopaedia Britannica mestilah seorang profesor tua kawakan dan berpengalaman dan berjabatan akademis yang harus wow. Dia harus rajin ke perpustakaan, berkutat dengan buku-buku tebal berdebu dan ber-rayap, demi pengakuan akan ke-guru-

Intinya begini: di zaman Internet berkuasa, kita tidak perlu memakan waktu belajar bertahun-tahun; kita tidak perlu memakan biaya belajar bermilyar-milyar; kita tidak perlu pula menulis skripsi, lalu tesis, lalu disertasi, hanya untuk mendapat titel keprofesoran. Sekarang ada jalan pintas atau ada shortcut untuk mendapatkan gelar keprofesoran dengan mudah dan murah. Untuk menjadi profesor baru di zaman Internet, kita cukup membuat ilmu baru, melakukan riset komplit, menulis satu karya serius dan dalam mengenainya, mengunggahnya, lalu membiarkan pembaca di seluruh dunia mengunduhnya. Jika seribu orang mengunduh buku kita, itu pertanda buku kita sangat otoritatif, dan gelar profesor pun layak kita dapat. Tidak perlu acara seremonial konvensional yang mubazir. Cukup 1000 likes dengan tanda jempol seperti ini: . Bisakah profesor-profesor tua-botak-tumpul-beku-diabetes dalam sistem birokrasi keilmuan konvensional menghalangi perkembangan keilmuan yang amat revolusioner ini? Tentu saja tidak; Wong mereka digital dinosaurs! Kirim SMS saja mereka masih minta diketikin sama cucu . Selamat mencipta ilmu-ilmu baru dan menjadi profesor-profesor baru di alam Internet detik ini juga!