3.1.3.5. Gugatan Hukum bagi Wartawan
Wartawan dalam menjalankan tugasnya mulai dari melakukan proses pencarian berita, wawancara, hingga membuat laporan. Tapi semua orang tahu bahwa
peliputan media, hasil tulisan dan laporan, pasti membawa dampak bagi khalayak. Mereka yang tersinggung karena laporannya dengan mudah mengambil tindakan,
mulai dari meminta hak jawab, mengirim surat pembaca, hingga ada yang mengadukan ke Dewan Pers. Celakanya ada yang mengambil jalan pintas dengan
mengadukan pemberitaan lewat jalur hukum, mulai dari somasi, melapor ke polisi hingga menggugat ke pengadilan.
Sebab, pemberitaan yang serampangan, tanpa mengindahkan etika jurnalistik menjadi faktor penyebab utama digugatnya wartawan. Berita berat
sebelah, tidak independen, tidak memberi tempat pihak-pihak yang dituduh secara proporsional, terseret oleh agenda setting dari narasumber yang memiliki
kepentingan pemberitaan, biasanya menjadi titik awal rendahnya mutu jurnalistik yang bermuara pada gugatan. Bahkan, informasi dari luar yang langsung ditelan
mentah-mentah oleh pers tanpa melakukan proses check and balance, tanpa sadar telah menjerumuskan pers dan pekerjanya kepada gugatan, mereka terlalu percaya
pada narasumber, juga menjadi tali penjerat pers. Sohirin, salah satu koresponden Tempo mengaku memiliki pengalaman
tatkala menghadapi permasalahan gugatan hukum atas pemberitaan selama ini. “Kalau saya belum pernah mengalami hal itu. Sepanjang pengalaman saya
aman-aman aja, landai-landai aja. Tapi kalau misalnya, di kasus temen- temen yang lain, kalau ada dinamika semacam itu saya kira redaksi sudah
barang tentu akan diproteksi, misalkan dia di-off kan dulu sementara, atau job-nya di rolling dulu.”
Sama halnya yang diutarakan oleh Agung Sedayu. Secara institusi Tempo
sering mendapatkan gugatan, terutama dari pihak yang diberitakan. Namun demikian, selama menjadi wartawan Tempo, dia belum pernah mendapatkan
gugatan hukum hingga dibawa ke pengadilan. Menurutnya, kasus Tempo secara institusi sering dipermasalahkan di pengadilan karena dampak dari penulisan
wartawannya. Tentang perlunya pemahaman tentang gugatan hukum akibat tidak profesionalnya wartawan dalam membuat pemberitaan, Agung menjelaskan:
“Kita bekerja ini kan atas nama institusi Tempo, dan berita yang turun entah itu di online, ataupun di koran, apalagi di majalah, itu kan tidak seratus
persen merupakan kerja kita, ada bagian-bagian lain, misalkan di majalah, pertama mulai dari pengangkatan tema, itu sudah ditentukan ramai-ramai di
rapat. Itu kan bukan keputusanku pribadi, itu keputusan di rapat, misalkan aku minggu ini menulis Fathanah, atau keterlibatan Luthfi Hasan di kasus
suap impor daging. Itu kan bukan keputusanku pribadi, itu kan keputusan bersama di rapat. Ketika aku liputan misalkan terus aku mau bikin berita,
tulisanku kan masih ada yang mengedit, ada pengaruh dia di dalam tulisan itu. Artinya misalkan ada berita kemudian dipermasalalahkan oleh orang
yang diberitakan, misalkan Luthfi menggugat atau PKS marah, ga bisa dong marah kapadaku, institusi. Seharusnya perusahaan yang harus bertanggung
jawab.” Sama halnya dalam kasusnya Metta Metta Dharmasaputra, Agung Sedayu
menjelaskan, Tempo
sebelumnya juga pernah digugat soal tentang pemberitaannya, tentu yang digugat bukan Metta-nya, tapi Tempo-nya. Begitu
pula kasusnya Ahmad Taufik tentang kasusnya Tommy Winata di Tanah Abang, kemudian yang berhadapan dengan Tommy Winata di pengadilan adalah Tempo-
nya, bukan Ahmad Taufik-nya, seperti itu semestinya. Dan seharusnya media melakukan hal semacam itu. Terkadang di media lain yang dikorbankan adalah
wartawannya sendiri. Gugatan hukum bagi wartawan selalu ada, terutama di media dengan
tuntutan investigasi yang tinggi seperti yang dijalankan Tempo. Sebelum reformasi, tekanan Tempo berasal dari pemerintah dan militer. Kini, gugatan itu
beralih dari aktor-aktor masyarakat, terutama dari pihak yang diberitakan karena tidak profesionalnya wartawan dalam membuat pemberitaan. Di Tempo, wartawan
bekerja atas nama institusi Tempo. Terlebih di majalah, mulai dari pengangkatan tema, sudah diturunkan beramai-ramai di rapat redaksi. Dengan demikian, Tempo
sebagai institusi perusahaan media bertanggung jawab terhadap pekerjanya dalam menjalankan jurnalistiknya.
3.2. Struktur dominasi secara Eksternal
Seiring datangnya era reformasi dan kebebasan pers, perkembangan pers di Indonesia mengalami pergeseran-pergeseran cukup signifikan. Dilihat dari sisi
idiil, wartawan bisa lebih leluasa menjalankan tugas tanpa disertai ancaman atau