Luas dan Kecepatan Pemekaran Fisik Kota Yogyakarta Tahun 1756-1996

Tabel 3 Luas dan Kecepatan Pemekaran Fisik Kota Yogyakarta Tahun 1756-1996

Lama Wktu Tambah Luas Rata-rata Periode

Luas (Ha)

(th)

(Ha) Kecepatan

Sumber: Agus Suryanto, “Perubahan Penggunaan Lahan Kota Yogyakarta 1959-1996”, Disertasi dalam Ilmu Geograi UGM, 2002, hal. 346 (dalam Surya, 2004:3).

Sumintarsih, dkk | 29

Berdasarkan paparan data pada tabel 3 tersebut memberikan gambaran kebutuhan lahan yang diperlukan untuk kepentingan penghuni kota. Luas lahan yang difungsikan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat pesat. Lahan-lahan pertanian banyak yang berubah fungsi menjadi tempat permukiman elite, perkantoran, atau berubah menjadi aktivitas perkotaan yang nilai lahan menjadi lebih tinggi.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Himpunan Peraturan- Peraturan dari Sejarah Kota Yogyakarta yang diterbitkan Karja-Pradja 1952 (Gunawan,R.,dan Darto H. 2012: 6) Kota Yogyakarta awalnya (1756) hanya seluas 9,7 km2, telah berkembang menjadi 13,5 km2 pada 1824. Data ini semakin berlipat bila dilihat data tahun 1950.

Pada awal perkembangannya permukiman kota Yogyakarta cende- rung memusat pada poros besar Selatan Utara. Permukiman berupa kampung tempat tinggal penduduk lambat laun tumbuh di sekitar poros yang melintasi istana dari ujung ke ujung dan alun-alun utara, jalan Malioboro dan kemudian hingga ke Tugu. Dalam perkembangannya saat ini Kota Yogyakarta menghadapi persoalan untuk pemekaran isik kota sebagai akibat perubahan fungsi penggunaan lahan untuk kepentingan penduduk. Kebutuhan yang perlu mendapat perhatian adalah ruang- ruang untuk fasilitas permukiman, jalan-jalan umum untuk transportasi, fasilitas perdagangan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Selain itu kota Yogyakarta menjadi kota tujuan wisata setelah Bali yang harus ada kesiapan tersedianya fasilitas-fasilitas yang diperlukan dalam pengembangan wisata baik dalam kota maupun di daerah sekitarnya. Selain itu Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sedang menyiapkan lahan untuk pelabuhan udara baru karena pelabuhan udara Adisucipto sudah tidak memadai lagi untuk menampung arus penerbangan yang semakin padat. Masalahnya lahan kota yang tersedia sangat terbatas, dan otonomi daerah akan membatasi ruang gerak pemekaran wilayah antara satu wilayah dengan wilayah yang lain ( htp://abdurahman.wordpress. com/2013/01/01, diunduh 11 Juni 2014).

Perkembangan permukiman di kota Yogyakarta setiap tahun semakin marak. Hal ini menyebabkan semakin menyempitnya lahan

30 | Sumintarsih, dkk 30 | Sumintarsih, dkk

Menurut data dari Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta, jumlah lahan di Kota Yogyakarta semakin menyusut dua hektar per tahun. Dari tahun 2009-2011 lahan sawah di kota Yogyakarta mengalami penyusutan sebanyak 4 hektar atau 2 hektar pertahunnya. Pada tahun 2009 lahan sawah seluas 87 hektar, tahun 2010 menjadi 85 hektar dan tahun 2011, 83 hektar. Jika kondisi ini terus berlanjut, dalam 40 tahun lahan sawah di kota Yogyakarta tidak ada lagi ( htp://regional.kompasiana.com/2012/12/02, diunduh 2 Juni 2014).

Kota Yogyakarta dari masa ke masa wajahnya berubah. Bertambahnya penduduk, telah mendesak lahan di kawasan tertentu, bahkan banyak bangunan-bangunan yang seharusnya dilindungi dilestarikan digusur untuk kepentingan tertentu, sehingga boleh jadi telah menghilangkan bagian dari identitas kota Yogyakarta. Perubahan-perubahan yang telah memberi warna perwajahan kota Yogyakarta, termasuk juga di berbagai kawasan kampung kota seperti Prawirotaman, Tamansari, Benteng Kraton, Malioboro, Sosrowijayan, Kotabaru. Berikut pertambahan pendu- duk di Kota Yogyakarta yang memberi gambaran kepadatan sebuah kota dari tahun ke tahun (lihat tabel 4).

Berdasarkan tabel 4 tersebut tahun 1971-1980 terdapat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi 1,72%, sedangkan 1980-1990 angka pertumbuhan rendah 0,35%. Kemungkinan karena sekitar tahun 1970- an jumlah penduduk cukup tinggi dan program KB belum berjalan. Sekitar tahun 1980-an ke depan sampai 2000 program KB sudah menyentuh masyarakat, dan digalakkan secara serius oleh pemerintah, oleh karenanya angka pertumbuhan menurun. Namun, tahun 2000 ke depan angka pertumbuhan penduduk cenderung naik mungkin karena program KB bukan menjadi prioritas seperti dulu lagi dimana semua kekuatan masyarakat bersama pemerintah bersatu padu mensukseskan KB. Kepadatan penduduk sedikit banyak menjadi salah satu faktor yang mengubah perwajahan sebuah kota.

Sumintarsih, dkk | 31